11 minute read
Cerpen
PULIH
\Sudahkah pandangmu bertandang? Menaruh atensi pada Dandelion malang. Bunga lupa syukur yang ingin terus melayang, berdansa bersama angin di awang-awang. Mengundi nasib dengan begitu riang, membawa harap akan segala terulang. Walau akan hanya tersangkut torso ilalang atau meski hanya akan terhenti di padang gersang. Siklusnya terulang. Namun apa yang nyata justru tak tertangkap mata. Kita tenggelam dalam tipu daya prasangka. Begitu rapuh ia menghadapi coba. Ditiup angin ia bertahan pada tungkainya meski akhirnya harus pasrah melawan arah terpa. Si tak punya aroma hanya punya segudang percaya. Yakin kembali hidup sebagai sosok istimewa. Menjadi sempurna di balik ketiadaan yang dipunya. Dengan si putus asa ia berteman. Bermain dengan para pecinta kesederhanaan. Kuntum putihnya terbang berhamburan. Membawa sejuta doa dan harapan. Jiwa sepi ini ingin lari dari kehampaan. Jiwa penuh kesedihan ini ingin kembali disapa ketabahan. Aku ingin kembali dihidupkan. “Aku lagi banyak tugas, nggak ada waktu buat main-main! Belajar aja sana, jangan ganggu aku!” “Anak nggak berguna, makan uang Ibumu aja bisanya!” “Ibu ini sibuk cari duit! Emangnya kamu mau makan apa kalau Ibu nggak kerja? Ayahmu itu nggak bisa apa-apa!” “Ayah, Ibu, dia gila!” “Bawa anakmu itu ke rumah sakit jiwa! Aku nggak sudi punya anak kaya dia!” “Lili, Ibu minta maaf.” Ingatan ini, aku berharap kepalaku terbentur sesuatu hingga Amnesia. Mereka tak pernah lelah mengusik kepalaku yang kini mulai berdenyut nyeri. Mereka, orang-orang yang kusayang. “Nggak seharusnya kamu ada di dunia ini!” “Dasar gila!” “Nggak ada yang peduli sama sekali sama kamu.” Wanita sarkastik yang sungguh menyebalkan ini adalah aku. Benci mengakuinya, akan tetapi dia tetap bagian dari diriku. Salah satu dari diriku. “Banyak orang yang sebenernya peduli sama kamu, coba jadi lebih terbuka!” “Coba dari orang yang terdekat dulu aja!” Perempuan dengan hati mulia yang menjadi penguatku satu-satunya ini juga adalah aku. Aku yang lain. “Hah, apa yang kau tunggu? Ayo cari teman dan jadi budak mereka!” “Mereka tidak pantas kau sebut teman! Mereka hanya akan menjatuhkanmu.” Datang lagi, dia si sosok kuat yang tak mudah dikalahkan juga turut beradu argumen dalam kepalaku. Berbicara dengan lantang dan begitu mengganggu pikiranku. Gagasannya bodoh dan sialnya ia punya eksistensi yang besar. Seperti dalam lomba debat, mereka saling beradu argumen dengan pikiran masing-masing. Sama kuat, hanya aku yang lemah di sini. Aku tak bisa berpura-pura tuli terhadap kalimatkalimat yang bergaung dalam kepalaku. Tiap frasa itu seakan bergema dalam lorong sepi ini. Dengan mudah menguasai tiap jengkal akal sehatku yang tersisa. Sakit, kepalaku rasanya sakit sekali. Ekor mataku menangkap sesosok pria berjalan dari ujung lorong. Dia berbicara sendiri, mungkin sedang bertelepon. Aku meremat rambutku sendiri saat sakit di kepalaku kian menjadi. Rasa takut, kecewa, dan kesepian berjejalan masuk ke dalam dadaku. Air mataku bercucuran begitu saja ketika rasa sesak ini makin membuncah. Aku menarik ujung snelli yang ia gunakan saat ia lewat di depanku. Aku tak tahu untuk apa ini kulakukan. Hanya saja saat ini aku ingin—seseorang. “Kenapa hm?” Ia berjongkok di hadapanku, melepas tangan kiriku yang semula ada di ujung snelli miliknya lalu menggenggam tanganku dengan jemari besarnya. Aku membisu, enggan menjawab pertanyaannya. “Mau istirahat? Ayo, saya antar ke kamar!” aku menggeleng dengan kepala yang masih tertunduk. “Temani… ke taman…” Lantas yang kudapati adalah anggukan disertai senyum yang mengembang pada wajahnya. Aku mengekori pria dengan langkah lebar ini menuju taman rumah sakit. Sekiranya sudah dekat
Advertisement
dengan tempat yang kutuju, aku mempercepat langkahku—seperti berlari kecil. Aku mendahuluinya kemudian mendudukkan diriku begitu saja pada hamparan rumput di sini. Banyak lahan hijau yang sengaja dibiarkan di rumah sakit ini yang digunakan sebagai tempat terapi relaksasi untuk para pasien, kemungkinan begitu. Ada banyak pria seumuran dengan Ayah sedang bermain catur beberapa meter dari tempat dudukku, pasien rehabilitasi NAPZA. Banyak juga pasien yang didampingi oleh dokter atau perawat di sini. Tempat ini memang selalu ramai saat pagi hari. Sedari tadi pandanganku sibuk berkelana hingga tak mengindahkan pria yang turut berjongkok di sampingku. “Jangan di sini, nanti kotor! Ayo, duduk di bangku aja!” aku menepis tangannya yang memegang sebelah pundakku dan menggeleng kemudian. “Dasar gila! Apa maumu?!” “Berhenti katakan itu! Dia tidak gila.” ”Kau tahu sebenarnya Dokter itu benci padamu?” “Tidak akan ada yang benar-benar peduli padamu.” “Jangan percaya pada siapapun!” “Mungkin kau bisa mencoba dari Dokter ini. Ayo, semangat!” Oh tidak, jangan lagi. Suara-suara itu—demi Tuhan, aku sangat membencinya. Aku mengepalkan tanganku erat mendengar mereka menertawakanku. Aku benci mereka—lebih tepatnya, aku benci diriku sendiri. “Gimana tidurnya semalam? Nyenyak?” aku berdehem sebagai balasan. “Selain gila kamu pembohong juga ternyata.” “Haha, dia mimpi buruk lagi semalam!” “Dokter, mau keluar…” “Kamu harus sembuh dulu biar bisa keluar” “Lihat, dia menganggapmu gila!” “Dokter nuduh saya gila? Saya ini nggak gila!” “Nama kamu siapa?” aku tak nyaman dengan tatapannya yang seperti itu. Kualihkan pandanganku ke arah lain. “Liandra, Lili.” “Lili, asal kamu tahu, rumah sakit jiwa bukan tempatnya orang gila. Mereka semua sakit dan ke sini karena pengen sembuh, nggak ada salahnya sama sekali. Masuk rumah sakit jiwa itu bukan aib” ia menghela napas, “Stigma masyarakat aja yang bikin tempat ini terkesan jadi tempatnya orang gila.” Tanganku yang semula memainkan rerumputan terhenti. Aku memperhatikan pergelangan tanganku yang penuh luka sayat ini, sebagian telah memudar meski masih ada juga yang terlihat baru. Kupeluk lututku di depan dada dengan erat. Aku menoleh, lantas menatap dokter muda di sampingku tepat pada pupil kelamnya. “Kalau begitu saya juga… saya mau sembuh.” Ia tampak mengangguk dan tersenyum dengan canggung,”Saya percaya kamu bisa.” “Dokter, tanya… boleh?” ia terlihat mengangguk. “Apa saja?” tanyaku lagi. Ia kembali mengangguk namun kini disertai sebuah senyuman “Iya, apapun.” “Itu… obat penenang—saya kambuh… namanya?“ “Rahasia,” alisku bertaut tak suka, ”kalau kamu udah sembuh saya kasih tahu.” Kulewati hari-hari dalam tempat ini dengan konstan. Mungkin sesekali diadakan acara kerohanian, karaoke bersama, atau bahkan senam pagi yang berujung kerusuhan. Selain itu tidur, makan, minum obat, terapi, dan pemeriksaan. Hanya saja memang sesekali aku masih belum dapat mengendalikan diriku. Bisikan biadab itu—mencela, menertawakan, mengacaukanku. Seperti saat ini, “Lihat anak kecil itu! Dia datang bersama orang tuanya.” Lewat jendela kecil ini aku melihat anak kecil yang tengah menangis dalam gendongan sang ayah, sementara si ibu berusaha menenangkannya dengan lolipop berbentuk hati. “Lalu, dimana keluargamu? Hahaha!” “Apa maksudmu, tentu saja mereka sedang bekerja keras untuk pengobatannya!” “Kau pikir kenapa mereka tak pernah menjengukmu? Mereka membuangmu! Kau tidak diinginkan!” Mataku memanas, siap mengeluarkan air mata. “Tidak akan ada yang peduli padamu, kenapa tidak mati saja hah?” “Ingat, mati tidak dapat menyelesaikan apa-apa!” “Kau ingat betapa Ayahmu ingin kau mati? Jadilah anak berbakti dan turuti saja keinginannya!” Kupejamkan mataku dengan rapat, membiarkan cairan bening itu lolos begitu saja. Tubuhku gemetaran, aku menggeleng kuat. Aku benci ini semua, sungguh. “PERGI!” suaraku bergema dalam ruang inapku. “PERGI KALIAN!!” Mereka tak kunjung hilang. Yang kudapati justru
tawa nyaring memekakkan telinga. Aku menutup kedua telingaku rapat-rapat lantas berlari keluar dari kamar tenangku. Tak berguna, suara itu tetap menembus runguku. Mereka berputar-putar pada kepalaku dengan kejam. Kaki telanjangku terus ku ajak berlari tanpa tujuan yang pasti. Aku berpapasan dengan dengan seorang wanita yang sepertinya baru saja keluar dari ruang sterilisasi dengan membawa wadah berisi mata pisau lengkap dan beberapa peralatan lainnya. Aku mengambil salah satu benda dalam wadah itu dengan cepat lalu menodongkannya ke udara. Gunting, aku tak tahu itu pilihan yang tepat atau tidak. “Pergi—PERGI!!” “Pergi kalian semua!” aku berteriak kesetanan mengabaikan orang-orang yang kini mulai berkerumun di sekitarku. “Lili!” perhatianku teralihkan pada suara yang terdengar familiar di telingaku. “Tenang Lili, tolong guntingnya diturunin dulu!” “Apa kau pikir dia peduli padamu?” “Itu pekerjaannya, peduli pada orang gila sepertimu adalah tugasnya.” “Orang gila sepertimu jangan berharap terlalu tinggi!” “Kau masih berpikir ia tak sungguh-sungguh peduli padamu? Pikirkan apa yang telah ia lakukan untukmu selama ini!” “Dia tidak nyata, lawan saja!” “Benar, dan kau juga tidak nyata!” “Dia tidak bisa melawan dirinya sendiri.” “Haha dasar bodoh, kenapa tidak mati saja sih!” “Kalau begitu ayo!” napasku terengah, aku menyerah. “Kalian semua… ayo ikut mati bersamaku!” aku mengarahkan gunting ini ke leherku yang mengundang kepanikan dari orang-orang di sekitarku. “Lili! Saya tanya ,kamu beneran mau mati? Kamu ingat waktu konseling kemarin kamu mau apa? Kamu pengen sembuh kan? Kamu mau jadi orang tua yang baik nantinya kan?” “Lihat, mereka semua peduli padamu!” “Lihat tatapan mereka! Mereka iba, jijik melihatmu!” “DIAM!!” salah, tak seharusnya aku berteriak seperti ini. Alisku bertaut melihat pria itu mengambil dua bilah pisau kecil dari wadah tempat aku mengambil gunting ini. “Kamu pilih, pisau bedah atau pisau jahit? Semuanya tajam.” peganganku pada gunting kecil tadi terlepas lantas tangan kananku terulur ragu mengambil salah satu pisau yang ditawarkan Dokter itu padaku lalu mengarahkannya ke leherku kembali. “Lili, biar saya kasih tahu. Ini namanya arteri, kalau kamu gores di sini darahnya pasti mengucur” jelas Dokter itu sambil memegang pergelangan tangannya. “Tapi kalau kamu maunya di leher, itu dari posisi kamu tinggal digeser ke kanan sedikit. Di situ arterinya. Pasti sakit sih, tapi nggak akan lama. Masih mau coba?” “Lili, kamu mau sembuh kan? Saya percaya sama kamu, jangan mengecewakan saya!” Ia melangkah mendekat dengan perlahan “bukan gini caranya Lili.” “Lihat, dia bahkan menunjukkan caranya mati padamu! Kau masih mempercayainya?” “Dasar munafik, aku sudah tahu dari awal dia memang busuk.” “Dia begitu karena mempercayaimu, jangan membuatnya kecewa!” “Tahu apa Dokter?! Dokter nggak tahu apa-apa!!” Aku lengah, dua orang telah memegangiku dengan kuat. Tak ada gunanya meronta. Salah satu dari mereka merampas pisau kecil itu dari tanganku dengan sigap. Kulihat Dokter itu membuka spuit suntik kemudian mengisinya dengan satu ampul obat penenang yang diserahkan oleh perawat yang tadi datang bersamanya. Jarum itu, sejak kapan suntikan itu menjadi sefamiliar ini dengan tubuhku? Tidak ada rasa takut seperti saat imunisasi di sekolah, juga tidak ada histeria saat jarum itu menembus kulitku. Sebelumnya, tubuhku pasti akan lemas dan langsung kehilangan tenaga sesaat setelah obat itu masuk ke dalam tubuhku. Tapi hei, ada apa ini? Tidak terjadi apapun padaku. “Pindahkan pasien ke bangsal kritis! Kita pasang fiksasi. Satu jam lagi suntikkan penenang, dosisnya ditambah! ” permisi, boleh kutanyakan? Bagaimana mungkin aku membenci sesuatu yang bahkan tak kuketahui namanya?
Orang bilang sesuatu yang berharga itu tidak datang begitu saja. Tidak seinstan mimpi pada malam hari yang memudar saat alaram berdering. Tak juga seperti asap yang mengepul dari cerutu yang menebar bau tak sedap. Datang dengan kilat, pula perginya. Kecuali jika asap yang mengepul banyak, tentu saja. Sesuatu yang baik memang layak dikejar dan diusahakan untuk menyempurnakan diri sendiri. Kesempurnaan. Memang apa artinya? Mereka semu. Tak ditakdirkan untuk manusiamanusia berdosa dan mungkin juga tidak akan diberikan pada siapapun. Kini aku ragu, apakah kesempurnaan memang benar adanya. Karena yang kutahu, hanya pada Dia kesempurnaan mengabdi. Mungkin Tuhan hanya tidak ingin kita merasa tinggi. Mengklaim bahwa kita pantas dijunjung manusia lain. Tidak boleh, itu jelas menyalahi aturan. “Lili les dimana, mahal pasti ya?” “Pengen deh jadi kaya Lili! Udah cantik, jenius banget lagi!” “Tips belajarnya dong Li,” “Apasih, aku juga jarang belajar tau, palingan pas ada ujian aja.” Ini cacatku, menebar dusta pada orang lain. Kesal? Tentu saja. Mereka tak pernah tahu aku yang seperti orang gila belajar siang dan malam. Ayahku tak akan tinggal diam jika melihat angka-angka dalam raporku menurun. Mengunciku dalam kamar mandi gelap, tidak memberiku makan, memukul tanganku dengan penggaris, dan—ah, aku benci harus menjelaskan ini “Perasaan masalahku nggak habis-habis deh Li, rasanya bener-bener stress.” “Kamu pasti bisa kok, Tuhan pasti punya alasan ngasih ini semua.” Itu dulu. Dulu aku bisa berkata semudah itu tanpa menyangka bahwa aku yang akan melakukan percobaan bunuh diri di masa mendatang. “Lili!” ah, sepertinya aku tenggelam terlalu jauh dalam lamunku. Terbukti dokter di hadapanku ini perlu melambaikan tangannya di depan wajahku untuk mendapatkan perhatianku. “Kamu berhasil, terimakasih sudah berjuang. Saya bangga sama kamu!” Aku tersenyum kecil lantas mengangguk menanggapinya. “Belum selesai kok, ini,” aku mengangkat kantung kresek berisi antidepresan dan antineurotik milikku, menunjukkan bahwa mereka masih harus kukonsumsi secara rutin. “Mau main ke taman—untuk yang terakhir kali?” “Boleh” aku mengangguk cukup antusias memenuhi tawarannya. “Pak Dokter namanya…siapa?” tanyaku padanya ragu. Ada yang janggal di sini, dari awal hanya dia yang tahu namaku. “Azka Aldric, manggilnya terserah” “Dokter Aldric aja biar keren.” Ujarku sambil menyamai langkahnya. “Bisa bisa,” dokter yang baru kuketahui namanya itu tampak terkekeh. Benar-benar tak kusangka, hari terakhirku di sini tiba secepat ini. Taman yang jadi tempat favoritku saat pagi dan sore datang. Aku mendudukkan diriku dengan nyaman di hamparan rumput ini. Aku mendongak menatap pria yang masih berdiri itu lalu menepuk ruang kosong disampingku, “Ayo, duduk di sini aja!” “Kenapa sih suka banget kotor-kotoran begini?” apa yang dilakukannya? Menurutiku setelah melayangkan protes? Aku beranjak untuk mengambil Bunga Dandelion yang tertangkap mataku. Senyumku mengembang saat mereka berada dalam tanganku. Lantas aku kembali ke tempat dudukku bersama pria dengan snelli yang telah keruh itu. Mataku memejam bersama dengan bibirku yang meniup kuntum putih kecil itu hingga terlepas dari tangkainya. Membiarkan doaku membaur dengan alam seiring menjauhnya serpihan kecil bunga itu. Kecil, semakin kecil, kemudian menghilang. Lantas pada dadaku ini, rasa sakit kembali menjalar. Bahkan sekedar mengucap doa dan harapan saja terasa seperti menabur garam pada permukaan luka terbukaku. Ngilu datang bersama rasa bangga sebab kemenanganku atas diriku sendiri. Persis seperti bunga ini. Aku tak suka dikekang, aku benci batasan, sedari dulu aku hanya ingin bebas melalui jalanku sendiri. Namun lagi-lagi aku sama saja dengan bunga tiada daya ini, angin lebih berkuasa. “Aku mau hidup normal dan terlihat kuat terlepas betapa hancurnya aku sebenarnya. Aku nggak mau bikin orang-orang kecewa lagi.” Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kasar, “Aku mau jadi Dandelion aja di kehidupan selanjutnya. Pasrah dan tabah, sesederhana itu hidup mereka.” Ini bukan romansa penuh air mata, bukan juga kisah Sherlock Holmes yang mengagumkan. Jauh lebih dalam dari itu. Ini soal penyembuhan terhadap luka melalui perjalanan dan pengalaman. Sebuah pengajaran tentang pentingnya tekat untuk kembali berdiri dengan tegak. Tentang berharganya diri kita sendiri tak peduli betapa cacatnya dia By: Sindi 9B