Majalah Ganesha: Zine Kaderisasi

Page 1


Kontributor: Farhad Zamani // Hanafi Kusumayudha // Ismail Faruqi // M. D. Larasati // Muhammad Rushdi // Renanda Yafi Atolah // Reynaldi Satrio Nugroho Layouter: A. Putri Mirauli Ilustrasi: Devi Kava N.


Ketua OSKM ITB 2017: OSKM itu Awal Kaderisasi, Bukan Kaderisasi Awal. Oleh: Muhammad Rushdi (Oseanografi 2015) Beberapa waktu lalu, Majalah Ganesha mewawancarai Ketua OSKM 2017, Agung Cahyo Syamsu (Teknik Geofisika 2014). OSKM merupakan ajang kaderisasi terbesar di ITB dengan melibatkan seluruh mahasiswa yang baru masuk beserta panitia yang juga berjumlah ribuan. Tak berhenti di situ, dana yang dikucurkan oleh pihak rektorat pun tak bisa dibilang sedikit. Sekitar dua puluh persen dana kemahasiswaan atau hampir seperempat dari total dana yang diperuntukkan untuk kegiatan kemahasiswaan dialirkan ke kegiatan ini. Menjadikan OSKM sebuah event yang begitu megah dengan segala mata acara dan pernak-pernik yang menghiasinya. Padahal jika ditilik dari sejarah OSKM diadakan, kegiatan ini ditujukan untuk menyiapkan aksi gerakan mahasiswa melawan pemerintah dan militer. Dengan meninjau sejarah ini, mungkin dapat ditarik benang merah mengapa panitia lapangan, yang terdiri dari mentor, medik, dan keamanan, selalu ada di rangkaian kegiatan OSKM di tiap tahunnya. Untuk itu. menjadi menarik bagaimana mengetahui konsep OSKM ini lewat ketua acara itu sendiri. Tak hanya berbicara seputar OSKM tahun ini, kami pun membahas soal kaderisasi, mahasiswa, dan kondisi Indonesia belakangan.


Kenapa mencalonkan diri jadi ketua OSKM 2017? Aku tertarik pada pembentukan manusia. Dulu pernah coba di bidang karya dan sebagainya tapi ternyata bidang itu sendiri adalah produk lanjutan dari kaderisasi. Produk utama dan contoh keberhasilannya kan manusianya, dan aku tertarik di situ daripada bidang lain. Dan aku lihat OSKM ini adalah awal kaderisasi, bukan kaderisasi awal. Segala baik buruknya tentang kemahasiswaan bagi mahasiswa baru tergantung di OSKM-nya. Dari OSKM sendiri banyak orang yang jadi motor penggerak di KM ITB dan membuat KM ITB jadi lebih baik lagi. Awal mencalonkan diri jadi ketua OSKM memang inisiatif sendiri atau ada dorongan dari pihak luar? Intergrasi 2016 aku jadi panitia pengawas (panwas) dan aku mengerti pelaksanaannya. Dari situ memacu aku untuk ingin jadi ketua. Tapi saat itu pun aku sebetulnya ingin menghilang dulu dari kegiatan kemahasiswaan sehingga keinginan maju jadi ketua OSKM pun aku anggap angin lalu. Tapi memang ada teman yang meyakinkan untuk mencoba dulu saja karena memang ada mimpi yang ingin dibawa. Jadi modalku dari pengalaman, keinginan dan dorongan teman. Saya tertarik dengan pernyataan Agung yang bilang sempat ingin menghilang dari kemahasiswaan. Setelah ikut mendiklat divisi mentor tahun lalu, aku akui kalau aku merasa capai dan ingin istirihat. Lalu aku isi dengan kegiatan yang beda banget. Aku sempat ikut Swiss Innovation Challenge (lomba tentang business idea) dan Robinhood MTI ITB (lomba tentang pengabdian masyarakat). Di Robinhood MTI ITB aku bersama tiga temanku yang lain berhasil masuk 5 besar dengan mengangkat UKM katering di Bandung dan kami satu-satunya peserta yang tidak bawa nama himpunan. Dari situ aku mendapatkan bahwa kalau kita ada minat gerak ke suatu hal, entah itu bidang karya, sosial masyarakat, atau organisasi, dan kita mencoba, ternyata hasilnya bisa seperti itu. Daripada teman-teman himpunan yang punya divisi tersendiri dan alur pikir yang aku tidak mengerti bagaimana (tertawa), kita yang cuma minat doang ternyata bisa. Dan aku yakin banyak teman-teman yang mampu dan bagus dalam hal ide tapi tidak mau mencoba, dalam hal ini berkarya. Temanku pernah bilang kalau yang pada akhirnya menang bukan yang terbaik tapi yang mau mencoba. Menurut Agung, apa yang membuat kamu menang di pemilihan ketua OSKM kemarin? Konsep yang kubawa lebih mudah diaplikasikan (feasible). Misalnya, waktu Galih (calon ketua OSKM 2017 lain), membawa ide mentor untuk satu tahun dan akan menjaga track record kemahasiswaan. Aku tidak pernah berpikir seperti itu dan menurutku itu tidak memungkinkan di realisasinya nanti. Jadi, pertama, feasibility kami unggul. Kedua, kami selaras dengan kabinet. Kami mempertimbangkan bahwa OSKM ini juga bagian dari Kabinet KM ITB dan yang dibawa OSKM, bagaimanapun, mesti selaras dengan yang dibawa Kabinet KM ITB. Kita punya tanggung jawa membentuk orang-orang untuk Kabinet KM ITB tahun ini. Ketiga, aku unggul basis massa. Basis kami panitia lapangan (Panlap) yang tersebar di semua himpunan. Hampir semua himpunan aku kenal orang yang latarbelakangnya mentor. Bukan sekadar kenal tapi aku jadi bisa ambil sampel bagaimana OSKM yang lebih baik lagi bagi massa kampus. Dalm pengonsepan, kami tidak menutup diri saat roadshow. Dibantu dari orang-orang yang sebenarnya tidak bisa gabung karena ring satu di organisasi lain tapi aku dapat banyak ide bagus dari mereka. Padahal dulu kami cukup ‘berlari’ saat menyusun strategi karena Galih start lebih awal, sekitar sebulan lebih cepat dari kami. Bagaimana basis massa dari unit? Aku berstrategi kalau sebenarnya basis massa KM ITB itu himpunan sehingga yang


kami kejar lebih dulu adalah massa himpunan. Massa unit pun banyak mentornya sebetulnya tapi pendekatannya tidak begitu intens. Unit aku GAMAIS doang karena aku aktif di sana. Apa yang membedakan OSKM tahun ini dengan yang sebelum-sebelumnya? Selain apa yang kami bawa, kami juga eksplor metode. Beberapa mata acara kami coba rebranding, seperti seminar/talkshow kami datangkan orang-orang yang sudah bergerak. Waktu bagi pembicara pun tidak terlalu lama, cuma 15-20 menit, dan lebih banyak komunikasi dua arahnya. Mata acara ini terinspirasi dari TedTalk. Selain itu ada yang kami sebut Lingkar Pergerakan. OSKM melibatkan banyak orang, 4000 mahasiswa baru dan 2000 panitia. Kami terinspirasi dengan Forum Indonesia Muda. Di forum itu ada jejaring yang didapat dan kenapa ini tidak bisa diaplikasikan di OSKM, menurut kami. Kami juga terinspirasi dari Student Catalyst yang aku sempat coba, dan konsep SC sendiri motivasinya mempertemukan orang-orang yang ingin achieve lebih. Konsep ini coba dibawa ke OSKM, dengan mempertumakan orang-orang yang ingin berkarya di bidang karya, sosial-politik (sospol), dan sosial masyarakat (sosmas). Kalau selama ini jejaring yang didapat hanya nama dan jurusan saja, kenapa kita tidak bisa tahu ada orang yang punya tujuan dan semangat yang sama dengan kita. Dari Kabinet sendiri ingin ikut menjaga Lingkar Pergerakan ini. Lingkar ini sebetulnya terbentuk secara alami sesimpel perangkat-perangkat OSKM yang ngobrol tentang kaderisasi yang lebih baik, dan sebagainya. Tapi untuk bidang sosmas dan karya masih kurang. Dulu DDAT (Diklat Dasar Aktivis Terpusat) bisa membentuk lingkar seperti ini tapi kami ingin orangnya tidak sesedikit itu. Kenapa OSKM sepenting itu sehingga mendapatkan dana yang banyak, 600-700 juta dari total dana kemahasiswaan sebesar 3 miliar Rupiah, dari pihak kampus? Lembaga Kemahasiswaan ITB (LK) ingin penyambutan ini tidak menjadi perpeloncoan. Untuk membuat mahasiswa baru senang dengan OSKM ini akan ada perform dan sebagainya. OSKM ini juga awal kaderisasi dan jujur, bagi TPB sendiri, yang terpenting adalah impresi. Dan impresi tidak sesederhana itu. Dari segi panitia, banyak pula yang terlibat dengan diklat yang begitu intens. Dari diklat ini kami ingin bentuk orang ideal dengan tujuan KM ITB, bukan wadah yang disesuaikan dengan orangnya. Kenapa hal-hal yg diangkat di OSKM setiap tahun berbeda? Kenapa tidak dibuat sama supaya profil tiap tahun sama dan untuk menuju ke yg idealnya ruk? Aku kan ambil analisis kondisi (analkon) internal (dokumen KM ITB, RUK) dan eksternal, yg terjadi di luar KM ITB. Dan kita ingin menciptakan sesuatu yang ideal, entah itu RUK (Rancangan Umum Kaderisasi) atau apapun, dengan lebih luwes. Saya tidak tahu apakah RUK sebetulnya masih relevan atau tidak. Maka dari itu ia perlu dibenturkan dengan kondisi eksternal, hal-hal yang ada hari ini. Dari sini, diharapkan kader akan adaptif dengan hal-hal yang selalu berubah di dunia luar. Kita tidak bisa hanya memegang RUK saja. Sehingga OSKM yang berubah-ubah tiap tahun adalah usaha dialog dengan perubahan zaman. RUK dibuat bertahun-tahun yang lalu (2010) dan sehebat apapun orang, ia mesti tahu kondisi hari ini. Apa hal yang dibawa Agung di OSKM ini yang merupakan hasil dialektika RUK dengan kondisi hari ini? Semangat pergerakan. Intinya ada tiga bidang untuk berkarya: sosmas, sospol, dan karya. Banyak orang yang bilang ingin berkontribusi ke masyarakat tapi juga mengelak dengan berkata, “Itu bisa nanti� padahal sekarang mereka punya sesuatu. Kenapa mereka tidak mau? Di sini aku membenturkan identitas dengan pergerakan di tiga bidang itu. Kebanggan terhadap KM ITB bisa dibilang sangat kecil jika dibandingkan dengan kebanggaan terhadap himpunan. Menurut Agung, kenapa tidak ada arogansi/nasionalisme atas KM ITB? Pertama, himpunan jauh lebih dulu terbentuk dan dari situ dasar setiap orang. Tiap orang ingin punya/berada, berkumpul dengan orang-orang yang mirip entah itu ketertarikan, ranah studi, atau apapun. Dan mereka lebih mudah menemukan itu di himpunan dengan orang-orang yg lebih homogen, dibandingkan dgn KM ITB dengan jumlah orang yg jauh lebih banyak. Dan dari cara terbentuknya pun berbeda. KM ITB kan sesuatu yg diidamidamkan. Sebuah cita-cita besar yang kita masih perjuangkan, agar orang-orang merasa sistem ini yg terbaik. Ada hal-hal yg lebih baik dilakukan di bawah KM ITB, seperti aksi atau pergerakan di ranah sospol. Menurut Agung, perlukah mahasiswa ITB punya ketertarikan terhadap KM ITB? Semua mahasiswa ITB mestinya punya ketertarikan terhadap KM ITB. Karena dulu KM ITB dibentuk dari diskusi yang panjang, hingga hari ini KM ITB berdiri dengan sitem yg ada sekarang. Tapi orang-orang belum sadar akan hal ini


padahal KM ITB menyediakan lebih banyak yang ada di himpunan maupun unit, untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Di sini letak pentingnya orang-orang perlu paham dengan KM ITB. Jika dihubungkan dengan OSKM, Diklat Terpusat (Dikpus) adalah usaha mengenalkan sistem KM ITB ke mahasiswa tingkat dua. Sementara, bisa dibilang, Dikpus tidak dipersiapkan lebih baik dari Diklat Divisi (Dikdiv) seperti adanya chaos di hari pertama Dikpus tahun ini ataupun waktu yang jauh lebih pendek. Ditambah lagi Dikdiv terkesan sangat rapi dengan adanya kepala sekolah dan perangkat-perangkatnya. Padahal Dikpus sangat besar tanggungannya sementara Dikdiv, kalau boleh dibilang, hanya pembekalan panitia dalam hal teknis di hari H. Kenapa seperti demikian? Di Dikpus yang diajarkan adalah hal yang fundamental, seperti sistem KM, visi misi OSKM, dan sebagainya. Dan untuk dikdiv, jika dibilang hanya untuk keperluan hari H ya tidak juga. Kami menitipkan ke pendiklat, kepsek, dsb untuk menanamkan profil RUK di Dikdiv itu. Dan Dikpus sependek itu karena ada satu masalah: sumber daya manusia (SDM). Lucunya, orang yang daftar untuk jadi pendiklat Dikpus jauh lebih sedikit dari Dikdiv. Di sini, aku akui bahwa memang ada arogansi divisi yang sangat terasa. Misalnya divisi keamanan, di Dikpus ga biasa ngementor sehingga bingung kalo ikut ke Dikpus mau berbuat apa. Dan kami jug aliat di Dikdiv ini lebih kecil scope nya sehingga bisa serapi itu. Profesionalisme divisi ya tidak ada. Materi dasar, identitas mahasiswa, visi misi OSKM dsb mesti diulang lagi di Dikdiv. Lalu untuk perangkat, kami berpesan ke mereka bahwa mereka bukan cuma untuk tiga hari OSKM tapi akan menjadi orang-orang terakhir yang berdiri di KM ITB, termasuk Komandan Lapangan (Danlap), sampai orang-orang keluar dari KM ITB. Perangkat dapat pembelajaran lebih dan mestinya punya tanggungjawab buat menyampaikan ke orang banyak. Dulu ada anggapan bahwa tiga kaderisasi terbaik Indonesia dilakukan oleh PKI, ITB, dan TNI. Menurut Agung, kenapa ITB bisa ada di daftar itu dan bagaimana kondisinya hari ini? Berdasarkan sejarah, ITB dengan metode lapangannya sangat berhasil membentuk orang. Banyak sekali monumen di ITB, seperti ITB 78 dan ITB 82 karena dulu mereka sangat solid satu angkatan. Dan dulu ITB menghasilkan pelopor-pelopor di bidang kemahasiswaan buktinya terbit Buku Putih ITB 1978. OSKM juga dulu makan waktu lama, dibanding sekarang yang cuma beberapa hari. Untuk sekarang, kita masih mencari metode yang cocok dengan generasi hari ini dan bisa disebut masa transisi metode karena dirasa keluarannya tidak sebagus dulu dilihat dari profil kader yang dihasilkan. Dan jujur, kita tidak bisa lagi disebut pelaku kaderisasi terbaik. Kenapa metode lapangan tidak cocok lagi untuk anak-anak hari ini? Karena generasinya berbeda. Arus informasi dulu beda dengan sekarang dan arus informasi serta budaya ikut “mengkader� generasi hari ini. Musuh bersama pun berpengaruh. Jika konteksnya persatuan, sekarang tidak ada common enemy, yang membuat orang-orang merasa penderitaan yang begitu besar seperti di zaman Soeharto. Bagaimana tanggapan Agung soal pembatasan dari pihak rektorat terhadap ruang kaderisasi mahasiswa seperti Osjur yang hanya boleh 5 hari? Aku rasa komunikasi dari rektorat terlalu satu arah. Teman-teman mahasiswa pun merasa tidak sesuai dengan kebijakan dari rektorat terhadap keperluan kaderisasi karena duduk bersama pun jarang. Berapa kali sih mereka (rektorat) duduk bersama kita untuk berdialog? Kopi Sore (Kopsor) jatuhnya lebih ke sosialisasi daripada dialog. Kita dibuat menerima saja keputusan mereka, jadi saya pun menyayangkan kondisi seperti ini. Pembatasan ini jadi salah satu faktor dari melempemnya kaderisasi kita, meskipun bukan faktor utama. Kaderisasi dianggap sebagai proses penurunan nilai. Nilai apa sih yang membuat mahasiswa ITB menjadi mahasiswa ITB? Apa ciri nilai mahasiswa ITB idealnya? Atau memang tidak ada? Kalau nilai kita mengacu ke beberapa hal. Dari Konsepsi KM ITB sebenarnya ada nilai-nilai yang terkandung. Rektorat pun sebetulnya menitipkan nilai yang perlu disampaikan ke mahasiswa ITB seperti integritas, cinta tanah air, dsb. Tapi untuk nilai dari rektorat ini belum turun-temurun. Mungkin untuk nilai dari Konsepsi KM ITB saja seperti kepeloporan, persatuan, dll. Di tiap Osjur rasanya selalu disampaikan di tiap himpunan bahkan unit. Seberapa penting sih peran kaderisasi untuk organisasi menurut Agung? Penting karena organisasi punya tujuan saat terbentuk dan untuk menuju tujuan itu butuh orang dengan profil tertentu. Dan profil tersebut dibentuk pada kaderisasi. Jadi sepenting itu. Saya ingin membahas soal mahasiswa. Sekarang demo/aksi ke jalanan dianggap tidak efektif lagi. Setujukah Agung dengan anggapan ini? Aku tidak setuju. Karena Kabinet KM ITB sekarang sangat ‘eksternal’ dan aku amati dari aksi-aksi yang mereka lakukan belakangan sangat berdampak. Beberapa waktu lalu saat Kapolri akan mengisi kuliah Stadium Generale,


Ardhi (Presiden KM ITB) sampai dichatÂŹ oleh alumni supaya ITB jangan sampai bikin aksi aneh-aneh saat Kapolri datang ke ITB. Dari situ aku lihat kalau ITB punya bargaining position-nya sebesar itu. Dan kabarnya pun dari aksiaksi itu bisa sampai audiensi dengan MPR atas tindak lanjut aksi. Bagi Agung sendiri, apakah mahasiswa harus selalu ‘turun ke jalan’ jika dirasa ada yang tidak beres? Aku setuju dengan itu. Karena pemerintah memang sebutuh itu untuk diawasi oleh kita dan pengawasan ini harus kontinu. Dan itu harus kita selalu lakukan bahkan hanya untuk kesalahan kecil. Selain itu, ini berguna untuk memupuk pergerakan politik supaya aksi-aksi ini jadi budaya dan orang-orang sadar pentingya bergerak secara sosial politik. Bagaimana pergerakan mahasiswa yang seringkali dianggap ditunggangi oleh kepentingan elit politik? Sikap apapun yang diambil oleh mahasiswa akan selalu dianggap tunggangan politik karena politik identik dengan kepentingan. Dan kepentingan tiap orang berbeda. Misal kita mendukung pelemahan KPK maka otomatis kita dianggap mendukung partai yang juga mendukung pelemahan KPK. Dan sebaliknya. Yang aku garis bawahi adalah anggapan kalau mahasiswa selalu ditunggangi kepentingan eksternal. Sementara untuk kasus pergerakan yang benar-benar ditunggangi oleh kepentingan politik, saya kira bisa dihindari. Dengan catatan bagaimana kita bersikap. Kalau kita mengerti betul kemahasiswaan, bahwa itu adalah jalan untuk mencapai tridarma perguruan tinggi, itu akan bisa dihindari. Soal isu-isu perpecahan yang belakangan terasa makin mengkhawatirkan di Indonesia sampaisampai Pak Jokowi pun bilang bahwa semua yang anti-pancasila digebuk saja. Bagaimana tanggapan Agung soal hal ini. Aku mulai dari aksi Kabinet KM ITB yang dilakukan saat Dikpus lalu yang menurutku positif karena ingin menyebarkan pesan bahwa Indonesia sebenarnya masih bersatu, dengan segala gimmick dari Ardhi (tertawa). Lalu untuk kondisi sekarang memang tidak dimungkiri sedang kacau. Dan dulu aku baca buku Indonesia Emas 2045, yang isinya forecast atau skenario Indonesia di masa depan, diebutkan bahwa orang-orang akan tetap mempertahankan Indonesia dengan hubungan integrasi fungsional. Maksudnya daerah-daerah, misalnya, tetap terhubung atas dasar memenuhi kebutuhan materiil. Sulit untuk hubungan integrasi historis. Dan aku lihat, sampai presiden pun berkata seperti itu, takutnya akan mempengaruhi rakyat. Contoh kecilnya jika Koordinator Lapangan (Korlap) suatu acara terlihat panik pastilah anak buahnya akan terbawa panik. Padahal seharunya pemimpin itu mendinginkan suasana. Padahal kondisi awalnya tidak sekacau ini tapi karena ada pihak yang ikut mengkompori sampai seperti sekarang. Bagaimana dengan organisasi yang dibubarkan karena dianggap anti-pancasila seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)? Kalau untuk kasus HTI, memang seharusnya seperti itu. Pancasila itu bukan ideologi tapi konsensus, kesepakatan antar ideologi-ideologi yang ada saat itu. Maka dari itu mestinya semua orang sepakat. Untuk kasus HTI, aku lihat isu ini banyak dikompori oleh orang-orang yang berkepentingan dengan memojokan HTI. Sebelum dibubarkan ini sebenarnya kan santai-santai saja. Tapi karena dibubarkan mereka jadi punya musuh bersama yaitu pemerintah yang membubarkan. Mereka bisa jadi tambah bersatu dan melancarkan tujuan-tujuannya.


Cocoklogi Kaderisasi Menyajikan Cocoklogi yang Digemari Massa Kampus Oleh: Ismail Faruqi (Teknik Fisika 2014) Pembukaan a la-a la Semester lalu telah sampai pada ujungnya dan semester depan dengan segala tetek bengeknya telah mengintip malu-malu dari kejauhan. Riuh rendah persiapan untuk menyambut kedatangan semester depan pun ikut melanda kampusku beserta manusiamanusia di dalamnya. Ada yang sibuk memperbaiki nilai akibat kebiasaan membolos, tidak sedikit pula yang sedang menjalani kerja praktek –yang entah memang niat mencari pengalaman atau hanya menggugurkan kewajiban belaka- baik di Bandung maupun kota lain di luar Bandung, ada juga yang ikut kursus ini-itu, pun juga ada yang sibuk mempersiapkan kaderisasi, baik kaderisasi terpusat, himpunan, maupun UKM. Yang disebut terakhir (kaderisasi) memang memiliki tempat tersendiri di kampusku yang dikenal memiliki proses kaderisasi yang baik. Bahkan aku pernah mendengar kelakar bahwa kampusku adalah lembaga dengan kaderisasi terbaik dibawah ABRI (dulu namanya masih ABRI) dan PKI. Entah kelakar tersebut masih berlaku atau tidak, yang pasti, seperti zaman yang terus memperbarui wajahnya, kaderisasi kampusku juga mengalami perubahan. Jika dulu kaderisasi di kampusku –setidaknya yang pernah aku dengar- dilakukan dengan metode yang bisa dibilang keras dan sarat akan perploncoan, maka kini di kampusku muncul wacana yang kuat bahwa kaderisasi dengan metode seperti itu sudah tidak lagi cocok dengan kondisi saat ini. Sudah usang. Pendapat umum yang muncul adalah bahwa pada zamannya, kaderisasi yang keras diperlukan untuk menempa fisik dan mental mahasiswa untuk mempertahankan kampus dari rezim yang bobrok

mengusung wacana baru mengenai wajah kaderisasi kampusku menilai bahwa kondisi sekarang tidak serta merta dapat disamakan dengan kondisi masamasa sebelumnya, ketika kaderisasi yang menindas diterapkan.

(pada 1978 tentara nyaris menduduki kampusku). Waktu itu mahasiswa perlu memiliki satu sikap, tak heran metode-metode satu arah yang mengarah pada doktrinasi yang digunakan. Golongan yang

kebutuhan akan pendidikan bagi kaum tertindas (dalam konteks Freire adalah orang miskin/pinggiran). Selanjutnya pada bagian kedua ia menjabarkan mengenai pendidikan menindas yang

Sok Pakai Freire Berbicara mengenai kaderisasi dan penindasan didalamnya aku jadi teringat dengan sebuah buku yang kubeli pada pertengahan bulan April setaun silam (aku ingat tanggalnya karena menuliskannya di halaman muka). Buku itu berjudul Pendidikan Kaum Tertindas karya Paulo Freire. Kupikir apa yang kudapat di buku itu bisa ku-cocoklogi-kan dengan topik kaderisasi yang sedang hangat di kampusku. Bagiku pribadi, kaderisasi tak lain adalah pendidikan juga (makanya bisa di-cocoklogi-kan dengan buku yang baru kusebut). Dan aku mengamini pemaknaan pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah semata tuntunan. Jadi, kaderisasi yang merupakan pendidikan, adalah tuntunan. Dalam bukunya, Freire banyak membahas mengenai sistem pendidikan (pada zaman ia hidup) yang dinilainya menindas kodrat manusia. Freire memandang pendidikan yang satu arah tanpa adanya dialog antara guru dan murid adalah pendidikan yang menindas. Guru mengetahui segalanya, murid tidak mengetahui apa-apa sehingga murid harus menerima apa yang guru katakan. Tanpa bertanya hal-hal yang substansial. Praktis hanya menerima apa yang guru berikan. Freire membagi bukunya kedalam 4 babak besar. Pertama, ia membahas seputar hubungan penindastertindas dalam pendidikan yang ia maksud, serta


gemar ia sebut dengan ‘pendidikan gaya bank’. Pada bagian ketiga ia menjelaskan mengenai metode pendidikan yang tidak menindas yaitu dengan ciri utamanya adalah adanya dialogika. Dan terakhir pada bab keempat ia menjelaskan lawan dari dialogika, yaitu anti dialogika. Supaya runut penjelasan singkat mengenai teori yang dibawa Freire (dan akan di-cocoklogi-kan dengan kaderisasi di kampusku), aku akan menjelaskan dari bab yang

secara kritis bahwa baik diri mereka sendiri maupun kaum penindasnya adalah pengejawantahan dari dehumanisasi. Sehingga sudah menjadi tugas bagi kaum penindas (karena pasti kaum penindas tidak akan rela) untuk membebaskan diri mereka sekaligus penindas mereka dari pengingkaran kepada yang fitrah (humanisasi). Maksudnya adalah, peluang untuk menghilangkan dehumanisasi yang dimaksudkan Freire adalah dengan mendidik kaum

mula. Tapi mohon maaf jika teori yang diambil hanya sebagian dan hanya yang mendukung cocoklogi-ku. Penindasan, secara fungsional adalah penjinakan. Sederhananya, yang menjadi ciri kaum tertindas adalah subordinasi mereka terhadap kaum penindas. Freire yang lahir dan tumbuh di Brasil amat kritis akan sistem pendidikan di Brasil yang bercirikan menggurui dan menekankan pada hapalan belaka. Menurutnya pendidikan model seperti itu tidak akan mampu mendewasakan manusia sehingga ia tidak akan dapat menentukan nasibnya sendiri. Humanisasi, atau memanusiakan manusia, adalah fitrah manusia yang seringkali dimungkiri sekaligus diakui. Ia dimungkiri dengan penindasan terhadap kaum tertindas oleh kaum penindas dan diakui dengan kerinduan kaum tertindas akan hak-hak manusiawinya. Mengutip Freire, pendidikan kaum tertindas adalah sebuah perangkat agar mereka (kaum tertindas) mengetahui

tertindas agar segera membebaskan kaum penindas dari tindakan menindas yang tak lain adalah dehumanisasi juga. Tugas tersebut tidak akan dapat dibebankan kepada kaum penindas yang sudah tentu tidak ingin kehilangan keuntungan-keuntungan dari tindakannya yang menindas itu. Oleh karena itu, menurut Freire, pendidikan kaum tertindas terbagi menjadi dua tahap. Pertama adalah tahap dimana kaum tertindas menyadari ketertindasannya kemudian melalui praksis mengadakan perubahan, sehingga tahap kedua adalah pendidikan bagi seluruh manusia demi langgengnya kebebasan. Pada bahasan di bab setelahnya, Freire fokus pada penjabarannya pada konsep yang ‘Pendidikan Gaya Bank’ yang menurutnya merupakan sistem pendidikan yang menindas. Sistem ‘Pendidikan Gaya Bank’ yang dimaksud Freire adalah sistem yang menjadikan guru menjadi subyek dan murid semata mata menjadi obyek. Guru memiliki pengetahuan yang diberikan ke murid yang hanya berperan sebag


ai penerima, tak ubahnya seperti menabung ke dalan suatu celengan dimana celengan tidak akan mampu melakukan apapun selain menerima apapun yang diberikan si penabung. Jelas tidak ada komunikasi yang sebenarnya antara guru dan murid dalam pendidikan semacam itu. Ruang gerak bagi murid dalam sistem pendidikan yang demikan adalah hanya terbatas pada aktivitas menerima, mencatat dan menyimpan apa yang diberikan oleh guru.

dan ‘yang dikenai tindakan’. Guru menjadi ‘teman’—atau dalam istilah psikologi, guru sebagai

Karena guru adalah orang yang pintar dan murid hanyalah sekawanan orang yang bodoh sama sekali. Menganggap orang lain bodoh secara mutlak adalah merupakan ciri-ciri penindasan dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang demikian mencerminkan penindasan yang terjadi di masyarakat dimana pendidikan digunakan sebagai alat untuk menjinakkan. Kritik Freire bukan tanpa solusi. Pada bab selanjutnya ia mengajukan sebuah sistem pendidikan yang berlawanan dengan sistem tradisional yang ia namai sistem pendidikan hadap masalah (problem posing education). Freire sadar bahwa pertama kali sekali ia harus meruntuhkan dikotomi antara guru dan murid yang ada pada sistem pendidikan tradisional. Dalam pendidikan hadap masalah, guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Hal tersebut memungkinkan adanya konsientisasi dimana guru dan murid secara bersamaan menjadi subyek yang disatukan oleh obyek yang sama. Pengertian subyek disini adalah ‘yang mengetahui’ dan ‘yang bertindak, kebalikan dari obyek yang bermakna ‘yang diketahui’

memiliki 2 dimensi yaitu refleksi dan aksi (tindakan). Sebuah dialog –yang pada hakikatnya adalah sebuah kata- tidak akan dapat menjadi alat untuk memahami dan mengubah realitas apabila masih terdapat dikotomi manikean antara dua unsurnya. Tanpa aksi, sebuah kata dengan refleksi hanya akan menjadi verbalisme belaka. Sebaliknya, tanpa refleksi dimensi aksi dari kata tidak akan menjadi apa-apa kecuali aktivisme tanpa makna. Hanya dengan proses timbal balik antara refleksi dan aksi sebuah kata menjadi kata yang dapat mengubah realitas melalui apa yang disebut Freire sebagai praksis. Dalam pengertian Freire, praksis adalah sebuah proses dialektis yang berjalan antara aksi dan refleksi serta antara refleksi dan aksi. Begitulah dialog, yang menurut Freire adalah suatu perjumpaan diantara sesama manusia, dengan perantaraan dunia, dalam rangka untuk menamai dunia. Pada bab yang akhir Freire banyak menjelaskan mengenai lawan dari dialogika, yaitu anti dialogika. Ia juga memaparkan mengenai tindakan-tindakan yang termasuk anti dialogis dan yang dialogis. Yang

fasilitator-- bagi murid untuk merangsang daya kritisnya dalam memandang realitas. Dengan demikian keduanya akan dapat memahami secara kritis mengenai dirinya dan dunia dimana mereka hidup. Tak pelak hal tersebut membutuhkan unsur esensial berupa dialog antar guru dan murid. Menurut Freire, hakikat dari dialog adalah kata, yang


anti dialogis, antara lain adalah penaklukan, manipulasi, dan taktik memecah belah untuk menguasai, serta serangan budaya (meski tidak berhubungan dengan cocok logi rasanya perlu untuk kutuliskan agar tidak terjadi salah paham dikalangan pembaca Freire yang setia). Selanjutnya masih di bab yang sama, Freire juga menjelaskan tindakan apa saja yang menurutnya merupakan tindakan dialogis, diantaranya adalah : kerjasama, persatuan untuk

ditentangkannya sendiri. Dengan kata lain penindas dan tertindas tidak dapat mengada satu sama lain.

pembebebasan, dan organisasi.

moralitas budak. Moralitas yang melahirkan aksi yang pada dasarnya adalah reaksi. Setidaknya ada dua ciri utama yang menunjukkan mengapa pemisahan mutlak penindas-tertindas justru memenuhi logika dari sentimen kebencian Nietzcschean. Pertama, ia didasarkan pada prasangka moral kaum tertindas akan kaum penindas. Pemberontakan ‘budak’ terhadap ‘tuan’. Kedua, sentimen kebencian dicirikan dengan kebutuhannya untuk mengidentifikasi diri sendiri dengan cara memandang keluar. Tanpa kaum penindas dengan penindasannya, kaum tertindas tidak akan menjadi ‘bermoral’ atau memiliki tugas mulia mengembalikan fitrah manusia kepada humanisasi. Masih menurut Nietzsche, hasrat atau kehendak untuk kuasa adalah alamiah ada dalam setiap manusia. Represi pada hasrat inilah yang akan melumpuhkan dan menyeret manusia kepada sentimen kebencian. Dengan hasrat kekuasaannya itu, yang telah secara alami ada dalam diri masingmasing manusia, semakin kaum tertindas mencoba menggulingkan (mengeksklusikan) kaum penindasnya, semangat penindasan dalam diri kaum penindas sebenarnya persis kembali ke tempat yang sama dengan semangat menindas kaum penindas terdahulu. Hal tersebut agaknya telah dikhawatirkan bahkan oleh Freire sendiri. Ia menulis “ Kaum tertindas, yang menginternalisasi citra dari kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan pikiran mereka mengalami rasa takut menjadi bebas. Freire mengakui tidak sedikit kaum tertindas yang menjadikan dirinya ‘penindas kecil’ alih-alih mengusahakan pembebasan yang sejati. Sampai disini aku melihat bahwa Freire melihat potensi bahaya dari apa yang disebut Nietszche sebagai kehendak kuasa yang alamiah ada dalam diri manusia. Namun, Freire tetap percaya bahwa bahaya tersebut dapat dihilangkan dengan konsientisasi yang menuju kepada pendidikan kaum tertindas pada tahapnya yang kedua, yaitu untuk membebaskan seluruh manusia dari penindasan.

Bagian Cocoklogi Setelah sok tau dengan Freire dan teori-teorinya sekarang waktunya cocoklogi dengan kaderisasi di kampusku. Jika demikian di atas penindasan yang dimaksudkan oleh Freire, rasanya dalam proses pendidikan kaderisasi di kampusku penindasan itu terjadi dimana-mana. Dari mulai yang tidak kentara (paternalistik) hingga yang paling kentara. Pendidikan gaya bank ada dimana-mana. Contoh yang paling paternalistik adalah adanya forum interaksi yang diadakan pengader yang sudah ditentukan hasilnya dari awal. Seolah terjadi dialog namun peserta ‘dipaksa’ untuk mengikuti arahan yang sudah dibuat di awal oleh pengader. Yang paling kentara mungkin sejauh pengamatanku adalah ketika pemberian materi, aku ambil contoh materi peran mahasiswa. Pengader membawa materi daftar peran mahasiswasebagai agent of change, ironstock, dan berbagai istilah keren nan beken lainnya- kemudian memberikan kepada peserta dan peserta harus mengulang, menghapal tanpa ada diskusi lebih lanjut mengenai peran-peran tersebut secara lebih mendalam. Mohon maaf bukan maksud over generalisasi, tapi aku tahu praktik yang demikian masih banyak di kampusku. Gado-Gado Memandang Pendidikan Kaum Tertindas Sejak mula, aku melihat adanya batas jelas antara penindas dan yang tertindas dalam pengertian Freire. Menurutku itu merupakan logika Manikean yang berciri utama memisahkan secara mutlak dua kutub berbeda. Baik-buruk, gelap-terang, penindastertindas. Logika Manikean bekerja seperti cermin terbalik, kaum tertindas adalah cerminan, yang dibalik, dari kaum penindas. Inilah logika dialektis biner dimana saat Freire menyatakan bahwa yang dapat menghilangkan penindasan adalah kaum penindas, Freire menegaskan bahwa yang tertindas ‘mengesensialkan’ kaum penindas yang

Meski ada bedanya, menurutku hubungan penindastertindas disini identik dengan logika sentimen kebencian Nietzschean. Sentimen kebencian dicirikan oleh orientasi kepada yang luar, sikap menyangkal dari apa ‘yang berbeda’ atau apa ‘yang diluar’. Menurut Nietzsche sentimen yang demikian merupakan sentimen kebencian yang mencirikan


Persis pada titik ini Freire bersilang pendapatan dengan Nietzsche. Yang disebut belakangan berargumen bahwasanya pembebasan yang dimaksud Freire harus dipertanyakan apakah akan mengantarkan kepada kebebasan yang sejati atau hanya akan menjadi perebutan kuasa dan pertukaran posisi pnindas-tertindas. Nietzsche tidak percaya bahwa pembebasan yang demikian akan menghantarkan kepada kebebasan yang sejati.

kaum tertindas). Sama saja akan jatuh ke dalam perangkap reduksionis yang dialami marxisme. Alih-

Nietzsche menganggap bahwa hanya dengan mengafirmasi penindas, menganggap kaum penindas berasal dari ‘dunia’ yang tidak terpisah dari mereka, maka kaum tertindas dapat terlibat dalam perlawanan yang relevan terhadap penindasan.

reorganisasi relasi-relasi kekuasaan-mencairkan kebekuan relasi dominasi-dengan cara yang tidak mendominasi dan menindas.

Kaca Mata Oom Michel Foucault Relasi kuasa antara penindas-tertindas akan selalu ada dan itu tidak dapat dinafikan. Karena kuasa, menurut Foucault adalah : “modus tindakan atas tindakan pihak lain”. Mungkin akan agak sedikit keluar jalur ya. Masih menurut Foucault, kuasa bukanlah suatu komoditas yang dapat dimiliki. Kuasa tidak dimiliki oleh kaum penindas, melainkan kaum penindaslah yang lahir dari kekuasaan yang di rigidkan, distabilkan. Relasi kuasa yang mengambang bebas dan tidak stabil akan berubah menjadi relasi dominasi apabila dihambat dan dibekukan, yaitu manakala aliran relasi tersebut membentuk hubungan hirarkis yang tak setara dan tidak memungkinkan adanya hubungan timbal balik. Relasi dominasi adalah istilah Foucault untuk menggambarkan apa yang disebut Freire sebagai ‘Pendidikan Gaya Bank’. Dan Foucault, sepakat dengan Freire, berpendapat bahwa relasi dominasi yang demikian harus dihilangkan. Bedanya, jika Freire memandang bahwa relasi hierarkis yang tidak setara tersebut berasal dari kaum penindas yang kerap memaksakan penindasannya kepada kaum tertindas, maka menurut Foucault justru sebaliknya, penindas lahir dari relasi kuasa yang di bekukan menjadi susunan hirarkis yang tidak setara. Penyikapan terhadap relasi dominasi juga berbeda antara Foucault dan Freire. Jika Freire menempuh jalan untuk mengeksklusi kaum penindas hingga tidak ada lagi kaum penindas, maka Foucault berpendapat bahwa penaklukan dialektis terhadap kaum penindas berarti mengabaikan keragaman dan persebaran relasi-relasi kuasa yang membentuknya. Cara yang demikian, bagi Foucault justru akan memungkinkan untuk munculnya relasi-relasi dominasi yang baru (penindas-penindas kecil dari

alih demikian perlawanan terhadap relasi dominasi mesti mengambil bentuk apa yang disebut Foucault dengan ‘Agonisme’, yaitu kontestasi secara terus menerus dengan kekuasaan dengan cara saling ungkit dan provokasi tanpa menyimpan keinginan apapun untuk terbebas darinya. Sehingga hal terbaik yang dapat dihasilkan dari Agonisme adalah

Kembali ke Cocoklogi Jadi bagaimana? Sebenarnya aku cuma mau memperlihatkan kalau sebenernya kita bisa melihat kaderisasi dari banyak sudut pandang, tidak hanya dikotomi yang menindas-yang tidak menindas saja. Ya contohnya tadi, pengader yang merancang kegiatan kaderisasi, bisa menggunakan sudut pandang para ahli-yang telah saya tafsirkan seenak udel-diatas. Bisa jadi kaderisasinya Freiran banget. Berati harus benar benar dialogis, tidak ada materi yang satu arah, metodenya harus memfasilitasi adanya dialog dan lain sebagainya. Atau sedikit menggeserkan pandangan ke Foucault, mungkin bentuk bentuk ‘penindasan’ yang ‘diharamkan’ Freire bisa diterapkan, namun harus dijaga agar tidak menjadi dominasi. Menarik juga melihat apa yang akan diperbuat oleh peserta kaderisasi ketika kaderisasi yang super menindas diterapkan. Namun sekali lagi para pengader harus dapat menangkap relasi kuasa yang dikirim balik oleh peserta kader pasca ‘penindasan’ tersebut dilakukan, lagi-lagi supaya struktur penindasan tadi tidak menjadi rigid dan relasinya berubah jadi relasi dominasi. Hal yang begini kan kalo Freiran banget tidak akan terjadi. Sebagai peserta kaderisasi juga semoga bisa diambil faedahnya. Jika mendapati kaderisasi yang Freiran ya disyukuri saja. Dimanfaatkan dengan baik kesempatan yang diberikan. Jika ditindas, ya coba lakukan apa yang diajarkan Foucault. Lawan dengan Agonisme tadi. Imbangi ‘penindasan’ dari pengader dengan kuasa-kuasa yang positif. Ya kalau kata Foucault jangan terlalu nyaman sama identitas esensialis manikean dibalik pemisahan penindas (pengader) dan tertindas (peserta kaderisasi), justru harus siap kalau penindasan tadi jadi dominasi. Penutup Jadi kesimpulannya adalah baik Freire, Nietzsche, maupun Foucault sama-sama tidak menghendaki


adanya penindasan. Kalau Freire jelas arahnya kepada pendidikan dan sudah kujabarkan banyak diatas. Sedangkan dua nama terakhir sebenarnya lebih luas cakupannya. Kritik Nietzsche dan Foucault akan penindasan menyasar kepada cakupan yang lebih luas dan kompleks yaitu umat manusia, juga negara. Jadi, pandangan mereka mengenai penindasan pendidikan yang aku tuliskan diatas cuma cocoklogi belaka. Kesimpulannya: jangan percaya tulisan ini begitu saja.


Tentang Kaderisasi Oleh: Farhad Zamani (Teknik Biomedis 2015) (Ketua MBC 2017) terus beradaptasi terhadap lingkungan dan selalu belajar dari pengalaman. Beda halnya dengan pabrik yang mencetak benda mati, yang apabila diberi perlakuan seburuk apapun, mereka tak akan melakukan perlawanan, atau bahkan memberi masukan pada pabriknya. Dan setelah mereka menjadi suatu produk, produk itu tak akan berubah, yang hal itu tidak berlaku pada manusia.

Secara terminologis, definisi kaderisasi adalah proses pencetakan kader. Sedangkan definisi kader itu sendiri adalah orang yang dipercaya mampu melanjutkan dan melaksanakan tugas-tugas yang ada dalam suatu organisasi. Tetapi, kaderisasi itu lebih dari sekedar mencetak kader. Kaderisasi adalah nafas sebuah organisasi. Ketika nafas seorang manusia tersengalsengal, dapat dikatakan bahwa tubuh orang itu sedang dalam keadaan tidak sehat. Begitu juga halnya dengan organisasi. Jika boleh dianalogikan, kaderisasi ini adalah sebuah pabrik yang memroses manusia menjadi apa yang dibutuhkan oleh organisasi tersebut. Bedanya, manusia adalah makhluk hidup yang pasti akan bereaksi terhadap hal tersebut. Itulah yang menyebabkan produk yang dihasilkan oleh kaderisasi ini berbeda-beda. Tapi hal itu bukan merupakan sebuah masalah, karena pada dasarnya setiap orang adalah unik. Ketika pabrik gagal dalam mencetak suatu produk, bisa saja dengan mudah pabrik itu membuangnya. Tetapi,

ASPEK-ASPEK DALAM KADERISASI Minimalnya, kaderisasi – jika tinjauannya adalah organisasi – mencakup tiga hal, yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku, serta keterampilan. Cakupan pengetahuan disini adalah tentang hal-hal dasar tentang organisasi yang perlu diketahui oleh yang dikader. Lalu sikap dan perilaku, adalah hal-hal yang akan ditanam sehingga mengembangkan kepribadian yang dikader, seperti tanggung jawab, disiplin, jujur, tepat waktu, dan sebagainya. Yang terakhir adalah keterampilan, dalam artian hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan (softskill) sebagai sesuatu yang bakal dibutuhkan oleh kader tersebut sesuai tantangan zaman, atau keterampilan lain yang diperlukan sesuai kebutuhan organisasi. Ketiga hal diatas itulah beberapa yang tidak bisa didapatkan dari duduk di bangku kelas. Itulah sebab dibutuhkan adanya kaderisasi sebagai salah satu bentuk pendidikan. Jika salah satu saja dari tiga hal itu tidak didapatkan, akan terjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan adanya ‘yang gagal’ itu tadi, dengan contoh kasus yang sangat beragam. Sehingga, perlu adanya kaderisasi yang dapat memastikan ‘yang dikader’ memahami hal-hal tersebut. Jika kita tinjau dari Dokumen Sinergisasi Kaderisasi KM-

ketika kaderisasi itu gagal dalam membentuk seorang manusia, tidak mungkin kita menghapuskan keberadaannya. Kalaupun dibuang, mereka yang ‘produk gagal kaderisasi’ itu tetap akan menjadi seorang manusia yang merupakan bagian dari masyarakat, yang nantinya akan memiliki sejumlah pengaruh untuk peradaban. Dan kaderisasi seharusnya merupakan proses yang tidak pernah berhenti, entah secara aktif maupun pasif, karena ‘yang dikader’ itu adalah seorang manusia yang

ITB, kaderisasi sebagai proses pendidikan dalam aspek kemahasiswaan apabila ditinjau sebagai metode pemenuhan kebutuhan pendidikan pada dasarnya hanya dapat melakukan intervensi pada beberapa aspek sebagai berikut: 1. Aspek pengembangan karakter melalui aspek eksternal dengan mengembangkan kultur kehidupan berkemahasiswaan dalam rangka pembentukan karakter. 2. Aspek pengembangan karakter melalui aspek

PENGANTAR


interaksi dengan memastikan pola hubungan antar anggota dalam kegiatan kemahasiswaan. 3. Aspek pendidikan kemampuan aplikasi melalui pendalam terapan baik ilmu yang berkaitan langsung dengan keprofesian ataupun penunjang keilmuan. 4. Aspek pendidikan softskill dan bakat melalui pembiasaan ataupun pendidikan langsung terkait kemampuan personal yang dapat membantu penerapan ilmu kognitif.

PENUTUP Lalu, bagaimana seharusnya kaderisasi itu? Suatu hari aku pernah mendengar hal ini: Kaderisasi adalah sebuah pendidikan yang harusnya mampu membebaskan ‘yang dikader’ dari segala hal yang membatasi dirinya. Bisa merdeka dalam berpikir dan bertindak, serta mampu melihat melewati tembok yang selama ini menutup pandangan terhadap realita yang sesungguhnya. Selain itu, sikap bertanggung jawab tetap harus dimiliki. Karena pada akhirnya, apapun yang kita lakukan nantinya harus bisa berjalan beriringan dengan alam dan peradaban, untuk mencapai kehidupan yang lebih baik lagi. Apakah memang begitu?


Superhero Oleh: M. D. Larasati (Matematika 2016) Superhero. Kata itu pastinya tidak asing bagi kita. Film, game, komik... Pasti ada yang melibatkan superhero. Superhero. Merekalah orang-orang dengan kekuatan super yang selalu melindungi dunia, mengalahkan para penjahat yang menyalahgunakan kekuatan demi kepuasaan diri. Merekalah orang-orang luar biasa yang selalu siap melayani orang-orang biasa. Dan aku selalu mengagumi mereka. Aku sangat mengidolakan superhero yang menjadi professor dan membuka sekolah bagi anak-anak yang istimewa. Meskipun mereka disisihkan dari peradaban karena terlalu aneh, professor itu selalu menekankan kepada muridnya untuk selalu membantu mereka yang biasa-biasa saja. Sungguh mulia. Aku ingin menjadi superhero. Tapi aku tidak memiliki kekuatan istimewa. Orangtuaku juga khawatir dengan masa depanku karena setiap kali seseorang menanyakan cita-citaku, aku selalu mengatakan bahwa aku ingin menjadi superhero. Bahkan saat kelas 12 SMA pun aku masih memiliki cita-cita itu. Guru-guru kebingungan karena tidak tahu harus berkata apa saat konseling mengenai jurusan yang akan diambil di perguruan tinggi. Padahal itu tidak ada hubungannya sama sekali. Tentunya seorang superhero akan menjadi lebih baik dan keren apabila memiliki keprofesian selain melindungi manusia dari ancaman besar. Dan aku ingin menjadi ilmuwan. Barangkali aku akan terpapar radiasi dan mendapatkan kekuatan super... Ehm... Itu sepertinya tidak mungkin. Tapi aku sangat tertarik pada ilmu pengetahuan alam. Karena itu aku memilih universitas yang sangat ternama di negeri ini. Karena sibuk melatih diri untuk menjadi superhero, aku tidak lolos seleksi yang mirip dengan undian. Aku juga sangat kesusahan ketika mengerjakan tes seleksi nasional. Tapi entah mengapa, pada akhirnya aku diterima juga. Teman-temanku kebingungan ketika aku lolos dan mereka tidak. Mereka berpendapat bahwa seorang pemalas sepertiku tidak pantas untuk berkuliah di universitas tersebut. Padahal aku bukan pemalas. Aku hanya mengerjakan apa yang perlu aku kerjakan. Beberapa hari setelah mendaftar ulang untuk memastikan bahwa aku benar-benar akan berkuliah di universitas tersebut, kami semua – para mahasiswa baru – dibekali dengan berbagai macam pengetahuan yang dianggap perlu agar dapat bertahan disitu. Mulai dengan pengetahuan umum mengenai pendidikan di negeri ini, strategi belajar, dan masih banyak lagi. Kemudian kami bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa yang lebih tua. Aku sangat senang saat itu karena yakin bahwa semuanya ini akan membantuku berkembang menjadi seorang superhero. Kami juga diberi berbagai tugas untuk lebih memahami lingkungan sekitar. Katanya, agar kami bisa menumbuhkan empati terhadap mereka yang kurang beruntung dan mereka yang membutuhkan. Sungguh menyenangkan. Dengan begini aku semakin menyadari betapa dibutuhkannya seorang superhero di negeri ini. Ya, superhero. Aku tidak peduli dengan kenyataan bahwa dunia ini, dunia “nyata� tidak memiliki superhero. Tapi mau bagaimanapun, kita membutuhkan superhero, mereka yang melawan kejahatan dan menyelematkan peradaban. Siapa lagi yang akan melakukannya bila bukan superhero?


Tapi... Semakin lama aku berada di tempat ini aku semakin merasa ada sesuatu yang aneh. Kenapa teman-teman dan kakak-kakak terlihat begitu sombong? Apa yang mereka sombongkan? Dan ketika aku bertanya langsung kepada mereka, mereka tidak menyadarinya. Ataukah ini hanya perasaanku? Tapi memang, sebetulnya semua terlihat baik-baik saja. Tapi setelah membaca sekian banyak tulisan dan mendengar sekian banyak orasi, aku merasa, entah bagaimana, tempat ini bukanlah tempat yang baik untuk perkembangan seorang superhero. Entah siapa, entah kapan, seolah secara perlahan membuat kami berkembang menjadi sekian supervillain. Superhero? Dulu, ketika aku menjelaskan kepada teman-temanku secara rinci mengenai cita-citaku ini, mereka turut bergabung denganku. Sekarang tinggallah aku seorang diri. Memang iya mereka masih ingin menjadi superhero, tapi menurutku mereka terlalu arogan. Terlalu menyombongkan pengetahuan dan kesempatan mereka untuk menjadi orang hebat. Padahal siapakah mereka? Baru juga lulus SMA. Superhero yang baik tidak pernah menyombongkan kekuatan mereka. Dan kini mereka menyombongkan segala yang unggul pada mereka, menyembunyikannya dengan perkataan-perkataan yang menonjolkan kerendahan hati dan kepekaan terhadap lingkungan. Aku sempat merasa sedih karena itu. Karena itu aku tidak ingin lagi terlibat pada hal-hal berbau superhero. Aku tidak sanggup melihat begitu banyak kebohongan di lingkungan favoritku. Aku tidak suka melihat mereka yang secara tidak sadar menjadi supervillain terus memuji diri mereka dan berusaha keras menjadi superhero. Karena itu aku bersembunyi di balik-balik tulisan ilmiah, tak ada hari yang aku habiskan tanpa belajar, berlatih, dan membaca.

Saat semua orang berkata bahwa aku terlalu rajin, aku hanya tersenyum. Ingin aku menyindir, tapi itu bukanlah hal yang turut dilakukan superhero baik, apalagi dalam posisi seperti aku. Aku juga mulai menghindari perkumpulan-perkumpulan yang katanya peduli dengan lingkungan, dan lebih memilih untuk bersenang-senang dengan mereka yang bahkan tidak peduli dengan menjadi superhero. Setidaknya mereka jujur. Dan semakin lama, aku semakin menjauhi cita-citaku. Dan semakin aku menjauhi panggilanku, aku semakin sadar: Sesungguhnya memang betul tempat ini merupakan tempat yang baik untuk perkembangan seorang superhero. Inilah tempat ketangguhan dan niat baik kami diuji. Apabila ingin menjadi superhero, aku harus memulai dengan menyadarkan mereka yang terancam menjadi supervillain. Dengan begitu, aku sudah dapat menyelamatkan peradaban di masa depan. Kemudian aku harus memberi contoh mengenai superhero yang sejati, aku harus menunjukkan bahwa superhero di dunia ini bukanlah orang yang memiliki kemampuan super, akan tetapi kebaikan dan semangat yang super. Dengan begitu, aku mungkin dapat menginspirasi sedikit peradaban di masa kini. Masa lalu sudah berlalu, tapi aku dapat membantu semua orang supaya mereka mensyukuri apa saja yang telah mereka lalui. Walaupun kini aku merasa sendirian, aku yakin: Aku bukanlah satu-satunya (calon) superhero sejati disini. Kamu mungkin sudah bertemu beberapa orang dari kami. Tapi kamu tidak sadar. Di tempat seperti ini, kami lebih memilih untuk beraksi diam-diam. Maka janganlah takut bila kamu dihadapkan pada berbagai masalah yang terasa berat, atau mungkin lingkungan seperti ini terasa sangat menyesakkan hati. Bila kamu membuka mata dan telinga, aku yakin kamu bisa menemukan kami. Dan kami selalu siap membantumu. Karena kami tidak akan pernah berpaling dari cita-cita luhur kami: Superhero.


Gagalnya Hegemoni Kaderisasi: Sebuah Autokritik terhadap Diklat Terpusat dan Sekolah Mentor dari Perspektif Gramsci Oleh: Hanafi Kusumayudha (Teknik Fisika 2016) Di tengah riweuhnya negeri ini dengan berbagai persoalan dari yang melangit sampai membumi, mahasiswa ITB malah sedang asyik sendiri menjalani masa kaderisasi. Bahkan isu pernikahan Sungguh mulianya sang insan akademisi. Ah tak ada gunanya juga sih membicarakan kultur ITB yang memang seperti ini, sekali-kali alangkah baiknya kalo kita melihatnya dari kacamata yang sedikit positif mungkin, sedikit aja ya tapi. Kaderisasi memang hal yang amat diagung-agungkan di dalam kampus ITB. Bagaimana tidak, saking sakralnya kaderisasi ini, bahkan sampai ada ungkapan “kaderisasi adalah nafas organisasi� lho. Ibaratnya sama saja seperti makhluk hidup, kalau berhenti bernafas bagaimana? Ya sama kayak organisasi yang berhenti menjalani kaderisasi. Makanya hembusan udara ini terus dijaga oleh almamater kita, walaupun kayaknya lagi asma sih hoho. Nah ngomong-ngomong soal kaderisasi, beberapa waktu yang lalu sampai sekarang saya ikut dalam beberapa rangkaian proses yang biasanya diikuti mahasiswa (nyaris) tingkat dua. Sesuai judul saya di atas, saya ingin memfokuskan bahasan kaderisasi pada kasus Diklat Terpusat (Berikutnya ditulis Dikpus) dan Sekolah Mentor (Sekmen). Bagaimana saya membahasnya? Disini saya ingin mencoba menggunakan pisau analisis Antonio Gramsci, khususnya mengenai teori hegemoni. Wah apa tuh hegemoni? Masak nyambung sih sama kaderisasi? Santai, pelan-pelan pasti mengerti kok. Tentang

Hegemoni

dan

Selayang

Pandang

Perspektif Gramsci Bicara soal hegemoni gak bakalan bisa dipisahkan dari sosok Antonio Gramsci. Beliau adalah penulis sekaligus teoritikus politik asal Italia, yang sempat dipenjara karena menentang rezim Mussolini. Pemikiranpemikiran terkenalnya mengenai hegemoni justru tercipta saat ia ditahan, dan akhirnya dibukukan dalam

suatu Buku Catatan Penjara (Prison Notebooks). Dari beberapa referensi yang saya baca, Gramsci mendapatkan ilham buah pemikirannya dari perspektif Machiavelli dan Marx. Nah, teori hegemoni ini sebenernya lahir dari kritik Gramsci terhadap Marx. Teori Hegemoni Gramsci merupakan penyempurnaan teori kelas Marx yang belum berhasil merumuskan teori politik yang memadai. Bila meminjam KBBI, hegemoni berarti pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dan sebagainya suatu negara atas negara lain (atau negara bagian). Tapi apakah definisi itu cukup untuk menjelaskan pemikiran Gramsci? Jawabannya adalah tidak. Lebih dari itu, hegemoni menurut Gramsci mengarah kepada suatu proses dan konsep menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual. Apa maksudnya? Mari ambil kasus ekstrim berseberangan lainnya, yaitu kepemimpinan melalui kekerasan dan paksaan dari atasan. Berbeda dengan kediktatoran, hegemoni merupakan konsep kepemimpinan yang timbul dari kesepakatan kedua belah pihak dan kesadaran bersama yang menjadi alat legitimasi suatu kekuasaan sehingga suatu rezim bisa langgeng berkuasa tanpa adanya perlawanan. Ide dasar teori ini cukup sederhana sebenarnya. Bahwa manusia dikuasai bukan hanya oleh kekerasan dan paksaan dari atasan saja, melainkan juga oleh ide-ide yang berkembang di masyarakat. Mungkin terdengar simpel, tapi implikasinya jauh lebih besar dari bayangan kita semua. Oh ya, dalam perspektif Gramsci, ada beberapa istilah yang perlu bersama-sama kita pahami seperti fungsionaris hegemoni, masyarakat sipil (civil society), intelektual organik, ideologi dan common sense. Mungkin untuk lebih lengkapnya akan saya bahas lebih lanjut di bagian akhir tentang analisis kegagalan hegemoni. Hubungan Kaderisasi dan Hegemoni Sekarang sudah cukup kebayang kan ide dasar dari


teori hegemoni itu seperti apa? Bagus, kalau definisi kaderisasi saya anggap sudah pada khatam semua haha. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah, kenapa kaderisasi yang ada dalam ranah pendidikan karakter manusia disangkut pautkan dengan teori politik yang bahkan asing di telinga kita semua? Wah buat menjawab itu, sepertinya kita perlu menariknya ke lingkup yang lebih luas, tentang hubungan pendidikan dan politik. Eh, bukan bermaksud mempolitisasi pendidikan loh ya, jangan disalahpahami. Begini, namanya pendidikan tuh yang penting kan agar subjek-subjek (sengaja bukan subjek-objek) yang ada di dalam prosesnya bisa berkembang dan penanaman ilmu/nilai bisa terjadi, betul? Lalu, apakah dalam proses pendidikan tidak ada unsur politik yang menyertainya? Maksud saya adalah, apakah pendidikan akan berhasil bila para pelakunya “tidak terkuasai”? Terkuasai bagaimana? Oleh suatu sistem, mekanisme, dan hierarki yang dapat memastikan nilai-nilai yang diajarkan tersampaikan. Apakah mungkin suatu kaderisasi tanpa adanya hegemoni? Apakah mungkin penanaman nilai bisa terwujud bila proses dialektis dan kesepemahaman tidak terjadi? Nah, premis dasar saya dibangun dari semacam itu. Cukup sederhana kok, kaderisasi terjadi salah satunya karena hegemoni dalam proses kadernya” atau kaderisasi terjadi karena kesalahan aspek tidak bisa menghegemoni prosesnya”.

pertanyaan “Kegagalan kegagalan “Gagalnya politis yang

Sekarang sudah tidak bingung lagi tentang hubungan hegemoni dan kaderisasi ditambah lagi premis dasar

revolusi sosial tidak akan pernah terjadi tanpa revolusi kultural. Selanjutnya, revolusi kultural hanya mungkin terjadi dengan prasyarat terpenuhinya revolusi Ideologi. Jadi ya, tidak akan mungkin tercipta suatu perubahan sosial secara masif bila ideologi di setiap masyarakat belum dikuasai. Gampangnya ga mungkin ada aksi kalo sebelumnya tidak kita pikirkan, tapi ini lingkupnya secara massif dan serentak, sepakat ya? Nah, dari situ kita bisa menganalisis kegagalan pertama yang terjadi dalam hegemoni, yaitu kegagalan penanaman ideologi ke setiap individu. Dan kegagalan penanaman ideologi ini berkaitan erat dengan propaganda dan fungsionaris hegemoni. Apa itu fungsionaris hegemoni? Fungsionaris hegemoni merupakan media dan alat untuk menanamkan pemahaman sehingga dapat dijadikan legitimasi kekuasaan, contohnya adalah pendidikan, kebudayaan, agama dan kepercayaan, serta ideologi dan common sense yang menyebar di masyarakat. Bisa dipahami? Mari kita ambil studi kasus pertama, mengenai Diklat Terpusat (Dikpus). Sekarang saya tanya, memangnya ideologi apa yang ingin dibawa dalam Diklat Terpusat? Harusnya tentang “mahasiswa” bukan? Nah, lanjut apakah ideologi tersebut sukses tertanam pada setiap peserta diklat terpusat? Bahkan setengahnya saja saya yakin tidak ada lho. Lucunya lagi, saya bisa memberikan contoh nyata yang cukup menggelikan. Bagaimana sebuah kuasa pemikiran yang ingin ditanamkan runtuh dalam sekejap setelah adanya counter hegemoni lewat DnU Ganesha dengan pengirim berinisial “Al”. Dan saya yakin sekali,

Berangkat dari Ideologi

mindset yang tertanam di kepala peserta Dikpus kebanyakan lebih mengamini ucapan Al ketimbang pemikiran yang panitia ingin tanamkan. Alih-alih menjadi “mahasiswa” sesuai definisi panitia, peserta dikpus malah lebih berkiblat pada netizen kekinian. Sungguh luar biasa kuasa media.

Secara etimologi, kata ideologi berasal dari gabungan dua kata yaitu idea (pemikiran, gagasan) dan logi dari kata logos (ilmu). Bila menggunakan definisi dari KBBI, sepertinya dalam konteks ini lebih cocok pada definisi yang kedua, yaitu cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Lebih jauh lagi menurut Raymon Williams ideologi adalah “a system of meanings and values”.

Mari beralih ke kasus kedua, tentang Sekolah Mentor. Disini juga terjadi hal yang serupa, penanaman “ideologi bersama”-nya gagal. Bahkan sampai sekarang pun, ideologi yang akan dijadikan acuan oleh identitas “mentor” masih samar-samar. Dan samarnya ideologi ini membuat minat para calon mentor juga menjadi tidak karuan.

Kenapa bagi Gramsci Ideologi begitu penting? Seberapa penting memangnya? Singkatnya adalah,

Tentu asumsi tersebut bukan tanpa beralasan. Kalau ingin membicarakan kuantitas, empat hari Sekmen

saya kan? Baik lanjut berarti, tentang analisis kegagalan hegemoni kaderisasi. Studi kasusnya adalah pada Diklat Terpusat dan Sekolah Mentor, tapi masih tetap menggunakan buah pemikiran Gramsci.


diadakan yang ikut masih ada di kisaran 300-an. Anggap saja setengah lebih sedikit dari total keseluruhan sekitar 640 orang. Dari jumlah kehadiran ini sebenarnya sudah bisa menggambarkan seberapa tingkat penguasaan gagasan/ide. Lebih jauh lagi, yang ikut pun belum tentu tercerahkan, bukan? Ide yang tertanam pada calon mentor (camen) sekarang saya yakin masih berseberangan dengan apa yang panitia harapkan. Bahkan, ada beberapa ide liar yang berkembang dan berpotensi membahayakan bila dibiarkan. Contohnya adalah anggapan bahwa menjadi mentor itu santai, dan tak perlu banyak pengorbanan. Cabut berkali-kali sekolah pun masih bisa dipertahankan. Inikah mentor yang diidam-idamkan?

Kebungkaman Kaum Intelektual Organik, Eh memangnya ada? Poin kedua saya ini merupakan kelanjutan dari revolusi ideologi dan berkaitan erat dengan aspek kultural dalam proses hegemoni. Pertama-tama, yuk coba pahami dulu maksud dari istilah “Intelektual Organik” yang Gramsci angkat. Menurut Gramsci, untuk menanamkan ideologi diperlukan sebuah perangkat secara kultural yang bisa menguasai basis massa yang ada. “Menguasai” disini bukan dalam artian dengan kekerasan dan terstruktur secara legal, tapi timbul secara alamiah dari masyarakat itu sendiri. Peran tersebut dipegang oleh kaum intelektual organik. “They are not only thinkers, writers and artist but also organisers such as civil servants and political leaders, and they not only function in civil society and the state, but also in the productive apparatus…” (Simon, 1991: 90) Oh iya, bedakan istilah intelektual organik dan intelektual tradisional. Dalam analisis Gramscian, intelektual tradisional adalah para intelektual yang memiliki profesi khusus dan ahli di bidang tersebut, sedangkan intelektual organik tidak memiliki profesi tertentu tetapi mendorong “dari belakang” timbulnya suatu dinamika sosial. Mari beralih ke kasus sekolah mentor sekaligus diklat terpusat. Memangnya siapa yang bisa disebut intelektual tradisional dan organik? Di dalam Prison Notebooks disebutkan bahwa sebenarnya semua orang berpotensi menjadi seorang intelektual. Namun tingkat intelektual tersebut sangat ditentukan oleh fungsi mereka dalam masyarakat dan kehidupan sosial. Lantas, siapakah


kaum intelektual pada Sekmen dan Dikpus?

kaderisasi.

Kita ambil satu contoh di sekolah mentor. Menurut saya peran intelektual tradisional dipegang oleh penanggungjawab (PJ) setiap distrik, dan yang jadi pertanyaan adalah siapakah kaum intelektual organiknya? Disini saya melihat kegagalan hegemoni kaderisasi terjadi karena kaum intelektual organiknya memilih untuk berdiam diri saja. Atau mungkin tidak

Sekarang pertanyaan selanjutnya, apakah dikpus kemarin berhasil? Bagi saya sih kurang, secara hegemoni. Bagaimana bisa sukses kalau kekuasaan politis oleh panitia saja acak-acakan? Hal ini ditunjukkan oleh keberjalanan dikpus yang kelihatan kurang rapi dan minimnya pendiklat yang hadir. Buat lebih lengkapnya mungkin sudah dijelaskan dengan

ada? Terlebih, kaum intelektual tradisionalnya juga kurang menghegemoni calon mentor lainnya secara struktural. Alhasil, kombinasi kurang maksimalnya kedua peran tersebut membuat sekolah mentor seperti ini adanya. Hambar, sehingga akhirnya calon mentor kurang terbentuk secara kultural.

lebih gamblang oleh Al, silakan dibaca sendiri. Lalu, kami-kami ini yang ada pada peran kultural akan melegitimasi kekuasaan itu apa dan siapa? Ketidakjelasan dikpus itu sendiri?

Epilog, Memaknai Hegemoni Keberjalanan Kaderisasi

untuk

Antara Political Society dan Civil Society Analisis berikutnya ini main analogi sih, atau lebih tepat disebut cocoklogi mungkin. Gramsci beranggapan bahwa negara terbentuk dari dua kombinasi, yaitu masyarakat politik (political society) dan masyarakat sipil (civil society), dan ini berkaitan juga dengan konsep hegemoni yang berasal dari persetujuan kedua belah pihak. Negara bagi Gramsci juga tidak hanya urusan fisik dan etis (politis) belaka, tapi juga soal budaya yang berkembang di dalamnya. Peran budaya ini dipegang oleh masyarakat sipil, dan peran struktural/legalformal/hukum suatu negara dipegang oleh masyarakat politik. Kalo mau ambil contoh di lingkup negara, masyarakat politik itu pemerintah beserta aparatus negaranya dan masyarakat sipil itu tokoh masyarakat, pemuka agama, dan budayawan yang dihargai secara kultural. Itu kan di level negara ya. Saya akan coba tarik ke lingkup yang lebih kecil yaitu dalam level kaderisasi organisasi. Menurut saya tak jauh berbeda kasusnya, cuma lebih simpel aja. Langsung studi kasus deh, sekarang gantian ke diklat terpusat. Dalam diklat terpusat, elemen-elemen yang ada di dalamnya juga bisa kita amati dari perspektif Gramsci. Yang berperan sebagai political society yaitu panitia dan seluruh pendiklat, dan civil society dipegang oleh peserta dikpus itu sendiri. Suatu hegemoni dapat tercipta dalam lingkup negara apabila kekuasaan dari atas (politis) dilegitimasi oleh persetujuan dari bawah (kultural). Itulah yang dijadikan kerangka berhasil-tidaknya suatu hegemoni dan mungkin bisa kita ambil sebagai referensi di level

Secara keseluruhan, yang ingin saya tekankan disini ada dua poin. Yang pertama adalah kesadaran ideologis itu penting adanya, dan yang kedua dinamika sosial selalu terjadi secara dialektis antara kedua belah pihak. Poin kedua itulah yang melandasi mengapa saya menggunakan kata “autokritik� di judul tulisan ini. Tak usahlah terus-terusan memaki keadaan yang ada, panitia kurang becus lalalala. Hal itu tidak merubah apapun. Lalu ingat, kesalahan tak terletak pada satu pihak semata. Yang bisa kita lakukan ya bertindak sesuai peran kita. Toh, ini semua buat tujuan bersama juga. Eh iya? Hmm, daritadi kritik melulu kayaknya ya, solusinya mana? Simpel saja ya. Satukan ideologi, propagandakan dan sebar sampai masuk sanubari masing-masing, mulai gerakkan secara kultural dan jangan takut jadi intelektual organik, dan akhirnya hegemonikan kaderisasi ini. Voila!


Sebuah Opini Mahasiswa Sok Tahu

dengan nilai organisasi tersebut.

Untuk kampusku yang lebih rajin mengurus kaderisasi

Lagipula organisasi non-profit seperti lembaga di KM ITB

dibanding pengabdian masyarakat:

tidak bisa memberikan banyak keuntungan konkret kepada

Bukan August yang mati pada tulisan ini, tetapi nilai-nilai

anggotanya, jadi seharusnya kecil kemungkinan seorang

yang ditanamkan saat kaderisasi kampuslah yang mati.

anggota bersemangat mengikuti kegiatan di KM ITB hanya

Setidaknya banyak yang seperti itu sepengamatan saya.

karena keuntungan konkret seperti sekretriat dan SKPI. SKPI

Memang sangat sok tahu, saya akui itu. Data primer-nya

itu CV kemahasiswaan resmi dari pihak kampus, apabila

tidak

kamu belum tahu.

ada.

Ya,

silakan

mempertanyakan

kredibilitas

observasi saya setelah kamu membaca tulisan ini sampai

Inilah yang mendasari argumen saya bahwa kegiatan

akhir.

paling

Namun

saya

sarankan

kamu

mencoba

untuk

krusial

dalam

rangkaian

kaderisasi

adalah

mengambil manfaat terlebih dahulu dari tulisan ini. Saya

penanaman nilai yang selaras dengan nilai organisasi.

hanya ingin berbagi, dan berharap anda tidak mengulangi

Kegiatan ini menjamin anggotanya memiliki nilai yang

kesalahan saya (dan penduduk kampus lainnya).

sesuai supaya dapat menjalankan ‘roda’ organisasi dengan

Pentingnya Penanamaan Nilai yang Selaras dengan Nilai

baik karena memiliki ‘bensin’ yang cukup untuk mencapai

Organisasi

tujuan organisasi.

Saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa itu nilai dan pentingnya penanaman nilai dalam kaderisasi.

Budaya Organisasi

“Suatu konsepsi yang jelas, tersurat atau tersirat dari

Nilai organisasi yang saya maksud bukan nilai yang

seseorang atau suatu kelompok tertentu, mengenai apa

diajarkan secara formal di KM ITB seperti tujuh budaya

yang

kampus. Nilai organisasi yang saya maksud adalah nilai inti

seharusnya

diinginkan,

yang

mempengaruhi

pemilihan sarana dan tujuan tindakan.” (Kluckhon, 1985)

yang tercermin dalam budaya dominan organisasi tersebut.

Berangkat dari definisi tersebut, saya berani menyatakan

Sebuah organisasi perlu menyesuaikan budayanya dengan

bahwa nilai organisasi non-profit adalah motivasi utama

kondisi zaman agar tetap bisa eksis dan mencapai

anggotanya. Alasannya sederhana, sepengamatan saya

tujuannya. Mungkin ini yang menyebabkan organisasi KM

kebanyakan orang yang berkegiatan secara konsisten di

ITB yang tetap mempertahankan budaya 'kaku' secara

suatu organisasi non-profit adalah anggota yang ‘sreg’

hierarki dan cenderung mementingkan 'internal' semakin


ditinggalkan? Mungkin saja begitu. Memang tren organisasi

organisasi tersebut. Pada tahap ini lah ketidaksesuaian

sekarang

antara apa yang disampaikan saat prakedatangan dengan

adalah

memiliki

budaya

yang

cenderung

menghargai inovasi dan berorientasi ke eksternal.

realita organisasi terlihat. Sepengalaman saya, lembaga di

Tapi saya tidak akan menyatakan mana budaya yang paling

KM ITB banyak sekali yang gagal pada tahap ini. Sebagai

relevan dengan kondisi sekarang, karena lebih baik hal

contoh, pada saat osjur kekeluargaan sangat ditekankan,

tersebut dibahas di lembaga masing-masing. Bisa saja

namun saat masuk himpunan bahkan tidak sedikit anggota

budaya

himpunan yang enggan menyapa satu sama lain.

berorientasi

internal

cenderung

meningkatkan

moral anggotanya lebih dipentingkan satu organisasi

Akhirnya pada tahap metamorfosis, banyak dampak pada

dibanding budaya berorientasi eksternal yang cenderung

anggota seperti produktivitas turun, komitmen rendah dan

memiliki performa baik dari segi karya.

keputusan untuk keluar (atau setidaknya nonaktif) dari

Proses Pembentukan Budaya Organisasi di KM ITB: Ideal vs

organisasi menguat.

Realita

Penutup: Tulisan ini Bukan Kritik Tanpa Solusi

Permasalahannya,

perlu

Tenang, saya akan memberikan solusi untuk KM ITB setelah

dibentuk melalui proses pembentukan budaya yang baik.

mengkritik kaderisasinya. Per poin saja karena tulisan ini

Sehubungan hal tersebut, pada bagian ini saya akan

sudah terlalu panjang:

membahas kesalahan kaderisasi di KM ITB dari segi proses

1. Jaga hubungan yang kuat dengan penemu organisasi.

pembentukan budaya organisasi.

Apabila memang nilai penemu organisasi sudah tidak

1) Filosofi Penemu Organisasi

relevan, ganti saja budayanya. Amandemen AD/ART-nya.

Apabila penemu organisasi dapat menyampaikan kembali

AD/ART buatan penemu organisasi tersebut sebetulnya

filosofi berdirinya organisasi tersebut, budaya organisasi

mengandung nilai-nilai implisit yang ia ingin sampaikan.

akan lebih mudah terbentuk. Apakah lembaga di KM ITB

Apabila dipertahankan sedangkan kondisi organisasi tidak

masih

sesuai, jatuhnya omong kosong.

memiliki

apapun

jalinan

budaya

yang

yang

kuat

dipilih

dengan

penemu

organisasinya? Saya rasa hanya untuk sebagian orang saja.

2. Perkuat analisis kondisi anggota baru untuk dijadikan

Pada akhirnya budaya hanya terbentuk di kalangan itu-itu

dasar

saja.

memaksakan pembentukan budaya organisasi yang sudah

2) Kriteria Seleksi

tidak relevan lagi, karena seleksi tidak bisa dilakukan.

Kriteria seleksi yang disesuaikan dengan budaya organisasi

3. Pastikan badan pengurus atau jajaran manajemen atas

akan menjamin anggota yang diterima cocok dengan

organisasi sejenis memberikan contoh budaya yang ingin

budaya organisasi yang diinginkan. Bagaimana dengan KM

ditanamkan

ITB? Faktanya yang menentukan input anggota KM ITB itu

meneriakkan membantu masyarakat saat orientasi tapi

bukan mahasiswanya. Oleh karena itu wajar apabila

badan pengurusnya yang memikirkan dan membantu

banyak kesulitan dalam membentuk budaya organisasi di

masyarakat dapat dihitung dengan jari.

KM ITB. Nilai yang dimiliki mahasiswanya sejak masuk saja

4. Integrasikan kaderisasi awal dengan kegiatan eksisting di

bisa jadi sudah berlawanan.

organisasi terkait. Sebagai contoh, hilangkan kegiatan

3) Manajemen Tingkat Atas

orientasi yang menekankan kekeluargaan berlebih dengan

Role model itu jelas penting. Apakah manajemen tingkat

aturan ‘kaku’ apabila memang di dalam organisasi tersebut

atas di organisasi KM ITB sudah mencerminkan nilai yang

kekeluargaan tidak dibentuk dengan aturan ‘kaku’ pula.

ditanamkan? Sepengalaman saya, cukup banyak oknum di

Ganti saja dengan kegiatan kekeluargaan yang eksisting

jajaran manajemen atas yang tidak mencontohkan budaya

terjadi di organisasi, misal saat orientasi difokuskan ke

yang

nongkrong di sekretariat, nonton bareng, jalan-jalan, dll.

ingin

dibentuk.

Wajar

apabila

banyak

yang

menganggap budaya yang ingin dibentuk itu omong kosong. 4) Sosialisasi Sosialisasi juga dibutuhkan untuk membentuk budaya organisasi. Terdapat tahap prakedatangan, pertemuan, dan metamorfosis. Tahap prakedatangan di KM ITB biasanya berupa osjur, os-unit, KAT, dan lain-lain. Pada tahap tersebut, anggota dikenalkan dengan budaya organisasi. Tahap ini biasa dilakukan dengan penuh semangat di KM ITB, namun apa yang terjadi setelahnya? Tahap berikutnya adalah pertemuan dengan kondisi riil

pembentukan

kepada

budaya

organisasi.

anggotanya.

Contohnya

Jangan

jangan


T i g a ya n g T e r l u p a k a n d a l a m K a d e ri s a s i

Oleh: Renanda Yafi Atolah (Teknik Tenaga Listrik 2013)

Kaderisasi bagi mahasiswa ITB sudah menjadi ritus tahunan yang dijunjung sangat tinggi. Tiap organisasi, entah himpunan maupun unit, berlomba-lomba mengadakan kaderisasi dengan ciri khasnya sendiri. Mulai dari yang keras dengan segala perpeloncoan dan pembodohannya namun selalu dibanggakan oleh peserta dan panitianya; yang sangat santai hingga bagi kebanyakan mahasiswa tak bisa disebut kaderisasi (karena sudah terpatri dalam persepsinya bahwa kaderisasi harus bersifat keras dan menindas untuk menciptakan kader yang solid dan kuat); sampai yang tidak jelas namun membuat orang semakin jenuh dan berpikir. Terlepas dari cara-cara yang dilakukan, sebenarnya mereka melaksanakannya hanya untuk sebuah tujuan yaitu mempertahankan organisasinya dengan nilai yang tak berubah terlalu jauh. Karena kita tahu sendiri bahwa organisasi mahasiswa hanya dihuni oleh orang yang sama selama tiga tahun saja (kira-kira sejak TPB hingga awal tingkat empat), dan mau tidak mau setiap tahun selalu ada anggota yang menghilang dan ada juga yang masuk. Kondisi seperti ini selalu memaksa mereka untuk melakukan regenerasi secepat mungkin di tengah perubahan yang makin lama makin cepat dan tertebak, apabila proses konservasi nilai ini dilaksanakan secara kaku dan tidak adaptif, hancur sudah. Pada dasarnya proses kaderisasi yang fleksibel akan berjalan dengan lancar apabila tiga prinsip paling utama tetap dipegang oleh para pelaksana kaderisasi. Ketiga hal yang sebenarnya sangat sederhana ini

seringkali dilupakan, bahwa tidak disadari oleh mereka yang sudah merasa mengerti berbagai hal mengenai kaderisasi, melakukan segala hal dengan standar dogmatis mereka. Lantas mereka mengeluh mengapa pada akhirnya hanya berakhir kegagalan dengan munculnya generasi penerus yang mereka anggap sudah gagal. Padahal toh gagalnya sebuah generasi penerus adalah hasil dari proses yang dilakukan para senior terhadap juniornya. Ketiga hal yang wajib ada ini adalah: bebas, setara, dan mandiri. Tidak jarang makna maupun penggunaan dari ketiganya disalahpahami. Alih-alih mempertanyakan dan memahami lebih dalam, para pengkader justru melupakannya. Lebih baik langsung saja kita bahas satu persatu mengenai ketiga prinsip ini. Prinsip pertama adalah prinsip yang paling sering dihindari terutama oleh mereka yang melakukan kaderisasi yang “keras.� Sebenarnya persoalan bebas bukanlah perkara apakah proses yang diberikan bersifat santai atau keras, melainkan apakah kaderisasi ini pada akhirnya benar-benar memberi wacana kebebasan yang berkelanjutan bagi pesertanya entah saat kaderisasi sedang dilakukan atau ketika mereka telah lepas dari wahana kaderisasi. Bebas di sini dimaksudkan bahwa para peserta kader bebas merengkuh berbagai wacana nilai yang akan ditanam dalam sebuah proses kaderisasi. Ia bebas mempertanyakan segala hal yang diberikan kepadanya, bahkan diharapkan untuk menentangnya agar


mendapat pemaknaan yang lebih jauh tentang penanaman nilai yang ditujukan pada dirinya. Pada kaderisasi bertipe “keras,” pencapaian kebebasan sebenarnya lebih mudah tapi seringkali diabaikan. Mereka yang telah memperoleh penindasan sering kali hanya mengikuti alur yang telah diberi oleh seniornya yang perlahan menjadi pola yang sangat dogmatis, perilaku melawan penindasan perlahan mulai dihapuskan karena hanya akan menimbulkan ancaman

justru membuat para junior memiliki pola pikir yang makin sempit dan kepatuhan berlebih pada senior. Bedanya, mereka melakukannya dengan rasa senang yang dilingkupi oleh ilusi kebebasan. Kebebasan pada kaderisasi pada dasarnya bukanlah perkara apakah prosesnya dijalankan dengan bebas atau menindas. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah apakah kaderisasi ini nantinya akan menuangkan sebuah pemikiran yang terbebas dari

atau hukuman yang lebih berat. Tak ada kata lain yang bisa dilakukan kecuali menuruti senior. Padahal proses pendidikan berupa penindasan sebenarnya, yang sering kali dilupakan oleh orangorang, ditujukan agar para pesertanya melakukan perlawanan sebesar-besarnya untuk memperoleh kebebasan berorganisasi dari seniornya. Alih-alih kaderisasi disudahi ketika usaha perengkuhan kebebasan dilakukan, ia justru usai saat keinginan senior benar-benar dipenuhi dengan standar yang ada. Kasus ini telah terjadi di mana-mana. Mereka yang dididik dengan keras malah mengkultuskan organisasinya, menjadi dogmatis terhadap nilai-nilai organisasinya, cenderung konservatif tanpa alasan, dan ketakutan begitu mendapat ide baru yang diajukan penerusnya. Dengan perubahan zaman yang begitu banal, merupakan hal yang wajar jika mereka tetap mempertanyakan kegagalan dari sistem lama yang mereka pertahankan tapi tak pernah mendapat jawabannya. Hal yang berbeda tapi hampir sama terjadi pada kaderisasi yang lebih “santai” dan membebaskan sedari awal. Keterbukaan atas pilihan yang tak terbatas justru menjadi sebuah opresi dalam bentuk yang lain. Manusia cenderung kebingungan ketika ia mendapat

belenggu dogma apapun ketika sang kader sudah lepas dari proses kaderisasi. Penanaman nilai di sini harus dijalankan dengan membenturkan wacana para kader dengan berbagai pola pikir yang berlawanan hingga ia kebingungan dengan segala wacana tersebut. Jika di ITB kaderisasi umumnya (bahkan selalu) dijalankan dengan menghancurkan seluruh pola pikir kader lalu membangun ulang sesuai keinginan pengkader, hal yang sebaliknya dilakukan pada proses kaderisasi yang membebaskan. Penghancuran pola pikir harus dilakukan sendiri oleh para kader, dan ketika ia mulai membentuk ulang pola pikirnya, pengkader sedikit demi sedikit menawarkan nilai-nilai yang ada di organisasinya. Nilai-nilai yang ditanamkan nantinya tidak menjadi nilai mutlak yang membentuk setiap kader menjadi manusia berpola pikir seragam. Penanaman nilai organisasi di sini dilakukan dengan mengubah nilai-nilai tersebut menjadi nilai tukar yang ditawarkan pada para kader. Nilai-nilai ini nantinya bisa dipertukarkan dengan nilai baru yang dibawa oleh sang kader ketika membentuk ulang pola pikirnya, tentunya dengan pertimbangan identitas dan arah juang organisasi tersebut. Pada akhirnya, prinsip ‘bebas’ dalam sebuah kaderisasi bukanlah perkara metode namun perkara apakah pola

pilihan dengan jumlah yang sangat sedikit ataupun terlampau banyak. Kebebasan yang diberikan secara tiba-tiba malah menimbulkan rasa takut akan kebebasan, tujuan dari sebuah kaderisasi semakin kabur dan tak pernah timbul inovasi ataupun kreativitas. Ketakutan-ketakutan ini akhirnya menimbulkan hasrat untuk lepas dari kebebasan (bebas dari kebebasan?) dengan mencari patron yang lebih jelas arahnya. Pada kasus yang lain, kaderisasi dengan suasana “bebas” juga dapat menghasilkan dogmatisme terhadap senior. Karena polanya yang berbeda dengan kaderisa-kaderisasi lainnya di ITB, ia dianggap sebuah penyegaran bagi berbagai calon anggota organisasi. Senior yang berani membawa metode baru malah dibangga-banggakan lalu diperparah dengan makin banyaknya serangan berupa apresiasi positif yang ditujukan pada para peserta kader. Patron seperti ini

pikir sang kader akan terbebas atau tidak ketika mendapat proses tersebut. Prinsip ini nantinya tidak hanya membebaskan sang kader namun juga organisasi dari sikap yang dogmatis, tidak adaptif, dan terlalu konsevatif. Prinsip kedua yang juga wajib diletakan adalah ‘setara’ yang mana diajukan sebagai proses anti-hierarki dalam sebuah kaderisasi. Sebagaimana sebuah proses pendidikan nonformal, kaderisasi bagi sebuah organisasi mahasiswa adalah pendidikan dua arah antara mereka yang memegang nilai lama (pengkader) dan mereka yang membawa nilai baru (kader). Pembelajaran ini dilakukan oleh berbagai elemen yang sama-sama mau saling mengajar dan belajar. Seorang pengkader tidak lagi memiliki otoritas tertinggi atas nilai yang ingin ditanamkannya. Segala nilai maupun pengetahuan yang ada dalam proses ini harus diajukan


tanpa berada pada posisi yang lebih tinggi. Bagi pengkader yang ingin menanamkan suatu nilai dan pengetahuan dari organisasinya melalui proses ini, ia harus menyajikannya dengan argumen yang matang dan mudah dipahami. Begitu ada serangan terhadap hal yang ia ajukan, ia juga harus menerimanya dan memprosesnya lagi jika masih menginginkan nilainya diterima oleh kadernya. Tidak ada lagi penyampaian nilai secara memaksa melalui relasi kuasa pada

datang dan pergi begitu saja, dan kaderisasi harus dilakukan agar organisasi itu tetap hidup dengan

pembelajaran seperti ini. Kesetaraan ini berlaku juga pada para kader, tentunya, turunnya peringkat para pengkader menjadi setara dengan junior tidak menjadikan para kader bisa berbuat seenaknya terhadap pengkadernya. Tetap ada sebuah respek yang diajukan pada pengkader yang telah menciptakan sebuah wahana pembelajaran dialogis di antara mereka berdua. Ide yang diajukan pun tetap harus argumentatif untuk dimasukkan kepada sebuah ruang dialogis. Dengan kesetaraan dalam belajar ini pengetahuan dan nilai adalah mata uang yang saling dipertukarkan dan dipelajari satu sama lain. Maka menjadi sebuah kewajiban mutlak bagi pengkader untuk benar-benar mempelajari nilai yang ingin mereka tanamkan, dan tidak menolak apabila setelah mereka pelajari ternyata nilai itu sudah sesuai. Bukannya malah membuat rangkaian pembenaran dengan relasi kuasa karena hal itu hanya akan menjadi bumerang bagi mereka. Dengan begitu dapat dipahami bahwa kesetaraan yang dimaksud di sini adalah kesetaraan dalam berbagi nilai pengetahuan. Indoktrinasi nilai secara paksa harus dihilangkan karena hanya akan menciptakan kepercayaan dogmatis terhadap nilai-nilai organisasi dan membuat suatu nilai yang sudah usang tidak bisa

adalah indikasi bahwa kaderisasi yang mereka lakukan sebelumnya telah gagal. Mau tidak mau, agar kemandirian ini terwujud, harus dilaksanakan upaya percobaan bagi para kader untuk menjalankan organisasi tersebut tanpa intervensi senior. Percobaan inilah yang akan dievalusi sebelum senior benar-benar mengupayakan pelepasan terhadap juniornya. Kemandirian pada dasarnya harus dibumbui dengan kesempurnaan penghayatan nilai organisasi dan kebijakan atas pelaksanaan segala angan-angan yang didapat saat kaderisasi. Kedua hal ini tak bisa didapat dengan mudah kecuali jika kaderisasi tersebut telah memberi berbagai tekanan dalam bentuk simulasi (bukan marah-marah tiada guna) terhadap kader yang mereka siapkan. Dari ketiga prinsip ini, tak ada yang bisa ditinggalkan satu pun. Mereka adalah satu kesatuan utuh yang melingkupi satu sama lain dan tidak memiliki pusat, jaringannya saling terhubung dan ketika satu diputus maka akan menghancurkan kaderisasi itu sendiri (seperti yang selalu terjadi di manapun). Perihal apakah ketiga prinsip ini akan kalian terima dan kalian jalankan, itu adalah sebuah pilihan. Tapi tetap ingat bahwa menjalankan ketiga prinsip ini bukanlah sesuatu yang mudah karena akan mendapat berbagai tekanan dari luar maupun dalam diri, ia membuatmu berpikir lebih dalam dan merasa berbagai hal yang tak terduga.

berubah dan malah merongrong organisasi tersebut. Relasi yang setara ini nantinya akan membuat para anggota organisasi lebih kritis dan melupakan adanya hierarki senior-junior pada suatu pemaksaan nilai. Perlahan akan mulai dilupakan adanya kesemenamenaan swasta (mahasiswa tingkat akhir) kolot yang ingin mempertahankan nilai lama ketika ada usaha pembaharuan yang sedang dilakukan. Pertahanan nilai lama hanya bisa dilakukan ketika ia telah dipikir dan dirasa benar-benar relevan terhadap organisasi tersebut di zaman yang sedang berlangsung. Prinsip ketiga adalah “mandiri,� yang bisa diartikan sebuah kemerdekaan melalui proses pelepasan yang terjadi setelah proses pendidikan telah usai. Tak ayal bahwa (seperti yang telah saya katakan di atas) suuatu organisasi mahasiswa mengalami perubahan yang sangat cepat dari tahun ke tahun, setiap angkatan

identitasnya tak peduli siapa yang berada di dalamnya. Pelepasan adalah keharusan yang pasti baginya, para kader baru harus siap untuk aktif tanpa intervensi senior tapi tetap bergerak pada koridor organisasi tersebut. Para senior pun harus memiliki rasa percaya yang tinggi kepada kader yang telah ia didik. Adanya intervensi senior terhadap juniornya karena rasa tidak percaya

Dan saya rasa kalian belum bisa benar-benar percaya ataupun menentang saya sebelum kalian benar-benar mencobanya. Tabik!




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.