
13 minute read
Laporan Utama Budaya Literasi
BUDAYA LITERASI : HARAPAN DAN TANTANGAN.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” ― Pramoedya Ananta Toer
Advertisement
Budaya
Jika diambil dari bahasa Sansakerta yakni buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti akal atau budi. Budaya juga dikenal sebagai kultur, yang berasal dari bahasa Inggris yaitu culture.
Kata budaya dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah pikiran, akal budi atau adat istiadat. Bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Menurut Ki Hajar Dewantara adalah hasil dari usaha perjuangan masyarakat pada alam serta zaman yang memberikan bukti kemakmuran dan kejayaan hidup. Usaha perjuangan inilah yang mampu menghadapi serta menyikapi berbagai kesulitan dalam mencapai kemakmuran dan kebahagiaan hidup masyarakat tersebut. Bagi Koentjaraningrat, budaya adalah semua sistem ide, gagasan, rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang nantinya akan dijadikan klaim manusia dengan cara belajar.
Adapun Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mengatakan budaya adalah segala hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya meliputi produk teknologi dan kebendaan lainnya, rasa meliputi jiwa manusia yang selaras dengan norma dan nilai sosial, sedangkan cipta meliputi kemampuan kognitif dan mental untuk mengamalkan apa yang diketahuinya.
Dari beberapa pengertian diatas bisa disimpulkan budaya adalah kemampuan olah akal dan rasa manusia untuk mendapatkan kemakmuran dan kebahagiaan hidup. Manusia berbudaya merupakan orang mampu menciptakan dan membuat segala sesuatu menjadi mudah dalam mencapai kebutuhan hidupnya. Budaya terus berkembang seiring perkembangan zaman.
Adapun budaya memiliki fungsi sebagai berikut :
a. Kebudayaan berfungsi untuk menjadi pedoman hidup berperilaku. Hal ini diwujudkan dalam bentuk nilai, norma, ataupun hukum. Oleh sebab itu maka kebudayaan seperti ini terus diturunkan dari generasi ke generasi (shared culture).
b. Kebudayaan juga berfungsi sebegai alat atau media yang membantu hidup manusia, yang diwujudkan dalam penciptaan teknologi. Menurut Soerjono Soekamto, setidaknya ada tujuh unsur dalam teknologi yaitu alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, rumah dan tempat berlindung, serta alat atau moda transportasi.
c. Kebudayaan juga dapat berfungsi sebagai kontrol sosial atau tata tertib bagi masyarakat. Sebab budaya merupakan wadah/tempat untuk menyalurkan perasaan perasaan, ide-ide dan gagasan gagasan, sebagai pembimbing kehidupan manusia dan agar hidup lebih baik, manusiawi dan berperikemanusiaan.
Jika tidak ada budaya, mungkin teknologi tidak akan berkembang, teknologi yang modern dan canggih merupakan hasil pembelajaran
dan pemikiran dimasa lalu. Disadari atau tidak, kebudayaan juga merupakan suatu norma dan batasan, misalnya kebudayaan dalam hal berpakaian. Cara berpakaian di daerah Timur Tengah berbeda dengan negara Amerika, tetapi karena adanya kebudayaan toleransi dan saling menghargai, hal itu tidak menjadi sumber keributan dan permusuhan. Kebudayaan dan agama juga saling berkaitan, hal ini sangat terlihat pada zaman dahulu dimasa penyebaran agama. Salah satunya adalah walisongo yang menggabungkan antara ajaran agama dan kebudayaan dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dengan cara memberikan tontonan yang ceritanya berisi tentang ajaran agama Islam.
Dalam bahasa Latin, istilah literasi disebut sebagai literatus, artinya adalah orang yang belajar. Selanjutnya, National Institut for Literacy menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Education Development Center (EDC) juga turut menjabarkan pengertian dari literasi, yakni kemampuan individu menggunakan potensi yang dimilikinya, dan tidak sebatas kemampuan baca tulis saja.
UNESCO juga menjelaskan bahwa literasi adalah seperangkat keterampilan yang nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan yang dimaksud diperoleh, dari siapa keterampilan tersebut diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya. Menurut UNESCO, pemahaman seseorang mengenai literasi ini akan dipengaruhi oleh kompetensi bidang akademik, konteks nasional, institusi, nilai-nilai budaya serta pengalaman. Kemudian, di dalam Kamus Online Merriam – Webster, dijelaskan bahwa literasi adalah kemampuan atau kualitas melek aksara dimana di dalamnya terdapat kemampuan membaca, menulis dan mengenali serta memahami ide-ide secara visual. (https://id.wikipedia.org/wiki/ Literasi).

Jadi yang dimaksud dengan budaya literasi adalah kecerdasan seseorang untuk dapat membaca, menulis maupun berbicara guna memecahkan semua persoalan kehidupan baik dalam pekerjaan, dirumah, dimasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kebiasaan membaca dan menulis sejak dini akan memberikan pengaruh yang besar terhadap seseorang, baik pada saat itu juga ataupun pada saat dewasa nantinya.
Dengan membaca buku kita akan mendapat berbagai jendela ilmu pengetahuan. Dari buku kita mampu meyelam keribuan kilometer kedalaman laut. Mengarungi tujuh samudera dunia. Mengangkasa di semesta yang tak pernah terjangkau oleh nalar. Buku-buku layaknya sebuah surga yang menghadirkan begitu banyak celah-celah dunia yang bisa kita intip. Buku adalah sebuah jalan keabadian. Buku mengekalkan penulis hingga beribu tahun. Pada bukulah kita mampu melihat masa lalu. Melihat sejarah peradaban dan menjadi lebih bijak di masa depan. Ini untuk menegaskan bahwa budaya literasi menjadi satu-satunya jalan untuk mampu menjelajahi ruang dan waktu semesta.
Ambilah contoh tokoh sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer lahir pada tanggal 06 Februari 1925 di Kota Blora Jawa Tengah. Meninggal dunia pada tanggal 30 April 2006 pukul 08.55 di usia 81 tahun. Beliau merupakan pahlawan gerakan anti kolonial Indonesia, seorang pejuang hak asasi manusia dan kebebasan berbicara.
Beliau mampu membaca keadaan zaman yang kemudian mengabadikan dan menuangkanya kedalam beberapa karya, diantaranya : Sepoeloeh Kepala Nica (1946), Kranji-Bekasi Jatuh (1947), Perburuan (1950): dicekal oleh pemerintah karena muatan komunisme, Keluarga Geriliya (1950), Subuh
(1951), Percikan Revolusi (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Dia yang Menyerah (1951). Cerita dari Blora (1952), Gulat di Jakarta (1953), Midah Si Manis Bergigi Emas (1954), Korupsi (1954), Mari Mengarang (1954), Cerita dari Jakarta (1957), Cerita Calon Arang (1957), Panggil Aku Kartini Saja (1965), Gadis Pantai (1962), Sejarah Bahasa Indonesia (1964), Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963), Lentera (1965).
Bumi Manusia (1980): dilarang Jaksa Agung, Anak Semua Bangsa (1981): dilarang Jaksa Agung, Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981), Tempo Doloe (1982), Jejak Langkah (1985): dilarang Jaksa Agung, Sang Pemula (1985): dilarang Jaksa Agung, Hikayat Siti Mariah (1987): dilarang Jaksa Agung, Rumah Kaca (1988): dilarang Jaksa Agung, Memoar Oei Tjoe Tat (1995): dilarang Jaksa Agung, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995): dilarang Jaksa Agung, Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), Mangir (2000), Larasati (2000), Jalan Raya Pos, Jalan Deandels (2005).

Meskipun beberapa karya beliau dilarang oleh pemerintah dengan alasan tertentu, namun karya-karya beliau mendapatkan apresiasi yang baik dari luar negeri diantaranya : PEN Freedom to Write Award pada tahun 1988, Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra dan Seni Komunikasi Kreatif tahun 1995, Penghargaan dari Universitas Michigan tahun 1999, Hadiah Budaya Asia Fukoka CI tahun 2000 untuk kontribusi luar biasa orang Asia maupun Norwegian Authors Union Award tahun 2004 untuk sumbangannya pada sastra dunia.
Tokoh muda legendaris yang mampu membaca, menulis dan merekam zaman kedalam buku adalah Soe Hok Gie (lahir di Jakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun) adalah seorang aktivis Indonesia Tionghoa muda yang menentang kediktatoran berturut-turut dari Presiden Soekarno dan Soeharto. Ia adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969. Soe adalah seorang penulis yang produktif, dengan berbagai artikel yang dipublikasikan di koran-koran seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Soe juga merupakan subjek dari sebuah buku tahun 1997, yang ditulis oleh Dr John Maxwell yang berjudul Soe Hok Gie-: Diary of a Young Indonesian Intellectual. Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001, dan berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orangorang di Persimpangan Kiri Jalan.
Dari kisah dua tokoh penulis ini dapat dipetik hikmah tentang budaya literasi. Untuk mampu menangkap dan mengungkap peristiwa diperlukan wawasan, pemahaman dan bacaan buku yang banyak. Pemahaman dan wawasan yang cukup masih kurang, perlu disertai dengan niat dan keinginan yang kuat untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Sehingga ide, pikiran dan gagasan dapat tersalurkan dan tersampaikan dengan baik.
Bahkan dalam islam sendiri perintah untuk membaca terekam dalam Al-Qur’an
yakni Iqra’ (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Dalam kajian Ulumul Quran, ayat ini merupakan ayat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Secara sosiologis, ayat ini diturunkan pertama kali disebabkan oleh kondisi sosio-kultural masyarakat Arab ketika itu yang buta huruf (ummi), termasuk baginda Nabi SAW. Dalam sejarah diturunkannya Al-Qur’an disebutkan, bahwa ketika Jibril As mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk membawa wahyu pertama. Saat itu, Jibril berkata kepada Nabi SAW; Iqra’ (bacalah). Nabi pun menjawab, “Ma ana bi qarik (Saya tidak bisa membaca)”. Berkali-kali kalimat yang sama diucapkan baginda Nabi, “Saya tidak bisa membaca”. Akhirnya, Jibril memeluk baginda Nabi dengan erat hingga ia mampu membaca dan melanjutkan ayat tersebut, “Iqra’ bismirabbikal ladzi khalaq (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan)” hingga ayat kelima.
Kemampuan (skill) andalan masyarakat Arab saat itu yakni hafalan. Bahkan, hingga saat ini kemampuan hafalan masyarakat Arab tidak dapat diragukan lagi. Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah SAW kepada Nabi Muhammad SAW pada periode awal hanya disimpan dengan menggunakan metode hafalan. Padahal, Al-Qur’an terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 (pendapat ulama Kufah) ayat, dan 1.027.000 (satu juta dua puluh tujuh ribu) huruf. Keseluruhannya mampu dihafal oleh para penghafal Al-Qur’an (huffadz). Maka pada zaman khalifah Ummar bin Khattab muncul ide gagasan untuk melakukan kodifikasi menyusun AlQur’an karena banyak sahabat penghafal Al-Qur’an wafat dalam medan perang. Banyak dikumpulkan tulisan hasil dari penghafal Al-Qur’an dari pelepah kurma, tulang maupun dibatu-batuan. Sebab itu, Iqra’ merupakan visi Ilahiyah untuk mencerdaskan umat manusia dengan membaca. Dengan membaca akan melahirkan ide dan gagasan-gagasan baru yang kreatif dan inovatif.
Sebab itu, ayat tersebut layak menjadi filosofi dan landasan untuk mengembangkan budaya literasi pada masyarakat Indonesia. Tanpa literasi masyarakat Indonesia akan terus tertinggal dari negara-negara lain di dunia. Hanya dengan budaya literasi Indonesia mampu mengepakkan sayap untuk menjadi bangsa yang cerdas dan disegeni oleh dunia. Membaca adalah jendela dunia. Bermakna dengan membaca terbukalah wawasan dan pola pikir yang mendunia. Semakin banyak buku yang dibaca, maka semakin banyak jendela yang dimiliki. Bahkan, pengetahuan diperoleh sekitar 80-90 persen dari membaca. Ungkapan Tilaar, membaca adalah proses memberikan arti kepada dunia. Maka, dengan gemar membaca akan melahirkan generasi yang belajar. Membaca adalah kaki kita. Bahkan, menurut Sindhunata, makin gemar membaca maka makin kita memperoleh kaki yang kokoh dan kuat. Makin kita membaca makin hidup kita berkaki (Elly Damaiwati, 1/1/1970). Sebab itu, membaca adalah kebutuhan hidup (needs of life).
Untuk itu, budaya literasi harus terus digelorakan dan dibumikan di Indonesia. Sebab, data-data mutakhir masih menunjukkan bahwa literasi di Indonesia sangat-sangat rendah, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
Semisal, menurut data UNESCO yang dirilis pada 2012, minat membaca (literasi) masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari setiap 1.000 orang penduduk Indonesia, hanya 1 orang yang minat membaca tinggi. Ini bermakna

bahwa dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia, hanya 250 ribu yang rajin membaca. Bahkan, dari 65 negara yang diteliti tentang literasi, Finlandia berada posisi pertama sebagai negara yang memiliki minat baca tinggi, sedangkan Indonesia berada pada urutan 64, satu tingkat di atas Bostwana.
Selain itu, data mutakhir juga menunjukkan bahwa, para pelajar di Australia menghabiskan waktu 150 menit (2,5 jam) untuk menonton televisi setiap hari. Pelajar di Amerika dalam sehari menghabiskan waktu 100 menit (1,6 jam) untuk menonton televisi. Pun, pelajar di Kanada dalam sehari menghabiskan waktu 60 menit (1 jam) untuk menonton televisi. Tapi, para pelajar di Indonesia mampu menghabiskan waktu dalam sehari 300 menit (5 jam) hanya untuk menonton televisi.
Data-data di atas menunjukkan bahwa, budaya literasi di Indonesia berada pada titik nadir yang mengkhawatirkan. Sehingga diperlukan upaya semua pihak, baik pemerintah, sekolah/madrasah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (Ormas), dan seluruh masyarakat (civil society) dalam menggelorakan dan membumikan literasi di Indonesia. Hanya dengan literasi akan melahirkan generasigenerasi cerdas Indonesia di masa mendatang. Sudah seharusnya literasi menjadi gaya hidup (lifestyle) dan jalan hidup (the way of life) serta kebutuhan hidup (needs of life) masyarakat Indonesia.
Pemerintah Indonesia sudah menerapkan gerakan literasi dalam proses pembelajaran di sekolah. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Gerakan literasi sekolah bertujuan membiasakan siswa untuk membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti. Dalam jangka panjang, diharapkan dapat menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan literasi tinggi. Yaitu mampu mengakses, memahami dan menggunakan informasi dengan cerdas.

Kegiatan literasi memang merujuk pada kemampuan dasar seseorang dalam membaca dan menulis. Sehingga selama ini, strategi yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut adalah menumbuhkan minat membaca dan menulis. Strategi membaca non-teks selama lima belas menit sebelum jam pertama, merupakan langkah awal untuk membiasakan siswa gemar membaca. Bahkan, strategi tersebut berkembang menuntut siswa menghasilkan karya-karya buah pemikirannya.
Pelaksanaan GLS menjadi tanggung jawab bersama pemangku pendidikan. Bukan hanya siswa saja yang menjadi sasaran gerakan ini. Mulai dari kepala sekolah, pendidik, tenaga pendidik, hingga komite sekolah, menjadi target gerakan literasi. Dengan demikian, kegiatan literasi tidak hanya dalam aktivitas belajar mengajar di kelas saja. Namun, juga terlihat di perpustakaan, disetiap pojok baca kelas, dan di lingkungan sekolah.
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kisah-kisah hikmah atau sumber informasi hanya dipegang oleh seorang yang mempunyai posisi khusus dalam masyarakat kita
seperti tokoh masyarakat, guru atau trainer dan lainnya, yang berfungsi sebagai sumber kebenaran. Ignas Kleden menyebut budaya itu sebagai kelisanan primer (primary orality), di mana masyarakat kala itu belum mengenal baca-tulis. Namun, karena ingatan bersifat terbatas, tidak semua informasi yang dibutuhkan bisa ditransmisikan lisan secara sempurna. Masyarakat kita lebih suka mendapatkan informasi dari media elektronik seperti televisi, handphone. Kesimpulannya, masyarakat lebih suka mendapat informasi yang “dibacakan”, sehingga penonton hanya berlaku sebagai “pembaca pasif” yang dengan tenang mengunyah dengan renyah segala persepsi yang dikemukakan di media elektronik.
Fenomena itu disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder (secondary orality). Budaya kelisanan sekunder tersebut menggambarkan bahwa kemampuan baca-tulis tidak terlalu dibutuhkan karena sumber informasi lebih bersifat audio-visual. “BELUM MEMBUDAYA”. Budaya baca-tulis belum membudaya, belum pernah benar-benar mendarah daging di Indonesia. Budaya lisan baru itu mempunyai daya pikat lebih dan “mudah” Masyarakat kita tampaknya lebih menyukai sajian-sajian sinetron, media sosial ketimbang baca koran, majalah, atau buku. Apalagi tertarik untuk membiasakan diri untuk menulis.
Sehingga banyak para pelajar sekolah/madrasah yang terjebak pada perilaku amoral dan destruktif, semisal pacaran dini, kriminalitas, perzinahan, vandalisme, clubbing, bullying, dan beragam problematika lainnya. Ini disebabkan karena energi besar yang mereka miliki tidak tersalurkan pada tempat-tempat positif, semisal membaca dan menulis. Akhirnya, mereka menyalurkan pada tempat-tempat yang keliru yang bertentangan dengan nilainilai (values) kebangsaan dan agama.
Karena itu, energi para pelajar Indonesia harus diarahkan untuk membaca dan menulis. Dengan membaca dan menulis mereka akan menjadi generasi cerdas dan unggul untuk mengisi pembangunan. Meskipun demikian, pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat perlu dilibatkan agar memiliki tanggungjawab moral untuk menyiapkan berbagai fasilitas bacaan baik perpustakaan tertutup maupun terbuka, serta menyediakan beragam buku lintas keilmuaan, agar masyarakat, pemuda dan pelajar tertarik untuk membaca.
Artinya, untuk menumbuhkan budaya literasi di semua kalangan diperlukan sarana dan prasarana, fasilitas yang mendukung, dan bahan bacaan yang lengkap dan terbaru (update). Tanpa bahan bacaan yang lengkap, jangan pernah berharap perpustakaan terisi penuh, apalagi disertai dengan pelayanan di perpustakaan yang tidak nyaman. Karena itu, konstitusi memberikan amanah kepada pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa. Bangsa ini berdosa kalau tidak menyediakan perpustakaan yang lengkap kepada generasinya. Untuk itu, ketika perpustakaan serba lengkap dengan fasilitas dan bahan bacaan, maka terwujudlah usaha membudayakan literasi di Indonesia. Dengan itu, maka bonus demografi di Indonesia tidak akan sia-sia begitu saja. Bahkan, perlu dibangun filosofi bahwa membaca dan menulis (literasi) bukan hanya mencerdaskan, tapi juga mendapatkan pahala dari sisi-Nya. Sebab itu, iqra’ (bacalah). Dengan membaca dan menulis akan dapat membuka “jendela dunia serta mengharumkan dan mengabadikan nama kita”. (Imam Ashari,M.PdI)