Alor, Living Celebration

Page 1



ALOR

living celebration

Ekskursi Alor 2011

Penerbit

Ikatan Mahasiswa Arsitektur Universitas Indonesia

Editor

Klara Puspa Indrawati Mirzadelya Devanastya


ALOR Living Celebration

Ekskursi Alor 2011 Universitas Indonesia

cetakan pertama, november 2011 Editor

Klara Puspa Indrawati Mirzadelya Devanastya

Penulis

Tim Ekskursi Alor 2011

Layout

Mikhael Johanes

Foto Sampul

Feby Hendola Kaluara Leta Lestari Supria

Sketsa Sampul Dalam Andi Mahardika

Penerbit

Ikatan Mahasiswa Arsitektur FTUI (Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Kampus Baru Depok, 16424)




Dartar Isi daftar isi kata pengantar PO Merayakan Komodifikasi Tradisi/Ir. Evawani Ellisa M.Eng., Ph.D Ekskursi Alor, Sebuah Ide Awal

v vii viii

Bab 1 Kampung Takpala Alor, Pulau Seribu Moko Kampung Takpala, Desa Lembur Barat, Kabupaten Alor Sekilas Antropologi tantang Masyarakat Takpala Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Kampung Takpala

1 2 4

Bab 2 Ruang Tinggal dan Keseharian Masyarakat Takpala Ruang Keseharian Masyarakat Takpala Hasil Ladang dan Komoditas Kampung Takpala Proses Pembangunan Rumah Fala Nilai Dibalik Bagian-bagian Interior Rumah Fala

21

Bab 3 Ruang Ritual Masyarakat Takpala Orientasi dan Batasan Ruang Ritual Simbol Pada Ruang Ritual Ritual dan Kepercayaan Masyarakat Takpala Lego-lego Sebagai Bagian Ritual Persiapan dan Prosesi Ritual

71 72 76 79 88 90

xii

8 13

22 44 50 52

Ekskursi Alor, Sebuah Perkembangan Budaya 104 Sponsor dan Media Partner 106 Tim Ekskursi Alor 2011 118 v


vi


S

Kata Pengantar Project Officer

embilan hari untuk perjalanan berangkat, lima hari untuk perjalanan pulang. Setelah kembali dari tanah Alor barulah kami menyadari betapa jauhnya tempat yang sudah kami kunjungi. Enam belas hari keberadaan kami di bumi Alor, sebuah jangka waktu yang tentu tidak memadai untuk sebuah penelitian, namun cukup menyisakan berbagai makna bagi kami semua. Mendatangi daerah baru, yang sangat berbeda dengan tempat asal kita semua, merupakan hal yang mendebarkan. Bagai seorang bayi yang baru lahir di dunia, dia meninggalkan rahim ibu yang sangat dia kenal. Keluar menuju dunia baru yang sangat berbeda. Momen tersebut hampir sama dengan saat kami menginjakkan kaki di pelabuhan kota Kalabahi, serta mulai berkenalan dengan masyarakat setempatnya. Kedatangan kami ke Alor sendiri bukan tanpa maksud, tetapi datang dengan misi. Untuk membaur bersama masyarakat, hidup bersama, mengenali budaya mereka, serta mencatat ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bidang arsitektur. Sebuah tugas yang tidak mudah, mengingat perbedaan budaya yang kami alami. Akan tetapi toh tetap terselesaikan, berkat kebaikan dan bantuan besar yang kami terima dari masyarakat Alor. Mengingat banyaknya bantuan yang kami peroleh, ucapan terimakasih kami saja pun belum tentu bisa membalasnya. Namun ucapan ini sungguh tulus kami sampaikan kepada beberapa pihak yang telah berjasa. Kak Elyas Asamau yang sudah rela rumahnya diinvasi oleh rombongan mahasiswa berjumlah tiga puluh tujuh orang selama enam belas hari, juga pinjaman jeepnya kepada tim advance. Bang Potas, dengan dua angkot merah yang mampu membawa kami dari basecamp ke desa setiap harinya. Mas Yoga dan mbak Tika yang memberikan info berharga mengenai cara ke Alor. Bapak Drs. Simeon TH. Pally, selaku Bupati Alor. Bapak Drs. Oktovianus Lasiko selaku Sekretaris Daerah, serta Bapak Ade Dharma Masa, S.Sos selaku Administrasi Kemasyarakatan. Pihak-pihak dari Pemerintah Daerah yang telah mengizinkan kegiatan ini, serta bantuan bus gratis dan jamuan makan malam meriah saat tujuh belasan. Bapak Lius Duka, atas info dan nasehat berharganya sebelum keberangkatan rombongan. Tidak lupa warga kampung Bangpalola, Helangdohi, pak Adam dan pak Martinus serta seluruh masyarakat kampung Takpala. Juga beberapa pihak lain yang tidak akan muat apabila namanya disebutkan satu persatu disini. Tanpa bantuan tersebut, rangkaian kata tidak akan tercipta, paragraf tidak tersusun, buku ini pun tidak berwujud. Maka dari itu dengan ucapan syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami persembahkan inilah buku buah hasil kerjasama kita semua. Semoga apa yang tertulis dan tersirat dalam buku ini dapat bermanfaat bagi Alor, ilmu arsitektur, serta kehidupan kita semua. Project Officer Ekskursi Alor 2011 Mirzadelya Devanastya

vii


Merayakan Komodifikasi Tradisi Evawani Ellisa, Ph.D.

E

ntah apa yang ada dalam benak mama Tina, ketika tubuhnya yang renta memeluk kami satu persatu, dalam perjumpaan awal kami dengannya di desa Takpala. Pelukannya yang erat seolah menyiratkan ungkapan ribuan kata-kata. Usai memeluk kami, tiba-tiba Mama Tina duduk tegak di atas batu, memandang ke arah laut dan melantunkan lagu dalam bahasa Abui, salah satu dari sekian banyak bahasa di Alor. Lagu itu bernuansa sendu, dinyanyikan dengan penuh pengahayatan dalam ekspresi kesepian. Menurut pak Martinus, lagu itu bertutur tentang kerinduan seorang ibu terhadap anaknya yang tinggal jauh di rantau. Mama Tina adalah warga desa Takpala di Alor yang telah sekian tahun hidup dalam kesendirian di rumah adat atau gudang. Sore itu, alunan nyanyian Mama Tina melengkapi ruang ephemeral desa Takpala. Semburat sinar matahari berwarna kekuningan menerobos di antara rindangnya pohon asam, angin meniupkan hawa yang sungguh nyaman, celoteh sekelompok anak laki-laki beradu kelihaian bermain kelereng di pelataran desa, sementara nun jauh di sana tampak terhampar langit jingga beradu dengan birunya laut Teluk Takpala. Dalam kunjungan di tempat yang sama namun beda waktu, suasana keseharian yang tenang berubah menjadi serba hidup dan eksotis. Warga memakai baju adat, menghias diri dengan berbagai atribut, rambut para wanita digerai. Mereka menampilkan tarian dalam gerak sederhana namun megah sekaligus misterius. Gelang-gelang antik yang melingkari kaki-kaki telanjang mereka menyuarakan gemerincing ritmis, berpadu dengan suara hentakan seragam kaki-kaki penari yang kuat menjejak bumi. Untuk sesaat kami dibuai oleh sensasi sebuah dunia primitip. Kami seakan lupa bahwa hanya beberapa ratus meter di ujung kampung, kendaraan bermotor lalu lalang di jalan beraspal. viii

Mama Tina (Kontributor: Talisa Dwiyani)

Mama Tina dalam baju adat (Kontributor: Harindra Mahutama)


Pada hari itu memang telah disepakati bahwa warga Takpala akan mempersembahkan tarian lego-lego. Tak beda dengan “wisatawan� lain, karena lego-lego diadakan untuk memenuhi permintaan kami, maka sejumlah uang harus kami serahkan bagi para penari. Komersialisasi? Entah bagaimana menyebutnya, yang jelas para penari ini perlu meninggalkan ladang, mata pencaharian utama mereka, untuk memenuhi “order� menari. Ini telah menjadi bagian dari rutinitas desa Takpala. Namun tentu tak ada yang salah bila pengunjung perlu mengeluarkan sejumlah uang bila menghendaki mereka menari, sama halnya saat kita menikmati tarian Bali di tempat pertujukan komersial tari Bali. Tak perlu ada kekhawatiran adanya komersialisasi lego-lego, karena tanpa kehadiran wisatawan pun, lego-lego masih melekat sebagai bagian dari tradisi dan keseharian warga Alor. Lego-lego tampil di berbagai kesempatan, termasuk saat perayaan hari kemerdekaan. Dalam kunjungan kami ke Alor, kami diundang Bupati setempat merayakan tujuhbelasan, dan para mahasiswa bahkan ikut larut dalam euphoria lego-lego yang diadakan usai upacara. Di saat sarana transportasi masih serba terbatas, konon desa Takpala mendapat julukan desa paling tradisional. Namun, jaman telah berubah. Pemerintah setempat memanfaatkan peluang derasnya arus wisatawan manca Negara yang datang ke Alor untuk tujuan diving. Jalan menuju Takpala dipermulus, dan wisatawan pun mulai berbondong datang berkunjung. Tradisi di Takpala dikemas kembali untuk dipertontonkan kepada warga kota yang merindukan sensasi dan pengalaman yang tak akan dapat mereka peroleh di kota. Sadar ataupun tidak, pengunjung sebenarnya disuguhi oleh simulasi dan representasi realitas tradisi dalam spirit komoditas turis. Ini tipikal situasi yang sering kami temui di desa-desa tradisional lain di wilayah Nusantara, dalam rangkaian kunjungan ekskursi mahasiswa yang rutin selalu kami ikuti. Di hari lain kami beranikan diri untuk ikuti jejak mahasiswa melakukan trecking, mengunjungi kampung lama Bampalola. Pemandangan di sekitar desa tradisional ini luar biasa memikat, perpaduan lansekap perbukitan dan lautan, namun lokasinya berada di ujung bukit. Kami harus berjalan kaki melewati bukit terjal dan curam. Bapak Mohammad, sang kepala desa, berbaik hati meminta anak-anak warga desa yang beliau pimpin untuk memandu ix


perjalanan kami. Di luar perkiraan, bukit yang harus dilalui ternyata luar biasa curam. Sepanjang perjalanan, saya bahkan harus merangkak naik atau turun memberosot. Namun para pemandu kecil kami, dengan kaki-kaki telanjang mereka yang kecil dan liat, begitu sigap dan lincah berjalan, bahkan kadang berlari, di depan kami. Seluruh lekuk liku tapak sepanjang perjalanan nyaris mereka kenali dengan baik. Setiap saat mereka berjalan, mereka berbalik, sabar menunggu kami. Tak pernah kami lupakan, sorot bola mata mereka yang besar, tajam dan indah, mengawasi gerak gerik kami, orang-orang kota yang begitu ringkih tertatih-tatih. Akhirnya kampung Bampalola kami capai juga. Para pemandu kecil kamipun tertawa lebar, penuh rasa syukur. Alor memiliki segalanya yang dibutuhkan oleh industri turis, lansekap alam yang indah dan budaya yang eksotik. Belum lagi taman bawah lautnya yang masuk jajaran terbaik kelas dunia. Dengan kemajuan teknologi dan komunikasi, dalam waktu dekat, geliat industri turis tentu akan makin terasa kuat. Disisi lain, teknologi semakin mengikis tradisi dan puncaknya terjadi ketika desa Takpala mulai ditinggalkan sebagian besar warganya. Mereka memilih untuk tinggal dan menjalani kehidupan modern di Kampung Bawah. Takpala saat ini sedang meretas jalan menjadi panggung pertujukan. Banyak kalangan pengamat menganggap desa Takpala adalah representasi komodifikasi desa tradisional. Tentu sulit bagi mahasiswa (yang notabene generasi muda) untuk mencoba mengungkap nilai-nilai otentisitas desa-desa tradisional di pulau Alor, di saat desa-desa itu sedang memasuki masa kritis. Namun dalam semangat untuk berbuat sesuatu, para mahasiswa telah memberanikan diri untuk mencoba dan siap menerima kritik. Lepas dari akurasi hasil analisis yang telah dilakukan para mahasiswa, kontribusi mereka layak dihargai, setidaknya dalam hal upaya untuk memilah bagian mana yang otentik dan bagian mana yang tak lebih dari sekedar simulasi. Para mahasiswa ditantang untuk berhadapan langsung dengan fenomena perubahan jaman, ketika otentisitas tradisi sedang diuji ketahanannya oleh kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi. Kampus UI Depok, 25 November 2011 x


Suasana kampung Takpala (Kontributor: Harindra Mahutama)

xi


Ekskursi Alor, Sebuah Ide Awal

xii

K

ebudayaan merupakan harta tak ternilai yang dimiliki oleh bangsa ini. Dari Sabang hingga Merauke, warna warni kebudayaan telah mengiringi kehidupan masyarakat Indonesia. Pemisahan daratan oleh lautan, serta keberadaannya di iklim tropis menjadikan perbedaan yang kentara antara budaya suatu daerah dengan daerah lainnya. Tentu saja dari perbedaan karakter ini akan menghasilkan bentukan bangunan rumah adat yang berbeda pula. Ekskursi kemudian lahir dengan gagasan untuk merekam dan mempelajari setiap bangunan adat tersebut. Tercatat dalam buku hasil ekskursi tertua yang kami temukan di perpustakaan jurusan, kegiatan ini setidaknya telah dilaksanakan sejak tahun delapan puluhan. Bisa dibayangkan dari tahun delapan puluhan hingga dua ribu sebelas, sudah berapa kegiatan ekskursi yang terlaksana namun belum dapat mencover seluruh arsitektur tradisional di negara kita ini. Menggambarkan sesungguhnya betapa negeri kita ini kaya akan keberagaman budayanya. Ekskursi yang dilakukan mahasiswa Arsitektur FTUI ini dalam rangka mempelajari dan menelusuri bangunan tradisional di daerahdaerah di Indonesia, baik itu yang masih bertahan dan digunakan hingga saat ini maupun yang telah tersisa berupa jejak-jejak saja. Pengumpulan data dilakukan dengan membentuk tim-tim yang masing-masing memiliki tugas tertentu. Ada tim yang bertugas membuat sketsa, umumnya untuk merekam data-data mikro seperti detail bangunan, dimensi serta luasan bangunan, denah potongan tampak, dan sebagainya. Lalu ada tim fotografi yang bertugas menangkap momen-momen tertentu yang dilakukan masyarakat setempat di ruang pada kampung ataupun rumahnya. Tim pola kampung dibentuk dengan tugas mencatat pengukuran-pengukuran secara makro, yaitu keseluruhan kampung yang kami kunjungi. Ada pula tim wawancara yang sesuai namanya, bertugas mencari data dengan berbincang dengan warga sekitar. Kemudian ada tim video yang bertugas untuk merekam seluruh kegiatan kami selama tinggal di kampung tujuan tersebut.


Dalam empat tahun terakhir, kegiatan ekskursi telah dilaksanakan empat kali dengan tujuan Trowulan, Sumba, serta Banjar dan pada kali ini tim Ekskursi 2011 memutuskan untuk berkunjung ke Alor, Nusa Tenggara Timur. Pulau Alor dipilih sebagai daerah tujuan ekskursi kali ini sebab secara umum merupakan salah satu daerah yang memiliki kebudayaan unik dan bentuk permukiman asli di Indonesia. Keunikan budaya di Alor terutama pada masyarakatnya yang dikenal sebagai kaum penari tertua. Salah satu tarian yang gemar dilakukan adalah tari Lego-lego. Lego-lego ini konon digunakan sebagai media musyawarah apabila sedang ada permasalahan di kampung. Karena itulah tarian ini begitu tertanam mendalam di jiwa masyarakat Abui. Tarian ini menjadi sumber penghidupan bagi kehidupan masyarakat Abui yang damai, serta berlaku juga sebaliknya dengan begitu tarian ini terus lestari sepanjang generasi berikutnya. Menggunakan dasar pemikiran tersebut, kami lalu menjadi ingin tahu apakah tarian ini begitu mendalamnya sehingga tercipta bentukan ruang tersendiri dalam perkampungannya? Apakah ada konfigurasi ruang yang terbentuk dalam setiap rumah dan pola kampungnya yang didasari dari kegiatan sebelum, saat dan sesudah menari lego-lego?Ekskursi Alor Living Celebration; Ketika gerak dan musik menyatu dalam keseharian dan arsitektur. Tagline kami yang menjadi panduan penelitian kali ini pun lahir dari pemikiran-pemikiran mengenai hubungan antara ruang ritual yang mungkin terbentuk tersebut. Dalam empat tahun terakhir, kegiatan ekskursi telah dilaksanakan empat kali dengan tujuan Trowulan, Sumba, serta Banjar dan pada kali ini tim Ekskursi 2011 memutuskan untuk berkunjung ke Alor, Nusa Tenggara Timur. Pulau Alor dipilih sebagai daerah tujuan ekskursi kali ini sebab secara umum merupakan salah satu daerah yang memiliki kebudayaan unik dan bentuk permukiman asli di Indonesia. Keunikan budaya di Alor terutama pada masyarakatnya yang dikenal sebagai kaum penari tertua. Salah satu tarian yang gemar dilakukan adalah tari Lego-lego. Lego-lego ini konon digunakan sebagai media musyawarah apabila sedang ada permasalahan di kampung. Karena itulah tarian ini begitu tertanam mendalam di jiwa masyarakat Abui. Tarian ini menjadi sumber penghidupan bagi kehidupan masyarakat Abui yang damai, serta berlaku juga sebaliknya dengan begitu tarian ini terus lestari sepanjang generasi berikutnya. Menggunakan dasar pemikiran tersebut, kami lalu menjadi ingin tahu apakah tarian ini begitu mendalamnya sehingga tercipta bentukan ruang tersendiri dalam perkampungannya? Apakah ada konfigurasi ruang yang terbentuk dalam setiap rumah dan pola kampungnya yang didasari dari kegiatan sebelum, saat dan sesudah menari lego-lego?Ekskursi Alor Living Celebration; Ketika gerak dan musik menyatu dalam keseharian dan arsitektur. Tagline kami yang menjadi panduan penelitian kali ini pun lahir dari pemikiran-pemikiran mengenai hubungan antara ruang ritual yang mungkin terbentuk tersebut.

xiii


Apabila dugaan kami diatas benar, maka seharusnya ada ruang yang terbentuk saat kegiatan lego-lego tersebut dilakukan. Umumnya ruang yang terbentuk dalam sebuah pola kampung selalu mengikuti dan menghormati ritual-ritual utama masyarakatnya. Dengan demikian menurut hipotesa kami, dalam ritual menari lego-lego ini akan menghasilkan ruang-ruang tertentu. Selaku upacara adat utama, sudah tentu tarian ini seharusnya dilakukan pada tempat yang dianggap sakral, atau titik pusat bagi kampung tersebut. Atau justru lokasi yang selalu digunakan untuk menari inilah yang dianggap sebagai tempat sakral. Kemudian saat ruang sakral telah tercipta, maka konfigurasi unsur-unsur pembentuk suatu kampung adat akan mengikuti lokasi ruang sakral tersebut. Sementara ruang sakral sendiri ada berbagai kemungkinan bentuk. Apakah ruang ini berupa titik pusat, ataupun berupa garis linear memanjang? Sebagai titik pusat, maka rumah-rumah akan tersusun mengelilingi ruang sakral tersebut. Namun dengan susunan seperti apa, berapa jumlah rumah yang ada, bagaimana interior dari rumahnya, makna apa yang tersirat didalamnya, semua seharusnya memiliki keterkaitan dengan tarian lego-lego. Berbekal pertanyaan dan rasa penasaran tersebut, kami berangkat menuju Alor pada tanggal 27 Juli 2011. Perjalanan yang kami tempuh sangat jauh dan melelahkan. Kami harus melewati pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Lembata, dan pada hari ke sembilan barulah kami akhirnya menginjakkan kaki di tanah Alor. Lalu dengan banyaknya pertanyaan dan keterbatasan waktu yang kami miliki, kami harus memutar otak agar semua tanda tanya dapat terjawab dengan baik. Pembentukan tim dengan fungsi masing-masing tentu dapat membantu dalam pencarian jawaban atas pertanyaan kami. Tim yang terbentuk sama seperti yang saya sebutkan sebelumnya, yaitu tim wawancara, tim sketsa, tim fotografi, tim pola kampung, serta tim video dokumenter. Mendatangi daerah baru berarti menemui dan mengalami berbagai pengalaman unik. Akan tetapi bukan berarti semua materi dapat kami masukkan dalam buku ini. Agar pencarian materi terfokus, maka kami membuat batasan-batasan materi. Dalam hal ini fokus utama kami adalah makna dan bentuk ruang ritual sebagai fokus, dengan latar belakang keseharian masyarakat dan arsitektur pada kampung tersebut. Setelah itu kami mencari kampung-kampung mana yang dapat kami teliti, dan dari ratusan kampung yang ada, kami hanya memilih tiga. Kampung Takpala kami jadikan sebagai lokasi penelitian utama, berhubung hanya pada kampung inilah rumah serta konfigirasi pola kampungnya masih sangat jelas, sementra dua kampung lain, Bangpalola dan Helangdohi sebagai bahan perbandingan. Pada akhirnya setelah selama enam belas hari berada di Alor, kami harus kembali ke Jakarta untuk memproses data-data yang kami dapatkan. Hasil dari data tersebut salah satunya adalah buku ini. Akan tetapi enambelas hari sesungguhnya terlalu singkat untuk sebuah penelitian, apabila dibandingkan dengan pihak lain yang bisa melakukannya dalam jangka waktu tahunan. Data yang kami dapatkan pun bersifat sementara saja. Bagaimanapun waktu terus berjalan dan kebudayaan terus berubah seiring dengan manusianya. Dengan demikian sesungguhnya buku ini hadir bukan sebagai pembatas ataupun penentu yang dapat digunakan untuk melahirkan teori-teori. Penelitian lanjutan atas tema kami dan daerah Alor sendiri masih sangat perlu dilakukan kedepannya. xiv


Tim Ekskursi Alor bersama warga Takpala (Kontributor: Mirzadelya Devanastya)

xv


(Foto oleh: Harindra)


bab 1 Kampung Takpala P ermata di timur Indonesia menjadi sebutan bagi tanah Alor. Disaat segala hal di negara ini cenderung menghadapkan kiblatnya ke barat, Alor memancarkan cahayanya sendiri melaui keindahan panorama yang tak biasa. Hamparan kepulauan ini menyimpan potensinya di laut, gunung, dataran indah yang beriklim kering namun memiliki eksotikanya tersendiri. Dengan 54 bahasa yang berbeda. Keramahan warga Alor terhadap pendatang sangatlah mencengangkan, seakan satu darah yang sama mengalir antara kita dan mereka.Tiap insan alor memiliki keteguhan hati dalam menjaga utuh warisan nenek moyang dan roh leluhur mereka yang sangat berharga. Takpala, Bangpalola, dan Helandohi adalah 3 desa adat yang berbicara tentang kehidupan melalui ritual dan kebudayaan.Dengan kekhasan masing - masing, dan Mezbah, sebuah tempat sakral, menjadi benang merah penghubung ketiga desa tersebut. Sebuah simbol kepercayaan kepada terhadap roh leluhur mereka. Tiap insan alor memiliki keteguhan hati dalam menjaga utuh warisan nenek moyang dan roh leluhur mereka yang sangat berharga. Takpala, Bangpalola, dan Helandohi adalah 3 desa adat yang berbicara tentang kehidupan melalui ritual dan kebudayaan.Dengan kekhasan masing - masing, dan Mezbah, sebuah tempat sakral, menjadi benang merah penghubung ketiga desa tersebut. Sebuah simbol kepercayaan kepada terhadap roh leluhur mereka.


Alor, Pulau Seribu Moko

K

abupaten alor adalah kabupaten yang terletak paling Timur dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayahnya dibatasi Laut Banda dan Laut Flores di sebelah Utara, Selat Lomblen di sebelah Barat, Selat Ombai di sebelah Selatan, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat di sebelah Timur. Kabupaten Alor sendiri merupakan kabupaten yang berupa kepulauan. Banyaknya pulau yang menyusun kabupaten Alor dengan selat-selat diantaranya, membuat kehidupan masyarakat Alor tidak lepas dari laut. Hasil alam yang paling banyak dihasilkan merupakan hasil kelautan. Pulau Alor sendiri merupakan Pulau terbesar Panorama Laut Kepulauan Alor (Kontributor: Mirzadelya Devanastya)

2

di kepulauan Alor yang mencakup pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur bagian Timur. Kenampakan alam di kedua pulau ini tidak jauh berbeda. Daratannya tidak rata, berbukit-bukit, dan tanahnya berbatu, kadang disertai dengan karang. Topografi yang beragam membuat iklim di Alor bervariasi, tergantung ketinggiannya. Satu-satunya daerah yang rata yang cukup luas adalah daerah di sekitar ibukota kabupaten Alor, Kalabahi. Kalabahi adalah kota paling ramai di pulau ini, sedangkan di Pulau Pantar, kota yang terbesar adalah Baranusa.


Selain daratan berbukit-bukit yang eksotis, Alor juga terkenal akan keindahan pantai dan lautnya yang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Pantainya bahkan dikenal sebagai salah satu yang paling indah di Indonesia. Sebut saja Pantai Mali, Pantai Deere dan Pantai Maimol. Pasir putih disertai dengan air laut yang jernih menjadi daya tarikutama pantai-pantai di sini. Untuk alam bawah lautnya, Alor dikenal memiliki 16 titik selam yang menakjubkan yang disebut “Baruna’s dive sites at Alor�. Alor memiliki sebuah benda yang menjadi simbol pusaka daerah yaitu Moko. Moko merupakan semacam drum yang terbuat dari perunggu dan

mempunyai nilai sejarah yang sangat besar untuk masyarakat alor. Moko sering digunakan sebagai mas kawin, dan dihadirkan dalam upacara – upacara tertentu. Moko disebut sebut sebagai peninggalan bersejarah dari zaman perunggu.

Moko (Kontributor: Arichi Christika)

3


Kampung Takpala, Desa Lembur Barat, Kabupaten Alor

P

erjalanan ke Takpala dari Bandar Udara MaliAlor bisa ditempuh dengan ojek sepeda motor. Jika dengan kendaraan umum, dari Terminal Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, bisa menggunakan bus jurusan Bukapiting, turun di Takalelang. Perjalanan dari Takalelang menuju Takpala memerlukan waktu sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Setelah perjalanan yang cukup terjal, kampung ini menawarkan sensasi pemandangan yang luar biasa. Berdiri tegak di lereng bukit pada ketinggian kurang lebih 150 meter di atas permukaan laut, di depannya terhampar keindahan Teluk Benlelang yang mempesona. Sebagai sebuah kampung tradisional, Kampung Takpala saat ini memiliki 16 rumah adat dengan para penghuninya yang berasal dari suku Abui. Kampung Tradisional Takpala telah menjadi aset wisata yang sudah dilindungi, diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Alor sebagai cagar budaya. Namun, meski demikian para keturunan suku Abui yang tinggal di Kampung Takpala tetap melestarikan setiap tradisi dalam ritual - ritual adatnya, misalnya saja saat pembukaan ladang baru, hari panen,

4

dan hari-hari istimewa lainnya dalam sebuah bentuk tarian yang disebut dengan tari lego-lego. Tarian ini dilakukan secara massal dengan berangkulan secara melingkar semalam suntuk. Tari Lego-lego merupakan tarian penting suku Abui dan Suku lainnya di wilayah Alor. Tarian ini merupakan lambang kekuatan persatuan, persaudaraan, serta kekeluargaan masyarakat Alor. Kampung Takpala saat ini memiliki 16 kepala keluarga dan setiap keluarga terdiri dari laki-laki dan kaum perempuan serta anak-anak dan lansia. Kampung ini menjadi kampung leluhur bagi mereka sebab hanya para lansia dan beberapa kepala keluarga yang memutuskan untuk tetap tinggal sedangkan sisanya memiliki rumah ladang di dekat tempat-tempat mereka bekerja. Atmosfir kampung Takpala terasa berbeda dengan nuansa kampung lainnya. Warga kampung ini memiliki kekhasan pada bibir dan gigi mereka yang merah dan nyaris kehitaman. Hal ini dikarenakan kebiasaan untuk selalu mengunyah sirih pinang dan kapur secara bersamaan untuk memperkuat gigigigi mereka.


Ke 16 rumah tradisional Kampung Takpala hingga kini tetap dapat hadir dan berdiri kokoh dengan hanya mengandalkan pelita sebagai pencahayaan di malam hari dan struktur bangunan yang alami, yang masih memanfaatkan material sekitar serta ikatan-ikatan alami dengan rotan, bambu, dan kulit kayu. Budaya lokal tadi kini harus berhadapan dengan perkembangan jaman yang menjadikan

kampung ini sebagai tujuan wisata bagi turis-turis baik dalam negeri maupun mancanegara. Saat berkunjung pada siang hari, kampung ini cukup sepi karena kesibukan berladang dan menjaring ikan ke daerah pantai yang telah menjadi keseharian para warga. Di bulan Juni, masyarakat kampung biasanya berladang jagung dan umbi umbian.

Kampung Takpala (Kontributor: Talisa Dwiyani)

5


6


Tarian Lego-lego (Kontributor: Arichi Christika)

7


Sekilas Antopologi tentang Masyarakat Takpala

S

esuai dengan letak geografisnya, fisiologi masyarakat Abui, desa Takpala memang identik dengan karakteristik fisik masyarakat Indonesia bagian timur pada umumnya. Warna kulit yang hitam namun tetap terlihat eksotis, jenis rambut keriting dan ikal yang memahkotai kepala mereka, lengkap dengan senyum ramah yang selalu merona lebar di bibir mereka menjadi salah satu identitas utama fisiologi masyarakat Abui, masyarakat yang penuh dengan keterbukaan, keramahtamahan, dan kebersamaan ini. Sulitnya kondisi geografis desa Takpala yang berada di ketinggian dengan medan yang didominasi batu kerikil, bukan menjadi masalah besar untuk mereka. Masyarakat Takpala harus mendaki untuk dapat sampai ke ladang dan memperoleh bahan makanan sehari – hari. Hal inilah yang menjadikan tubuh mereka terlihat kuat dan tak mudah lelah, baik itu perempuan maupun laki – laki, anak – anak maupun orang dewasa. Sebenarnya tidak hanya faktor keturunan dan kondisi geografis yang akhirnya mempengaruhi kondisi fisik masyarakat Abui. Sirih pinang sebagai salah satu makanan khas di pulau Alor juga menjadi faktor yang mempengaruhi. Warna bibir seseorang yang memakan sirih pinang biasanya akan berwarna merah karena adanya percampuran antara daun sirih, pinang, kapur, gambir dan sedikit tembakau di dalamnya. Sirih dan pinang ini dipercaya juga dapat memperkuat gigi. Wajah (Kontributor: Talisa Dwiyani)

8


9


Tiga Buah Batu yang Melambangkan Ketiga Suku di Kampung Takpala (Kontributor: Mirzadelya Devanastya)

Dalam masyarakat Alor, pembentukan klan didasarkan dari garis keturunan ayah dan masing – masing menetap di dalam satu rumah adat. Seorang laki – laki dapat memiliki lebih dari satu istri, namun keluarga dari istri yang berbeda harus tinggal di lain rumah, sebab mereka mempercayai akan timbul konflik jika keluarga inti yang berbeda tersebut disatukan dalam satu atap. Saat menginjakkan kaki di Kampung Takpala, pandangan akan tertuju pada mesbah yang seketika mencuri perhatian dan seakan menjadi pusat kampung karena dikelilingi rumah tadisional Takpala yang mengelilinginya. Pada mesbah yang identik dengan ritual 10

dan nilai sakral tersebut terdapat tiga batu tertanam dengan ukuran beragam yang terletak sejajar dan berdekatan. Pak Adam yang merupakan salah satu tetua suku pernah menceritakan, “Tiga batu diatas mesbah melambangkan bagaimana hubungan kekerabatan yang dimiliki oleh Suku Aweni, Suku Kapitang, dan Suku Marang. Pada dasarnya, ketiga suku memiliki hubungan persaudaraan yang kuat dan saling melengkapi�. Penjelasan Tetua Adat yang dikenal dengan nama Pak Adam tersebut kemudian memberikan pengertian awal mengenai struktur masyarakat Takpala.


Pak Adam (Kontributor: Talisa Dwiyani)

11


Posisi dari masing – masing suku yang menjadi unsur pembentuk masyarakat Kampung Takpala dijelaskan sebagai berikut: Suku Aweni: Suku Aweni dikenal sebagai suku yang terdiri raja / bangsawan. Suku Aweni adalah suku yang paling dituakan. Suku Marang: Suku Marang dikenal sebagai suku yang sangat dipercaya oleh Suku Aweni. Biasanya bertindak sebagai perantara. Suku Kapitang: Suku Kapitang dikenal sebagai suku yang maju dalam peperangan dan akhirnya dikenal sebagai suku perang. Mereka berasal dari suku-suku yang berbeda na-

Hubungan ketiga suku (Kontributor: Tim Ekskursi Alor)

12

mun membentuk sejarah Kampung Takpala secara bersama-sama. Setiap suku memiliki kewenangannya sesuai kedudukannya masing – masing. Sebagai kalangan bangswan misalnya, suku Aweni memberi perintah kepada suku Marang untuk disampaikan kepada suku Kapitang yang kemudian akan pergi berperang. Pemerintahan tradisional Abui dibentuk atas dasar kekeluargaan dan gotong royong yang masih terus terasa di masyarakat Takpala hingga sekarang. Masyarakat Kampung Takpala percaya bahwa rasa kekeluargaan dan gotong royong antar sesama akan membentuk persatuan dan kesatuan yang utuh diantara mereka. Segala perbedaan yang ada justru menguatkan mereka untuk terus merajut kehidupan bersama dari dulu, kini, sampai nanti. Mereka berasal dari suku-suku yang berbeda namun membentuk sejarah Kampung Takpala secara bersama-sama. Setiap suku memiliki kewenangannya sesuai kedudukannya masing – masing. Sebagai kalangan bangswan misalnya, suku Aweni memberi perintah kepada suku Marang untuk disampaikan kepada suku Kapitang yang kemudian akan pergi berperang. Pemerintahan tradisional Abui dibentuk atas dasar kekeluargaan dan gotong royong yang masih terus terasa di masyarakat Takpala hingga sekarang. Masyarakat Kampung Takpala percaya bahwa rasa kekeluargaan dan gotong royong antar sesama akan membentuk persatuan dan kesatuan yang utuh diantara mereka. Segala perbedaan yang ada justru menguatkan mereka untuk


K

Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Kampung Takpala

etika menilik sejarah Kampung Takpala, suku-suku pada Kampung Takpala tidak lepas dari kisah Kerajaan Abui yang memiliki uraian panjang dan akhirnya menyusun cerita awal mula masyarakat Takpala. Cerita mengenai Kerajaan Abui diawali dengan tibanya suatu rombongan penduduk dari sebelah barat Pulau Alor menggunakan perahu dan menyinggahi beberapa tempat antara lain di Bakalang Pura, Alor Kecil, dan Kenarilang. Rombongan ini kemudian berlayar mengelilingi Pulau Alor dan akhirnya tiba di pantai sebelah selatan Pulau Alor. Mereka memasuki pedalaman dan memilih satu daerah kecil diatas pegunungan yang dikenal dengan nama Abui. Abui berarti ‘pertama’, yang dimaksud adalah raja pertama yang menempati tempat tersebut.

Keadaan masyarakat cukup sederhana dan terdiri dari jumlah penduduk yang cukup kecil. Akan tetapi kemudian masyarakatnya terus berkembang dan terbentuk berbagai kelompok keluarga. Salah satu keluarga yang terbentuk terdiri dari ayah, yang benama Manimoti dan ibu, bernama Palakawati. Keduanya memiliki empat orang anak, masingmasing Alokamani, Padamani, Abui, dan Muna. Keempat bersaudara tersebut berperan dalam membentuk kelompok masyarakat Abui, salah satunya masyarakat Takpala, sekaligus menjadi Kepala Suku. Dengan demikian susunan masyarakat Abui terdiri atas kepala-kepala suku bersama keluarganya dan masyarakat bawah/ rakyat biasa. Rumah Kolwat dan Kanuruat (Kontributor: Kurnia Fajar Agriza)

13


Takpala adalah sebuah kampung yang dulunya bernama Kampung Wakalelang. Asal nama Wakalelang itu sendiri merupakan gambaran dari keadaan alam yang dipenuhi oleh banyak pohon kelapa. Waka berarti kelapa dan Lelang berarti kampung. Seperti halnya kampung adat lainnya, kampung ini terletak di atas gunung. Letaknya yang lebih tinggi dimaksudkan agar masyarakat desa terhindar serangan dari suku lain. Wakalelang merupakan kampung yang terbilang cukup besar. Hal ini dilihat dari jumlah masyarakatnya yang berjumlah sekitar 50 kepala keluarga. Adapun elemen pembentukan kampung pada Kampung Takpala adalah sebagai berikut : Mesbah: Mesbah berwujud sebuah lingkaran batu kali bertumpuk yang mempunyai ketinggian sekitar 1 meter. Di tengah – tengah mesbah ditanam 3 batu dalam posisi berdiri, yang menyimbolkan ketiga suku dalam struktur masyarakat Abui. Kini

masyarakat Abui sudah banyak yang memeluk agama katolik, namun keberadaan mesbah tidak dapat mereka tinggalkan dan masih disucikan, sebab mereka mempercayai bahwa mesbah merupakan medium penghubung antara mereka dan roh dewa atau leluhur. Mesang: Mesang merupakan sebuah ruang publik yang terletak di pelataran terbuka, dan letaknya sangat strategis. Mesang berfungsi sebagai sarana komunikasi atau kontak sosial di dalam kehidupan bermasyarakat suku Abui. Pelataran Mesang berbentuk bulat, dengan diameter memanjang sekitar12m. Ditengah – tengah mesang terdapat mesbah yang berupa tumpukan batu. Rumah – rumah di takpala harus dapat mengakses mesang dan mesbah. Karena pola mesbah dan mesang yang melingkar, maka pola rumah - rumah yang berorientasi padanya pun akan membentuk lingkaran.

Pola Kampung Takpala dan Bangunan - Bangunannya (Sumber: dokumentasi tim pola kampung)

14


Fala: Rumah Gudang (Kontributor: Arichi Christika)

15


Rumah Kolwat: Di dekat mesang terdapat dua rumah dewa yang diletakkan bersebelahan. Rumah itu disebut rumah Kolwat dan Kanuruat. Rumah Kolwat adalah rumah yang dapat dimasuki siapa saja, baik laki – laki, perempuan, maupun anak – anak. Rumah Kolwat hanya berfungsi saat ada upacara – upacara adat. Didalam rumah yang berbentuk bujur sangkar ini tersimpan alat – alat yang digunakan untuk perlengkapan upacara adat. Dari tampilan fisik, rumah ini merupakan rumah dengan cat hitam. Rumah Kanuruat: Berbeda dengan rumah Kolwat, rumah Kanuruat tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang. Di dalam rumah ini tersimpan benda – benda pusaka seperti moko, periuk, tombak, dan perlengkapan upacara adat lainnya, yang disimpan dan diwariskan secara turun temurun. Rumah ini adalah rumah dewa yang berwarna cat putih. Sejarah mencatat kedatangan Jepang pada tahun 1942. Pada saat itu, wilayah Wakalelang meluas karena sebagian masyarakat kampung Wakalelang bepindah tempat ke arah gunung yang lebih bawah. Perubahan wilayah dan keadaan alam yang tidak lagi dipenuhi pohon kelapa membuat mereka mengganti nama desa menjadi Takalelang. Asal nama tersebut berasal dari senjata bernama Taka, tombak yang mereka gunakan sebagai senjata melawan prajurit Jepang yang menginvasi daerah suku – suku adat di Alor. Pada saat itu kepercayaan yang mereka anut masih berupa aliran animisme. Bertahun – tahun kemudian Indonesia merdeka dan desa berubah nama lagi menjadi Takpala, namun dengan areal kampong yang sama dengan sebelumnya. Pemerintahan Orde Baru menerapkan kebijakan Gestapu 16

yang berisi arahan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memeluk agama. Melalui proses masuknya agama ke kampung ini membuat perubahan kepercayaan pada masyarakat Takpala dari aliran animisme ke agama Katholik. Proses pembangunan kampung Takpala selesai di tahun 1987, dengan adanya pemindahan mezbah. Setelah kampung Wakalelang ditinggalkan, kini seluruh rumah tinggal disana telah hancur karena tidak adanya orang yang mendiami dan merawat rumah. Seiring berjalannya waktu kampung Takpala mengalami perkembangan. Pola rumah sirkular yang memusat ke arah mesbah berganti menjadi pola linear dengan mesbah menjadi titik tengah. Hal ini disebabkan oleh keadaan alam di lokasi baru untuk kampung yang memiliki kontur yang bervariasi sehingga pola melingkar yang dahulu ada berubah menjadi linier. Faktor lain penyebab berubahnya pola kampung ini adalah keadaan suku – suku adat lain pada sudah tidak lagi berperang sehingga fungsi pertahanan tidak lagi menjadi terlalu penting. Pada tahun 1984 – 1987, nilai tradisi di kampung ini mulai pudar. Keberadaan mesbah pun kurang dipelihara sehingga mesbah yang ada diperbaiki. Kerusakan lain yang ada pada kampung juga diperbaiki dengan bantuan pemerintah, yang selanjutnya menjadikan kampong ini sebagai salah satu tujuan pariwisata. Peningkatan arus pariwisata membuat pemerintah merasa perlu untuk menambah fasilitas yang mendukung. Fasilitas WC dibangun di kedua ujung sisi kampung, sebab suku Abui pada saat itu masih menggunakan lubang di tanah sebagai tempat mereka buang air. Prosesi tarian Lego – Lego yang dilakukan suku Abui pada saat perayaan pun dianggap sebagai hal yang menarik, oleh sebab itu ada tahun 1987 pemerintah membangun kursi-kursi di depan mesbah untuk tempat duduk pengunjung


yang ingin menyaksikan prosesi tersebut. Seiring bertambahnya anggota Kampung Takpala, dibangun rumah – rumah fala baru sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1993 dibangun satu rumah fala di barat dan tahun 2002 dibangun dua rumah di depan mesbah. Akan tetapi gempa pada tahun itu menghancurkan rumah yang baru dibangun tersebut. Rumah fala tidak dibangun kembali di

tempat yang sama, disebabkan permintaan pemerintah untuk mengosongkan area depan mesbah yang memiliki akses langsung pemandangan laut, sebagai penambah daya tarik kampung. Akhirnya hanya satu rumah fala yang dibangun kembali dan direlokasi di sebelah timur. Pada tahun 2006 dibangun lagi dua rumah di sebelah barat. Keadaan ini berlangsung sampai sekarang.

Tahun 1984 – 1987

Tahun 2002 setelah gempa

Tahun 1987

Tahun 2006

Tahun 1993

Tahun 2011

Perkembangan Pola Kampung Takpala (Sumber: dokumentasi tim pola kampung)

Tahun 2002 sebelum gempa

17


18


Kampung Takpala (Kontributor: Didha Igashi Marindra)

19


(Foto oleh: Talisa Dwiyani)


bab 2 Ruang Tinggal dan Keseharian Masyarakat Takpala

F

ajar memulai ke-ada-an kampung Takpala, uma fala terbawa dalam siluet yang menentramkan hati. Bagai memanggil yang lelap, matahari terus menyinari tanah tidak bertuan di Alor Barat ini. Tidak lama waktu yang diperlukan bagi mentari untuk menyentuh aquikiding, aquifoka, dan akhirnya membangunkan si lelap di batomang di tingkat falahomi. Seakan menjadi pengisi hari yang menggembirakan, sang Ibu mencabuti bulir Fat (jagung) di Likhome, sambil sesekali mengaduk tungku berisi siengkay (padi). Si Bapak dan anak bermain di liktaha menikmati kopi Alor yang diambil sendiri dari ladang.


Ruang Keseharian Masyarakat Takpala

M

asyarakat Takpala di Desa Lembur Barat pada umumnya memiliki dua jenis rumah tinggal. Satu, yang disebut dengan rumah gudang atau rumah lopo. Terletak didaerah yang lebih tinggi daripada rumah-rumah dengan material yang lebih modern. Rumah–rumah yang sudah lebih modern tersebar semakin mengarah ke sisi pantai. Rumahrumah baru yang biasanya separuh dindingnya terbuat dari bata plester dan separuh lagi terbuat dari anyaman bambu atau rotan, beratap seng dan sudah memiliki pintu dan jendela sebagai bukaan. Biasanya, masyarakat takpala menyimpan barang-barang sehari-hari serta bahan makanan jagung dan beras dirumah gudang. Dalam satu hari, masyarakat takpala bisa turun-naik antara rumah modern dan tradisionalnya sebanyak beberapa kali selama melaksanakan kegiatan sehari-harinya. Namun, setiap ada kegiatan yang harus dilakukan satu kampung, misalnya dalam rangka perayaan-perayaan tertentu, ataupun ada pertemuan atau rapat menyelesaikan masalah yang menyangkut kepentingan satu kampung.

22


Suasana di Sekitar Rumah (Kontributor: Daka Dahana)

23


Kampung lain yang menjadi lokasi observasi tim ekskursi adalah Kampung Bampalola, yang mengandung arti kampung pamali. Kampung yang dihuni masyarakat asli Bampalola kini terbagi menjadi 2 jenis kampung: kampung lama dan kampung baru. Kampung lama terletak di dataran yang lebih rendah, sementara kampung baru terletak di bagian ujung perbukitan Rumah adat Lakatuil, yang kini ditinggali oleh keturunan raja, anak sulung dari suku adat, berbahan dasar kayu nangka, kayu jati,dan kayu kenari. Kampung lama dan kampung baru di Helangdohi berada di lokasi yang sama, hanya saja terdapat bagian-bagian dari kampung yang disyaratkan hanya boleh dibangun dengan bangunan adat suku saja, wilayah inilah yang dikenal dengan kampung lama.

24

Kampung takpala masih memiliki 16 rumah tradisional. Rumah gudang atau rumah lopo atau rumah fala memiliki tipologi atap tinggi memuncak seperti piramid. Terdapat lebih kurang 16 kepala keluarga dengan jumlah jiwa lebih kurang 30 orang. Penghuni rumah lopo biasanya terdiri dari keluarga inti, total 4-6 orang dalam satu rumah. Ketika anak-anak mulai besar dan menikah, mereka akan membangun rumah baru bagi keluarga yang baru. Walaupun masyarakat kampung takpala sudah memeluk agama Katolik, atribut rohani hanya digunakan di badan dan tidak terdapat atribut rohani di dalam rumah. Rumah gudang dan rumah lopo terletak mengelilingi mesbah dan rumah adat. Selain rumah fala, terdapat juga rumah tofa yang merupakan rumah panggung sementara yang hanya terdiri dari satu level. Rumah tofa biasa digunakan selama pembangunan fala berlangsung. Karena masih bersifat sementara, rumah tofa tidak bertahan lebih lama dari rumah fala. Bagian yang juga khas dari rumah fala adalah, sebuah simbol dibagian puncak rumah yang menggambarkan tangan yang menengadah keatas memohon berkat kepada yang Maha Kuasa agar turun memenuhi rumah. Selain rumah tinggal untuk masing – masing keluarga, di desa ini juga terdapat dua rumah adat yang disucikan dan ditanamkan leluhur mereka sejak awal, Rumah Kolwat dan Konoruat yang berada tepat di belakang mesbah. Mayoritas masyarakat Takpala bekerja sebagai petani. Pagi hari pada jam delapan pagi masyarakat Takpala bersama-sama secara berkelompok pergi ke ladang yang terletak di gunung tepatnya di ketinggian lebih atas dari desa mereka. Mereka menanam bahan makanan sendiri seperti jagung dan padi serta tumbuh-tumbuhan lain yang digunakan sebagai makanan atau sayur mayur. Untuk menyirami padi, mereka masih tergantung musim hujan. Di sana mereka membuka lahan untuk kebun ubi, pisang, tembakau, dan lain-lain. Kegiatan berladang ini hanya dilakukan seminggu sekali karena kegiatan ini cukup berat bagi mereka


Menuju ke Ladang (Kontributor: Arichi Christika)

25


Menimba Air (Kontributor: Talisa Dwiyani)

26


Biasanya kegiatan ini dilakukan oleh kaum bapak. Seringkali ibu membantu dalam penggarapan ladang. Selama berladang, mereka memetik atau memotong jagung sebanyak satu keranjang besar untuk persediaan bahan makanan selama seminggu. Sekitar pukul 5 sore barulah mereka turun untuk pulang ke rumah. Selain untuk berkebun, masyarakat Takpala pergi ke hutan untuk mengambil buah asam atau mencari kayu api. Selain berkebun, ada juga masyarakat Takpala bekerja sebagai nelayan. Hal itu disebabkan lokasi desa yang berada di antara gunung dan laut. Kegiatan melaut biasanya dilakukan kaum bapak. Mereka mulai pergi melaut pada malam hari untuk menangkap ikan dengan menggunakan rompong (sejenis perahu untuk satu orang). Biasanya kegiatan nelayan dilakukan untuk mengisi waktu luang sambil menunggu hasil panen. Dahulu masyarakat Abui ada yang berburu untuk mencari makan. Mereka menggunakan bantuan anjing dalam mencari mangsa. Sudah jarang masyarakat Abui yang berburu. Saat ini sudah tidak ada masyarakat Takpala yang berburu. Lain halnya yang terjadi di Desa Bampalola, kegiatan berburu masih dilakukan bagi beberapa orang, terutama berburu rusa. Ketika waktu senggang, biasanya bapak-bapak melakukan bersih-bersih rumah atau mengobrol

bersama tetangga atau teman lainnya. Sementara kegiatan sehari-hari kaum ibu yaitu memasak, mengurus anak-anak sambil mengupas buah asam. Memasak dilakukan di dalam rumah tingkat kedua. Mereka memasak menggunakan tungku dan kayu bakar. Di langit-langit rumah terutama di bagian tengah terdapat tempat untuk menyimpan bumbu dapur. Tempat tersebut terbuat dari bambu. Walaupun makanan pokok mereka ialah nasi dan jagung, mereka lebih sering mengkonsumsi sirih pinang. Bagi mereka, tak makan nasi tak apa-apa, asalkan makan sirih pinang.

Memasak (Kontributor: Andrea Theodore)

27


Tungku Dalam Rumah (Kontributor: Didha Igashi Marindra)

28


29


Dikarenakan Kampung Takpala dijadikan tempat pariwisata oleh pemerintah, maka tak heran bila banyak turis yang mengunjungi desa ini. Kunjungan turis tersebut dimanfaatkan masyarakat Takpala untuk mencari keuntungan dengan cara berjualan. Barang yang dijual merupakan barang khas Alor, seperti kain tenun Alor, cangkang kerang, sisir dari kayu, sendok kayu, vanili, kaca mata yang berbentuk seperti kaca mata renang, gelang atau kalung dari biji-bijian, manik-manik, berbagai ukuran dan bentuk tas dari anyaman bambu. Untuk kain tenun biasa digantung pada tali yang diikat antar pohon atau disampirkan dengan rumah gudang agar motif kain terlihat oleh pembeli dan menarik perhatian pembeli. Kunjungan turis memberikan dampak positif bagi masyarakat Takpala. Karena dari hasil penjualan, mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Masyarakat yang Berjualan Barang – Barang Kerajinan (Kontributor: Tim Pola Kampung)

30

Di Desa Bampalola, Kecamatan Alor Barat Laut, masyarakatnya masih melakukan sistem barter, pertukaran antar barang. Barter dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti menukar ikan dengan ubi. Kegiatan barter ini mash bisa diemukan di Pasar Baolang, Alor Barat Laut. Dahulu, masyarakat Abui menggunakan kulit kayu sebagai penutup tubuh. Hal itu dikarenakan pada masa itu mereka belum mengenal kain seperti saat ini. Saat ini, untuk kegiatan sehari-hari mereka memakai pakaian dari kain, seperti baju kaus, celana pendek. Sementara ketika upacara adat, mereka berganti pakaian berupa kain tenun. Karena untuk berkegiatan sehari-hari, baju kaus lebih nyaman dan tubuh mereka lebih tertutupi daripada menggunakan kain tenun.


Masyarakat yang Berjualan Barang – Barang Kerajinan (Kontributor: Didha Igashi Marindra)

31


B

agi masyarakat Takpala, memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka merupakan hal baik. Dengan demikian, mereka sudah sadar akan pentingnya pendidikan bagi generasi muda. Mayoritas anak-anak di Kampung Takpala duduk di Sekolah Dasar. Setiap jam 7 pagi mereka pergi bersekolah. Terdapat dua buah SD yang letaknya tidak jauh dari desa ini yaitu SD Inpres dan SD 32

GEMBIT (Gereja Masih Injilin Timur). Setiap hari anak-anak berjalan sejauh 1 km menuju sekolah. Jam 12 siang mereka sudah pulang. Ada juga SMP dan SMA yang jaraknya kurang lebih 5 km dari desa. Biasanya seusai sekolah anak-anak membantu orang tua atau bermain bersama teman-teman di halaman desa.


Bermain di Sekitar Kampung (Kontributor: Didha Igashi Marindra)

33


Bermain Kelereng (Kontributor: Harindra Mahutama)

34


Memang dunia anak-anak tak jauh dari bermain. Begitu pula yang terjadi pada anak-anak di Kampung Takpala. Permainan yang sering mereka mainkan yaitu bermain kelereng, dorong mobil-mobilan, membuat kalung atau gelang. Biasanya permainan kelereng dan dorong mobil-mobilan dilakukan oleh anak laki-laki. Sementara membuat kalung atau gelang bisa dilakukan anak laki-laki atau perempuan.

Bermain kelereng akan semakin seru bila tidak dimainkan sendirian, karena bersama teman akan ada rasa persaingan dan kebersamaan. Permainan dorong mobil-mobilan terbuat dari baterai bekas radio yang mereka buat sendiri. Baterai dijadikan roda lalu diberi tongkat sebagai pegangan untuk mendorong atau menggerakkan roda tersebut.

Berayun (Kontributor: Arichi Christika)

35


Membuat Kalung (Kontributor: Didha Igashi Marindra)

36


Kadang-kadang mereka membuat rangkaian biji-bijian untuk dijadikan kalung atau gelang. Biji yang mereka buat berasal dari sekitar tempat tinggal mereka, seperti biji petai cina, biji damar, biji pisang hutan. Mereka biasa bermain di sekitar mesbah tempat menari legolego dilaksanakan atau di tempat berjualan. Tentu saja mereka bermain ketika sedang tidak ada tari lego-lego di sekitar mesbah ataupun kegiatan berjualan. Selain itu, mereka memanfaatkan ban bekas untuk dijadikan ayunan. Ban bekas tersebut diikat menggunakan tali yang terhubung batang pohon.

Biji-bijian untuk bahan kalung (Kontributor: Didha Igashi Marindra)

37


Uniknya, walaupun di rumah tak ada listrik, beberapa masyarakat Takpala memilki telepon genggam. Sebuah teknologi masa kini yang telah menjadi kebutuhan utama. Agar telepon genggam tetap dapat menyala dan dipakai dibutuhkan listrik untuk meng-charge baterai telepon genggam. Maka setiap kali telepon genggam mereka akan atau telah habis baterai, mereka akan turun ke bawah menuju kampung baru dimana di kampung barulah listrik sudah ada. Ketika malam tiba, ketika bulan menggantikan matahari. Sinar bulanlah yang menerangi Kampung Takpala. Tak ada listrik, maka tak ada lampu sebagai sumber penerangan. Sebagai gantinya masyarakat Takpala menggunakan pelita. Pelita menggunakan minyak tanah yang diberi sumbu. Pelita tidak perlu tempat khusus untuk peletakkannya, sehingga pelita bisa diletakkan dimana saja. Ukuran pelita yang kecil membuatnya mudah dibawa-bawa. Begitu pula di desa Bampalola, Kecamatan Alor Barat Laut dan Desa Helangdohi, Pulau Pantar yang juga menggunakan pelita sebagai penerangan karena belum ada listrik.

Pelita (Kontributor: Talisa Dwiyani)

38


Adanya tungku di dalam rumah, yang terletak di tingkat dua, selain digunakan untuk memasak, bisa juga digunakan untuk penerangan. Tungku beserta perapiannya dimanfaatkan masyarakat Takpala untuk menghangatkan diri dari dinginnya malam. Dikarenakan tidak adanya bukaan pada tingkat dua rumah mereka, maka tidak ada udara dingin dari luar yang masuk. Selain itu, asap akibat sisa pembakaran tidak dapat keluar ruangan sehingga membuat ruangan berwarna hitam. Dahulu sekitar tahun 80-an untuk mendapatkan air, masyarakat Takpala harus turun ke pantai. Di pantai, mereka mengumpulkan air untuk dibawa naik sehingga mereka dapat menggunakan air tersebut di desa. Adanya usaha untuk mengumpulkan air ke desa membuktikan mereka telah berpikir efektif. Bayangkan tiap kali butuh air, mereka harus turun dahulu ke pantai. Hal itu akan membuang waktu dan tenaga. Dahulu juga belum ada kamar mandi karena kehidupan masa dahulu sangat sederhana. Saat ini sudah ada kamar mandi dua buah sebagai sumbangan dari pemerintah. Untuk mencari air saat ini pun sudah dekat. Air ditampung di dalam bak. Air tersebut mereka gunakan untuk mandi, mencuci, memasak, dan buang air. 39


Menggigit Buah Pinang (Kontributor: Didha Igashi Marindra)

40

B

uah pinang, selain dikonsumsi ternyata bisa digunakan untuk menyikat gigi. Buah pinang yang digunakan untuk menggosok gigi sebaiknya masih baru. Bagian yang dipakai ialah kulit buah pinang. Buah pinang mereka kupas menggunakan gigi. Lalu kulit pinang tersebut digosok-gosokkan ke gigi mereka. Sisi dalam kulit pinang yang terdapat serabut-serabutlah yang dipakai sebagai penggosok gigi. Lalu kulit pinang yang telah digunakan mereka buang, tidak dipakai lagi. Mereka percaya bahwa kulit pinang menjadikan gigi mereka kuat.


BuahPinang PinangSegar (Kontributor: (Kontributor: Didha Igashi xxxxxxxxxxxxxxxxx) Marindra)

41


L

ego-lego, sebuah tarian khas masyarakat Abui. Tarian tersebut biasa dilakukan ketika upacara adat. Saat ini tarian tersebut mengalami sedikit pergeseran. Istilahnya, pengunjung dapat meminta masyarakat Takpala untuk menari Lego-lego di depan mereka. Hanya saja, proses tarian tersebut tidak lengkap seperti saat upacara adat. Karena proses sesungguhnya menghabiskan banyak waktu, sementara pengunjung biasanya hanya sebentar berada di Kampung Takpala. Alasan lainnya, kadangkala ketika upacara adat berlangsung pengunjung tidak ada di Kampung Takpala sehingga tidak dapat melihat tari Lego-lego. Sebagai balasan akan permintaan tersebut, pengunjung membayar sejumlah uang. Dari uang itulah masyarakat Takpala dapat menghidupi kebutuhan sehari-hari.

42


Lego-lego (Kontributor: Febby Hendola K)

43


Hasil Ladang dan Komoditas Kampung Takpala

J

agung titi merupakan hasil ladang yang utama di Kampung Takpala karena berperan sebagai makanan pokok warga. Untuk mendapatkan jagung titi, bapak-bapak dan ibu-ibu harus memetik di ladang. Jagung titi disimpan di lantai III bagian rumah, aquifoka, dan kemudian dikeringkan oleh asap yang berasal dari lantai II bagian rumah dalam proses memasak. Hal ini juga berfungsi untuk mengawetkan jagung titi. Sebelum jagung titi dikonsumsi, bijinya dipisahkan dan ditumbuk terlebih dahulu baru kemudian melewati proses nasi jagung. Sama seperti jagung titi, kopi yang merupakan komoditas Kampung Takpala yang didapatkan dari ladang. Menjadi komoditas yang mengisi keseharian warga di tiap pagi hari, kopi memiliki proses pengolahan tersendiri. Setelah dipetik dan dikupas, biji kopi disiangi agar kadar air berkurang. Biji kopi kemudian disangrai hingga hangus agar aroma kopin-

Membelah Buah Pinang (Kontributor: Feby Hendola K)

44

ya lebih terasa. Setelahnya, biji kopi melewati proses penumbukan/penggilingan hingga halus supaya ampas kopi yang terbuang tidak terlalu banyak. Sirih pinang merupakan salah satu representasi kecantikan menurut masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya Takpala. Di desa ini, pinang yang digunakan adalah pinang basah yang dikonsumsi langsung setelah dikupas. Tahapan mengkonsumsi sirih pinang adalah dengan mengunyah pinang terlebih dahulu disusul dengan sirih yang dibubuhi kapur. Air liur hasil mengunyah sirih pinang pertama harus dibuang baru kemudian dikunyah hingga berubah warna menjadi merah. Makin merah sirih pinang yang dikunyah, makin tinggi nilai kecantikannya. Warga desa meyakini bahwa wajah orang yang tidak mengkonsumsi sirih pinang akan terlihat lebih pucat dan tidak berseri. Sirih pinang ini dapat disimpan hingga berhari-hari


Mengupas Pinang (Kontributor: Andi Mahardika)

45


Untuk memproduksi kalung yang dapat dijual kepada para turis, damar diambil langsung dari pohonnya. Syaratnya adalah damar harus sudah kering dan tua terlebih dahulu agar tidak hancur ketika dijalin menjadi kalung. Untaian kalung tersebut dapat bervariasi sambil diselingi oleh biji petai cina ataupun kerang. Kalung damar ini dapat dijual seharga sepuluh ribu hingga dua puluh ribu rupiah kepada turis sebagai salah satu penghasilan tambahan warga desa. Lontar merupakan jenis tanaman yang biasanya digunakan sebagai pembungkus rokok. Daun ini terlebih dahulu dipetik dan dikeringkan. Untuk mempercepat proses pembakaran, daun ini dipipihkan/ditipiskan dengan cara ditindih dengan pemberat. Setelahnya lontar dipotong sesuai kebutuhan sebagai pembungkus rokok tembakau. Selain komoditi diatas, hasil kebun berupa pisang, ubi, padi, kelapa, dan singkong diproses dengan pengolahan sederhana dan menggunakan bahan alami.

46


Melingting Rokok (Kontributor: Andi Mahardika)

47


Menganyam (Kontributor: Talisa Dwiyani)

Kegiatan lain yang menghasilkan barang kerajinan adalah kegiatan menganyam. Anyaman merupakan dasar keterampilan dari berbagai jenis produksi kriya Kampung Takpala. Untuk membuat anyaa Menggunakan batang bambu muda yang diamplas terlebih dahulu pada bagian permukaan. Bambu muda ini juga dikupas hingga mendapatkan sehelai lapisan terluarnya. Dapat dibelah menjadi berbagai ukuran, anyaman dapat terdiri dari tiga hingga lima helai yang disaling silang menjadi lembaran yang digunakan untuk produksi tas, tempat sirih, gelang, hingga pembatas likhome rumah. Hasil produksi ini seringkali digunakan untuk tempat penyimpaan sendiri atau dijual kepada turis desa. 48

Pohon asem/tamal yang menyebar di Kampung Takpala dimanfaatkan oleh warga untuk dijadikan pendapatan dengan menjual buahnya. Asem/tamal ini dipetik langsung dari pohonnya dan kemudian dibuang biji-bijinya. Setelah itu buah asem/tamal yang sudah tidak berbiji diletakkan di buot, tempat penyimpanan makanan, sebelum dijual di pusat kota. Untuk penjualan buah asem/tamal dijual seharga Rp. 8000,00/kg di Kalabahi.


Mengupas Asam (Kontributor: Andi Mahardika)

Tembakau merupakan isi rokok dari warga Kampung Takpala. Tembakau ditanam di halaman rumah supaya dapat dengan mudah didapatkan. Dalam proses pembuatan tembakau sebagai isi rokok, daun tembakau pertama dihilangkan terlebih dahulu tulang daunnya, dipotong memanjang, yang kemudian dijemur sampai warnanya berubah menjadi kuning/kemerahan supaya aroma dari tembakau tersebut dapat keluar. Selanjutnya adalah proses pelintingan rokok dengan menggulung tembakau dengan daun lontar.

Tembakau (Kontributor: Talisa Dwiyani)

Alang-alang sebagai bahan material atap dari rumah adat Kampung Takpala merupakan bahan yang sulit dicari sekarang ini. Hal tersebut dikarenakan alang-alang yang sudah jarang di produksi di hutan. Alang-alang merupakan tanaman yang ditanam di hutan tempat mereka berladang. Alangalang bersifat meredam panas sehingga membuat fungsinya sebagai atap rumah menjadi lebih maksimal. Oleh karena itu meskipun tertutupi oleh atap alang-alang, tingkat II – IV rumah fala tidak terasa panas di dalamnya.

49


Proses Pembangunan Rumah Fala

S

ebagai rumah tradisional, rumah fala diharapkan untuk dapat dipertahankan guna melestarikan budaya asli dari kampung Takpala. Oleh karena itu, pemerintah selalu mendukung dalam pembangunan dan perbaikan rumah fala ini apabila terjadi gempa yang menimpa kampung Takpala dan merusak rumah fala yang berada di sana. Rumah fala bagi warga kampung Takpala bukan hanya berarti rumah tradisional yang harus dipertahankan, namun juga sebagai tempat tinggal bagi keluarga-keluarga baru yang belum mempunyai rumah tinggal.

Tampak Depan Fala (Kontributor: Daka Dahana)

50

“Kuli Mati-Mati Haki Tiwang lewo� semangat pantang menyerah dalam membangun kampung halaman


Fala (Kontributor: Feby Hendola K)

51


R

umah adat kampung takpala ini terdiri dari 4 tingkat dengan tambahan satu tingkat dasar (kolong rumah panggung untuk tempat tinggal ayam, kambing, dan bahan material) yang di tiap tingkatnya mempunyai fungsinya masing-masing, dimana semakin ke atas fungsi dari tiap tingkatnya akan lebih bersifat privasi. Tingkat pertama berfungsi sebagai tempat menerima tamu, bagian ini dinamakan dengan liktaha yang berarti bale-bale besar. Tingkat kedua dinamakan dengan fala homi yang berarti di dalam rumah. Tingkat ketiga di rumah ini dinamakan dengan akui foka yang berarti gudang makanan. Lalu bagian terakhir dinamakan

Potongan Rumah Fala (Kontributor: Daka Dahana)

52

akui kiding yang berarti paling puncak. Penghubung dari tingkat ke tingkat dalam rumah ini menggunakan tangga penghubung yang juga mempunyai nama yang berbeda-beda di tiap tingkatannya. Untuk tangga penghubung dari lantai dasar ke tingkat I disebut dengan lik awering yang berarti tangga bale-bale, tangga penghubung dari tingkat I ke tingkat II disebut dengan fala awering yang berarti tangga untuk rumah, dan yang terakhir adalah tangga penghubung dari tingkat II ke tingkat III dan dari tingkat III ke tingkat IV disebut dengan akui awering yang berarti tangga untuk loteng.


Dalam pembangunannya, rumah fala mempunyai empat tahapan kegiatan pelaksanaan. Sebelum tahapan tersebut dilaksanakan, terdapat ritual penyembelihan ayam yang dimaksudkan untuk membersihkan tanah yang akan dibangun rumah fala dengan darah ayam tersebut. Tahap pertama yaitu tahap pengukuran rumah dimana proses pengukuran rumah ini menggunakan satuan depa dari siku ke siku atau telapak ke telapak pada satu rentangan tangan.

Tahap kedua adalah pengukuran jarak sedalam kurang lebih 1 meter dari permukaan tanah. Lalu tahap ketiga adalah tahap penggalian tiang pondasi sebagai tanda awal dari proses pembangunan rumah. Dan, tahap terakhir adalah tahap ketika rumah selesai dibangun, yaitu upacara perayaan selesai dibangunnya rumah adat dengan memasuki rumah tersebut dan membunuh babi yang dilanjutkan dengan acara makan bersama.

53


Tahap Pembangunan Fala (Kontributor: Daka Dahana)

54


Satu persatu rangkaian bambu dan alang-alang dijalin perlahan. Segala peluh akhirnya terbayar ketika uma tofa yang telah lama hilang berdiri kembali. Inilah yang telah lama dinanti oleh warga takpala dengan setia.


Untuk mendapatkan bahan bangunan, seperti kayu dsb, sang pemilik rumah dapat mencari sendiri bahan bangunan tersebut di hutan atau dapat menyewa orang yang sudah ahlinya dalam bidang tersebut. Biaya dalam pembangunan rumah adalah sekitar 10 juta dengan biaya yang diberikan pemerintah sebesar 7 juta sehingga untuk 3 juta sisanya sang pemilik rumah mencari dana sendiri sesuai dengan mata pencahariannya masing-masing. Proses pembangunan rumah fala, yang dikerjakan bersama-sama oleh kerabat dari pemilik rumah ( biasanya 5 orang ), diawali dengan pemasangan kayu merah (bisa digantikan dengan kayu putih dan kayu ipi) sebanyak 4 buah sebagai kolom juga pondasi. Kolom pondasi ini disebut dengan taha, memiliki kualitas nomor satu untuk tiang-tiang utama. Lalu pemasangan fala sebagai pencegah tikus naik ke atas berupa lempengan kayu melingkar pada tiap taha. Setelah itu diteruskan dengan pemasangan balok kayu untuk rangka alas di tingkat I yang disebut dengan beng yang ditopang dengan tiang-tiang kayu, rafung, dan tiang-tiang penyangga, yang disebut hataping. Kayu-kayu tersebut merupakan kayu ketapang yang berfungsi sebagai rangka-rangka pada rumah fala. Dengan ditopang oleh taha. Tahap berikutnya mengulangi tahap yang sebelumnya hingga tingkat IV. Selanjutnya, dilakukan pemasangan permukaan alas di tiap tingkat, yang pada rangkanya diperkuat lagi dengan balok bambu yang disebut dengan lay/may, dan baru dipasangi alas lantai bambu, disebut batomang, yang berasal dari belahan-belahan bambu. Tahap terakhir adalah pemasangan atap yang menggunakan kayu ketapang untuk rangka utama dari bentuk atap lalu diperkuat lagi dengan buluh rangka atap, disebut kela, berbahan dasar bambu yang lalu di tutup oleh atap alangalang yang disebut dengan ameyng. 56

Istirahat Sejenak (Kontributor: Menyiapkan Kayu Arichi MerahChristika) (Kontributor: xxxxxxxxxxxxx)

Menghaluskan tali bambu (Kontributor: Talisa Dwiyani) Bambu (Kontributor: xxxxxxxxxxxxx)


Memasang Atap Alang-alang (Kontributor: Arichi Christika)

Bergotong Royong (Kontributor: Arichi Christika)

57


Detail Ikatan Fala (Kontributor: Andi Mahardika)

58


S

ambungan pada rumah fala tidak memakai paku sama sekali, melainkan hanya memakai tali sebagai pengikat antar sambungan kayu. Tali sebagai pengikat sambungan di rumah fala ini bejumlah 4 jenis dengan 3 jenis tali yang mempunyai fungsi dan kekuatan yang sama. Oleh karena itu, 3 dari 4 jenis tali yang ada digunakan secara acak untuk pemakaiannya. Tiga jenis tali tersebut adalah

vatkave (tali ini merupakan tali yang paling besar diameternya, terbuat dari kulit kayu pohon libung), reifunga (terbuat dari rotan), dan makiling (terbuat dari kulit bambu). Jenis lainnya adalah tali lawai (terbuat dari alang-alang) yang hanya digunakan untuk sambungan alang-alang karena tali ini adalah tali yang paling lemah di antara yang lainnya.

Detail Ikatan Fala (Kontributor: Bagus Wibowo Suryo)

59


Detail Ikatan Fala (Kontributor: Bagus Wibowo Suryo)

60


Detail Ikatan Fala (Kontributor: Feby Hendola K)

Detail Ikatan Fala (Kontributor: Feby Hendola K)

Mokor untuk potong kayu 5. Bunung Naramu: Tahapa menggali tiang 6. Bakung Na Lawi: Angkat tiang melintang timurbarat 7. Kwate Selena: Tahapan membuat atap Adapun suku Being memiliki keistimewaan untuk memantrai prosesi lego-legi pasca pembuatan rumah. 1. Watakawi: Acara makan bersama, kepala suku Ma- Setelah tahap-tahap diatas, baru lego-lego dilaksanarang masuk hutan selama 1 bulan mencari ramuan kan. Lego-lego mengitari mesbah menggunakan baju adat beserta segala atribut sesuai sukunya. Umaring (bahan rumah) 2. Gakiniwi: Rombongan Marang masuk kampung, menggunakan tenun putih, Marang merah, Being hiberkumpul, lalu berembuk tam, Pitang merah, Mokor hitam, Bengaring putih. 3. Geto Kajuhutung: Potong Kayu Pertama Tari lego-lego dilaksanakan lebih dari 300 orang di 4. Malang Hodepeda: Penyerahan Parang ke Suku mesbah. Rumah tradisional di Kampung Helangdohi, yang merupakan salah satu kampong di Pulau Pantar, terbuat dari kayu ipi, kayu putih, kayu merah yang diambil sendiri di hutan. Urutan pembangunan rumah tradisional Kampung Helangdohi sebagai berikut:

61


Nilai di Balik Bagian – Bagian Interior Rumah Fala

B

anyak yang dapat diungkapkan bila bicara mengenai tipologi rumah fala. Salah satu hal unik terlihat dari kegiatan keluarga banyak dilakukan di ‘loteng’, dimana penghuninya harus memanjat ‘atap’ terlebih dahulu untuk mendapatkan privasi dalam rumah. Adapun dibalik peletakan bagian-bagian rumah dan fungsinya, terdapat nilai-nilai yang diyakini standar atau dasar pembuatannya. Aweri atau tangga selalu berada di sebelah timur rumah fala. Hal ini dipercaya sebagai syarat keberuntungan panen nantinya. Dengan adanya tangga di timur, sirkulasi maupun penggunaan ruang lebih banyak berlangsung di liktaha sisi aweri, dan sisi lainnya sebagai tempat penyimpanan. Peletakkan aweri pada bagian timur rumah berujung pada pola ruang berkumpul yang berada di sisi-sisi paling dekat dengan aweri yaitu likhome dan liktaha. Likhabang dan liktaha berada di sisi luar likhome, diperuntukkan bagi para tamu yang baru datang. Sedangkan likhome diberikan bagi pemilik rumah dan tetua ketika berkumpul. Likhome juga berfungsi sebagai living area. Makin lama waktu yang dihabiskan serta makin intim interaksi yang berlangsung, makin dipersilahkan pula tamu yang datang untuk menempati likhome. Pada likhome juga terdapat tekita, yang merupakan rak penyimpanan tempat bahan makanan siap pakai diletakkan. Likhome menjadi tempat bumbu yang sesekali dapat digunakan jika warga hendak memasak di lantai likhome. Proyeksi dari likhome dan liktaha, disebut fala-

62

homi, menjadi center yang biasanya diperuntukkan bagi kegiatan memasak. Pola gerak dan berkumpul yang terjadi akan berbentuk sirkular. Suku Abui percaya dan membiasakan untuk tidur di sekitar tempat mereka memasak. Hal ini juga bertujuan untuk menghangatkan diri di dekat tungku ketika angin malam menerpa Pengguna ruang ini lebih banyak didominasi oleh wanita mengingat kegiatan masak-memasak dilakukan oleh para ibu ketika para bapak sedang berladang. Namun ketika malam, keluarga berkumpul di lantai falahomi untuk tidur. Privasi ruang menjadi hal yang tidak umum dipermasalahkan karena para tamu yang datang untuk menginap pun dapat ikut serta di dalamnya. Tipisnya kebutuhan akan privasi juga terlihat dari kegiatan berganti baju yang dapat dilakukan di berbagai tempat. Penyimpanan pakaian berada di fulak-fulak yang diletakkan di tekita di atas hafai. Peletakan tungku di falahomi juga bertujuan untuk pengasapan kayukayu struktur rumah. Pengasapan bermanfaat untuk menguatkan dan mengawetkan kayu. Selain itu juga berfungsi mengeringkan jagung di lantai atas/aquifoka hingga jagung siap diolah dan dimakan. Famfana merupakan pembatas setinggi 40-50cm yang berfungsi sebagai pembatas ketinggian agar anak-anak tetap berada pada falahomi dan tidak menuruni aweri sendiri. Layaknya rumah-rumah gudang lain, rumah fala memiliki lumbung tempat disimpannya cadangan makanan untuk jangka waktu seminggu hingga sebulan setelah berladang.


Lumbung, yang disebut aquifoka, ini berada pada lantai ketiga. Secara fungsional, aquifoka menjadi tempat menyimpan bahan makanan agar awet dan dapat diasapi dari lantai falahomi. Pada level yang lebih tinggi lagi, aqui kiding menjadi tempat penyimpanan moko/belis sebagai ‘harta’ turun temurun suku Abui. Moko dulunya sangat sakral dan tidak dapat diperlihatkan kepada sembarang orang. Proses pemilihannya sendiri melalui pencarian yang rumit, serta penilaian dari berbagai aspek seperti penciuman, bunyi, dan nilai dari material moko itu sendiri, yang dipercaya ditemukan di tempat-tempat

khusus saja Kedudukan Moko yang diagungkan ini menempati tempat terkecil, tertinggi, dan terjauh sebagai representasi keagungan. Moko yang dipilih sebagai nilai tukar untuk meminang pasangan merupakan benda hasil pencarian yang dipercaya sangat langka, serta memerlukan kemampuan untuk menilainya. Di Takpala, hanya Bapak Timotheus, salah satu tetua adat, yang telah meninggal dunia sajalah yang dapat menilai moko. Akibatnya, moko menjadi benda yang bernilai begitu tinggi dan diyakini datang kepada orang terpilih saja sehingga diletakkan di aqui kiding.

Aqui Foka (Kontributor: Mikael Johanes)

63


Denah Rumah Fala (Kontributor: Daka Dahana)

64



Interior Rumah Fala (Kontributor: Harindra Mahutama)

66


Rumah – rumah tradisional Helangdohi sangat memperhatikan sumbu – sumbu arah angin, setiap sumbu memiliki maknanya sendiri. Peletakan pintu naik rumah dari utara dan keluar lewat selatan pada rumah tradisional di Kampung Helangdohi secara fungsional dimaksudkan agar sirkulasi dalam ruang yang kecil ini tidak tersendat. Dalam nilai-nilai adat yang diyakini suku di Helangdohi, pergiliran arah masuk dari utara membawa keberuntungan. Keberlanjutan gerak juga merepresentasikan kehidupan yang terus mengalir. Timur diperuntukkan bagi lelaki dan barat bagi wanita. Masing-masing gender melakukan perannya di area masing-masing. Jika salah satunya dilanggar maka akan terkena hukum adat. Perempuan menempati bagian dalam ruang sedangkan laki-laki di jalur sirkulasi yang bertemu langsung dengan pintu. Hal ini merupakan bentuk proteksi yang diberikan terhadap kaum wanita. Di sisi lain, pola pemisahan gender ini juga merepresentasikan peran wanita yang masih diartikan dalam bentuk pekerjaan rumah saja. Lain lagi dengan pemaknaan ornamen – ornamen pada bagian struktur rumah tradisional di Kampung Bampalola. Bagian rumah yang unik adalah pada tangga tempat menaiki rumah. Pada tangga tersebut terdapat patung naga yang harus disentuh sebagai tanda perizinan masuk ke dalam rumah. Naga sebagai makhluk yang dimitoskan sebagai penjaga serta penyelamat kampung ditinggikan kedudukannya. Bentuk pemisahan ruang mirip dengan rumah di Kampung Helangdohi, namun rumah Bampalola memiliki luasan dan ketinggian yang lebih besar.

Rumah Helangdohi (Kontributor: Daka Dahana)

67


Potongan Tampak Rumah Helangdohi (Kontributor: Daka Dahana)

68


Rumah Helangdohi Yang Rusak (Kontributor: Bagus Wibowo Suryo)

Simbol Naga pada Rumah Tradisional Kampung Bampalola (Kontributor: Talisa Dwiyani)

69


(Foto oleh: Mikhael Johanes)


bab 3 Ruang Ritual Masyarakat Takpala Mari, bergandengan Erat dalam pelukan Menyambut saudara dari jauh Biarkan mereka mengenal kami Yang tinggal diantara hamparan langit dan laut luas

Mari, menyanyikan Isi hati, semua doa, dan harapan Dalam serangkaian syair Dalam ritme gerak yang sama Menyatukan hati, mempersembahkan kebersamaan Perayaan, tarian, lego-lego Telah mempersatukan kami setiap saat Memberi kami kehidupan Menjaga kelestarian budaya Dalam hidup bersahaja Mari, menari Mengikuti gemerincing gelang Hentakan kaki semakin cepat Semakin dalam Terlarut dalam sahut menyahut. Ritual dan perayaan Selama lengan berpelukan Syair, doa dan harapan Menuntun berlalunya hari Kami menghidupi perayaan Kami mempertahankan hidup didalamnya Melalui musik gong dan moko Syair yang terlantunkan Kami menghadirkan Takpala, tanah kami.


Orientasi dan Batasan Ruang Ritual

T

arian lego-lego merupakan ritual tahunan yang penting bagi masyarakat Abui di Kampung Takpala. Ritual ini biasa dilakukan mengelilingi mesbah yang terdapat di tengah kampung. Mesbah yang menjadi pusat dari prosesi ritual ini menjadi landmark di Kampung Takpala. Di lokasi sekitar tempat ritual dimana mesbah berada, terdapat dua rumah adat atau umah dewa, yaitu Kolwat dan Kanuruat. Tarian lego – lego sebagai bagian dari ritual masyarakat Takpala memungkinkan semua warga

Lego-Lego di Sekitar Mezbah (Kontributor: Didha Igashi Marindra)

72

kampung untuk berpartisipasi, karena tidak terdapat batasan umur ataupun jenis kelamin. Tarian ini dilakukan dengan cara saling membentuk simpul lengan satu sama lain dan mengitari mesbah dengan bentuk spiral sambil bernyanyi dan menyerukan sisipan-sisipan pantun atau sajak. Ritual tahunan bisa berlangsung hingga keesokan paginya apabila dimulai dari malam hari sebelumnya yang kemudian dilanjutkan dengan pesta makan.


Ruang Ritual di Sekitar Mezbah (Kontributor: Bagus Wibowo Suryo) Simpul Antar Lengan Penari (Kontributor: Bagus Wibowo Suryo)

73


Disadari atau tidak, ritual rutin yang mereka lakukan ini membentuk suatu pola tertentu dari kampung mereka. Tercipta batasan-batasan yang terlihat maupun tak terlihat. Ketika ritual sedang berlangsung, tercipta batasan ruang yang tak terlihat, yang besarnya tergantung dari jumlah orang yang ikut menari. Semakin banyak orang yang berpartisipasi dalam upacara ritual ini, maka semakin luas boundary yang tercipta. Boundary (batasan) ini bukan batasan yang sifatnya tertutup. Siapapun boleh masuk dan ikut menari di tengah-tengah ritual. Bahkan, jika lelah pun mereka dapat keluar dari lingkaran untuk beristirahat sejenak. Jadi, batasan ruang yang tercipta dari ritual ini bersifat fleksibel. Bagi yang hanya menonton saja, akan terasa bahwa ada sesuatu yang memisahkan kita dari mereka

Unsur-Unsur Pembentuk Ruang Ritual di Kampung Takpala (Kontributor: Sigit Yuliandaru)

74

yang sedang menari. Hal ini juga merupakan sebuah bentuk batasan ritual yang tercipta, yaitu karena mereka melakukan sesuatu yang sifatnya sakral dan penting. Batasan yang terlihat dapat ditemukan dari pola kampung mereka, dimana mesbah yang menjadi pusat berada di tengah-tengah kampung. Kemudian unsur lain yang penting yaitu dua rumah adat yang berlokasi di area yang sama dengan mesbah. Dua rumah adat dan mesbah tersebut menjadi centre dari keseluruhan pola kampung yang tercipta, dapat dilihat dari susunan rumah gudang dimana seharusnya mengelilingi ruang ritual, memberikan batas antara area mereka dengan area luar. Dengan kata lain, sebenarnya batasan ritual dapat meluas, selama masih berada di dalam lingkup kampung.


Pemandangan Laut dari Kampung Takpalaa (Kontributor: Mikhael Johanes)

Setelah adanya keputusan pemerintah untuk menjadikan kampung ini menjadi kampung wisata, terjadi beberapa perubahan serta intervensi yang mempengaruhi ruang ritual yang ada, salah satunya adalah perubahan pola kampung menjadi linear sehingga mesbah dan rumah adat menjadi sesuatu yang sifatnya terbuka dan dapat terlihat dari luar area kampung. Area yang dibuka adalah area yang

langsung menghadap laut, Perubahan ini merupakan usulan dari pemerintah agar saat turis datang mereka dapat menikmati pemandangan laut Alor yang indah sambil menikmati uniknya Kampung Takpala beserta adat istiadatnya. Orientasi ritual berubah, bukan lagi ke dalam, akan tetapi keluar untuk diperlihatkan kepada turis dan juga terarah ke laut.

75


Simbol pada Ruang Ritual

E

lemen yang paling penting dan pasti harus ada adalah mesbah, yang menjadi simbol kepercayaan dari Suku Abui. Mesbah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari, bukan hanya saat ritual, tetapi mesbah juga merupakan lambang dari peradaban suku mereka, dimana di atas mesbah tersebut terdapat tiga buah batu yang melambangkan tiga suku leluhur yang ada di sana, yaitu Kapitang, Marang, dan Aweni. Mesbah berada di tengah rumah-rumah dan persis di depan kedua rumah adat yang sakral. Peletakan mesbah ini melambangkan persatuan dan kesatuan. Demikian juga bentuk mesbah yang melingkar, yang merupakan tumpukan batu-batu, melambangkan bahwa mereka hidup bersama-sama dalam persatuan. Dapat dilihat di tengah mesbah terdapat satu pohon mesbah juga terdapat bambu yang fungsinya adalah untuk menggantung pinang ranti di kedua sisinya. Sebelum tarian dilakukan, gong dibunyikan untuk memanggil

masyarakat agar berkumpul di tempat ritual, menandakan bahwa akan segera diadakan ritual legolego. Biasanya, sebelum turis datang musik dimainkan terlebih dahulu dan sebagai latar penyambutan para tamu. Moko, benda sakral bagi masyarakat Abui, juga digunakan dalam ritual ini. Moko hanya digunakan pada awal ritual, ditabuh beberapa kali sembari menyebutkan sajak dalam bahasa Abui. Tahapan ini, yang dinamakan tahapan beli moko, hanya berlangsung sebentar dan setelah tahapan ini, moko diletakkan di atas mesbah. Kemudian, dilanjutkan dengan tarian lego-lego dan juga tarian cakalele. Moko tidak digunakan lagi sampai ritual selesai dilaksanakan. Ia menjadi symbol keagungan yang harus ada pada mesbah ketika tarian begerak mengelilingi mesbah.

Moko (Kontributor:Andi Mahardika)

76


Gong Tanda akan Diadakan Ritual (Kontributor: Febby Hendola K.)

77


Posisi Awal Moko Saat Penyambutan Turis (Kontributor:Tim Pola Kampung)

Posisi Awal Moko Saat Upacara Beli Moko (Kontributor:Tim Pola Kampung)

Posisi Awal Moko Saat Pembacaan Sajak Pertama (Kontributor:Tim Pola Kampung)

78


R

itual dan kepercayaan masyarakat Takpala tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan moko di Kepulauan Alor. Moko memiliki bentuk menyerupai dandang besar yang ditelungkupkan. Dua bentukan menyerupai dandang besar tadi bertumpuan satu sama lain pada bagian dasar nya, sehingga keseluruhan bentuknya menciptakan dua muka pada sisi atas dan bawah moko. Salah satu muka yang terletak di bagian atas moko terutup karena digunakan untuk menghasilkan suara ketika dipukul, sementara itu muka di bagian bawah dibiarkan terbuka. Pada naskah tersebut juga disebutkan bahwa moko mulai masuk ke Pulau Alor pada abad 18 dan 19, namun tidak diketahui tahun pasti yang menerangkan proses masuknya moko – moko ini. Moko yang ditemui oleh Tim Ekskursi Arsitektur UI di

Ritual dan Kepercayaan Masyarakat Takpala sekitar Kampung Takpala dan Kampung Helangdohi terbuat dari perunggu, dengan campuran besi, tembaga, dan kuningan. Satu jenis moko dengan jenis moko yang lain, berdasarkan keterangan dari beberapa warga yang memilikinya, memiliki komposisi bahan yang berbeda. Masyarakat Alor memiliki kemampuan untuk membedakan jenis – jenis moko berdasarkan bentuk, ukuran, pola ukiran, bahkan dari bau yang ditimbulkan oleh material logamnya. Dan, karena salah satu kegunaan moko adalah sebagai belis atau mas kawin yang menjadi syarat dalam budaya lokal untuk melamar seorang perempuan di Alor, masyarakat Alor dapat menilai harga dari moko, yang biasanya menggunakan satuan harga yang disebut jawa. Semakin tinggi nilai jawa, berarti semakin tnggi pula sebuah moko dihargai.

Moko di atas Mesbah (Kontributor: Harindra Mahutama)

79


Moko Pung dari Kampung Helangdohi (Kontributor: Kosa Lazawardi)

80


Detail Motif Moko Pung dari Kampung Helangdohi (Kontributor: Andi Mahardika)

Moko memiliki beberapa kegunaan bagi masyarakat Alor. Dari kampung – kampung yang menjadi tempat observasi Tim Ekskursi Arsitektur UI, yaitu Kampung Takpala, Kampung Helangdohi, dan Kampung Bampalola, moko memiliki peran yang cukup vital dalam kehidupan sosio kultural serta ekonomi masyarakat. Berbagai jenis dan nilai dari moko mampu menggambarkan status sosial dari pemiliknya. Moko yang dianggap memiliki nilai tetinggi di Pulau Alor, dapat ditemukan di Kampung Takpala dan Kampung Bampalola, adalah moko malei tana atau moko itkira. Bagi masyarakat Kampung Helangdohi, yang tinggal di Pulau Pantar, moko pung adalah moko yang memiliki nilai yang paling tinggi. Di setiap kampung, meeka yang biasanya memiliki moko dengan nilai paling tinggi tadi memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan bermasyarakat. sebagai alat tukar ekonomi. Seiring perkembangan jaman, moko tidak lagi hanya menjadi benda keramat yang terus diturunkan dari generasi ke generasi. Karena merupakan salah satu benda sejarah dari jaman perunggu dengan kandungan logamnya yang bernilai tinggi, seringkali moko

diperjual belikan dan sudah dihargai dalam nilai rupiah. Namun, karena moko merupakan salah satu benda bersejarah yang perlu dijaga kelestariannya, dari keterangan masyarakat lokal, diperoleh keterangan bahwa pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang melarang moko – moko tersebut keluar dari Kepulauan Alor untuk diperjualbelikan. Kegunaan lain yang dimiliki oleh moko adalahFungsi utama moko, yang menuntut setiap orangtua anak laki – laki untuk memilikinya, adalah sebagai mas kawin atau belis. Dalam ritual perkawinan, sebelum dilangsungkan kesepakatan antara kedua keluarga yang akan menikahkan anak laki – laki dan perempuan yang sudah dewasa, pihak keluarga perempuan akan meminta moko dengan jenis dan nilai tertentu yang diinginkan untuk kemudian dapat dipenuhi oleh pihak laki – laki. Permintaan jenis moko dari keluarga pihak perempuan juga didasarkan pada status sosial masyarakat dari keluarga perempuan. Untuk pernikahan antara laki – laki dan perempuan yang bersal dari pulau yang bebeda, pesyaratan jenis moko tetap ditentukan oleh keluarga perempuan. 81


Dengan demikian, apabila seorang laki – laki dari Pulau Alor, yang menganggap moko malei tana sebagai moko dengan nilai tertinggi, akan menikah dengan perempuan dari Pulau Pantar, ia harus menjual moko malei tana untuk dapat membeli moko pung yang menjadi moko bernilai tertinggi bagi masyarakat di Pulau Pantar. Agama kristen dan katolik masuk ke Kepulauan Alor sejak datangnya Magelhaens di tahun 1522. Di kampung Takpala, seluruh masyarakatnya menganut agama katolik. Namun, jarang sekali ditemukan barang – barang rohani yang berhubungan dengan kepercayaan baru mereka, baik pada rumah – rumah vernakular mereka, maupun pada rumah – rumah baru yang lebih modern. Setelah masuknya agama katolik di Kampung Takpala, ritual adat pernikahan sudah mulai digantikan dengan prosesi sakramen di gereja. Pada tahap lamaran, pihak laki – laki akan datang kepada keluarga perempuan dengan membawa sirih pinang serta alat – alat memasak. Pihak laki – laki memohon persetujuan dari keluarga perempuan untuk dapat menjadikan anak perempuan dari keluarga tersebut sebagai istri. Apabila telah terjadi kesepakaan antar kedua belah pihak mengenai pernikahan, selanjutnya dientukanlah secara bersama –

82

sama tanggal baik unuk dilangsungkan pernikahan. Pada tanggal pernikahan yang sudah ditentukan, sepasang calon pengantin akan mengenakan baju adat untuk melaksanakan prosesi pemberkatan di gereja. Sepulang dari gereja, akan dilangsungkan upacara bayar belis berupa penyerahan moko kepada orang tua perempuan, dilakukan oleh pihak laki – laki. Sepanjang rangkaian acara tidak dilaksanakan tari lego – lego. Acara lalu ditutup dengan makan bersama. Mengenai pembayaran belis, para orang tua di Takpala mengakui bahwa penyerahan moko sebagai ams kawain di masa kini lebih merupakan simbol. Untuk meringankan beban pembayaran belis, orang tua perempuan di masa kini lebih banyak memberikan kelonggaran. Apabila pihak laki – laki belum bisa membayarkan belisnya, ia tetap diperbolehkan menikah dengan anak perempuan dari satu keluarga. Namun, laki – laki tersebut tetap dianggap memiliki hutang yang harus dilunasi kepada orang tua perempuan seelah terjadinya perkawinan. Karena sudah memeluk agama katolik, sorang pria dan wanita hanya diperbolehkan menikah satu kali tanpa cerai dan hanya boleh menikah lagi apabila pasangan mereka meninggal dunia.


Dua Rumah Adat (Kontributor: Febby Hendola K.i)

83


Sebagian besar masyarakat Takpala masih mengenal istilah Lahatala untuk menyebut “yang maha tinggi”. Sebelum masuknya agama, masyarakat Takpala masih menyembah kepada Lahatala. Terdapat aturan tertentu dalam memanjatkan permohonan kepada Lahatala. Terdapat beberapa peran pengantara yang bertugas meneruskan setiap permohonan dan doa dalam kepercayaan masyarakat Takpala. Mula – mula sebuah permohonan harus disampaikan kepada dewa terbang yang akan dilajutkan kepada Ui (bulan) dan Fed (matahari). Bulan dan matahari dipercaya akan menyampaikan permohonan kepada Lahatala. Sepasang rumah pamali, dikenal dengan sebutan rumah adat, yang tertutup terletak menghadap ke mesbah, keduanya memiliki corak yang khas. Salah satu di antaranya memiliki warna dominan hitam dikenal dengan nama Kolwat, sementara yang lainnya berwarna dominan putih, dinamakan Kanuruat . Kedua rumah ini memiliki kesamaan dari motif – motif yang terangkai dalam arah horisontal dan vertikal. Motif – motif ini juga dapat ditemukan pada beberapa barang yang dijual untuk pengunjung yang datang ke Kampung Takpala. Hanya saja, tidak didapat informasi yang cukup jelas dari masyarakat setempat mengenai arti di balik motif yang berulang tersebut. Rumah Kolwat dan Kanuruat memiliki aturan masing – masing untuk dapat dimasuki oleh warga kampung. Pada rumah Kolwat, setiap anggota masyarakat dalam kampung dapat memasukinya, termasuk untuk perempuan dan anak – anak. Se-

84

mentara itu, hewan yang biasanya disembelih untuk dimakan bersama di rumah Kolwat, pada saat ritual makan baru, adalah ayam dan kambing. Sementara itu, di rumah Kanuruat, yang hanya dapat dimasuki oleh tetua adat, perempuan dan anak – anak dilarang untuk masuk dan menamil bagian dalam acara makan bersama. Hewan yang disembelih di rumah Kanuruat adalah babi. Dengan perbedaan hewan sembelihan ini, masyarakat Takpala percaya bahwa leluhur yang elah membangun kedua rumah adat sebenanya telah meramalkan akan adanya dua aliran agama yang akan dianut oleh keturunan mereka, yaitu agama kristen/ katolik dan agama islam. Dan, karenanya pesan perdamaian antar agama telah sejak lama diwaiskan oleh leluhu untuk terus dijaga oleh keturunan – keturunan mereka selanjutnya. Menurut penjelasan tetua adat setempat, pendiri dua macam rumah adat Kolwat dan Kanuruat adalah leluhur mereka yang kemudian terangkat ke langit sesuai dengan kisah dalam sajak Kaling Loma. Tetua adat tersebut juga menyebutkan bahwa dahulu kala, masyarakata Takpala pernah menyembah benda – benda mati yang dianggap keramat, seperti kayu atau batu. Sepeninggal leluhur mereka, masyarakat Takpala mendapat pesan bahwa mereka harus meninggalkan kepercayaan lama mereka untuk percaya kepada Lahatala serta mereka diwajibkan hidup rukun tanpa melakukan pembedaan apapun antar masyarakat sekampung. Prinsip satu kampung sebagai satu ikatan keluaga ini berakar kuat pada masyarakat Takpala hingga kini.


Rumah Korwat (Kontributor: Didha Igashi M)

85


Rumah Konurwat (Kontributor: Didha Igashi M)

86


Walaupun berasal dari keturunan tiga suku: aweni, marang, dan kapitang, masyarakat Takpala tidak lagi hidup berdasarkan pemisahan peran antar suku. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya pernikahan antar suku. Masyarakat Takpala juga menganggap masyarakat Pulau Alor yang tinggal di kampung - kampung di sekitar mereka sebagai bagian dari satu keluarga. Sebagian kecil masyarakat di kampung – kampung yang berdekatan dengan Kampung Takpala memeluk agama islam. Perbedaan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat antar kampung sama sekali tidak dipersoalkan. Masyarakat Takpala percaya kepercayaan – kepercayaan yang berbeda tersebut memang sudah diramalkan oleh leluhur mereka, karenanya pesan persaudaraan dan kekeluargaan dari leluhur menjadi sebuah ajaran yang sangat mendasar. Sikap hidup kekeluargaan pada masyarakat Takpala menjamin kesejahteraan hidup bersama. Setiap masalah yang terjadi pun menjadi urusan yang harus diselesaikan bersama. Tari lego – lego menjadi salah satu media kerukunan kampung, sebab di dalam prosesinya dilibatkan seluruh anggota kampung. Dengan kehadiran seluruh anggota kampung, proses penyelesaian masalah menjadi lebih mudah. Benda yang menjadi milik bersama harus didapat secara adil oleh setiap orang. Bahkan saat berkumpul di malam dingin, api pelita yang berpijar kecil sebagai satu – satunya sumber panas, tidak boleh didekati oleh tangan dari salah satu orang yang sedang

berkumpul dengan tujuan untuk menghangatkan diri sendiri. peng mbilan sumbe panas tadi dapa dianggap sebagai bentuk pencurian api. Ritual yang diadakan setiap tanggal 20 Juni setiap tahunnya dilangsungkan di ruang publik kampung, di sekitar mesbah dan dua buah rumah adat, Kolwat dan Kanuruat. Setiap tanggal 20 Juni, seluruh masyarakat Takpala, yang juga turut mengundang masyarakat kampung sekitar, akan melaksanakan sebuah rangkaian ritual utama. Puncak dari ritual adalah tari lego – lego yang ditarikan bersama – sama oleh masyarakat yang melaksanakan ritual. Mengenai ritual yang hanya berlangsng setahun sekali sebagai akumulasi seluruh ritual dalam satu tahun ini, Tim Ekskursi Alor mengalami kesulitan untuk melakukan penelusuran mengenai siklus ritual tahunan yang terjadi sebelum masyarakat Takpala memeluk agama, sebab sebagian besar masyarakat sudah tidak lagi mengetahui perkembangan yang terjadi pada proses ritual mereka dari dulu hingga sekarang. Tetua adat hanya memberi keterangan bahwa yang dipahaminya saat ini adalah apa yang sudah sejak dulu diturunkan oleh leluhurnya. Dengan demikian, untuk dapat memahami secara mendalam mengenai proses evolusi ritual yang terjadi pada masyarakat Takpala, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sumber – sumber yang lebih kaya dan lengkap.

87


Lego – Lego sebagai Bagian Ritual

L

ego – lego adalah tarian yang mengandung makna dasar dari sikap hidup kekeluargaan dan persatuan masyarakat Takpala yang telah ditanamkan oleh para leluhur. Tari lego – lego memiliki kekhasan gerak tersendiri di setiap kampung di Kepulauan Alor, begitu juga dengan Takpala. Tari lego – lego di Takpala dilakukan bersama – sama antara laki – laki dan perempuan dengan susunan tertentu, seluruh jumlah penari tidak diperbolehkan ganjil. Satu penari dan penari lain akan saling berangkulan erat ketika menari. Tidak terdapat batasan usia bagi penari lego – lego, anak – anak yang sudah bisa menari dapat bergabung dalam formasi tarian.

Lego – lego sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian acara yang termasuk dalam ritual tahunan yang dilangsungkan setiap tanggal 20 Juni oleh seluruh masyarakat Takpala. Namun, lego – lego kini telah menjadi salah satu media promosi seni budaya masyarakat Takpala bagi para turis, baik lokal maupun mancanegara, yang berkunjung. Lego – lego lebih sering diarikan sebagai sebuah atraksi penyambutan para turis dan dapat dilaksanakan terlepas dari keseluruhan rangkaian ritual lainnya. Untuk dapat menyaksikan tarian ini, turis yang datang perlu mengeluarkan sejumlah uang bagi para penari.

Pembentukan Formasi Awal Tarian (Kontributor: Dhida Igasi Marindra)

88


Tarian lego – lego diiringi oleh lantunan musik yang memiliki ritme statis. Sumber suara yang tedengar selama tarian berasal dari alat musik dan nyanyian para penari yang juga diiringi oleh bunyi dari gelang – gelang kuningan yang dipakai di kaki para penari perempuan. Gelang – gelang kaki, yang disebut lasing ini, merupakan kepunyaan orang tua yang terus diturunkan bagi generasi selanjutnya dan tidak diproduksi lagi. Sayangnya, gelang berbahan kuningan ini sudah mulai tampak terpajang di jajaran barang – barang yang diperdagangkan sebagai cindea mata bagi turis. Tarian ini dilakukan dalam formasi spiral yang terus berputar berlawanan dengan arah jarum jam mengelilingi mesbah.

Posisi mesbah di tengah kampung dan tarian ,yang dilaksanakan mengelilingi mesbah sebagai pusat ruang ritual kampung, menciptakan pola sirkular yang mengumpulkan para penari dalam satu kesatuan. Hal ini diyakini masyarakat sebagai perwujudan dari simbol kekeluargaan. Dahulu kala, pada masa di mana pernag antar suku masih sering terjadi, mesbah digunakan untuk meletakkan kepala musuh yang telah dipenggal karena kalah perang. Sejak tahun 1943, perburuan kepala musuh ini sudah dihentikan.

Rangkulan Tari Lego-Lego (Kontributor: Febby Hendola K.)

89


Persiapan dan Prosesi Ritual

L

ego – lego, yang pada awalnya merupakan salah satu bagian dari rangkaian ritual tahunan masyarakat Takpala pada tanggal 20 Juni, kini lebih sering dilakukan sebagai atraksi penyambutan bagi para turis. Penari yang terlibat dalam posesi tarian, hampir semuanya adalah penari tetap. Para penari ini sudah terbiasa untuk diminta menari kapanpun ketika datang permintaan dari turis yang akan bekunjung. Tahapan prosesi yang dilaksanakan pada saat ritual tahunan memiliki beberapa perbedaan dengan tahapan prosesi yang dilaksanakan dalam tarian lego – lego yang digunakan untuk penyambutan tamu. Hal yang paling nampak adalah beberapa bagian yang dilakukan pada saat tahapan ritual tahunan mengalami reduksi hingga inti utama atraksi berfokus lebih kepada sebuah per-

Tarian Lego-lego (kontributor: Arichi Christika)

90

tunjukan tarian. Dalam rangkaian tarian penyambutan turis, terdapat beberapa persiapan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Takpala beserta para penarinya. Ketika rombongan turis bermaksud melihat tarian penyambutan, mereka dapat menghubungi tetua suku Kampung Takpala, biasanya kabar mengenai kedatangan turis sudah disampaikan paling lambat satu hari sebelumnya. Setelah mendapat kabar mengenai kedatangan turis dan permintaan mereka untuk menonton tari lego – lego, selanjutnay tetua suku akan meneruskan kabar ini kepada masyarakat Kampung Takpala secara keseluruhan, temasuk para penari yang harus bersiap untuk melakukan tarian di keesokan harinya.


Berkumpul sebelum menari (Kontributor: Leta Lestari)

Setelah seluruh kampung mendapat kabar yang jelas mengenai jam kedatangan turis, setiap warga kampung akan melaksanakan aktivitas rutin di pagi hari. Sebagian besar masyarakat Takpala berada di kampung bagian bawah. Sekitar satu sampai dua jam menjelang kedatangan turis, akan dibunyikan gong dalam ritme yang statis dengan tujuan memanggil para penari untuk mulai naik ke kampung adat. Aktivitas persiapan mulai terlihat dari banyaknya warga kampung, yang tinggal di rumah modern di bagian bawah kampung, mulai bergerak naik ke kampung adat, sambil membawa perlengkapan yang akan mereka gunakan saat melaksanakan tari – tarian. Pada saat berjalan naik ke atas, para penari belum mengganti baju mereka. Beberapa ibu

turut membawa beberapa dagangan yang hendak mereka jual sebagai cindera mata untuk turis. Sesampainya di kampung adat, ibu – ibu terlebih dahulu menata barang – barang kerajinan yang hendak mereka jual. Setelahnya, ibu – ibu yang menari akan mengambil tempat di sekitar rumah – rumah yang terletak berdekatan dengan tempat dijualnya barang – barang kerajinan untuk mengganti baju mereka dengan kain khusus yang harus mereka kenakan saat menari. Di saat yang bersamaan, namun di tempat yang berbeda, para bapak yang akan memainkan alat musik atau menari, segera berpakaian adat dan mengenakan atribut – atribut pelengkap.

91


Skema posisi warga Takpala saat persiapan Lego-lego. (Kontributor : Tim Pola Kampung)

Atas:Dua buah Moko yang ditaruh diatas Mezbah. (Kontributor: Talisa Dwiyani) Kanan : Dua buah gong sebagai isntrumen pengiring ritual. (Kontributor: Leta Lestari)

Area di sekitar mesbah juga dipersiapkan dengan meletakkan dua moko di tepian mesbah. Alat – alat musik seperti gong dan tambur mulai dikeluarkan. 92


Pakaian adat yang dikenakan oleh penari laki – laki dan perempuan, beserta seluruh pemain musik berupa kain tenun bewarna hitam, namun jenis dari kain ini dibedakan untuk laki – laki dan perempuan. Kain tenun yang digunakan oleh penari laki - laki disebut selimut atau noang, sementara kain tenun yang digunakan oleh penari perempuan disebut sarung atau keng. Kelengkapan atribut yang harus dipakai oleh penari perempuan terdiri dari muti yang digunakan dengan cara disilangkan pada dada, ikat pinggang dari kulit kayu yang disebut fok, gelang kaki logam dari kuningan yang dikenal dengan nama lasing, serta sebuah tas tanpa tutup dari anyaman bambu yang disebut fulak, tas ini digunakan untuk menyimpan sirih dan pinang.

Atas : Sketsa seorang nenek yang sedang memakai kain. (kontributor: Bagus Wibowo Suryo) Kanan : Tahap-tahap pemakaian pakaian adat wanita. (Kontributor: Didha Igashi Marindra)

93


Selain perempuan, laki – laki harus menggunakan atribut – atribut sebagai kelengkapan seorang penari. Aribut – atribut yang harus dikenakan antara lain, bulu ayam yang dikenakan pada kepala seperti mahkota. Bulu ayam, yang dikenal dengan nama kiti – kiti, merupakan simbol kejantanan yang diambil dari analogi ayam jantan. Banyaknya cabang bulu menentukan peran laki – laki yang menggunakannya dalam sebuah peperangan. Atribut lain adalah ikat kepala yang dipasang dengan cara dililitkan di kepala. Hanya salah satu bagian bahu yang tertutup oleh kain selimut. Penari laki – laki juga mengenakan sebuah tas dari anyaman bambu yang tertutup. Laki – laki juga mengenakan ikat pinggang berbahan kulit kayu yang lebih lebar dibandingkan ikat pinggang perempuan. Pada ikat pinggang ini diselipkan parang serta anak panah yang dulunya digunakan sebagai senjata perang. Penari laki – laki juga mengenakan perisai yang terbuat dari kulit kerbau secara menyilang pada punggungnya. Penari laki – laki memperoleh perisai secara turun – temurun dari orang tua mereka, perisai ini diyakini mampu menahan peluru. Ketika masyarakat Takpala masih berburu untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka, busur dan anak panah mampu digunakan untuk mengincar mangsa sejauh 100 meter. Kiri : Tahapan dalam memakai pakaian adat pria. (Kontributor: Psychilectira Mangifera)

94


Para tetua adat dan kepala desa berdiri menyambut tamu yang berkunjung ke desa Takpala. (Kontributor: Yulia Vonny Sinaga)

Setelah semua pakaian adat dan atributnya lengkap, para penari mulai bersiap mengambil posisi sesuai peran mereka masing – masing. Para pemain musik segera memainkan gong dan tambur. Setelah bunyi – bunyian alat musik mulai ramai terdengar, penari lego – lego wanita mengambil posisi dalam formasi setengah lingkaran dan mulai menyayikan lagu “Langsilang Hare� sambil menghentakkan kaki sehingga timbul suara gemerincing dari gelang kuningan. Sementara itu, lima orang penari pria dan tiga orang penari wanita akan menuju ke pintu gerbang kampung Takpala dan akan berdiri mengha-

dap para turis di anak tangga tertinggi. Rombongan turis yang sudah melihat beberapa penari penyambut di depan pintu gerbang, telah mendapat tanda bahwa mereka sudah diperbolehkan untuk memasuki kampung. Setelah turis menaiki tangga, penari penyambut akan mendahului di depan dengan terus menerus menari sambil berjalan. Setelah sampai di depan papan nama kampung, tarian penyambutan mulai berhenti dan turis akan bergerak ke bangku penonton yang berorientasi menghadap ke mesbah. 95


Kiri: Skematik pola penjeputan tamu oleh warga Takpala dari pintu kampung hingga Mezbah. Kanan: Skematik pola kedatangan para tamu dari pintu kampung hingga tempat penonton. (Kontributor: Tim Pola Kampung)

Setelah semua turis duduk di tempat yang telah disediakan, segera dilaksanakan upacara beli moko. Dua buah moko yang ada di mesbah akan diambil oleh tetua suku untuk kemudian ditangkupkan satu sama lain. Setelah ditangkupkan, kedua moko dikembalikan ke mesbah. Selanjutnya, seorang mama tua di antara sekumpulan penari lego – lego 96

wanita akan beranjak ke arah mesbah dan duduk di tepi mesbah. Tidak semua ibu yang sudah berumur cukup tua dapat menjadi mama tua. Peran mama tua adalah mengucapkan sajak “Kaling Loma� sambil memukul salah satu moko yang terletak di mesbah tadi.


Mama tua akan kembali ke dalam formasi lingkaran lego – lego setelah menyelesaikan sajak “Kaling Loma”. Pada saat itu, para penari laki – laki yang sebelumnya memainkan alat – alat musik segera masuk ke dalam formasi. Formasi berbentuk spiral ini mengelilingi mesbah dengan susunan penari perempuan menjadi pangkal formasi spiral,

melambangkan simbol pohon. Penari perempuan dalam jumlah genap, bisa dua, empat, enam, sampai delapan penari memulai formasi dan dilanjutkan dengan satu orang laki – laki. Formasi secara terus menerus berulang dengan aturan seperti tadi dengan keseluruhan jumlah penari diharuskan genap. Satu sama lain penari akan saling berangkulan.

Kiri: Mama tua, mengucapkan sajak Kaling Loma (Kontributor: Didha Igashi M) Atas: Para turis yang menonton pertunjukan Lego-lego (Kontributor: Didha Igashi Marindra) Bawah: Upacara Beli Moko (Kontributor: Arichi Christika)

Suara yang mengiringi gerakan dalam tarian, setelah tarian lego – lego dimulai, hanya berasal dari gemerincng gelang yang ditimbulkan oleh gerakan kaki dan nyanyian bersama para penari. Tidak terdapat gerakan lain selain gerakan kaki dengan arah

gerak berlawanan arah jarum jam. Walaupun cukup sulit untuk menjaga formasi gerak secara melingkar sambil bergerak, para penari dapat terus bergerak bersamaan dalam formasi spiral yang rapih. 97


Pola pergerakan dalam tari Lego-lego (Kontributor: Tim Pola Kampung)

98


Hentakan kaki saat irama Lego-lego makin cepat (Kontributor: Leta Lestari)

Sepanjang tarian, para penari menyanyikan sajak – sajak tanpa terputus. Sajak yang dinyanyikan biasanya berjumlah puluhan sajak. Setelah sajak pertama dinyanyikan mama tua, seluruh penari akan menyanyi bersama melanjutkan sajak pertama. Ketika nyanyian bersama seluruh penari selesai, lantunan nyanyian akan dilanjutkan dengan sajak yang dinyanyikan oleh satu orang. Setelah selesai menyanyikan sajak tersebut, penari kembali menyanyi besama, begitu seterusnya seluruh sajak dinyanyikan. Orang – orang yang dapat secara tunggal menyanyikan sebuah sajak adalah orang – orang yang memang dianggap memiliki kemampuan tertentu dalvam menyampaikan doa dan haapan, termasuk para tetua suku. Keseluruhan sajak diucap-

kan dalam bahasa Abui. Tempo gerakan langkah kaki para penari semakin lama akan semakin cepat menjelang berakhirnya rangkaian tarian. Setelah tarian lego – lego selesai, atraksi tarian dilanjutkan dengan tarian peperangan yang dikenal dengan nama cakalele. Tarian ini hanya melibatkan penari laki – laki. Penari laki – laki yang berada di dalam formasi tari lego – lego akan keluar dari formasi, sementara para penari wanita tetap berada di sekitar mesbah namun sedikit menyingkir dan mengambil tempat di bagian belakang mesbah, apabila dilihat dari sudut pandang dari kursi penonton. 99


Tarian cakalele diiringi oleh musik dari gong dan tambur. Tiga sampai empat pasang penari laki – laki akan bersiap di dekat alat – alat musik dimainkan. Diiringi oleh suara dari alat – alat musik pukul, pasangan – pasangan penari secara bergantian memerankan adegan peperangan menggunakan senjata masing – masing, seperti parang dan anak panah. Penari yang satu dan penari yang lain beraksi menggertak untuk menunjukkan kehebatan masing – masing. Pasangan terakhir yang menarikan cakalele akan menandai berakhirnya seluruh atraksi bagi para turis.

Pola pergerakan dalam tari Cakalele (Kontributor: Tim Pola Kampung)

100


Tari Cakalele (Kontributor: Leta Lestari)

101


Atas: Seorang bule yang masuk ke dalam tari Lego-lego (Kontributor: Leta Lestari) Kiri: Posisi penonton dalam pertunjukan (Kontributor: Tim Pola Kampung)

Pada beberapa kesempatan, turis – turis asing seringkali terlibat dalam prosesi tarian lego – lego. Para turis boleh masuk ke dalam formasi lego – lego setelah satu putaran tarian oleh penari – penari Takpala dituntaskan. Penari – penari yang berada di sekitar mesbah akan membubarkan diri secara perlahan menuju tempat penjualan barang – barang kerajinan dan cindera mata, mereka tetap menggunakan pakaian adat sambil melayani para turis. Interaksi secara langsung antara masyarakat kampung dan turis yang datang justru lebih banyak 102

terjadi di sini. Beberapa turis ada yang mengambil kesempatan untuk bertanya lebih jauh mengenai tarian, rumah – rumah vernakular, serta keseharian masyarakat Takpala. Tarian lego – lego diajarkan secara turun temurun dari orang tua kepada anak – anak mereka. Beberapa sekolah juga memasukkan lego – lego sebagai salah satu mata ajar wajib. Namun, sangat jarang terlihat anak – anak muda yang ikut menari dalam formasi tarian masyarakat Takpala.


Setelah prosesi makan baru akan dilakukan tarian lego – lego seluruh kampung. Biasanya akan diundang tamu – tamu yang terdiri dari masyarakat Abui yang tinggal di kampung sekitar Takpala. Proses penyambutan tamu – tamu untuk masuk ke Kampung Takpala masih sama dengan proses penyambutan untuk turis. Tahapan prosesi berlanjut sama seperti pada atraksi tarian lego – lego untuk turis. Perbedaannya terletak pada jumlah orang yang terlibat dalam tarian dan lam tarian lego - lego. Pada ritual tahunan, jumlah penari bisa mencapai seratus orang dan tarian dapat berlangsung sangat lama, biasanya dimulai pada malam hari pukul 19.00 dan baru akan berakhir keesokan harinya pada

pukul 05.00. tarian lego – lego dilakukan semalam suntuk dan karenanya penari yang kelelahan dapat keluar dari formasi untuk digantikan dengan penari lain. Tarian lego – lego menjadi puncak dari ritual. Menjelang pukul 06.00, ritual mulai mencapai tahap akhir. Tetua yang paling dihormati akan naik ke atas mimbar berupa pelataran, dari material bambu, yang memiliki ketinggian sekitar 180 cm. Selanjutnya, tetua akan membagi buah pinang dan memerciki seluruh warga yang turut serta dalam ritual dengan menggunakan air berkat yang sebelumnya sudah didoakan di dalam rumah adat. Pemberkatan ini menandai berakhirnya ritual panjang di tanggal 20 Juni.

Foto oleh: Leta Lestari

103


Ekskursi Alor, Sebuah Perkembangan Budaya

B

erdasarkan dari penjelasan sebelumnya, maka jelas makna ritual dan ruang yang terjadi sehari-hari telah berubah. Tentunya perubahan ini bukan tanpa alasan. Masuknya agama asing serta pengaruhnya yang kuat perlahan menghilangkan makna yang terkandung dalam kebudayaan. Keberadaan agama tradisional kini hanya tersimpan dalam memori para tetua di desa, yang tentunya sudah sangat sedikit juga. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi adalah aspek wisata. Kampung Takpala, yang ditetapkan sebagai kampung pariwisata adat oleh pemerintah setempat, telah mengalami perubahan pola kampung. Susunan rumah yang tadinya bersifat mengelilingi mezbah berubah menjadi linear. Lalu pada tanah yang kosong dibuat bangku-bangku tempat pengunjung dapat menonton. Mezbah yang merupakan ruang pusat pada kampung berubah menjadi panggung. Akan tetapi perubahan tersebut bukan berarti hal yang buruk. Karena justru dengan adanya pengunjung yang datang, warga Takpala justru mendirikan Sanggar Budaya Takpala. Sebuah perkumpulan yang didalamnya tarian lego-lego tetap dilatih, dan diajarkan kepada generasi mudanya. Ilmu dan pengetahuan budaya tetap tersalurkan dan terjaga. Dengan begitu ilmu budaya tersebut tidak lagi hanya dijaga oleh sekelompok orang saja, namun turut disebarluaskan melalui para pengunjung yang datang tersebut. Tim kami dengan buku ini juga salah satunya. Bila kita merujuk pada tema besar yang kami angkat; Living Celebration, yang berarti sebuah budaya menghidupi dan sekaligus dihidupi oleh masyarakatnya, hal tersebut masih terjadi namun dengan makna dan praktek yang berbeda. Bila dahulu masyarakat menjalankannya murni dengan alasan ritual, saat ini pun dengan adanya pertunjukan tersebut budaya ini tetap dihidupkan. Kemudian pertunjukan ini pun menjadi salah satu sumber penghasilan sehari-hari warga Takpala. Waktu memang membawa perubahan yang sangat besar. Namun sepertinya hubungan masyarakat Takpala dengan ritualnya tetap menyatu dengan erat. Pada akhirnya segala yang kami tuliskan pada buku ini bukanlah kesimpulan tertutup. Waktu terus berjalan, dengan kehidupan yang terus menyertainya. Seiring dengan hal itu perubahan akan terus terjadi dan pengamatan serta penelitian lanjutan akan tetap diperlukan.

Terima kasih 104


Foto oleh: Psychilectira Mangifera

105











sponsored by

media partner





Panitia Ekskursi Alor 2011

Ketua Panitia : Mirzadelya Devanastya Sekretaris : Annisa Marwati Fatya Faizanur Bendahara : Leta Lestari S Dana : Yulia Vonny S Mutia Sekar Hapsari PJ Sponsor : Psichylectira Mangifera PJ Dana Usaha : Arichi Christika PJ Donatur : Rizkiyasa Nirmala Staff Dana : Nurjannah Bestaria Citra Trisiella Sakinah Putri Operasional : Azriansyah Ithakari PJ Acara : Nabila Azka PJ P3K : Nia Suryani PJ Konsumsi : Ayu Murhadiningtyas PJ Dokumentasi : Harindra Mahutama Staff Operasional : Dwimayu Budinastiti Noor Fajrina Adriana Andhini Dewi Pratiwi Budiyanti Farida Nawafia Humas : Yolanda Clara S Didha Igashi Marindra PJ Media Partner : Namlia Mahabba PJ Publikasi : Maolina Fajrini Staff Humas : Gusti Ayu Asri Belonia Prihandini Utami Yasinka Ainur Materi : Klara Puspa Indrawati Wakabid : Andi Mahardika PJ Riset : Novia Putri Anisti PJ Survey : Talisa Dwiyani PJ Output : Imaniar Sofia Staff Materi : Fera Farwah Adlina Baim Aulia Urrohmah Fitri Mardiana Ajeng Nadia Sarana : Bagus Wibowo Suryo PJ Transportasi : Iqro Eksa PJ Perlengkapan : Kosa Lazawardi PJ Akomodasi : Zaimmudin Khairi Staff Sarana : Ade Fadli Labib Ilmi Kurni Fajar Agriza Albertus Bobby Rendy Pimrizky Kreatif : Mikhael Johanes Staff Kreatif : Daka Dahana Harizaska Fauzan

Peserta Ekskursi Alor 2011 Tim Video

Tim Wawancara Novia Putri Anisti Yulia Vonny Sinaga Nabila Azka Ayu Murhadiningtyas Nia Suryani Namlia Mahabba Meidesta Fitria Klara Puspa Indrawati

Tim Fotografi Talisa Dwiyani Arichi Christika Harindra Mahutama Mikael Johanes Feby Hendola Kaluara Didha Igashi Marindra

Mirzadelya Devanastya Fera Farwah Psichylectira Mangifera Kosa Lazawardi Iqro Eksa Mulia Idznillah Azriansyah Ithakari Satria Putra Pamungkas Dwimayu Budinastiti Ade Fadli

Tim Sketsa

Bagus Wibowo Suryo Daka Dahana Kurnia Fajar Agriza Andi Mahardika

Tim Pola Kampung

Zaimmudin Khairi Ajeng Dwi Astuti Ryski Nur Ramadhan Sigit Yuliandaru Leta Lestari Albertus Bobby Andrea Theodore Farida Nawafia Adriana Andhini



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.