SERI INFO PERATURAN
PERATURAN PERHUTANAN SOSIAL TENTANG PENYELESAIAN KONFLIK TENURIAL DAN HUTAN HAK
01 PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG TENTANG PENANGANAN KONFLIK TENURIAL KAWASAN HUTAN 02 PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG TENTANG HUTAN HAK 03 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN TENTANG PROSEDUR DAN TATA CARA VERIFIKASI DAN VALIDASI HUTAN HAK
4
5
KATA PENGANTAR Buku saku ini disusun sebagai salah satu upaya untuk memberikan informasi tentang berbagai peraturan yang terkait dengan kegiatan perhutanan sosial. Dengan adanya buku ini diharapkan akan lebih mudah bagi semua pihak untuk memahami peraturan yang terkait dengan fungsi dan perannya. Dengan demikian diharapkan penyelenggaraan kegiatan perhutanan sosial akan dapat terlaksana secara lebih berdayaguna dan berhasil guna sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan. Kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memfasilitasi penerbitan buku saku ini. Semoga bermanfaat.
Jakarta, September 2016 Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA
6
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
PENANGANAN KONFLIK TENURIAL KAWASAN HUTAN
8
TENTANG PENYELESAIAN KONFLIK
9
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P. 84/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG PENANGANAN KONFLIK TENURIAL KAWASAN HUTAN
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan peran masyarakat dalam pengurusan hutan yang berkelanjutan harus memperhatikan pengakuan dan kedudukan hak masyarakat termasuk masyarakat hukum adat, menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional; b. bahwa pengakuan dan kedudukan hak masyarakat termasuk masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dilaksanakan berdasarkan asas partisipatif, terbuka, berkeadilan, imparsialitas dan kesetaraan, perlu diatur penanganan konflik tenurial kawasan hutan secara bermartabat dengan mengedepankan hak asasi manusia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan;
TENTANG PENYELESAIAN KONFLIK
10
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872); 3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 5059); 5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2012 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5315);
TENTANG PENYELESAIAN KONFLIK
11
6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 5432); 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657); 8. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5608); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16); 10. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Tahun 20142019, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 79/P Tahun 2015;
TENTANG PENYELESAIAN KONFLIK
12
11. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara; 12. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 17); 13. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; 14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat Dalam Hutan Tanaman (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 407), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/Menhut-II/2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 826); 15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 958); 16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.88/Menhut-II/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1495); 17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1496);
TENTANG PENYELESAIAN KONFLIK
13
18. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/ MenLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 713); 19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1025);
Memperhatikan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 2 April 2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TENTANG PENANGANAN KONFLIK TENURIAL KAWASAN HUTAN.
14
BAB 1 KETENTUAN UMUM
15
BAB I KETENTUAN UMUM BAGIAN KESATU Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Konflik Tenurial Hutan adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan. 2. Sekretariat Penanganan Konflik Tenurial Hutan, yang selanjutnya disebut sekretariat adalah sekretariat yang berfungsi menerima pengaduan kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan. 3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 4. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup dan kawasan hutan, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum. 5. Asesmen adalah serangkaian kegiatan penilaian konflik yang dilaksanakan dalam rangka penanganan dan penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan.
BAB 1 KETENTUAN UMUM
16
6. Asesor penanganan konflik tenurial kawasan hutan adalah orang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dan dibuktikan telah memiliki sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. 7. Asesor Independen adalah asesor yang tidak memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dengan para pihak yang berkonflik. 8. Mediasi adalah mekanisme penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan yang menggunakan pihak ketiga netral yang ditunjuk langsung atau disepakati oleh para pihak yang berkonflik sebagai penengah. 9. Pemantauan dan Evaluasi adalah serangkaian kegiatan untuk memastikan pelaksanaan penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan. 10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. 11. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang membidangi perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan.
BAB 1 KETENTUAN UMUM
17
BAGIAN KEDUA TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mengatur penanganan, penyelesaian, pengawasan terhadap pelaksanaan penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan.
Pasal 3 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini terdiri atas: a. permohonan penanganan konflik tenurial kawasan hutan; b. pemetaan konflik tenurial kawasan hutan; c. penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan; dan d. monitoring dan evaluasi penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan.
BAB II PENYELESAIAN KONFILK TENURIAL
18
BAB II PENYELESAIAN KONFLIK TENURIAL BAGIAN KESATU TATA CARA Pasal 4 (1) Perseorangan, Badan Hukum dan/atau Masyarakat Hukum Adat
dapat mengajukan permohonan penanganan konflik tenurial kawasan
hutan kepada Menteri melalui Sekretariat yang membidangi
penanganan pengaduan kasus lingkungan hidup dan kehutanan.
(2) Permohonan penanganan konflik tenurial kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik secara langsung maupun
online dengan mengisi formulir permohonan yang disediakan.
Pasal 5 Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 disertai informasi: a. identitas pemohon antara lain memuat informasi nama, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi; b. pihak yang berkonflik; c. lokasi terjadinya konflik; d. penyebab terjadinya konflik; e. waktu terjadinya konflik; f. kerugian yang timbul akibat konflik; g. tuntutan yang diinginkan; dan h. dokumen pendukung lainnya.
BAB II PENYELESAIAN KONFILK TENURIAL
19
Pasal 6 Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Sekretariat mencatat permohonan dan memberikan tanda terima kepada pemohon.
Pasal 7 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Sekretariat melakukan pemeriksaan objek konflik dan kelengkapan
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Dalam hal objek konflik pemohon terkait dengan konflik tenurial
kawasan hutan, Sekretariat menyampaikan kepada Direktur Jenderal.
Pasal 8 (1) Dalam menangani objek konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (2), Direktur Jenderal membentuk Tim Independen Penanganan
Konflik Tenurial Kawasan Hutan (Tim IPKTKH) paling banyak 3 (tiga)
orang dengan kompetensi ahli di bidang antropologi, hukum dan/atau
sosial kemasyarakatan.
(2) Tim IPKTKH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Direktur
yang membidaangi konflik tenurial kawasan hutan dan bertugas
menelaah data awal konflik sesuai dengan keahliannya.
(3) Hasil telaah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan kepada
Direktur Jenderal.
BAB II PENYELESAIAN KONFILK TENURIAL
20
Pasal 9 (1) Berdasarkan laporan Tim IPKTKH sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (3), Direktur Jenderal membentuk Tim Asesor Penanganan
Konflik Tenurial Kawasan Hutan.
(2) Anggota Tim Asesor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-
kurangnya telah:
a. memiliki sertifikat kompetensi dari Lembaga Sertifikasi
Profesi (LSP); atau
b. mengikuti pelatihan dengan standar kurikulum dan silabus
Diklat Penanganan Konflik yang ditetapkan oleh Pusat
Pendidikan Pelatihan Kehutanan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.
(3) Dalam hal anggota Tim Asesor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum tersedia, Direktur Jenderal menetapkan Asesor Independen.
Pasal 10 (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) Tim Asesor bertugas berdasarkan Pedoman Asesmen Konflik
Tenurial Kawasan Hutan.
(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Direktur Jenderal.
(3) Setelah melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim
Asesor membuat laporan hasil asesmen.
BAB II PENYELESAIAN KONFILK TENURIAL
21
Pasal 11 (1) Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pemenuhan kebutuhan
Tim Asesor Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pemenuhan kebutuhan Tim Asesor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan lembaga
Asesor penanganan konflik.
BAGIAN KEDUA HASIL ASESMEN Pasal 12 (1) Hasil asesmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3),
disampaikan kepada Direktur Jenderal untuk dibahas oleh Tim IPKTKH.
(2) Tim IPKTKH menganalisa hasil Asesmen dan menyampaikannya kepada
Direktur Jenderal.
(3) Dalam hal hasil analisa Tim IPKTKH mengusulkan penyelesaian melalui:
a. mediasi, Direktur Jenderal menunjuk mediator yang bersertifikat
sesuai kesepakatan para pihak yang berkonflik;
b. perhutanan sosial, Direktur Jenderal menugaskan Tim IPKTKH untuk melakukan fasilitasi penyelesaian konflik;
c. penegakan hukum, Direktorat Jenderal melaporkan kepada Menteri
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB II PENYELESAIAN KONFILK TENURIAL
22
BAGIAN KETIGA PELAKSANAAN PENYELESAIAN KONFLIK TENURIAL HUTAN Pasal 13 (1) Pelaksanaan penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan melalui
perhutanan sosial dan mediasi sebagaimana diatur dalam Pasal
12 Ayat (3) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal penyelesaian melalui perhutanan sosial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf b disetujui, dokumen yang ada
dapat digunakan sebagai dasar pengembalian hutan adat, penerbitan
hak Pengelolaan Hutan Desa, izin Hutan Kemasyarakatan, izin Hutan
Tanaman Rakyat atau kemitraan kehutanan.
(3) Tata cara pengembalian hutan adat dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III PEMANTAUAN DAN EVALUASI
23
BAB III PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasal 14 (1) Direktur Jenderal melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
pelaksanaan penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan.
(2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk memastikan para pihak melaksanakan hasil
kesepakatan penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan.
(3) Dalam melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan
penyelesaian konflik dapat membentuk Tim Pemantau dan Evaluasi.
(4) Hasil pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan penyelesaian
konflik dilaporkan kepada Menteri.
(5) Berdasarkan laporan hasil pemantauan dan evaluasi, Menteri
memerintahkan Direktur Jenderal untuk melaksanakan penyelesaian
konflik tenurial kawasan hutan.
BAB IV KETENTUAN PERALIHAN
24
BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 15 Permohonan penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan yang telah diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, penyelesaiannya dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri ini.
BAB V KETENTUAN PENUTUP
25
BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
26
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG HUTAN HAK
28
TENTANG HUTAN HAK
29
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2014, Pemerintah menetapkan status hutan; b. bahwa berdasarkan Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, hutan hak perlu diatur dengan Peraturan Menteri; c. bahwa kewenangan penetapan hutan hak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak sudah tidak sesuai dengan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; d. bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/ PUU-X/2012 hutan adat yang merupakan bagian hutan hak belum diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut- II/2005; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Hutan Hak;
TENTANG HUTAN HAK
30
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
TENTANG HUTAN HAK
31
7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5412); 8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); 9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor 3696); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 12. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Kabinet Kerja Tahun 2014-2019; 13. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);
TENTANG HUTAN HAK
32
1. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 17); 2. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/ Menlhk-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 713)
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN KEHUTANAN TENTANG HUTAN HAK.
BAB 1 KETENTUAN UMUM
33
BAB I KETENTUAN UMUM BAGIAN KESATU Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 3. Hutan Tetap adalah kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan, terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap. 4. Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. 5. Hutan Perseorangan/Badan Hukum adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah atas nama perseorangan/badan hukum.
BAB 1 KETENTUAN UMUM
34
1. Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. 2. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 3. Pemangku Hutan Hak adalah masyarakat hukum adat, perseorangan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam kelompok atau badan hukum yang memiliki hak untuk mengurus hutan hak. 4. Hak atas Tanah adalah hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 5. Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, yang selanjutnya disebut hak ulayat, adalah hak milik bersama masyarakat hukum adat yang diakui oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 6. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. 7. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
BAB 1 KETENTUAN UMUM
35
8. Pengetahuan Tradisional adalah bagian dari kearifan lokal berupa substansi pengetahuan yang diperoleh dari hasil kegiatan olah pikir dalam konteks tradisi, termasuk namun tidak terbatas pada keterampilan, inovasi, dan praktek-praktek dari Masyarakat Hukum Adat yang mencakup cara hidup secara tradisi, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 9. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 10. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 11. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 12. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. 13. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
BAB 1 KETENTUAN UMUM
36
1. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. 2. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. 3. Pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
BAB 1 KETENTUAN UMUM
37
BAGIAN KEDUA MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Pengaturan hutan hak dimaksudkan untuk memberikan jaminan
kepastian hukum dan keadilan bagi pemangku hutan hak dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan hutan lestari.
(2) Tujuan pengaturan hutan hak adalah agar pemangku hutan hak
mendapat pengakuan, perlindungan dan insentif dari Pemerintah
dalam mengurus hutannya secara lestari menurut ruang dan waktu.
(3) Ruang lingkup pengaturan hutan hak meliputi:
a. Penetapan hutan hak;
b. Hak dan kewajiban;
c. Kompensasi dan insentif.
BAB II PENENTUAN HUTAN HAK
38
BAB II PENETAPAN HUTAN HAK BAGIAN KESATU TATA CARA Pasal 3 (1) Hutan berdasarkan status terdiri dari :
a. hutan negara;
b. hutan adat; dan
c. hutan hak.
(2) Hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Hutan adat;
b. Hutan perseorangan/badan hukum.
(3) Hutan perseorangan/badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b antara lain berupa hutan rakyat.
(4) Hutan hak dapat mempunyai fungsi pokok:
a. Konservasi;
b. Lindung;
c. Produksi.
BAB II PENENTUAN HUTAN HAK
39
Pasal 4 1) Masyarakat hukum adat, perseorangan secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dalam kelompok atau badan hukum mengajukan
permohonan penetapan kawasan hutan hak kepada Menteri.
(2) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk koperasi
yang dibentuk oleh masyarakat setempat.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) Menteri melakukan verifikasi dan validasi.
(4) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan dengan mengacu pada pedoman yang disusun dan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal dengan melibatkan para pemangku
kepentingan. (5) Berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Direktur Jenderal atas nama Menteri dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja menetapkan hutan hak sesuai dengan fungsinya.
(6) Areal hutan hak yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dicantumkan dalam peta kawasan hutan.
(7) Dalam hal masyarakat tidak mengajukan permohonan penetapan
hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri bersama
pemerintah daerah melakukan identifikasi dan verifikasi masyarakat
adat dan wilayahnya yang berada di dalam kawasan hutan untuk
mendapat penetapan masyarakat hukum adat dan hutan adat.
BAB II PENENTUAN HUTAN HAK
40
Pasal 5 Syarat permohonan penetapan hutan hak perseorangan/badan hukum meliputi: a. Terdapat hak atas tanah yang dimiliki oleh perseorangan/badan
hukum yang dibuktikan dengan dokumen-dokumen tertulis atau
bukti-bukti tidak tertulis sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-perundangan; b. Terdapat tanah yang sebagian atau seluruhnya berupa hutan; dan c. Surat pernyataan dari perseorangan/badan hukum untuk menetapkan
tanahnya sebagai hutan hak.
Pasal 6 (1) Syarat permohonan penetapan hutan adat meliputi:
a. Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah
diakui oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah;
b. Terdapat wilayah adat yang sebagian atau seluruhnya berupa
hutan;
c. Surat pernyataan dari masyarakat hukum adat untuk menetapkan
wilayah adatnya sebagai hutan adat. 2) Dalam hal produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a tidak mencantumkan peta wilayah adat, Menteri
bersama- sama pemerintah daerah memfasilitasi masyarakat hukum
adat melakukan pemetaan wilayah adatnya.
BAB II PENENTUAN HUTAN HAK
41
Pasal 7 (1) Lahan berhutan dapat ditetapkan menjadi kawasan hutan yang
berstatus sebagai hutan hak sesuai fungsinya berdasarkan persetujuan
pemegang hak atas tanah dan pertimbangan- pertimbangan ekosistem
yang dikomunikasikan oleh Menteri melalui Direktur Jenderal kepada
pemegang hak.
(2) Dalam hal pemegang hak atas tanah keberatan atas penetapan fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan fungsi
sesuai ekosistem dengan memberikan kompensasi dan/atau insentif
sesuai peraturan perundang-perundangan.
(3) Dalam hal areal yang dimohonkan sebagai hutan hak masih terdapat
konflik dengan pemegang izin atau pemangku hutan yang lain,
Menteri mencadangkan areal hutan hak dan memerintahkan pejabat
yang berwenang dalam lingkup tugasnya untuk menyelesaikan konflik
yang menyangkut kewenangan Menteri dalam waktu paling lambat 90
(sembilan puluh) hari kerja.
Pasal 8 (1) Penetapan hutan hak oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) dan ayat (2), mengacu pada rencana tata ruang wilayah
(RTRW). (2) Dalam hal RTRW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
menampung keberadaan hutan hak, maka kawasan hutan hak tersebut
diintegrasikan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah berikutnya.
menelaah data awal konflik sesuai dengan keahliannya.
BAB II PENENTUAN HUTAN HAK
42
Pasal 9 (1) Peralihan hak atas tanah yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan
hak tidak dapat mengubah fungsi hutan tanpa persetujuan Menteri.
(2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan peraturan mengenai perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan yang berlaku.
(3) Dalam hal anggota Tim Asesor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum tersedia, Direktur Jenderal menetapkan Asesor Independen.
BAB III HAK DAN KEWAJIBAN
43
BAB III HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 10 (1) Hak pemangku hutan hak meliputi:
a. mendapat insentif;
b. mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan
pencemaran lingkungan;
c. mengelola dan memanfaatkan hutan hak sesuai dengan kearifan
lokal;
d. memanfaatkan dan menggunakan pengetahuan tradisional dalam
pemanfaatan sumber daya genetik yang ada di dalam hutan hak;
e. mendapat perlindungan dan pemberdayaan terhadap kearifan
lokal dalam perlindungan dan pengelolaan hutan hak;
f. memanfaatkan hasil hutan kayu, bukan kayu dan jasa lingkungan
sesuai dengan fungsi kawasan hutan; dan/atau
g. memperoleh sertifikat Legalitas Kayu.
(2) Kewajiban pemangku hutan hak meliputi:
a. mempertahankan fungsi hutan hak;
b. menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari;
c. memulihkan dan meningkatkan fungsi hutan; dan
d. melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap hutannya
antara lain perlindungan dari kebakaran hutan dan lahan.
BAB III HAK DAN KEWAJIBAN
44
Pasal 11 Direktur Jenderal dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertugas untuk:
a. memberikan pelayanan kepada pemangku hutan hak;
b. memenuhi hak-hak pemangku hutan hak;
c. mengakui dan melindungi kearifan lokal;
d. memfasilitasi pembagian manfaat yang menguntungkan dan adil
dari pemanfaatan sumber daya genetik dalam hutan hak;
e. memfasilitasi penguatan kelembagaan dan kapasitas pemangku
hutan hak;
f. mencegah perubahan fungsi hutan hak;
g. memfasilitasi pengembangan teknologi, bantuan permodalan dan
pemasaran, serta promosi hasil hutan kayu, bukan kayu dan jasa lingkungan;
h. memfasilitasi pengembangan kewirausahaan sosial (social
enterpreneurship);
i. memfasilitasi perolehan sertifikat Legalitas Kayu;
j. memfasilitasi pemerintah daerah dalam hal pembuatan peta hutan
adat
Pasal 12 Menteri dapat memfasilitasi pemerintah daerah untuk menyusun produk hukum yang mengakui masyarakat hukum adat atau hak ulayat.
BAB IV KOMPENSASI DAN INSENTIF
45
BAB IV KOMPENSASI DAN INSENTIF Pasal 13 (1) Dalam hal hutan hak ditetapkan berfungsi konservasi dan lindung yang
mengakibatkan terbatasnya akses pemangku hak pada kawasan hutan,
Menteri memberikan kompensasi kepada pemangku hak.
(2) Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan besarnya kompensasi
yang dimaksud pada ayat (1) secara periodik sesuai dengan kondisi dan
fungsi kawasan hutan.
(3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa prioritas
untuk mendapatkan program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
huruf g dan huruf h.
Pasal 14 Menteri dan pemerintah daerah memberikan insentif kepada pemangku hutan hak, antara lain berupa :
a. tidak memungut PSDH hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta iuran
pembayaran jasa lingkungan;
b. memberikan rekomendasi keringanan pajak bumi dan bangunan;
BAB IV KOMPENSASI DAN INSENTIF
46
c. kemudahan dalam mendapatkan pelayanan perijinan usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta jasa lingkungan;
d. kemudahan dalam pelayanan ekspor hasil hutan kayu dan
bukan kayu;
e. pengakuan atas imbal jasa lingkungan dari usaha atau pemanfaatan
oleh pihak ketiga;
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
47
BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 15 Hutan Adat yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah dinyatakan tetap berlaku dan ditetapkan sebagai hutan hak sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri ini.
BAB VI KENTENTUAN PENUTUP
48
BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN
PROSEDUR DAN TATA CARA VERIFIKASI DAN VALIDASI HUTAN HAK
PROSEDUR DAN TATA CARA VERIFIKASI DAN VALIDASI HUTAN ADAT
52
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN NOMOR : P.1/PSKL/SET/KUM.1/2/2016 TENTANG TATA CARA VERIFIKASI DAN VALIDASI HUTAN HAK Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
PROSEDUR DAN TATA CARA VERIFIKASI DAN VALIDASI HUTAN ADAT
53
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 48; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4833);
6. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas
dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan
Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014;
7. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan
Kementerian dan Pengangkatan Kabinet Kerja Tahun 2014-2019;
8. Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas
dan Fungsi Kabinet Kerja;
9. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
PROSEDUR DAN TATA CARA VERIFIKASI DAN VALIDASI HUTAN ADAT
54
10. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/
Menlhk-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
11. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/
Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak;
MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN TENTANG TATA CARA VERIFIKASI DAN VALIDASI HUTAN HAK.
BAB I KETENTUAN UMUM
55
BAB I KETENTUAN UMUM BAGIAN KESATU Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. 2. Hutan perseorangan/ badan hukum adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah atas nama perseorangan/badan hukum. 3. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat. 4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 5. Pemohon hutan hak adalah Masyarakat Hukum Adat, perseorangan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam kelompok atau badan hukum yang memiliki hak untuk mengurus hutan hak. 6. Validasi adalah penelahaan terhadap kelengkapan dokumen permohonan.
BAB I KETENTUAN UMUM
56
7. Verifikasi adalah penelaahan administrasi dan teknis terhadap pemohon dan Hutan Hak di lapangan. 8. Hutan hak yang dimohon adalah kawasan hutan atau lahan berhutan di luar kawasan hutan yang dimohonkan sebagai hutan hak. 9. Hak atas tanah adalah hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 10. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. 11. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. 13. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. 14. Direktur adalah Direktur yang membidangi Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat. 15. Pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
BAB I KETENTUAN UMUM
57
16. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disingkat UPT adalah Unit Pelaksana Teknis yang membidangi Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan atau UPT yang ditugasi oleh Direktur Jenderal untuk menangani perhutanan sosial. 17. Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial selanjutnya disebut Pokja PPS adalah kelompok kerja yang menangani percepatan penyelenggaraan perhutanan sosial.
BAGIAN KEDUA MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan panduan tata cara
pelaksanaan verifikasi dan validasi hutan hak secara transparan,
partisipatif, akuntabel, dan tidak diskriminatif dengan memberikan
kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan.
(2) Verifikasi dan validasi hutan hak bertujuan agar pemangku hutan hak
mendapat kepastian prosedur dalam pengakuan hutan hak.
(3) Ruang lingkup pedoman verifikasi dan validasi hutan hak meliputi:
a. pengajuan permohonan hutan hak;
b. validasi dokumen permohonan hutan hak; dan
c. verifikasi pemohon dan calon Hutan Hak.
BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN HUTAN HAK
58
BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN HUTAN HAK Pasal 3 Permohonan hutan hak diajukan oleh : a. orang perseorangan; b. badan hukum berbentuk koperasi yang dibentuk oleh masyarakat
setempat; dan/ atau
c. masyarakat hukum adat.
Pasal 4 (1) Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diajukan kepada
Menteri dilengkapi dokumen permohonan hutan hak dengan formulir
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
(2) Dalam mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemohon dapat difasilitasi oleh UPT, Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH), Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Perum Perhutani, Kelompok
Kerja Percepatan Perhutanan Sosial setempat (Pokja PPS), perguruan
tinggi setempat, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat.
(3) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan antara lain
untuk pembuatan peta sebagai lampiran permohonan hutan hak
kepada Menteri.
BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN HUTAN HAK
59
Pasal 5 (1) Dokumen permohonan hutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) terdiri atas:
a. data pemohon;
b. data hutan hak yang dimohon, dalam bentuk numerik dan spasial;
c. surat pernyataan dari pemohon untuk menetapkan tanahnya atau
wilayah adatnya sebagai hutan hak. (2) Data pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk
perorangan dan badan hukum terdiri atas:
a. nama pemohon;
b. nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemohon;
c. alamat pemohon; dan/ atau
d. nomor akte pendirian dan perubahan khusus untuk badan hukum.
(3) Data pemohon hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk
Masyarakat Hukum Adat terdiri atas:
a. nama Masyarakat Hukum Adat;
b. nama ketua atau pemimpin Masyarakat Hukum Adat;
c. alamat domisili Masyarakat Hukum Adat;
d. peraturan daerah mengenai pengakuan Masyarakat Hukum Adat
atau produk hukum daerah lain jika berada di luar kawasan hutan; dan e. profil Masyarakat Hukum Adat yang memuat sejarah, silsilah adat,
hukum adat, sosial, ekonomi dan budaya.
BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN HUTAN HAK
60
(4) Data hutan hak yang dimohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas:
a. letak dan luas hutan hak yang dimohon;
b. batas-batas hutan hak yang dimohon;
c. bukti hak atas tanah; dan
d. peta lokasi hutan hak yang dimohon.
(5) Peta lokasi hutan hak yang dimohon sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf d harus memenuhi ketentuan:
a. peta dasar dengan skala 1:50.000 atau disesuaikan dengan luasan
hutan hak yang dimohon menggunakan sistem koordinat peta geografis;
b. isi peta paling sedikit memuat batas yang dimohon hutan hak;
c. untuk permohonan hutan hak perseorangan/badan hukum, peta
ditandatangani oleh pemohon dan diketahui oleh kepala desa, camat, kepala dinas provinsi dan/atau kabupaten/kota yang membidangi urusan pertanahan, lingkungan hidup dan/atau kehutanan;
d. untuk permohonan hutan adat dalam satu kabupaten/kota, peta
wilayah adat harus ditandatangani oleh bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk oleh bupati/walikota; dan
e. untuk permohonan hutan adat lintas kabupaten/kota, peta wilayah
adat harus ditandatangani oleh gubernur atau pejabat yang ditunjuk oleh gubernur; dan
f. untuk permohonan hutan adat lintas provinsi, peta wilayah adat
difasilitasi oleh Direktur Jenderal.
BAB III VALIDASI DOKUMEN PERMOHONAN HUTAN HAK
61
BAB III VALIDASI DOKUMEN PERMOHONAN HUTAN HAK Pasal 6 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Direktur atas nama Direktur Jenderal melakukan validasi.
(2) Validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
kelengkapan dokumen permohonan hutan hak dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
(3) Validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 3
(tiga) hari kerja sejak dokumen permohonan diterima.
Pasal 7 (1) Dalam hal validasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2)
memenuhi persyaratan, Direktur melakukan verifikasi lapangan.
(2) Dalam hal validasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) tidak
memenuhi persyaratan, Direktur dalam waktu 3 (tiga) hari
mengembalikan permohonan kepada pemohon untuk dilengkapi.
BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN HUTAN HAK
62
(3) Untuk melengkapi permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemohon dapat difasilitasi oleh Pokja PPS.
(4) Permohonan yang telah dilengkapi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diajukan kembali kepada Menteri.
BAB IV VERIIFIKASI PEMOHON DAN HUTAN HAK
63
BAB IV VERIFIKASI PEMOHON DAN HUTAN HAK Pasal 8 (1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilaksanakan
oleh Tim Verifikasi yang dibentuk oleh Direktur.
(2) Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur:
a. Direktorat Jenderal;
b. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
c. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi/
Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan;
d. UPT; dan/atau
e. Pokja PPS/ LSM
(3) Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketuai oleh unsur
Direktorat Jenderal.
Pasal 9 Tim Verifikasi melaksanakan tugas di lapangan untuk memastikan: a. keberadaan dan keabsahan pemohon maupun dokumen permohonan; b. keberadaan dan keabsahan hutan hak yang dimohon; c. kondisi tutupan lahan; dan d. keberadaan hutan adat di dalam tata ruang provinsi dan kab/ kota.
BAB IV VERIIFIKASI PEMOHON DAN HUTAN HAK
64
Pasal 10 Verifikasi keberadaan dan keabsahan pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dilakukan melalui pertemuan langsung dengan pihak pemohon dan disaksikan oleh kepala desa atau sebutan lainnya.
Pasal 11 Verifikasi keberadaan dan keabsahan objek hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b dilakukan dengan cara: a. tumpang susun peta objek hutan hak yang dimohon dengan peta
kawasan hutan dan/atau peta pengelola hutan atau peta pemegang
izin pemanfaatan hutan dengan menggunakan program Sistem
Informasi Geografis (SIG); dan
b. pencocokan batas objek hutan hak yang dimohon antara di peta
dengan batas di lapangan dengan menggunakan alat Global Positioning
System (GPS).
Pasal 12 Verifikasi kondisi tutupan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c dilakukan dengan melihat secara visual areal: a. berhutan; atau b. tidak berhutan
Pasal 13 (1) Hasil verifikasi dituangkan dalam Berita Acara Hasil Verifikasi Hutan
Hak dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
BAB IV VERIIFIKASI PEMOHON DAN HUTAN HAK
65
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. identitas pemohon; b. letak dan luas hutan hak; c. keabsahan pemohon dan hutan hak yang dimohon; d. kondisi tutupan lahan; dan e. luas hutan hak yang masuk kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. (3) Berita Acara Verifikasi hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh ketua Tim dan disetujui oleh pihak pemohon.
(4) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Direktur Jenderal.
(5) Verifikasi dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak terbitnya
surat perintah tugas bagi Tim Verifikasi.
Pasal 14 (1) Berdasarkan Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(4), Direktur Jenderal dalam waktu 5 (lima) hari kerja melapor kepada
Menteri; (2) Direktur Jenderal untuk atas nama Menteri, menetapkan hutan hak
sesuai dengan fungsinya.
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
66
BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 15 Verifikasi dan validasi yang telah dilakukan sebelum Peraturan ini diterbitkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan ini.
BAB VI KETENTUAN PENUTUP
67
BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
68
69
LAMPIRAN 1. FORMULIR PERMOHONAN HUTAN HAK 2. SURAT PERNYATAAN 3. FORMULIR VALIDASI DOKUMEN PERMOHONAN HUTAN HAK 4. BERITA ACARA VERIFIKASI HUTAN HAK 5. FORMULIR VERIFIKASI HUTAN HAK
70
71
LAMPIRAN 72
LAMPIRAN 73
LAMPIRAN 74
LAMPIRAN 75
LAMPIRAN 76
LAMPIRAN 77
LAMPIRAN 78
LAMPIRAN 79