ZINE MG #1 2018

Page 1

MEDIA CUL TURE ZIN E MG Majalah Ganesha ITB


Hoax Itu!

Oleh : Senapati Diwangkara Ujaran kebencian dan hoax adalah fenomena yang tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi menuju pilpres 2019, proses tetek bengek perpolitikan Indonesia mulai menyeruak ke permukaan publik. Pihak-pihak yang ingin mengais suara pun bermunculan, bersenjatakan strategi murahan macam hoax dan hate speech, mereka menyasar masyarakat yang kurang kritis. Tetapi kenapa berita dan konten hoax menjadi salah satu strategi primadona yang marak digunakan? Ampuhnya hoax bisa kita pahami dari beberapa penjelasan dari keilmuan psikologi. Faktanya, seseorang cenderung mempunyai tendensi untuk menerima, menginterpretasikan, dan/atau mengingat informasi yang sesuai dengan hipotesis atau kepercayaan yang sedang dipegangnya, terlepas dari status kejelasan maupun keabsahannya. Hal tersebut dijelaskan oleh teori confirmation bias dan primacy effect. Manusia adalah salah satu dari sekian banyak mahluk yang disetir oleh keinginan untuk mencari kenyamanan dan kebahagiaan, juga menghindari kesusahan [1]. Otak kita, secara biologis, adalah organ yang tidak suka berpikir keras, karena hal tersebut menghabiskan banyak energi. Kita lebih suka untuk menginterpretasikan sesuatu yang sesuai dengan framework pemikiran kita, karena hal tersebut secara kognisi adalah jalan pintas; kita sudah punya ‘batu pijakan’ di situ, dan disonansi kognitif adalah hal berat bagi otak, maka timbulah tendensi tersebut.

Bingung? contohnya gini: Semisal di masa pilkada ada 2 kandidat kepala daerah, sebut saja Hilih dan Kintil. Unyil, seorang rakyat biasa, adalah pendukung setia kandidat Kintil. Singkat cerita, dia percaya bahwa si Kintil adalah pemimpin yang berpendidikan, merakyat, bersih, dan lain-lainnya. Berbeda halnya dengan Hilih yang hanya mengincar jabatan saja dan tidak mau bekerja, tidak pantas memimpin. Suatu hari, sebuah headline berita online berkata "Bapak Hilih Suhilih bersilaturahmi ke 4 pondok pesantren". Si Unyil dalam hati berkata "Halah, pencitraan! Coba lihat nanti usai pilkada, apa dia masih peduli?". Keesokan harinya, muncul headline berita online lagi, sekarang judulnya "Kintil Sukintil: Perubahan Iklim Hanyalah Konspirasi". Unyil, simpatisan Kintil pasti akan menanggapi "Hmm ya, kita harus mengkritisi lagi para ahli yang berkata bahwa perubahan iklim adalah hal genting".

Dalam dua kasus tersebut, tampak jelas bahwa Unyil hanya mengonfirmasi berita yang sesuai dengan keyakinan awalnya, bahwa Hilih itu punya kekurangan dan menampik berita lainnya, Kintil juga punya kekurangan. Padahal bisa saja nilai kedua berita itu benar, ataupun kedua berita itu salah. Opsi rasional itu tak akan masuk akal di kepala Unyil. Bias tersebut kita alami secara tidak sadar dalam kehidupan sehari-hari, inilah yang menguatkan preferensi kita terhadap sesuatu dibanding yang lain. Tentu ini berbahaya, hoax bisa saja terkonfirmasi. Selain confirmation bias, yang menjadi katalis dalam penyebaran hoax tentu saja adalah internet. Adanya internet bak surga informasi, orang dapat membuat dan menyebarkan suatu data ke seantero pelosok bumi secara murah, bahkan terkadang gratis. Potensi ini tentu menjadi senjata mutakhir bagi orang yang ingin menyebarkan sesuatu untuk memengaruhi opini publik.

"The asymmetry between the costs of sending countless messages and the likelihood that at least one recipient will take their validity at face value is fundamental to the logic of online trolling." [2]


Walaupun begitu, tidak sembarang informasi bisa tersebar luas di internet, beberapa lebih influential dari yang lainnya. Lalu apa yang membuat informasi cepat tersebar? Apa yg membuat informasi menjadi viral dalam artian tersebar luas? Selain platform, situs, dan jumlah pengikut, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh surat kabar The New York Times [3], hal yang paling menentukan adalah emosi yang ditimbulkan oleh informasi tersebut. Ngeshare sesuatu ke teman atau grup adalah hal yang sering kita jumpai di zaman smartphone ini (di ITB, kadang disertai dengan pesan "Punten, ada titipan dari temen/kating nih"). Konten yang memancing aspek emosional biasanya adalah konten yang mengundang jemari kita menekan tombol like and share. Nah ini bagian fatalnya: ketika sedang menyebar, terkadang mutasi random terjadi. Paragraf tambahan, penggantian judul yang lebih clickbait, pengadaan foto cover yang mengundang, komentar yang memanaskan keadaan, dll. Hal-hal tersebutlah yang mempermainkan dan mengamplifikasi faktor emosi manusia, dan seperti yang saya tuliskan sebelumnya, konten yang paling mengundang emosilah— not necessarily yang paling akurat— yang akan paling cepat menyebar. Ketika sudah menyebar, secara alami, suatu konten akan perlahan-lahan mati, seiring dengan relevansinya yang setelah sekian lama akan pudar. Namun hal berbeda akan terjadi seorang penikmat konten triggering tadi bertemu dengan seorang penikmat konten triggering lainnya yang mempunyai pendapat yang bertentangan. Jika anda sering berjelajah internet mengenai isu yang sedang panas, mungkin anda sudah familiar dengan hal ini: argumen-argumen baru akan bermunculan dan isu tersebut akan panas lebih lama dari konten-konten pada umumnya, dan akan menyebar lebih luas lagi.

---

Secara kasar, kira-kira seperti itulah bagaimana fenomena konten hoax bisa mempunyai efek yang sedemikian rupa. Jadi gimana kita mengatasinya? Mengetahui dan memahami prinsip-prinsip bagaimana konten hoax dibuat, disebar, dan diterima adalah langkah awal yang cukup vital dalam mengolah informasi yang dunia berikan kepada kita. Nah di sini biasanya adalah bagian dari tulisan yang memerintahkan pembaca untuk melakukan hal-hal tertentu untuk mencegah hoax: "kritisi dan konfirmasi dulu sebelum disebar" lah, "jangan menggunakan kata-kata kebencian" lah, dan lah-lah lainnya. Tapi sepertinya hal tersebut sudah banyak digembar-gemborkan oleh pihak-pihak lainnya yang peduli, jadi saya tidak akan menuliskannya. Tips dari tulisan ini cuma satu: sadari bias dan emosi Anda. Sedikit peringatan, tentu jangan telan mentah-mentah juga tulisan ini begitu saja, baca juga referensi-referensi di bawah untuk klarifikasi. Apakah tulisan anti-hoax ini ternyata adalah hoax dalam bentuk yang lain? Sekian. === [1] Pleasure principle theory: Sigmund Freud. Supported by Epicurus, Jeremy Bentham [2] Quote: Kevin Munger, The Outline https://theoutline.com/ post/3443/devumi-twitter-bots-savviness-gap?zd=1&zi=huwpnchk [3] Jonah Berger: What Makes Something Viral? http://jonahberger.com/wp-content/ uploads/2013/02/ViralityB.pdf CGP Grey: This Video Will Make You Angry https://www.youtube.com/ watch?v=rE3j_RHkqJc 


Tulisan Terjemahan Vote What For Karya Errico Malatesta Muhammad Rushdi George : Bir ini tak terlalu buruk, bukan? Jack : Ya, lumayan, tapi harganya bukan main! George : Mengejutkan memang, terutama saat kau ingat harga barang-barang di masa lalu. Tapi kau masih tak habis pikir dengan semua pajak yang ada. Kita dihisap dua kali lipat biaya untuk hidup di masa lalu. Mereka menaikkan harga barang-barang dan, katakanlah, kau bisa hidup tanpa barang tersebut. Tapi kau tak bisa hidup tanpa roti, makanan, dan pakaian – kau harus membayar harga sewa yang selalu sama, dan ada pajak di sana, dan upah kita masih dipotong pajak juga! Dan ini semua salah kita sendiri! Kalau kita mau, kita bisa mengatasi ini. Kelas pekerja menggenggam jawabannya di tangan mereka! Jack : Apa yang kau maksud dengan “jawaban”? George : Mudah saja, kau punya hak pilih? Jack : Apa hubungan hak pilih dengan itu? George : Jadi kau punya atau tidak? Jack : Aku memang punya, tapi aku tak pernah menggunakannya. George : Itu dia! Kau punya hak pilih tapi kau memilih untuk tidak ambil pusing dan kau bertanya-tanya kenapa keadaan begitu sulit. Kau pantas menerima semua ini, kalau aku boleh jujur! Orang-orang macam kau bertanggungjawab atas semua kekacauan di dunia! Jack : Baik, tenanglah. Sekarang kau beri tahu aku apa bagusnya memilih? George : Alasannya jelas, siapa yang membuat peraturan? Anggota parlemen! Kau pilih anggota parlemen yang bagus maka kau akan mendapatkan peraturan yang baik pula.

Jack : Konselor dan anggota dewan yang baik? Itu lagu lama. Kau mesti tuli, bodoh, dan buta untuk tidak menyadari kalau mereka, yang jadi anggota parlemen, adalah antek-antek yang sama setiap tahunnya. Sungguh menakjubkan saat kita mendengar kampanye mereka. Mereka memperhatikanmu, bertanya kabar istri dan anak-anakmu, mencium bayi-bayi, menjanjikanmu rel kereta, jembatan, pekerjaan, roti yang murah, pajak lebih sedikit, upah yang lebih tinggi, perlindungan – bahkan segalanya! Dan sekali ia memasuki parlemen, pekerjaan tak berkurang atau bertambah, seluruh kota bisa hancur berkeping-keping dan mereka tak akan memperdulikannya. Mereka punya hal lain untuk dipikirkan selain kesulitanmu. Lalu beberapa tahun kemudian mereka akan memasang baliho lagi. Tak peduli apa warna partainya: mereka semua sama. Begitu mereka terpilih, mereka melupakanmu. Mereka berada dalam kelompoknya masing-masing dan makan malam mereka yang mewah. Mereka tak akan mendatangimu sampai pemilihan berikutnya. George : Itu betul! Tapi kenapa memilih orang-orang kaya. Tidakkah kau tahu kalau hidup mereka bergantung pada pekerjaan rakyat? Jadi bagaimana bisa kau mengharapkan mereka untuk peduli pada masyarakat? Yang mereka pikirkan hanya menghisap sebanyak mungkin orang. Jack : Akhirnya omonganmu masuk akal! Namun tak cuma orang kaya. Ada jenis yang lain yaitu mereka yang ingin terpilih agar bisa menjadi kaya. George : Betul, jangan sampai kita memilih mereka. Pilihlah para pekerja, kawan-kawan kita yang berpengalaman agar kita tak dibodohi. Jack : Oh, kita punya “kawan yang berpengalaman” yang telah terpilih sekarang, dan mereka tidak berbeda daripada musuh yang tadi kita bahas! Omong-omong, apa yang kamu maksud dengan “Ayo kita pilih.” Seolah-olah kita -kau dan aku- bebas berbuat semau kita.


George : Tak hanya kita berdua. Jika masing-masing dari kita berusaha mengubah orang lain maka mereka pun akan melakukan hal itu juga, buruh akan menjadi mayoritas, dan kita bisa memilih siapapun yang kita inginkan. Itulah saat kita bisa membentuk pemerintahan yang terdiri dari para buruh, lalu.. Jack : Lalu itu hanya akan menjadi surga – maksudku hanya untuk mereka yang berada di parlemen. Kau terlalu cepat menyimpulkan! Mereka yang berkuasa selalu menguasai mayoritas. Orang-orang kaya selalu memiliki kekuasaan. Coba bayangkan seorang buruh miskin, mungkin dengan istri yang jatuh sakit dan empat anaknya yang kelaparan dan kau minta dia mengorbankan pekerjaannya dan didera kelaparan hanya untuk memilih calon yang tak disukai majikannya. Cobalah yakinkan mereka yang bisa dipecat kapan saja oleh majikannya. Mereka tak pernah bebas; jika mereka ingin bebas, mereka tak akan menghabiskan waktunya untuk memilih – cukup ambil apa yang mereka butuhkan. George : Tapi jika kita tak memilih, tak akan ada orang yang akan memilih. Kita tak bisa mendatangi dan meminta mereka untuk memilih partai kita sekaligus memberi tahu mereka kalau vote itu tak berguna. Jack : Justru itu intinya! Dan di atas itu semua kau harus membuat janji Pemilu yang kau tahu tak mungkin ditepati. Begitu orang-orangmu terpilih mereka harus menjilat orang-orang yang kau sebut “musuh kaum buruh” tadi. Jadi kenapa kita membahas propaganda padahal yang mesti kita lakukan terlebih dulu adalah menggagalkannya? George : Namun kau mesti akui bahwa orang-orang parlemen bisa menguntungkan kita. Jack : Keuntungan bagi mereka sendiri. Dan mungkin untuk beberapa teman mereka! Tapi untuk masyarakat banyak? Kau bisa lihat apa yang terjadi begitu para anggota dewan terpilih. Para sosialis pergi mendatangi Tories (Partai politik di Inggris); mereka menjadi Independen dan bermacam-macam oportunis lainnya.

Para begundal ini menipu pengikutnya – bahkan lebih buruk dari yang gereja lakukan. Begitu para sosialis, yang mungkin sudah dipersekusi layaknya kriminal saat mereka lepas dari jabatannya (seperti halnya Ramsay MacDonald) mendapat apresiasi dan disuap oleh para orang kaya, dan bersalaman dengan Kerajaan, maka mereka telah ditaklukkan. George : Ah, kau terlalu keras pada mereka. Kita tahu mereka cuma orang biasa yang punya kelemahan. Tapi yang harus kita lakukan adalah memilih yang terbaik, bukan yang sama dari waktu ke waktu. Jack : Dengan terus-menerus mengganti pilihan kau hanya akan menghasilkan penipu dalam jumlah banyak. Tak cukupkah penghianat yang ada saat ini? Begitu kau kirim mereka ke gedung-gedung itu maka kau mengubah mereka menjadi penipu. Mereka berada di antara para orang kaya dan ingin terus berada di sana. Aku baru akan mengakui seseorang benar-benar sosialis saat ia mengorbankan waktu dan energinya, uang dan kemampuannya, berhadapan langsung dengan hukuman penjara dan pembohongan, hanya untuk memerangi korupsi dan kapitalisme. Tapi para anggota dewanmu ini Cuma mengaku sosialis, berlari bersama kelinci dan berburu dengan anjing, setara dengan mereka yang mengaku Kristen yang berkhotbah mencintai kebaikan padahal merekalah sebenar-benarnya penjahat! George : Ah, kau sekarang mulai melantur. Di antara para pemimpin sosialis yang kau caci, adalah orang yang tahu rasanya kelaparan, yang sudah bekerja dan menderita karenanya, yang telah membuktikan.. Jack : Pergilah dengan bukti-buktimu! Bahkan Hitler pernah kelaparan, dan bekerja untuk itu – apa kita sekarang harus menghormatinya karena ia pernah berada di titik terendah? Bahkan setiap pelacur pernah jadi perawan! Justru hormat yang berlebihan pada pemimpin yang membuat sosialisme terpuruk. Sosialisme mestinya menjadi harapan orang banyak, dan pemimpinmu malah menjadikannya kutukan, begitu perwakilan Partai Buruh masuk pemerintahan. Kau sebut itu propaganda? George : Tetap saja, kalau kau tak puas dengan beberapa pemimpin, kau bisa menyingkirkan mereka, Para pemilih bisa memilih siapapun yang mereka suka.


Jack : Kau yakin? Pilihan apa yang benar-benar pernah dimiliki tiap orang? Kau bisa memilih Tweedledum dan jika kau tidak menyukainya kau akan tetap melihat dia di atas! Alih-alih mengaburkan pandangan masyarakat tentang urusan pilih-memilih ini, kau harusnya menghancurkan kepercayaan mereka terhadap Pemilu, baik itu Parlemen mau pun dewan. Penyebab utama penderitaan, pertama adalah kepemilikan privat, yang mencegah orang bekerja kecuali ia menyetorkan hasilnya pada pemilik lahan dan alat, dan menerima kondisi tersebut: dan kedua, Pemerintah, yang melindungi para eksploitator dan ambil bagian di dalamnya. George : Ya, tentu kau harus meyakinkan orang bahwa kepentingan mereka dalam memilih adalah untuk menentang majikan mereka. Kita mesti mengorganisir untuk mencegah para eksploitator menghancurkan kebebasan masyarakat. Jack : Hanya agar bisa memilih Mr. Jones atau Mr. Brown? Jelas kita mesti mengorganisir tapi bukan Cuma untuk menambah satu anggota parlemen lainnya. Tapi untuk meyakinkan orang bahwa mereka telah mencuri segala hal baik di dunia dari kita; bahwa kita punya hak untuk memiliki semua yang kita produksi, dan kita mampu melakukannya tanpa menerima perintah dari siapapun. George : Ya, tapi kita mesti punya seseorang yang memimpin, agar semua dapat teratur. Jack : Tidak sama sekali! George : Tapi orang-orang terlalu masa bodoh untuk menjalankan semuanya sendiri. Jack : Masa bodoh kau bilang! Jika mereka tidak masa bodoh maka mereka akan segera mendapat hasil dari orang-orang yang mereka pilih! Jika kau biarkan mereka sendiri, dan tidak menipu mereka, kau bisa yakin semua hal akan mereka atur, lebih baik daripada yang dilakukan para penipu itu, yang berkata mereka ingin memerintah bagi kebaikan kita sendiri, lalu memperlakukan kita seperti hewan ternak. Selain itu – kau bilang masyarakat terlalu ignoran untuk memiliki kebebasan. Tapi kau pikir mereka cukup cerdas untuk memilih anggota dewan – dan jika mereka memilih calonmu kau sebut mereka bijaksana.

Bukankah lebih mudah mengurus urusanmu sendiri daripada menyuruh orang lain melakukannya? Jika para anggota parlemen mau memperjuangkan kepentingan kita, mereka akan bertanya apa yang kita inginkan, dan bagaimana kita ingin memperolehnya, bukan meminta kita percaya agar mereka bisa berlaku semau mereka – dan mengkhianati kita saat mereka harus. George : Tetap saja masyarakat tak bisa melakukan segalanya sendiri. Harus ada seorang yang mengurus kepentingan umum dan politik. Jack : Apa yang kau maksud dengan “politik”? Kalau maksudmu itu seni mengelabui orang, maka aku bisa meyakinkanmu kalau kita tak keberatan hidup tanpa politik. Jika yang kau maksud dengan “politik” adalah kepentingan umum dan kesejahteraan semua orang – kami bisa mengurus semua itu sendiri. Kami tahu bagaimana cara makan dan minum dan mendapat hiburan. Betapa sialnya aku jika harus pergi ke spesialis hanya untuk buang ingus, dan memberi dia hak untuk mengeluarkannya jika aku tidak melakukan sesuai dengan keinginan dia: para pembuat sepatu membuat sepatu dan pembangun rumah membangung rumah; tapi tak pernah ada yang terpikir memberi mereka hak untuk memerintah dan membuat kita kelaparan. Orang-orang ini ingin masuk parlemen demi kesejahteraan umum – apa yang mereka lakukan untuk masyarakat? Kapan seorang anggota parlemen, yang juga Sosialis, dan para konselor daerah jadi lebih baik dari orang banyak? Tak pernah, mereka semua sama saja! George : Sekarang kau juga menyerang sosialis! Kau lupa mereka sangat sedikit jumlahnya. Mereka harus menjadi mayoritas. Selain itu, tangan mereka juga terikat. Jack : Lalu kenapa mereka mengambil jabatan itu kalau tahu tangan mereka terikat? Hanya ada satu sebab – mereka ingin mengurus kepentingan mereka sendiri. George : Kau pasti seorang anarkis. Jack : Memang, ada yang salah?


George : Bagiku, anarkisme itu terlalu jauh. Aku seorang sosialis. Kau benar di banyak hal, tapi jika sejak awal aku tahu kau seorang anarkis, aku tak perlu panjang lebar menjelaskan kalau kita bisa mencapai kondisi lebih baik lewat Parlemen, karena aku tahu selama masih ada orang miskin, hukum akan dibuat oleh yang kaya, dan akan selalu menguntungkan mereka. Jack : Oh aku paham – kau tahu perubahan tak akan datang lewat parlemen, tapi kau masih menyuruh orang memilih di Pemilu. Saat kau tahu aku Anarkis, kau tahu aku tak akan percaya dongeng itu – tentang voting untuk perubahan, jadi kau mengaku bahwa kau menyuruh orang untuk memilih calon tertentu yang tak akan pernah memenuhi janjinya. Aku tahu kau tak dibayar untuk berbohong dan menipu orang – jadi apa alasanmu melakukan ini? George : Tidak, tidak! Saat aku bilang ke orang-orang untuk menggunakan hak pilihnya, yang aku lakukan saat itu adalah propaganda. Tidakkah kau lihat betapa bagusnya jika ada orang-orang kita yang berada di parlemen? Mereka melakukan propaganda lebih baik daripada yang lain – mereka akan mengatakan hal-hal yang kita inginkan, dan media-media akan menuliskannya. Jack : Oh, jadi kau menjadi agen Pemilu demi propaganda? Dengar, pertama kau bilang pada orang-orang kalau kita bisa berharap pada parlemen, sehingga kita tak perlu revolusi, bahwa semua yang harus pekerja lakukan adalah memasukkan selembar kertas ke sebuah kotak dan sisanya akan diurus olehmu Lalu kau mengakui bahwa ini semua tak akan berhasil, bahwa ini tak lebih dari propaganda. Bukankah propaganda ini justru berlawanan dengan idemu sendiri?

Orang kaya akan selalu mati-matian mempertahankan dua institusi ini, apapun risikonya. Tipu daya selalu dipakai – dan mereka tak berhenti di penjara tapi tiang gantung dan peluru panas! Pemilu tak ada gunanya dengan itu semua. Kami tak mengiginkan pergantian majikan tapi sebuah revolusi yang utuh, memutus habis hubungan dengan masa lalu. Kita mesti memiliki kekayaan bersama; dimana setiap orang tak perlu mengkhawatirkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Tuan tanah mesti diusir oleh petani pekerja supaya masing-masing mengerjakan lahannya sendiri. Para pekerja harus mengusir majikannya dan mengatur produksi demi kemaslahatan bersama. Mereka mesti berdiri bersama dan menolak bentuk toleransi apapun terhadap pemerintah. Setiap orang di setiap daerah dan yang memiliki pekerjaan yang sama mesti membuat sebuah kesepakatan. Buruh akan memegang kendali pabrik, dan tiap distrik terhubung satu sama lain dalam sebuah kesatuan industri – dan tentu saja akan sukses bila semua orang bergantung padanya. Kita tak akan saling berkelahi lagi atau mentolerir perang antar pekerja yang berbeda kebangsaan. Perang dan kompetisi akan lenyap. Mesin-mesin tak akan membuat manusia jadi pengangguran tapi akan membantu pekerjaan kita, membuatnya lebih produktif dan tidak melelahkan. Tak akan ada lagi tanah yang tak digarap, kita tak hanya akan menghasilkan sepersepuluh dari yang kita butuhkan, seperti terjadi sekarang. Sebaliknya, kita akan mempraktikkan semua metode yang kita tahu untuk meningkatkan jumlah makanan dan kualitas barang. Seluruh masyarakat akan menjadi satu kesatuan: produsen dan konsumen. George : Sungguh yang kau katakan terdengar begitu manis tapi nyaris tidak mungkin untuk diwujudkan. Bentuk idealmu begitu menakjubkan tapi aku punya satu pertanyaan: bagaimana kau akan mewujudkannya? Aku setuju revolusi adalah satu-satunya jalan keselamatan tapi karena kondisinya tak memungkinkan sekarang maka jalan terbaik adalah melalui Pemilu. Pada akhirnya ini semua adalah propaganda.


Jack : Kau sebut itu propaganda? Kau masih tidak sadar kemana semua propagandamu membawa kita? Kau meninggalkan program sosialis kita, bergabung dengan para penindas pekerja yang paling buruk, menjadi satu dengan para penipu yang membuat gaduh demi kekuasaan! Semua yang kau lakukan dengan propagandamu adalah mengubah seorang yang sebenarnya sudah menjadi seorang sosialis yang layak, menjadi anggota dewan di parlemen. Kau menciptakan ilusi parlemen yang membuat kita buta terhadap revolusi. Kau mendiskreditkan sosialisme, menjadi sesuatu yang orang-orang yakini sebagai sebagian dari pemerintah yang mereka curigai dan benci. Itu adalah akhir dari orang yang mencari kekuasaan. George : Apa yang kau mau? Kenapa kau tak membantu kami alih-alih hanya di luar sambil mengkritisi? Jack : Aku memang belum bercerita apa yang kami, anarkis, lakukan. Tapi kau perlu tahu ini: sosialis adalah salah satu rintangan terbesar kami. Kegiatan kami terbatas selama bertahun-tahun karena propagandamu tentang parlemen, dan kau membutakan para pekerja untuk mempercayai orang yang menipu mereka. Kami menghabiskan banyak waktu untuk melawan propagandamu, padahal kami mestinya bisa lebih mendorong perubahan sosial yang revolusioner. Aku harap lebih banyak orang merasa jijik karena telah mempercayai partaimu! Hanya itu cara agar kita mendapat perasaan revolusioner itu. George : Well, silahkan bergegas dan wujudkan revolusimu! Jika kau yakin semua orang akan berada di pihakmu, entah bagaimana caranya. Jack : Oh, aku paham –“ledakkanlah revolusi dan kami akan bergabung denganmu.�. Kalau kau percaya akan revolusi, kenapa tak kau bantu kami? George : Kalau boleh jujur, jika aku tahu cara bagimana mempraktikkan revolusi hari ini juga, aku akan langsung memperliahatkannya padamu. Aku akui urusan Pemilu ini begitu memuakkan, dan aku ingin para pemimpin yang ada sekarang segera enyah, tapi jujur aku tak tahu apa yang bisa dilakukan untuk revolusi hari ini.

Jack : Semua yang kau ingin tahu adalah yang kau inginkan, dan kau memperjuangkannya dan kau akan menemukan apa yang bisa dilakukan. Pertama-tama kita mesti mempropagandakan sosialisme yang sebenarnya, bukan apa yang selama ini sudah dipelintir seperti mempercayai politisi, memilih di Pemilu, membuat orang membeci kegaduhan tentang parlemen, dan seluruh mesin politiknya. Biarkan para orang kaya melakukan pemilihannya sendiri – sementara publik membenci mereka karenanya. Saat para pekerja tak lagi mempercayai penipuan kotak suara, maka akan tampak pada mereka (pekerja) keharusan akan revolusi sosial. Mari kita pergi ke pertemuan Pemilu dan kita tunjukkan kebohongan dan pretensi semua kandidat. Ayo berpropaganda, bukan di antara para orang kaya, tapi di antara organisasi buruh dan di pabrik, dan membuat kelompok baru, dan menjelaskan ke semuanya tentang bagaimana para buruh dapat membebaskan dirinya sendiri. Ayo kita ambil peran aktif dalam pemogokan dan menciptakan jurang pemisah antara buruh, yang sekarang menjadi budak, dan majikannya! Kita mesti ada di tiap tempat yang sedang melakukan perlawanan terhadap penguasanya. Kita harus berada di antara orang-orang yang mengalami ketidakadilan, pemaksaan, kekurangan, entah di manapun itu berada, dan membuat pergerakan yang berjuang melawan kelas penguasa. Begitu kita telah melihat pergerakan dimana-mana, ide akan datang dengan sendirinya. Kita mesti selalu berada di tengah-tengah masyarakat, dan mereka akan paham apa yang mesti mereka lakukan. Mereka sendirilah yang harus memperjuangkan kebebasannya: kita tak bisa memberikannya pada mereka, dan kita mesti berada di tengah-tengah mereka. Dan selagi kita melakukan ini, dekatilah orang-orang yang kita mau, yang pelan-pelan tapi pasti mulai mengerti dan menerima ide kita – kita mesti mengajak mereka bergabung, mempersiapkan elemen dan tindakan yang menentukan, untuk pembebasan kelas pekerja. George: Baik, aku sepakat! Persetan mereka dan hajat Pemilunya!  


Kemenangan Kecil Demokrasi Makassar Muhammad Rushdi

Gaduhnya politik elektoral kian hari semakin mengolok-olok akal sehat kita. Isi media sosial tak pernah sepi dari perseteruan dua kubu: kaum hashtag #2019gantipresiden yang sejak kasus penistaan agama Ahok konsisten mempersenjatai diri dengan politisasi agama; dan kubu lawan tak kalah militan mempertahankan tuannya yang tak lain adalah pemerintah yang berkuasa hari ini. Namun sejak pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2019, agama tidak lagi jadi bahan dagangan satu pihak semata. Dampak dari pertarungan yang tidak sehat ini adalah miskinnya wacana yang terangkat di khalayak warganet. Semua yang melempar opini mengenai politik praktis dengan mudahnya divonis sebagai kecebong, yang berarti pendukung pemerintah, dan kampret yang berarti sebaliknya. Beruntungnya, ada dua peristiwa yang sedikit banyak bisa menenangkan kita, meskipun hanya sementara. Pertama, Piala Dunia 2018 Rusia dan kedua adalah kemenangan kotak kosong di Pemilihan Wali Kota Makassar.

Kekalahan Calon Tunggal Walikota Makassar atas Kotak Kosong Komisioner KPU, Pramono Ubaid, menjelaskan hadirnya pilihan kotak kosong pada kertas suara ialah guna memberi kesempatan selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat. Pramono berujar, “Orang tak bisa dipaksa juga untuk memilih atau menerima satu pasangan calon… pemilih kan berhak juga untuk menolak.” Sebelumnya akan ada dua pasangan yang mengajukan diri sebagai calon walikota Makassar pada Pilkada serentak 2018. Tapi pasangan petahana Mohammad Ramdhan Pomanto – Indira Mulyasari dinyatakan gugur karena dinyatakan ‘menyalahgunakan wewenang dalam proses pencalonan’. Sehingga hanya pasangan Munafri Arifuddin – Andi Rahmatika Dewi yang berhak mengikuti proses pemilihan. Hanya di Kota Makassar, kotak kosong mengungguli paslon walikota Munafri Arifuddin – Andi Rahmatika Dewi dengan jumlah suara sebesar 53,23 persen. Dengan hasil ini, KPU Kota Makassar memutuskan bahwa pemilihan ulang baru akan kembali dilakukan pada tahun 2020. Maka sejak walikota periode sekarang menjabat turun hingga pemilihan serentak 2020, pemerintahan Kota Makassar akan dipegang oleh penanggung jawab yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri.

Selain di Kota Makassar, pertarungan pasangan calon tunggal melawan kotak kosong juga terjadi di 15 daerah lainnya pada Pilkada Serentak 2018. Perlawanan yang kentara dari kotak kosong terjadi di tiga daerah di Banten. Di Lebak, Banten kotak kosong meraup 23 persen suara; lalu 16,28 persen suara masuk ke kotak kosong di Kabupaten Tangerang; dan 14,2 persen suara didapat kotak kosong di Kota Tangerang. Pilihan kotak kosong dihadirkan pada kertas suara sejak disahkannya UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang merupakan revisi dari UU No. 8 Tahun 2015. Dasar perubahan ini berasal dari fenomena calon tunggal yang muncul di 269 wilayah (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota) pada Pilkada serentak 2015. Kegagalan Kaderisasi Oleh Partai Politik Meski di tingkat daerah pasangan independen dapat mengajukan diri sebagai calon kontestan, tapi ketentuan ini tak serta-merta memperluas pilihan masyarakat. Pasalnya, ada ketidaksetaraan antara calon perorangan dan calon yang diajukan partai politik (parpol). Pada kebanyakan kasus, calon independen tidak memiliki jaringan yang terlembagakan seperti parpol yang punya kepengurusan di daerah. Jaringan ini begitu memudahkan usaha paslon memenangkan pemilihan, bahkan sekadar di tahap mencalonkan diri. Untuk lolos sebagai pasangan calon, sebanyak 6,5 hingga 10 persen dukungan dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir harus dikumpulkan oleh paslon. Belum lagi perhitungan strategi pada proses kampanye hingga pemungutan suara dan penghitungan, tentu bukan sesuatu yang sulit bagi calon yang didukung parpol. Selain dana, masalah yang akan muncul terletak dari kemampuan calon mencari sumber daya manusianya.


Lantas bagaimana pasangan calon yang diajukan oleh parpol? Bukanlah lagu baru saat kita dengar ada anggota dewan atau kepala daerah yang ditangkap KPK atas tuduhan korupsi. Lantas tidak mengherankan jika kita menduga-duga mereka yang berkuasa hanya menyasar kursi untuk menutup dana kampanye dan memperkaya golongannya sendiri. Fenomena politik dinasti, yang meski belum lama terkuak, menandakan praktik pejabat yang menggunakan kuasanya untuk menjaring harta sudah berumur panjang. Kepala daerah yang sekalipun tidak terindikasi melakukan korupsi tapi memiliki kebijakan pengembangan yang tidak berpihak pada rakyat kecil juga tidak sulit ditemukan. Ambillah contoh kasus konflik lahan yang terjadi di mana-mana. Tanah yang ditempati rakyat untuk tinggal dan sumber penghidupannya dipaksa mengalah pada rencana pembangunan pemerintah yang tak melibatkan masyarakat sama sekali. Kalaupun dilibatkan, ia hanya sebatas sosialisasi dengan rencana yang sudah tidak bisa diganggu gugat. Dua hal di atas – pemimpin yang korup dan tak berpihak pada rakyat— seakan menggenapkan tuduhan rakyat akan minimnya pemimpin yang benar-benar bisa mensejahterakan rakyatnya tanpa terkecuali. Pertanyaannya sekarang menjadi: kenapa kondisi seperti ini dapat terjadi? Merujuk pada UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (“UU Parpol�) di ayat 1 poin (e) disebutkan bahwa Partai politik berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Berdasarkan pernyataan di atas maka masuk akal jika wacana kegagalan partai politik sebagai lembaga kader pemimpin muncul ke permukaan. Alih-alih melakukan pendidikan demokrasi bagi rakyat, partai politik lebih suka menunjuk figur publik populer macam selebriti untuk diangkat menjadi kader politik yang mereka siapkan untuk mengisi kursi pemerintahan. Di hadapan publik para elit politik malah sibuk melakukan politisasi agama dan identitas daripada mengangkat wacana yang lebih substansial. Sulit rasanya membayangkan atmosfer politik seperti hari ini terus berkembang sampai Pilpres 2019 nanti.

Kotak Kosong Menang Lalu Apa? Kemenangan kotak kosong pada Pilwalkot Makassar 2018 menandakan munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap calon pasangan pemimpin yang tersedia. Kondisi ini tentu tidak muncul secara tiba-tiba namun merupakan akumulasi dari berbagai peristiwa atau faktor yang terjadi sebelumnya. Sebagai pembeda dari daerah lainnya, kita mengenal Makassar yang memiliki pergerakan politik yang terbilang dinamis. Terlebih gerakan kelompok pro demokrasi di Makassar cukup nyaring terdengar. Dengan atmosfer politik seperti ini tentunya warga Makassar mendapat pendidikan demokrasi yang tidak mereka dapat karena absennya lembaga partai politik. Kiranya inilah yang membuat Kota Makassar menjadi satu-satunya daerah dimana kotak kosong dapat mengungguli pasangan calon tunggal walikota pada Pilkada Serentak 2018 ini. Peristiwa ini rasanya perlu kita ingat baik-baik. Bahkan kalau perlu kita harus menceritakannya turun-temurun atau dimasukkan ke buku pelajaran sejarah. Kemenangan kotak kosong menjadi tanda tumbuhnya kesadaran masyarakat bahwa pilihan calon yang tersaji tak akan mampu memimpin rakyatnya. Setidaknya secara simbolis, rakyat menyatakan bahwa cukuplah para elit politik tua yang memimpin secara serampangan selama ini. Maka bolehlah kita sebut kemenangan kotak kosong ini sebagai kemenangan demokrasi, kemenangan warga. Tapi kemenangan ini hanyalah kemenangan kecil karena, seperti disebutkan sebelumnya dan perlu kita ingat baik-baik, ini hanyalah kemenangan simbolik. Semuanya tak akan berarti jika setelah ini kita hanya berkehidupan politik seperti biasa.


Memang bukan sesuatu yang mudah untuk menghidupkan ruang-ruang untuk demokrasi di sekitar kita. Ruang untuk demokrasi yang dimaksud adalah sebuah wahana dimana orang-orang dapat berkumpul dan bebas berdiskusi dan mengkritisi suatu hal. Di dalam ruang-ruang ini kita semua bersama-sama mendapat pendidikan demokrasi, tanpa mengenal istilah guru atau murid. Berkumpul dan berjejaring antar komunitas yang sama-sama pro demokrasi juga penting kita lakukan untuk membangun kesadaran dan kolektif yang lebih luas. Supaya demokrasi yang bertempat di masyarakat tidak hanya berawal dan berakhir pada satu hari pemilihan, namun di kehidupan sehari-hari kita. Ketika sudah cukup banyak massa yang memiliki pemahaman akan pentingnya demokrasi dan kemauan untuk mencapainya bersama-sama maka saat itulah kita semua bisa berkata, “Sudah cukup kami, rakyat banyak, yang diinjak di bawah permainan elit politik. Sistem yang selama ini kita kenal sudah usang dan terlampau korup sehingga diperlukan suatu sistem yang baru untuk mencapai kesejahteraan semua orang tanpa terkecuali”.

Media dan Politik dalam Tinjauan Sistem Kontrol Ismail Faruqi dan Sherin Widyasari

Tak terasa waktu merayap begitu cepat. Dalam jangka waktu kurang dari setahun, masyarakat Indonesia akan kembali merasakan pesta demokrasi terbesar dengan memilih presiden (tentu sepaket dengan wakilnya) dan wakil legislatif mereka pada Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 19 April 2019 mendatang. Tagar-tagar seperti #2019gantipresiden dan #Jokowi2Periode makin kerap muncul di berbagai media massa. Dunia persilatan politik Indonesia menjadi makin menarik ketika Presiden incumbent menggaet Ma’ruf Amin sebagai calon wakilnya dalam kontestasi Pilpres 2019 mendatang. Ma’ruf Amin yang notabene merupakan tokoh agama Islam mampu digaet Jokowi yang selama ini selalu diserang dengan sentimen agama. Media massa pun tidak mau kalah dalam menyuplai konten-konten seputar politik tanah air. Tirto.id melaporkan bahwa pada 15 Agustus 2018, jumlah berita seputar pilpres 2019 (57.94%) mendominasi topik-topik berita lain seperti Asian Games 2018 (Tirto.id, 2018). Frasa media massa sendiri terdiri dari 2 kata, media dan massa. Kata ‘media’ merupakan bentuk jamak dari bahasa latin ‘medium’ yang berarti ‘sesuatu di pertengahan’. Sedangkan kata ‘massa’ dalam frasa tersebut dapat dimaknai sebagai sejumlah orang yang tidak berada dalam lingkup spasial yang sama dan memiliki hanya sedikit kemungkinan untuk berinteraksi (Lemos, 2010). Dengan kata lain media massa adalah alat, teknologi, atau perantara yang mampu menjangkau audiens yang luas melalui komunikasi massa. Diantara ciri dari media massa adalah sebagai berikut (Ohiagu, 2011) : 1. Memiliki daya jangkau yang luas dalam artian mampu menjangkau jumlah audiens yang besar 2. Memiliki kemampuan untuk memberikan informasi pada khalayak ramai dalam waktu yang simultan 3. Pengirim informasi melalui media massa dapat menjangkau audiens yang heterogen dan tidak dikenal


Karakteristik yang melekat pada sebuah media massa tersebut menyebabkan media massa memiliki peran yang penting dalam pembentukan opini publik (Tarde, 2005). Media massa sebagai salah satu kanal informasi yang mudah diakses orang banyak berperan dalam penyebaran informasi dan pengetahuan dalam masyarakat yang menjadi salah satu basis dari kekuatan sosial. Dalam skema kontrol umpan balik media massa menjadi alat untuk mengontrol perilaku sistem sosial melalui proses penyaringan informasi. Media massa dapat dipandang sebagai satu subsistem dalam sistem sosial yang memainkan peran penting dalam mengontrol ‘pengetahuan’ yang dimiliki masyarakat dalam hal apapun termasuk soal politik elektoral yang sedang ramai diperbincangkan di Indonesia belakangan. Meminjam istilah dalam teori kontrol, media massa berperan sebagai aktuator yang berperan untuk mengatur informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam sistem sosial sehingga memastikan nilai/opini publik sesuai dengan yang diinginkan. Gambar 1. Ilustrasi Peran Media Massa Sebagai Pengontrol Opini Publik dalam Skema Kontrol Umpan Balik

Sayangnya, media massa belakangan ini banyak menyoroti tempat yang salah dalam duduk perkara menyoal politik elektoral, utamanya soal Pilpres 2019. Alih-alih membicarakan track record para calon, evaluasi janji politik incumbent atau gagasan yang diusung calon (jika sudah muncul) media massa kebanyakan justru terjerumus pada pemberitaan-pemberitaan soal citra personal para calon belaka. Selain itu media turut pula memproduksi, meminjam istilah dhandy laksono dalam tulisannya (Laksono, 2018), gelembung-gelembung informasi yang menyesatkan. Ia menjelaskan sifat bubble yang mudah dibuat, ditiup kesana kemari, namun isinya kosong banyak terdapat pada pemberitaan-pemberitaan media massa. Dhandy mencontohkan bagaimana media massa gagal menangkap masalah-masalah dibalik jargon ‘BBM satu harga’, atau tidak mau repot menguliti soal klaim pemerintah yang menyatakan angka kemiskinan terendah dalam sejarah Indonesia tercapai (data statistik BPS). Soal angka kemiskinan terendah misalnya, hanya sedikit media massa yang mau mengulik dan menguji indikator ‘miskin’ yang ditetapkan BPS. Dalam konteks politik elektoral sedikit sekali media massa yang mengangkat soal, misalnya, janji politik incumbent dan sejauh apa pencapaiannya. Jikapun ada, media massa disana hanya berperan sebagai penerus informasi janji kampanye A terealisasi sekian persen, janji B sekian persen. Telaah kritis (dengan pembahasaan yang pop tentunya) dari janji janji tersebut tidak pernah diakomodir dengan cukup. Sebetulnya memandang suatu sistem sosial tidaklah dapat dilakukan dengan sederhana. Kaitannya dengan tulisan ini misalnya, adalah anggapan yang kurang pas jika memandang media massa melulu sebagai pengontrol dari pandangan politik dari masyarakat. Sistem sosial jauh lebih rumit dari itu. Interaksi antara satu subsistem dengan subsistem lain tidak bisa begitu saja diabaikan. Dalam teori kontrol dikenal sistem MIMO (Multi Input Multi Output), sistem yang demikian memiliki banyak variabel masukan dan luaran. Di dalamnya terdapat banyak fungsi transfer yang saling mengcoupling satu sama lain dan mempengaruhi luaran yang ada.


Gambar 2. Ilustrasi Sistem Multi Input Multi Output (MIMO) (Maher Ben Hariz, Faouyzi Bouani, 2017)

Gambar diatas merupakan contoh sederhana dari sistem MIMO dengan dua masukan U1 dan U2 serta dua luaran Y1 dan Y2. Fungsi transfer direpresentasikan dengan G(s). G11(s) berarti masukan 1 memiliki pengaruh terhadap luaran 1, G12(s) berarti masukan 1 memiliki pengaruh terhadap luaran 2 dan seterusnya. Bayangkan betapa rumitnya jika suatu sistem memiliki 3, 4, atau 10 subsistem yang saling mempengaruhi. Apalagi, dalam sistem sosial interaksi antar subsistem dapat berlangsung lebih tidak teratur dan memiliki ketidakpastian yang tinggi akibat variabel manusia yang ada didalamnya. Media massa sebagai salah satu subsistem dalam sistem sosial tentu juga mendapat pengaruh dari subsistem lainnya. Misalnya, soal konten yang ditelurkan media massa, juga amat dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat yang ada. Media massa bukan pahlawan yang secara serta merta rela melakukan kerja-kerja intelektual demi menghasilkan konten berbobot. Perlu penyesuaian-penyesuaian yang membuat konten dari media massa dapat diterima di masyarakat agar media massa tersebut dapat terus berjalan. Sebetulnya hal tersebut menjadi sebuah siklus atau lingkaran setan yang memaksa media massa untuk memproduksi konten-konten yang digemari masyarakat terlepas dari kualitas kontennya. Masyarakat pun tidak akan berjalan kemana-mana karena suplai informasi dari media massa yang begitu-begitu saja.

Maka tidak mengherankan jika media massa seperti Koran dan televisi justru menyajikan konten-konten yang memiliki nilai entertainmen atau hiburan dalam pemberitaan politik, seringkali talkshow maupun dialog mengenai seorang politisi diselipi unsur hiburan seperti binatang peliharaan, lip balm yang biasa digunakan, baju yang dikenakan, atau bahkan kisah cinta politisi tersebut. Hal-hal seperti ini biasanya banyak muncul di infotainment, dan yang diberitakanpun biasanya selebriti, bukan politisi. Fenomena yang memadukan antara politik dan entertainment seperti ini biasa disebut politainment, politik entertainment. Menurut Justus Nieland (Neiland, 2008), politainment bekerja melalui dua proses yang saling berhubungan. Proses yang pertama adalah hiburan politik , proses ini terjadi ketika media mengemas momen-momen yang bersifat politis menjadi konten yang menghibur. Drama Setya Novanto mulai terbaring di Rumah Sakit, tragedi menabrak tiang listrik yang menyebabkan benjolan di kepala sebesar bakpao, hingga parfum Victoria secret dan Pucelle yang ditemukan di kamar palsunya di lapas Sukamiskin yang telah menjadi guyonan di masyarakat dapat menjadi contoh yang tepat untuk memahami proses ini. Proses yang kedua adalah politik yang menghibur, proses ini merujuk pada bagaimana politisi menggunakan strategi hiburan dalam mengkampanyekan pesan dan mendongkrak popularitas mereka di media, yang biasanya sejalan dengan kesan dan citra yang ingin mereka bangun. Contohnya iklan-iklan politik menjelang pemilihan, hadirnya politisi ke acara-acara tertentu di tengah masyarakat yang biasanya sejalan dengan citra yang ingin mereka bangun.


Politainment sekilas memang tampak menguntungkan, persentuhan antara politik dan entertainment menjadikan politik tidak lagi terasa kaku dan berat, karena telah dikemas dengan santai dan penuh drama. Namun, hal ini justru membuat kita menjadi lebih fokus kepada informasi privat dan citra yang ditampilkan seorang politisi kapablitas atupun kebijakan yang dilakukan. Politainment telah membuat pandangan kita teralihkan dari isu-isu yang lebih penting untuk dibahas. Pada medium internet persoalannya bertambah dari sekedar politainment belaka. Pada media daring dikenal istilah trafik, sederhananya trafik adalah soal seberapa banyak orang yang mengakses konten berita dan cerita yang tayang di media daring. Trafik juga merupakan suatu daya tarik untuk mendapatkan iklan dan acapkali dijadikan tujuan pragmatis dalam membuat konten berita. Dalam media daring seringkali jurnalis tidak mempunyai atau diberi cukup waktu untuk memproduksi suatu berita layaknya media konvensional seperti surat kabar, sehingga tak jarang sebagian media daring mengeluarkan konten asal-asalan, demi trafik yang tinggi. Ditambah lagi dengan derasnya arus infromasi seperti sekarang ini menyebabkan media massa daring semakin berpacu dengan waktu untuk menerbitkan suatu berita, karena banyak berita lain yang menunggu untuk diproses. Demi kuantitas, kualitas suatu beritapun seringkali dikorbankan. Apalagi, media massa juga rawan akan bias politik. Fakta bahwa media massa arus utama di Indonesia dikuasai elit politik elektoral membuat media massa sulit mengeluarkan pandangan-pandangan objektif tentang suatu peristiwa, utamanya apabila menyangkut urusan politik pemiliknya.

Jelas kita sudah tidak dapat berharap pada media massa arus utama untuk membikin konten-konten yang cerdas. Namun beruntungnya, berkat perkembangan teknologi, tren penyebaran informasi dalam masyarakat turut bergeser. Cara penyebaran informasi satu pintu melalui media massa kian tidak relevan di zaman digital. Semua orang dapat dengan mudah mencari informasi pada mesin pencarian dan membagikannya kembali. Pada era post-mass media seperti sekarang tiap orang dapat menjadi ‘media massa’ itu sendiri dan menyebabkan pola persebaran informasi berubah bentuk dari ‘one for all’ menjadi ‘all for all’. Hal tersebut memungkinkan bertambahnya variasi informasi yang diterima oleh suatu individu. Sayangnya, banyaknya informasi yang masuk tanpa dibarengi dengan kemampuan menyeleksinya tidak akan membantu dalam melihat suatu permasalahan dengan lebih objektif. Apalagi jika konten yang masuk didominasi gelembung-gelembung kosong yang rawan menyesatkan. Disitulah celah bagi para pegiat media massa independen atau individu yang sudah sadar akan hal tersebut untuk dapat melakukan kerja-kerja jurnalisme yang mampu membantu masyarakat dalam memahami informasi dengan lebih baik. Setidaknya ada 3 poin penting untuk menuju kesana. Pertama kerja jurnalisme harus selalu dibarengi dengan data, atau istilah lazimnya jurnalisme data. Dalam urusan data, pemeriksaan terhadap kesahihan metode pengambilan serta pengolahannya perlu diteliti lebih dalam. Kedua, data-data tersebut harus didudukkan dalam konteks yang pas—bukan sekadar pajangan agar terlihat kredibel-- sehingga dapat memberikan informasi yang sesuai. Dan terakhir adalah pembahasaan. Seringkali konten yang berbobot akan sulit diterima dan dimengerti oleh masyarakat. Penulisan konten konten tersebut dengan bahasa yang lebih pop akan sangat membantu keberterimaan informasi. Apalagi jika dibantu dengan karya visual seperti infografis. Dengan demikian kerja jurnalisme yang sudah apik disusun akan mudah diterima masyarakat luas.


Semakin dekat dengan tahun politik kita mesti menginsafi bahwa pilihan politik masyarakat Indonesia akan sangat bergantung pada informasi yang diterima. Disitulah seharusnya kita melihat urgensi dari kerja jurnalisme yang mengandung ketiga unsur diatas selain untuk tujuan jangka panjang dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat akan suatu isu. Maka, pada setiap pegiat kerja jurnalisme kami ucapkan selamat bekerja! Semoga selamat sampai tujuan! Referensi Laksono, D. (2018, Juli 28). Remotivi. Retrieved from Remotivi: http:// www.remotivi.or.id/amatan/479/Media-dan-Gelembung-Citra-Jokowi Lemos, A. (2010). Post–Mass Media Functions, Locative Media, and Informational Territories: New Ways of Thinking About Territory, Place, and Mobility in Contemporary Society. Space and Culture (pp. 403-420). SagePub. Maher Ben Hariz, Faouyzi Bouani. (2017). Robust Fixed Low-Order Controller for Uncertain Decoupled MIMO Systems. Journal of Dynamic Systems, Measurement, and Control. Neiland, J. (2008). Feeling Modern: The Eccentricities of Publik Life. Chicago: University of Illinois Press. Ohiagu, O. (2011). The Internet: The Medium of the Mass Media. Kiabara, 225-232. Tarde, G. d. (2005). A opinião e as massas [The opinion and the masses]. Sao Paulo: Martins Fontes. Tirto.id. (2018, Agustus 15). Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/

Majalah Ganesha ITB Jl. Ganesha No. 10 Sunken Court No. E-07 Bandung



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.