Humas Pemerintah di Era Keterbukaan Informasi Publik1 Oleh: Suprawoto2 Pendahuluan Dalam catatan sejarah di negeri ini, setiap rezim yang berkuasa, pada awal pemerintahannya, agar memperoleh dukungan masyarakat secara luas selalu menjanjikan akan kemerdekaan untuk memperoleh informasi. Namun pada akhirnya, janji akan kemerdekaan memperoleh informasi itu kemudian terjadi dinamika. Hal ini dapat dirunut, mulai awal lahirnya negara yang kita cintai bersama ini. Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, sebagai founding fathers, Sukarno dan Hatta pernah mengalami pahitnya dibelenggu dalam ketidak bebasan berpendapat, baik selaku pribadi maupun melalui media. Oleh sebab itu, sebagai Negara yang merdeka sudah selayaknya menjamin dengan tegas kebebasan berpendapat dan juga pers yang kemudian diatur dalam Pasal 28 UUD
1945
yang
berbunyi,�
kemerdekaan
berserikat
dan
berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang�. Kemudian Menteri Penerangan waktu itu, Mr Amir Sariffudin, pada bulan Oktober 1945 menegaskan kembali melalui maklumatnya, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus bersendikan asas pers merdeka. Oleh karena itu, kebijakan komunikasi dan penerangan yang dianut pemerintah, dijanjikan sebagai berikut: "Pikiran masyarakat umum (public opinions) itulah sendi dasar pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tak merdeka tidak mungkin menyatakan pikiran masyarakat, tetapi hanya pikiran beberapa orang yang berkuasa. Maka, asas kita ialah pers harus merdeka." 1
Sebagian tulisan ini pernah dimuat dalam bentuk artikel dalam rangka menyambut Hari Pers Nasional dengan judul “Mengapa Media Selalu Curiga� pada harian Sindo 9 Pebruari 2009. 2
Staf Ahli Menkominfo Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya.
1
Sejarah kemudian mencatat, pers masa perjuangan waktu itu bahu membahu mendukung pemerintah untuk berjuang mengusir penjajah. Akan tetapi, setelah Belanda pergi dan pers mulai kritis terhadap pemerintah, pembatasan dan malahan pembredelan mulai dilakukan. Tafsir pemerintah atas kemerdekaan pers hanya digunakan untuk memperkuat status quo dibandingkan membangun keseimbangan sebagai kontrol publik terhadap pemerintah. Surat Kabar Indonesia Raya, Pedoman, dan Nusantara menjadi saksi atas pengingkaran janji pemerintah di masa kepemimpinan Sukarno. Sinar Harapan pun sempat mengalami pembredelan oleh pihak penguasa pada awal Oktober 1965 ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI. Kelahiran Orde Baru, di bawah kepimpinan Presiden Suharto juga dihiasi dengan janji akan kebebasan pers. Sebagai koreksi atas Orde Lama yang mulai mengekang kebebasan pers, pemerintah menjamin kebebasan pers melalui undang-undang tentang Pers. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 Pasal 4 yang secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa,�pers bebas dari kontrol dan pembredelan�. Bahkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967, sebagai revisi atas undang-undang sebelumnya hanya mengubah klausul yang berkaitan dengan media cetak dimana Jaksa Agung tidak memiliki wewenang untuk melakukan pembredelan. Pada
periode
awal
Orde
Baru,
pers
memperoleh
kembali
kemerdekaannya. Namun sayang, bulan madu kebebasan berakhir usai peristiwa Malari tahun 1975. Upaya pemerintah melakukan pengekangan mulai muncul kembali.
Kontrol atas kebebasan pers makin mengerucut dalam
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 pasal II butir 13 yang mengharuskan setiap penerbitan pers harus memiliki SIUPP. Kemudian dijabarkan dalam Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Permenpen/1984 yang mengatur tentang prosedur dan persyaratan untuk memperoleh SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers). Dalam peraturan ini Menteri juga dapat mencabut SIUPP terhadap pers yang dipandang melanggar ketentuan. Dalih yang dimunculkan pemerintah atas keluarnya peraturan perundangan ini adalah mengedepankan konseptuasi kebebasan yang bertanggung jawab. Sejarah mencatat, pada masa
2
Orde Baru banyak pembredelan dilakukan dan ”budaya telepon” berkembang yang pada dasarnya mengekang kemerdekaan pers. Musim Semi Awal Kemudahan Akses Informasi Pendulum sejarah berganti. Pemerintah era reformasi di bawah pimpinan Presiden
B.J.
Habibie
lahir.
Pemerintahan
Habibie
tercatat
sebagai
pemerintahan yang mengakomodasi kebebasan pers. Bahkan dalam masa awal pemerintahannya, janji kebebasan pers dituangkan langsung dalam undangundang pertama yang disahkan, yaitu Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers tak perlu lagi ijin dan sejenisnya dan malahan ada sanksi bagi yang menghambat kemerdekaan pers. Pemerintahan Habibie hanya sebentar digantikan oleh pemerintahan Abdurrahman
Wahid.
Sebagai
jaminan
dan
memastikan
kontrol
dan
pembredelan terhadap pers tidak ada lagi, ”Gus Dur” langsung membubarkan Departemen Penerangan pada Oktober 1999 yang selama ini identik dengan lembaga yang membelenggu pers. Salah satu alasan Presiden Wahid membubarkan Deppen karena, informasi adalah urusan masyarakat, bukan lagi menjadi urusan pemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan menandai hilangnya kontrol pemerintah. Selanjutnya sesuai dengan Undang-undang Nomor: 40tahun 1999 tentang Pers, yang mengontrol media adalah Media watch, Ombudsman masing-masing media, Dewan Pers dan masyarakat tentunya. Ketika fungsi kontrol media mulai dilakukan, pada saat itu bila terjadi masalah sering tidak diselesaikan sesuai dengan rute yang diamanatkan undang-undang. Baik melalui hak jawab atau melalui Dewan Pers. Banyak persoalan yang berkaitan dengan pemberitaan yang mulai kritis, dan pekerja pers, kebebasan tersebut oleh yang merasa dirugikan pers, ditafsirkan secara sempit dengan idiom ”pengerahan massa”. Tentu ingatan kita tak akan lupa dari pendudukan kantor Jawa Pos oleh simpatisan Presiden Wahid untuk meminta klarifikasi atas pemberitaan dan pemuatan karikatural media yang mulai kritis.
3
Ketika pemerintahan berganti, dari Presiden Wahid kepada Presiden Megawati Soekarnoputri, kembali juga menjanjikan kemerdekaan pers. Gaya pemerintahan
Megawati
memang
berbeda
dengan
gaya
pemerintahan
Abdurrahman Wahid. Namun tatkala pers mulai kritis terhadap pemerintah, Presiden Megawati juga pernah menyampaikan keluhannya terhadap pers yang selalu mengkritisi pemerintah, yaitu pada pidato Hari Pers Nasional yang dilaksanakan di Banjarmasin. Pada masa pemerintahannya, pernah menggugat media massa (Kasus Harian Rakyat Merdeka). Langkah itu diambil nampaknya sebagai salah satu akumulasi pemberitaan yang menyerang secara terus-menerus dan dianggap tidak adil. Namun demikian, memang sesuai janjinya Presiden Megawati menyatakan tidak pernah (memang tidak pernah) membredel media massa. Pemilu 2004, menempatkan pasangan Capres Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai pemenang. Pada awal pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan dengan tegas komitmen kepada demokrasi dan kebebasan pers. Selain menjamin tidak akan ada lagi pembredelan terhadap pers, Yudhoyono juga berjanji membuat pers terus berkembang dan mendapatkan peran dalam kebebasannya. Sebagai wujud realisasi terhadap komitmen tersebut, dalam pidato pada Hari Pers Nasional Tahun 2008, Presiden Yudhoyono menyampaikan, seandainya diminta memilih untuk memberikan kebebasan kepada pers atau mengatur pers, dengan tegas Presiden menyatakan akan memilih yang pertama yaitu memberikan kebebasan kepada pers. Namun tatkala media balik dikritisi karena dianggap memihak dan dipandang oleh Dipo Alam (yang kebetulan selaku Sekab) tidak berimbang dalam pemberitaan, kemudian akan melakukan boikot terhadap media tertentu (detik, 22 Pebruari 2011), malahan mendapat kritik dari beberapa kalangan yang menganggap, bahwa hal tersebut dapat mengganggu kemerdekaaan pers. Oleh sebab itu, tidaklah salah dari rangkaian sejarah seperti tersebut di atas, kemudian masih menimbulkan anggapan bahwa akses informasi dan kebebasan pers yang telah dijamin dalam pasal 28 UUD 1945 selama ini
4
dipandang masih akan mengalami ancaman dengan berbagai cara dan bentuknya. Berangkat dari kenyataan tersebut, dan sebagai hasil reformasi selain amandemen UUD-RI tahun 1945 khususnya pasal 28 dan lahirnya UU No: 40 tahun 1999 , UU No: 32 tahun 2004 tentang Penyiaran, serta sudah barang tentu lahirnya UU No: 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik lebih menjamin kembali, bahwa tidak mudah bagi siapa pun yang berkuasa untuk menafsirkan sendiri tentang pasal 28. Selain sebagaimana telah dengan tegas dinyatakan dalam Undang-undang Dasar juga secara lebih rinci diatur dalam UU No: 14 tahun 2008. Dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, yang disahkan pada saat pemerintahan SBY-JK tentunya semakin memberikan rambu-rambu yang jelas dan tegas mana informasi yang bisa dibuka dan informasi yang ditutup. Undang-undang yang telah berlaku tiga tahun tersebut, bagaimana implementasinya
di
lapangan.
Apakah
masih
ada
kendala
dalam
pelaksanaannya? Demikian pula tujuan ditetapkannya undang-undang ini apakah sudah pada jalur yang semestinya. Bagaimana peran Humas Pemerintah yang secara langsung terkait dengan keberadaan UU ini selalu menjadi pertanyaan yang mengemuka. Undang-undang dan Perkembangan Teknologi Sebagai Daya Dorong mempermudah dan Memperluas Akses Informasi Hukum sebagai law as a tool of social angineering , artinya menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum sebagai sarana untuk melakukan perubahan dalam rangka tertib hukum. Hukum dalam konsep ini, menurut Mochtar tidak diartikan sebagai “alat� tetapi sebagai “sarana� pembaharuan masyarakat (Lili Rasjidi: 183). Pokok-pokok pikiran yang melandasi, konsep tersebut adalah (1) bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembaharuan di masyarakat sangat diperlukan, bahkan mutlak perlu. (2) Dalam hal ini hukum diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki dan
5
pembaharuan itu. Untuk itulah diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi). [3] tentunya hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik tersebut, sejak awal diharapkan sebagai sarana atau law as a tool of social angineering untuk merubah perilaku badan publik yang selama ini ada kecenderungan tertutup. Untuk kemudian, lebih mudah masyarakat mendapatkan akses informasi secara luas. Tentunya hal ini, tidaklah mudah. Namun usaha untuk merubah perilaku dengan pemberlakuan undang-undang tersebut merupakan usaha yang sangat strategis, sebagaimana cita-cita pada saat undang-undang ini digagas dan dibahas. Selain hukum sebagai sarana untuk perubahan yang diharapkan bersama maka tak kalah pentingnya adalah adanya perkembangan teknologi yang demikian cepat seperti sekarang ini, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang diyakini sebagai salah satu pemicu perubahan. Dalam memahami mekanisme perubahan sosial, ada tiga perspektif penting yaitu (1). Perpektif materialis. (2). perspektif idealis; dan (3). perspektif mekanisme interaksional (Mustain Mashud: 382). Dalam perspektif materialis, perspektif ini menempatkan budaya material (baca khususnya TIK) sebagai pendorong utama mekanisme perubahan. Dalam perspektif materialis, teknologi sangat determinan dalam perubahan sosial. Tokoh teknokratis ini adalah Thorstein Veblen (1857-1929). Veblen melihat teknologilah yang mewarnai tatanan sistem sosial. Oleh sebab itu ia mengajukan preposisi bahwa perilaku manusia mencerminkan perkembangan teknologi dan ekonominya. Statement Vablen ini secara implisit mengisyaratkan kemampuan teknologi dalam mempengaruhi perilaku manusia. Jika demikian, maka teknologi itu membawa nilai-nilai tertentu. Teknologi telah berkembang sangat cepat dan perkembangan ilmu pengetahuan memungkinkan untuk itu. Dan malahan tingkat percepatan perkembangan teknologi khususnya TIK seringkali jauh dari prediksi kita semua.
6
Maka seiring dengan kecenderungan seperti itu munculah konsep yang dikemukakan Veblen dan Ouburn- culture lag atau ketertinggalan budaya. Juga diyakini, dengan cepatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan menimbulkan dampak dalam kehidupan masyarakat yang kemudian akan menjadi bagian dari budaya manusia. Hal ini bisa kita rasakan, bahwa penerapan TIK semestinya telah merubah cara kerja, cara berkomunikasi maupun berpemerintahan. Lebih lanjut peran TIK saat ini tidak hanya sebatas sebagai alat (tools) saja, tetapi sudah menjadi pemungkin (enabler) atau bahkan menjadi peubah (transformer) (Supangkat, 2009 : 1). Dengan perkembangan TIK tersebut dan juga TIK tidak sebatas alat, tetapi sudah menjadi pemungkin bahkan peubah. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah TIK sudah merubah cara dalam akses dan pelayanan informasi secara substansial di lingkungan badan publik. Ini tentunya menjadi pertanyaan krusial, menilik pada saat dibahasnya undang-undang ini juga sudah terpikir bahwa perkembangan TIK akan memudahkan, baik yang mengakses maupun badan publik dalam memberikan dan menjalankan kewajiban serta pelayanan informasi Oleh sebab itu, UU No: 14 tahun 2008, dalam pasal 7 ayat (3) dinyatakan bahwa untuk melaksanakan kewajiban dalam menyediakan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan diharuskan membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah. Tantangan terbesar Humas Pemerintah dalam membangun sistem informasi dan komunikasi publik yang berkualitas, adalah mengemas sebuah sistem pengelolaan informasi dan pengemasan informasi yang dibutuhkan publik dan memiliki kualitas, akurat dan menarik. Sebab dengan adanya informasi yang sesuai dengan kebutuhan publik dan acceptable maka kepuasan publik akan bisa tercapai. Dengan informasi yang berkualitas maka kredibilitas badan publik khususnya lembaga pemerintah akan semakin diandalkan di mata publik. Menurut Indrajit (2002) menyebutkan tiga tantangan besar dalam pengembangan layanan informasi publik yang menggunakan teknologi informasi
7
yakni (1) pengembangan kanal akses yang dapat digunakan secara efektif oleh masyarakat
dan
pemerintah,
(2)
keterlibatan
lembaga
swasta
dalam
pengembangan infrastruktur, dan (3) penyusunan strategi institusi, terutama strategi investasi dan operasional. Ada pula tantangan lain, yaitu mengubah budaya pelayanan yang bisa mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (lihat Bourn, 2002). Hal terakhir ini yang membutuhkan kehandalan Humas Pemerintah dan peran kepemimpinan untuk mengawal dan memastikan layanan informasi publik dan kemudahan akses bisa berlangsung dengan baik. Humas Pemerintah yang Serba Salah di Era Keterbukaan Informasi Publik Kalau kita menyimak keterlibatan Pemerintah utamanya pada masa Orde Baru yang sangat mengatur media, maka menjadi Humas Pemerintah pada masa itu boleh dikatakan sangatlah mudah. Ibaratnya menjadi Humas Pemerintah begitu mudahnya seperti memencet tombol listrik. Tinggal memencet on atau off, semua informasi seperti yang dikehendaki. Demikian juga informasi dan opini bisa dikonsrtuksi sedemikian rupa. Tergantung kemauan Pemerintah. Karena media sepenuhnya ada pada kontrol Pemerintah. Apabila media tidak tunduk pada kemauan Pemerintah akan dicabut ijinnya. Banyak fakta yang menunjukkan hal tersebut. Sampai media seperti TV, Radio milik swasta tidak dapat menyiarkan berita. Apabila akan menyiarkan berita harus relay dari RRI atau TVRI. Sejak era reformasi, lembaga perijinan bagi media cetak sudah tidak diperlukan lagi. TV dan Radio sudah tidak lagi dalam kontrol Pemerintah. Malahan RRI dan TVRI sudah menjadi radio dan TV publik. Terjadi interaksi luar biasa. Siapapun saat ini bisa membicarakan setiap kebijakan Pemerintah dengan leluasa. Kenaikan harga bawang, daging di Indonesia akhir-akhir ini direspon dengan interaktif di media dengan cepatnya. Namun sayang, pejabat Humas Pemerintah tidak muncul untuk memberikan penjelasan yang memadai. Yang muncul biasanya, pejabat yang memiliki tugas yang berhubungan dengan pemberitaan tersebut.
8
Menurut catatan, Humas Pemerintah yang aktif di Pusat menyampaikan tanggapan terhadap pemberitaan yang menyangkut lembaganya seperti Humas Polri, Humas TNI, Humas Kominfo, Humas Kemlu dan beberapa yang lain. Sedang di Daerah, Humas Pemda belum banyak yang menonjol dalam bertindak sebagai Humas Pemda. Ada beberapa alasan, mengapa Humas Pemerintah belum berperan maksimal seperti yang diharapkan. Salah satunya alasan yang muncul, Humas Pemerintah rata-rata di Kementerian belum memiliki tingkat eselon yang memadai. Sehingga akses informasi dari sumber informasi di lembaganya sangat amat terbatas. Rapim saja tidak berhak ikut serta. Sehingga tidak dapat menjadi narasumber bagi media. Namun tidak demikian di tubuh Polri dan TNI. Humas di kedua lembaga tersebut dijabat oleh pejabat setingkat bintang dua. Namun tidak juga sepenuhnya benar, eselon menentukan keberhasilan. Dibeberapa Kementerian, Humas dijabat oleh eselon II juga cukup bagus. Seperti di Kominfo, Humas dijabat oleh pejabat setingkat eselon II, namun cukup berhasil. Terbukti, beberapa tahun ini, secara berturut-turut Humas Kementerian kominfo mendapat predikat terbaik dari sebuah lembaga peringkat privat. Yang menyulitkan Humas Pemerintah di era sekarang ini adalah masih adanya anggapan, Humas harus bisa membentuk citra lembaganya dengan baik, sedang Humas tidak cukup diberikan akses informasi yang cukup. Yang lebih tragis, Humas dianggap berhasil apabila mampu menutupi penyimpangan dari akses media. Kalau sampai tidak berhasil dianggap gagal. Ada beberapa keluhan, dari dialog pertemuan Bakohumas yang mengemuka mengenai hal tersebut. Sebagai Humas Pemerintah sekaligus (biasanya) sebagai pejabat PPID (pejabat pengelola informasi dan dokumentasi sebagaimana amanat UU No:14 tahun 2008) harus membuka akses informasi seluas-luasnya. Namun disatu sisi harus menutupinya. Hal ini, salah satu yang kemudian menyulitkan Humas Pemerintah dalam meningkatkan profesionalnya.
9
Menuju good governance yang dicita-citakan. Konsep good governance dimaknai secara beragam oleh banyak pihak, baik individu, negara maupun lembaga. Di Indonesia, good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Bank Dunia mendefinisikan good governance sebagai “suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran dan penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha�. Bank Dunia sangat percaya bahwa di negara-negara Dunia Ketiga, perilaku perburuan rente maupun korupsi kalangan elite yang menyebabkan memburuknya efektivitas pemerintahan (LAN, 2000). Konsep good governance, dalam pandangan
Irfan
(2000:1),
menunjukkan
adanya
perubahan
makan
pemerintahan yaitu merujuk kepada (1) a new process of governing (2) a changed condition of ordered rule dan (3) the news method by which society is governed. Dengan konsep ini, tujuan utama pemerintahan untuk lebih menekankan pada memberikan pelayanan-pelayanan dan keuntungan bagi kesejahtaeraan masyarakat. UNDP mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut: (1) partisipasi setiap warga negara dalam pembuatan keputusan, (2) rule of law atau penegakan hukum, (3) transparansi dengan penyediaan informasi publik, (4) responsiveness terhadap kebutuhan stakeholders, (5) consensus orientation atau menjadikan good governance sebagai pilihan terbaik, (6) kesempatan yang sama bagi warga negara atau equity, (7) effectiveness and efficiency dalam penyelenggaraan pemerintahan, (8) akuntabilitas publik, dan (9) kejelasan perspektif pemimpin tentang good governance atau strategic vision (dalam Subarsono, 2005: 20). Dalam konteks good governance, prinsip dasar yang mengemuka adalah birokrasi pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya, tidak saja kepada atasan langsung, tetapi juga kepada masyarakat. Pertanggung-
10
jawaban kepada publik dicerminkan antara lain dengan transparansi pengelolaan sumberdaya pada institusi publik, sehingga amat penting untuk senantiasa menyediakan akses informasi mengenai kegiatan tersebut kepada masyarakat luas (Rusli, 2004: 55). Dengan menyimak prinsip-prinsip good governance tersebut di atas, maka tujuan dari diundangankannya Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik adalah dalam rangka menuju good governance. Hal ini dapat dilihat dan dinyatakan secara tegas dalam Undang-Undang No: 14 tahun 2008 pasal 3 Namun sayangnya Undang-undang yang diharapkan dapat menuju keperintahan yang baik, nampaknya masih belum seperti yang diharapkan. Terbukti masih hampir semua lembaga Negara tidak bersih dari kasus korupsi, seperti mulai birokrasi pemerintahan, parat penegak hukum, maupun masyarakat umum. Hingga saat ini tidak kurang dari 158 Kepala Daerah mulai dari Gubernur, Bupati/Walikota tersangkut kasus korupsi. Demikian juga aparat sejumlah lembaga Negara seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, DPR dan DPRD, Kejaksaan, Kepolisian dll (Kompas 20 Juni 2011). Dengan demikian semua Badan Publik (baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain) sebagaimana dimaksud dalam UU No: 14 tahun 2008 sudah pernah terkait dengan kasus korupsi. Oleh sebab itu tidak salah apabila Darajad Wibowo menyatakan bahwa reformasi birokrasi yang sudah berjalan lama, ternyata belum efektif mengurangi korupsi (detik, 19 Mei 2011). Wapres Boediono saat membuka rapat koordinasi Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tingkat Nasional 2010 di Hotel Sahid Jaya, Jl Jenderal Sudirman menyatakan bahwa reformasi birokrasi perlu waktu lima belas tahun. Itupun dengan syarat setiap institusi dilakukan sistem evaluasi yang intens., karena reformasi birokrasi perlu waktu yang panjang. (detik , 24 Nopember 2010). Yang menjadi catatan adalah betapa berat menjadi Humas Pemerintah di era saat ini bila cara padang, bahwa humas yang berhasil justru Humas yang
11
bisa menutupi akses media dari penyimpangan yang terjadi. Bukan menjelaskan suatu peristawa pada proporsi yang sebenarnya. Penutup Saat ini secara yuridis, kemerdekaan media dan akses informasi telah terlindungi. Setiap usaha dari siapa pun pemerintah yang berkuasa, untuk membatasi
kembali,
saya
yakin
akan
mendapatkan
perlawanan.
Dan
kemungkinan itu akan kecil dilakukan, mengingat rambu-rambu yang telah menjadi keputusan politik. Demikian juga kemudian kemudahan akses informasi, apakah digunakan sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan sebagaimana pasal 3 UU No: 14 tahun 2008, salah satunya meningkatkan partisipasi masyarakat. Undang-undang telah dibuat, demikian juga teknologi telah berkembang demikian pesat. Secara teoritis, kedua hal tersebut akan mendorong perubahan dalam akses dan pelayanan informasi. Prinsip-prinsip good governance yakni transparansi dan akuntabilitas yang menjadi tuntutan semua pihak,sudah semestinya dipegang teguh bukan saja di lingkup pemerintahan, namun juga di seluruh elemen masyarakat. Kehadiran Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik secara sistemik diharapkan dapat mewujudkan transparansi, peningkatan pelayanan dan pada gilirannya menghilangkan penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi, minimal dapat ditekan ke tingkat yang paling rendah. Tentunya Humas Pemerintah yang mempunyai tugas di bidang ini, harus sadar betul peran dan tantangannya sungguh sangat besar. Daftar Pustaka. Bourn, John. 2002. Better Public Services through e-Government: Academic Article in support of Better Public Services through e-Government. National Audit Office. London. Indrajit, R.E. 2002. E-Government: Strategi Pembanguan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik berbasis Teknologi Digital. Penerbit Andi. Yogyakarta.
12
Islamy, Irfan. 2001. Agenda Kebijaksanaan Reformasi Administrasi Negara. Jurnal Administrasi Negara II (1). Lembaga Administrasi Negara dan BPKP. 2000 Akuntabilitas dan Good Governance, LAN-BPKP, Jakarta. Lili Rasjidi dan Wyasa Putra 2003 “ Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, Mustain Mashud: Perubahan Sosial oleh Mustain Mashud.2004. dalam ”Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan”, Dwi Narwoko-Bagong Suyanto (ed).Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Rusli,
Alexander (ed). 2004. Telematika Indonesia: Kebijakan dan Perkembangan. Tim Koordinasi Telematika Indonesia Kementerian Komunikasi dan Infomasi Republik Indonesia. Jakarta.
Subarsono, AG. 2005. “Kebijakan dan Administrasi Negara di Era Reformasi”. Dalam E.A. Purwanto dan W. Kumorotomo (ed.). 2005. Birokrasi Publik Dalam Sistem Politik Semi-Parlementer. Gava Media. Yogyakarta. Supangkat, Suhono Harso. 2009. Inovasi Teknologi Informasi dan Komunikasi Untuk Pembangunan Generasi Yang Lebih Baik, Pidato Pengukuhan Guru Besar ITB. Bandung. Media: Kompas, 20 Juni 2011 detik.com Undang-undang: Undang-undang Nomor: 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
13