PRAPASCAEKSPEDISI

Page 1

PRAPASCA EKSPEDISI dalam halaman romawi



Sidak, Persiapan ekspedisi, dan Hal-hal yang tidak selesai sumbangan dari seorang pengangguran

BACA mulu bosen juga. Coba nulis ah siapa tahu jadi semangat buat ngelanjutin baca. Siapa tahu? Wols , tidak biasa. Sepi saja di sekretariat sore ini. Ada seorang pengurus tapi sekarang dia tidur. Mungkin dia sudah lama nggak tidur atau karena ini Sabtu sehingga mohon maklum jika suasana menjadi malas-malasan. Ya maklumi saja, mengapa mesti tidak? Untukku itu wajar, tokh bukankah aku juga pemalas? Mungkin tepatnya petualang yang malas. Dari sekian banyak waktu yang ditandai dengan bermacam-macam nama itu; misalnya mulai dari detik sampai jam, mulai dari hari sampai tahun dan bermilenium, acaraku selalu lebih banyak ngganggurnya daripada kerja. Dan sebagai ganti untung mengisi waktu kosong, kegemaranku adalah membaca buku sembari sesekali meneguk anggur. Cocok bukan? Seorang penganggur sesekali memiliki ketertarikan pada anggur. Seorang pembalap dengan sirkuit dan sparepart. Seorang petualang bergelut dengan event petualangan. Siapa sangka aktivitas petualangan yang kugeluti belakangan menjadi pekerjaan. Uang imbalan sebagai pembayar jasa mulai merayu-goda Gaya berbahasa dengan cara kata yang dibalik-balik dibacanya kembali trend di waktu belakangan ini. Wols berasal dari slow.

LAOS 2011

| iii


berlomba menjadi motivasi utama; sebuah leitmotif yang menjadi ancaman bagi ketenangan dan kegembiraan petualangan yang bukan pekerjaan. Nah ini ada soal perihal petualang, bertualang, dan petualangan. Kalau kbbi terbuka maka akan terbaca akar kata yang melahirkan berbagai derivasi itu tadi --petualang, bertualang, petualangan-- ialah tualang. Iya, tualang. Fakta tersebut baiklah disebut sebagai etik yang selalu memiliki teman (atau pasangan?) yang dinamakan emik. Nah pada tingkat emik, kata /tualang/ dan /petualang/ sering kali melahirkan bentuk /berpetualang/. Dari sisi etik jelas bentukan tersebut wujud dari penyimpangan atau praktik tidak taat azas, namun itulah fakta emik. Kasus itu menunjukkan salah kaprah dalam tingkat morfologis. Keganjilan bentuk /berpetualang/ akan jelas saat disandingkan dengan bentukan lain yang dibangun dengan cara yang serupa, misalnya /berpedagang/, /berpetinju/, /berpelayar/, yang seharusnya (etik) adalah berdagang, bertinju, dan berlayar; seperti juga bertualang. Nah itulah salah kaprah, tak ada hukuman atasnya J. Ada orang yang kutanya mengapa bertahan pada wujud berpetualang padahal sudah tahu bahwa secara etik bahasa Indonesia menyarankan kepada para penuturnya supaya menggunakan bentuk bertualang mengajukan jawaban, katanya bahwa berpetualang lebih enak di lidah. Apa memang benar demikian, siapa yang tidak mengalami mungkin takpernah tahu. Hehehe‌. Melantur saja karena sedang tidak ke mana-mana. Menjadi orang tolol. Bolak-balik baca nggak juga mengerti. Agar takterlalu kosong sebaiknya memutar musik; itu diperlukan di saat-saat seperti ini. Nggak ada pikiran, nggak ada beban. Bebas dari pekerjaan, bebas dari bacaan. Plong. Lagu apa kira-kira yang tepat saat sekarang? Pindah ke depan. Di halaman depan LPPMD dan MP ada beberapa orang. Manusia-manusia yang berbincang. Kusetel The Panas Dalam. Ada beberapa orang di sini yang menyukainya, bahkan jadi fans fana

iv |

Kamus besar bahasa Indonesia edisi IV, 2008 Lembaga Pengkajian Pendidikan masyarakat Demokratik Merpati Putih

EKSPEDISI


tiknya. The Pandal Mania L. Volume jangan terlalu besar, takut dikira nantang; siapa berani bersilat dengan MP atau bersilat lidah dengan LPPMD? Wols. Mau nulis apa tapi yang terlintas justru siapa. Apakah itu karena sesungguhnya aku tidak benar-benar mau menulis, hanya sekadar mengisi kekosongan sambil mencoba mengail gagasan, melupakan bacaan. Wolfi mlungker di depan pintu gudang, si belang berjalan gontai dan rebahan tidak jauh dari pintu SAR. Pohon benar-benar tumbuh dan semakin membesar sedangkan manusianya masih juga menganggur, ini sudah gelas kedua. The spider and the fly. Lagu berubah, dan angin menggoyang batang dahan, reranting, dan daun. Sudah dua bulan nggak jalan-jalan. Kangen nganter tamu dan ketemu orang baru. Butuh dana segar. Terakhir sepasang kakek nenek berambut perak asal Belanda dan dua orang Indonesia kenalannya yang minta jalan-jalan singkat ke Gunung Panaitan. Dia tertarik dengan situs purbakala kebudayaan Sunda yang ada di sana. Di luar trip yang sudah diprogramkan mereka juga memintaku mampir ke Baduy. Perjalanan yang lumayan; karena itu kerja, jadi upahnya bisa menyambung hidup sebelum datang jalan-jalan berikutnya. Subsistensi yang masih terus kukonsisteni. Dan sekarang kembali ke pelabuhan: sekretariat perhimpunan. Sedang tidak banyak orang. Ada seorang yang sekarang masih juga tidur. Mungkin sedang berlayar mengarungi samudra bawah sadar, mengeksplorasi alam mimpi yang sering menjadi misteri kehidupan. Kesementaraan. Betapa rapuhnya masa sekarang. Alir kehidupan selalu segera menjadikannya kelampauan. Masa lalu dan yang akan datang jauh lebih panjang. Menatap ke depan, sesekali menengok ke belakang. Perjalanan, petualangan. Jangan lagi berpetualang digunakan karena benar dan salah sudah begitu nyata di depan mata; keberaturan, berjalannya kaidah-kaidah hukum. Argumentatif dan formal. Berpetualang, berpetualang. Kelihatan sekali nggak pakai nalar. Kapan lagi bertualang? Menunggu telepon dari bos yang menawarkan trip-trip yang menyenangkan. Menjadikan petualangan sebagai pekerjaan yang menghasilkan uang alias alat tukar pendukung berjalannya kehidupan. Seringnya kebagian

LAOS 2011

|


yang ke Krakatau dan Ujung Kulon, dan terutama Panaitan. Dua kali ke Sawarna. Mantab juga. Selanjutnya ke mana? Ada beberapa peralatan penting yang sudah harus diganti. Margo Cruizer outdoor shop 24 jam bisa dihubungi atau kalau mentok, Lapak Seken pun jadi. Tapi sekarang jarang, mungkin karena sang owner sedang sibuk di Lapak Baru. Belanja-belanja-belanja dan bertualang lagi. Harus tawakal sambil terus bergerak mengumpulkan informasi. Waktu buat santai itu pasti selalu terkondisi. Seperti semalam. Ini berhubungan dengan soal informasi dan ekspedisi. Perhimpunan tempat pertamaku mengenal dan belajar cara bagaimana bertualang dengan aman dan nyaman ini kini sedang di tengah masa persiapan ekspedisi. Caving ke Laos rencananya. Caving asyik juga. Sudah lama nggak nyobain. Lorong-lorong menakjubkan yang menyundul-nyundul atap imajinasi. Sedikit ada dorongan buat ikut seleksi tapi jadwal yang tidak pasti dari tamu-tamu yang harus diantar ke sana kemari membuatku urung dan memilih untuk ikut ceria bersama tim supporting. Semalam itu ceritanya ada sidak. Inspeksi mendadak. Peristiwa sidak yang perlu dan menarik untuk dicatat. Malam Sabtu, semalam. Tiga gegedug PALAWA merapat ke sekretariat, maksudnya mau melakukan sidak. Namanya juga sidak, lazimnya mereka yang akan bertindak telah lebih dahulu didukung oleh data dan informasi. Sayangnya semalam mereka melewati tahapan itu. Kata dadakan dalam sidak lebih ditujukan bagi mereka yang dikenai tindakan; mereka yang tersidak. Apa yang terjadi? Saat tim sidak datang, sekretariat sepi karena banyak anggota perhimpunan yang pergi menjenguk Rara di RS Santo Yusuf. Menurut Stefanus, anggota yang ada di sekretariat, rencananya setelah dari RS yang lainnya akan langsung mendatangi rumah Kang Uloh, senior Palawa, yang hari ini merayakan ulang tahunnya. Semoga Rara cepat sembuh, semoga Kang Uloh bahagia selalu. Di Jatinangor inspeksi dadakan yang dilakukan tidaklah bisa disebut gagal. Tim sidak tidak kecewa. Meski sedang tidak banyak anggota di sekretariat, namun setidaknya mereka masih bisa bercakap dan banyak bertanya kepada Stefanus dan Benny Nainggolan yang

vi |

EKSPEDISI


saat itu terlihat sedang sibuk menyiapkan peralatan caving di gudang. Mereka berdua sudah delapan bulan bergabung dan dilantik menjadi anggota perhimpunan. Kepada merekalah akhirnya segala pertanyaan urgensial menyangkut ekspedisi disampaikan. Rupanya, salah satu motif dilakukannya sidak antara lain untuk mencari kejelasan informasi menyangkut hal ihwal persiapan ekspedisi yang tanggal pelaksanaannya tinggal menghitung hari dengan jari. Mulanya ekspedisi disiapkan untuk bulan Pebruari 2012, namun di awal persiapan ada pembicaraan dengan calon pendonor yang siap mensponsori kegiatan ekspedisi dengan catatan itu dijalankan pada akhir tahun ini dan laporannya harus sudah diserahkan kepada pihak pendonor sebelum tahun lama berganti. Tawaran diambil dan dilakukanlah penjadwalan ulang atas kegiatan. Satu hal yang jelas terlihat perihal semakin sempitnya waktu untuk persiapan. Itu bukan soal karena persoalan waktu bisa tersiasati dengan pemadatan dan upaya yang lebih keras dan besar lagi dari peserta dan pendukung. Jika hal tersebut dapat berjalan sesuai yang bisa dibayangkan maka tentulah ekspedisi tidak akan mengalami kegagalan lantaran kekurangsiapan. Umum sudah dipahami bahwa persiapan yang baik bisa menggambarkan ekspedisi seperti apa yang akan digulirkan. Ekspedisi bukanlah sekadar ringan macam perkemahan sabtu minggu atau fieldtrip yang sering menjadi pekerjaanku saat sedang tidak menganggur. Segenap semangat harus ditunjukkan untuk menjelang ekspedisi. Ekspedisi cuy, seperti juga Robinson Crusoe, Indiana Jones, Marcopolo, Sinbad. Itu bukan bohong karena bukankah dari semua yang pernah aku jalani di sinilah yang berikan beda yang lama dicari-cari. Ekspedisi dan cerita-cerita yang menyertainya. Dan Stefanus sudah menyelesaikan persiapannya. Dia bergabung dengan Benny yang tadi bercerita tentang rencana kegiatan besok, latihan tambahan, caving ke Sanghyang‌. Kuperhatikan rona antusias yang terpancar dari wajah para gegedug perhimpunan. Berkebalikan dengan itu, roman wajah Benny dan Step justru menunjukkan betapa tanya jawab yang terjadi kurang lepas dan dilingkupi ketegangan. Perasaan yang semacam itu sudah men-

LAOS 2011

| vii


jadi kelaziman yang inheren dalam diri anggota baru. Rentang jarak yang terbentang jauh dan gap angkatan selalu membuat inferioritas mengemuka dan keluar. Hal negatif dari sebuah dunia yang berisi kaum senior dan junior yang kaku salah satunya adalah terhambatnya komunikasi yang disebabkan oleh tidak terbangunnya situasi egaliter. Aku mengenang masa awal bergabung dalam perhimpunan. Menjadi anak baru, mungkin aku pun begitu. Dunia itu sudah agak lama berlalu. Sebagai mahasiswa baru, sekaligus anggota baru. Siapa pun saat itu butuh banyak tuntunan. Kukira semua yang terjadi saat itu cukup adil. Berbagai pelayanan yang menjadi kewajiban anggota baru merupakan keringat yang menjadi bahan barter. Mengingat semua itu, malam kemarin aku ingin mengatakan bahwa sebenar-benarnyalah kalau aku takhenti mengucapkan syukur atas semua yang sudah teralami selama waktu yang dulu itu. Obrolan dalam bentuk tanya jawab masih berlangsung. Aku hadir, tapi semalam, aku lebih tertarik untuk menjadikan sikap Step dan Benny sebagai problem. Kekakuan adalah hambatan yang perlu diurai dan dicairkan dalam tanya: bagaimana membongkarnya. Kang Opik, Kang Baybar, dan Kang Luthfi kulihat sudah cukup asyik. Maksudku mereka sungguh proaktif. Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada dua anggota baru itu, banyak kudapat letupan gagasan lain yang sebelumnya takterpikirkan. Seandainya dua anggota yang baru selesai menyiapkan perlengkapan caving semalam itu tidak kaku barangkali arus gagasan yang datang pun lebih deras. Ada perasaan takut salah, apalagi ini melakukan kesalahan di hadapan senior yang levelnya melangit. Sesungguhnya mereka belum pernah secara langsung saling mengenal dalam event petualangan yang bisa menjadi marka penegas atas jam terbang dan pengalaman, namun cerita-cerita yang hidup patut disadari menjadikan yang historis bergerak menjadi legendaris. Di hadapan yang legendaris manusia selalu gagap bahkan tidak jarang yang histeris, pingsan atau jantungan, maka wajar jika jadinya begitu, jadi kaku. Kang Luthfi, Kang Opik, dan Kang Baybar memang bukan anggota berkaliber biasa. Mereka oversize. Sepak terjang mereka dicatat

viii |

EKSPEDISI


oleh perhimpunan. Berbagai catatan kegiatan yang ditinggalkan dalam lemari perpustakaan dan ingatan kolektif anggota setelah dan sebelum mereka menjadi tanda pentahbisan eksistensi dan aksi yang didedikasikan untuk kelangsungan dan kejayaan hidup perhimpunan. Dari dulu sampai sekarang. Pada titik itu terlihat betapa perhimpunan telah melampaui batas kemahasiswaan. Keberadaan para gegedug semacam mereka yang hadir malam kemarin itu dibutuhkan untuk menyehatkan ekosistem, menjadi vitamin yang menyegarkan, menjadi energi yang mutlak diperlukan guna menghidupkan dan mengembangkan perhimpunan para petualang yang tak sekadar. Setelah obrolan panjang yang kudengarkan serta renungan yang pura-pura mendalam di dalam pikiran, terjadilah perubahan. Berganti seting latar, semua bergerak ke dalam. Di ruangan terbentuk lingkaran orang-orang yang duduk di lantai berkarpet biru. Malam baru beranjak. Tidak lebih dari jam sembilan tapi perutku sudah kembali minta disuplai. Kang Luthfi sudah berkali meminta Benny mencicipi martabak keju yang kinyus-kinyus menantang di hadapannya. Bukan kebetulan, bahkan ini sudah menjadi kebiasaan, kalau kedatangan ALB selalu sambil menjinjing logistik. Soal begituan aku selalu yang duluan. Obrolan santai pun terus berlangsung sambil ditemani berbagai cemilan, sate, nasi, capcay, dan kwetiauw, juga lain sebagainya. Ada yang lugas, ada yang malu-malu, ragu saat memberikan jawaban. Kembali ke soal logistik. Semalam itu membuktikan bahwa kumpul-kumpul hampir selalu disertai makan-makan, mungkin itu yang dinamakan berkah. Ada kehangatan dalam perkumpulan, dan itu menyenangkan. Perbincangan selanjutnya tidak kuikuti, aku ke atas. Kembali melanjutkan pekerjaan yang terhenti oleh kedatangan tim Bandung yang menyidak. Silang sengkarut kasur, bantal, dan kantung tidur. Sejudul esai selesai di-proofing. Kerja sampingan di sela menganggur yang memabukkan. Kemarin ada order kerjaan dari teman; menyunting buku antologi esai naratif yang isinya seolah penuh oleh pernyataan-pernyataan narsistik yang menyebalkan. Umumnya membosankan, mungkin karena sama sekali tidak menawarkan

LAOS 2011

| ix


kebaruan. Kalau mau curhat, kukira semua hanya pembenaran dan upaya cuci tangan. Tidak lebih. Tapi biarlah. Aku dibayar untuk mengerjakannya, itu saja. Sekadar tukang. Lumayan honornya buat nambah ongkos jalan-jalan. Cukup lama juga sebelum akhirnya anggota tim ekspedisi yang lain sampai di sekretariat. Suara ramai-ramai yang terdengar ke atas membuatku turun. Di atas karpet, sate dan kudapan lainnya masih banyak yang belum tersentuh. Salamansalaman, dan obrolan tanya jawab pun semakin panjang, semakin lebar. Benny dan Stefanus terlihat lega. Mungkin mereka merasa terselamatkan oleh rombongan besar yang baru datang. Kalau harus ada simpul pangkal cerita, maka soal komunikasi yang kuunggulkan. Pada mulanya (dan akhirnya) problem organisasi adalah komunikasi. Bukankah karena itu juga Riki harus pulang ke Padang untuk sekadar mengurus tetek bengek administrasi yang tidak terorganisasi. Komunikasi. Semalam ramai, sore ini sepi. Tim caving tadi pagi pergi. Mengikuti rencana, malam nanti pun mereka sudah tiba kembali di sini. Tentu akan ada obrolan lagi, peristiwa perhimpunan yang sering luput dari perhatian padahal justru dari sanalah segala sesuatu bermula. Segala hal menjadi mungkin adanya, menjadi menarik dan indah seperti sunset. Sayangnya beranda ini memunggungi barat sehingga sorot keemasannya saja yang teraba sebagaimana terpantul di permukaan cekdam yang berkialauan. Burung-burung emprit bermain-main di tepian hammock yang tergantung kosong merayakan sisa keceriaan hari ini bersama seorang penganggur yang sedang bingung. Setiap sekarang berubah menjadi tadi. Aku menganggur, bahaya kalau berlebihan, banyak yang bisa dirusak. Bukan cuma badan, lebih dari itu bisa merembet ke pikiran. Seharusnya tidak perlu banyak bicara. Mencari-cari perkara, menambah musuh itu perbuatan celaka. Harusnya mempersoalkan kerja dan melihat situasi menganggur sebagai racun yang takmampu diatasi oleh diri dan negara. Pribadi bobrok citra negara busuk. Seperti ikan yang busuk mulai dari kepala, mungkin keadaan Indonesia pun demikian. Mungkin banyak yang tidak seberuntung kita.

|

EKSPEDISI


Kok kita? Masih bisa minum anggur saat menganggur. Seolah dunia baik-baik saja. Kalau penyair maka yang yang dilahirkan cuma sajak anggur dan rembulan. Mereka lupa ruang menjadi asosial. Di sini sedang sepi, cocok untuk menyepi saat menganggur. Baca-baca buku, bosan dan mulai mengail kesegaran dari tulisan untuk kelak kembali melanjutkan bacaan. Sekarang sedang takkerja. Padahal kerja merupakan hal sentral dari pergerakan manusia mengubah hidup. Saat ini seolah yang kulakukan merupakan aktivitas otonom dan independen. Keluar masuk ruang-ruang khayal dan kenangan karena masa sekarang selalu rapuh dan berubah menjadi yang lalu. Menuangkan pikiran-pikiran dalam tulisan sering disangka perilaku otonom atau juga asosial. Padahal, kalau diperhatikan pelan-pelan, beberapa kenyataan kecil berikut ini mungkin bisa mengilustrasikan maksud agar terang; ketika aku beraktivitas, membaca dan menulis sejak pagi sampai sore menjelang magrib begini, mencoba mencari dan menuangkan pikiran, semua gagasan kutulis di notebook, sambil membaca buku di atas hammock made in Korea, ditemani iringan musik rock progresif serta sebungkus biskuit, dan tentu saja anggur merah. Apa arti menganggur tanpa anggur merah. Tapi paparan itu untuk apa? Artinya bahwa aktivitasku saat menganggur sambil membaca dan menulis sangat bergantung pada keberadaan aktivitas-aktivitas sosial lainnya. Aktivitas dari orang-orang lain menjadi prakondisi dari apa yang kulakukan saat ini, sejak tadi sampai nanti entah kapan. Kerja selalu terhubung dalam relasi sosial dengan “kerjaâ€? orang-orang lainnya. Itu dulu yang dipahami. Tidak ada yang otonom, lepas-bebas dari jejaring sosial. Kalau pun tidak ada itu semua, sekretariat selalu menautkanku pada semua anggotanya yang tersebar di seantero negeri dan alam raya. Kembali melantur‌. Kukira itu dulu; point utamanya, sekretariat menjadi lokus tempatku mengada. Menyepi sambil Bantu-bantu tim ekspedisi. Berbuat sambil menunggu apa yang akan terjadi. Di sekretariat. Lampu-lampu belum ada yang menyala. Magrib ini doaku masih sama.

LAOS 2011

| xi



Sekretariat setelah pulang dari ekspedisi curhat anggota muda

AMPUN deh. Senior gwa yang satu ini rese’ bener. Sejak kemarin gwa kok jadi merasa diburu-buru. Sebetulnya gwa nggak suka keadaan yang sekarang gwa alamin ini. Ada perasaan tertekan setiap kali gwa melangkah menuju sekretariat. Udah dua hari ini. Keadaan itu bermula dari keputusan gwa ikut seleksi ekspedisi caving yang akan mengeksplorasi gua terbesar di Laos –bahkan konon itu gua menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Sejak awal gwa ikutin semua yang menjadi syarat, termasuk pra-syarat bagi seluruh calon anggota tim ekspedisi yang ingin lolos seleksi. Setelah mendengar cerita dari senior-senior gwa jadi tau bahwa semua aktivitas persiapan ekspedisi yang gwa dan saudara-saudara lainnya lakukan merupakan hal wajar dan lumrah aja. Semua itu dapat pula disebut sebagai Protap alias prosedur tetap. Meski demikian tetap aja berbagai aktivitas itu gwa anggap sebagai sesuatu yang tidak biasa bahkan istimewa. Memang tidak semua calon anggota tim ekspedisi memperlihatkan kuriusitas yang sama namun secara umum mereka menjalankan apa-apa yang menjadi keharusan. Satu langkah keorganisasian yang dinamakan Lokakarya menjadi semacam titik start. Di sanalah dilakukan pembahasan atas ide-ide yang disampaikan oleh tim perumus yang bekerja memban-

LAOS 2011

| xiii


tu Ketua DP dalam menjalankan abcd yang diamanatkan Muper. Lokakarya ekspedisi pada akhirnya juga “memilih� seseorang untuk menjadi ketua panitia yang akan memimpin berjalannya kegiatan. Hampir empat bulan yang lalu Kang Jaya diangkat dan ditetapkan sebagai pengemban tugas mulia tersebut. Sekarang baru bisa gwa pahamin mengapa sering terdengar lontaran bahwa menjadi ketua panitia ekspedisi itu tidak mudah. Ekspedisi itu bukanlah kegiatan main-main. Sekali dua kali ada juga suara yang menyebutkan bahwa jabatan itu jauh lebih prestisius sekaligus lebih berat daripada menjadi Ketua DP, bahkan Danlat. Semua suara gwa serap. Bukankah sebelum Mabim dimulai gwa mulai diperkenalkan secara serempak tentang berbagai hal, konsep, dan nama-nama? Sejak itu gwa mulai belajar mahamin semuanya; termasuk kecenderungan bahwasannya sudah menjadi tabiat jika senior selalu minta didengarkan suaranya. Karena itu pula gwa kira yang terbaik adalah berusaha menyerap semuanya. Di dalam keadaan itu gwa dan yang lainnya akan mengamalkan satu tindakan normatif yang sudah lumrah adanya. Ya, sebagian besar dari kami cukup mendengarkannya saja. Meski selalu ada aja sisa yang mencoba takhanya didengar tapi diturunin menjadi pemikiran. Gwa mencoba memulainya dari ekspedisi yang baru aja gwa jalanin. Panitia terbentuk dan sesudah itu mulailah dibuka babak persiapan. Fisik dilatih dan pembekalan termasuk pengayaan pengetahuan juga dilakukan secara bertahap. Inilah tahap yang begitu diperlukan untuk memudahkan jalan menuju keberhasilan. Jika berkaca pada ekspedisi yang baru gwa alamin kemarin itu, barulah dapat kelihatan ada kekurang-maksimalan yang telah terjadi di tahap pra-ekspedisi. Gambaran evaluatif itu baru gwa lihat setelah semua terjadi. Bukankah mustahil melihat bayangan tanpa presentasi objek aktual yang ada di depannya? Dalam hal ini yaitu event ekspedisi itu sendiri. Ada kelas Psikologi dan Etnografi. Materi yang pertama diberikan oleh Teh Ami, sedangkan yang kedua oleh Bang Dodi. Teh Ami angkatan Pasir Malang dan Bang Dodi angkatan kesembilan. Itu dua pelajaran berharga yang tidak mungkin gwa dapatin di dalam kelas kuliah. Psikologi dan Etnografi merupakan materi

xiv |

EKSPEDISI


tambahan pendukung ekspedisi di samping Speleologi dan Fotografi. Kang Jaya nanganin Speleologi sedangkan Fotografi diajar dan dilatih langsung oleh Kang Ronald serta Kang Ulloh. Kang Onath itu angkatan pertama sedangkan Kang Ulloh angkatan Mapak Rawa. Selain subjek materi tadi emang udah sering juga gwa denger anjuran untuk lebih giat mempelajari Bahasa Inggris; ya, English! Setelah di lapangan, maksud gwa setelah keluar dari Indonesia, baru gwa mencatat penyesalan demi penyesalan yang datang berturut-turut. Penyesalan itu seolah sengaja dihadirkan supaya gwa sadar. Ya, memang sudah terjadi kesalahan; kekurang maksimalan. Pertama bahasa, menurut gwa; itu buat gwa. Mulut gwa bisu saat harus menggunakan bahasa internasional. Praktis sepanjang perjalanan gwa mengandalkan kerja penerjemah. Itu pengalaman bagai tamparan. Kagok edan, takboleh disia-siakan. Semoga aja pengalaman itu semua bisa gwa manfaatin untuk kebaikan, untuk kemaslahatan pribadi, perhimpunan, dan umat serta peradabannya. Hehehe, bukankah kita harus berpikir besar? Tidak harus. Ekspedisi kemarin itu kudu membuat gwa lebih kaya. Belajar dari pengalaman; mengambil hikmah dari perjalanan, serangkaian pengayaan. Maka gwa sebut aja ekspedisi yang teralami itu sebagai wujud dari belajar berjalan. Baru seumur jagung sudah ikut menjadi tim inti. Itu juga gwa denger dipahami sebagai prestasi. Anak baru ikut ekspedisi. Hehehe, patut disyukuri. Gwa bergembira dan berterimakasih. Materi kelas disambung dengan simulasi ekspedisi: ke Karang Nunggal di Tasikmalaya dan ke Gua Banyu di Gombong Selatan. Mulanya dirancang tiga kali simulasi, namun satu dan lain hal menjadikannya gagal. Sebisa mungkin efek kegagagalan tersebut diminimalisasi dengan cara melakukan latihan fotografi dan filmologi (?) tambahan di gua-gua kawasan Sanghyang Lawang, Citatah. Setelah semua terjadi baru gwa bisa melihat keseluruhan dengan lebih konkret. Ada abcd yang harus diperbaiki pada kegiatan selanjutnya, termasuk untuk ekspedisi berikutnya. Ah ini kan cuma pikiran gwa sendiri yang pasti aja sangat subjektif. Pikiran-pikiran yang timbul akibat obrolan panjang sama senior yang sebenar-benarnya membuat gwa kesel; entah marah atau bu-

LAOS 2011

| xv


kan. Sebuah dorongan negatif yang secara sepihak minta dipahami. Busyet! Bukan karena takmau berbagi, namun apa mau dikata, gwa emang tidak pandai bercerita. Mungkin tidak suka, ah bukan. Sebetulnya gwa diam-diam merasa iri, hehehe, sama mereka yang pandai dan begitu tangkas bercerita di sekretariat. Permintaan-permintaan yang datang dari saudara seangkatan dan senior-senior takmampu gwa penuhin. Kadang gwa kira satu-satunya kelemahan gwa ini takpandai, bahkan tabisa, bercerita. Beda persoalan jika yang datang ke gwa berwujud pertanyaan, gwa senang. Celakanya bukan begitu yang terjadi. Seringnya, sejak kepulangan gwa dari ekspedisi, orangorang mengajukan permintaan bukannya pertanyaan. Gwa selalu blunder jika harus bercerita. Mungkin itu memang bukan tugas gwa. Hidup gwa bukan buat bercerita, gwa dilahirin ke dunia untuk menjawab pertanyaan, bukan bercerita. Anehnya setelah gwa ungkap dengan jujur mereka menjadi urung dan seperti pundung. Tinggal cerita, apa susahnya? Tentu aja mereka nganggap gwa berbohong. Di antara semua yang pernah gwa kenal, hanya sedikit yang bisa memahami bahwa di atas dunia ini ada juga manusia yang tidak bisa bercerita, selebihnya menganggap gwa mengada-ada. Biar aja. Seperti sore sampai dengan malam tadi. Mengingat situasi di sekretariat sore tadi membuat gwa segan. Ada senior yang memecah kebungkaman gwa dengan pertanyaan. Harusnya senang, namun sial. Hehehe, sialnya itu justru menjadi pertanyaan pertama dalam hidup yang nggak mampu terjawab dengan memuaskan. Terdengar mudah sebetulnya kalimat tanya yang disusunnya. Hehehe, namun sekali lagi: itu tidak terjawab dengan memuaskan. Aktivitas eksplorasi dan pendokumentasian gua bikin gwa nggak banyak memerhatikan profil penduduk setempat. Si senior nggak mau mengerti dengan penjelasan gwa bahwa bagian itu ada tim khusus yang menanganinya. Gwa jelasin juga bahwa agar tidak overlapping maka gwa –kenyataannya-- emang bisa dibilang nggak terlalu menghiraukan hal-hal semacam itu. Kemudian gwa tegesin kembali bahwa bagian itu pasti akan terpresentasikan, nantinya, dalam laporan karena setahu gwa sekarang ini soal-soal sosial kemasyarakatan

xvi |

EKSPEDISI


yang juga etnografis sedang diolah atau mungkin dianalisis; yang pasti sedang dituliskan. Tapi tetap aja dia yang senior nggak mau ngerti. Itu tadi udah terlalulah. Parah. Meski sudah berulang gwa bilang kalau gwa sungguh-sungguh nggak menguasain bagian itu, pertanyaan-pertanyaan mengenai subjek yang nggak gwa kuasain itu terus aja diciptain seolah nggak akan berhenti. Jujur gwa jadi pusing sendiri. Maleslah! Sebetulnya gwa kepingin nyeritain soal keindahan gua yang kemaren itu ditelusuri, tapi bagaimana “menceritakannya� gwa nggak juga bisa ngarti. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sama senior gwa itu nggak pernah menyangkut caving. Diam-diam gwa juga tadi berpikir jangan-jangan sang senior ini emang nggak suka caving, bahkan mungkin aja dia nggak tahu apa itu caving. Wah, mana mungkin. Dugaan pertama bisa aja terjadi. Tokh meski masih jadi anak baru di perhimpunan ini tapi bisa gwa lihat bahwa nggak semua anggota menggemari kegiatan caving. Dugaan kedua itu mustahil. Terlalu jahat kayaknya pikiran itu. Sombong bener gwa. Sudah sejak generasi pertama caving dikenalkan. Pernah gwa denger cerita, katanya Palawa udah kenal caving sejak zaman Specavina. Cerita itu melemahkan bahkan membatalkan dugaan kedua. Jadi tidak seorang pun di perhimpunan ini yang tidak mengenal caving dan juga Speleologi. Paling tidak sekali dua kali siapa pun pasti pernah mencobanya. Menyesal sekali nggak bisa berbagi dengannya itu tadi. Kebetulan yang ada di sekretariat semuanya anggota tim eksplorasi, jadi berbagai pertanyaan yang dia ajuin nggak ada yang terjawab dengan baik. Ngobrolnya sama gwa lagi, ya salah. Mau gimana lagi, itu memang bukan bagian gwa. Meski pengumuman Mabim belum ada, itu bukan berarti gwa kurang menguasai tetek bengek caving dan dasar-dasar Speleologi. Sebelum ekspedisi gwa mengaku kurang menyukai caving, dan sekarang setelah ekspedisi berlangsung, gwa kira, gwa emang nggak begitu menyukainya. Kenyataannya gwa udah berekspedisi, uyeah! Gua gigantik bikin kecanduan juga bisa-bisa. Bagaimanapun Ekspedisi menjadi pengalaman berharga yang mungkin nggak bakalan terulang. Nggak lupa, udah pasti. LAOS 2011

| xvii


Tadi gwa masih ngebayangin lorong-lorong Khoun Xe waktu sang senior mulai ngomong. Itu tanda obrolan panjang nggak jelas bakal terjadi, dan bener. Emang begitu jadinya. Mungkin itu terjadi karena gwa bayangin itu akan terjadi. Setelah jadi di dalam bayangan selanjutnya kembali menjadi dalam kenyataan, mungkin juga nggak begitu. Tadi itu terjadi obrolan yang tidak melulu soal ekspedisi. Gwa kira maksudnya mau nunjukin dan bikin penegasan atas ketertarikannya pada subjek sosial. Kalau nggak salah dulu dia Geologi. Tadi dia itu mempersoalkan Freeport dan keberadaan suku Amungme. Samar-samar dan sedikit-sedikit gwa juga udah pernah ngedenger. Itu satu dari sekian banyak suku yang ada di Papua sana. Gayanya gwa nilai dan anggap terlalu kaku. Dia mulai dengan pertanyaan, “Gimana sikapmu soal Freeport itu?� Gayanya mengangguk-angguk tadi itu sengak sekaligus lucu. Sekarang yang tinggal cuma lucu yang membuat senyum. Parah. Khayalan gwa berhenti di lorong katedral. Sikap dan pendapat yang ditanyain gwa kemukain. Gwa lihat dia ngedengerin. Setelah lebih dari seratus anggukan, karena waktu yang gwa ambil buat nanggapinya emang lumayan panjang, kemudian dia mulai cerita panjang lebar. Seolah tadi itu dia sengaja menunggu giliran. Dari sekian banyak itu ada penggalan folklore ihwal suku Amungme. Apa yang diceritakan kembali olehnya tadi itu rada-rada aneh dan gwa kira perlu dipertanyakan; jangan-jangan itu hasil akal-akalan doang. Bisa aja, apalagi ngeliat gayanya mandang anak baru. Matanya kayak yang melecehkan, duh! Menurut kisahnya orang Amungme itu meyakini bahwa kehidupan mereka bisa terselenggara atas wujud pengorbanan seorang ibu. Nenek moyang mereka seorang ibu dengan empat anak kembar. Dua pasang lelaki dan perempuan. Hidupnya hanya berjalan dan berjalan. Mereka berjalan sampai suatu ketika tiba di Lembah Bella, sebuah daerah rawa-rawa dan bersungai. Beberapa waktu kemudian musim kering berkepanjangan dan semua kelaparan. Sudah sangat banyak makhluk yang mati dan akan semakin banyak lagi. Kepunahan di depan mata. Situasi itu membuat sang Ibu mengajukan sebuah permohonan aneh. Benar-benar

xviii |

EKSPEDISI


aneh. Sang Ibu meminta agar dirinya dibunuh dengan panah. Tidak selesai di situ, kemudian sang Ibu juga meminta agar setelah mati terpanah, jasadnya dipotong-potong dan dibuang ke segala penjuru mata angin. Sang Ibu juga meminta agar anak-anaknya saling menikah, kelak setelah ia tiada. Mendengar permohonan itu anak-anak yang perempuan menolak dengan keras, namun yang lelaki berhasil membunuh perasaannya sendiri dan segera menggasak ibunya sesuai dengan perintahnya. Singkatnya semua terjadi sebelum gelap dan malam berlalu dengan peristiwa alam yang sangat mengerikan. Keesokan paginya terciptalah bumi yang indah. Itulah gunung-gunung tinggi berlembah dalam yang menjadi warisan leluhur dan perlu dijaga. Orang Amungme tinggal di sana sambil terus menghidupi persepsinya sendiri atas dunia. Bagi mereka dunia bukan bola tapi piring dan di atas piring itu semua telah tersusun dengan elok. Itu yang tadi gwa kira sebagai cerita main-main dan perlu dicrosscheck dan recheck. Itu baru gwa denger. Beda soal sama cerita Freeport yang juga menjadi materi dari obrolannya. Malas dan segan. Gwa nggak tertarik sama urusan-urusan tambang. Kalau kernmantel itu lain soal. Beda nu eta mah! Yang ini tambang yang ujungujungnya limbah lumpur beracun: tailling. Cerita di bagian ini gwa langsung percayain. Hebat memang pengerukan yang dilakukan Freeport. Sadis. Meskipun demikian ada juga anehnya. Senior gwa juga nautin persoalan itu dengan legenda. Katanya tepat di Gunung Biji; di sanalah kepala sang Ibu dibuang sehingga lokasi itu dipahami menjadi kawasan suci dan sakral. Gunung Biji menjadi symbol asal muasal dari segala yang ada di dunia nyata. Siapa nyana, justru di sanalah Freeport mengeduk dan mengobrak-abrik bumi, menambang dan mengacaukan tatanan dan kedaulatan suku Amungme. Mereka sebagai pewaris sah atas wilayah Gunung Biji, atas dasar persepsinya, pun takberani mengganggu-gugat kealamiannya eh ini Freeport atas izin negara ujug-ujug bikin pelecehan. Okey gwa serap aja dulu semua yang kira-kira perlu. Pasti ada gunanyalah paling nggak sedikit juga nggak apa-apa. Ah, pasti banyak gunanya. Mulai berpikir begitu, hehehe, karena dengan begitu outcome yang

LAOS 2011

| xix


terbayang juga pasti begitu. Itu pengalaman. Kenang-kenangan dari hidup yang udah jadi pastens. Gwa punya rencana mau ke Cartensz. Cerita Papuanya bisa ngelengkapin informasi. Lewat Freeport apa nggak ya? Ngedengerin cerita orang Amungme sama Freeportnya gwa jadi ngerasa nggak enak hati. Apa itu nurani. Komitmen sosial, keberpihakan. Arahannya bukan nasionalisme aja, tapi lebih, udah melampaui. Busyet dah! Ada juga manfaatnya nih meski nyebelin. Hehehe, begitu-begitu juga senior gwa; nggak pasten eh pantes-lah kalok terlalu diledekin. Eh tapi gimana tuh ya Cartensz. Wols. Sekarang baru pulang ekspedisi. Orang sini suka bener bikin analogi. Nah kalok ekspedisi boleh juga dianggap mirip-mirip sama naik haji. Ekspedisi hampir sama dengan naik haji. Kalau naik haji ke Mekah, kemaren ekspedisi ke Laos. Lao, Laos. Nama yang aneh, seaneh senior gwa. Hehehe, gwa tinggalin dia, tadi sebelum ujan. Untung sekarang udah sampai kamar. Mungkin dia lagi ngobrol sama Imam sambil main bola di komputer. Lucu juga. Tadi Imam diminta cerita juga dan caranya bercerita bagus menurut gwa. Dia mulai dari mendaftar hal-hal bodoh yang dilakukannya selama di lapangan. Dan kelucuan ditambah dengan gaya senior gwa yang mengangguk-angguk serius ngedengerin cerita Imam. Gwa ngebanyangin peristiwa pengakuan dosa di bilik dalam gereja seperti yang sering ada di film. Wajah sang senior berubah lebih serius waktu ngedenger Imam minum air aki (accu?), nyaris sebetulnya. Sebenernya wajar; siapa nggak tegang, air aki konon sangat mematikan kalau diminum. Kebodohan pertama disambung dengan yang kedua; trigger jatuh ke sungai gara-gara bersikap nggak sigap, dan menumpahkan mie rebus yang siap disajikan saat tim eksplore sedang berada diujung lapar. Kecuali air aki, semua dilakukan di dalam gua. Gwa nggak nyangka Imam sampai segitunya mengingat kebodohan-kebodohan –begitu istilah yang memang dia gunakan— yang dibuatnya. Gwa udah sejak kejadian itu nggak pernah nyimpen marah. Lumrah aja gwa kira. Gimanapun hebat jugalah. Imam udah berhasil bercerita, sedangkan gwa mesti didorong dulu dengan pertanyaan; dan celakanya, pertanyaan yang datang bukan seperti yang ada di bayangan. Tadi yang bikin kesel itu pertanyaan-pertan-

xx |

EKSPEDISI


yaan soal orang atau penduduk di sekitar. Gwa tau yang dimaksud itu Ban Nhom Ping. Sebisa mungkin gwa jawab, namun tetep kerasa nggak maksimal. Gwa sadar itu emang bukan bagian gwa. Tapi jangan-jangan itu argumen cuman alasan buat pembenaran supaya gwa nggak keliatan salah. Ah tapi itu kan cuman pandangan senior gwa aja, bahkan mungkin aja cuman dia yang berpikir begitu. Namanya juga Raden Wilujeng Liyan. Wajar dong kalau gwa tinggal, lagian emang lagi mulai menyiapkan pikiran buat ujian susulan. Meski ikut ekspedisi, akademik nggak boleh ketinggalan. Wajar dong kalau yang nggak jelas mending ditinggal. Di tembok udah hampir jam sebelas malam. Paling Nggak hari ini ada dua orang yang ceritanya bisa ditiru. Anggap aja lagi belajar jalan. Di luar keliatan ujan; karena jendela kebuka, karena ada cahaya. Suaranya kedengeran sampai ke dalam. Selain cerita Papua, senior yang sekarang entah sudah pulang atau masih bertahan di sekretariat itu juga nanya-nanya gimana cara anak-anak ngedapetin dana. Anehnya dia juga masih nanya apa ekspedisi ngabisin dana banyak? Ya pasti banyak. Zaman sekarang kan emang serba mahal, apalagi nilai rupiah di hadapan dollar aduh ‌ juga Bath. Ekspedisi kemarin itu gede, termasuk biayanya. Lumayan ekstra besar. Ekspedisi kali ini denger-denger yang terbanyak menyerap anggota. Gimana ceritanya sampai ke Menpora? Gwa sebut aja Kang Ario dan Kang Baybar itu yang ngerti, gwa juga beralasan: takut salah malah berabe. Takut salah itu salah, diingat lagi. Tapi, kalau ditotal 26 orang yang dilibatkan sebagai inti ke lapangan. Ini emang ekspedisi yang gede; apalagi gwa belum pernah secara langsung mengalami ekspedisi. Situasi itu bikin gwa yakin kalau ekspedisi ini bener-bener gede. Keberadaan kegiatan ekspedisi pun ikut disebarkan melalui media massa. Selain keren, dengan itu niat buat mengampayekan konservasi karst sudah mulai disuarakan. Bagian dari kado buat perhimpunan yang Maret tahun depan genap berusia 30 tahun. Organisasi itu bahkan lebih tua daripada umur gwa. Gila, keramat! Lebih gila lagi, gwa masih bisa satu tim sama angkatan pertama. Itu bisa gwa liat sebagai berkah, dan akhirnya emang itu juga yang gwa

LAOS 2011

| xxi


lihat. Berkah dan berterimakasih. Permulaan yang baik di almamater yang baik. Mungkin emang di sini jalan hidup gwa menuju kesuksesan. Salah satunya harus menjalani atau ketemu dan bahkan bergaul dengan yang aneh-aneh. Stairsway to heaven kembali jelas di bayangan. Nggak salah kalau disebut The Gigantic Cave. Dunia yang aneh di bawah tanah. Galery yang merekam perjalanan waktu ribuan tahun. Pemandangan indah yang menggantungkan eksistensinya pada cahaya. Apa arti semua ini bila tanpa cahaya. Tidur ah. Turn your light down low‌. Besok masang layar buat SPDC. Aduh kalok masih ada senior gwa bisa rempong nih. Disuruh-suruh cerita lagi, ngopi lagi‌. Nggak tidur-tidur lagi. 24382 Jatinangor, Nopember 2011 – Januari 2012

xxii |

EKSPEDISI


LAOS 2011

| xxiii


. . . banyak sekali catatancatatan yang dibuat dalam hubungannya dengan ekspedisi caving tahun 2011 ini. Seperti juga yang dikumpulkan menjadi buku ini, PRAPASCA EKSPEDISI; catatan dari dua sudut pandang yang semuanya bermaksud mencari dan menggali dalam visi memberi tanda bagi hidup perhimpunan para petualang ini.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.