CERPEN
PULIH \Sudahkah pandangmu bertandang? Menaruh atensi pada Dandelion malang. Bunga lupa syukur yang ingin terus melayang, berdansa bersama angin di awang-awang. Mengundi nasib dengan begitu riang, membawa harap akan segala terulang. Walau akan hanya tersangkut torso ilalang atau meski hanya akan terhenti di padang gersang. Siklusnya terulang. Namun apa yang nyata justru tak tertangkap mata. Kita tenggelam dalam tipu daya prasangka. Begitu rapuh ia menghadapi coba. Ditiup angin ia bertahan pada tungkainya meski akhirnya harus pasrah melawan arah terpa. Si tak punya aroma hanya punya segudang percaya. Yakin kembali hidup sebagai sosok istimewa. Menjadi sempurna di balik ketiadaan yang dipunya. Dengan si putus asa ia berteman. Bermain dengan para pecinta kesederhanaan. Kuntum putihnya terbang berhamburan. Membawa sejuta doa dan harapan. Jiwa sepi ini ingin lari dari kehampaan. Jiwa penuh kesedihan ini ingin kembali disapa ketabahan. Aku ingin kembali dihidupkan. “Aku lagi banyak tugas, nggak ada waktu buat main-main! Belajar aja sana, jangan ganggu aku!” “Anak nggak berguna, makan uang Ibumu aja bisanya!” “Ibu ini sibuk cari duit! Emangnya kamu mau makan apa kalau Ibu nggak kerja? Ayahmu itu nggak bisa apa-apa!” “Ayah, Ibu, dia gila!” “Bawa anakmu itu ke rumah sakit jiwa! Aku nggak sudi punya anak kaya dia!” “Lili, Ibu minta maaf.” Ingatan ini, aku berharap kepalaku terbentur sesuatu hingga Amnesia. Mereka tak pernah lelah mengusik kepalaku yang kini mulai berdenyut nyeri. Mereka, orang-orang yang kusayang. “Nggak seharusnya kamu ada di dunia ini!” “Dasar gila!” “Nggak ada yang peduli sama sekali sama kamu.” Wanita sarkastik yang sungguh menyebalkan ini adalah aku. Benci mengakuinya, akan tetapi dia tetap bagian dari diriku. Salah satu dari diriku. “Banyak orang yang sebenernya peduli sama kamu,
32
coba jadi lebih terbuka!” “Coba dari orang yang terdekat dulu aja!” Perempuan dengan hati mulia yang menjadi penguatku satu-satunya ini juga adalah aku. Aku yang lain. “Hah, apa yang kau tunggu? Ayo cari teman dan jadi budak mereka!” “Mereka tidak pantas kau sebut teman! Mereka hanya akan menjatuhkanmu.” Datang lagi, dia si sosok kuat yang tak mudah dikalahkan juga turut beradu argumen dalam kepalaku. Berbicara dengan lantang dan begitu mengganggu pikiranku. Gagasannya bodoh dan sialnya ia punya eksistensi yang besar. Seperti dalam lomba debat, mereka saling beradu argumen dengan pikiran masing-masing. Sama kuat, hanya aku yang lemah di sini. Aku tak bisa berpura-pura tuli terhadap kalimatkalimat yang bergaung dalam kepalaku. Tiap frasa itu seakan bergema dalam lorong sepi ini. Dengan mudah menguasai tiap jengkal akal sehatku yang tersisa. Sakit, kepalaku rasanya sakit sekali. Ekor mataku menangkap sesosok pria berjalan dari ujung lorong. Dia berbicara sendiri, mungkin sedang bertelepon. Aku meremat rambutku sendiri saat sakit di kepalaku kian menjadi. Rasa takut, kecewa, dan kesepian berjejalan masuk ke dalam dadaku. Air mataku bercucuran begitu saja ketika rasa sesak ini makin membuncah. Aku menarik ujung snelli yang ia gunakan saat ia lewat di depanku. Aku tak tahu untuk apa ini kulakukan. Hanya saja saat ini aku ingin—seseorang. “Kenapa hm?” Ia berjongkok di hadapanku, melepas tangan kiriku yang semula ada di ujung snelli miliknya lalu menggenggam tanganku dengan jemari besarnya. Aku membisu, enggan menjawab pertanyaannya. “Mau istirahat? Ayo, saya antar ke kamar!” aku menggeleng dengan kepala yang masih tertunduk. “Temani… ke taman…” Lantas yang kudapati adalah anggukan disertai senyum yang mengembang pada wajahnya. Aku mengekori pria dengan langkah lebar ini menuju taman rumah sakit. Sekiranya sudah dekat