Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Page 1

TRILOGI DONNA, KELINCI AJAIB Story | Made Hery Santosa

Trilogi ini berisi tiga cerita mini yang saya tulis dalam bahasa Indonesia. Inti cerita berpusat pada Donna, seekor kelinci ajaib yang bisa berubah menjadi seorang kakek tua semacam penyihir bijaksana. Ia tampak diam namun sebenarnya menuntun tokoh cerita lainnya. Cerita ini hanya fiksi belaka dengan menekankan pada aspek-aspek filosofis yang dibungkus oleh atribut magis. Kesamaan nama, tempat atau ide cerita hanya kebetulan belaka. Karena saya masih belajar menulis, setiap masukan konstruktif akan saya terima dengan senang hati :). Selamat membaca dan berimaginasi!

Šmhsantosa (2013) I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

1

ŠMade Hery Santosa


BAGIAN I KELINCI AJAIB DAN GADIS KECIL

Hari masih pagi. Ikan-ikan di kolam besar tampak riang melompat-lompat. Taman disamping kolam berkilau ketika rumput yang berembun mendapat sinar matahari pagi. Seorang gadis kecil tampak asik menunjuknunjuk, mencoba mendekati sesuatu di bawah pohon mangga. Wajahnya riang ketika didekatkan pada Donna. Ia tampak sedikit takuttakut ketika mencoba menyentuh mahluk lucu ini. Donna, demikian dipanggilnya, adalah seekor kelinci gemuk berwarna coklat yang dibiarkan bebas di taman kecil ini. Ia biasanya senang berlari ke balik pohon-pohon kayu manis bertinggi selutut untuk bisa dengan bebas makan rumput atau wortel yang diberikan padanya. Donna sangat ramah pada setiap orang. Ia sangat suka dielus-elus oleh tangan-tangan halus dan mungil ini. Sambil tetap asik menyantap rumput melimpah di depannya, Donna sesekali melirik tangan mungil yang mengelusnya. Siapa pemilik tangan

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

2

ŠMade Hery Santosa


halus ini? Ia mendapati senyuman riang ditujukan padanya. Gigi tonggos Donna terlihat setelah ia tahu pemilik senyum riang ini. Tiba-tiba saja Donna berlari menuju semak di sebelah kolam ikan dan menghilang. Pemilik tangan mungil ini merasa kehilangan. Donna ternyata masuk ke semacam lubang panjang dan berlari kecil menuju ujung lubang tersebut dimana seberkas cahaya terang tampak. Ada matahari yang menyinari tempat di ujung lubang ini. Ketika Donna sampai di ujung lubang, iapun tiba-tiba berubah menjadi tinggi, dengan janggut panjang, bertopi lancip dan jubah membalut seorang kakek yang menumpukan satu tangannya pada tongkat kayu Oak tua. Sungguh senang hati kakek, yang tadinya adalah Donna, ini. Ia seperti menemukan sesuatu yang penting. “Ya!” katanya. “Ya! Gadis kecil itu!” Ia kemudian bergegas menuju pohon besar di ujung jalan setapak yang ada di tengah hutan ini. Sesampainya di bawah pohon itu, ia mengetukkan ujung tongkatnya tiga kali. “Remnitalis,” suara beratnya mengiringi. Akar-akar pohon itu, tiba-tiba bergerak dan membuka, seakan-akan memberi jalan untuk bisa dimasuki. Memang benar, itu adalah pintu rumah dari si kakek. Ia kemudian bergegas masuk, langsung menuju lemari yang penuh berisi buku-buku tebal. Kakek ini menuju sisi kanan atas lemari ini. “Barrimu Sesethi,” ia terus berguman dan matanya mencari-cari di tumpukan buku-buku itu. “Aha!” serunya.

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

3

©Made Hery Santosa


Ia kemudian menarik sebuah buku tebal bersampul kecoklatan yang agak lusuh dan sedikit berdebu itu dari lemari buku. Ia menaruhnya di meja dan mulai membuka halaman demi halaman buku itu. Mulutnya berguman

Barrimu Sesethi terus menerus. Diluar sana, mata bulat gadis kecil itu terus mencari-cari Donna setelah ia pergi menghilang. Iapun duduk di kebun ini diatas rerumputan hijau sambil bermain. Tangan-tangan mungilnya mengambil daun-daun kering, mencabuti rumput, ‘memanggil-manggil’ ayam dengan melambaikan tangannya. Donna masih belum kelihatan lagi. Kakek itu berhenti pada halaman 515 dan terpaku pada satu bagian yang telah dilingkari dengan tinta tebal. Barrimu Sesethi, begitu tulisannya. Ia membaca kalimat yag ditandai pada halaman itu. “Barrimu Sesethi adalah campuran elemen. Elemen api yang panas membara dan mematikan namun membuat abu kesuburan. Elemen air yang tenang namun bisa menghanyutkan. Elemen udara yang sejuk namun bisa menghancurkan. Elemen tanah yang subur namun bisa mematikan.” Cuma itu. Ia mencari-cari lagi, membolak balik halaman tersebut. Ia tidak menemukan apapun. Si kakek tampak lelah. Ia tidak sadar memejamkan matanya dan tertidur. “Halo gadis kecil,” sapanya. Gadis kecil itu hanya melambai-lambai, tersenyum riang. “Aku menemukan Barrimu Sesethi untukmu.” Gadis kecil itu mendekat, berusaha mengelus-elus bulu lembutnya. Mata mereka saling tatap.

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

4

©Made Hery Santosa


Kakek itu tiba-tiba terbangun dari tidurnya yang tak disengaja. Badannya terguncang sedikit. “Aku harus mencari gadis itu lagi.” Ia menutup buku tebal itu. Tak sengaja, matanya melihat sobekan kecil di ujung sampul depan buku itu. Ia meneliti sebentar. Dituntun instingnya, ia merobek sampul itu, dan raut mukanya langsung berubah. Ada potongan kain lusuh yang tampaknya terbuat dari kulit kambing. Ia menarik kain itu. Ada semacam gambar di bagian tengah kain itu. Lingkaran berisi tulisan aneh di sekelilingnya. “Ommi. Linous. Crosui. Canasi. Ki.” “Apa ini?” Ia membalik kain lusuh itu. Ada semacam potongan-potongan gambar. Seperti puzzle. Semuanya tampak bagai mata bulat besar, ada rahang bergigi banyak, ada bulu halus kuning, ada warna emas berkilat, ada logam bulat terukir penuh pendar. Kakek itu mencoba memutar-mutar potongan kain itu. Membolakbaliknya. “Apa arti semua ini? Apa makna kata-kata dan potongan-potongan gambar ini?” batinnya. Ia bergegas menuju pintu akan keluar. Akar-akar itu langsung membukakan jalan baginya untuk keluar. Sambil membawa potongan kain lusuh itu, kakek berjalan pelan dan sebentar-sebentar bergumam. “Ommi. Linous. Crosui. Canasi. Ki.” “Potongan gambar-gambar,” lanjutnya.

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

5

©Made Hery Santosa


Ia terus melangkah di jalan setapak menuju lubang penuh cahaya tadi. “Mungkinkah?” “Erat hubungannya.” Ujung lubang sudah dekat. Ia bersiap. Sesampainya diujung lubang itu, cahaya terang langsung menerpa tubuhnya. Seketika itu, tubuhnya menyusut, berubah kecoklatan dengan kaki empat, telinga panjang dan dua gigi depan tonggos. Donna kemudian berlari kencang menuju ujung lubang satunya lagi. Ia harus cepat. Hari sudah sore. Ia tahu, gadis kecil itu biasanya kembali bermain di bawah pohon mangga di taman dekat kolam itu sebelum kembali esok hari. Namun, ia harus bertemu dengannya hari ini, segera. Ia sampai pada ujung lubang yang menuju taman di sebelah kolam ikan ini. Pepohonan kayu manis masih berdiri tegak berjejer. Donna keluar dan melihat gadis kecil riang itu sedang bermain dengan asik. Ia mengambil daun-daun kering, rumput-rumput hijau, dan tanah coklat subur. Gadis itu melihat Donna. Ia langsung menunjuk-nunjuk. Donna tahu, ia mendekatinya. Gadis kecil itu bergerak dan berusaha mengelus bulu lembutnya. Donna sangat menikmati elusan sayang gadis kecil ini. Ia berusaha menatap mata gadis ini. “Aku kembali padamu, gadis kecil.” Gadis itu, karena belum bisa berbicara, tampak mengangguk dan tersenyum. “Apa engkau pernah mendengar Barrimu Sesethi? tanyanya. Gadis itu menggeleng. Ia tetap mengelus-elus Donna.

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

6

©Made Hery Santosa


“Barrimu Sesethi adalah kumpulan elemen dasar di bumi ini. Ada api, air, udara, dan tanah. Masing-masing memiliki kebaikan dan keburukan.” kata Donna. Mata mereka tetap saling tatap. Gadis kecil itu tampak belum sepenuhnya paham, namun mengangguk. “Di dalam elemen-elemen itu, ada unsur-unsur dasar sifat bernama Ommi,

Linous, Crosui, Canasi, dan Ki,” lanjutnya. Gadis itu kelihatan tambah tidak mengerti. Ia menggeleng-geleng kepalanya. “Dengarlah gadis riang, elemen-elemen itu penting sekali dipahami. Unsur-unsur dasar selanjutnya yang menuntun hidup. Ommi adalah burung hantu, lambang kebijaksanaan, juga gelap malam.” Gadis kecil itu mulai menyimak. “Linous adalah singa, lambang kekuatan, penghormatan, juga kekuasaan,” lanjutnya. Gadis itu menatap mata Donna dan tersenyum. “Crosui adalah buaya, lambang dari pemangsa, tipu daya, namun kuat dan cekatan.” Donna mendekatkan tubuhnya lagi sehingga gadis kecil itu kini bisa memegang telinga panjangnya. “Canasi, Donna melanjutkan, adalah burung kenari, lambang ceria, riang, namun bisa kecil dan lemah.” Donna menggeliat-geliat ketika tangan mungil gadis itu berusaha memeluknya. Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

7

©Made Hery Santosa


“Dan Ki, adalah energi, lambang pengikat semua elemen dan unsur tersebut. Ia selalu berpendar menetralisir keekstreman.” Donna kemudian melanjutkan, “Aku paham, engkau belum paham. Tidak apa-apa, gadis kecil. Engkau bisa menemuiku setiap saat.” Gadis kecil itu menatap mata Donna sekali lagi dan mengangguk. “Lihat, ibumu sudah datang menjemput. Ketika engkau sudah besar, engkau bisa bercerita tentang percakapan kita ini.” Sumber Gambar Sumber Tulisan

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

8

©Made Hery Santosa


BAGIAN II ARANES DAN TELUR NAGA

Rambut panjang yang sudah memutih itu menutupi punggung bungkuknya. Ia sedang duduk di atas kayu jati yang tampaknya sudah cukup tua. Tongkat kayu coklat kehitaman yang terbuat dari Oak tergeletak di samping kiri tempat duduknya. Ia tampak asyik melihat koleksi buku-bukunya. “Siapa dia?” batin Aranes. Ia duduk di lantai kayu di bawah, membelakangi orang tadi. “Selamat malam,” sapa Aranes, dengan sedikit takut. Dari belakang, orang tua ini kelihatan tak ramah. “Ada apa Aranes?” orang itu membalas sapaannya. Aranes terkejut. “Darimana ia tahu namaku?” batinnya. Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

9

©Made Hery Santosa


“Mmm, begini… Saya datang kesini, ingin…” “Aku sudah tahu,” suara renta itu berat, seakan menyambar Aranes. Aranes lagi-lagi terkejut. Bagaimana kakek tua ini tahu pikirannya. “Namun, sebelumnya ijinkan aku menceritakan hal ini,” lanjut kakek itu. *** Donna sibuk memakan rumput hijau yang melimpah di kebun ini. Lama ia tak melihat gadis kecil yang ia temui lalu. Kemana gerangan gadis mungil itu? Sakitkah? Selesaikah ia mengunjungi arena bermain ini? Batinnya terus bertanya-tanya sambil tetap asyik mengunyah rumput lezat dihadapannya (Sebagai rujukan, tolong dibaca cerita “Donna, Kelinci Ajaib sebelumnya). Ia ingat, beberapa hari lalu ia bertemu dengan seorang pemuda berambut hitam keabuan, bertelinga sedikit runcing. Pemuda itu menghampiri ketika ia sedang duduk menghadapi rak buku-buku yang merupakan sumber pengetahuannya selama ini. Pemuda itu tampak lelah namun matanya tetap penuh nyala semangat. Aranes, demikian namanya, duduk bersila di balik punggungnya. Ia agak sedikit gemetar. Tangannya meremas-remas ujung baju perang yang terbuat dari kulit bison tebal. Janggut kakek melambai sebentar karena tiupan angin. Musim gugur kali ini terasa lebih dingin dari sebelumnya, namun perapian hangat selalu melakukan tugasnya dengan baik. *** “Aranes, ada dua buah telur naga yang berwarna kebiruan dihadapanmu. Telur-telur ini merupakan jenis naga dari pegunungan berapi Naria yang Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

10

©Made Hery Santosa


penuh bebatuan panas. Jika engkau disuruh memilih, telur manakah yang paling baik?” tanya sang kakek. Aranes diam. Ia merasa tidak tahu banyak tentang naga atau telurnya. “Ayo, gunakan akal yang paling baik,” suara kakek tua itu menyentak hening Aranes. “Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu,” sahut Aranes, kebingungan. “Jawablah. Aku tahu engkau bisa,” kakek itu membalas kebingungan Aranes. Aranes

kemudian

ingat.

Dulu,

ibunya

sering

memberitahu

cara

mengetahui telur yang baik dan tidak. Ia bisa mengangkat dan merasakan telur yang ringan dan berat. Jika ringan, itu tandanya telur tersebut tidak baik; tentu saja tidak akan mungkin menetas. Ia kemudian berkata, “Bolehkah aku mengangkat telur-telur ini?” “Tentu saja,” sahut sang kakek. Aranes kemudian mengangkat telur-telur naga itu. Ia rasakan yang mana yang lebih ringan. Setelah beberapa lama, ia merasa kedua telur itu tidak ada yang lebih ringan daripada yang lain. “Bagaimana, sudahkah engkau tahu jawabannya?” tanya kakek itu. “Belum,” sahut Aranes. Aranes kebingungan kembali. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba, ia ingat cara lain untuk mengetahui telur yang baik. “Bolehkah aku merendamnya di wadah berisi air?” “Tentu saja boleh,” kakek itu menjawab, sedikit tersenyum. Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

11

©Made Hery Santosa


Aranes kemudian langsung mencari wadah dan mengisinya dengan air. Ia mengambil satu telur dan mencelupnya di wadah berisi air tersebut. Telur tersebut tidak mengambang. Ia lalu mengambil telur kedua dan mencelupnya di wadah tadi. Telur kedua ini juga tidak mengambang. Artinya, kedua telur itu baik. Aranes tampak bingung lagi. Ia kemudian ingat beberapa fragmen mengenai naga yang ia pernah baca atau tonton. Ia pernah membaca cerita Eragon dimana Saphira, naga kebiruan yang perkasa yang menjadi tunggangan Eragon di medan perang. Ia adalah naga yang lahir dari telur – pada awalnya hanya dikira batu besar berwarna biru -yang ditemukan secara tidak sengaja oleh Eragon. Pertemanan keduanya mengalami pasang surut namun menjadi bumbu penguat persahabatan mereka. Aranes

juga

pernah

melihat

naga,

paling

tidak

bagaimana

ia

dipersepsikan, di beberapa film. Di film Lord of the Rings, naga ini ditunggangi oleh para Nazgul – dulunya sembilan raja penerima cincin simbol kekuatan, namun kemudian dibutakan oleh ketamakan akan kekuasaan itu sendiri. Witch-king of Angmar juga menunggangi salah satu naga

yang menyerang raja

Theodon ketika

perang. Naga dan

penunggangnya kemudian bisa dibunuh oleh Eowyn, keponakan raja Theodon dengan bantuan Merry, teman Frodo, Sam dan Pippin, seorang Hobbit. Naga ini juga terus menerus mencari Frodo yang bersama Sam sedang berjuang menuju gunung api Mordor. Ada juga fragmen mengenai naga yang berkelebat di benak Aranes. Naga bijak penuntun jalan Merlin dalam usahanya membantu Arthur muda menjadi raja dalam serial Merlin. Naga itu bersuara tidak berat dan selalu ingin Merlin berjanji melepaskannya setelah memberi petunjuk. Naga dipercaya telah hidup ribuan tahun sehingga bisa memberi gambaran akan situasi tertentu yang manusia belum pernah temui sebelumnya. Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

12

ŠMade Hery Santosa


Ia juga ingat akan sebuah fragmen tentang naga Ukrainian Ironbelly yang berkulit pucat, mungkin karena tidak pernah terkena sinar matahari, dari cerita Harry Potter and the Deathly Hallows yang diikat di kedalaman bank Gringotts untuk mencegah penyusupan. Naga tersebut kemudian malah menjadi jalan keluar Harry Potter dan teman-temannya dari penjagaan super ketat bank di dunia sihir tersebut. Yang paling berhubungan dengan situasinya saat ini adalah fragmen tentang naga jenis Hungarian Horntail yang harus dilawan oleh Harry Potter dalam film Harry Potter and the Goblet of Fire. Ketika itu, Harry Potter harus berjuang keras menghadapi naga ganas tersebut dalam usahanya merebut telurnya karena telur tersebut adalah kunci ke pertandingan selanjutnya. Semua fragmen itu berdatangan satu-persatu dalam benaknya. Satu fragmen terakhir tadi seaakan menuntunnya pada sebuah jawaban. Ia tahu, ia harus memutuskan, menjawab pertanyaan kakek tua ini. “Baiklah,” kata Aranes, “Aku memilih telur ini.” Ia menunjuk telur di sebelah kanannya. Kalau diteliti, tidak ada ciri yang cukup signifikan berbeda dari telur yang satu lagi. “Mengapa telur ini?” tanya sang kakek. “Oh, aku hanya memilih secara acak. Aku pilih telur di sebelah kananku ini karena aku yakin ia lebih baik dari yang satunya lagi,” lanjutnya. “Hmmm, menarik sekali. Apa alasanmu?” tanya kakek itu, untuk kali kedua. “Aku tahu jika aku memilihnya, aku akan bertanggung jawab terhadapnya dan memberikan yang terbaik untuk pilihan itu. Pilihan itu akan selalu ada, kadang tidak ada yang baik atau yang buruk. Namun ketika kita sudah memilih, itu berarti kita sudah memberanikan diri menjatuhkan pilihan

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

13

©Made Hery Santosa


pada suatu hal termasuk menghadapi resikonya. Yakinlah dan jalani yang terbaik. Rawatlah pilihan itu,” tutur Aranes panjang lebar. “Menarik, menarik sekali anak muda!” mata kakek itu sedikit bersinar. “Nah, karena engkau sudah memilih telur di sebelah kananmu, engkau boleh membawa dan merawatnya, dengan penuh hati-hati dan tanggung jawab, seperti yang engkau katakan sebelumnya,” kata kakek itu. Seperti penggalan kisah di fragmen terakhir diatas tadi. Harry Potter mengambil sendiri pilihannya – melalui undian, kebetulan itu pilihan terakhir – dan melakukan tugasnya untuk mengambil telur naga terganas itu, dengan baik. “Jika telur yang kau pilih ini kelak bisa memberimu jawaban atas hidupmu, kembalilah padaku. Saat itu, aku akan memberi pilihan lagi,” kata kakek itu kembali. Sumber Gambar Sumber Tulisan

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

14

©Made Hery Santosa


BAGIAN III KISAH TEROPONG GALILEO, PALANTIR, BUKU DAN PEDANG DI UNIVERSITAS LEIDEN

Hari sudah gelap. Musim dingin kali ini terasa lebih dingin dari sebelumnya dan matahari jauh lebih cepat terggelam. Aku mematikan lampu dan menutup pintu kantorku. Seperti biasa, aku adalah orang terakhir yang pulang dari kantor ini. Caroline, temanku yang cantik, sudah lebih dulu pulang. Aku menyusuri anak tangga menuju lantai 2. Udara dingin langsung menampar pipi kering ini. Untung, aku selalu menyiapkan syal dan topi kupluk serta selop tangan tebal sebagai antisipasi cuaca dingin ini. Sepanjang jalan, hanya suara angin yang aku dengar. Kutengadahkan kepalaku, bintang sepertinya enggan. Bulan purnama kali inipun tersaput kabut. Ketika melewati jalan setapak di gedung Pusat Penelitian Bio-Research, mataku tak sengaja melihat 2 cahaya berpendar di kejauhan. Kadang berkedip. Semakin dekat, aku sadar, ia hanya seekor binatang. Namun, aku masih ragu, apa ia wallaby, sejenis kangguru tapi lebih kecil, atau kelinci yang besar. Tampak dua kuping lebar dan tinggi menjulang. Ia berhenti, sambil mengunyah, ia menatapku.

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

15

ŠMade Hery Santosa


Aku seperti mengenalnya. Kelinci coklat ini tampak seperti Donna, kelinci yang pernah aku ceritakan sebelumnya (untuk lebih jelasnya, silahkan baca cerita ‘Kelinci Ajaib’ dan ‘Telur Naga’). Kali ini, ia seperti nyata. “Engkau nyata,” kataku. Ia tampak mengangguk. Aku tidak yakin. Tapi, kepalanya naik turun. Mulutnya terus mengunyah sesuatu, mungkin rumput. *** “Dimana ini?” aku bertanya-tanya. Mataku menatap sekeliling rumah yang temaram ini. Kubuka mataku lebih lebar lagi. Aku terbaring di lantai beralaskan karpet krem. Lantainya kayu berwarna coklat. Dindingnya seperti dari kayu juga. Ada rak berisi banyak buku tebal di kiri ruangan ini. Perapian di sebelah kananku memberi hangat yang membuat nyaman tubuhku. Di depan perapian, aku melihat seseorang duduk di kursi goyang, membelakangiku. “Halo,” kataku. “Aku ada dimana?” aku memberanikan diri untuk bertanya. Orang itu diam saja. Namun ayunan kursi goyangnya berhenti. “Mengapa aku ada disini?” tanyaku lagi. Ia tampak melipat buku yang dibacanya kemudian ia bangkit dari kursi itu. Aku tersentak! Tampak wajah keriput berjanggut panjang. Ia tampak menyeramkan di ruangan yang temaram ini. Tongkat kayunya menjulang dihadapanku. “Bangun,” katanya. Suaranya pelan, terdengar berat. Aku bangkit dari tidurku, dan duduk di karpet krem sambil memeluk lututku.

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

16

©Made Hery Santosa


“Ah!” Aku terkejut. “Kenapa kakiku?” Kakiku, kini bengkok, berjumlah empat. Aku benar-benar tidak menyadari hal ini sebelumnya. “Kenapa kakiku? Kau apakan kakiku?” tanyaku, setengah menuduh. “Bukan aku yang membuat kakimu begitu,” sahut kakek itu. “Lalu, mengapa ia menjadi seperti ini?” tanyaku. “Sebelumnya tidak begini!” aku histeris. “Aku tidak tahu. Yang aku tahu, engkau memilihnya sendiri” sahutnya. Aku tak mengerti. Baru saja aku melihat seekor kelinci di pelataran parkir di jalan setapak menuju rumahku. Kini, aku berada di rumah kayu temaram ini. “Dengar, aku tidak memilih apa-apa,” kataku. “Jadi, jangan membuat-buat sesuatu yang aku tidak lakukan,” kataku lagi. “Dengar

anak

muda,

aku

tidak

membuat-buat

cerita,”

katanya.

“Sekarang,coba engkau berjalan ke arah rak buku itu,” lanjutnya. Aku mencoba bangkit. Tertatih-tatih aku mencoba berjalan. Aku terhenyak. Aku tidak lagi berjalan tegak namun merangkak. “Ya Tuhan, kenapa ini?” benakku berkecamuk. Perlahan, aku bisa mencapai rak buku yang dimaksud. “Sekarang, coba ambil buku tebal nomor dua dari kiri di rak paling bawah. Buku itu bersampul kulit rusa berwarna coklat,” kata kakek tua itu. Aku mencoba mencari-cari buku yang dimaksud. Mataku tertumbuk pada satu buku berwarna coklat tua. Aku tahu, buku itu yang dimaksud. Aku Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

17

©Made Hery Santosa


kemudian menarik perlahan buku tebal itu. Namun, seiring tarikanku, sebuah gulungan perkamen ikut keluar. Warnanya coklat lusuh. Sekilas, aku melihat beberapa figur dan lingkaran. “Apa ini?” aku mengeryitkan alis. “Sudah kau temukan bukunya?” tanya kakek itu. “Su, sudah,” kataku agak tersentak karena ia mengagetkanku. “Bawa kesini,” katanya lagi. Aku menyelipkan gulungan perkamen itu di lengan baju panjangku, kemudian merangkat ke dekatnya. Aku kemudian merangkak lagi, menuju kakek tua itu. Aku sodorkan buku tua itu kepadanya. Aku menunggu. Ternyata kakek tua itu hanya diam dan duduk kembali di kursi goyangnya. Sambil menghadap perapian, ia berguman sambil mebaca buku yang aku berikan. Akupun terdiam, tak tahu harus bagaimana. Dalam diam, aku mulai terusik oleh perkamen yang aku lihat tadi. Perlahan, aku merangkak menuju rak buku di dekatku. Kakek itu hanya menoleh sebentar, kemudian asyik membaca sambil berguman. Hening aku rasakan. Hanya guman kakek itu sesekali aku dengar. Beberapa waktu kemudian, aku tidak lagi mendengar gumannya. Hanya dengkur halus memenuhi ruang temaram ini. Aku sedari tadi hanya memeluk kedua kakiku dengan tanganku, well, kini menjadi kakiku. Aku tidak berani juga tidak tahu harus berbuat apa ketika kakek itu masih terjaga. Sekarang ia tertidur, aku memberanikan diri untuk membaca perkamen yang aku ambil tadi. Sambil menikmati hangat perapian di ruangan ini, aku perlahan mengeluarkan gulungan perkamen tadi. Aku mencoba membuka gulungan tersebut. Pelan-pelan. Perlahan, melihat beberapa garis, motif dan figur, semacam lambang. Ada tiga lambang yang ukurannya lebih besar dari garis dan motif lainnya. Aku Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

18

©Made Hery Santosa


merunduk, memperhatikan lambang tersebut, agar lebih seksama, satupersatu. Lambang pertama dari perkamen ini seperti pipa lonjong berukuran sekitar 30 sentimeter. Ujung satu dengan ujung lainnya berbeda ukuran, kecil dan lebih besar sepersekian sentimeter. Aku melihatnya seperti teropong sederhana. Sama sederhananya dengan teropong pertama buatan Galileo Galilei ketika mencoba mengamati Jupiter dan bulannya. Saat itu, di tahun 1909-1010, ia berhasil memperbesar objek angkasa sampai 30 kali dari aslinya. Tiap hari, ia mengamati fenomena astronomi, termasuk Jupiter. Ia kemudian menemukan tiga benda bulat lainnya suatu malam, yang kemudian disebut satelit atau bulan. Di malam lainnya, ia menemukan empat. Begitu seterusnya. Ia kemudian sadar, bahwa bendabenda bulat kecil ini mengelilingi Jupiter yang lebih besar dari mereka. Ia menemukan kalau benda-benda kecil itu tertarik oleh sesuatu yang tidak kelihatan untuk tetap mengelilingi Jupiter. Akan ada suatu waktu, mereka tertutup oleh penglihatan (seperti fenomena gerhana). Itulah sebabnya kadang ia melihat hanya tiga bulan saja. Hal ini tentu saja hal biasa saat ini, namun ketika Galileo menemukannya, itu penemuan luar biasa. Sesuatu yang mendukung Copernicus, sesuatu yang juga mengusik kenyamanan pandangan orang-orang umumnya, utama pihak Gereja yang memiliki pengaruh kuat akan konsep “Semua yang ada diciptakan oleh dan atas kehendak Tuhan� (kemudian dikenal dengan konsep heliosentris versus geosentris). Namun, bayanganku tentang teropong ini tidaklah sejauh itu. Tidak ada keterangan apa-apa di atas, bawah, dan sekitar lambang pertama ini. Aku belum paham. Aku melanjutkan pandanganku ke lambang kedua. Lambang kedua ini berbentuk lingkaran, seperti iris, satu bagian mata. Ada satu lingkaran kecil di tengahnya, lebih hitam. Tentu saja ia tidak berwarna apa-apa, kecuali kecoklatan di perkamen lusuh ini. Tidak seperti iris yang bisa berwarna hijau, biru, coklat dan lainnya. Itulah sebabnya, Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

19

ŠMade Hery Santosa


bagian mata dinamai iris, mengambil nama dewi pelangi menurut orang Yunani kuno. Di bagian luarnya, terdapat beberapa corak berbeda-beda, kadang bulat, kadang garis. “Apa ia Palantir?� gumanku. Palantir adalah batu bulat magis imaginasi Tolkien. Salah satunya, Orthanc, adalah palantir yang digunakan oleh Saruman dalam karangan Lord of the Ring: The Two Towers untuk berkomunikasi dengan Sauron. Sekali lagi, tidak ada keterangan lanjutan dari lambang ini. Hanya itu. Akupun hanya bisa meraba-raba, menginterpretasi. Akupun terdiam sesaat. Terdengar dengkur si kakek tua agak keras dari sebelumnya. Ia menggumankan sesuatu, namun aku tidak begitu jelas mendengarnya. Aku kemudian lanjut membuka gulungan perkamen ini. Ada lambang lain diujungnya. Lambang ketiga ini menyerupai kotak-kotak kecil dalam jaring yang tergantung. Disampingnya ada benda pipih panjang dengan tangkai ada di bagian atas. Sama, tergantung juga. Benda-benda ini mirip dengan kumpulan buku dan pedang tergantung yang pernah aku lihat sebelumnya di Universitas Leiden, Belanda. Beragam buku dikumpulkan dan dijadikan satu dengan wadah jaring besar, kemudian digantung di langit-langit gedung. Disampingnya, sebuah pedang besar tergantung terbalik. Persis! Namun, sekali lagi, aku tidak menemukan keterangan apa-apa di sekitar lambang ini. Aku mencoba membolak-balik perkamen lusuh ini. Mencoba menemukan sesuatu yang bisa membantuku memahami isi perkamen ini. Tapi, tidak satu keteranganpun aku bisa temukan. Aku coba mencari di sela-selanya, berharap sesuatu ada didalamnya, namun perkamen ini tidak punya celah.

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

20

ŠMade Hery Santosa


Aku kembali menggulung perkamen itu dan memasukkannya ke kantung celanaku. Aku memutuskan untuk menyimpannya. “Apa yang kau baca?” tiba-tiba, suara berat mengagetkanku. Kakek itu sudah bangun dan matanya tajam menatapku. “Oh, ti.. tidak aaadaa,” jawabku, gemetar. Kakek itu bangkit. “Tidak apa-apa, aku melihatmu memegang perkamen itu.” Ia beringsut, mendekatiku. Akhirnya, aku mengeluarkan perkamen tadi. Aku menceritakan apa yang aku lihat dan pikirkan. “Begitukah yang engkau pikir? tanyanya. Suaranya seperti melembut sedikit. “Iya, begitu. Mungkin itu hanya interpretasi dari pengalamanku saja. Bisa saja kurang tepat. Bagaimana menurutmu, Kek? tanyaku. “Oh, aku lebih tertarik dengan apa yang engkau artikan dari lambanglambang itu. Aku ingin tahu lebih lanjut kenapa,” sahutnya, dengan senyum lebih manis kali ini. “Well,” kataku, “aku melihat lambang pertama sebagai teropong karena bentuknya memang seperti teropong menurutku. Aku menonton kisah Galileo dalam film dokumenter berjudul ‘Did God create the Universe?’ yang berisi pemikiran Stephen Hawking mengenai terjadinya alam semesta. Galileo dikisahkan meneropong Jupiter dan menemukan bulanbulan tersebut berotasi pada Jupiter. Saat itu, temuannya termasuk menggegerkan pandangan bahwa bumi itu datar dan semua atas kehendak Tuhan, minim dasar ilmiah. Hingga ia harus dipenjara dan menderita karena pandangannya tersebut. Aku pikir, kadang kita harus

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

21

©Made Hery Santosa


melihat, mengindentifikasi sesuatu, agar lebih jelas menggunakan alat yang tidak biasanya.” “Menarik sekali!” jerit kakek tua itu. “Aku tidak menyangka engkau memaknainya demikian. Jauh dari apa yang aku dulu pikirkan dulu,” sambungnya. “Bagaimana dengan lambang kedua?” tanyanya kemudian. “Seperti aku ceritakan, lambang kedua itu aku lihat seperti iris, bagian mata. Dari bentuknya memang tidak mirip sekali, apalagi warna, karena memang lambang kedua itu tidak berwarna. Tapi aku berimajinasi kalau itu iris, yang bisa menampung cahaya, yang bisa berwarna berbeda-beda. Selain iris, palantir juga masuk ke benakku. Lebih pada fungsinya membantu melihat sesuatu yang jauh, yang tidak selalu tampak,” aku berbicara panjang lebar mengenai inpterpretasiku terhadap lambang kedua itu. “Wow, sampai seperti itukah engkau melihatnya?” ia bertanya. “Aku dulu melihatnya berbeda sekali,” sambungnya. Sudah dua kali kakek itu mengatakan “Dulu aku berpikir atau melihatnya berbeda.” Aku bertanya, “apa engkau pernah melihat perkamen ini sebelumnya, Kek?” “Oh iya, beberapa tahun yang lalu. Waktu itu, aku menemukannya di dalam tongkat Oak yang aku pakai sekarang” katanya. Tapi sudahlah, aku ingin tahu bagaimana engkau melihat lambang ketiga itu. “Lambang ketiga itu, mirip sekali dengan apa yang aku pernah lihat sebelumnya tergantung di salah satu gedung di Universitas Leiden di Belanda. Buku-buku dimasukkan dalam jaring kuat dan besar kemudian digantung. Benda pipih panjang itu juga mengingatkanku akan pedang besar yang tergantung di sebelah buku-buku tersebut. Waktu itu, aku senang sekali melihatnya, penuh estetika. Begitu akademis kesannya dalam bangunan kuno berarsitektur Eropa kental. Rasanya itu seperti Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

22

©Made Hery Santosa


tempat pencarian ilmu terindah. Dengan buku-buku (dan sumber lainnya) aku tahu kita bisa belajar, bisa berkontribusi. Dengan pedang, aku pikir kita bisa memilah, bisa mengasah, namun bukan membunuh,” tutupku. “Wah, imaginasimu sungguh liar! Aku dulu tidak melihatnya demikian,” ia lagi menenekankan hal itu. Aku terdiam sejenak. “Seperti yang aku bilang sebelumnya, Kek, apa yang aku lihat bisa saja berbeda dari orang lain. Kakek selalu bilang dulu tidak seperti itu. Kalau aku boleh tahu, seperti apakah dulu Kakek lihat lambang-lambang itu?” tanyaku. “Oh, aku hanya melihatnya sebagai pipa air, bola, dan karung beras serta besi pengecek kualitas beras,” sahutnya. “Kenapa begitu, Kek?” tanyaku. “Ah,

sudahlah,

aku

sudah

lupa,”

jawabnya,

seperti

membiarkan

pandangannya terhadap lambang-lambang tersebut lepas, liar, dan penuh misteri. “Baiklah, aku mau melanjutkan tidurku,” lanjutnya lagi. Ia berjalan ke dalam ruangan lain dan tak lama aku mendengar dengkur halusnya. Di sudut ruangan temaram ini, aku memeluk kembali erat kedua kakiku. Hangat perapian masih baik. Di luar sana, salju turun dengan lebat. Jalanan pasti tertutup salju tebal esok hari. Tak sadar, akupun tertidur karena kelelahan. *** Aku tersentak. Seperti terbangun dari mimpi. Aku masih ada di jalan tadi melihat kelinci coklat itu di kejauhan. Ia menatapku, lama. Aku tertegun. Ia kemudian melompat-lompat menjauh, menuju pepohonan di belakang mobil-mobil yang parkir di tempat parkir nomor 3 ini. Aku sempat melihat

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

23

©Made Hery Santosa


ia melompat-lompat ketika sebuah bus lewat menghalangi pandanganku. Ia kemudian menghilang. Sampai sekarang, aku belum mengerti arti lambang-lambang di perkamen itu. Mungkin saja itu kertas lusuh biasa yang tak bermakna apa-apa. Aku bisa saja membayangkan lambang-lambang tersebut sebagai teropong, mata, dan buku pedang saat ini. Namun, aku tidak mau membatasi arti dan makna dengan berhenti pada interpretasi sebelumnya. Seperti ayah Hugo dalam film Hugo, berkata “A mystery will always make you happy.” Aku tahu rasa ingin tahu akan membuatmu terus belajar dan berimaginasi. Bukankah Einstein berkata “The most important thing is not to stop questioning. Curiosity has its own reason for existing.” Sumber Gambar: Teropong Galileo, Palantir, Buku & Pedang: ©Santosa Photography Sumber Tulisan

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

24

©Made Hery Santosa


Rekan pembaca, terima kasih sudah membaca sampai habis. E-Book ini bisa diunduh dan disebarluaskan dengan sepengetahuan saya. Karena masih belajar, saya yakin ada banyak kekurangan. Sekali lagi, saya dengan senang hati menerima masukan konstruktif pembaca sekalian. Selamat berbagi!

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib

25

ŠMade Hery Santosa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.