35 minute read
EKONOMI
from Peta Jalan Pemulihan Ekonomi, Kesehatan, & Pariwisata Indonesia pada Masa dan Pascapandemi COVID-19
Letnan Jenderal TNI (Purn.) Dr. (H.C.) Doni Monardo
Strategi Penanganan COVID-19 Berbasis Pentahelix
Advertisement
Dr. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si
n Melintasi Sejarah, Menang Melawan Wabah. n Tahun Ajaran Baru Bukan Gelombang COVID-19 Baru
Gidion Suranta Barus
Akselarasi Ekonomi Digital di Era Pandemi
Yoris Sebastian
Beradaptasi Cepat namun Instan
Yanti Pusparini
Instrumen dan Kanal Digital sebagai Solusi Pembayaran di Era Pandemi
DONI MONARDO
STRATEGI PENANGANAN COVID-19 BERBASIS PENTAHELIX
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Periode 2019-2021
Harapan bangsa dan negara terhadap Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 begitu membuncah. Gugus tugas dibentuk 13 Maret 2020 melalui Keppres No. 7 tahun 2020. Sebelas hari sebelumnya, 2 Maret 2020, untuk pertama kali Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya kasus nomor 1 dan 2 COVID-19 yang menyerang warga negara kita, asal Depok, Jawa Barat.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menjadi garda terdepan dan pemegang kendali semua lini agar wabah bisa segera teratasi. Sejak awal, saya yang ditunjuk menjadi Ketua Gugus Tugas langsung fokus melindungi masyarakat dan berkoordinasi dengan semua sumber daya nasional. Pasalnya pandemi COVID-19 adalah bencana non-alam sehingga mutlak adanya satu "komando".
Patut dicatat, saat itu tidak ada satu pun negara yang piawai mengendalikan COVID-19. Bagi semua negara, wabah ini adalah hal baru. Sekalipun jika dirunut, wabah sejenis (Flu Spanyol) sejatinya pernah menyerang tahun 1918. Apalagi APD langka, testing sangat terbatas dan lama. Pengetahuan sejumlah ahli ketika itu sangat minim.
Jadi kata kuncinya adalah menjaga yang sehat tetap sehat dan merawat yang sakit menjadi sembuh. Hal yang tak kalah pentingnya adalah menjaga keseimbangan "gas dan rem" agar jangan terpapar COVID-19 sekaligus terkapar PHK.
KOLABORASI BERBASIS PENTAHELIX
Pada awal kemunculannya, pandemi COVID-19 tidak pernah menerjang sendiri. Ia berkelindan dengan berbagai persoalan. Tak bisa disangkal, ada kekentalan ego sektoral pada awal-awal pandemi. Siapa saja, tanpa kecuali, mendadak menjadi “ahli Corona”, dan tak jarang mengeluarkan statemen dan kebijakan sendirisendiri.
Persoalan lain adalah aspek pemberitaan yang cenderung membingungkan. Para pakar kesehatan saling silang pendapat. Belum lagi “pengamat dadakan” yang mencari panggung di media. Belum cukup dengan itu semua, masih ditingkahi dengan sebaran hoaks.
Kementerian Kominfo setiap hari melansir sebaran hoaks. Bukan hanya satu-dua, tapi ratusan bahkan ribuan. Data terbaru, Mei 2021, Kominfo masih mendeteksi adanya 1.733 hoaks terkait COVID-19 dan vaksin. Di luar itu semua adalah serangan wabah COVID-19 itu sendiri.
Tidak ada pilihan lain kecuali melakukan kolaborasi berbasis Pentahelix. Kerja sama unsur pemerintah, unsur masyarakat, akademisi, pengusaha, dan media menjadi harga mati. Gugus Tugas melalui Tim Pakar di bawah koordinator Prof. Wiku Adisasmito segera melakukan langkah sinergi data. Itu langkah awal yang kelak akan besar manfaatnya bagi pengendalian pandemi COVID-19 di negara kita.
Prinsip kolaborasi Pentahelix inilah yang membantu pemerintah merumuskan kebijakan yang tepat sehingga semua langkah terukur, serta berdasarkan data dan kajian ilmiah. Gubernur dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Pangdam/Danrem, Kapolda, Kadiskes dan Kepala BPBD serta OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dan para pihak yang terkait. Bupati/ Wali Kota dalam pelaksanaan tugasnya akan dibantu oleh Dandim, Kapolres, Kadiskes dan
Kepala BPBD serta OPD dan para pihak yang terkait.
Untuk penanganan penyakit berada di jajaran sektor kesehatan, baik dari pemerintah maupun para pihak dari BUMN. Kemudian sektor lembaga usaha swasta, IDI, lembaga nonpemerintah, dan perguruan tinggi. Lembaga riset terlibat secara terencana dan terpadu untuk melakukan penguatan pencegahan serta percepatan deteksi dan respons.
Masyarakat turut memegang peranan yang sangat penting dalam mencegah penyebaran COVID-19. Masyarakat menjadi subjek, berperan aktif dalam pencegahan dan deteksi dini. Dalam hal ini, masyarakat adalah garda terdepan dalam penanganan pandemi COVID-19. Sejumlah keteladanan yang diambil para tokoh masyarakat dan ulama-pendeta (para tokoh agama) kemudian diapresiasi dan dikembangkan di daerah lain. Selain itu, semangat gotong royong dari masyarakat yang saling membantu, seperti berbagi masker dan berbagi makanan kepada yang kurang sejahtera agar imunitas diri mereka meningkat.
Gugus Tugas juga memberi masukan terkait “lockdown”. Indonesia dengan karakteristik
Foto : BNPB
geografis serta sosiologis yang berbeda dengan banyak negara lain tentu harus melakukan modifikasi kebijakan. Tidak semata-mata ikut-ikutan “lockdown”. Betapa pun aspek kesehatan dan aspek ekonomi harus dikaji secara cermat.
Masalah lain yang dihadapi adalah terbatasnya jumlah dokter. Data menyebutkan bahwa jumlah dokter paruparu kurang dari 2.000 orang di seluruh Indonesia. Itu artinya, satu orang dokter paru harus melayani lebih dari 130 ribu warga negara Indonesia. Jika kapasitas rumah sakit digabung antara swasta dan negeri sekali pun tidak akan sebanding dengan jumlah penduduk.
Upaya untuk mengurangi masyarakat yang terkontaminasi tentu penting dilakukan sebagai upaya pencegahan. Modal terbesarnya adalah gotongroyong. Pendekatan keilmuan, ilmu kesehatan, imunologi, teknologi, pandemologi, dan lainlain dirangkum dalam satu sistem yang komprehensif.
Kami selalu memakai prinsip kehati-hatian, apalagi yang terjadi kemudian adalah makin banyak
masyarakat yang tidak saja terpapar virus tapi juga terkapar akibat kehilangan pekerjaan. Kemudian dengan prinsip kehati-hatian tadi, sembilan sektor usaha dengan risiko rendah pelan-pelan dibuka. Terutama di daerah dengan risiko rendah, sedangkan pendidikan termasuk yang berisiko tinggi karenanya belum direkomendasi untuk dibuka.
Salah satu ujung tombak adalah rantai komando dari pemerintah pusat, dari presiden hingga RT/RW untuk melakukan perubahan perilaku. Targetnya masyarakat yang harus tetap sehat. Mereka yang kurang sehat menjadi sehat, dan mereka yang sakit akan diobati sampai sembuh.
Agar mudah diingat oleh masyarakat, slogan 4 Sehat 5 Sempurna mulai digalakkan lagi dalam konteks menghadapi COVID-19. Slogan tersebut untuk membangun manusia Indonesia dalam menghadapi serangan COVID-19.
Empat sehat lima sempurna didefinisikan sebagai upaya mencegah COVID-19, yaitu gunakan masker, jaga jarak, baik physical distancing maupun social distancing, rajin cuci tangan dengan sabun dan olahraga, tidur teratur dan cukup serta tidak panik. Satu yang membuat sempurna adalah makanan yang bernutrisi. Slogan ini dibutuhkan di era COVID-19 sebagai salah satu cara untuk berdaptasi.
Foto : BNPB
ARAHAN PRESIDEN
Posisi Indonesia menjadi unik, karena karakter kepulauan dengan jumlah penduduk nomor 4 terbesar di dunia. Di sinilah pentingnya menyinergikan data sebagai upaya mendeteksi dinamika penyebaran COVID-19 di Indonesia.
Dalam waktu tidak terlalu lama, gugus tugas yang kemudian diganti menjadi Satuan Tugas (Satgas) telah mengumpulkan data penting agar mudah terintegrasi, memberi akun lebih dari 10 ribu puskesmas, 2.900 akun rumah sakit, 514 akun Dinas Kesehatan kabupaten/kota, dan 34 akun Dinas Kesehatan provinsi di seluruh Indonesia.
Alhasil data apa pun yang terkait COVID-19, Satgas memenuhinya. Termasuk data stok barang di gudang, serta distribusi barang kebutuhan. Dari data itu pula, tim pakar melakukan analisis dan cross data, sekaligus koordinasi lintas sektor untuk menentukan kualitas dan percepatan penanganan COVID-19.
Presiden Jokowi mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran gugus tugas dari pusat sampai daerah. Juga kepada unsur lain yang bekerja tak kenal waktu dengan penuh dedikasi dan pengabdian untuk bangsa dan negara dalam menangani COVID-19.
“Harus saya ingatkan, tugas besar kita belum berakhir. Ancaman COVID-19 masih ada. Kondisi masih dinamis. Saya ingatkan jangan sampai terjadi gelombang kedua, second wave,” ujar Presiden Jokowi.
Kondisi seperti ini akan terus terjadi hingga ditemukan vaksin. Itu pun masih perlu waktu untuk sampai tahap vaksinasi. Mulai beradaptasi dengan kebiasaan baru sesuai protokol kesehatan, sehingga masyarakat produktif tetapi tetap aman dari paparan virus.
“Menangani perkembangan harus dengan ekstra hati-hati. Data dan fakta di lapangan harus jadi acuan. Saya minta kalau ada daerah yang berpotensi bahaya harus diberitahu agar kebijakan yang diambil bisa melindungi rakyatnya,” kata Presiden Jokowi.
Presiden sudah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk menghadirkan aparat di titik-titik keramaian dan mengingatkan warga agar disiplin dan mematuhi protokol kesehatan. Tentu dengan pendekatan yang humanis.
Presiden juga mengingatkan keseimbangan perhatian pada aspek ekonomi dan kesehatan. Kerja sama atau gotong royong mengendalikan COVID-19 harus dilakukan oleh seluruh bangsa, semua lapisan tanpa kecuali.
Kendalikan keadaan dengan sistem injak gas dan injak rem. Jika kondisi tidak kondusif, kepala daerah harus menginjak rem. Sebaliknya, jika keadaan terkendali harus menginjak gas agar ekonomi bergerak.
VAKSINASI
Vaksinasi COVID-19 sudah tersedia di Indonesia. Program vaksinasi pun mulai dijalankan oleh pemerintah sebagai salah satu upaya untuk memutuskan rantai penyebaran infeksi virus. Saat itu sedang marak kelompok masyarakat yang meragukan keamanan vaksin COVID-19.
Maraknya pemberitaan Kepala Satgas mendaftar menjadi relawan vaksin COVID-19 seperti menebar gelombang kesadaran di tengah masyarakat. Kesadaran gotong royong, kesadaran bela bangsa. Bahkan ada yang menulis di sebuah media daring, “Menjadi Relawan Vaksin COVID-19 adalah Jihad.”
Hadirnya Kepala Satgas ke garis depan menjadi sukarelawan
Foto : BNPB
Foto : BNPB
suntik vaksin COVID-19 seperti angin segar yang banyak membawa makna. Saat itu kebutuhan relawan hanya 1.620 orang membengkak menjadi 2.400 relawan yang mendaftar.
Memasuki bulan ketujuh pandemi COVID-19, data yang ada menyebutkan masih besarnya angka masyarakat yang tidak percaya bakal terpapar virus Corona. Menurut survei BPS, 17 dari 100 responden menyatakan "sangat tidak mungkin" dan "tidak mungkin" terinfeksi atau tertular COVID-19.
Sosialisasi perlu digiatkan agar perilaku masyarakat berubah lebih meningkat dalam menjalankan protokol
kesehatan. Salah satu cara untuk mensosialisasikan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan adalah melalui peran media—terutama media sosial, televisi, dan WhatsApp. Pasalnya, berdasarkan survei, tiga jenis media itu yang paling besar menjadi sumber informasi masyarakat terkait COVID-19. Sisanya baru media jenis lain.
Selain dengan penerapan protokol kesehatan, Tim Satgas juga mengajak masyarakat melaksanakan 3 kunci utama yaitu Iman-Aman-Imun. Iman dalam arti rajin beribadah dan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Aman dalam arti patuh dan taat melaksanakan tiga kewajiban: wajib pakai masker, wajib menjaga jarak atau menghindari kerumunan, dan wajib mencuci tangan pakai sabun. Sedangkan imun dalam arti mengonsumsi makanan bergizi, menjaga hati tetap senang, rajin berolahraga, dan tidur cukup. n
Foto : Onbloss Creative
MELINTASI SEJARAH, MENANG MELAWAN WABAH
Dr. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Game daring ada ribuan jumlahnya, bahkan sudah diperlombakan di tingkat dunia. Namun setiap kali bulan Agustus tiba, sumber kesenangan setiap orang Indonesia selalu sama sepanjang masa: permainan tradisional.
Sedihnya, sudah bertahuntahun perayaan 17 Agustus tetap jauh dari kegiatan panjat pinang, lomba balap karung, dan kontes makan kerupuk. Keceriaan anakanak saat berkarnaval dengan aneka macam busana pun telah menjadi kenangan masa lalu yang entah kapan akan dapat disaksikan kembali oleh masyarakat.
Ada perasaan sendu membayangkan anak-anak di tahuntahun belakangan ini hanya bisa menatap layar televisi atau monitor komputer sambil meletakkan ujung telunjuknya di pelipis. Upacara Hari Kemerdekaan kembali dilakukan secara daring. Para murid, dengan seragam sekolahnya, lagi-lagi hanya dapat berkhidmat di rumah mereka masing-masing.
Kerinduan akan suasana khas Agustusan semakin hebat tatkala data COVID-19 menyajikan potret kepiluan anak-anak Indonesia saat ini. Per tanggal 8 Agustus 2021, misalnya, dari 3.666.031 kasus, sekitar 106.314 di antaranya adalah balita yang positif COVID-19 dan 531
di antaranya meninggal dunia. Begitu pula, terdapat sekitar 366.603 anak berusia 6 hingga 18 tahun yang terkonfirmasi positif dan 1.833 anak di antaranya tak tertolong.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga cukup memprihatinkan. Tiga belas persen anak yang disurvei diketahui mengalami kondisi depresi. Tinggi juga persentase anak yang mengalami kekekerasan. Semua diasumsikan bersangkut paut dengan wabah COVID-19. Jadi bukan hanya virus yang membuat resah. Berbagai problematika psikologi dan sosial pun bermunculan.
Tak pelak, angka-angka tersebut menyiratkan bahwa sebutan kenormalan baru (new normal) masih luar biasa sulit untuk diterima, apalagi diadopsi banyak orang. Jangankan menjalani aktivitas produktif, sebatas mendisiplinkan diri dengan berprokes pun susahnya bukan main. Tak terkecuali, anak-anak juga ikut menjadi korbannya.
Dimulainya kembali proses belajar tatap muka di sekolah juga sebetulnya menghadirkan dilema. Pada satu sisi, karena ada perasaan waswas anak-anak akan terjangkit virus Corona, maka mendiamkan mereka di dalam rumah boleh jadi merupakan langkah terbaik. Namun pada sisi lain juga sulit diingkari, di rumah anak-anak berhadap-hadapan dengan tekanan batin dan fisik yang sama seriusnya. Menjadi korban kekerasan dan mengalami ketertinggalan belajar adalah risikonya.
Pagebluk di Masa Orde Lama dan Orde Baru
Menteri Kesehatan dikabarkan tengah menyusun sebuah acuan tentang bagaimana bertahan hidup dalam waktu bertahun-tahun lamanya bersama virus Corona. Pedih membayangkannya. Namun saya mencoba untuk membesarkan hati dengan membolak-balik berbagai bacaan sejarah. Saya penasaran, pernahkah negeri ini diterjang wabah penyakit? Bila ya, bagaimana orang-orang kita pada masa itu melaluinya. Terilhami oleh kibaran merah putih di sepanjang jalan dan komplek perumahan, saya mencari jawaban yang—saya yakinkan diri sendiri—membangun optimisme.
Optimisme bahwa kita, dari Sabang sampai Merauke, sanggup melewati masa pageblug ini dengan gilang-gemilang.
Catatan yang saya temukan pertama kali adalah warta tentang kunjungan Presiden Sukarno ke beberapa daerah di Tanah Air. Kunjungan itu berisi aksi penyemprotan Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) dari rumah ke rumah, sebagai komando simbolik dimulainya pertarungan melawan Malaria. Penyemprotan perdana dilakukan pada 12 November 1959 di Desa Kalasan, Sleman, Jogjakarta. Pada masa itu, Indonesia memang diamuk nyamuk Malaria. Kabarnya, ratusan ribu orang terjangkit penyakit yang bisa berakibat fatal itu.
Buruknya kondisi kesehatan masyarakat tidak terlepas dari kondisi negara yang memang sedang susah saat itu. Dalam situasi dekat dengan kepapaan, wajarlah orang-orang mudah terkena penyakit. Di samping menyelenggarakan program pengentasan penyakit fisik, Bung Karno juga coba mengisi rohani masyarakat luas. Salah satunya adalah melalui nyanyian untuk membesarkan hati sekaligus menggelorakan identitas nasional, “Mari kita bergembira, sukaria bersama...Siapa bilang bapak dari Blitar, bapak kita dari Prambanan. Siapa bilang rakyat kita lapar, Indonesia banyak makanan!”
Perang melawan Malaria berlanjut di masa Presiden Soeharto. Bahkan lebih dari “sekadar” nyamuk. Sekian banyak jenis kuman juga dihajar habis-habisan oleh Pak Harto, sebagai tanggapan atas berjangkitnya sekian banyak penyakit termasuk Kolera dan Tubercolosis (TB). Konon, dua ragam penyakit ini merupakan penanda porak-porandanya higienitas masyarakat.
Karena higienitas sangat dekat hubungannya dengan pola hidup sehat, maka pemerintahan Pak Harto pun menggalakkan program imunisasi dan pendirian puskesmas. Upaya membenahi pola hidup masyarakat pun dilakukan hingga ke lapis akar rumput melalui pembentukan kelompok PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) dan posyandu (Pos Pelayanan Terpadu). Sasarannya bukan sebatas memberantas bibit penyakit tapi juga memperkuat kualitas jasmani masyarakat. Lagu-lagu bertema kesehatan pun marak di era saat itu. “Aku
anak sehat, tubuhku kuat... Semasa aku bayi selalu diberi ASI, makanan bergizi dan imunisasi,” begitu satu di antaranya.
Berkat program jangka panjang, Indonesia lolos dari lubang jarum. Wabah Malaria, TBC, dan Kolera, misalnya, tertanggulangi dengan baik. Kini, walau di sana-sini masih ada warga yang terkena penyakitpenyakit tersebut, namun secara umum kita memiliki keyakinan bahwa kita telah mampu mengatasinya.
Pagebluk di Masa Kerajaan
Saya terus menelusuri sejarah. Saya menemukan catatan dari sejarawan Claude Guillot. Ia melukiskan suasana di Banten pada tahun 1620-an sebagai masa serba sulit. Khusus terkait wabah berbagai jenis penyakit, Guillot menyebut itu semua sebagai akibat air kotor bahkan beracun, kurang makanan, tidak adanya hewan ternak, hama penyebar kuman, dan udara yang panas lagi lembab.
Masyarakat di kawasan pantai Jawa juga pernah dilanda oleh penularan Malaria dan penyakit paru-paru yang parah. Itu disebabkan oleh jumlah penduduk yang padat dan lingkungan yang kurang bersih. Begitu kondisi kerajaankerajaan Jawa pada kurun 1500 hingga 1700, sebagaimana ditulis Theodore G.Th. Pigeaud dan H.J. De Graaf.
Penyakit epidemi juga menjalar di sejumlah wilayah, termasuk Blambangan, pada sekitar tahun 1750 hingga 1800. Puluhan ribu orang di Sumbawa dan Bali juga kehilangan nyawa. Penyakit ternyata bukan merupakan faktor tunggal. Penderitaan masyarakat semakin tak terperi akibat peperangan dan kelaparan yang berlangsung pada rentang waktu yang sama. Begitu sejarah yang direkam Anthony Reid.
Sumatera pun tak kalah buruknya. Penyakit yang menular lewat air, seperti Tipoid dan Kolera, menyerang di seputaran Bengkulu. Masalah kesehatan berdampingan dengan kualitas tanah yang buruk.
Lebih jauh lagi adalah potret wabah di masa kekuasaan Raja Airlangga di Jawa Timur. Manuskrip kuno memuat kisah tentang seorang ibu bernama Calon Arang. Terkenal sebagai sosok yang bengis, Calon Arang menahan amarah akibat tidak
ada satu pun pemuda yang mau mempersunting putri satusatunya, Ratna Manggali (janganjangan nama ini menjadi asalmuasal dua sejoli dalam film Galih dan Ratna).
Ubun-ubun Calon Arang pecah tak kuat meredam murka, sehingga ia meminta Bhatari Durga menghujani dunia dengan seburuk-buruknya penyakit. Terkabul, satu demi satu orang tewas dalam kondisi menyakitkan. Demam (pertanda infeksi) merajalela. Mayat bertumpuk tak sempat terkubur akibat kencangnya deret kematian. Sebagian membusuk di jalanan dan yang lainnya dimakan binatang.
Berbagai kampung berubah bagaikan kota mati. Bukan karena lockdown, tapi karena warganya mengungsi ke daerah lain. Rapal kutukan Calon Arang dicuri oleh Bahula, pria yang dengan motif politik tersembunyi sengaja menikahi Ratna Manggali. Mantra dibalas mantra. Bahula pun berhasil menghentikan wabah. Kisah tentang Calon Arang ini tampaknya tak lebih dari mitos. Tapi wabah penyakit itu benarbenar terjadi.
Deskripsi sejarah di atas kembali menunjukkan bahwa sejatinya bukan saat ini saja Indonesia terkena epidemi penyakit. Anak-anak yang mengalami penderitaan pun bukan main banyaknya. Baik mereka yang
jatuh sakit maupun yang terlunta-lunta hidupnya akibat ditinggal pergi oleh penopang hidup mereka. Namun hebatnya, sekian kali bibit penyakit menggerogoti kehidupan masyarakat, sekian kali itu pula kita berhasil menghentinya.
Sampai di situ, saya tercenung. COVID-19 memang sudah sewajarnya kita hadapi dengan kewaspadaan tinggi sambil terus memupuk optimisme. Berbagai pelajaran historis tentang penyakit yang pernah melintasi zaman itu menjadi penyemangat yang sangat berarti.
Pada titik inilah kita patut memperkaya khazanah pelajaran sejarah negeri kita. Bukan semata kedigdayaan melawan penjajah, namun juga keperkasaan kakeknenek moyang kita bertarung bertahan hidup melawan penyakit melalui sekian banyak kebijakan dan strategi. Kesadaran akan pentingnya hidup sehat juga dapat “disuntikkan” ke kepala para murid melalui berbagai mata pelajaran di bangku sekolah maupun dongeng-dongeng pengantar tidur.
Pada akhirnya, kita semua hari ini memiliki utang besar ke generasi nanti. Yakni, bagaimana kita dapat melewati dan mengakhiri pandemi COVID-19 dengan gagah perkasa. Itulah satu lagi kisah sukses yang harus dapat diwariskan ke para penggenggam masa depan tentang kemampuan kita memenangkan peperangan melawan penyakit, baik pada masa silam maupun di zaman sekarang. n
Foto : freepik
Foto : Onbloss Creative
TAHUN AJARAN BARU BUKAN GELOMBANG COVID-19 BARU
Dr. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Ada banyak pihak yang menilai bahwa di masa wabah COVID-19 ini aksi kriminalitas terhadap anak semakin marak dan semakin kejam. Untuk mengunci anggapan tersebut tentu perlu dilakukan pengujian. Namun sampai saat ini paling tidak terdapat sejumlah alasan untuk membangun asumsi sedemikian rupa.
Pertama, banyak rumah tangga yang mengalami problematika psikologi, sosial, dan ekonomi yang kian hari kian membebani. Berada dalam suasana batin yang terpuruk, seiring frustrasi yang semakin berat, tidak menutup kemungkinan sebagian orang tua atau anggota keluarga si anak akan mengatasinya dengan cara-cara kekerasan.
Kedua, anak berada di rumah dalam durasi yang jauh lebih panjang. Kalau dianggap bahwa kebanyakan pelaku kejahatan terhadap anak adalah orang dekat si anak, maka lebih lama berada di rumah sama artinya dengan lebih lama si anak berada dalam penguasaan orang dekat. Risiko bagi dikorbankannya hak-hak anak akan semakin tinggi.
Ketiga, tidak bisa lepasnya anak dari gawai dan aktivitas daring juga menghadap-hadapkan anak pada beraneka ragam ancaman baru. Pasalnya kejahatan terhadap anak tidak lagi mengharuskan pelaku dan korban berada di titik bumi yang sama, melainkan bisa melalui media maya.
Keempat, meskipun anakanak gencar diberikan pengetahuan tentang kedahsyatan virus Corona, namun pendidikan tentang keterampilan hidup di masa kenormalan baru tampaknya masih jauh dari ideal. Konsekuensinya, pada musim pandemi ini, kesanggupan anak untuk mencari pertolongan dalam situasi yang membahayakan besar kemungkinan belum benarbenar terasah walaupun “tombol start” untuk pembangunan keterampilan itu sudah mulai dinyalakan sejak tahun 2021.
Pada masa-masa sebelumnya, banyak orang tua dan pendidik yang menemukan kendala besar ketika bermaksud mendidik anak atau murid mereka dengan kebiasaan baik. Larangan merokok dilanggar. Jadwal ibadah diabaikan. Pembatasan aktivitas daring pun disiasati dengan menggunakan gawai secara sembunyi-sembunyi. Banyak lagi “tindakan melawan” yang dilakukan anak-anak.
Sekian banyak kompleksitas pun tak pelak menjadi semakin berat seiring mewabahnya virus Corona. Potret umumnya, anak atau murid semakin sulit untuk diatur. Bila dilakukan penelitian, merujuk pada gambaran-gambaran di atas, dewasa ini semakin banyak anak yang menunjukkan adanya tanda-tanda gangguan perilaku (conduct disorder).
Atas segala masalah tersebut, kita dapat meninjaunya dari dua sisi. Pada satu sisi, dulu, anak-anak berkesempatan mengalami pendisiplinan diri di sekolah, yaitu melalui kegiatan bersama para guru dan teman-teman mereka. Dua pihak itu memang sering lebih efektif membangun tumbuhnya perilaku baik.
Sekarang situasinya berbeda. Pertama, anak-anak menjalani pendisiplinan diri hanya dengan satu kurikulum, yakni kurikulum rumah. Metodenya tidak matang, “gurunya” pun kurang memiliki wibawa sebagaimana wibawa para guru di sekolah. Akibatnya, tendensi (tepatnya bias) anakanak yang menilai diri mereka serba mampu justru semakin tertantang oleh orang-orang dekat mereka. Kedua, keadaan di seputar wabah COVID-19 ini memang bertolak belakang dengan suratan kondisi anak sebagai—katakanlah—manusia yang tak bisa diam untuk waktu yang lama berhadapan dengan stimulus yang monoton.
Foto : freepik
Kedua hal di atas telah cukup kuat bagi terpantiknya backfire effect. Perwujudannya, semakin besar bobot ajaran kebaikan diberikan kepada anak, tindaktanduk mereka justru semakin tak tertata. Semakin diarahkan, semakin melawan. Darah orang tua pun naik ke kepala, anak terdorong lebih kuat untuk melawan terhadap “penguasa”.
Sampai di situ, layananlayanan bantuan yang sebelumnya aktif pun kini vakum bahkan semakin bubar. Setidaknya mengurangi tempo kerja mereka secara signifikan. Jadi, tanpa perlu didramatisasi, siapa pun
sesungguhnya dapat menyaksikan bahwa kehidupan anak-anak di masa pandemi ini mendatangkan masalah demi masalah yang luar biasa rumit untuk diatasi.
Dengan situasi pelik sedemikian rupa di depan mata, melalui catatan ini saya tidak akan over optimistis dengan menawarkan jalan keluar. Juga jujur saya katakan bahwa berbagai pandangan dan nasihat tentang pengasuhan yang dulu sering saya sampaikan ke publik kini harus saya rombak besarbesaran pada tataran teknis.
Pokok-pokoknya memang tetap sama, yaitu kekuatan cinta, dialog, dan bermain. Namun bagaimana mengimplementasikan ketiga unsur itu ke tataran praktik, virus Corona mendesak saya untuk mereviu semuanya satu demi satu.
Kerumitan serupa, dugaan saya, juga dihadapi oleh sentrasentra pendidikan anak usia dini. Kegiatan daring nyata-nyata bukan pendekatan yang dapat dipraktikkan untuk jenjang kelompok bermain dan taman kanak-kanak. Para orang tua pun tentu tidak mengidamkan bahwa anak-anak usia dini mereka menatap layar komputer atau ponsel dalam waktu lama.
Atas dasar itu, patut kita membangun asa bahwa mengaktifkan kembali kegiatan belajar secara tatap muka di sekolah hingga beberapa segi akan mengembalikan anakanak ke kondisi perkembangan mendekati normal. Tentu,
alternatif apa pun yang diambil niscaya selalu mempunyai dampak positif maupun negatif bagi anak-anak. Begitu pula, banyak orang memiliki keinsafan bahwa anak-anak berisiko menularkan maupun tertular COVID-19. Masyarakat perlu terus memompa semangat para pengelola dunia pendidikan agar sungguh-sungguh merancang program pembelajaran tatap muka dengan berdasarkan hasil penelitian dan kaji ulang yang berkelanjutan.
Satu garis bawah ingin saya tambahkan di naskah ini, yaitu terkait materi pembelajaran tatap muka. Bukan semata materi akademik yang perlu dilesakkan ke kepala murid. Muatan belajar seperti itu hampir bisa dipastikan akan membuat para murid mengalami emotional breakdown. Mereka tidak lagi sebatas goyah, namun bahkan bisa kolaps.
Sebagai ganti materi berorientasi akademik, setelah terkunci dalam serbaneka kerumitan hidup selama bertahun-tahun, para murid perlu memperoleh kesempatan lebih luas untuk mengemukakan gundah gulana mereka. Para guru patut membuka diri untuk menyimak ungkapan kesedihan, keletihan, kejenuhan, ketakutan, amarah, dan sensasisensasi batiniah negatif lainnya yang dapat diekspresikan oleh para siswa. Ilmuwan psikologi mengistilahkan proses itu sebagai katarsis atau emotion focused coping. Itulah kegiatan belajarmengajar yang paling dinantikan sekaligus paling realistis untuk diadakan melalui pembelajaran tatap muka di sekolah.
Saat tulisan ini saya susun, gerbang sekolah telah dibuka. Wajah ceria bersorak gembira di setiap koridor. Sambil anak-anak bermain, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Perlindungan Anak perlu duduk bersama guna secepatnya mendesain program penyiapan seluruh guru di Tanah Air agar siap menjalankan peran ekstra laiknya guru bimbingan konseling. Kita memang perlu memiliki persepsi yang sama, yaitu sekolah adalah sentra rehabilitasi kolektif nasional, utamanya bagi anak-anak kita. Semoga. n
AKSELERASI EKONOMI DIGITAL DI ERA PANDEMI
Gidion Suranta Barus ST MM
ICT Profesional Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak awal tahun 2020 memberikan dampak negatif bagi perekonomian dan bisnis. Beberapa perusahaan menjalankan program efisiensi karena kehilangan sumber daya atau pasar akibat pembatasan kegiatan masyarakat. Program efisiensi ini antara lain adalah menunda rencana ekspansi bisnis, mengurangi kapasitas produksi, dan menutup beberapa gerainya karena kunjungan pelanggan yang terus menurun.
Di sisi lain, masyarakat semakin teredukasi untuk melakukan aktivitas secara digital. Hasil survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia) pada periode tahun 2019 sampai dengan kuartal II tahun 2020 menunjukan bahwa telah terjadi penambahan 25,5 juta pengguna internet baru di Indonesia atau menjadi 196,7 juta pengguna internet.16 Kenaikan jumlah pengguna internet ini disebabkan kebijakan bekerja di rumah (work from home) dan adaptasi pembatasan kegiatan masyarakat seperti belanja secara online, belajar online, dan konsultasi kesehatan secara online.
Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan bahwa nilai transaksi e-commerce di tahun 2021 bisa mencapai Rp395 triliun, atau
16 Survei Pengguna Internet APJII 2019-Q2 2020
tumbuh 48,4% secara tahunan.17 Selain itu Bank Indonesia juga menyampaikan bahwa transaksi digital banking di tahun 2021 mencapai 3.410,7 triliun atau tumbuh sebesar 53,08% secara tahunan.18
Jumlah pengguna internet diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan perluasan cakupan layanan internet oleh operator telekomunikasi dan program akselerasi digital dari pemerintah. Operator telekomunikasi membangun serat optik dan BTS (Base Transceiver Station) 4G/5G di kawasan bisnis, baik kawasan industri maupun di kawasan perumahan.
Pembangunan kabel laut dilakukan oleh beberapa operator telekomunikasi. Indosat sudah memiliki kabel laut Jakabare (menghubungkan Jakarta, Kalimantan, Batam, dan Singapura) dan kabel laut Indigo (menghubungkan Indonesia, Asia Tenggara, dan Australia). XL bekerja sama dengan Facebook dan Google sedang membangun kabel laut Echo (menghubungkan Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat) yang direncanakan
17 Paparan Virtual Gubernur Bank Indonesia yang dikutip oleh kontan.co.id (07/08/2021) 18 Publikasi Bank Indonesia, Rapat Dewan
Gubernur Agustus 2021 selesai di tahun 2023. Telkom bekerja sama dengan Facebook dan Keppel sedang membangun kabel laut Bifrost (menghubungkan Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat) yang direncanakan selesai di tahun 2024.
Sementara itu pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bekerja sama dengan operator telekomunikasi membangun infrastruktur telekomunikasi di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Infrastruktur telekomunikasi yang dibangun berupa jaringan serat optik nasional (Palapa Ring) yang akan menjangkau 34 provinsi dan 440 kota/kabupaten, BTS untuk layanan 4G di 9.586 desa, dan satelit satria untuk menjangkau 150.000 titik layanan publik yang belum tersedia akses internet.19
Jumlah dan pertumbuhan pengguna internet atau masyarakat digital di Indonesia yang besar adalah pasar potensial bagi pelaku bisnis digital. Indonesia hanya akan menjadi pasar saja, jika tidak memiliki bisnis digital atau jika pelaku bisnis digital Indonesia menempatkan platform
19 Publikasi Kemkominfo 2021.
digitalnya di luar negeri. Hal ini akan menyebabkan terjadinya transfer dana ke luar negeri karena transaksi digital pengguna internet Indonesia di platform digital di luar negeri, serta kehilangan potensi pendapatan pajak negara.
Munculnya peraturan penyenggaraan sistem dan transaksi elektronik yang mewajibkan penyelengara membangun pusat data di Indonesia, peraturan perpajakan bagi perusahaan asing yang berbisnis di Indonesia, kebijakan tax holiday bagi industri pionir di sektor ekonomi digital, dan ketersediaan kabel laut telah mendorong pelaku bisnis digital menanamkan usahanya di Indonesia. Dimulai dengan kehadiran Alibaba Cloud di tahun 2018, kemudian diikuti oleh kehadiran Google dan Amazon di tahun 2021. Pelaku usaha nasional pun melihat potensi pasar digital ini sehingga bermunculan inisiatif transformasi digital, yang didukung oleh teknologi cloud computing, big data, dan artificial intelligence, seperti digital banking di perbankan dan insuretech di perusahaan asuransi.
Kehadiran penyelenggara sistem dan transaksi elektronik global di Indonesia dan inisiatif transformasi digital oleh pelaku bisnis nasional mengakibatkan peningkatan kebutuhan fasilitas pusat data dengan standar internasional yang didukung oleh kapasitas power listrik yang besar. Perusahaan penyedia pusat data seperti Telkom, Indosat, Lintasarta, dan DCI melakukan ekspansi kapasitas di masa pandemi. Pemerintah melalui Kemkominfo juga
membangun 4 pusat data nasional untuk mendukung transformasi digital di pemerintahan.
Global Data Center Provider juga turut membangun pusat data di Indonesia. NTT Communication Corp, perusahaan dari Jepang, mengakuisisi perusahaan pusat data PT Cyber CSF dengan kapasitas 20 megawatt. Preston Digital Group dari Singapura mengakuisisi 70% bisnis pusat data PT XL Axiata, Tbk, dan ST Telemedia Global Data Centers bekerja sama dengan Triputra Group untuk membangun pusat data dengan kapasitas 72 megawatt.
Platform digital tentunya membutuhkan dukungan dari infrastruktur sistem pembayaran secara real-time
Foto : freepik
selama 24 jam dalam 7 hari. Oleh karena itu Bank Indonesia akan meluncurkan BI Fast Payment, yang merupakan implementasi dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025, sebagai pengganti Sistem Kliring Bank Indonesia (SKNBI) dan diharapkan dapat diimplementasikan secara penuh di tahun 2022.
Pandemi COVID-19 tampaknya tidak menghalangi perkembangan ekonomi digital, bahkan terjadi akselerasi. Potensi pasar tetap tumbuh, penyelenggara sistem dan transaksi elektronik global datang ke Indonesia, perusahan nasional melakukan transformasi digital, dan startup digital tetap bermunculan dan tumbuh. Pembangunan dan implementasi infrastruktur utama ekonomi digital yang berupa infrastruktur telekomunikasi, infrastruktur pusat data, dan infrastruktur pembayaran juga terus berlangsung.
Ada beberapa tantangan di dalam perkembangan ekonomi digital sebagai berikut. 1. Kolaborasi antar entitas di dalam ekosistem. Bukannya hanya kolaborasi antarpelaku usaha, tetapi juga antara pelaku usaha dan pemerintah, serta antara kementerian dan lembaga negara. 2. Cyber security.
Pertumbuhan ekonomi digital akan selaras dengan cyber attack dan jika tidak dikelola dengan baik maka akan menurunkan trust pelaku pasar dan pengguna layanan dalam bertransaksi secara digital. 3. Pengembangan dan
pemerataan sumber
daya manusia agar tidak terpusat di kotakota besar di pulau Jawa. 4. Perubahan regulasi.
Dibutuhkan kecepatan yang sama antara kecepatan perubahan bisnis ekonomi digital dan kecepatan adopsi di regulasi.
Kolaborasi dan sinergi di dalam menghadapi tantang-an ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Bahkan Indonesia dengan potensi pasar, kesiapan infrastruktur pendukung, dan kesiapan SDM, dapat menjadi hubungan bisnis digital di kawasan Asia Tenggara. n
BERADAPTASI CEPAT TAPI TIDAK INSTAN
Yoris Sebastian
Pemikir Kreatif OMG Consulting, Penulis Buku & Co-founder Inspigo Virus COVID-19 membawa kita ke krisis dunia kesehatan, yang diikuti dengan krisis dunia usaha. Walau secara mental lebih siap karena sudah pernah mengalami krisis 1998, saya tetap dibuat jungkir balik di krisis kali ini.
Tahun 1998, saya masih bekerja sebagai Assistant General Manager di Hard Rock Café Jakarta. Ingin menangis rasanya, saat biaya satu menu makanan kami mendadak naik lebih dari 100%. Berbagai inisiatif kami lakukan. Singkat cerita setelah saya menjadi interim General Manager di tahun 1999, keuntungan kami malah meningkat tajam dan lebih tinggi dari sebelum krisis terjadi.
Namun krisis kali ini berbeda, karena diawali dengan krisis dunia kesehatan yang membuat pergerakan orang dibatasi. Sedangkan tahun 1998, krisis finansial tidak membuat orang harus di rumah saja.
Fokus ke Apa yang Bisa Kita Lakukan
Saya yang saat ini berada di industri kreatif, sebagai pemilik usaha, juga terdampak pandemik COVID-19. Di awal pandemi, pendapatan menurun ke
titik nol. Namun bermodal pengalaman tahun 1998 dan juga pengalaman bangkit setelah bom Bali tahun 2002 dan 2005, saya tetap semangat dan fokus pada apa yang bisa saya kerjakan.
Mulai dari memindahkan newsletter mingguan saya menjadi podcast di Inspigo. Lalu mulai seru melakukan berbagai talkshow lewat Instagram Live, serta belajar berbagai hal baru seperti membuat origami. Semuanya tidak ada uangnya. Namun saya harus tetap aktif dan produktif. Kreativitas saya harus terus terasah walau tidak ada uangnya.
Inspigo sendiri selain kerap membuat acara talkshow di Instagram Live, juga mulai membuat karaoke setiap Sabtu malam. Saya masih ingat begitu banyak yang bertanya, “Bagaimana sih cara bikin teks karaoke sambil Angga Puradiredja asyik bernyanyi bersama kita semua?” Sekarang sudah banyak program karaoke online yang kami buat.
Saya juga belajar membuat kelas online dengan anakanak magang saya. Saya juga membuat postingan di Instagram, dan mengamati apa yang dilakukan brand di saat pandemi dengan tagar #brandsemasaCOVID-19.
Semua ini saya lakukan untuk pribadi dan masyarakat luas, karena saya mulai menggaungkan tagar #fokuskeapayangbisakitalakukan. Jadi, walau belum ada uangnya, setidaknya kita tetap positif dan aktif, serta tidak terusmenerus meratapi keadaan serba sulit yang memang tidak bisa kita ubah waktu itu.
Saya juga ikut membantu gerakan sosial sekotak nutrisi untuk tenaga kesehatan. Hal ini saya lakukan setelah melihat ada kejenuhan memberikan sumbangan APD untuk para tenaga kesehatan. Saya melakukan apa pun yang bisa dilakukan, walau belum ada uangnya. Semua itu membuat kita terus tampil di masa yang serba sulit waktu itu.
Senang sekali saat tagar #fokuskeapayangbisakitalakukan yang saya mulai sejak Maret 2020 ternyata senada dengan lagu dari musisi idola saya, Jon Bon Jovi. Jon merilis lagu baru berjudul Do What You Can di bulan Juli 2020.
Banyak Kesempatan Baru di Tengah Krisis
Karena fokus ke apa yang bisa kita lakukan, berbagai kesempatan baru mulai bermunculan. Sebuah perusahaan asuransi yang sudah pernah memanggil saya sebagai pembicara seminar ingin mencoba mengadakan online workshop literation. Tujuannya untuk menggali ide-ide baru agar bisa meningkatkan pendapatan di tengah pandemi.
Workshop yang biasanya dilakukan satu hari penuh di kantor atau hotel, saya pecah jadi 6 sesi, 90 menit secara online. Ternyata hasilnya malah jauh lebih bagus. Mengapa? Karena para peserta workshop bisa membuat tugas dengan waktu yang lebih lama dibanding saat kita workshop seharian penuh.
Pernah juga Gojek membayar saya untuk acara bedah buku, menemani makan siang karyawan mereka di semua negara. Buku dipilih oleh mereka dan harus saya bawakan dalam bahasa Inggris. Gojek bahkan memikirkan bagaimana membuat karyawan mereka betah, walau di rumah saja.
Setelah semakin mahir membuat workshop secara virtual, terpikir membuat kelas menulis sebagai pengganti buku kesepuluh saya, yang harusnya terbit menandai sepuluh tahun saya berkarya sebagai penulis buku di Indonesia. Mumpung semua orang di rumah saja, saya bikin kelas menulis 3 sesi setiap Sabtu malam. Semacam malam mingguan bersama Yoris Sebastian.
Kelas menulis secara online ini saya pastikan akan terus saya jalankan, bahkan setelah pandemi berakhir minimal satu tahun sekali. Mengapa? Karena saya suka sekali bisa membuat kelas yang dihadiri bukan hanya peserta dari berbagai daerah di Indonesia, tapi juga orangorang Indonesia dari berbagai belahan dunia.
Bicara soal belahan dunia, pandemi juga membuat kita bisa melakukan hal-hal yang tadinya tidak bisa dilakukan. Perusahaan saya, London Speaker Bureau Indonesia bahkan bisa “mendatangkan” peraih nobel ekonomi Joseph Stiglitz. Prof Stiglitz mungkin tidak akan kuat naik pesawat dari Amerika ke Indonesia, kalau event yang
diselenggarakan Metro TV untuk dua bank ini dilakukan secara offline.
Saya juga mulai dibayar oleh perusahaan kurir untuk ikut mengajar mitra-mitra mereka yang di tahun 2019 cukup banyak menggunakan jasa mereka. Hasilnya cukup baik dan tidak terasa saat saya menulis ini, kami sudah memasuki batch ketiga penyelenggaraannya.
Ada peserta yang tadinya jualan tas kulit. Saat masa pandemi pendapatan mereka menurun drastis. Mereka lalu melakukan pivot jualan tas dengan bahan yang tidak akan rusak bila disemprot disinfektan. Mereka tetap menggunakan para penjahit dan jaringan reseller yang sama, hanya perlu bikin merek baru. Pendapatan mereka justru lebih tinggi dari sebelum pandemi. Saya jadi ingat kisah HRC Jakarta saat krisis 1998 tadi.
Saya beruntung, karena bisa menghasilkan berbagai pendapatan baru dengan apa yang memang biasa saya lakukan. Bagaimana dengan mereka yang benar-benar tidak bisa mendapatkan uang di masa pandemi?
Setelah beberapa bulan menggaungkan #fokuskeapayangbisakitalakukan saya mulai membahas soal lakukan apa saja, yang penting ada pemasukan. Saya mulai mengangkat cerita soal MC pernikahan yang banting setir jualan buah. Yup, setelah beberapa bulan mencoba pivot, banyak juga yang tidak berhasil. Kita harus coba lakukan apa saja. MC pernikahan bisa sukses jualan buah secara daring, walau tidak punya pengalaman sebelumnya.
Bermain Skenario Tidak Lagi Rencana Bulanan
Pada akhirnya kita semua belajar bahwa pandemi ini tidak akan cepat berakhir. Kita harus mulai sadar untuk mulai membuat berbagai skenario. Skenario untuk apa? Untuk mengikuti peraturan yang mungkin berubah-ubah.
Kelas menulis batch 3 saya waktu itu sudah siap dijalankan, tapi karena mendadak PPKM darurat, jadi saya tangguhkan dulu. Pada saat PPKM mulai dilonggarkan, barulah kelas menulis dipromosikan. Begitu pula kepada klien-klien saya,
mereka saya berikan saran untuk terus membuat berbagai skenario, termasuk skenario apabila gelombang ketiga terjadi.
Bisnis harus dirancang tidak hanya soal untuk bulan apa. Bisnis harus dirancang dengan beberapa rencana. Kalau jumlah kasus makin turun, kita bikin apa? Kalau kasus tidak turun, kita bikin apa? Tentunya kita harus siap bila terjadi pengetatan lagi untuk menghindari gelombang ketiga.
Salah satu contoh film seri Sajadah Panjang yang saya produksi untuk platform Maxstream. Film ini menuai sukses di musim pertama kemarin. Nah, untuk musim kedua, syuting harus direncanakan dan dipersiapkan sehingga saat
WAHANA GRAHA, Lt. 1 dan 2, Jln. Mampang Prapatan No.2, Jakarta 12760, INDONESIA Telepon: +62 21 7940542 Fax: +62 21 7940543 E-mail: bani-arb@indo.net.id Home: www.baniarbitration.org
Kantor Perwakilan BANI :
BANI SURABAYA Office banisurabaya1@gmail.com
BANI BALI & NUSA TENGGARA Office
banibalinusra@gmail.com
BANI BANDUNG Office
banibandung@gmail.com
BANI PONTIANAK Office
sekretariat@banipnk.com
BANI PALEMBANG Office
banisumsel@gmail.com
BANI MEDAN Office
banimedanoffice@gmail.com
BANI JAMBI Office banijambi@gmail.com
Kami adalah Pemegang Hak Merek atas logo BANI dan nama BANI, BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA dan BANI ARBITRATION CENTER yang sah berdasar Sertifikat Merek Indonesia, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Nomor Pendaftaran 553488 (3 Desember 2003), IDM000379661 (5 Desember 2013), dan Nomor IDM000474220 (28 November 2012).
Petunjuk pencetakan : Mohon dicetak termasuk garis tepi sesuai gambar rancangan di atas.
terjadi pelonggaran dapat langsung dilaksanakan. Kapan pelonggaran terjadi? Kita tidak pernah tahu pastinya. Kita hanya bisa membuat prediksi.
Sama dengan klien produk perawatan kulit yang sedang ditangani OMG Consulting, kapan dilakukan peluncuran? Harus dibuat berbagai skenarionya. Yang pasti kita harus tetap siaga, mempersiapkan yang terburuk, tapi setiap malam saya dan keluarga secara bersungguhsungguh berdoa supaya pandemi ini segera berakhir. n
Dr. Yanti Pusparini, ST, MM
Pengamat Perkembangan Digital Sistem Pembayaran Indonesia dan Direktur Eksekutif Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia Kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat dalam satu dekade terakhir telah mendorong perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia. Tren digitalisasi—yang terutama didorong oleh teknologi berbasis internet dan mobile phone—menghadirkan berbagai bisnis model baru dalam perekonomian, yang mengubah pola interaksi produsen dengan konsumen dan seluruh mata rantai di antaranya, tidak terkecuali di sistem pembayaran. Selain itu kehadiran platform digital yang dimotori oleh perusahaan financial technology (fintech) juga memunculkan berbagai layanan keuangan yang semakin cepat, efisien, dan seamless kepada konsumen, sekaligus mendisrupsi peran lembaga seperti perbankan.
Kondisi ini di satu sisi mengakibatkan perubahan peta kompetisi, namun di sisi lain menghadirkan peluang inovasi dan kolaborasi yang lebih luas di antara pelaku dalam industri. Dengan struktur demografi Indonesia yang didominasi oleh generasi Y dan Z dengan penggunaan mobile phone, internet, dan media sosial yang terus meningkat, terjadi pergeseran pola konsumsi dengan memanfaatkan platform e-commerce yang
mendorong pertumbuhan berbagai alat (instrumen) dan kanal pembayaran digital.
Pandemi COVID-19 sejak akhir triwulan 1 tahun 2020 berdampak sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Pada tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi signifikan di triwulan 2 sebesar -5,32 % dan bergerak ke -3,49% pada triwulan 3 serta menyentuh -2,19% pada Triwulan 4.20
Pada tahun 2021, pertumbuhan ekonomi mulai bergerak ke arah positif. Namun harus diakui bahwa kondisi pandemi memberikan tekanan kepada pelaku usaha, seiring dengan melemahnya daya beli yang berdampak ke tingkat konsumsi masyarakat disertai melemahnya ekspor barang dan jasa. Di sisi lain pandemi secara tidak langsung juga mengakselerasi adopsi solusi digital oleh masyarakat. Dengan pembatasan sosial berskala besar di mana masyarakat dituntut untuk membatasi aktivitas di luar termasuk bekerja dan belajar dari rumah, berbagai instrumen dan kanal digital yang memfasilitasi transaksi tanpa
20 Publikasi Bank Indonesia. tatap muka ataupun kontak fisik seperti uang elektronik (UNIK) dan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) menunjukkan pertumbuhan cukup signifikan.
Pertumbuhan instrumen dan kanal digital pembayaran di era pandemi ini sejalan dengan arahan yang disampaikan oleh World Health Organization (WHO) pada awal pandemi COVID-19 yang menyatakan bahwa jika dimungkinkan, contactless electronic atau mobile payment sepatutnya menjadi opsi pembayaran yang dilakukan untuk mengurangi risiko transmisi virus.21 Selain pertimbangan kesehatan khususnya penyebaran virus, pengelolaan uang kas juga relatif mahal baik dari sisi perbankan maupun pedagang, misalnya untuk pengisian dan pengelolaan mesin ATM, cash pick up dan cash collection, sampai pengadaan uang dengan denominasi kecil. Karena itu penggunaan instrumen dan kanal digital harus terus didorong untuk mendorong lebih banyak transaksi nontunai (cashless) di masyarakat.
Data menunjukkan bahwa fleksibilitas yang ditawarkan QRIS untuk konsumen dan merchant seperti dapat
21 Guidance-note-CVA-COVID.pdf (who.int).
menerima pembayaran aplikasi pembayaran apa pun yang menggunakan QR Code dan terhubung dengan rekening atau uang elektronik dari berbagai bank penerbit maupun fintech, serta kemudahan proses (cukup scan dan klik), membuat QRIS sebagai kanal digital yang relatif baru (diluncurkan di Agustus 2019) tumbuh secara signifikan khususnya untuk merchant/ pedagang segmen mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang mencapai rata-rata hampir 90% dari total transaksi QRIS. Sementara itu pertumbuhan uang elektronik didorong oleh peningkatan transaksi e-commerce dan jauh di atas instrumen pembayaran berbasis kartu seperti kartu ATM+Kartu Debit dan Kartu Kredit.
Gambar 6. Pertumbuhan Instrumen dan Kanal Pembayaran Digital (Sumber: Bank Indonesia [diolah])
Jika dicermati lebih lanjut, peningkatan transaksi pembayaran secara digital di Indonesia masih memiliki beberapa area yang membutuhkan perbaikan untuk bisa terus mendorong transaksi nontunai. Beberapa perbaikan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Meskipun jumlah uang elektronik terus meningkat pesat di atas instrumen lain seperti Kartu ATM+Debit dan
Kartu Kredit, namun secara total maupun rata-rata nominal penggunaannya masih sangat rendah dibanding kartu
ATM+Debit. Uang elektronik umumnya hanya digunakan untuk small ticket size. Selain itu transaksi menggunakan Kartu
ATM+Debit masih didominasi
penarikan tunai yang secara tidak langsung menunjukkan jumlah masyarakat yang bertransaksi secara tunai masih tinggi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7. 2. Meskipun jumlah merchant
QRIS menunjukkan peningkatan, namun secara ratarata transaksi per merchant masih sangat rendah. Hal ini mengindikasikan merchant masih tetap menerima pembayaran di luar QRIS termasuk tunai dan atau banyaknya merchant QRIS yang tidak atau kurang aktif. Dari sisi penyebaran merchant QRIS, hampir 70% berada di Pulau Jawa.
Gambar 7. Perbandingan Instrumen Pembayaran Digital (Sumber: Bank Indonesia [diolah])
3. Masih adanya kesenjangan tingkat pemahaman konsumen dengan akses ke produk-produk keuangan termasuk sistem pembayaran, yang dicerminkan dari indeks literasi keuangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%.22 Hal ini juga menjadi salah satu faktor yang mendorong merebaknya kejahatan/fraud dengan berbagai teknik yang memanfaatkan lemahnya pemahaman konsumen atas
22 Survei Nasional Literasi dan Inklusi
Keuangan (SNLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019. produk atau solusi keuangan berbasis digital, seperti phising dan scam.
Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mendorong adopsi instrumen dan kanal digital di masyarakat di antaranya sebagai berikut. 1. Meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antara pemangku kepentingan yaitu pemerintah (kementerian terkait), Bank Sentral, dan industri (penyelenggara jasa pembayaran) untuk mengimplementasikan program-program yang mendorong migrasi transaksi tunai ke instrumen dan kanal digital, seperti pendistribusian bantuan
Foto : freepik
sosial menjadi nontunai, akselerasi elektronivikasi transaksi pemerintah daerah, dsb. Penggunaan QRIS untuk mendukung pembayaran dalam Gerakan Bangga Buatan
Indonesia serta Gerakan
Bangga Berwisata di Indonesia merupakan salah satu wujud kolaborasi dan perlu dilakukan tidak hanya dalam pengembangan program dan fitur digital, namun juga bisnis model termasuk strategi harga yang akan menentukan akseptasi baik dari sisi konsumen maupun keberlanjutan bisnis model di sisi penyedia jasa pembayaran. 2. Pengembangan infrastruktur teknologi informasi, khususnya untuk menjangkau daerahdaerah di luar Pulau Jawa sehingga solusi digital yang
dikembangkan dapat diimplementasikan secara lebih luas di seluruh Indonesia. 3. Peningkatan literasi kepada masyarakat luas sebagai konsumen maupun merchant, sehingga memiliki pemahaman atas fitur instrumen dan kanal digital yang digunakan.
Dari sisi regulator, asosiasi dan penyelenggara jasa pembayaran juga harus menyiapkan kebijakan khususnya di sisi manajemen risiko, keandalan sistem teknologi informasi, perlindungan data dan konsumen untuk meningkatkan kepercayaan konsumen akan keandalan instrumen dan kanal digital dalam melaksanakan transaksi pembayaran. n