romising. Sometimes it’s the dark part of respect life hat needs to be carefully and with great overed as may to provide a beautiful present into hich one delve to understand its hidden uzzle.
TITARUBI
Discourse of the Past
A SOLO EXHIBITION
Charcoal as shadow offorfresh life ofshadows the pastofis used as the material drawing trees. Shadow on shadow, shadow talking about shadow. And because shadows are usually dim and dark, charcoal is used to express something that makesanxiously us sad: shadows of the woods that are either waiting for the morning sun or anxiously letting go of the afternoon bright light. It would be more sorrowfuloftoforest see ifwoods the shadows are the last remnants before they are devoured bycharcoal raging fire and reduced to charcoal. Drawing is used by Tita to draw forest woods that are to be turned into charcoal. We may react and feelthat thatwe theare work is gloomy, sad, but it is apparent invited to contemplate the beauty offered by Shadow on shadow. Why? Because lifegloom is notand always bright azzure blue. Parts of life are dark terror. This is what Tita is immersed in, and this is the home work that Tita offers though her drawings. Only when darkness is understanding processed and that beautified, there will be a sliver of would enrich humanity. In general, people like to show works that are vibrant, bright, and beautiful. Colors and materials are chosen to ensure their worksGod would brighten the heart and the mood. Thanks that artists are helping humankind to cherish the beauty offar the world they create and are involved in. But from the consumptive nature thattheir longsduties only for the glittery world, artists do have to wrap the gloom of the world through their works. Wrap? Yes. Like when we are buying ballpoint pen in a shopping mall, and the store-keeper (an artist by job description) wraps our pen sopresent that it no longer looks like a pen but looks like a full of surprises, then artists by nature are wrapping whatever experience cometh their which way. Sometimes, they wrap joyful experience they often exaggerate by choosing colors and materials
Discourse Discourse
of of the the Past Past
18 March - 18 April 2014
Sepenggal Cerita TITA RUBI TITA RUBI Tita Rubi menggarap sebuah cerita masa lampau! Ia mengungkap serangkai masa yang terbilang awal dan terasa sangat penting dalam pewacanaan sejarah tanah air, yang kini banyak orang getol menyebutnya sebagai bagian dari program besar “menjadi Indonesia” . Peristiwa-peristiwa masa lalu kembali menggeliat dan bermakna karena ada kegairahan dari berbagai persepsi. Menariknya, memaknai sejarah selama ini seringkali terfokus pada mereka yang merasa lebih layak melakukannya dengan metode khusus, saintifik, dan dengan sendirinya akan nampak “serprais” apabila muncul pihak yang mencoba memaknai sejarah dengan cara yang nampaknya kurang lazim, khususnya dilakukan oleh para seniman. Apa yang membuat Tita Rubi tertarik menggarap sejarah dalam pameran tunggalnya kali ini di Philo Art Space? Apa saja bisa menjadi objek perhatian bagi seorang seniman. Peristiwa sejarah jelas hanya salah satu dari berbagai objek tersebut dan pastinya karena ada objek yang lebih spefisik dalam sejarah itu untuk dihadirkan. Rempah-rempah merupakan objek yang khusus dibidik oleh Tita Rubi untuk memahami bagaimana dari kekhususan objek tersebut lalu muncul beberapa dimensi atau konsep yang penting untuk dipersoalkan. Seorang seniman adalah juga seorang yang bekerja dengan metode penelitian yang khas dan dalam batas-batas keseriusannya sebenarnya tak berbeda dengan yang dijalani oleh para peneliti lainnya. Perbedaan hasil penelitian yang tampil sebagai jawaban lewat tulisan atau buku dan yang tampil visual merupakan fenomena interpretasi yang memiliki daya tarik masing-masing. Paling tidak ada dua hal serius yang Tita Rubi hadapi dari upayanya menghasilkan “sejarah rempah-rempah”, yakni berkenaan dengan data-data yang relevan mendukung terutama pada dimensi visual objek-objek yang digarap, kedua adalah bagaimana mewujudkan estetika visual yang ikonistik dari hasil ‘bacaan’ atas data-data tersebut. Harus ada upaya yang militan atau sebut saja nekad untuk menggarap realitas historik seperti ini! Demikian kesan dari semangat awal Tita Rubi
saat memastikan tema ini digarap. Jelas sangat disadari bahwa tidaklah mudah untuk menyiapkan material yang dibutuhkan agar nuansa peristiwa historik itu kelak hadir memuaskan baik secara afektif maupun kognitif. Mengumpulkan ribuan biji pala misalnya harus mendatangi langsung daerah-daerah khusus dengan memperhitungkan secara cermat akurasi waktu penggarapannya. Semangat Tita memuncak pada “tuntutan teknis-estetik” bagaimana menjadikan ribuan biji pala itu semacam bola emas sebagai jubah yang dikenakan oleh sosok yang dianggap sumber inspirasi bagi hidupnya peristiwa sejarah itu. Menggarap sejarah adalah membaca formasi peristiwa-peristiwa yang kelitkelindan antara menunjukkan sesuatu secara gamblang dengan yang samar-samar, bahkan ada yang tersembunyi dan oleh sebab itulah interpretasi menjadi sebuah kemungkinan yang terus saja asyik digeluti. Di sinilah pula peristiwa3
peristiwa masa lalu menjadi “cerita” yang terbuka luas untuk dipercakapkan dari berbagai sudut pandang. Tita Rubi tentu tak lain bermaksud membuat sebuah narasi atas bidikannya tentang sejarah rempah-rempah. Sebagaimana kita tahu narasi merupakan jalan dengan caranya mengaitkan satu unsur dengan lainnya yang relevan agar menjadi sebuah cerita yang mengalir lancar dan utuh. Beberapa unsur berpadu menjadi satu kesatuan cerita tentang rempah-rempah yang dijalin Tita Rubi ini berupa transportasi, episteme yang diwakili oleh bahasa tulisan atau buku, ekspresi wajahwajah yang terepresi, dan sosok simbolis dari mana semangat misi dan penjelajahan itu muncul. Bagi Tita jalinan unsur-unsur inilah yang demikian menguras stamina proses kreatifnya bahwa upaya seperti ini tak ubahnya membenturkan kepala pada sesuatu yang keras, sangat terasa, namun tak nampak jelas. Bagaimanapun, harus dicairkan! Transportasi mengandaikan penciptaan sebuah peta sekaligus penguasaan atas wilayah-wilayah tertentu jika terlalu sulit mengatakan menguasai keseluruhan wilayah yang ada di muka bumi. Kekuasaan, pengetahuan dan peradaban hanya mungkin menyebar jika didukung oleh teknologi transportasi yang memadai. Tita Rubi dengan lantang menunjuk pada kapal yang membawa armada dalam penguasaan wilayahwilayah yang dimaksud. Transportasi dalam hal ini juga menyatakan pada kita tentang kreativitas jaman bagaimana teknologi itu dibuat oleh disainer-disainer brilian yang memadukan antara fungsi ruang demi ruang dengan seperangkat estetikanya. Kreativitas bergantung pada pengetahuan dalam segala dimensi perwujudan estetikanya. Pengetahuan memberikan dasar legitimasi bagi kondisi praktis bagi tegaknya pencapaian posisi tertentu bagi pihak yang menguasainya, Pengetahuan dan kekuasaan demikian kenyataan dalam sejarah peradaban merupakan dua hal yang 4
sangat berbeda namun senantiasa saling menunjang tak peduli di mana dan siapa pun yang berkesempatan untuk menjalankannya. Sudah umum dipahami bahwa pengetahuan dan kekuasaan biasanya mengutarakan sloganslogan metafisis berupa ‘keadilan’, ‘kesetaraan’, ‘kebebasan’ dan sebagainya. Tita Rubi memperlihatkan bahwa pengetahuan, kekuasaan dan teknologitransportasi menjadi sebuah piliihan perspektif yang secara eksplisit terpampang pada sejarah yang ia garap. Pada hematnya konsep-konsep inilah yang mendorong kuat Tita Rubi untuk membangun peta estetiknya menjadi sebuah narasi visual yang sangat menantang tentang sejarah rempah-rempah, Dan pada akhirnya narasi itu selalu bisa dikembalikan pada pemeran utamanya, manusia, sebagai subjek, saksi dan terutama korbannya, wajah-wajah manusia itu! Kiranya narasi pemaknaan sejarah lewat visual yang ditawarkan Tita Rubi dalam pameran tunggalnya ini menjadi sebuah pengetahuan yang memadai untuk memenuhi dasar keingintahuan kita masimg-masing sekalipun ini mungkin hanyalah sepenggal cerita dari banyaknya cerita-cerita besar masa lalu dengan tema yang sama. Ulasan DR. A Setyo Wibowo sangat membantu kita untuk lebih memahami dan mendalami konsep dasar estetika Tita Rubi. Sungguh sebuah tulisan yang impresif! Selamat berpameran – selamat menikmati
Tommy Awuy Kurator
Bayang-Terang, Bayang-Terang, Anggun-Selubung A Setyo Wibowo
Karya-karya Titarubi mengajak kita bertatapan dengan bayang-bayang dan selubung. Dua karya lukis berjudul Shadow on shadow (2009) dan Unbearable light (2013) menggunakan bahan arang untuk melukis. Arang (bayang-bayang kekokohan kayukayu hutan yang telah lampau) dipakai untuk melukiskan bayang-bayang pepohonan di hutan. Karya Shadow of surrender (2013) memakai bahan kayu terbakar sebagai instalasi untuk berbicara tentang sekolah dan pengetahuan. Dan akhirnya, senada dengan judul-judul karya sebelumnya, karya Imago mundi (2013), meski tidak lagi berwarna hitam arang, toh bernama imago, artinya, image atau bayang-bayang. Balutan emas pada bahan buah pala berwarna indah dan anggun, namun ujud yang menampak adalah selubung. Bagaimana menyelami bayangan selubung yang ditawarkan Tita tanpa lalai akan kedalaman yang, barangkali, hendak ia utarakan?
I. Bayang Terang Bayangan sebagai keniscayaan Arang sebagai bayangan dari kehidupan segar masa lampau dijadikan bahan untuk melukiskan bayang-bayang pohon. Shadow on shadow, bayang-bayang di atas bayang-bayang, atau, bayang-bayang berbicara tentang bayang-bayang. Dan karena bayang-bayang memang biasanya temaram dan gelap, maka arang dipakai untuk mengekspresikan sesuatu yang membuat kita sedih: bayang-bayang hutan yang entah cemas menantikan mentari pagi entah cemas ditinggalkan oleh sinar terang sore hari. Lebih miris lagi, kalau bayang-bayang itu ternyata berkas terakhir kayu-kayu hutan sebelum dilalap menjadi arang oleh api yang membahana mendekatinya. Bahan lukis arang dipakai Tita untuk menggambarkan kayu-kayu hutan yang sebentar lagi akan menjadi arang. Mungkin kita boleh bereaksi bahwa karya ini muram, sedih, tetapi yang
jelas kita diajak merenungi keindahan yang ditawarkan oleh Shadow on shadow ini. Mengapa? Karena hidup memang tidak selalu berwarna-warni cerah biru lazuardi. Bagian dari hidup adalah kemuraman dan kengerian yang gelap. Inilah yang digulati Tita, dan inilah pekerjaan rumah yang ditawarkan Tita lewat lukisannya. Hanya bila kegelapan diolah dan diperindah, maka ada sebersit rasa maklum yang memperkaya kemanusiaan.
Pada umumnya orang suka menunjukkan karya yang cerah, terang, dan indah. 5
Warna dan bahan dipilih supaya karyanya memperindah hati dan suasana. Syukur kepada Allah kalau para seniman membantu umat manusia menikmati indahnya dunia yang mereka olah dan gulati. Namun jauh dari sifat konsumtif yang hanya haus kepada aspek gemerlap dunia, seniman juga memiliki tugas untuk membungkus kemuraman dunia lewat karya seninya. Membungkus? Iya. Seperti saat kita membeli bolpoin di sebuah mall, lalu para pelayan toko (seniman by job description) membungkus bolpoin agar tidak mirip bolpoin, melainkan supaya tampak seperti kado hadiah yang penuh surprise, maka seniman by nature juga membungkus pengalaman apa pun yang menyergapnya dalam hidup ini. Ada kalanya pengalaman menyenangkan yang harus ia bungkus dan ia lebih-lebihkan, sehingga warna dan bahan dipakai untuk membuat segalanya tampak semarak dan menjanjikan. Ada kalanya hidup yang muram yang harus diselubungi dengan hati-hati dan penuh takzim agar sebagai bungkusan tetap indah dan menawarkan teka-teki untuk menyelaminya. Dalam bahasa seorang ahli, seni memang bukan sekedar ilmu pertukangan, seni juga bukan sekedar pengindah-indahan (embellishment), karena yang paling mendasar dari seni adalah kapasitas manusia menggunakan imajinasi untuk membentuk citra (Nigel Spivey, How Art Made The World: A Journey To The Origins of Human Creativity, Basic Book, 2005, hlm. 14). Dalam arti ini, seorang penjaga toko dan seniman memang samasama menggunakan imajinasinya untuk membentuk bungkus. Bedanya hanyalah bahwa yang satu membuat bungkus sebagai pekerjaan teknis, sehingga jangan heran bila Anda berkali- kali membeli bolpoin,
pensil, atau bahkan jam tangan ke toko yang sama keindahan bungkusannya akan standar dan repetitif, nyaris mirip gaya kitsch. Bungkus hanyalah bungkus. Orang yang membuat dan yang menerimanya tahu bahwa yang penting adalah bolpoin, bukan bungkusnya. Namun bungkus toh penting, karena tanpa bungkus, rasanya hidup ini menjadi terlalu mentah dan tidak manusiawi. Kalau mengharamkan bungkus, ya sudah, berikan saja bolpoin, atau berikan mentahannya (uang) sebagai hadiah dan suruh orangnya membeli sendiri. Semangat praktis seperti ini mengingkari kodrat manusia yang pada takarannya masing-masing adalah seniman. Manusia perlu bungkus. Meski manusia juga tahu bahwa itu hanya sekedar bungkus. Jika penjaga toko di mal adalah sekedar tukang nyeni yang dibayar untuk mengindah-indahkan bolpoin yang kita beli, maka ÂŤdaganganÂť seorang seniman adalah citra. Seniman menggunakan citra dan illusi untuk menganalisa penampakan (E. H. Gombrich, Art and Illusion: A Study In The Psychology of Pictorial Representation, London: Phaidon Press, 1984, hlm. 23). Ia menggunakan bungkus untuk mengatakan apa yang mau ia ungkapkan dalam pengalaman hidup. Bungkus menyelubungi sebuah isi, sama seperti bayang-bayang mengatakan sesuatu yang lain. Sebagaimana bungkus hadir dan muncul karena isinya, maka bayang-bayang menampak karena ada sesuatu. Arang sebagai bayang-bayang muncul dari kayu. Sosok bayang-bayang di atas tanah muncul karena diri seseorang. Apa yang mau dibayangkan Tita lewat arangnya?
Bayangan bisa positif Bayang-bayang selalu merupakan bayang-bayang dari sesuatu, refleksi atau pantulan dari sesuatu. Dalam Alegori Goa karangan Platon (428-347 SM, buku The Republic, buku VII), ada dua jenis bayang-bayang. Pertama, bayang-bayang di dalam goa 6
yang muncul karena barang-barang yang diangkut para budak; dan kedua, di luar goa, tepatnya di atas permukaan air, muncul bayang-bayang dari hal-hal yang ada di atas goa. Dengan mengikuti Platon, kita diajak memaklumi kompleksitas «sesuatu» dari mana bayang-bayang bisa muncul. Di dalam goa, sesuatu yang menjadi asal dari bayang-bayang adalah pengalaman inderawi. Sementara di luar goa, yang menjadi asal munculnya bayang-bayang bukan lagi sesuatu, karena idea sebagai sumber dari mana bayangan tersebut menampak tidak pernah dikatakan Platon sebagai thing (suatu benda). Dari cerita sederhana ini, hal utama yang perlu dimaklumi adalah bahwa di mata Platon bayang-bayang tidak pernah melulu negatif, seolah-olah bayang-bayang hanya berlaku bagi dunia di dalam goa! Atau lebih buruk lagi mengatakan bahwa sejauh «di dalam goa» merupakan simbol dunia kita, maka bagi Platon dunia hanyalah dunia bayangbayang tanpa konsistensi apa pun dan serba menipu. Namun Platon tidak sehitamputih itu. Bagi Platon, ilmu/ episteme matematika pun merupakan bayang-bayang dari ilmu tertinggi yaitu dialektika (episteme tentang idea). Bayang-bayang tidak melulu buruk karena ia bisa menampak entah itu di level di dalam goa (The Republic, buku VIII) maupun di luar goa, yaitu di wilayah intelligibel (The Republic, buku VI). Kalau selama ini orang senang mencibir
Platon sebagai peremeh dunia inderawi dan pemuja «dunia idea» (sebuah istilah yang tidak ada di teks-teks Platon), maka kita mengerti sekarang bahwa realitas bayang-bayang juga ada di wilayah intelligibel (wilayah di luar goa). Matematika atau cara pikir analitis serba terstruktur hanyalah bayang-bayang dari idea. Cara hidup teknologis, serba kokoh teruji lewat hipotesa dan eksperimen hanyalah bayangan dari idea. Apa itu idea? Kalau kita menimbang sebuah pendapat bahwa idea adalah intuisi estetis maka halnya menjadi sangat menarik! Mengapa menarik? Tentu saja menarik karena bagi Platon intuisi estetis itulah yang dijabarkan dan diturunkan oleh para teknolog dan pakar matematika menjadi angka-angka dan rumus-rumus yang terstruktur logis dan pasti bagi mata manusia. Dan untuk Platon penjabaran matematis seperti itu adalah bayangbayang. Bersama Platon, dan menyadari hebatnya teknologi serta peran ahlihitung dalam hidup sehari-hari, kita menjadi bermata lain untuk memaklumi bayang-bayang. Ia bukan sesuatu yang negatif, karena bungkus dan selubung adalah sesuatu yang tak terelakkan untuk menjabarkan sebuah intuisi padat estetis yang meminta ditampakkan. Berbekal itu, bagaimana menatap Shadow on shadow, bayang-bayang di atas bayang-bayang? Apakah sebuah karya negatif dan muram? Marilah kita membuka berbagai kemungkinan ekspektasi kita sendiri saat merasakan bayang-bayang tersebut.
Bayangan sesuatu? Dengan memakai Alegori Goa Platon dan menempatkan bayang-bayang hutan karya Tita di tataran «di dalam goa», maka kita boleh berkutat di tafsir yang linear menghubungkan lukisan bayang-bayang tersebut dengan sebuah pengalaman konkret Tita sendiri. Kita berhandai-handai tentang pengalaman negatif dalam kehidupan yang hendak dituangkan Tita. Lebih dalam dari sekedar menggambarkan berita kebakaran hutan yang menjadi penyakit kronis di negeri ini, sepertinya Tita hendak mengatakan sesuatu yang lebih lagi. Sesuatu dari mana bayang-bayang hutan gelap ini muncul adalah pengalaman yang menerpa dan menghantui tubuh 7
Tita tanpa menyisakan celah jalan keluar. Tita pernah bercerita tentang kekelaman masa-masa 1998, saat sebagai anak muda yang terlibat dalam gerak pembebasan dari rezim Soeharto, ia harus mendengarkan kisah korban-korban yang terbakar menjadi arang di beberapa supermarket di Jakarta. Dalam karya Unbearable light, yang juga mengolah bayang-bayang pohon, kali ini dengan kesan tegas sedang mulai dibakar oleh api yang menjilatjilat, kesan muram dan seram tampil menonjol. Bayang-bayang pohon yang akan segera menjadi arang tampil secara kuat, dan tidak ada jalan keluar untuk meloloskan diri darinya. Imaji gerak api yang sedang melumat sebongkah kayu kecil yang mulai jatuh di pojok kiri lukisan membuat kita menatapnya dengan hati yang rawan dan miris. Dahandahan mulai patah, percikan bunga api di latar depan mengumumkan nasib tak terelakkan pohon-pohon yang akan segera
menjadi arang. Cahaya terang yang biasanya menjadi harapan pelolosan dari kepungan kegelapan hutan, kali ini justru menjadi monster lidah api yang menjebak, mengepung tanpa memberi sedikitpun kemungkinan untuk lari.
Pengalaman negatif ini yang dituangkan dan ditawarkan sebagai gambaran bagi sebuah sisi kehidupan. Meski kita semua tahu hidup tak selalu pink, tetapi jarang kita rela menatap warna muram yang sejatinya menjadi bagian tak terelakkan dari hidup. Rasa gelap, muram, terkepung, putus asa, dan tanpa jalan keluar adalah bagian dari hidup yang harus diungkapkan dan diterima apa adanya.
Bayangan dari idea Namun, bila meletakkan diri «di luar goa», bisa jadi kita memiliki mata lain. Karya ini tidak harus berbicara tentang «satu pengalaman» Tita. Lewat perjalanan hidup dan pergulatan sehari-hari dengan berbagai pengalaman, ada sebuah intuisi estetis yang sedang dihidupi Tita dan hendak ia komunikasikan. Tita menggunakan arang, ia mengerjakan bayang-bayang, ia bergulat menterjemahkan intuisi estetis yang sedang ia hidupi. Lebih dari sekedar memotret kebakaran hutan dalam kanvas, atau menyuarakan satu pengalaman negatif dari masa lampau, ada idea tertentu yang sepertinya terlalu padat untuk dikatakan dalam sebuah karya sehingga diulang-ulangi oleh Tita. Sama seperti seniman lain suka mengolah berulang-ulang figur kerbau dalam berbagai lukisannya, atau seniman lain terobsesi dengan tanaman padi menguning di sawah dengan simbok-simbok yang penuh senyum memanennya, Tita disetir oleh apa-apa yang dekat dengan arang. Paling tidak lewat karya-karyanya yang dipamerkan ini, Tita bergulat dengan arang. Di waktu yang lain, mungkin ia akan disetir oleh drive lain. Barang yang dikira bekas, yang satu warna, dan paling hanya berguna bagi tukang sate atau warung mie jawa, dipakai menjadi bahan karya seni. Arang dekat dengan dapur, dengan dunia kehidupan domestik kaum perempuan. Di negeri di mana nasib 8
kebanyakan kaum perempuan tak jauh dari arang dan api, Tita ingin mendekatkan kita pada mereka.
Arang memang hanya bayang-bayang masa lampau. Sekali perempuan dinikahi, ia menjadi arang. Tradisi pemberian belis (mahar kawin) yang sangat mahal, proses lamaran dan perkawinan yang serba meninggikan wanita, rupanya hanya tahap pembakaran di mana begitu perempuan sudah dimiliki di wilayah domestik, ia menjadi arang, menjadi bayangbayang bagi her glorious past.
menggelora. Api yang dekat dengan arang, ia keluarkan dari goresangoresan hitam. Di situ Tita menuangkan kemarahan, pemberontakan, dan rasa ingin keluar dari cengkeraman stigma «arang». Arang bisa membara, membakar dan menghanguskan seperti energi yang tertangkap dalam Unbearable light. Inilah kekuatan «kaum arang» yang tidak boleh dianggap sepi. Itulah idea, intuisi estetis, yang saat ini hendak diterjemahkan oleh Tita. Ia berusaha sedekat mungkin mengatakan pembelaanya bagi kaum arang. Ia menggunakan arang, barang bekas, yang ia yakini, meskipun hanya layak bagi api dapur, toh bisa digunakan untuk mengingatkan kita semua akan adanya «arang» di sekitar kita. Arang, apa yang bekas, memang muram, tetapi jangan lupa, bukan hanya berguna, ia memiliki daya untuk membara dan menghanguskan.
Lebih luas dari sekedar soal perempuan, Tita yang terlibat dengan soal-soal kemasyarakatan, juga menjadi relawan kemanusiaan untuk segala bentuk «pembakaran» atas manusia. Sejak dulu ia disetir oleh hasrat untuk membela apaapa yang dianggap bekas, tak berguna, dan dijebloskan dalam bayang-bayang jeruji penjara atau kamp-kamp penampungan para korban bencana. Beberapa karyanya menyuarakan hal itu.
Tita menyuarakan arang dengan keras dalam karya instalasi Shadow of surrender. Onggokan bangku-bangku SD dari jaman Belanda ditata rapi. Kayu jati massif yang telah terbakar seolah menjadi saksi bagi glorious past pendidikan kita. Ada semacam nostalgia masa lampau yang indah yang sekarang tidak ditemukan lagi. Sebuah masa lalu kokoh yang telah hilang dan tinggal menjadi arang bagi kita.
Ekspresinya terujudkan dalam kesenduan Shadow on shadow, sebuah kemuraman karena berjuang membela kaum arang memang tidak mudah. Lebih banyak susahnya daripada senangnya. Ia melukiskan rasa sedih yang kuat manakala segala jenis perjuangan demi masa yang lebih baik ternyata hanya mbulet bolak balik menciptakan arangarang baru. Situasi korupsi yang makin massif, keagamaan yang makin sempit, kaum perempuan yang makin jauh dari emansipasi, dan ekonomi rakyat yang makin jauh dari perbaikan membuatnya tenggelam dalam Shadow on shadow. Namun, ada kalanya jiwa berontak Tita
Di sekolah-sekolah pedesaan, barangkali bangku kokoh dengan anak-anak SD yang culun masih bisa ditemukan. Namun itu hanyalah sisa arang, mengingat dunia pendidikan 9
saat ini makin modern dan bercirikan seperti gerai-gerai mall. Bangku-bangku tentu lebih keren, gedungnya juga lebih hebat, bahkan tak segan kampuskampus menyewa gedung milik mall, atau hotel berbintang lima untuk wisuda para murid-konsumennya. Namun apa pun bangku, kursi atau sarana pendidikan yang diberikan, menurut Tita, semuanya itu pada gilirannya akan menjadi arang terbakar.
gelap untuk mengajak kita menyadari pengetahuan sebagai proses on going formation. Sekolah adalah pembentukan diri yang tidak pernah selesai. Tidak ada kata «tutup buku», karena begitu kita menginjak bangku sekolah, sampai mati kita harus selalu membaca dan mengisi buku tersebut. Sekolah sebagai periode pembelajaran formal memang telah berakhir, telah lampau, telah menjadi arang bagi kita-kita yang berumur 40-an tahun. Namun sekolah kehidupan tidak pernah berhenti. Kita selalu harus membaca, selalu harus menulis, selalu harus belajar. Inilah esensi paideia (bahasa Yunani untuk pendidikan yang berarti juga pembudayaan).
Lewat karya Shadow of surrender ini, Tita juga mengingatkan generasinya, orang-orang umur 40 tahunan, akan masa lampau mereka. Generasi 40-an adalah generasi yang sekarang mulai menginjak tampuk pimpinan di semua lini. Kita diajak menatap bangku-bangku yang dulu kita duduki di tahun 70-an. Lihatlah, Ini adalah peringatan Tita kepada para semua sudah menjadi arang, menjadi pendidik jaman ini yang seringkali bekas, menjadi lampau. silau dengan warna warni bangku modern dengan power point atau cas-cis-cus Namun agak ganjil, seolah datang dari bahasa internasional. Itu semua bagi dunia lain, Tita meletakkan buku-buku Tita hanyalah «bangku». Pada waktunya, besar kosong di atas bangku yang hangus! semua sarana material akan terbakar, Kehadiran buku-buku kosong yang masih menjadi lampau. Yang terpenting dalam baru, yang tidak terbakar itu sebenarnya sekolah bukanlah bangku, melainkan juga tidak terlalu aneh. Kontras warna bagaimana membuat para murid mampu putih yang muncul tentu tidak begitu menuliskan bukunya sendiri, bagaimana asing. Kita melihat kontras yang sama kita dibudayakan untuk selalu mencari di lukisan Shadow on shadow maupun tahu. Unbearable light. Bila dalam lukisan, Tita menghapus warna hitam arang untuk Arang tidak selalu negatif. Ia memunculkan warna putih, maka dalam merujukkan pada «sesuatu», entah itu instalasi Shadow of surrender, ia satu pengalaman konkret entah itu idea menaruh buku-buku berwarna putih untuk yang selama ini menghantui Tita. Ia menghapus kekelaman bangku-bangku yang mengolah arang, sesuatu yang dianggap telah menjadi arang. bekas dan tidak berguna. Ia membela arang, dan menyuarakannya supaya Menatap bangku terbakar dengan buku yang orang mengerti. Tita memberikan kepada masih kosong, seolah kita diingatkan gelapnya bayang arang sebuah kegunaan, untuk tidak terpaku pada glorious sebuah suara, sebuah terang. past masa-masa sekolah kita dahulu. Putih warna buku menghapus masa lalu Atau barangkali sebaliknya? Justru dari teranglah bayang-bayang itu dihadirkan Tita?
Bayangan dari terang Dalam Alegori Goa Platon, bayangan muncul dari sesuatu (entah itu pengalaman inderawi, entah itu intuisi estetis yang bukan «sesuatu»). Selubung adalah 10
penyelubungan atas sesuatu. Dan bayangan tidak selalu negatif, mengingat «intuisi sedemikian padat» mau tak mau hanya bisa dikatakan lewat bayang-bayang.
para penonton menyorotkan gambar film yang bergerak cepat sehingga seolaholah bayang-bayang di layar bergerak hidup. Dari mana bayang-bayang itu? Tentu saja dari sesuatu, yaitu gambarNamun Alegori Goa Platon tidak sekedar gambar foto negatif yang disorot oleh membicarakan tentang dua macam bayang- cahaya. bayang. Cerita karangan Platon dari 2.400 bayang-bayang berasal dari tahun yang lalu menawarkan pendalaman Bila sesuatu, maka sesuatu tersebut adalah pikiran bahwa realitas bayang-bayang hanya muncul berkat adanya terang! gambar-gambar film yang diputar dengan Bayangan gelap berujud rupa tertentu cepat. Namun bagaimana bayang-bayang itu bisa menampak? Lewat pengalaman justru karena adanya terang. gedung bioskop kita menjadi maklum bahwa bayang-bayang menjadi kelihatan sebagai bayang-bayang berkat cahaya terang yang menyorotinya. Umpamanya seseorang keluar dari Goa-bioskop, dan berdiri di terik matahari, maka jelas bahwa sosok bayang-bayang dirinya muncul berkat terang matahari. Imaji Alegori Goa Platon berbicara tentang api unggun sebagai sumber terang di dalam goa yang memantulkan bayangbayang di dinding goa. Sedangkan di luar goa, matahari dikatakan Platon menjadi asal-usul segala sesuatu (termasuk bagi munculnya bayangan di luar goa).
Seperti Alain Badiou yang menafsir secara modern Alegori Goa Platon, marilah kita umpamakan Goa itu seperti gedung bioskop XXI (Alain Badiou, La République de Platon, Paris: Fayard, 2012, hl. 363371). Bak para tawanan yang merantaikan diri di sofa-sofa empuk Twenty One, setiap orang dengan rela menyetorkan uangnya untuk menikmati pertunjukkan bayangbayang. Proyektor besar di belakang
Berkaca pada Platon, dengan begitu kita boleh melihat bahwa karya-karya Tita yang bertema bayang-bayang tidak harus berbicara tentang kegelapan. Karya-karya itu justru muncul dari sebuah terang! Apa yang terang dari karya-karya bertemakan shadows ini? Terang dari mana shadows ini berbicara adalah idea itu sendiri, intuisi estetis yang diolah Tita. Idea inilah yang menggerakkan Tita untuk mengolah rupa-rupa masalah
dunia yang menghinggapinya. Idea inilah yang membuatnya mengolah masalah kelamnya nasib perempuan, mandegnya reformasi, nasib kaum korban, dan berbagai soal kemasyarakatan lainnya. Tita melihat, merasakan, menangkap berbagai soal itu, dan ia mengolahnya memakai arang, menggunakan bayang-bayang. Kata idea tidak jauh dari etimologi dasarnya éidô, yang artinya «melihat, mengetahui». Dari terang penglihatan inilah Tita memberikan bayang-bayang untuk ditawarkan kepada kita.
11
II Anggun-Selubung Dalam karya lain berjudul Imago mundi, Tita menggarap bayang-bayang secara lain. Sosok selubung yang ia tawarkan langsung mengesankan keindahan, kecerahan dan keanggunan. Idea yang mendorong Tita menciptakan selubung pasti juga berasal dari apa yang ia «lihat».
Selubungisme Mata kita, menjelang pemilihan umum 2014, dipaksa melihat gambar citra selubung para caleg. Seperti ABG labil yang peduli imej, demokrasi reformasi yang masih pubertas juga hingar bingar dengan citra. Setiap hari, saat keluar di jalanan, kita dibuat terharu, atau lebih tepatnya trenyuh karena tidak tega menyaksikan selubung-selubung yang makin tidak sopan: citra diri para politikus ganteng dan cantik yang pamer janji-janji surgawi (semacam «kami siap mengabdi Anda»). Bahkan sangat tidak sopan lagi, di dekat pertigaan Bawen, Ambarawa, ada caleg parpol berwarna kuning yang memajang tampangnya sambil menaruh foto Soeharto dengan slogan «piyé kabaré, isih penak jamanku tho»! Sangat tidak masuk akal! Reformasi baru beberapa belas tahun, orang sudah kangen jaman Soeharto. Tetapi inilah kenyataan kita. Banyak politisi dan rakyat yang sekarang gandrung pada imej Soeharto.
selubung. Para polwan pun atas nama «hak asasi manusia» ikut-ikutan menyelubungi diri. Tak kurang Kapolri sendiri yang merestui penambahan selubung kesalehan para polisi wanita ini. Kalau politisi senang pamer citra kerakyatan, maka kaum beragama memuja citra kesalehan. Track record kecintaan pada selubung berakar jauh ke belakang. Dulu, ketika kita hidup di bawah rezim Soeharto (jaman ketika semua serba murah, termasuk nyawa rakyat didiskon tanpa harga), bangsa ini terkenal mengidap «klobotisme». Klobot adalah selaput-selaput yang menyelubungi jagung, yang jumlahnya banyak, berlapis-lapis dan lumayan tebal untuk dikupas satu per satu. Dinamai «klobotisme» karena pada saat itu para pejabat suka omong yang tidak jelas, muter-muter tidak karuan, tidak to the point, dan akhirnya memang tidak mengatakan apa-apa karena tidak ada point yang boleh ia katakan. Jika di bawah Soeharto, koran, teve berisi selubung-selubung klobot tanpa isi karena ketakutan pada tentara, pada jaman reformasi yang serba bebas ini koran dan teve toh masih disesaki omongan hampa bak klobot yang ringan, berjubel dan hanya layak untuk kotak berlabel «sampah organik». Mengapa demikian? Mengapa bangsa ini begitu senang dengan klobot, kerudung, citra, selubung?
Bukan hanya kaum politisi yang gandrung selubung. Wabah selubung di era reformasi menjangkiti kaum beragama. Sejak generasi Tita lahir, belum pernah kita menyaksikan Indonesia begitu penuh dengan selubung kerudung di mana-mana. Dan bukan kaum rakyat bodoh yang suka dikerudungi, justru di kampus-kampuslah demam cinta selubung dimulai. Saat ini, anak-anak 18 tahun, yang baru pada mulai kuliah pun sangat kritis terhadap dosendosen perempuan mereka yang katanya «menunjukkan aurat terlalu banyak» di depan kelas. Anak-anak muda generasi masa depan negeri ini sudah menginternalisasi kultur selubung. Perkara dosennya pandai atau tidak, dosennya kompetan atau tidak, itu tidak urgent bagi mereka. Jangan-jangan kita ini memang bangsa Para mahasiswa justru merasa lebih pecinta selubung! Bangsa ini percaya penting bahwa dosennya berkerudung 12
bahwa selubung bisa mengubah identitas. Para politisi dan kaum beragama percaya bahwa selubung citra akan secara ajaib merubah identitas mereka. Ini mirip dengan para perempuan koruptor mendadak berselubung, para lelaki di penjara bercelana congkrang dan menyelubungi diri dengan jenggot guna mencitrakan diri bahwa mereka telah saleh. Seperti halusnya wajah citra para politisi, dan kerudung keagamaan yang serba indah, selubung Imago mundi yang dibuat Tita juga sangat anggun! Berbalut emas, bertekstur rapi, dan dari jauh tampak indah mengajak orang mendekat.
caleg, yang dengan seronok memamerkan apa yang mereka punya (senyum menawan, wajah halus, serta mata penuh simpati) imago yang dibuat Tita tidak memiliki wajah. Ia «menatap» dalam arti menyedot kita masuk ke kekosongan di tengah selubung. Kalau wajah para para politisi yang menyesakkan mata membuat kita jengah dan cenderung berusaha melewatinya secepat mungkin sambil membuang muka, selubung kosong Tita justru menghisap kita masuk ke dalam kegelapan pertanyaan: selubung ini menyelubungi apa? Entitas tanpa mata dan tanpa wajah di balik selubung itu mau bilang apa?
Namun selubung Imago mundi yang ditampilkan Tita juga mengerikan karena meski sosok itu rasanya menantang kita, selubung itu justru tanpa wajah dan tanpa mata ! Berbeda dengan polusi citra para
Tita hanya memberi petunjuk bahwa selubung ini adalah Imago mundi: gambar, citra, imej tentang dunia! Balutan emas indah itu menyelubungi sebuah kekelaman tanpa wajah. Selubung
indah itu ternyata tanpa identitas. Keanggunan di luar hanya menyelubungi kekosongan. Barangkali Tita hendak mengkomunikasikan realitas yang sedang meresahkan dirinya: di kanan kiri, di sana sini, yang ia lihat hanyalah selubung tanpa identitas. Benarkah tanpa identitas? Polesan citra selubung seolaholah mau mengabarkan bahwa di balik selubung ada manusia pengabdi masyarakat, manusia saleh beragama, manusia yang baik. Faktanya, identitas semacam itu yang justru absen di negeri ini. Tita menunjukkan bahwa identitas di balik selubungselubung ternyata kosong, dan sedotannya ke ketiadaan adalah kenyataan seharihari yang harus dihadapi.
Selubungisasi Bila dunia kehidupan yang dihadapi Tita ditandai selubungisme, ideologi yang mengidolakan selubung, maka Tita mereaksinya dengan melakukan «selubungisasi». Sebagai seniman ia menawarkan wacana tentang selubung. Dan Tita bekerja keras untuk itu: ia bekerja berjam-jam memilih, mengerjakan, merangkai, singkatnya, menciptakan selubung Imago mundi yang indah. Bahan yang dipakai tidak mainmain: rempah-rempah buah pala ia cari sampai ke pulau Sulawesi. Emas hijau itu lalu ia tampilkan kemilaunya lewat balutan-balutan emas. Karya Imago mundi tidak hendak berbicara secara langsung tentang remeh temeh politik pencitraan atau kepalsuan dalam beragama yang barangkali membuat Tita penat membahasnya. Bahan rempah-rempah buah pala serta imej kerudung yang dekat dengan dapur dan domestifikasi perempuan barangkali juga tidak menjadi fokusnya. Daripada hal-hal banal yang mengesalkan seperti itu, sepertinya Tita ingin berbicara tentang sejarah dunia! Studi literatur, diskusi kanan kiri, pencarian jejak-jejak pelayaran, dan sejarah kolonialisme hendak ia ungkapkan dengan terselubung lewat Imago mundi ini.
13
Ujud selubung yang mirip baju zirah mengingatkan pada monks warrior, kaum religius petempur Perang Salib di akhir Abad Pertengahan. Riwayat pembagian dan pengangkangan dunia tidak jauh-jauh amat dari slogan religius. Tangan kokoh hitam yang sombong menunjuk ke atas (kepada Tuhan?) sementara tangan lainnya membawa buku (Kitab Suci, peta perjalanan?). Bola dunia kecil dikangkangi oleh sosok berbaju zirah ini. Demi 3G (God, Gold and Glory), para penakluk dunia baru berselubungkan zirah keemasan mengawali pembelahan dunia. Penemuan emas hijau (rempah-rempah) mengawali munculnya kolonialisme dan kaum terjajah di Nusantara. Tita hendak bertutur tentang kisah sia-sia sejarah dunia. Selubung emas keindahan baju zirah ini menakutkan, karena bangsa lalu menindas bangsa
lain: budak diciptakan, kaum arang terbuang muncul di muka bumi. Dan identitas di balik selubung anggun yang melakukan penjajahan adalah kegelapan. Dan begitulah sejarah berjalan. Saat ini pun kolonialisme baru berlanjut. Pelakunya bukan lagi monk warriors. Para penjajah dunia selalu berbaju zirah emas. Apa artinya? Tita mengingatkan bahwa negara-negara penentu ekonomi dunia selalu sekaligus pemilik alat perang paling kuat. Amerika, Jerman, Jepang, Cina, Prancis dan negara satelitnya adalah pencipta, pemilik dan penjual alat-alat perang paling canggih. Menggengam text-book ekonomi bebas, tangan si tentara berzirah emas dengan arogan menjanjikan kenaikan tingkat ekonomi, kemakmuran bersama, sebuah surga dunia tanpa derita. Siapakah pelaku penindasan di balik selubung zirah emas penjajah itu? Kegelapan tanpa wajah. Dunia diinjak-injak oleh kegelapan berselaputkan janji emas. Itulah gambaran dunia (Imago mundi) yang dibuat Tita. Lewat karya ini, pandangan dunia Tita menyuarakan rasa prihatinnya dengan nasib Nusantara, nasib bangsanya yang dikangkangi WTO, kaum arang yang secara mental dan fisik masih terjajah. Dalam pameran di Belanda, karya Imago mundi dimasukkan dalam narasi History suspended (sejarah yang yang tengah ditangguhkan, digantung). Buah pala berselaputkan emas dirangkai gantung menggantung, imej kolonialisme yang berawal dari
pencarian emas hijau diketengahkan kepada para pemirsa untuk sejenak menunda waktu dan berkilas balik menengok sejarah lampau munculnya penindasan antar bangsa. Namun kalau dibaca dalam kacamata hubungan Utara-Selatan di jaman ini, sejarah pun digantung oleh Tita untuk direnungi: akankah kita mengulangi cerita lampau yang sama, penindasan terus menerus terhadap dunia, khususnya kaum arang? Tetapi mungkin bacaan atas Imago mundi ini terlalu politis. Kegunaan sosial dari karya Tita menjadi terlalu kelihatan dan dipaksakan. 14
Selubung Kedalaman Padahal, daripada menjadi agen sosial politik, tugas seniman memang membuat selubung! Paling tidak Friedrich Nietzsche (1844-1900) mempercayai hal itu. Realitas dunia adalah khaos: campur aduk hal indah dan hal seram, selaput emas dan tatapan kelam tanpa wajah. Seringkali orang hanya menginginkan satu sisi dari dunia itu: atau hanya ingin emasnya, atau terobsesi pada gelapnya. Tugas seniman adalah bergulat dengan kedua-duanya. Di baris akhir «Kata Pengantar» untuk Gay Science, Nietzsche menulis «Marilah kita meniru orang-orang Yunani, mereka superfisial karena mendalam». Nietzsche
bergulat dengan penderitaan yang menimpa tubuhnya, ia tidak tahu apakah pengalaman menderita ini baik atau buruk. Lepas dari soal pemaknaan atas apa yang mengenainya, yang terpenting baginya adalah bergumul dengannya, dan menciptakan selubungselubung indah atasnya. Ia justru jijik dengan orang-orang puber yang hasratnya akan kebenaran tunggal begitu besar. Di depan realitas yang khaos, yang ia umpamakan seperti wanita/kebenaran (bdk. «Kata Pengantar» § 1, Beyond Good and Evil), Nietzsche memberi saran agar kita berhenti di selubungnya saja. Inilah nasehat Nietzsche bagi para filsuf yang tanpa ragu ia sebut sebagai seniman:
«Oh! Betapa akhirnya kita belajar bagaimana melupakan-denganbaik, belajar untuk lebih baik tidak-mengetahui, sebagai seniman! Di masa depan, kita akan sulit untuk ikut-ikutan dengan apa yang dilakukan anak-anak muda Mesir itu, yang pada malam hari menganggu aturan ketertiban kuil, memeluki patungpatung dan sangat ingin menyingkap, menemukan, membawa ke terang siang bolong apa yang secara rahasia dijaga demi alasanalasan yang baik. Tidak, selera rendah seperti itu, kehendak akan kebenaran seperti itu, akan ‘kebenaran apa pun harganya’, kesintingan khas anak muda untuk mencari kebenaran seperti itu, - itu semua itu adalah kejijikan yang sudah kita campakkan. Kita terlalu berpengalaman, terlalu serius, terlalu gembira, terlalu matang dipanggang api, terlalu-dalam untuk hal-hal seperti itu… Kita tidak lagi percaya bahwa sebuah kebenaran akan tetap sebuah kebenaran manakala selubungnya disingkap. Kita sudah terlalu banyak pengalaman untuk mempercayai hal seperti itu. Saat ini, bagi kita soalnya hanya kepatutan saja. Kita tidak ingin melihat segala sesuatunya telanjang, (…) Nasehat untuk para filsuf! Kita seharusnya lebih menghormati lagi sopan-santun yang dengannya alam menyamarkan dirinya di balik enigma dan ketidakpastian yang tak bisa dikenal. Barangkali, kebenaran itu adalah seorang wanita yang terbentuk untuk tidak memperlihatkan dasarnya (alasan pemikiran atau bagian belakangnya)!» (Gay Science «Kata Pengantar», § 4)
Nietzsche tidak anti pada selubung. Namun Nietzsche juga tahu bahwa selubung hanyalah selubung, artinya, ia tidak pernah menyentuh secara persis apa yang disebut «kedalaman realitas» yang hendak dikatakan lewat selubung tersebut. Karena kaitannya dengan «kedalaman» itulah maka Nietzsche justru orang yang sangat serius dengan urusan selubung. 15
Kita butuh «kata» untuk menyelubungi karut marut hasrat jiwa dan badan yang sering tak bisa diputuskan maunya apa (Nietzsche, Le livre du Philosophe, hl. 120-121, “Introduction théoretique sur la vérité et le mensonge au sens extramoral“, terj. Angèle Kremer-Marietti, Paris: GF Flamarion, 1991). Semua kata hanyalah selubung, topeng (Beyond Good and Evil § 289). Kita butuh «konsep» untuk mengidentifikasi suatu karya seni atau sebuah pemikiran yang sebenarnya selalu hidup berjalan dan tak bakal berhenti di sebuah definisi. Itu makanya «bahasa» pun hanyalah identifikasi untuk apa-apa yang tidak identik (bdk. Nietzsche, Le livre du Philosophe, hl. 136). Kita butuh «ideologi», «agama», «filsafat» atau «kepercayaan» untuk menyelubungi kegelisahan eksistensial kita di depan hidup yang tak pernah rampung kita pahami. Namun kita tidak boleh lupa bahwa itu semua hanya selubung ! Di satu sisi, sebagai selubung tentu ia tidak bisa
dijadikan kebenaran tunggal, di sisi lain, meski hanya selubung, ia harus dianggap serius, karena selubung yang dipilih mengatakan «kedalaman» tertentu. Dengan bagus Tita memberikan gambaran dunia (Imago mundi) sebagai selubung keemasan yang indah ! Itulah dunia kita. Dunia penuh kesukaan, keanggunan, godaan memikat. Untuk membicarakan aspek cerah dunia ini, Tita dengan serius bekerja menampilkan aspek keindahan dunia. Seniman adalah orang yang tahu persis bahwa dunia mesti diberi selubung, dan sejauh mungkin diperindah dengan selubung-selubung memikat. Dalam renungan «Tahun Baru», di Gay Science, § 276, Nietzsche berujar bahwa kecintaannya pada Takdir (amor fati), pengiyaannya pada Hidup, terujudkan pada keinginannya untuk «menjadikan benda-bendak cantik» :
«Aku ingin belajar lagi dan lagi untuk melihat apa yang diperlukan dalam benda-benda, umpamanya keindahan yang terdapat padanya - maka aku akan menjadi salah satu orang yang menjadikan benda-benda cantik; Amor fati: semoga itu menjadi cintaku sejak sekarang!»
Namun Tita juga mengerti bahwa selubung hanyalah selubung. Dunia tidak hanya berwajahkan keindahan. Ada kengerian yang juga menjadi bagian dari dunia ini. Imago mundi berongga kosong di tengahnya. Ada kekelaman tanpa mata dan tanpa wajah yang justru menyedot dan mungkin menenggelamkan orang dalam jurang ketiadaan. Tita bergulat dengan «kedalaman gelap» yang menjadi asal munculnya selubung tersebut. Tidak ada jalan lain bagi seniman kecuali menjadikan pergulatannya dengan kedalaman menjadi selubung. Semua yang mendalam menyukai topeng. «Semua roh yang dalam membutuhkan topeng. Terlebih lagi, menurut saya, topeng akan terbentuk dengan sendirinya tanpa henti di seputar roh yang dalam” (Nietzsche, Beyond Good and Evil § 40 ). Bila Nietzsche sering 16
mengumpamakan kebenaran sebagai wanita, ia tahu bahwa seni tertinggi wanita/kebenaran adalah kebohongan (penyelubungan). Nietzsche sadar bahwa apa-apa yang mendalam secara niscaya butuh selubung. “Tetapi wanita tidak menginginkan kebenaran: apa sih kebenaran bagi wanita? Tidak ada sesuatu pun yang lebih asing, lebih menjijikkan dan lebih dibenci wanita daripada kebenaran – seni terkenal wanita adalah kebohongan, hal terpenting baginya adalah tampilan dan kecantikan. Marilah, kita kaum lelaki, mengakui hal ini: kita justru persis menghormati dan menyukai seni
seperti itu dan insting seperti itu dalam diri wanita – (…)” (Beyond Good and Evil § 232). Tita membahasakan pergulatannya dengan realitas itu dalam rupa selubung (warna cerah, mirip warna putih dalam lukisan arangnya). Rongga gelap (arang) asal dari mana selubung itu muncul, adalah pergulatan tak henti dari Tita yang setiap hari berhadapan dengan Hidup yang menempanya dan yang hendak ia amini. Kekosongan yang menakutkan, kegelapan yang de fakto menjadi dunia sehari-hari seolah-olah menuntutnya untuk mengatakan sesuatu. Tita menyuarakan pergulatannya dengan kaum arang, identitas terhapus dari kaum terjajah, kesengsaraan kaum buruh yang didengarnya, korban bencana yang dilindas Nasib, wanita tak kunjung mentas teremansipasi, dan segala hal gelap lainnya. Imago mundi adalah selubung yang anggun untuk menyatakan pergulatan Tita dengan Hidup. Agama dan segala jenis omongan santun mengajari kita untuk memandang Hidup sebagai sesuatu yang menjanjikan dan penuh warna-warni indah. Hidup ini baik, hidup ini cerah, hidup ini rahmat, dll. Namun saat Hidup dijalani, lama-kelamaan hal lain yang dialami. Kegelapan, kekacauan, kepicikan, pengkhianatan, bayang-bayang muram, kebebalan, kepahitan dan pesimisme memojokkan kita ke sudut sempit diri kita masing-masing: inikah Hidup? Saat berjuang di sisi korban malah menjadikan diri mangsa empuk kepicikan orang-orang tanpa nurani; saat memperjuangkan Reformasi akhirnya hanya melihat bangsa yang amnesia dan rindu pada diktator atau kawan-kawan aktivis beralih rupa menjadi birokrat korup; saat keadilan bagi para aktivis yang hilang ditanggapi senyum manis lima tahun sekali para politisi oportunis; saat hasrat emansipasi perempuan Kartini berbuah massifnya para perempuan yang pede mengerudungi diri dan semangat patriarki tanpa malu-malu mengibarkan
poligami sebagai tanda kesehatan dan kemakmuran para pejantan Nusantara; saat para TKI wanita dijadikan komoditas human trafficking oleh orang kita-kita sendiri dan dipuja sebagai pahlawan devisa padahal mereka menjadi budak di negeri asing; saat 60 tahun lebih kita merdeka tetapi para petani masih memakai tangan telanjang untuk mencangkul tanah dan para petinggi kementrian pertanian justru bangga mengimpor beras dan bahan-bahan dasar kebutuhan bangsa; saat hiruk pikuk hidup agama tanpa rasa salah sejalan seiring dengan budaya korupsi; saat gonta-ganti kurikulum dan pendidikan karakter sama sekali tidak pernah setitikpun mengurangi parahnya budaya nyontek para siswa dan kebiasaan plagiarisme di kalangan guru; saat dulu maupun kini bangsa sendiri menjadi kolaborator bangsa asing untuk menguras dan memperbudak Nusantara; saat semua itu dialami sebagai fakta Hidup, sebagai dunia kita seadanya, maka yang nyata adalah Gelap. Dari keresahan akan yang gelap inilah, Tita mengikuti idea-nya. Terang lilin idea - yang menyorotkan cahaya sehingga bayang-bayang menampak – secara paradoksal mengandaikan kegelapan. Apa artinya? Hidup yang gelap tidak harus ditakuti. Fakta seadanya memang begitu, dan kegelapan adalah lahan apa adanya yang bila digulati dengan jujur justru memunculkan lilin idea. Pada gilirannya idea inilah yang dengan kekuatan terangnya menciptakan selubung dan bayang-bayang. Dengan begitu meski gelap masih melingkupi, kita tidak terobsesi olehnya. Berkat lilin idea yang menciptakan selubung, hidup yang gelap bisa dijaraki, ditanggung, syukur-syukur dicintai. -31 Desember 2013, STF Driyarkara, Jakarta
17
Something Remains. Burned wood. 233 x 385 x 241 cm. 2014
18
Hallucinogenic. Gold plated nutmegs, stainless steel, burned wood, gold sheet plated book. 260 x 125 x 125 cm. 2014. 19
20
The Burning Artefact. 170 x 50 cm (5 pcs). Paper, iron and wood. 2013
21
“Aku menuliskan kata yang mewakili beberapa persoalan perenial dalam sejarah. Kebebasan, keadilan, kepercayaan, perdamaian, dan kehormatan. Mereka terus-menerus dipertanyakan, diperdebatkan, dikaji, meski setiap jawaban atasnya selalu membawa kita kepada pertanyaan-pertanyaan baru, masalah-masalah baru. Mereka terus-menerus membara, menyusun sejarah pemikiran dan peradaban manusia. Sebagaimana artefak, yang sebenarnya tak pernah menjadi sekedar benda mati. ia terus-menerus bergerak, memicu pikiran kita kepada suatu dunia baru. Sebuah harapan menuju pencerahan.”
”I wrote words that represent some of the perennial problems in history: Freedom, Justice, Belief, Peace, and Honour. They are constantly being questioned, debated, studied, though the answer to the questions would always lead us to new questions, new problems. They are constantly burning, creating [or constituting] the history of human thoughts and civilization. As with artefact, which actually is never an inanimate object, it is constantly moving, triggering our thoughts into a new world: a hope towards enlightment.”
22
Being Unbeing. Burned wood. 116 x 293 x 54 cm. 2014 23
“A drop of tear” #1. Charcoal on canvas. 190 x 137 cm. 2013 24
“A drop of tear” #2. 92 x 59 cm. Charcoal on canvas. 2013 25
“A drop of tear” #3. 92 x 59 cm. Charcoal on canvas. 2013 26
“A drop of tear” #4. 92 x 59 cm. Charcoal on canvas. 2013 27
A piece piece of of Tita Rubi Rubi Story Tita Rubi is working on a history! She reveals a chain of period that is the initial and considered most important in the discourse of Indonesia’s history, which a lot of people are so fond of calling it as a part of a major program of ‘becoming Indonesia’. Events of the past are now turning and become significant because of the thirst coming from different perspectives. Interestingly, to give meaning to history seems to be reserved for those who are involved in it through a specific, scientific method, and it would surprise us when there is someone who is giving meaning to history in a less common ways, especially the ways done by artists. What drew Tita Rubi into history in her solo exhibition in Philo Art Space? Anything can be an object of interest for an artist. An event in history if of course just one of those objects, and there must be a certain, more specific object in that history that an artist wants to present. Spices are the object that is given Tita Rubi’s focus – how the peculiarity of that object emerges in different dimensions or concepts which are important to put forward. An artist is also a person that works with a particular method of research, and that in their seriousness in doing so, they are not so different from other researchers going through theirs. The difference in presenting the result of the research as written documents or books and in a visual representation is an interpretation phenomenon that each has its own attractiveness.
both the affective and cognitive aspects. To collect thousands of nutmegs needed, for instance, Tita had to directly go to areas that produce them and had to accurately and diligently calculate the timing to work with them. Tita’s spirit reached its peak to fulfill the ‘technical-aesthetic demand’ of making those thousands of nutmegs into golden balls to be strung as cloak to be worn by a figure that is considered as the source of inspiration for the historic event.
There are at least two serious matters that Tita Rubi has to face in her endeavor to produce ‘the history of spices’: the availability of data relevant to the representation of the visual dimension of the objects she is working with, and how to create an iconistic visual aesthetic as a result of her ‘reading’ of the data. To work with history is to read into the formation of the inter-woven events that It needed a tremendous spartan discipline in one part is explicitly shown while or pure recklessness in working with such in other part only vaguely so, and even historic reality! It is the impression in other part is hidden; and therefore of Tita Rubi’s initial spirit to ensure challenge oneself to be absorbed into that the theme comes true. It was fully their interpretation. Here is when the understood that it would not be easy to events of history become a ‘story’ prepare the materials needed to ensure which is open to be retold from various perspectives. the atmosphere of such historic event would be represented satisfactorily in Tita Rubi intention is to make a 28
narration of her focus on the history of spices. As we understand it, a narration is a way to connect one aspect into the others and create a relevance that turns those aspects into a flowing and complete story.
she works with. In short, it is these concepts that propel Tita Rubi to express her aesthetic map into a daring visual narration of the spices history. And eventually, that narration can always be brought back to its major Different pieces combined into a complete player, human, as the subject, witness element of the spices story that Tita and mainly as its victim: those human wove are transport, episteme represented faces! by written language or books, expression of faces expressed, and symbolical figure May the understanding of history through from which the spirit for mission and visual representation as Tita offers in exploration emerges. For Tita, it is her solo exhibition becomes a knowledge the inter-woven of these elements that adequate enough to fulfill the basic has drained her of her creative process curiosity that we have, though this may stamina, that her effort was like banging only be a piece of a vast stories of the here head on something extremely hard past with the same theme. The review and tangible, but yet unclear. But for by DR. A. Setyo Wibowo would help us whatever reason, it needs to be liquefied. in understanding and to delve into the base concept of Tita Rubi aesthetic. Transport represents the creation of the Truly and impressive writing! map and also the conquest of certain areas, or if it’s not too difficult to admit, Happy exhibiting – and enjoy! the conquest of all territories on the face of the earth. Authority, knowledge, Tommy Awuy and civilization may only be spread if Curator they are supported by adequate transport technology. Tita Rubi is boldly pointing to the ship bringing the fleet in to the conquest. In this context, transport also tells us the era’s creativity on how technology was created by brilliant designer putting the functions of spaces along with their aesthetic accessories. Creativity depends on knowledge and all of its aesthetic representations. Knowledge gives the fundamental for legitimation of the practical condition for the establishment of certain position for those who control it. Knowledge and authority (or power), as we can see in the history of civilization, are two very different things but yet are supporting each other regardless of where they are utilized or whom are utilizing them. It is generally understood that knowledge and power are expressing metaphysic slogans such as ‘justice’, ‘equality’, ‘freedom’, and the likes. Tita Rubi points out that knowledge, power and transport-technology have become choice of perspective that is explicitly shown in the history that 29
Shadows of Shadows of Light, Light, Grace-Veil Grace-Veil
A. Setyo Wibowo
The works of Titarubi invite us to be face to face with shadows and veils. Two of the works, titled Shadow on shadow (2009) and Unbearable light (2013) use charcoal to draw. Charcoal (a shadow of once sturdy woods of the forest) is used to draw shadows of trees in the woods. The work Shadow of surrender (2013) uses burnt woods as an installation to talk about school and knowledge. And ultimately, corresponding with her previous works, the work Imago mundi (2013), though no longer charcoal black, is using the name imago which means image or shadows. Gold coating on nutmegs is graceful and beautiful, but the manifested appearance is one of veil. How do we delve into the veil offered by Tita without being negligent of the depth that, perhaps, she intends to convey?
I Shadow of Light Shadow as a certainty Charcoal as shadow of fresh life of the past is used as the material for drawing shadows of trees. Shadow on shadow, shadow talking about shadow. And because shadows are usually dim and dark, charcoal is used to express something that makes us sad: shadows of the woods that are either anxiously waiting for the morning sun or anxiously letting go of the afternoon bright light. It would be more sorrowful to see if the shadows are the last remnants of forest woods before they are devoured by raging fire and reduced to charcoal. Drawing charcoal is used by Tita to draw forest woods that are to be turned into charcoal. We may react and feel that the work is gloomy, sad, but it is apparent that we are invited to contemplate the beauty offered by Shadow on shadow. Why? Because life is not always bright azzure 30
blue. Parts of life are gloom and dark terror. This is what Tita is immersed in, and this is the home work that Tita offers though her drawings. Only when darkness is processed and beautified, there will be a sliver of understanding that would enrich humanity.
In general, people like to show works that are vibrant, bright, and beautiful. Colors and materials are chosen to ensure their works would brighten the heart and the mood. Thanks
God that artists are helping humankind to cherish the beauty of the world they create and are involved in. But far from the consumptive nature that longs only for the glittery world, artists do have their duties to wrap the gloom of the world through their works. Wrap? Yes. Like when we are buying ballpoint pen in a shopping mall, and the store-keeper (an artist by job description) wraps our pen so that it no longer looks like a pen but looks like a present full of surprises, then artists by nature are wrapping whatever experience cometh their way. Sometimes, they wrap joyful experience which they often exaggerate by choosing colors and materials that make everything looks vibrant and promising. Sometimes it’s the dark part of life that needs to be carefully and with great respect covered as to provide a beautiful present into which one may delve to understand its hidden puzzle. In the language of experts, art is not mere carpentry; art is also not mere embellishment, because the most fundamental of art is the human capacity to use their imagination in creating images (Nigel Spivey, How Art Made The World: A Journey to the Origins of Human Creativity, Basic Book, 2005, p 14).
Cover is simply cover. To those receiving it, the most important thing is still the pen, not the wrapping. And yet, wrapping is still important, as without one, life would be too raw and inhumane. If we forbid covers, we could simply give the pen, or better yet, give the money as our present and ask the person to buy them their present themselves. This very practical spirit defies the nature that human, to their own extent, are all artists. Human need wrapping, even when they know that it is only that: wrapping. If a store-keeper in a mall is merely an ‘artsy’ person paid to embellish a pen we buy, then the «merchandise» of artist is images. Artist use images and illusions to analyze a representation (E. H. Gombrich, Art and Illusion: A Study In The Psychology of Pictorial Representation, London: Phaidon Press, 1984, p 23). They use cover to say what they intend to convey with their experience in life. A cover veils a substance, same as shadows express something else. Just as wrapping materializes because of its content, so are shadows emerge because of something. Charcoal as shadows materializes from wood. Shadow of a person on the ground appears because there is a person. What is Tita shadowing (suggesting) with her charcoal?
Shadows can be positive Shadows are always shadows of something, a reflection or manifestation of something. In the Cave Allegory by Platon (428-347 BC, in The Republic, book VII), there are two types of shadows. First, shadows in the cave as a result of things being carried by slaves; and second, outside the cave, on the water surface, shadows as reflection of things above the cave. If we follow Platon, we are invited to understand the complexity of “something” from which shadows may emerge. In the cave, things that are the source of shadows are sensory experiences. While outside the cave, the sources of shadows are no longer something, as Platon never said that the idea, which is the source of the shadows, is a thing. From this simple story, the important point to understand is that in the mind of Platon, shadows are not always negative, as if shadows only apply to the world inside a cave! Or worst, to say that as far as “inside the cave” symbolizes our 31
world, to Platon, the world is only shadows without any substance and therefore are deceiving. But Platon is not that black and white. To Platon, mathematical knowledge/episteme is indeed a shadow of the highest knowledge, which is dialectic (the episteme of idea). Shadows are not always bad as they can appear either in the level of inside the cave (The Republic, book VIII) or outside the cave, which is in the area of intelligible (The Republic, book VI). If throughout the years people have derides Platon as debaser of sensory world and worshipper of “the idea world” (a terminology that does not exist in Platon’s text), we shall understand that the reality of shadows are also in the realm of the intelligible (outside the cave). Mathematics or the structured analytical thinking is shadows of idea. Technological way of life, which is strongly proven through hypothesis and experiments, are only shadows of idea. What is idea? If we consider an opinion that says that idea is an aesthetic intuition, things are getting interesting!
Why interesting? It is of course interesting as to Platon, it is the aesthetic intuition that is described and descended by the technologist and mathematicians into numbers and formulas that are logically structured and defined for the human eyes. For Platon, such mathematical definition is shadow. With Platon, becoming aware of the greatness of technology and the roles of mathematicians in our daily life, we seem to be having a different eye in understanding shadows. They are not something that is negative, because veil and wrapping are something that cannot be avoided in explaining an aesthetically dense intuition that longs to be manifested. Armed with such understanding, how do we see Shadow on shadow? Is it a negative and dark work? Let us open our self to all possible expectation while we feel the shadows.
Shadows of something? Using the Cave Allegory and putting the forest shadows by Tita in the “in the cave” level, we may struggle in the linear interpretation that connects the drawing in the shadows with Tita’s real experience. More than just presenting the news of burning forest that has become a chronic affliction in this country, it seems that Tita is trying to convey something more. Something from where these shadows of dark forest emerge is an experience that has pounded and haunted Tita’s body without leaving any opening for her to get through. Tita once told the stories of the dark 1998 era, when as a young person involved in the movement to free the country from Soeharto’s regime, she heard news of people burnt to ashes in several supermarkets in Jakarta. In the work Unbearable light, which also uses shadows of tree, this time using the vivid image of trees being devoured by raging fire, the impression of gloom and terror is prominent. Shadows of trees about to be burned to charred woods are strongly presented, and there is no way from them to escape from it. The image of the tongue of fire obliterating a small chunk of woods that starts to fall off in the left corner of the drawing makes us see it with sadness and sorrow. Branches start to break, sparks of fire on the front ground tell the unavoidable faith of the trees soon to be rendered into charcoal. Bright light which used to be the hope for escape from 32
the darkness of the woods is in this event becomes the fire monster that traps and besieges and leaves no chance for running away. It is this negative experience that is presented and offered as a representation of a life facet. We all know that life is not always pink, but we are often reluctant to see the bleak colors which are naturally form the inevitable parts of life. The feelings of darkness, gloom, of being trapped, without hope and without any way out are parts of life that have to be revealed and accepted as they are
Shadows of idea If we put ourselves «outside the cave», we seem to have different eye. The work does not necessarily tell about «an experience» of Tita. Through her life journey and her daily travails and experiences, there is an aesthetic intuition that Tita is breathing in which she wants to communicate. Tita uses charcoal, she works on shadows, she delve into interpreting the aesthetic intuition that she is living in. More than just representing forest fire into canvas, or providing a negative experience from the past, there is a certain idea that seems to be too dense to be conveyed in one work that Tita is presenting it over and over. Similar to other artist who likes to work over and over again with a bull figure in his various drawings, or other artist who is obsessed with yellowing rice in the paddy field with the ‘mbok-mbok’ (elderly ladies) who are happily harvesting, Tita is driven by everything that is charcoal. At least with the works exhibited here, Tita is immersed in charcoal. In other times, perhaps she would be directed by other drive.
shadow to her glorious past.
Things that have been considered used, monochrome, and are useful only to satay or mie jawa peddlers are used to create works of art. Charcoal is closely connected with kitchen, with the domestic life of women. In a country where the fate of women is tied with charcoal and fire, Tita is attracting us closer these women.
Her expression is manifested in the sorrow of Shadow on shadow, a gloom resulted from the difficulty in standing for the charcoal people. There is more sadness than happiness. She draws a strong sorrow when all battles for a better time are running in circles and only created more charcoals. The massive corruption, the religious narrow-mindedness, the women who fell off the emancipation wagon, and the economic situation of the people that is far from improvement, have made her drown in Shadow on shadow. But sometimes, Tita’s rebellious soul is raging. Fire, with its close connection to charcoal, was presented in black strokes. There Tita pours out her anger, her rebellion, and her longing to be freed from the grip of “charcoal”
Charcoal is indeed a shadow of the past. Once a woman is married, she becomes charcoal. The tradition of handing over very expensive belis (wedding dowry), the engagement process, and the wedding itself that put women in exalted position, are just a burning phase; when women are put into the domestic realm, she turns into charcoal, a mere
More than just women issue, Tita, who is involved in the issues in the society, is also a humanitarian volunteer for all types of the “burning” of human. She has long been driven by the passion to stand for things [or people] that are deemed used, useless, or those who are put behind bars or put in victim camps. Several of her works are voicing their stories.
33
stigma. Charcoal may smolder, burn and incinerate like the energy captured in Unbearable light. THIS is the power of “charcoal people” that cannot be taken lightly. That is idea, the aesthetic intuition that Tita would like to interpret in this moment. She tries to be as close possible to her defense for charcoal people. She uses charcoal, a used thing, which she believes, though only worthy of lighting the kitchen fire, can be used to remind us all of the “charcoal” around us. Charcoal, thing that is spent, is indeed gloomy, but least we forget that not only it is useful, it has the power to burn and incinerate. Tita is forcefully expressing charcoal in her installation Shadow of surrender. Array of primary school desks of Dutch’s era were arranged in tidy formation. Burnt massive teakwood stand witness to the glorious past of our education. There’s a tinge of beautiful nostalgia that can no longer be found today. A sturdy past is gone and only the charcoal remains for us. Perhaps, we can still find school with strong desk and innocent primary students in schools in the villages. But those are remnants of charcoal, considering that our educational world is being modernized and standardized like shops in mall. The desks are more cool, the building fancier; some campus dare enough to pay for venues in malls or five-starred hotels for their
students-consumers graduation. But whatever desks, chairs or educational facilities are given, according to Tita, they will eventually burnt to charcoal.
Though the work Shadow of surrender, Tita is reminding her generation, people in their 40’s, about their own past. The 40’s generation is the generation that now holds leadership roles in all aspect. We are invited to look at the desks that we used to sit on in the 70’s. Behold, all are now charcoal, used, past. But strangely enough, as if they come from different world, Tita put big blank books on the burnt desks! The presence of blank new books, unburnt, is actually not that bizarre. The white contrast emerging is not entirely alien. We have seen similar contrast in Shadow on shadow and in Unbearable light. If in her drawings Tita erases the black charcoal color to produce the whites, in the installation of Shadow of surrender, she puts white books to elevate the gloom of burnt desks.
Looking at the burnt desks with pristine books, we are reminded to not root ourselves in our glorious past of studying times. The white of the books erases the dark past and invite us to see knowledge as an ongoing formation. School is a self-formation process that is never concluded. There is no “closing of book”, as from the moment we are entered into school and the moment we die, we must always read and fill in the book. School as a formal learning period is done, past, and has turned into charcoal for us in our 40’s. But life lesson does not stop. We must always read, must always write, must always learn. This is the essence of paideia (Greek for education that also means culturization).
34
This is Tita’s warning for today’s educators who are so often blinded by the glitz of modern desk and power point or the chit chat in international language. Tita see those merely as “desk”. Eventually, all material would be burnt, would become the past. What is important in school is not the desk, but how to make students capable of making their own book, how we are cultured to always be curious. Charcoal is not always negative. It refers to “something”, be it a real experience or an idea that haunts Tita. She plays with charcoal, something considered used and useless. She defends charcoal, and give voice to it so that people understand. To the gloom of charcoal shadow, Tita gives a usefulnes, a voice, a light. Or is it the opposite? Is it from the light that Tita creates the shadows?
Shadows of light In the Platon’s Cave Allegory, shadows emerge from something (be it sensory experience or aesthetic idea which is not “something”). Veil is a cover of something. And shadows are not always negative; considering “such dense intuition” that can only be manifested into shadows But Platon’s Cave Allegory does not merely talk about two types of shadows. Stories by Platon as far back as 2,400
thousand years ago have offered the concept of thinking that the reality of shadows may only appear if there is a presence of light! Dark shadows shaped in particular forms are there because there is light. Like Alain Badiou who interprets Platon’s Cave Allegory in a modern way, let us pretend the Cave as the XXI Cinema (Alain Badiou, La République de Platon, Paris: Fayard, 2012, pp. 363-371). Like prisoners chaining themselves to the comfortable sofas in Twenty One, every person is willingly pay money to watch a show of shadows. Big projector behind the audience is projecting fast-moving pictures to make shadows seem to be alive on the screen. Form where do those shadows emerge? Of course from something, the negative pictures shone by light. If shadows come from something, that something is pictures being projected very fast. But how are they manifested? Using the cinema experience we understand that shadows become shadows because of bright light that is shone to it. If someone is emerging from Cave-cinema and stand in bright sunlight, it is obvious that their shadows are created because of the sun light. Platon’s Cave Allegory image uses bonfire as the source of light in the cave that bounces shadows on the cave’s wall. Meanwhile, outside the cave, Platon says sun as the source of all things (including the creation of shadows outside the cave).
Reflecting on Platon, we can see that Tita’s works and their shadows theme do not necessarily convey darkness. These works materialized because of light! What is bright about these shadows works? The light from which shadows appear are the idea itself, the aesthetic intuition that Tita is working with. This idea is the force that drives Tita to work with myriads of the world issues that come her way. This idea is the drive that makes her present the gloom of women’s fate, arrested reform, fate of the victims, and other social issues. Tita sees, feels, and captures these issues and she work on them with charcoal, with shadows. The word idea is close to its basic ethimology éidô, which means “to see, to know”. From the light of this vision does Tita offer shadows to us.
35
II Grace-veil In her other work, Imago mundi, Tita uses shadows in different way. The form of veil that she offers immediately gives the impression of beauty, light, and gracefulness. The Idea that drives Tita to create the veil must also come from what she “sees”.
Coverisme Our eyes, nearing the general election of 2014, are forced to see the veiled images of legislative candidates. Like ABG labil [insecure adolescents] who care about image, the democratic reform in its puberty is crazed by image. Every day when we go out, we are rendered moved, or sank – to be precise - as we brace our heart in seeing the increasingly vulgar veils: self images of beautiful and handsome politicians making heavenly promises (such as “we are ready to serve you”). Even more garish is a political yellow party candidate that puts his face and that of Soeharto’s with the wordings “piyé kabaré, isih penak jamanku tho” [how’re you doing - it was better in my time, wasn’t it?]! Totally bizarre. The reform movement is only in its teen, yet people are already longing for Soeharto era. But this is our reality. A lot of people and politicians are crazy for Soeharto image. Not only politicians are infatuated with veil. The veil plague has reached religious people. From the time when Tita was born, we have never seen Indonesia so full of hijab cover everywhere. And it is not only the gullible who like to be covered, it was in fact in the campus that this veil fever started. Nowadays, students of 18, who just start their study in college are very critical on their female lecturers who, according to them, “show too much aurat” in front of the class. The young generation of our future has internalized the culture of veil. Whether the lecturer is smart or not, competent or not, is not urgent for them. It is more important to them that their lecturers are covered in veil. Police women, in the name of “human right” are also covering themseves. No less than the Kapolri himself gives his blessing for this police women veil of piety.
life of people that were discounted without any value), this nation was known to suffer from “klobotisme”. Klobot is layers of rather thick “skin” covering corn that we can peel layer by layer. It is called “klobotisme” because at that time, public officials were very fond of saying big things, going in circle, that in essence is saying nothing, nothing of substance because there was actually no point that they were allowed to tell. When under Soeharto the newspaper and television were so full of layers of klobot without any content because the fear of the army, then in free for all reform era, newspaper and television are still full of empty talks like light, jam-packed klobot whose place is in the box marked “organic waste”. Why is so? Why is this nation so fond of klobot, image, cover?
While politicians are all crazy about their populist images, the religious group is worshipper of piousness. Track record of veil has its root from a long time ago. Once, when we lived under Soeharto’s regime (when everything was cheap, including the
Perhaps we are actually veil-loving nation! This nation believes that cover may change identity. Politicians and religious group believe that image cover would magically change their identity. This is similar to the case of female corruptors who suddenly cover themselves, males in prison
36
wearing long trousers that are too short [cingkrang] and cover themselves in goatee to project the image that they have become pious. Like the smooth image of the politicians, the all beautiful cover of religiousness, the cloak of Imago mundi is very graceful! Covered in gold, impeccably textured – seeing from afar, it beckons people to come and see. But the veil of Imago mundi that Tita presented is also scary, because while it challenges us to look, the cloak is without any face or eye! Contrary to the image pollution of legislative candidates, who are garishly flashing whatever they have (million dollar smile, smooth face, sympathetic eyes), the imago that Tita creates is without any face. Its “stares” pulls us into the void in the veil. If the faces of the politicians are polluting the eyes and make us feel embarrassed, which make us want to get pass them as quickly as possible without looking, the empty
cloak that Tita creates instead draws us into the darkness of the question: what is this cloak covering? What does this faceless and eyeless entity try to say? The only clue Tita gives is that this claok is Imago mundi: picture, image of the world! This beautiful golden cover is covering a faceless gloom. This beautiful cover is actually without identity. The gracefulness on the outside is covering emptiness. Perhaps Tita is conveying the reality that disturbs her: on her left and right, where ever, the thing she sees is cover without identity. Is it really without identity? The polish of cover image seems to tell that behind the veil is a community-serving individual, a religiously pious person, a good human. In fact, it is those very identities which are missing from this country. Tita shows that such identities behind their cover are void, and its suction into nothingness is the daily reality that we have to face.
Coverization If the world of life that Tita faces is marked by coverisme, an ideology that idolizes cover, then Tita reacts to it by doing ”coverization”. As an artist, she offers discourse on cover. And Tita works hard for that: for long hours she choses, works on, puts together, or in short, creates the beautiful veil of Imago mundi. The materials she uses are serious: nutmegs that she hunts to Sulawesi. Those green gold are then presented in their glitter using golden covering. Imago mundi does not intend to directly convey the mundane politics of image or the artificiality in the religious realm that makes it wearisome for Tita to discuss. The materials used, the nutmegs and the image of veil that is closely related to kitchen and the domestication of women may not be her focus. Instead of talking about such banality, it seems that Tita wants to talk about the history of the world! Literature study, various discussions, searches for traces of sea voyages, and the history of colonialism are the things that Tita wants to covertly expose through Imago mundi. 37
The form of the cloak that is similar to a knight’s armor reminds us to monk warriors, a religious group of warriors in the Crusade in the end of the Middle Ages. The history of the world division and its exploitation was never far from religious slogans. Strong, proud black hand pointing up (to God?) while the other hand holding a book (a Bible, a journey’s map?). A small globe is straddled by this figure in armor. For 3Gs (God, Gold and Glory), the conquerors of new worlds covered in golden armors started the world division. The discovery of green gold (spices) gave birth to colonialism and the oppressed in Nusantara. Tita wants to tell the story of how vain our history is. The beautiful golden veil of this armor is terrifying, because past nation oppressed other nation: slavery was introduced; the marginal charcoal people emerged in the world. The very identity behind the graceful veil responsible for the reppression is darkness. That was how history unfolded. Even at this moment, colonialism continues. The perpetrators are no longer monk warriors. But the world’s conquerors are always covered in golden armors. What does it mean? Tita reminds us that the nations that hold the highest economic power in this world are also those that own the strongest war power. The United States, Germany, Japan, China, France and their satellite nations are the creators, owners and sellers of the most sophisticated war machine. Holding the text-book of free economic, the arm of the golden-armored sholdier is arrogantly promising increase in economic level, common wealth, an eden without suffering. Who is the reppressor behind the veil of golden armor? Darkness without face. The world is trampled by darkness covered in golden promise. That is the image of the world (Imago mundi) that Tita creates.
38
Through this work, Tita’s is telling her concern with the fate of Nusantara, the fate of her nation that is being plundered by WTO, the charcoal people that is physically and mentally still being colonized. In the exhibition in the Netherlands, Imago mundi was included in the narration of History suspended. Gold-covered nutmegs are strung together; the image of colonialism that started with the search for green gold was presented to the audience for them to suspend and go back in time to look at the beginning of reppression of nations. Put into today’s perspective of North-South relations, history is suspended by Tita in order for us to dicern: would be repeat the same old story, the continuous repression in the world, especially towards the charcoal people?
51-But perhaps, the interpretation on Imago mundi is too political. The social usefulness of Tita’s becomes too stretched and obvious.
Veil of Depth The fact is, instead of being a social politic agent, it is the duty of artists to create cover! At least, Friedrich Nietzsche (1844-1900) believed so. The reality of the world is chaos: the mix of the beautiful and the horrific, the golden sheet and dark, faceless stare. Most of the times, people want only one part of the world: either they want only the gold, or they are obsessed with the darkness. An artist duty is to wrestle with both. At the last line of “Preface” to Gay Science, Nietzsche wrote “Let us imitate the Greeks, as they are superficial because of depth”. Nietzsche was wrestling with the sufferings that befell his body, he did not know whether this experience of suffering is good or bad. Apart from the meaning of what befell him, the most important thing for him is to be intimated with it, and to create beautiful covers on top of it. He was indeed disgusted by people in their puberty whose desire for single truth was so enormous. In front of chaotic reality, that he likened to woman/truth (cf. “Preface” § 1, Beyond Good and Evil), Nietzsche gave us his advice so that we stop on the cover. This is his advice to philosophers who, without hesitation, he called artists: “Oh! How well we are now learning to forget and not know, as artists! And as to our future, we are not likely to be found again in the tracks of those Egyptian youths who at night make the temples unsafe, embrace statues, and would fain unveil, uncover, and put in clear light, everything which for good reasons is kept concealed. No, we have got disgusted with this bad taste, this will to truth, to “truth at all costs,”, this youthful madness in the love of truth: we are now too experienced, too serious, too joyful, too singed, too profound for that...We no longer believe that truth remains truth when the veil is withdrawn from it: we have lived long enough to believe this. At present we regard it as a matter of propriety not to be anxious either to see everything naked, (…) A hint to philosophers! One should have more reverence for the shame-facedness with which nature has concealed herself behind enigmas and motley uncertainties. Perhaps truth is a women who has reasons for not showing her reasons” (Gay Science ”Preface”, § 4).
Nietzsche was not anti-veil. But Nietzsche also knew that veil is just cover, in the sense that it would never accurately touches what is called “the depth of reality” which the cover tried to convey. Because of such relations with “depth” that Nietzsche was a person who took a really serious view on veil. We need “words” to cover the vicious bodily and mental passion that often does not know what it truly want (Nietzsche, Le livre du Philosophe,
pp 120-121, “Introduction théoretique sur la vérité et le mensonge au sens extra-moral”, trnlst. Angèle KremerMarietti, Paris: GF Flamarion, 1991). All words are veil, mask (Beyond Good and Evil § 289). We need “concept” to identify a work of art or a thinking which actually are a living and moving items that would not arrive at a certain definition (cf. Nietzsche, Le livre du Philosophe, p 136). We need «ideology», «religion», «philosophy», or «faiths» to veil our existential 39
anxiety in the face of life that we could never fully understand. But we shall not forget that all those are just covers! On the one hand, as veil it cannot elect itself as the single truth, on the other hand, though only cover, it has to be taken seriously, as the veil that is chosen is telling a certain “depth”. Tita beautifully present the image of the world (Imago mundi) as an exquisite golden veil! That is our world. The world that is full of joy, grace, and alluring temptation. To convey this aspect of bright world, Tita seriously works to present the world’s beautiful aspect. Artists are the exact persons to know that the world needs to be covered, that it must be layered in alluring veils. In the «New Year» contemplation, in Gay Science, § 276, Nietzsche told that his love to Faith (amor fati), his resignation to Life, were manifested in his interest in “making things beautiful”: “I want more and more to perceive the necessasry characters in things as the beautifuls: I shall thus be one of those who beautify things. Amor fati: let that henceforth be my love!” But Tita also understands that cover is just cover. The world is not just a pretty face. There heinous also makes the part of this world. The middle of Imago mundi is hollow. There is darkness without eyes and without face that engulfs and which may drown people in its pit of nothingness. Tita is struggling with the « depth of darkness » that becomes the source of the veil. There is no other way for artists in presenting their struggle with depth apart from turning it into veil. All with depth likes mask. “Everything that is profound loves the mask: the profoundest things have a hatred even of figure and likeness.” (Nietzsche, Beyond Good and Evil § 40). If Nietzsche often likened truth with woman, he knew that the ultimate art of woman/truth is lie (coverage). Nietzsche was aware that anything with depth unquestionably would need cover. “But she does not want truth—what does woman care for truth? From the very first, nothing is more foreign, more repugnant, or more hostile to woman than truth—her great art is falsehood, her chief concern is appearance and beauty. Let us confess it, we men: we honour and love this very art and this very instinct in woman - ...” (Beyond Good and Evil § 232) Tita is conveying her struggle with 40
such reality in the form of veil (bright color, similar to the whites in her charcoal drawings). The dark hollow (charcoal) from which the veil emerges, is Tita’s ongoing struggle in facing Life that strikes her and to which she’d like to submit. The frightening emptiness, the darkness which de facto becomes the daily life seems to demand her to say something. Tita conveys her struggle with the charcoal people, the obliterated identity of oppressed people, the difficulty of the labor masses that she hears, the disaster victims that are crushed by Fate, women who are not yet emancipated, and other dark issues. Imago mundi is an exquisite veil to tell Tita’s struggle in Life. When fighting along victims turns oneself into the target of narrow-minded people without consciousness; while fighting for Reform end up one witnessing a nation with amnesia who longs for the dictators or brothers in arms turn into corrupt birocrates; when justice for missing activist stirs only the hypocrite smiles once in five years from opportunistic politicians; when Kartini’s passion for women emancipation brings forth the massive number of women wearing the veil and the patriarchs who brag about polygamy as a sign of health and wealth of the Na-
tion’s stallion; when female TKI [foreign workers] are turned into human trafficking commodity by our own people and hailed as monetary heroes while they become slaves in foreign countries; when our 60 years of independence but our farmers are still toiling with their bare hands while the officials in the ministry of agriculture proudly import rice and other staple items; while the brouhaha of the religious life is aligned with the culture of corruption; when the changes of curriculum and character education never in whatever small amount lessen the culture of cheating amongst students nor the culture of plagiarism amongst teachers; when in yesteryears and today our own people become the collaborator for foreign nations in plundering and enslaving Nusantara; when all of these are seen as the fact of Life, as our true world, than indeed the reality is Darkness. From this greed for darkness that Tita follows her idea. The light of the idea candle – that shines light that enables shadows to emerge – is paradoxically representing darkness. What does it mean? A life of darkness is not to fear. It is the true fact, and darkness is the field where, if we are truthful in engaging it, will provide us with the idea candle. Eventually, this idea with its power of light would create the veil and shadows. That way, while darkness is still unveiling, we are no longer obsessed with it. Thanks to the idea candle that creates the veil, the dark life can be measured, borne, and hopefully, be loved.
- 31 December 2013, Drikarya College of Philosophy, Jakarta
41
Titarubi born in Bandung, Indonesia, in 1968. Studied ceramic from the Department of Fine Art, Faculty of Art and Design, Bandung Institute of Technology. Her career as an artist started since 1988. She is now lives and works in Yogyakarta, Indonesia. Titarubi worked with various mediums and her works takes in many forms – sculpture, installation, performance art, happening art, painting, graphics, etc. She also collaborated several times with musician, theater artist, dancer and filmmaker. The issues that attracted her attentions are about body, identity, gender, memory and colonialism.
Indonesia • “Kisah Tanpa Narasi”. Cemeti Art House, Yogyakarta, Indonesia 2004 • “Benih”. Via-Via Cafe, Yogyakarta, Indonesia • “Bayang-bayang Maha Kecil”. Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, Indonesia • “Bayang-bayang Maha Kecil Gallery, Malang, Indonesia
Puri”.
Art
2003
Her works has been collected and exhibited in Asia and Europe, including Singapore Biennale, ZKM Center for Art and Media (Karlsruhe, Germany), Museum and Art Gallery of the Northern Territory (Darwin, Australia), Busan Biennale Sculpture Project, MACRO (Museo d’Arte Contemporanea in Rome), and Singapore Art Museum.
• “Bayang-bayang Maha Kecil”. Gallery, Jakarta, Indonesia
Outside her art activities, Titarubi was also active in the movement of releasing and improving the welfare of political prisoners in New Order Indonesia, as well as disaster response activities in Indonesia by setting up the Studio Biru in 2006, when Yogyakarta suffered the earthquake, and the anticensorship movement. She became the founding member and actively involve inIndonesian Contemporary Art Network (iCAN) – an organization that promote public education and multi-disciplinary work in art and, recently, Forum Rempah – a forum focusing on the history of spice and its culture in Indonesian archipelago.
• “Yang Kelak Retak” (Will be Going Crack). Infant-Shelter Promotion for Tangerang, West Java, Manufacturing’s Labors Exhibition], Senandika Perempuan Women NGO, Pondok Indah Mall, Jakarta, Indonesia
Solo Exhibitions
• Indonesia National Pavilion at the 55th International Art Exhibition of La Biennale di Venezia, Venice, Italy
2014 • “Discourse of the Past”. Philo Art Space, Jakarta, Indonesia 2013 • “Burning Boundaries”. Janssen, Berlin, Germany
Galerie
Micahel
2008 • “Surrounding David”. a commission work of the National Museum of Singapore, Singapore 2007 • “Herstory”. Bentara Budaya Jakarta, Jakarta, 42
Cemara
6
2002 • “Se[Tubuh] Benda”. Art Space, Yogyakarta, Indonesia 1995
• “Yang Kelak Retak”. Stage Cafe, Ratu Plaza, Jakarta, Indonesia
Selected Group Exhibitions 2013 • “Suspended Histories”, Museum Van Loon, Amsterdam, the Netherlands
• “Welcome to the Jungle: Contemporary Art in Southeast Asia from the Collection of Singapore Art Museum”, Yokohama Museum of Art, Yokohama, Japan • “Pharmacide Arts: Fake medicine: The Disease of Greed”. Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, Indonesia 2012 • “FLOW-Indonesian Contemporary Art”. Galerie Michael Janssen, Berlin, Germany • “Faux médicaments”. Espace et université de
pharmacie de Hanoi, Hanoi, Vietnam
District Beijing, China
• “Faux médicaments”. Idecaf, Ho Chi Minh, Vietnam
• “Busan Biennale 2008 Sculpture Project”. APEC Naru Park, Busan, South Korea
• “Faux médicaments”. Université pharmacie de Vientiane, Laos, Vietnam
• “Manifesto. Pameran Besar Seni Rupa Indonesia”. Galeri Nasional, Jakarta, Indonesia
de
• “Re.Claim”. National Gallery, Jakarta, Indonesia
2011 • “Beyond the East: A Gaze on Indonesian Contemporary Art”. International cultural biennale Vie della seta (Silk Roads), Rome, Italy • “Biennale Jogja XI”. Yogyakarta, Indonesia • “Negotiating Home, History and Nation”. Singapore Art Museum, Singapore • “1001 Doors: Re-inventing Traditions”. Ciputra Marketing Gallery, Jakarta, Indonesia 2010 • “Rainbow Asia”. Hangaram Art Museum, Seoul Art Center, Seoul, South Korea • “Faith by Chen Hui-Chiao & Titarubi”, Sakshi Gallery Taipei, Taipei, Taiwan • “The Anniversary of ARTI Magazine”. Podomoro Park, Jakarta, Indonesia • “Space & Images”. Ciputra World. Jakarta, Indonesia • “Oasis To Be”. Maha Art Gallery. Sanur, Bali, Indonesia • “Masih Ada Gus Dur”. Langgeng Gallery, Magelang, Indonesia 2009 • “Jakarta Contemporary Ceramic Biennale #1”. North Art Space, Ancol, Jakarta, Indonesia • “Deer Andry”. Indonesia • “My Body”. Indonesia
Mess
Grand
56,
Jogjakarta,
Indonesia,
Jakarta,
2008
• “The Arafura Craft Exchange : Trajectory of Memories Tradition and Modernity in Ceramics”. Museum and Art Gallery of The Nortern Territory (MAGNT), Darwin, Australia 2007 • “Biennale Jogja IX 2007: Neo-Nation”. Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia • “Asian International Art Exhibition 22nd: Imagining Asia. Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Indonesia • “Indonesian Women Artists: The Curtain Opens”. National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia • “Thermocline of Art: New Asian Waves”. ZKM, Kalsruhe, Germany • “China International Gallery Exposition”. Vanessa Art Link, Beijing, China • “World Social Forum” Kasarani, MOI International Sport Center, Nairobi, Kenya 2006 • “Common Link”. Vanessa Art Link, Chao Yang District Beijing, China • “Singapore Biennale 2006”. Singapore • “Masa dan Tanda-Tanda”. Vanessa Art Link, Jakarta, Indonesia 2005 • “Biennale Jogja VIII: Di Sini & Kini”. Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia • “Summit Event Bali Biennale: Space and Scape”. Bali, Indonesia • “Urban/Culture: CP International Biennale 2005”. Museum Bank Indonesia, Jakarta, Indonesia • “Transindonesia: Scoping Culture in Contemporary Indonesia Art”. The GovettBrewster Art Gallery, New Zeland
• “China International Gallery Exposition (CIGE) Art Fair”. Vanessa Art Link, 798 43
1992
2004 • “Barcode”. Gedung Societet Yogyakarta, Indonesia
Taman
Budaya, • “Seni Keramik dan Grafis”. Gedung YPK, Bandung, Indonesia
• “Good Morning Meneer!” Pekan Budaya Hindie 1991 Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, Indonesia • “Ceramic c\Craft Exhibition”. Bandung, • “Objecthood”. Gedung Societet, Taman Budaya Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia 1990 • “Pameran Seni Keramik Muda Indonesia”. • Plaza Education and Culture Departement National Gallery of Indonesia, Jakarta Building, Jakarta, Indonesia • “Menimbang ‘Dunia’ Perempuan”. Gedung 1989 Societet, Taman Budaya Yogyakarta, Indonesia • “Ekspresi”. The Japan Foundation, Jakarta, Indonesia
2003
• “All You Need is Love”. Nadi Gallery, Jakarta, 1988 Indonesia • “Girl Indonesia
Talk”
Edwin’s
Gallery,
Jakarta, • Nikko Art Gallery, Bandung, Indonesia
• “Modernization & Urbanization Maronnier”. Art Selected Other Art Projects Center, Seoul, South Korea • “Fusion Strength” Langgeng Gallery, Magelang, 2010 Indonesia • Collaborator and installation works for “Selamat Datang dari Bawah”, a 2001 dance performance coreographed by Fitri • “Women Exhibition”. Jakarta Art Festival, Setyaningsih. iCAN Art Space, Yogyakarta, Indonesia. Bentara Budaya Jakarta, Indonesia • Artistic director of “The History of Chidren Movement”, an exhibition on the 30th • “Jejak Tanah dan Api: The 3000th Years years of children movement in Indonesia. Terracotta in Indonesia”. National Museum, Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia Jakarta, Indonesia 2007 • “Flying Trough the Wall: Palu Art Forum”. • Installation works for “Shakuntala”, a Palu, Sulawesi, Indonesia theater directed by Naomi Srikandi. French Cultural Center of Yogyakarta, Indonesia. 1999 2000
• “Media dalam Media”. National Gallery of • “A Million Bodies”, a performance. Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia Indonesia, Jakarta, Indonesia • “A Million Bodies”. Makassar Art Forum, 2005 Sulawesi Selatan, Indonesia • Installation works and assistant artistic director for Garin Nugroho’s film “Opera 1998 Java” • “Plastic (& Other Waste)”. Chulangkorn 1999 University, Bangkok, Thailand • “Missing and Silent”. Lontar Art Gallery, • “A Million Bodies”, a performance. Indonesia Alliance for Better Earth and Human Makassar Art Forum, Makassar, Indonesia Life Jakarta, Indonesia 1993 • “Ceramic Exhibition”. Times Gallery, Bandung, Indonesia 44
Charcoal as shadow of fresh life of the past is used as the material for drawing shadows of trees. Shadow on shadow, shadow talking aboutshadows shadow. are And because usually dim and dark, charcoal is used to express something that makes us sad:that shadows of the woods are either anxiously waiting for the morning sun or anxiously letting go of the afternoon bright light. It would be more sorrowful to see if theremnants shadowsofare the last forest woods before they are devoured by raging fire and reduced to charcoal. Drawing charcoal is used by Tita to draw forest woods that are to be turned into charcoal. Acknowledgements My bottomless gratitude to: My awesome family who’s always there to support me: Agus Suwage, Carkultera, and Gendis. Amalia Ahmad and Tommy F. Awuy for your readiness and patience. Antariksa, a good friend and a buddy in discussion and debate. Romo Setyo Wibowo for your writing and Bona Beding for all the supportive talks for my creative process. Also to Romo Mudji Sutrisno for your willingness to open and give forewords to this exhibition. Rahung Nasution. All my buddies in the studio: Diar, Kancil, Catur, Bayu, Jazari. For all the inspirational talks: Amalia Pulungan, and also Arief Yudi and friends in Jatiwangi Art Factory, and Senja Aditya Fajar. For all my friends who have so readily discussed these particular works: Enin Supriyanto, Handiwirman Saputra, Kocok Sancoko. And to all of you in social media whom I cannot name one by one here. Thank you very much.
This catalogue is published
© Philo Art Space
Curator: Tommy F Awuy
in conjunction with a solo
Jl Kemang Timur 90 C South
Writer : A. Setyo Wibowo
Jakarta 12730
Photography of Artworks: Artist
Indonesia
Translator : Andira Sampurno
t/f: (62 21) 719 84 48,
Design : www.trisno.ic.cz milovtrisno@gmail.com
exhibition
“Discourse of the
Past”
Titarubi, 18 April 2014
March -
18
m:
+62 811 10 60 47
e: philoartspace99@gmail.com info@philoartspace.com
w: www.philoartspace.com
Published by
Philo Art Space 040/2014
Copy Rights © Philo Art Space All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photography, recording or otherwise, without the written permission from Philo Art Space
45
harcoal as shadow offorfresh life ofshadows the pastofis sed as the material drawing rees. Shadow on shadow, shadow talking about hadow. And because shadows are usually dim nd dark, charcoal is used to express something hat makesanxiously us sad: shadows of the woods that re either waiting for the morning sun rght. anxiously letting go of the afternoon bright It would be more sorrowfuloftoforest see ifwoods the hadows are the last remnants efore they are devoured bycharcoal raging fire and reuced to charcoal. Drawing is used by ita to draw forest woods that are to be turned to charcoal. e may react and feelthat thatwe theare work is gloomy, ad, but it is apparent invited to conemplate the beauty offered by Shadow on shadw. Why? Because lifegloom is notand always bright azzure lue. Parts of life are dark terror. This what Tita is immersed in, and this is the home ork that Tita offers though her drawings. Only hen darkness is understanding processed and that beautified, there ill be a sliver of would enichgeneral, humanity. people like to show works that are virant, bright, and beautiful. Colors and materials re chosen to ensure their worksGod would brighten he heart and the mood. Thanks that artists re helping humankind to cherish the beauty offar he world they create and are involved in. But rom the consumptive nature thattheir longsduties only for he glittery world, artists do have to rap the gloom of the world through their works. rap? Yes. Like when we are buying ballpoint(an en in a shopping mall, and the store-keeper rtist by job looks description) wraps our penlike so athat no longer like a pen but looks preent full of surprises, then artists by nature are rapping whatever experience cometh their way. ometimes, they wrap joyful experience which hey by choosing colors and erialsoften that exaggerate make everything looks vibrant andma-