Zine #3 Majalah Ganesha

Page 1

ZINE #3 MAJALAH GANESHA



Menikmati Penyesalan Sasaran demi sasaran ditempatkan di sembarang titik, memberikan keraguan serta harapan untuk orang yang meletakkannya tanpa sadar. Keraguan untuk berlari mengejar sasaran yang berisiko, bercampur dengan harapan untuk menikmati hasil perjalanan tersebut. Ketika sasaran tidak berhasil dicapai, campuran tadi akan melahirkan suatu rasa yang pahit. Rasa itu adalah penyesalan. Penyesalan adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Selama masih ada kemungkinan alternatif, tidaklah mungkin penyesalan dapat dihindari. Kemungkinan alternatif ini tidak harus nyata, imajinasipun cukup. Selama kita bisa berkhayal pasti cepat atau lambat kita akan menyesal. Sederhana saja. Tapi entah kenapa, tidak sedikit manusia yang menghindari rasa ini. Mungkin karena kebahagiaan hakiki tidak boleh dicemari pahitnya penyesalan? Apapun alasannya, sepertinya sudah populer bahwa dalam hidup ini sebaiknya kita tidak menyesal. Tidak jarang saya menemukan orang menggunakan kutipan tertentu agar rasa menyesalnya hilang, misal "Namanya juga hidup. Kadang di atas, kadang di bawah." Yah, tidak apa-apa sih. Menahan perasaan mungkin memang perlu di saat tertentu. Namun saya


meyakini bahwa penyesalan adalah rasa yang harus dialami oleh setiap manusia secara berkala. Tidak sehat apabila terus ditahan. Lagipula seandainya kita tidak menyesali kesalahan di masa lampau, mungkin tidak ada pula mimpi yang tercapai karena rasanya biasa saja melakukan kegagalan. Yang penting kita siap belajar setiap kali rasa penyesalan itu datang. Tidak perlu mengusir rasa itu. Biarkan saja penyesalan itu ada, karena dengan keberadaannya kita sadar bahwa kita punya mimpi yang belum tercapai dan harus belajar lagi. Sebagai catatan, saya tidak bermaksud menciptakan glorifikasi untuk kata penyesalan. Sama sekali tidak. Menyesal itu tidak enak, saya sadar betul akan hal itu. Saya juga tidak menyarankan untuk berlarutlarut dalam penyesalan seperti Gotye: "You can get addicted to a certain kind of sadness." Tulisan ini hanya bertujuan untuk memberikan alternatif cara menikmati penyesalan dan berani menghadapinya. Bukan dengan mengalihkan perhatian melainkan dengan menghadapinya langsung, sehingga kita dapat terus memperbaiki diri. Lagipula apabila kita terlalu takut menyesal, kapan kita berani mengambil risiko? Mendekati orang yang disayangi itu perlu risiko loh. Eh. Racauan malam, 28 Desember 2016.


Lucky Buddy: Event Sesat LINE oleh: Rey Saya ikutan event ini hanya karena ingin punya stiker gratis. Soalnya bosan dengan koleksi stiker yang saya punya. Nah, karena saya tahu ini cukup sesat secara ilmiah, jadi saya ingin mengimbanginya dengan beberapa paragraf lain yang (semoga saja) membebaskan pikiran kita dari logika mistis. Paragraf-paragraf berikutnya akan membahas penjelasan mengenai reaksi netizen terhadap halhal seperti Lucky Buddy LINE ini. Mengapa penjelasan tidak saintifik yang ada pada event Lucky Buddy ini masih dapat diterima oleh sebagian orang? Sejauh ini, saya menemukan dua hal yang saya rasa relevan untuk menjawab pertanyaan ini yaitu Barnum/Forer Effect dan Subjective Validation. Barnum/Forer Effect terjadi pada saat seorang individu menganggap deskripsi kepribadian yang sudah dirancang spesifik untuknya sebagai deskripsi


yang akurat, padahal kenyataannya deskripsi tersebut cukup general dan berlaku untuk sebagian besar orang. Familiar? Harusnya sih familar. Banyak kok kejadian di akun-akun official sesat yang oplahnya tinggi. Golongan darah tuh banyak. Sedangkan Subjective Validation adalah sebuah bias kognitif dimana seseorang akan menganggap sebuah informasi itu benar, karena terdapat arti personal atau signifikansi terhadapnya. Bisa dibilang, ini terjadi pada saat kita nyocok-nyocokin imej yang kita punya atas diri sendiri terhadap suatu penjelasan. Padahal tidak ada hubungan langsung atau korelasi kuat antara keduanya. Kita aja yang nyocoklogiin. Kedua pendekatan ini dapat menjelaskan sebagian alasan mengapa sampai sekarang masih ada yang percaya penjelasan dari Lucky Buddy, kepribadian berdasarkan golongan darah, tes Myers-Briggs Type Indicator, padahal penjelasan-penjelasan tersebut tidak valid dan reliable apabila ditinjau menggunakan metode ilmiah. Jadi semisal kamu yang baca tulisan ini menyadari pikiran kamu atau teman-teman kamu seperti ini: "Anjir gue banget nih ENTP." "Kok ekstrovert sih hasilnya? Perasaan gue introvert. *Dicoba lagi* *Hasilnya introvert karena pengen hasilnya itu secara tidak sadar*" "Wah goldar O emang gue banget sih" "Njir kok pas banget sih Lucky Buddy LINE gue disuruh olahraga, emang lagi gendutan.." "Aquarius orangnya kalem? Wah iyasih gue mayan


kalem gitu." Coba dikurang-kurangi aja ya. Kadang ada penjelasan yang membuat hidup kita terganggu loh. Walaupun biasanya kita cenderung nyari yang baik untuk dicocoklogiin, tapi kalau keterusan bisa-bisa kena sugesti yang jelek juga. Hati-hati mas mbak. Yah, semoga saja sugesti sesat seperti ini tidak mengganggu kehidupan kita semua. Masa saya merasa tren seperti ini nggak berkurang signifikan sih sejak saya melihat ada tulisan di LINE yang serupa dengan tulisan ini? Tolonglah :( Salam Pembebasan!



Pendidikan di Indonesia sangat terpengaruh terhadap konsep neoliberal yang semakin global. Hal ini didapatkan dari kesamaan dalam perubahan pola pendidikan yang ada. Perubahan tersebut dikarakteristikkan dengan redefinisi dari konsepkonsep dasar seperti “kesetaraan”, yang pada dasarnya terus dibicarakan untuk mencapai prioritas neoliberal. Walaupun terdapat retorika yang terlihat seperti “pendidikan untuk semua orang” dalam satu sisi, peran pemerintah pada kenyataannya melemah di sisi yang lain(Kumar, Ravi dan Dave Hill, 2009s). Kita menemukan proses kemerosotan terhadap prestasi sekolah di Indonesia dan minimnya pengalokasian dana terhadap sekolah-sekolah tersebut. Walaupun belum berdampak di perguruan tinggi negeri favorit, tetapi secara perlahan akan mengindikasikan berkurangnnya prestasi perguruan tinggi negeri pada masa mendatang, termasuk pemotongan anggaran dalam perguruan tinggi negeri. Kemudian dengan berkembangnya ‘pilihan orangtua’ sebagai bentuk pasar atas beragamnya sekolah yang ada, privatisasi di institusi pendidikan, dan pembatasan anggaran tersebut, adalah bagian dari proses edukasi dan anti-kesejahteraan publik oleh kelas kapital. Pengaruh kapitalisme neoliberal telah jauh memasuki lingkup universitas. Keadaan ini lebih drastis dari industrialisasi, urbanisasi, dan sekularisme jika digabungkan. Pengaruh tersebut juga telah menciptakan perombakan besar dalam ekonomi negara, sehingga pemerintah bereaksi dengan tanggap terhadap keadaan dengan mengadopsi pola pikir kapitalis dan teknokratis


untuk mencipatakan industri berbasis teknologi. Hal ini telah menghasilkan beberapa langkah untuk mereformasi pendidikan tinggi untuk menghasilkan teknokrat yang berimbang dengan kebutuhan dalam negeri pada rangkaian pendidikan yang lebih tinggi. (Mishra, Ravishri dan Momina Sirguroh, 2014) Jika universitas tidak mengambil langkah yang serius dan ketat sebagai penjaga kebebasan akademisi, sebagai pengkrtisi masalah etis yang semakin kompleks, sebagai pelayan dan pelindung kegiatan demokrasi, maka rezim yang lain atau rezim-rezim lainnya akan melakukanny a untuk kita, terlepas dari kita, dan tanpa kita. (Toni Morrison, 2001, dikutip di Giroux, 2002)

"...perubahan harus dilakukan oleh universitas yang berorientasi menuju universitas modern..."

Lalu mengapa pengaruh neoliberal sangat besar dalam pendidikan di Indonesia? Hal ini dapat dilihat dari fenomena tenaga pendidik di universitas maupun sekolah. Guru adalah kelompok pekerja yang sangat terorganisir, dan dalam beberapa kasus paling militan. Tempat berlangsungnya aktifitas guru berada pada sektor-sektor yang sangat krusial, yaitu di kelas saat belajar, di organisasi seperti persatuan guru, di komunitas lokal ataupun kota, dan juga


lingkup nasional. Maka dari itu transformasi politik sosial dan aktivisme pendidikan, baik revolusioner maupun konservatif, transformatif atau reproduktif, berada pada luar dalam lingkup pendidikan formal.(Hill, Dave,2014)Tanpa perjuangan untuk memberikan prespektif yang lain untuk menciptakan pendidikan yang merata ke semua orang, menggerakkan budaya literasi, tanpa pendidikan karakter berbasis pancasila dengan segala falsafah dan dasar kenegaraannya, maka pengaruh lainnya tersebut yang akan merubah tatanan pendidikan di Indonesia. Sehingga istilah keadaan ini dicirikan menjadi tiga, yaitu menghadapi yang merupakan masa lalu, keadaan sekarang, dan masa depan dari pendidikan, atau, pengembangan, fungsi, dan prospeknya. Istilah ini dideskripsikan lebih detail dari terminologi Foucault, yaitu: 1. Munculnya institusi pendidikan berdasarkan sejarah atau penguasaan teknologi untuk pelaksanaan politik, dari orientasi yang negatif tahun 1700-an menuju pemahaman yang baik pada tahun 1800an dalam pertahanan dan ekspansi. 2. Proses penjelasan mekanisme pembelajaran sehari-hari sebagai teknologi pembedah moral atau disiplin dalam masyarakat 3. Implikasi dari pendidikan kontemporer dari institusi-insitusi serta pelaksanaan model pendidikan sebagai ‘instrumen kapasitas-komunikasi-kekuasaan’. Dalam hal ini politik menjadi pengaruh yang besar


untuk mengkomunikasikan kekuasaan kepada masyarakat dalam institusi pendidikan yang notabene sebagai penjaga moral dan pengembangan pengetahuan di masyarakat. Kemudian perubahan harus dilakukan oleh universitas yang berorientasi menuju universitas modern. Universitas yang modern itu sendiri mempunyai karakteristik yaitu berkesesuaian dengan kebutuhan yang ada dalam tahap-tahap perkembangan sosial dan ekonomi. Konsep universitas modern dijelaskan oleh filsuf Jacques Derrida, yaitu universitas yang memiliki “kebebasan akademis, kebebasan tak bersyarat untuk bertanya dan mengemukakan pendapat dalam mencari kebenaran, merupakan definisi dari keadaan ini.� Kemudian konsep “universitas yang inklusif� atau mengikutertakan masyarakat dalam menyelesaikan masalah pada masanya. Penelitian dan pengembangan diarahkan menuju pengembangan komunitas yang mensejahterakan masyarakat secara nasional dan global adalah kunci suksesnya dari universitas di abad ke-21. Terakhir, pendekatan (Model Beasiswa Boyer) yang mengasumsikan yaitu di saat-saat mendatang, universitas harus ikut serta dalam lingkungan sosial, ekonomi, dan ekologi di sekitarnya. Tidak hanya meningkatkan nilai pendidikan di masyarakat, tetapi juga menyelesaikan kebutuhan yang spesifik kepada individu, yang berada pada lingkungan tempat universitas tersebut berada.


Daftar Pustaka Deacon, Roger. 2006. Michel Foucault on education: a preliminary theoretical overview. South African Journal of Education Derrida J. 2001. L’Université sans condition, Éditions Galilée. Michel, Foucault.1982. The Subject and Power. Afterword to Dreyfus HL & Rabinow P. Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics. Brighton, Harvester. Hill, Dave dan Ravi Kumar. 2009. Global Neoliberalism and Education and its Consequences. Routledge : New York Hill, Dave. 2014. Transformative Education, Critical Education, Marxist Education: Possibilities and Alternatives to the Restructuring of Education in Global Neoliberal / Neoconservative Times. Anglia Ruskin University Mishra , Ravishri dan Momina Sirguroh. Agustus 2014. Higher education in india: transition from socialism to capitalism. European Scientific Journal. Toni Morrison.2001.How can Values be taught in the University?. Michigan Quarterly.


Di Balik Waktu Indonesia Bercanda: Memainkan Proses Pikir Manusia Cak Lontong - Availability Heuristic - Anies Baswedan Oleh: Rey Walau sejak dulu saya paham bahwa Cak Lontong sering menggunakan sesat pikir dalam leluconnya, namun baru kali ini saya kagum ketika menonton beliau menjadi host acara Waktu Indonesia Bercanda. Saya kagum bukan karena kelihaian beliau menggunakan sesat pikir seperti biasanya, namun saya kagum karena kelihaian beliau mengakali orang lain dengan memainkan salah satu cara manusia berpikir otomatis: Availability Heuristic. Sebelum saya menjelaskan apa itu availability heuristic, saya akan menjelaskan terlebih dahulu pada bagian apa proses pikir ini dipermainkan. Saya ambil satu segmen saja, teka-teki sulit. Permainan tersebut memicu pikiran pesertanya untuk memunculkan jawaban yang dianggap wajar dalam waktu singkat, padahal belum tentu itu jawabannya. Contoh: "Pemain bola luar negeri yang sering mendapatkan penghargaan pemain terbaik dunia? _ _ _ E" Jawaban apa yang sepertinya wajar terlintas di benak penggemar sepak bola? Pele? Apakah itu jawabannya?


Salah. Peserta yang sudah pernah mengikuti acara tersebut sih sudah terbiasa berkata tidak mungkin itu jawabannya. Mereka selalu mencoba menggali asumsi mereka terkait TTS untuk menebak jawaban, yang kadang sangat logis namun tidak kepikiran, dari teka-teki tersebut. Namun jarang sekali ada yang berhasil. Sekalinya berhasil, girangnya bukan main. Ohiya, jawabannya adalah B U L E. Logis kan? Memang belum pernah ada orang asli Indonesia yang pernah memenangkan penghargaan tersebut, sehingga pantas apabila jawabannya Bule. Tapi kenapa nggak atau sulit sekali kepikiran? Nah, hal ini adalah contoh nyata dari kelemahan manusia memproses informasi secara cepat dengan availability heuristic. Availability heuristic itu sendiri adalah jalan pintas pikiran kita yang membuat kita berpikir atas dasar apa yang lebih mudah diingat dalam menghadapi sesuatu. Kemudahan mengingat ini ditentukan oleh seberapa emosional memori kita dan seberapa baru informasi tersebut. Bagi penggemar bola, pasti informasi tentang asosiasi Pele dengan Pemain Terbaik lebih sering masuk di berita-berita bola yang dikemas secara emosional, dibanding asosiasi Bule dengan Pemain Terbaik. Wajar kalau otak otomatis memunculkan jawaban Pele. Gitu.


Penting banget yak bahas beginian? Yoi penting. Mungkin hal terlihat ini sepele dan kita menikmatinya dengan tertawa saat menonton Waktu Indonesia Bercanda. Namun ingatlah bahwa tertawa itu sebetulnya kombinasi dari emosi dasar yaitu takut akan sesuatu yang inkonsisten kemudian lega. Ketika kebodohan mendasar manusia itu dibungkus dalam komedi, kita akan merasa lega bukan? Karena merasa itu hanyalah candaan belaka. Tapi mari hadapi kenyataannya. Kita memang sebodoh itu kok, walau otak kita kerap membuat kita sangat yakin dengan pengetahuan yang kita punya dengan proses pikir seperti availability heuristic. Manusia manapun tidak mungkin berpikir jernih tanpa asumsi-asumsi tertentu. Ingin contoh? Sila lihat video saat Anies Baswedan diundang ke Waktu Indonesia Bercanda. Beliau tetap saja 'dibodoh-bodohi' oleh Cak Lontong dengan teka-teki sulitnya itu, sebelum akhirnya menggali segala asumsinya terkait TTS konvensional. Saya tidak mengasumsikan Anies Baswedan sebagai manusia terpintar di bumi ini, tapi saya menganggap beliau bisa dianggap sudah memiliki pengetahuan yang cukup dalam pada bidangnya dibanding orang awam. Sekarang coba pikir, seorang yang terpelajarpun tetap bisa dimainkan proses pikirannya kan? Gimana kita?


Siapapun yang dihadapkan pertanyaan "Yang identik dengan jakarta adalah _ _ I" dengan jawaban OHI dalam waktu singkat, pasti bingung sendiri. OHI Dibacanya bundaran HI. Siapa juga yang kepikiran ternyata O bisa dianggap simbol bundaran dalam waktu sesingkat itu? Kemungkinan besar otak kita memaksa untuk menjawab sebuah jawaban yang dengan mudah terpikir: DKI. Tapi kan itu salah. Ck. Yah.. gausah dipikirin serius-serius amat sih, nikmati saja acara yang memicu adrenalin pesertanya ini. Saya cuma mengingatkan kelemahan berpikir kita ini, mumpung konteksnya bercandaan. Apabila kita sedang berada dalam situasi yang lebih memengaruhi hajat hidup, sebetulnya serem loh. Siap-siap saja mengeluarkan tenaga ekstra untuk menggali asumsi sendiri saat berada di situasi tersebut. Tapi selow aja ini juga cuma tulisan iseng saat istirahat. Syukur-syukur analisis acak-acakan setengah serius setengah ngaco ini bisa menjadi hiburan(?) yang bermanfaat bagi yang membaca. Siplahya. Mari menonton Waktu Indonesia Bercanda lagi.


Aku dan Waktu oleh: Yudha Dalam keintiman malam, sejenak ku berpikir mengenai hakikat kehidupan. Ya, kehidupan yang manusia alami tak akan pernah lepas oleh dua entitas yang hakiki, yaitu ruang yang mengisi jagat raya ini, dan waktu yang terus bergulir tanpa henti. Keduanya berakulturasi sedemikian rupa membentuk sintesa perpaduan wujud dunia secara harmoni sekaligus kacau dalam kalkulasi entropi. Apakah dunia ini abadi? Entah, mungkin nalar manusia sekarang belum bisa menjangkau selukbeluk misteri ilahi. Namun yang pasti, manusia akan mati. Kematian manusia adalah hal yang nyata, berbeda dengan kehidupan dunia yang sifatnya maya. Kehidupan ini dipenuhi oleh bayang-bayang semu akan suatu ketidakpastian waktu. Sekarang pertanyaannya, siapakah waktu itu? Bagiku, waktu adalah sebuah ironi dari realitas yang tak bisa kita pahami, karena wujudnya begitu banal namun pengaruhnya sangat vital. Ia terus berjalan ke depan melahap semua yang ada dihadapannya tanpa pandang bulu, sekaligus merekam semua jejak yang ada di belakang sejak dari hulu. Banyak anggapan yang mengatakan bahwa waktu berjalan secara linear, karena ada pembabakan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Adapula


yang mengatakan waktu itu sirkular karena kejadian di dunia ini akan terus berulang. Entah yang mana yang benar, aku tak peduli. Bagiku keduanya benar sekaligus salah. Waktu ya waktu, itu sudah cukup. Berusaha memahami sang waktu rasanya kurang lengkap bila tidak bercermin pada kehidupan sang pelaku, yaitu aku. Memahami aku pun akan sulit tanpa adanya kesadaran tentang waktu yang berjalan bersamaan dengan aku yang penasaran. Waktu berjalan, aku penasaran, lalu ada apa gerangan? Penasaran menjadi kata kunci disini, karena dengan penasaranlah, aku merangkul waktu. Dalam rangkulan itu, aku menjadi tahu bahwa aku punya waktu, dan waktu punya aku. Waktu punya aku, mencoba memahami kalimat ini membawaku berfantasi ria mengarungi relung memori. Rasanya seperti merenungi apa yang sudah terjadi, mengingat-ingat apa yang telah kulalui, dan akhirnya hanya rasa sesal yang tersisa dalam diri. Andai saja dulu aku begini, bagaimana bila aku ambil jalan ini, dan pikiran semacamnya serentak terbayang dalam otakku. Aku malu akan masa laluku. Aku malu karena ketidakmampuanku memanfaatkan sang waktu. Betapa banyak kesempatan yang telah kulewatkan hanya karena ego pribadi yang memakan kesadaran. Aku menyesal. Kata sial menjadi simbol penyesalan, yang setiap hari kuucapkan tanpa beban. Memang benar, menyesali tak akan merubah yang terjadi. Tapi paling tidak, mengucapkan hal itu akan sedikit meringankan rasa


sesal, walaupun tak bisa mengobati sepenuhnya. Terlebih lagi, bila kita dapat memaknai sekaligus refleksi diri, apa yang telah terjadi akan menjadi sebuah ingatan yang layak kita terima. Hingga akhirnya, kita bisa berdamai dengan masa lalu. Aku punya waktu menjadi simbol suatu harapan akan masa depan, sekaligus ketakutan akan ketidakpastian. Membayangkan masa depan membuatku takut untuk melangkah. Aku tak ingin apa yang kulakukan sekarang kusesali di masa depan. Aku tak ingin mengulang kesalahan. Pikiran-pikiran semacam itulah yang terus membuatku terhenti di masa ini. Dan bodohnya, hal ini pasti kusesali juga karena menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berpikir. Namun bukankah setiap jalan yang kita pilih akan selalu terlahir penyesalan? Dan apakah setiap penyesalan yang terlahir harus kita takutkan? Ternyata kehidupan ini memang berjalan dengan aturan yang baru saja aku pahami. Waktu ada sebagai media manusia berkreasi. Dari situlah timbul pengalaman, kenangan, dan harapan. Menyesali apa yang terjadi memang perlu, namun yang terpenting bukanlah disitu. Menyesal lalu berhenti tak akan membawa kita kemana-mana kecuali penyesalan yang lain, lebih baik bila penyesalan itu dimaknai untuk memperbaiki diri. Terimakasih waktu, kau sudah mengajarkan hal itu. Bila waktuku telah tiba, dapatkah kita bersatu padu wahai sang waktu?


Aku punya waktu, Waktu punya aku, Aku…….waktu


Fantasi Masa Depan Ada sebuah fantasi yang selalu menyerang aku saat dihujani kewajiban akademik mahasiswa. Persamaan nasib ditempa berjamaah oleh sistem pendidikan kampus hanya berlangsung sementara dan mungkin hanya sekali saja. Kapan lagi aku mendapat teman persamaan nasib dalam menimba ilmu? 20 tahun lagi juga tidak ada yang tahu, teman kuliah sekarang akan menjadi apa. Coba dipikir. Mungkin saja kamu menjadi petinggi perusahaan multinasional, duduk manis di lantai 27 gedung kantor pencakar langit sambil mengamati teman kuliah sendiri mengorganisir tuntutan di depan lobby perusahaanmu yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Gimana? Mungkin juga teman kamu sedang sibuk mengusut kasus penggelapan uang yang atasan kamu lakukan di perusahaan tersebut. Sedangkan kamu serbasalah karena atasan kamu itu yang berjasa atas promosi kamu. Dilema. Bukan tidak mungkin pula jika temanmu ada yang supersukses, jadi pengusaha terkenal semacam


sandi agak kuno, tapi sudah lupa sama siapa dia rutin menitip fotokopi catatan dan soal. Padahal itu kamu. Kacang lupa kulit. Atau mungkin gebetanmu yang akhirnya cuma menjadikan kamu sumber akademik tanpa memiliki perasaan lebih, sekarang masih single dan berjuang mencari pekerjaan di kantor kamu. Padahal kamu adalah pihak HR yang jadi recruiternya. Canggung. Temanmu, aktivis kampus berjiwa pahlawan murni yang sering dihujat karena tidak solutif, mungkin saja di masa mendatang berhasil membuat organisasi pengembangan masyarakat yang diimpikannya sejak kuliah. Dan kamu adalah pihak yang mengurus CSR ke organisasi dia. Senang bercampur kaget. Oh, mungkin juga temanmu yang sangat pasif di kampus itu menjadi penulis handal. Bukan penulis novel chimpy, tapi penulis sekaliber Pram Mudi Ya. Ternyata kacamata pandangnya yang unik terhadap dunia baru bisa tertuang, setelah berulang kali kamu cap gagal untuk survive di dunia kerja, hanya karena ia gagal diterima di Bandung Consultant Group sedangkan kamu diterima. Malu.


Begitu kamu menyadari semua itu, kamu mulai merenung. Berjalan menuju mobil pemberian kantor dan mengemudikannya ke apartemen menengah ke atas milikmu. Setelah sampai, kamu merebahkan badan di kasur dan menyalakan tv. Namun kemudian kamu tertegun. Ternyata pengganti Najwa Shohib di acara Mata itu, adalah cintamu yang tak kunjung sampai saat kuliah. Senyumpun menutup harimu, serta sebuah kalimat terlintas di kepala: "Acak sekali ya dunia ini." Yah entahlah akan jadi seperti apa, kemungkinannya tidak terbatas. Aku sendiri hanya bisa berfantasi sampai semua menjadi basi. Mungkin ini bisa kujadikan satu novel sendiri. Yah sudahlah, aku hanya seorang mahasiswa teknik industri yang bermimpi tinggi. Let's enjoy the present.


Satu oleh: Benda Itu Laras Tidak pernah terlintas di benakku bahwa dialah orang yang kucari. Tampangnya begitu meyakinkan, – pakaian baru, sepatu mengkilap, dan semua hal yang meyakinkanmu bahwa penampilannya sangat terawat – hingga aku pun tak percaya jika ia mencari benda yang selama ini tersimpan dalam tasku. Aku mengamati sorot matanya, jangan-jangan ia memang berbohong. Namun aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Ataukah ia sudah begitu terampilnya, hingga dapat mengendalikan apa yang diungkapkan matanya? “Saya butuh bukti,” kataku pada akhirnya. Ya, bila ia dapat membuktikan bahwa benda tersebut adalah miliknya, aku dapat menyerahkannya tanpa beban. Aku tahu bahwa benda ini sangat berharga, dan setiap orang yang serakah pasti mencarinya pula. Ia menghela nafas, memutar matanya. Dari wajahnya aku dapat melihat bahwa ia sudah lelah meyakinkanku. Perempuan tersebut sudah menghabiskan hampir satu jam memberikan berbagai macam alasan dan kisah-kisah yang menyebabkan benda berharganya menghilang dan ditemukan aku. Namun aku masih ragu. Dan kini ia harus melakukannya sekali lagi... “Kata-kata dapat direkayasa,” ucapku dengan pelan. Lalu aku menunduk, merasa bersalah juga. Aku percaya bahwa benda itu miliknya, tapi di waktu


yang bersamaan aku tidak ingin menyerahkannya pada orang yang salah. Ini bukan sembarang benda, ini hasil karya manusia yang unik. “Kalau begitu... Mari kita duduk disana,” ajaknya, dengan nada yang pelan juga. Aku mendengar rasa kesal darinya. Rasa kesal dan putus asa. Pasti sial yang dirasanya, karena aku begitu sulit untuk diyakinkan. Aku hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Lalu kami berjalan mendekati sebuah restoran kecil dan duduk di tempat dengan meja yang cukup luas untuk meletakkan berbagai macam hal. Ia memesankan minuman untukku dan untuk dirinya juga, tentunya. Kemudian, dengan tangannya yang lincah, ia keluarkan sebuah buku tulis dan sebuah pena dari tas kecilnya. Aku tidak menyangka bahwa pada jaman berkuasanya barang-barang elektronik, seorang perempuan yang terlihat ‘meyakinkan’ – baju, sepatu, tas, jaket, dan masih banyak hal lainya yang sangat terawat – masih saja membawa alat tulis. Mungkin aku juga akan heran andai saja kami berada di tahun-tahun silam karena tidak pernah melihat seorang perempuan dengan menampilan sepertinya membaca buku, apalagi menulis. Dengan penampilannya yang ‘meyakinkan’, ia pun mulai menulis sesuatu. Dan aku hanya dapat menunggu, dan menunggu. Orang itu sangat menyebalkan. Saya sudah menjelaskannya berulangkali mengenai asal-usul


buku tersebut, hingga hampir menceritakan kehidupan saya sendiri. Dan apa yang dilakukannya? Terus menerus menyipitkan mata dan menunduk sambil menaruh tangannya di bawah dagu, berlagak berpikir. Seperti orang seperti itu dapat berpikir saja. Ditambah lagi, ocehan saya selama satu jam tidak berpengaruh sama sekali karena kini ia ‘meminta bukti’. Orang macam apakah ini? Saya yakin, ia telah mengintip isinya. Bila memang begitu, ia bukan seseorang yang seharusnya saya remehkan. Hanya orang tertentu yang dapat mengetahui nilai sebenarnya dari barang berhargaku, dan sepertinya ‘profesor’ ini salah satunya. Karena itu, saya mengajaknya duduk di restoran milik paman saya, dan kini saya sedang memberikan bukti yang selama ini ia minta. Ya, bila ia meminta bukti, hanya inilah yang dapat saya berikan; tulisan tangan saya sendiri. Benda itu bukanlah sesuatu yang berharga di mata orang biasa. Bahkan, semua orang bisa mendapatkannya. Hal yang memberikan nilai pada benda tersebut adalah isi yang ditentukan oleh pemiliknya. Bila sang pemilik memilih untuk mengisinya dengan hal berharga, benda tersebut akan bernilai; bila sang pemilik mengisinya dengan sampah, benda tersebut akan menjadi sampah pula. Dan saya, pemilik benda yang berada di dalam tasnya, mengisi benda tersebut dengan hal-hal yang berharga. Begitu berharganya, bila saya memberikannya kepada ‘pihak pengolah’, saya bisa mendapatkan uang yang berlimpah. Ya, itulah nilai


dari benda yang ingin saya dapatkan kembali. Isi dari benda tersebut adalah pengalamanpengalaman hidup saya, segala pelajaran hidup berharga yang bisa didapatkan oleh seorang perempuan yang masih muda seperti saya. Dulu saya berpikir untuk membiarkan semuanya apa adanya, tapi teman saya memberikan pendapat lain. *** “Untuk apa kamu hidup kalau nanti dilupakan? Percuma!” Katanya dengan nada sedikit mengejek. Saya hanya diam. Benar juga apa yang dikatakannya. “Bukankah saya dapat menyampaikan segala kenangan saya dengan mulut?” “Dari mulut ke mulut? Hah, sama aja! Orang suka melibatkan diri, dan cerita-ceritamu akan direkayasa sampai pada titik mereka yakin bahwa itu adalah cerita mereka sendiri. Menyampaikan sesuatu dari mulut ke mulut sama aja kayak memasak sesuatu bersamaan. Mungkin kamu yang bikin bahan dasarnya, tapi orang lain pasti memberikan bumbu.” Ia sudah mencapai titik dimana lawan bicaranya hanya dapat diam dan mendengarkan. Maka saya diam. “Kamu harus – ya, harus! – mengabadikan segala kenanganmu semurni mungkin. Dengar? Semurni mungkin! Kalau ini tertulis, aku kasih garis bawah dan bold.”


“Intinya saya harus membuat sebuah autobiografi.� “Tidak, siapa yang mau membaca autobiografi? Buatlah sebuah cerita dimana kamulah tokoh utamanya. Ya, itu akan menjadi sebuah masterpiece! Kamu tahu kan, kalau hidupmu sangat istimewa, sangat... unik?� Dan karena itulah, setelah meninggalkan rumah teman saya tersebut, saya pulang dengan pikiran yang mengelilingi saya seperti kerumunan nyamuk. Satu nyamuk mengingatkan saya pada masa kecil, yang lain pada masa SMP, dan seterusnya. Mereka semua mengganggu saya, membuat saya merenungkan hidup saya sendiri. Seistimewa itukah hidup saya? Lagipula, apa pekerjaan saya sekarang? Duduk di depan komputer atau buku lalu menulis, menulis, dan menulis. Lalu berjuang agar tulisan saya dapat dibaca oleh seluruh dunia. Bila dipikir lagi, sungguh konyol melakukan pekerjaan seperti itu. Seorang harus berjuang keras hanya agar rangkaian huruf yang disusunnya dapat dikagumi oleh orang lain. Sesampainya di rumah, saya menuliskan segala hal yang telah saya alami, membuatnya sebagai sebuah cerita, dengan saya sebagai tokoh utamanya. Dan apa yang saya dapatkan? Banyak, tapi saya tidak ingin menceritakannya kepada kalian, para pembaca. Privasi itu penting. *** Sejak kelas 1 SD, saya memiliki sebuah kebiasaan


kecil. Kebiasaan tersebut mendorong saya untuk menyimpan semua hasil karya saya ke dalam sebuah benda. Ya, benda yang saya katakan bisa bernilai tinggi bila diisi dengan hal-hal yang berharga. Dan itulah yang saya lakukan semenjak mulai mengenal apa yang disebut dengan teknologi. Benda itu saya simpan dengan rapi di dalam sebuah dompet. Dalam dompet tersebut juga terdapat sebuah buku kecil untuk menampung pikiran mengesankan yang melewati saya. Sesuatu yang patut diteladani, pikir saya. Pikir saya sebelum bertemu dengan orang tersebut. Sekarang saya hanya menyesali perbuatan saya. Seharusnya saya tidak menyimpannya begitu saja dalam sebuah dompet besar. Saya terus menulis dan menulis, membiarkan ‘profesor’ itu mengamati saya dengan heran. Pesanan kami sudah berada di atas meja. Meskipun hanya sirup, minuman itu sangat berguna di cuaca yang terik seperti sekarang. *** Saya sangat menyayangi benda itu, hingga membawa ke mana saja saya pergi. Saat itu sudah sore. Jalanan ramai, dipenuhi oleh begitu banyak orang. Berjalanlah saya sendirian, berpikir bahwa tidak akan ada manusia yang peduli pada saya. Ternyata saya salah besar. Teman saya tinggal di suatu tempat yang cukup


dekat hingga saya dapat berjalan kaki, namun cukup padat pula hingga hal tersebut tidak dianjurkan. Mengapa? Karena tidak aman. Tapi, siapa yang peduli dengan aman? Saya? Saya memiliki segala bentuk antisipasi terhadap ketidakamanan yang mungkin terjadi, jadi saya tidak takut. Semua barang berharga saya ditempeli dengan alat pelacak yang telah dibuatkan oleh teman saya yang lain, dan sudah beberapa kali saya dapat menemukan barang-barang saya yang hilang. Dengan begitu, tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Maka berjalanlah saya ke rumah teman saya, berencana untuk meminta masukan terhadap apa yang sudah saya tulis sejauh ini. Teman saya tersebut tidak pernah menulis satu karya pun, namun ia rajin membaca. Bila pikirannya dapat divisualisasikan, mungkin anda, pembaca, dapat melihat kumpulan buku paling lengkap yang pernah dimiliki seorang manusia. Hal ini tentu saja menguntungkan bagi saya karena ia dapat memberikan masukan yang berarti. Dengan pikirannya yang luas, ia tahu kritik macam apa yang sedang saya perlukan. Dan saya sendiri tidak pernah melupakan dia saat menulis sebuah buku. Berkeyakinan bahwa tidak ada orang yang memedulikan saya, dengan cerobohnya saya membiarkan tas saya terbuka. Tentu saja ini tidak disengaja. Saya pergi agak terburu-buru, hingga lupa melakukan hal sepele yang seharusnya saya lakukan. Ternyata, hal ini menarik perhatian beberapa orang.


Dompet saya sebenarnya tidak mencolok, namun dompet tetaplah dompet. Dan apa yang dipancing oleh dompet? Panjang tangan. Dalam kasus saya, saya bahkan tidak menyadari bahwa dompet saya telah diambil. “Gimana, udah ada kemajuan?” Tanyanya dengan semangat. Ia selalu senang bila dapat membaca rangkaian huruf saya. Saya juga tidak mengerti, mengapa. Saya hanya mengangguk. Lalu saya sedikit kaget ketika menyadari bahwa tas saya terbuka. Mencoba untuk menenangkan diri saya, saya pun menarik nafas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya. Saya berusaha keras untuk tetap tenang sambil mencari dompet yang selama ini saya jaga dengan baik-baik. Semua isi tas dikeluarkan, bahkan dilempar, namun dompet saya tidak ada. “Lha, kok nggak ada?” Teman saya tahu benar apa yang sedang saya cari. Ia mencoba untuk membantu dengan mengamati barang-barang yang telah saya keluarkan. Mungkin saya melewatannya, pikir teman itu. Tapi tiada hasil. Malah dompet yang berisi segala kartu dan kertas penting terletak bahagia di atas meja teman saya. Ia pun bingung. “Dompetmu yang isinya barang nggak penting hilang, tapi dompetmu yang isinya barang berharga, malah ada. Aneh banget...” “Semua berharga... Oh... Saya tidak apa-apa bila KTP saya hilang, bisa diurus lagi. Tapi ini... Data saya hilang semua! Hasil saya menulis selama belasan


tahun, hilang!” “Jangan gitu donk,” hiburnya, “katanya kamu pasang alat pelacak di semua barang yang kamu anggap berharga.” “Oh iya!” Saya pun mengambil smartphone saya, untuk apa namanya smart bila tidak dapat digunakan dalam keadaan seperti ini? “Lagipula, pasti dibuang lagi sama yang ambil. Udah lusuh, isinya ga jelas lagi. Cuman buku kecil, bolpen, sama USB yang udah kayak sampah.” Saya hanya memberikan tatapan tajam. Memang benar, semuanya sudah seperti tak layak jual lagi, maka untuk apa disimpan? Cepat atau lambat dompet saya pastinya ditinggalkan entah dimana. “Eh, kok gerak-gerak ya?” Gumam saya ketika melihat lokasi dompet saya. *** Berhari-hari saya mencari dompet saya ini, dan akhirnya menemukannya. Ternyata, dompet tersebut dibuang begitu saja di trotoar beberapa jam setelah diambil dari saya. Lalu, seorang mahasiswa yang baik hati mengambilnya, melihat isinya, dan terkagum-kagum. Itulah mengapa saya dapat melacaknya. Berhari-hari saya dapat menebak aktifitasnya karena ternyata benda saya itu dibawanya kemanapun ia pergi. Saya mengamatinya hingga merasa siap menghadapi orang tersebut, melihat rutenya ketika ia pergi ke kampus pagi-pagi,


beristirahat di taman saat siang menjelang sore, lalu pulang ke rumahnya. Dengan begitu, saya memutuskan untuk menemuinya saat siang. *** Dan disinilah saya duduk berhadapan dengannya. Ia, yang menghargai karya saya dengan sangatnya, hingga begitu takut untuk memberikan benda itu kepada orang yang salah. Di samping rasa kesal yang mendalam karena dirinya yang begitu susah diyakinkan, saya merasa berterimakasih juga padanya. Tidak semua orang dapat menentukan nilai sebuah benda dari isinya. Saya berhenti menulis, dan menyodorkan buku kecil saya ke hadapannya. “Nih, buktinya. Coba buka dompetnya, ada buku tulisnya juga kan? Coba bandingkan.” Ia tersenyum dan membandingkan tulisan tangan saya dengan tulisan tangan yang ada pada buku kecil dalam dompet yang telah ia temukan. Lalu ia mengangguk, puas. “Iya, benar,” katanya singkat, lalu menyerahkan dompet itu beserta isinya kepada saya. “Ehm... Maaf ya... Karena tadi...” Ucapnya dengan malu-malu. Saya hanya tersenyum. “Tidak apa-apa,” jawab saya, “justru seharusnya saya berterimakasih karena kamu menjaganya baik-baik.”


Review Film: Stuck In Love Oleh : Rushdi

“Stuck In Love” mungkin terdengar seperti judul film cheesy yang isinya tentang cinta-cintaan norak remaja masa kini. Aing tidak akan menyalahkan kalian yang berpikiran seperti itu karena aing pun, sempat berpikiran demikian. Bahkan jika judul film seperti itu sempat dikira film produk dalam negeri dengan plot template cerita cinta anak muda, aing tidak akan heran sama sekali. Ada beberapa hal yang membuat “Stuck In Love” menjadi berbeda dibanding film-film cinta lainnya: Pertama, it’s rated by agoodmovietowatch. Jelas ini jadi penjamin kualitas suatu film. Titik. Kedua, film ini punya alur kisah coming of age yang melibatkan Logan Lerman di dalamnya, meskipun belio gak jadi karakter utamanya tapi Logan Lerman dan coming-of-age movie setara dengan sebatang rokok setelah makan. Ketiga, sebagaimana harusnya sebuah coming-ofage movie, atau yang satu ini lebih pantas disebut film genre romance-comedy, film ini memenuhi sebuah syarat tak tertulis yang mesti selalu ada di tiap film bergenre ini, yaitu soundtrack yang keren. Soundtrack keren maksud aing di sini mencakup lagu indie/underrated yang syahdu dan cocok dengan


alur film. Di film ini, Elliott Smith dan Bon Iver masuk ke dalam playlistnya. Keempat, sebuah film yang asyik, menurut aing, akan membawa kembali good old memories dan membuat kita mereka-reka dan menghubunghubungkan scene di film dengan salah satu atau dua scene di fasa hidup kita. Menghubung-hubungkan di sini bukan berarti berandai-andai jika scene di film itu bisa terjadi pada kita, seperti pembantu berkhayal akan pacaran dengan majikan sehabis nonton ftv misalnya, tapi lebih ke membuat penontonnya merasa scene itu selaras dengan salah satu fasa hidup mereka dan bisa relate to salah dua scene film tersebut. Sebenernya ini gak ada bedanya sama kejadian pembantu nonton ftv sih. hehe. Dan pada “Stuck In Love� dan seperti pada coming-of-age movie lainnya, hal-hal di atas terjadi pada aing. Kelima, film ini menceritakan tentang keluarga penulis, yg tiap-tiap dari mereka menghadapi problema asmaranya masing-masing. Meskipun alur ceritanya tidak begitu spesial, dimana tiap anggota keluarganya terlibat dalam kisah cintanya masingmasing, dan scene yang berikutnya muncul tidak begitu sulit ditebak, tapi toh aing masih bisa menikmati film ini. Misalkan saat aing dapat menebak dengan benar apa yang dialami oleh satu tokoh, aing tetap tidak dapat menghindar dari kepedihan yang dirasakan oleh si tokoh, misalnya. Dari sini, aing mendapatkan kesimpulan baru bahwa sebuah alur film dikatakan baik atau berhasil, bukan hanya jika ia memunculkan twist yang membikin penontonnya berpikir berkali-kali untuk memahami


jalan ceritanya, atau bahkan mesti menonton ulang suatu scene, tapi juga jika suasana yang dialami tokoh di film tersebut ikut mengendap di benak penontonnya. Ini begitu menarik bagi aing, dimana setelah aing berhasil menebak alur film, aing bukannya berujar “Tuh kan kata aing juga apa.� melainkan malah terhanyut dengan suasana dan menikmatinya. Aing menyarankan film Stuck In Love ini pada kalian yang punya waktu gabut 90 menit jika kalian mencari tontonan komedi romantis dengan muatan lebih dibanding film sejenisnya. Dan walaupun pada akhirnya kalian tidak sepakat soal alur dan suasana seperti yang aing sampaikan di atas, tapi satu hal yang pasti adalah kita mesti sepakat tentang asyiknya soundtrack yang terdapat di film ini. Akhir kata, Stuck In Love bukanlah percobaan yang buruk untuk menghangatkan hati kalian. Anjay.


Sebuah Realita Oleh: Ardji

Ditulis bukan untuk kepentingan siapapun… “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya,” berkali-kali kalimat ini disebutkan dalam berbagai kesempatan, entah itu pidato, iklan, atau mungkin propaganda politik. Biasanya kalimat ini muncul untuk mengajak generasi muda mempelajar sejarah Indonesia dan saya adalah salah satu generasi muda yang termakan kalimat ini. Bertahuntahun saya menjadi orang langka yang memerhatikan guru sejarah berceramah di kelas, membaca berbagai buku sejarah untuk menambal berbagai lubang kronologi sejarah yang sering ditinggalkan oleh buku-buku sejarah begitu saja. Bangsa yang menghargai negaranya memang sebuah Negara yang besar, kalau begitu apakah Indonesia adalah Negara yang besar? Walaupun wilayah Indonesia super besar, tapi jika membicarakan sejarah, Indonesia jelas bukan Negara yang “besar”. Mari kesampingkan dulu mengenai minat generasi muda dalam mempelajari sejarah, hal yang saya bicarakan justru adalah “Sejarah Indonesia” itu sendiri. Apakah semua yang tertulis di buku sejarah itu benar? Apakah semua ilmu yang didapatkan para siswa selama dua belas tahun menuntut ilmu di sekolah benar? Sejarah Indonesia kuno memang banyak mengalami perubahan karena berkemungkinan besar telah


melewati “filter” dari pemerintahan Negara-negara kolonial dan imperial di ibu pertiwi, sejarah Indonesia pada zaman penjajahan pun juga demikian. Namun bagaimana dengan sejarah Indonesia di era modern? Semakin banyak buku sejarah yang saya baca, baik buku sejarah sekolahan maupun buku sejarah yang membahas mengenai sejarah Indonesia dengan lebih mendetail, semakin banyak saya menemukan “pertentangan” dalam pejelasan-penjelasan yang disediakan dalam buku-buku ini. Sebagai contohnya adalah mengenai peristiwa Serangan Umum Sebelas Maret yang masih jelas saya ingat dinyatakan di buku sejarah SMP bahwa “Digagas oleh Suharto” yang ditentang oleh beberapa buku sejarah yang dijual untuk umum. Sekarang, hebatnya, sejak kurikulum (kembali) berganti, di buku sejarah kurikulum 2013 saya bahkan tidak dapat menemukan apa pun mengenai Serangan Umum Satu Maret. Saya pun mulai mempertanyakan kualitas buku pegangan anak sekolahan saat ini. Topik lainnya yang saya anggap “rawan” adalah perihal G30S/PKI . Saya tidak akan membahas PKI secara spesifik atau pun membahas ini demi kepentingan kelompok mana pun, hal-hal yang saya tulis setelah ini murni untuk mempertanyakan dan menginformasikan hasil bacaan saya tanpa maksud lain. Dewasa ini saat mendengar berita-berita mengenai ketakutan warga pada lambang palu dan arit saya mulai bertanya, “Kenapa dua alat yang bisa


memakmurkan penganggur justru ditakuti?” Stigma negatif mengenai PKI sendiri perlu dipertanyakan, terutama mengenai peristiwa G30S/PKI ini. Lho, apa salah PKI dalam kejadian ini? Saya di masa SMP hanya mengetahui bahwa gerakan ini merupakan peristiwa pembunuhan jendral-jendral besar TNI AD, bahkan guru saya justru menitik beratkan peristiwa Lubang Buaya, mengesampingkan hal lain dari peristiwa ini. Banyak buku dan artikel membahas mengenai peristiwa ini. Beberapa di antaranya adalah Melawan Lupa, Menepis Stigma Setelah Prahara 1965 (Asvi Warman Adam,2015), Dalih Pembunuhan Masal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (John Roosa, 2008), The Mass Killings of Indonesia (John Roosa, 2005) dan lain-lain. Buku dan artikel tersebut membahas bahwa PKI merupakan ‘korban’ sebenarnya dari Gerakan 30 September ini. Perlu saya sebutkan bahwa pemerintah memberikan pernyataan resmi bahwa 70.000 anggota PKI dibunuh setelah peristiwa G30S ini, sedangkan Sarwo Edhie1 menyatakan bahwa tiga juga PKI dibunuh, atau mungkin lebih tepat jika kita sebut dibantai, setelah peristiwa itu. Tak berhenti sampai di situ, anak dan cucu anggota PKI, seperti hukuman pada para pemberontak berabad-abad lalu, ikut menjadi korban berkelanjutan peristiwa ini. “Ada pula cerita kehidupan Gita Arjakusuma yang merupakan perwira lulusan Akademi Angkatan Laut, namun memutuskan untuk berhenti menjadi anggota ABRI karena ayahnya ditahan. Bapaknya adalah kolonel AURI yang dianggap bersalah hanya


karena menerbangkan Waperdam/Menlu Soebandrio dari Medan ke Jakarta ada tanggal 2 Oktober 1965. Gita Arjakusuma berjasa megharumkan nama Indonesia di Expo Vancouver karena berhasl melayarkan kapal kayu Phinisi Nusantara sejak dari Makassar ke Benua Amerika. Gita mendapat telepon ucapan selamat dari Presiden Suharto yang tidak tahu bahwa karier Gita sebagai perwira angkatan laut terhenti hanya karena ayahnya ditahan belasan tahun.� (Asvi Warman Adam, 2015: X) Tidak hanya Gita Arjakusuma, namun masih banyak orang-orang yang rusak masa depannya hanya karena terdapat seritifikat PKI di rumahnya ataupun karena terdeteksi adanya PKI di dalam garis keturunannya. Mungkin bagi pembaca sekalian yang memiliki orang tua atau kakek yang hidup di zaman orde baru merasakan langsung bagaimana istilah “PKI� dijadikan ancaman untuk membuang seseorang. Tak terhitung orang masuk penjara hanya karena tertuduh sebagai anggota PKI bahkan beberapa dekade setelah 1965. PKI yang menjadi korban dalam peristiwa ini berhasil diubah menjadi setan-setan menakutkan oleh pemerintahan Orde Baru2 berkat berbagai propaganda seperti film-film, jargon, budaya, dan masih banyak lagi. Penyakit-penyakit ini entah bagaimana masih tertanam dua generasi yang lahir setelah reformasi. Perlu diketahui bahwa sebuah sidang yang membahas mengenai peristiwa pembantaian 1965-1966 ini telah dilakukan di Den Haag, Belanda, namun saya tidak sekalipun pernah


mendengar berita mengenai hal ini disiarkan di televise, atau dengan kata lain berita mengenai hal ini sangat sedikit, jika bukan tidak ada sama sekali, beredar di Indonesia sendiri. Jika memandang dari jumlah saja jumlah tiga juta nyawa manusia sudah mencapai setengah jumlah korban Holokaus yang melanda banyak Negara bahkan sebagian dari benua. Jika memandang dari zona pembantaian, saya rasa peristiwa ini justru lebih memilukan dari Holokaus, karena korbannya hanya berasal dari satu Negara, Negara yang sama dengan pelaku pembantaian, sesama rakyat yang mungkin dahulu ikut berperang membela kemerdekaan, anak dari pahlawan, atau bahkan politikus yang memperjuangkan kepentingan Indonesia di panggung dunia. Lebih miris lagi, karena dunia, bahkan orang-orang Indonesia sendiri, tertipu sehingga salah mengira mengenai kenyataan ini. Kenyataan miris yang justru diputarbalikkan. Sejarah konyol yang masih berhasil ditutup-tutupi dengan propaganda kuno. Konyol, wajar saja jika banyak orang terpelajar kabur dari negeri yang seperti ini, yang sejarahnya saja tidak dihargai. Catatan: 1. Sarwo Edhie adalah tokoh “pemberantas� G30S/PKI selain Suharto, namun setelah kejadian tersebut berhasil disingkirkan oleh Suharto dari panggung politik di Indonesia. 2. Hal-hal yang melatarbelakangi tindakan-tindakan ini akan saya sampaikan pada kesempatan lain. 10 April 2017




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.