82 minute read

KESEHATAN

Next Article
KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPDKGEH, MMB, FINASIM, FACP

Menangkap Peluang Market Pelayanan Kesehatan Nasional Selama dan Pascapandemi

Advertisement

Dr.dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K)

Strategi Pengobatan COVID-19

Dicky Budiman, M.Sc.PH, PhD

Pandemi COVID-19: Pelajaran Penting Dunia karena Rapuhnya Ketahanan Kesehatan Global

Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE, FISR

Mencegah Kenaikan Kembali Kasus COVID-19

Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH

COVID-19 Membuka Mata: Sehat Produktif itu Mahal

Prof. dr. Amin Soebandrio.Ph.D, Sp.MK (K)

Vaksin Merah Putih Bisa Memenuhi 50% Kebutuhan Vaksin di Indonesia

dr. Ari Kusuma Januarto, SpOG(K) dan Dr. dr. M. Alamsyah Azis, SpOG(K)

Dampak Pandemi COVID-19 pada Ibu Hamil dan Kesehatan Wanita serta Efek Vaksin terhadap Ibu dan Kehamilan

dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD

Pengaruh Psikosomatik pada Pasien COVID-19

MENANGKAP PELUANG MARKET PELAYANAN KESEHATAN NASIONAL SELAMA DAN PASCA- PANDEMI

Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP

Guru Besar dan Dekan FKUI Sejak ditemukan pertama kali di bulan Maret 2020 sampai akhir Agustus 2021, berarti sudah berlangsung 17 bulan, jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di Indonesia sudah mencapai lebih dari 4 juta. Penambahan jumlah kasus yang semakin cepat pada 1 juta pertama berlangsung 10 bulan, 1 juta berikutnya 5 bulan, dan 2 juta berikutnya masing-masing dalam 1 bulan. Tentu kita berharap jumlah kasus dalam 2 bulan berturut-turut sebanyak 1 juta tidak terjadi pada penambahan 1 juta pada bulan berikutnya. Memang keberadaan varian Delta menyebabkan peningkatan kasus COVID-19 di seluruh dunia, termasuk Indonesia, terjadi secara dramatis.

Dalam perjalanan pandemi COVID-19 di Indonesia, varian baru pertama yang masuk ke Indonesia dan memang sangat ditakutkan yaitu varian baru COVID-19 B.1.1.7 atau varian Alfa yang berasal dari Inggris. Kasus pertama varian baru ini ditemukan sejak 1 tahun kasus COVID-19 ditemukan di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Kesehatan RI pada tanggal 2 Maret 2021.

Penelusuran lebih lanjut menemukan fakta bahwa 2 kasus yang mengandung varian baru ini ternyata berasal dari tenaga kerja wanita Indonesia yang baru datang dari Timur Tengah. Mutasi yang terjadi dari virus mutant B.1.1.7 atau varian Alfa ini

terjadi pada spike protein, bagian dari virus untuk menempel pada reseptor manusia. Mutasi yang terjadi pada tempat menempel ini menyebabkan virus lebih mudah menempel dan mudah menyebabkan penularan dari satu orang ke orang lain. Hal ini juga yang menyebabkan terjadi penularan yang tinggi pada sesama orang muda. Dalam perjalanannya penyebaran varian Alfa memang tidak begitu cepat sehingga tidak begitu memperburuk perjalanan pandemi di Indonesia. Sampai sekarang varian Alfa ini tidak ditemukan lagi di Indonesia dalam 4 minggu terakhir ini.

Virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 memang masuk kelompok virus RNA. Virus RNA sejatinya memang terus melakukan mutasi, tapi sebagian besar mutasi yang terjadi tidak berbeda jauh dengan varian Alfa. Perburukan pandemi di India dihubungkan dengan adanya varian baru yang berkembang di India, yaitu varian Delta. Varian ini menjadi penyebab perburukan perjalanan pandemi di India.

Penyebaran varian Delta menjadi tidak terkendali ketika kasus-kasus ini mulai menyebar ke seluruh dunia. Salah satu pemicunya adalah ketika orang keturunan India yang baru saja datang dari India kembali ke negara domisilinya. Hal ini juga terjadi di Indonesia ketika orangorang yang sudah terjangkit varian Delta dari India sampai ke Indonesia baik lewat laut maupun udara.

Karena memang penyebarannya yang cepat dan mudah, varian Delta ini menyebar cepat ke seluruh Indonesia. Penyebaran Delta ini yang menyebabkan terjadi gelombang kedua pandemi COVID-19 di Indonesia. Beruntung varian lain, seperti varian Beta dari Afrika Selatan, tidak banyak ditemukan di Indonesia.

Kalau melihat data dari GISAID (Global Initiative on Sharing All Influenza Data) yang menjadi lembaga bank data acuan untuk data genom virus SARS-CoV-2, diketahui bahwa pada akhir Agustus 2021 ternyata varian Alfa sudah menyebar ke 174 negara. Di Inggris sendiri jumlah kasusnya sudah hampir 270.000 orang.

Sementara itu, berdasarkan data yang sama, varian Delta yang saat ini mendominasi dunia sudah ditemukan di 164 negara. Ternyata kasus ini di

Inggris sudah mencapai di atas 300.000 orang. Adapun varian Delta yang sudah menyebar luas di Indonesia hampir membuat pelayanan kesehatan di Indonesia kolaps. BOR (Bed Occupancy Rate) rumah sakit di beberapa kota sudah mencapai lebih dari 90%. Angka kematian terus meningkat. Evaluasi dengan PB IDI mendapatkan bahwa 30% dokter yang meninggal terjadi di bulan Juli 2021.

Singapura memang bisa menjadi pintu masuk penyebaran berbagai varian virus ke Indonesia melalui Batam. Kalau memang tidak diantisipasi dengan baik, penyebaran yang meluas akan selalu berulang pada varian baru yang muncul, seperti penyebaran virus SARS-CoV-2 sebelumnya.

Oleh karena itu, untuk mengatasi berulangnya gelombang pandemi, perlu dilakukan skrining sekuensing atau evaluasi lebih lanjut dari virus tersebut pada kasus-kasus positif PCR SARS-CoV-2 yang ditemukan di pelabuhan-pelabuhan laut dan bandar udara Indonesia, apalagi kalau pasien tersebut mempunyai riwayat bepergian ke luar negeri. Sebenarnya bukan saja Batam, tetapi pintu masuk lain di seluruh Indonesia, khususnya untuk WNI atau WNA yang berasal dari Eropa.

Dari sudut perkembangan jumlah kasus baru terkonfirmasi saat ini jumlah penambahan kasus COVID-19 sudah

menurun. Secara umum memang kasus terbanyak saat ini—baik jumlah kasus yang terkonfirmasi maupun meninggal—terjadi di Amerika, Eropa, Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, dan Pasifik barat.

Indonesia akan menyelesaikan second wave (gelombang keduanya). Kita tentu berharap bahwa di Indonesia tidak mengalami third wave (gelombang ketiga). Sekali lagi, jika tidak diantisipasi dengan baik, penyebaran berbagai varian virus bisa menjadi masalah kembali dan menyebabkan terjadinya third wave di Indonesia. Tentu hal ini tidak kita harapkan.

MASIH EFEKTIFKAH VAKSIN YANG ADA UNTUK MENCEGAH VARIAN BARU

Sebagaimana diketahui bahwa mutasi virus terjadi pada satu spike protein, sedang vaksin yang tersedia di Indonesia saat ini termasuk vaksin Sinovac akan membentuk antibodi untuk banyak spike protein. Karena itu, satu perubahan pada satu spike protein tidak

akan mempengaruhi kerja vaksin. Tentu kita tidak berharap ada mutasi baru dari virus ini yang tidak bisa dicegah oleh vaksin yang sudah tersedia.

Program vaksinasi COVID-19 secara nasional memang harus dipercepat. Kita harus mencapai kekebalan kelompok sebanyak 70% (sering disebut herd immunity) dalam waktu yang tidak terlalu lama. Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah agar vaksin segera tersedia untuk 180 juta orang di Indonesia. Dukungan semua pihak termasuk pihak swasta dan oleh TNI/ Polri bisa menyebabkan angka capaian vaksin terus meningkat.

Di sisi lain mengingat berbagai strain sudah ditemukan, pemerintah harus memberikan perhatian penuh. Hasil penelitian dari negara lain menyebutkan bahwa vaksin yang saat ini digunakan di Indonesia akan membentuk antibodi yang bisa melindungi dari varian virus yang ada. Tentu saat ini virus yang ada di Indonesia didominasi oleh varian Delta.

BEFORE VACCINES

BAGAIMANA SIKAP MASYARAKAT?

Pengalaman buruk atas penyebaran varian Delta di tengah masyarakat Indonesia di bulan Juni-Juli 2021 harus menjadi pelajaran buat kita semua. Bagaimana tidak, saat itu kasus

ENOUGH PEOPLE VACCINATED

HOW DOES HERD IMMUNITY

WORK?

Fighting measles is a shared responsability.

Sebelum vaksin menunjukan populasi terdiri dari kelompok terinfeksi dan kelompok rentan. SUSCEPTIBLE IMMUNE INFECTED

Setelah divaksin menunjukkan terdapatnya kelompok populasi yang memiliki kekebalan, semakin banyak kelompok ini akan semakin kuat menangkal penyebaran virus

terkonfirmasi di Indonesia sampai menembus 56.000/hari pada tanggal 15 Juli 2021. Kasus aktif lebih dari 100.000 dan positivity rate sampai di atas 40%. Kasus kematian juga sempat di atas 2000/hari pada akhir Juli 2021 dan awal Agustus 2021.

Kita semua jangan lengah dan harus tetap melaksanakan 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan pakai sabun). Protokol kesehatan ini tetap harus diterapkan secara konsisten oleh masyarakat, termasuk masyarakat yang sudah mendapat vaksinasi. Kita perlu mengetahui bahwa kekebalan pascavaksinasi yang optimal mulai terjadi pada satu bulan setelah vaksinasi. Oleh karena itu, wajar jika kita masih mendengar ada orang terkena COVID-19 walau sudah divaksin. Mungkin saat itu memang belum terbentuk antibodi yang cukup kuat untuk melindungi dirinya dari COVID-19. Secara khusus, warga negara yang bertugas ke luar negeri tetap harus mewaspadai tertular oleh varian Delta. Karena varian virus baru ini berpotensi menyebabkan penularan yang tinggi jika terinfeksi.

PELUANG MEMAJUKAN PELAYANAN KESEHATAN DALAM NEGERI

Pandemi telah memaksa masyarakat Indonesia yang biasanya mencari pelayanan kesehatan di luar negeri untuk kembali berobat di dalam negeri. Hal ini juga membuat pelayanan kesehatan di

Memakai masker

1,5 m

Menjaga jarak

Mencuci tangan dengan sabun

Protokol kesehatan harus tetap dijalankan secara maksimal

rumah sakit khususnya rumah sakit swasta semakin tumbuh. Selain itu laboratorium swasta dengan jaringan luas di seluruh Indonesia juga menjadi tambah berkembang.

Masyarakat akhirnya memang tetap harus berada di dalam negeri, mengingat memang tidak mudah untuk mendapatkan visa untuk berangkat ke luar negeri. Belum lagi adanya pembatasan dalam bentuk karantina dan persyaratan sudah divaksin tertentu menjadi kendala sendiri.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, semua penyebaran varian baru berasal dari luar negeri. Jadi, hal ini juga yang harus dipahami oleh masyarakat yang berkeinginan ke luar negeri. Di luar negeri, risiko terinfeksi varian baru dari virus SARSCov2 sangat tinggi.

Sekali lagi, ini peluang yang harus dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dalam negeri. Bahkan dengan semakin kondusifnya Indonesia untuk dikunjungi, wisata medis harusnya menjadi peluang yang semakin dicermati dan disiapkan dengan baik. Indonesia dengan keindahan alam dan keramahan masyarakatnya, apalagi dengan palayanan kesehatan yang terus diusahakan untuk bertaraf internasional, menjadi modal untuk manjadi salah satu destinasi wisata medis untuk masyarakat dunia. n

Pantai Berlian di Pulau Penida, Bali, salah satu dari ribuan contoh keindahan alam yang dimiliki Indonesia

Foto : freepik

STRATEGI PENGOBATAN COVID-19

Dr. dr. Erlina Burhan, MSc, SpP(K)

Dokter Spesialis Paru dari Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Di Indonesia sudah terdapat 3.67 juta kasus COVID-19 disertai dengan 107.000 kematian diakibatkan COVID-19 dan dengan penambahan kasus baru rata-rata 20.000-30.000 per harinya. Sebagai usaha dalam mengendalikan pandemi, pemerintah memberlakukan PPKM sejak 2 Juli 2021. PPKM di sebagian Indonesia dinyatakan sukses, seperti di Jakarta kasus aktif dalam perawatan turun dari 113.137 pasien pada tanggal 16 Juli 2021 menjadi 10.642 pada tanggal 8 Agustus 2021. Ketersedian tempat tidur di Jakarta juga menurun secara drastis dari 95% dan 92% untuk ICU dan ruang isolasi menjadi 65% dan 39%. Kasus baru per hari di Jakarta sempat mencapai lebih dari 14.000 pasien pada bulan Juli, lalu menurun menjadi di bawah 1.000 pada bulan Agustus.

Akan tetapi pengendalian pandemi masih bermasalah bagi mereka yang di luar Jawa. Pada bulan Juli ditemukan bahwa kasus aktif di luar Jawa naik 216.74%. Terakhir pada periode 26 Juli-1 Agustus, terdapat 5 provinsi yang kasusnya melonjak di atas 50% (Gorontalo 118%, Sulawesi Tengah 88%, Bengkulu 57%, Riau 74%, Aceh 97%). Jadi, pekerjaan rumah kita saat ini masih sangat banyak dan pandemi masih jauh dari selesai di Indonesia.

PENGOBATAN TERBAIK

Pengobatan terbaik adalah dengan melakukan pencegahan. Sebagai rakyat Indonesia, tanggung jawab utama kita dalam pengendalian pandemi ini adalah dengan mempraktikkan protokol kesehatan 5M.

Mengapa fokus ke 5M? Karena secara ilmiah seluruh komponen 5M dapat meminimalkan penyebaran COVID-19 apa pun variannya.

Kenapa kita perlu menggunakan masker dan menjaga jarak? Karena droplet yang keluar dari mulut kita dari saat berbicara, batuk, bersin, dan bernyanyi dapat terbang sejauh 1.5 meter. Penggunaan masker bisa mencegah droplet dari mulut kita untuk menyebar, serta melindungi kita dari droplet orang lain. Ditambah dengan menjaga jarak, droplet diharapkan tidak mengenai saluran pernafasan kita ketika telah dikeluarkan dari orang lain. Karena itu anjuran pemerintah dan para pakar kesehatan adalah untuk menggunakan masker dan menjauhi kerumunan.

Secara data 5M ini sudah sangat efektif digunakan, sebagai kunci pengendalian pandemi luar negeri. Kita selalu melihat adanya

Gambar 8. Ilustrasi diambil dari Haley E. Randolph1 and Luis B. Barreiro. Herd Immunity: Understanding COVID-19. Elsevier Immunity 52, May 19, 2020.

penurunan kasus dengan adanya lockdown ataupun penggunaan prokes secara ketat di negara lain. Akan tetapi saat ini kita melihat adanya kenaikan kasus seperti di United Kingdom, USA, Australia, dan India di saat terjadinya pelonggaran protokol kesehatan.

Pencegahan utama lainnya adalah melalui vaksinasi. Tujuan besar dari vaksinasi adalah menciptakan herd immunity (kekebalan kelompok). Jadi ketika seseorang itu vaksin, keuntungan tidaklah hanya untuk individu tersebut, melainkan untuk komunitasnya sebagaimana dalam ilustrasi di atas.

Vaksin yang beredar saat ini juga sudah terbukti dengan baik efektivitasnya. Di Chile dilakukan penelitian dalam skala besar untuk vaksin Sinovac, AstraZeneca serta Pfizer pada rentang bulan 2 Februari – 7 Juli 2021. Hasil penelitian sebagai berikut. l Sinovac—terdapat 8.6

juta orang yang mengikuti penelitian.

ƒ 58.46% mencegah COVID-19 bergejala. ƒ 86.02% mencegah rawat inap akibat COVID-19. ƒ 89.68% mencegah masuk ICU akibat COVID-19.

ƒ 86.38% mencegah kematian akibat COVID-19. l AstraZeneca—terdapat

2.38 juta orang yang mengikuti penelitian.

ƒ 68.68% mencegah COVID-19 bergejala. ƒ 100% mencegah rawat inap akibat COVID-19. ƒ 100% mencegah masuk ICU akibat COVID-19. ƒ 100% mencegah kematian akibat COVID-19. l Pfizer—terdapat 2.38 juta

orang yang mengikuti penelitian.

ƒ 87.69% mencegah COVID-19 bergejala. ƒ 97.15% mencegah rawat inap akibat COVID-19. ƒ 98.29% mencegah masuk ICU akibat COVID-19. ƒ 100% mencegah kematian akibat COVID-19.

Jadi vaksin-vaksin yang beredar pada saat ini telah terbukti efektivitasnya dalam mencegah COVID-19 bergejala dan yang berat, apa pun

70% penduduk (target Herd Immunity)

24.68% sudah dosis 1

11.95% sudah dosis 2

Ilustrasi capaian vaksin seluruh Indonesia hingga November 2021

brand-nya. Sehingga tugas kita semua adalah divaksin, tanpa perlu memilih-milih karena ketersediaan yang terbatas. Cakupan vaksin di seluruh Indonesia masih jauh di luar target. Sebanyak 24.68% seluruh penduduk Indonesia sudah disuntik dosis 1, dan sebanyak 11.95% sudah mendapatkan 2 dosis. Padahal target kita minimal 180 juta penduduk Indonesia tervaksinasi untuk mencapai herd immunity. Karena itu pekerjaan kita masih banyak.

Obat yang Ada Bersifat Meringankan dan Mengendalikan Gejala COVID-19

Sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat beraksi secara langsung membunuh COVID-19. Obat-obat yang digunakan saat ini bertujuan untuk meringankan dan mengendalikan gejala COVID-19, dari ringan sampai dengan berat.

Para pakar sedang berusaha keras berusaha mencari obatobatan COVID-19 yang lebih mutakhir. Pada umumnya sebuah kandidat obat baru memerlukan 8,5 tahun, ditambah 2,5 tahun proses oleh BPOM. Akan tetapi pada keadaan darurat pandemi seperti ini adanya kerja sama antara institusi penelitian, industri farmasi, komite etik dan badan regulatori, penelitian obat dapat dipercepat hingga hanya memerlukan waktu 1-2 tahun.

Pengobatan yang saat ini diberikan kepada para pasien COVID-19 yang terkonfirmasi positif masih bersifat empiris tergantung tingkat keparahan penyakit. Pada pasien tanpa gejala hanya cukup dengan pemberian vitamin C dan D. Bila

Foto : Onbloss Creative

pasien bergejala ringan, selain vitamin ditambahkan antivirus berupa Favipiravir (sediaan 200 mg) loading dose 1.600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5). Untuk gejala sedang antivirus yang diberikan adalah Favipiravir (sediaan 200 mg) loading dose 1.600 mg/12 jam/ oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) atau Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke 2-5). Antikoagulan dapat ditambahkan berdasarkan evaluasi dokter yang merawat.

Sementara itu, pada tingkat keparahan penyakit yang berat atau kritis antivirus yang dipilih adalah Favipiravir atau Remdesivir . Obat lainnya adalah Antikoagulan, Dexametason 6 mg/24 jam IV (selama 10 hari) serta anti interleukin-6 yaitu Tocilizumab 400 mg.

Perlu diingat bagi semua penduduk Indonesia bahwa obat terbaik dari semua penyakit, adalah pencegahan. Begitupula dengan COVID-19. Solusinya tidak dibebankan hanya kepada pihak pemerintah, nakes ataupun masyarakat awam. Akan tetapi kita semua adalah bagian dari solusinya, selama kita menjalani protokol kesehatan. n

Foto : freepik

PANDEMI COVID-19: PELAJARAN PENTING DUNIA KARENA RAPUHNYA KETAHANAN KESEHATAN GLOBAL

Dicky Budiman, M.Sc. PH, PhD

Peneliti Pandemi dan Keamanan Kesehatan Global Center for Environment and Population Health Griffith University - Australia Di dunia yang semakin saling terhubung saat ini, ancaman kesehatan di mana pun akan menjadi ancaman bagi seluruh negara. Patogen yang dibawa manusia ini kemudian dapat menyebar dari desa terpencil ke kota-kota besar di seluruh benua hanya dalam waktu satu setengah hari.

Penyakit wabah seperti COVID-19 menimbulkan ancaman terhadap keamanan kesehatan global dan negara. Ancaman ini pada prinsipnya hampir serupa tapi tidak sama dengan serangan tentara asing yang mengancam keamanan nasional suatu negara.

Pengertian ancaman keamanan nasional (national security) secara tradisional diartikan sebagai terganggunya atau terancamnya suasana perikehidupan sosial, ekonomi, politik, dan kesehatan masyarakat. Secara tradisional pula, umumnya masyarakat dan pemerintah mengartikan ancaman keamanan nasional ini dikaitkan dengan serangan fisik (militer) yang berasal dari luar.

Namun, dalam dunia yang semakin mengglobal ini, ancaman tersebut tidak hanya berupa fisik tapi juga berupa patogen penyakit seperti virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19. Oleh karena itu, dunia membutuhkan ketahanan kesehatan global (global health security) yang bukan hanya fokus

pada pelayanan kesehatan. Tetapi semua negara didorong untuk mempersiapkan diri terhadap ancaman kesehatan, mendeteksi secara dini potensi ancaman kesehatan dan cara mengendalikannya. Jadi, tidak hanya merespon ketika banyak penduduk sudah jatuh sakit.

Saat ini di tengah situasi pandemi COVID-19 yang masih terus menerjang berbagai belahan negara di dunia, prioritas global dan nasional adalah mengendalikan penyebaran COVID-19 dengan pendekatan kesehatan masyarakat berupa sistem deteksi dini penyakit (tes, trace, treat, isolasi, dan karantina) dan didukung strategi 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, membatasi mobilitas dan interaksi serta menjauhi keramaian). Hal ini bertujuan untuk menyelamatkan nyawa serta memberikan waktu untuk mengembangkan obat antivirus dan pelaksanaan vaksinasi secara massif dan efektif sebagai strategi keluar dari situasi pandemi. Namun, di sisi lain pandemi juga harus mendorong terjadinya perubahan mendasar dalam pemahaman dunia dan setiap negara tentang health security.

Pandemi COVID-19 memberi pelajaran penting bahwa ancaman terhadap keamanan kesehatan berdampak serius terhadap sektor penting lainnya seperti ekonomi, politik, dan sosial. Kesadaran akan collateral effect ini sangat penting di negara-negara Asia. Pasalnya, perhatian negaranegara Asia terhadap legitimasi politik, ketahanan ekonomi dan sosial mendominasi tiap proses pengambilan kebijakan akan bersaing dengan tanggung jawab internasional untuk membentuk tatanan kesehatan global yang mampu mendeteksi dan merespon ancaman global health security.

PENTINGNYA KEAMANAN KESEHATAN GLOBAL

Organisasi Kesehatan Dunia mendefinisikan keamanan kesehatan masyarakat global sebagai kegiatan yang diperlukan, baik proaktif maupun reaktif, untuk meminimalkan bahaya dan dampak peristiwa kesehatan masyarakat yang membahayakan kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan batas-batas internasional. Masalah keamanan

Foto : Onbloss Creative

kesehatan global terjadi antara lain akibat adanya konflik wilayah, globalisasi, peningkatan mobilitas orang, perubahan iklim, bioterorisme, dan penyakit menular yang mewabah. Selain kematian dan kesakitan dengan jumlah yang luar biasa, wabah penyakit menular global ini akan merugikan sektor sosial, politik, dan ekonomi.

Pandemi adalah ujian global, nasional, dan lokal terhadap sistem kesehatan dan seluruh sistem yang dibangun negara. Lemahnya sistem yang ada akan membuat pandemi mampu memporak-porandakan mutu layanan kesehatan dan menurunkan kapasitas untuk menangani masalah kesehatan rutin sehingga menimbulkan kolateral efek yang merugikan negara. Selain guncangan di sektor kesehatan, pandemi membuat banyak orang yang sakit tidak masuk kerja atau menjadi tidak efektif dan produktif. Ketakutan terhadap ancaman wabah mengakibatkan adanya penutupan sekolah, tempat usaha, dan layanan publik yang semuanya mengganggu aktivitas sosial lainnya dan aktivitas ekonomi.

Keamanan sekaligus ketahanan suatu negara lebih terlindungi ketika ancaman kesehatan masyarakat dengan cepat diidentifikasi dan diatasi. Sama halnya dengan upaya perlindungan yang dilakukan negara dari ancaman serangan fisik dengan cara penguatan sistem persenjataan dan pertahanan mereka. Bahkan, investasi besar-besaran telah dilakukan banyak negara meski dengan harapan bahwa sistem pertahanan militer ini tidak akan perlu (pernah) digunakan dalam perang sesungguhnya.

Sementara itu, satu hal yang sering dilupakan adalah menyadari pentingnya membangun sistem perlindungan yang kuat terhadap ancaman health security. Padahal nilainya sama penting dengan penguatan sistem pertahanan fisik. Oleh karena itu, wajar jika saat pandemi terjadi, hanya sedikit negara yang memiliki kemampuan memadai untuk menyelamatkan diri dari penyakit menular baru seperti COVID-19.

INTERNATIONAL HEALTH REGULATIONS (IHR) SEBAGAI PENJAGA KEAMANAN KESEHATAN GLOBAL

Saat ini adalah waktu yang tepat untuk membangun dan

memperkuat sistem pelindung terhadap ancaman ketahanan kesehatan nasional dan global yang mampu merespons cepat setiap ancaman penyakit baru seperti COVID-19. Namun, mengingat ancaman ini dapat menimpa semua negara, maka diperlukan kolaborasi global dan pergeseran pola pikir dari sistem penyakit yang merespons ketika masyarakat sudah sakit menjadi berorientasi penguatan sistem kesehatan. Pola pikir keamanan kesehatan akan memfokuskan kembali investasi kesehatan pada intervensi untuk mencegah, menunda, atau menggagalkan ancaman kesehatan sejak awal sehingga kita bisa mencegah pandemi dan epidemi terjadi.

Pada tahun 2005, Majelis Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) telah melakukan revisi Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) sebagai perjanjian yang dimaksudkan untuk menandai era baru kerja sama kesehatan global untuk membuat dunia lebih aman. Akan tetapi pandemi COVID-19 memberi pesan jelas bahwa IHR kurang fleksibel dan efektif untuk merespons ancaman penyakit menular baru di zaman modern.

Meskipun telah mengalami revisi sekitar 15 tahun lalu, namun tantangan saat ini dan masa depan menunjukkan bahwa IHR perlu kembali mengalami penyempurnaan. Tujuannya membantu setiap negara agar mampu melakukan deteksi dini, serta respon cepat dan tepat terhadap setiap ancaman kesehatan masyarakat.

BERMITRA UNTUK MELINDUNGI MASA DEPAN

Penyakit dapat ditularkan dengan cepat, baik di dalam negara maupun lintas negara, yang berarti bahwa tanggapan tepat waktu terhadap wabah awal sangat penting. Meskipun beberapa dekade terakhir zoonotic virus telah menjadi penyebab epidemi dan pandemi, masih cukup sulit untuk kita prediksi patogen mana yang akan menjadi penyebab pandemi atau epidemi berikutnya, termasuk dari wilayah atau negara mana pandemi akan berasal, atau pun seberapa mengerikan akibat yang ditimbulkannya. Tetapi selama manusia dan patogen menular hidup berdampingan sehingga batasan keseimbangan sering terabaikan, maka pandemi dan epidemi pasti akan terjadi dan

menimbulkan kerugian yang signifikan.

Berita baiknya, sejalan dengan semakin berkembangnya pemahaman manusia tentang hubungan lingkungan, hewan, patogen, dan manusia, maka kesadaran akan pentingnya penguatan IHR dan pendekatan yang menyatu antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan (ONE Health) semakin terlihat saat pandemi COVID-19. Kita harus melakukan perubahan dan mengambil langkah proaktif untuk mengelola risiko pandemi dan mengurangi dampaknya. Semua ini memerlukan upaya bersama yang harus dimulai dari sekarang, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global untuk melindungi kesejahteraan kolektif kita dan generasi mendatang.

PENUTUP

Ancaman yang ditimbulkan oleh pandemi merupakan ancaman bagi seluruh dunia, dan berdampak bukan hanya pada sektor kesehatan saja. Investasi yang memadai dan berkesinambungan dalam sektor kesehatan, baik sumber daya manusia maupun fisik pada tingkat nasional dan global, diperlukan untuk mewujudkan keamanan kesehatan global agar mampu melindungi dampak pandemi terhadap sektor sosial, politik, dan ekonomi. Pelaksanaannya harus didukung komitmen yang kuat para pemimpin untuk memastikan dunia siap mencegah, mendeteksi, dan menanggapi setiap keadaan darurat kesehatan berikutnya. n

MENCEGAH KENAIKAN KEMBALI KASUS COVID-19

Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE, FISR

Guru Besar FKUI, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes. Selama bulan Juni-Juli 2021 kita mengalami kenaikan kasus COVID-19 yang amat tajam. Ketika itu rumah sakit sangat kewalahan. Bukan hanya tempat tidur perawatan yang tidak tersedia, Instalasi Gawat Darurat (IGD) pun penuh dan pasien harus daftar serta antre untuk hanya dapat masuk IGD. Banyak pasien yang akhirnya tidak dapat dirawat di IGD dan/atau rumah sakit sama sekali. Bahkan sebagian sampai meninggal tanpa dapat perawatan kesehatan yang memadai.

Kita bersyukur bahwa sekarang angka kasus sudah amat menurun. Hanya saja kita tetap harus waspada. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa saat keadaan sudah dianggap melandai kemudian bergejolak dan kasus meningkat tajam kembali. Untuk kewaspadaan dan mengantisipasi hal itu, maka kita belajar dari apa yang terjadi di rumah sakit ketika kasus sedang tinggitingginya. Kita harus mengambil pelajaran dari keadaan itu dan mempersiapkan diri lebih baik.

LIMA PELAJARAN PENTING DARI LEDAKAN PASIEN COVID

Sedikitnya ada lima hal yang dapat dijadikan bahan pelajaran atau lesson learned di rumah sakit. Pelajaran pertama, kenaikan kasus bulan Juni-Juli yang lalu sebenarnya sudah dapat dilihat tren kecenderungannya. Jumlah kasus baru COVID-19 pada 15

Mei 2021 ialah 2.385 orang. Lalu naik sekitar dua kali lipat menjadi 5.662 pada 31 Mei 2021. Pertengahan Juni sudah lebih dari 10 ribu dan lalu naik menjadi 27.913. Rumah sakit sudah telanjur kewalahan.

Jadi solusi yang dapat kita ambil ialah kalau memang ada kenaikan kasus lagi maka jangan tunggu sampai 10 kali lipat

Sumber: Tangkapan layar postingan Facebook

melonjak. Mungkin dua atau tiga kali atau maksimal peningkatan lima kali lipat maka pembatasan sosial harus sudah diketatkan lagi. Dengan begitu, kasus tidak meningkat tanpa terkendali.

Pelajaran kedua, pada waktu rumah sakit sudah penuh, maka ada kebijakan menambah tempat tidur untuk menekan angka perawatan (Bed Occupancy Rate / BOR) COVID-19. Di satu sisi memang dengan menambah tempat tidur maka BOR akan turun. Tetapi temanteman tenaga medis di rumah sakit akan semakin kewalahan kalau penambahan tempat tidur ini tidak diimbangi dengan penambahan petugas serta alat kesehatan yang diperlukan.

Jadi solusi yang dapat diambil adalah bahwa sejak sekarang siapkan petugas kesehatan yang siap diterjunkan

kalau nanti beberapa rumah sakit harus ditambah jumlah tempat tidurnya. Juga harus sejak sekarang disusun sistem agar kalau ada kenaikan kasus maka stok ventilator dan oksigen tersedia. Demikian juga alat kesehatan yang lain dan obatobatan yang diperlukan.

Pelajaran ketiga yang pernah sangat bermasalah dalam beberapa bulan yang lalu ialah sistem rujukan dan informasinya yang tidak tertata secara optimal. Pasien harus jalan sendiri ke berbagai rumah sakit untuk mencoba mendapatkan perawatan. Sementara itu kalau ada pasien yang harus dirujuk dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya maka harus menunggu lama dan kadang tidak ada kepastiannya.

Untuk masalah ini, solusi yang dapat diambil ialah memperbaiki sistem rujukan, baik yang Sisrute (Sistem Informasi Rujukan Terintegrasi) atau sistem lainnya. Perlu dilakukan pembenahan sistem elektronik dan digitalnya serta perlu lebih banyak petugas

Penambahan tempat tidur harus disertai dengan penambahan tenaga kesehatan

Foto : freepik

Perlindungan tenaga kesehatan

merupakan bagian yang harus diperhatikan untuk pembenahan sistem kesehatan di Indonesia

khusus yang menangani hal sensitif dan penting ini.

Pelajaran keempat, hal yang cukup banyak dikeluhkan rumah sakit ialah keterlambatan pembayaran klaim, juga rumitnya sistem untuk mendapatkannya. Di sisi lain ada juga pendapat bahwa klaim siap dibayarkan tapi kelengkapan data tidaklah dimasukkan dengan baik.

Karena itu solusi masalah ini ialah menyelesaikan kemelut klaim pembayaran ini dengan tiga cara. Pertama, perlu dibuat prosedur yang lebih mudah bagi rumah sakit yang memang sedang sangat sibuk menyelamatkan nyawa manusia. Kedua, harus dibangun pola komunikasi intensif antara yang harus membayar dan pihak manajemen rumah sakit serta para tenaga kesehatan. Ketiga, harus ada sistem penganggaran. Khususnya di saat kritis, harus cukup luwes untuk dapat membayar kebutuhan, tapi juga cukup ketat untuk mencegah penyalahgunaan.

Pelajaran kelima ialah tentang perlindungan tenaga kesehatan. Sudah sangat banyak korban yang jatuh, baik dokter, perawat maupun tenaga kesehatan lain di rumah sakit. Tenaga kesehatan harus dapat menjalankan tugasnya di rumah sakit dengan aman agar terhindar dari penyakit, ancaman kematian akibat tertular, pengusiran dari pemilik kos, atau pengucilan dari masyarakat.

Solusi untuk masalah ini ada tiga. Pertama, beban kerja yang tidak terlalu berlebihan. Kedua, alat pelindung diri yang memadai. Ketiga, perlindungan hukum bagi petugas kesehatan.

Selain kelima pelajaran di atas, hal yang paling penting tentu menangani masalah dari hulunya yaitu pembatasan sosial baik berupa 3M/5M maupun PPKM. Juga penerapan 3T dan pemaksimalan vaksinasi. Harus dipastikan pula agar pelayanan kesehatan primer berjalan dengan baik. Juga penanganan penyakit non-COVID-19 yang harus tetap dapat terlayani dengan baik. (Artikel ini sudah

dipublikasikan di Harian Media Indonesia, 14 September 2021)

MEWASPADAI VARIAN MU

Belakangan ini, cukup banyak berita tentang varian Mu sebagai salah satu varian baru virus COVID-19. Perlu ditekankan kembali bahwa virus COVID-19 sebagaimana juga virus

Foto : freepik

lainnya mungkin saja dapat memunculkan mutasi dan varian baru dari waktu tertentu.

Pada awal 2020 hanya beberapa bulan sesudah virus ditemukan terjadi mutasi baru yaitu D614G yang beredar di Eropa, Asia termasuk Indonesia, dan berbagai negara lainnya di dunia. Dari sini kemudian disusul munculnya berbagai mutasi dan varian lain.

Perlu diketahui bahwa sebagian besar mutasi dan varian baru ini mungkin tidak punya dampak berarti. Tetapi sebagian memang dapat menyebabkan masalah penting bagi penyebaran dan penanganan pandemi COVID-19.

WHO sudah memasukkan varian Mu dalam kelompok ‘Varian of Interest (VOI)’ sejak 30 Agustus 2021. Organisasi kesehatan dunia membagi varian baru menjadi Varian of Concern (VOC) yaitu Alfa, Beta, Gama, dan Delta serta ‘Variant of Interest (VOI) seperti Etta, Kappa, Lambda, dan lainnya, serta kini ditambahkan dengan varian Mu.

Secara umum tentu yang perlu lebih jadi perhatian utama adalah VOC yang memang bukti ilmiahnya sudah lebih jelas. Setidaknya ada lima hal yang biasa dikaji tentang dampak baru COVID-19 yaitu tingkat penularannya, dampak terhadap beratnya penyakit, kemungkinan infeksi ulangan (reinfeksi), pengaruhnya pada alat diagnosis COVID-19, serta bagaimana dampak varian baru terhadap efektivitas vaksin.

Apabila bukti-bukti ilmiahnya sudah lebih jelas, maka kemungkinan saja varian yang tergolong VOI berpotensi ‘naik kelas’ menjadi VOC yang tentu perlu perhatian lebih mendalam lagi. Varian Delta yang sekarang menjadi salah satu varian dominan di banyak negara (termasuk Indonesia) juga awalnya dikategorikan sebagai VOI dan kemudian masuk ke dalam kelompok VOC dengan berbagai masalahnya kini.

Selain VOC dan VOI, WHO belakangan juga mengidentifikasi varian lain yang bukti ilmiahnya masih sangat awal dan perlu pengamatan lebih lanjut. Varian itu disebut sebagai currently designated ‘Alert for Further Monitoring’. Salah satunya adalah varian yang bermula dari negara kita, yaitu B.1.466.2 yang disebutkan bahwa sampelnya mulai didokumentasikan pada November 2020 serta mulai dimasukkan sebagai ‘Alert for further Monitoring’ pada 28 April 2021.

LIMA ANTISIPASI VARIAN MU

Guna mengantisipasi varian baru Mu dan varian lain di masa mendatang, setidaknya perlu lima langkah yang harus dilakukan.

Antisipasi pertama, upaya terus-menerus untuk meningkatkan jumlah pemeriksa-an ‘whoe genome sequencing (WGS) di Indonesia. Data per 11 September 2021 di GISAID yang mengumpulkan genom seluruh dunia menunjukkan bahwa

Indonesia sudah memeriksa dan memasukkan data 6.035 genom. Singapura lebih banyak yaitu 6.807 genom. India bahkan sudah memeriksa dan memasukkan 46.375 genom hampir delapan kali lebih banyak dari negara kita. Terbanyak pemeriksaan dan pengumpulan genom dilakukan oleh Inggris yakni 811.630 genom dan Amerika Serikat yang mencapai 931.373 genom.

Artinya kita perlu terus meningkatkan pemeriksaan WGS ini setidaknya dengan dua cara. Cara pertama dengan meningkatkan jumlah laboratorium yang dapat memeriksa WGS ini. Akan lebih baik jika pemerintah juga turut mendukung dengan sarana dan prasarana agar lebih banyak laboratorium yang dapat meningkatkan kemampuannya. Cara kedua adalah memperluas prioritas keadaan-keadaan khusus untuk diperiksa.

Peningkatan jumlah tracing

sebagai salah satu bentuk langkah antisipasi ketiga dalam kontrol munculnya kasus positif di masyarakat

Foto : freepik

Antisipasi kedua, selalu melakukan pembatasan sosial yang memadai, baik tingkat perorangan yaitu 3M atau 5M maupun kebijakan pemerintah seperti PPKM dan lainnya. Kita tahu bahwa pembatasan sosial merupakan faktor penting untuk mengurangi kemungkinan penularan. Kita tahu juga bahwa kalau ada penularan di masyarakat luas, maka virus akan terus bereplikasi dan malah mungkin menimbulkan mutasi dan varian baru.

Antisipasi ketiga, terus meningkatkan jumlah tes dan telusur yang memadai misalnya target 400.000 tes sehari dan telusur 15 orang dari setiap kasus positif. Sayangnya sampai sekarang angka itu belum tercapai. Jika dapat direalisasikan, maka hal itu bisa mendeteksi lebih banyak kasus positif di masyarakat, termasuk kalau sudah ada penularan akibat varian Mu atau varian baru lainnya.

Antisipasi keempat, terus meningkatkan cakupan

Foto : freepik

vaksinasi. Data sampai 11 September 2021 menunjukkan baru 19,94% cakupan vaksinasi yang lengkap sampai dosis kedua dengan 41.534.340 dosis. Memang sudah ada 34,69% yang mendapat suntikan satu kali dengan 72.248.720 dosis. Akan tetapi akan lebih efektif jika vaksinasi tersebut dilakukan dua dosis.

Perlu disampaikan bahwa memang ada informasi yang menyebutkan bahwa varian Mu kemungkinan memengaruhi efektivitas vaksin. Akan tetapi, hal ini tidak harus memengaruhi upaya vaksinasi. Seperti halnya varian Delta yang juga menurunkan efektivitas tetapi vaksin masih dapat sangat berperan dalam pengendalian dampak varian Delta, utamanya untuk mencegah perburukan penyakit dan juga kematian. Hal serupa juga diharapkan terjadi pada varian Mu sehingga vaksinasi kini tetap sangat diperlukan dan diperluas.

Selain itu yang perlu ditekankan juga adalah bahwa data per 11 September 2021 baru 18,61 % lansia kita yang mendapatkan vaksinasi lengkap dua kali. Artinya masih lebih dari 80% lansia belum mendapat proteksi memadai. Padahal, lansia adalah kelompok dengan risiko tinggi tertular.

Antisipasi kelima yang banyak dibahas adalah tentang kunjungan ke luar negeri. Dalam hal ini harus diawasi dengan ketat, setidaknya dalam dua periode. Jika ada warga datang dari luar negeri, apalagi dari negara yang sudah melaporkan ada varian Mu, maka harus dilakukan karantina dan pemeriksaan PCR untuk mengetahui positif atau tidak. Sedangkan lamanya hari karantina tidak boleh terlalu singkat, setidaknya satu atau dua kali masa inkubasi.

Selanjutnya, pengawasan tidak hanya berhenti dengan karantina. Tetapi juga pada periode kedua yaitu beberapa minggu sesudah selesai karantina ketika mereka sudah berada di hotel atau di rumah atau di tempat kerja dan atau berbaur di masyarakat luas.

Lalu apabila terdapat situasi yang mencurigakan, maka perlu segera dilakukan pemeriksaan Whole Genome Sequencing (WGS) untuk mendeteksi kemungkinan adanya varian baru, termasuk varian Mu. Jadi kalau bisa

memang dicegah masuk, tapi kalau toh sudah masuk maka harus dideteksi sedini mungkin sehingga tidak menyebar luas di Indonesia.

(Artikel sudah dipublikasikan di Koran Sindo, 13 September 2021)

MENCEGAH KENAIKAN KEMBALI KASUS COVID-19

Sejauh ini rekor kasus harian tertinggi adalah sekitar 50 ribu kasus yang terjadi pada pertengahan Juli 2021. Angka ini berhasil turun menjadi 5 ribu kasus pada akhir Agustus 2021. Artinya turun sepuluh kali lipat dalam kurun waktu 1,5 bulan. Angka yang terpapar dan angka kematian juga sudah turun walaupun tentu kita harapkan jumlah yang meninggal akibat COVID-19 bisa terus diturunkan dengan tajam.

Di sisi lain dengan mulai membaiknya situasi epidemiologi serta sosial dan ekonomi, pemerintah mulai melakukan pelonggaran aktivitas dalam masyarakat umum. Hal-hal

yang selama ini ketat sekarang mulai dilonggarkan. Apalagi cukup banyak daerah yang turun level epidemiologinya dari level 4 ke level 3.

Karena kita semua sepakat bahwa penurunan ini terjadi akibat dilaksanakannya PPKM dengan ketat, tentu orang jadi bertanya bagaimana dampak dari pelonggaran PPKM yang sudah dilakukan secara bertahap selama ini. Kalau kasus turun karena PPKM ketat, apa yang harus dilakukan agar PPKM dilonggarkan? Jangan sampai angka kenaikan positif tidak terkendali lagi.

Untuk menjawab ini kita perlu mengetahui bahwa ada 3 unsur yang memungkinkan kenaikan lagi atau tidak.

Pertama, adanya orang yang menularkan. Dengan menggunakan masker dan menjaga jarak kemungkinan menularkan penyakit menjadi lebih kecil walaupun seharusnya dikarantina.

Kedua, tersedianya cara penularan. Untuk upaya kedua yakni membatasi mereka dari cara penularan ada dua cara yang harus dilakukan. Cara pertama, dengan tetap menjaga 3M, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Penerapan 3M ini sangat penting dalam menurunkan kemungkinan ter-tular COVID-19 sehingga harus terus diberlakukan secara ketat dan tampaknya masih harus terus kita lakukan dalam jangka yang panjang. Cara kedua untuk menghindari penularan adalah melonggarkan PPKM dengan amat bertahap dan hati-hati tentunya dengan memprioritaskan aspek perlindungan kesehatan masyarakat. Perlu diatur jangan sampai ada kerumunan massa.

Ketiga, terjadinya penularan kepada orang yang tadinya sehatsehat saja. Upaya ketiga untuk mencegah kasus yang sudah cenderung turun dan tidak naik lagi adalah dengan meningkatkan daya proteksi yang rentan untuk tertular. Ada dua cara yang penting untuk meningkatkan proteksi yaitu dengan cara vaksinasi dan peningkatan daya tahan tubuh secara umum seperti makan makanan bergizi, olahraga, istirahat yang cukup serta mengelola stres dengan baik.

Khusus untuk vaksinasi, sekaranglah saatnya untuk memaksimalkan cakupannya. Data pada akhir Agustus 2021

Vaksinasi sebagai salah satu cara meningkatkan proteksi

Foto : freepik

baru sekitar 20% masyarakat kita yang sudah divaksinasi sebanyak dua kali. Artinya masih ada sekitar 80% masyarakat yang belum divaksin secara lengkap. Memang yang harus dinilai adalah vaksinasi dua kali. Karena vaksinasi yang digunakan di Indonesia sekarang memang untuk dua kali pemberian agar mendapatkatkan proteksi yang diharapkan.

Kita saat ini menunggu proses pembuatan Vaksin Merah Putih yang sekarang sedang berproses sesuai kaidah ilmu pengetahuan agar lebih terjamin keamanan dan efektivitasnya. Jika vaksin sudah tersedia, ada lima hal yang harus dilakukan. 1. Menjamin sistem distribusi nasional yang baik ke seluruh pelosok negeri. Tentu dalam hal ini harus terjamin proses

rantai dinginnya (cold chain), karena vaksin akan rusak jika suhu tidak terjaga. Juga harus terjamin ketersediaan gudang farmasi di setiap provinsi juga kabupaten/kota serta manajemen distribusi yang akurat. 2. Tersedianya petugas vaksinator. Hal ini seharusnya tidak terlalu pelik karena kita toh sudah terbiasa melakukan vaksinasi pada anak dan anak balita selama ini. Hanya perlu penyesuaian karena kita sudah ada cukup banyak merek vaksin COVID-19 di negara kita dan masing-masing punya spesifikasi sendiri yang perlu diketahui oleh para vaksinator. 3. Kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan vaksin.

Kini, sudah dilakukan sentra vaksinasi di beberapa tempat umum seperti gedung sekolah, stadion, dan ruang pertemuan lain. Memang dengan cara ini mampu mencakup banyak orang sekaligus. Tapi ada riskan terjadi keramaian orang dan masyarakat harus antre panjang sehingga menjadi tidak nyaman.

Akan lebih baik kalau vaksinasi COVID-19 dilakukan saja di puskesmas atau rumah sakit di Indonesia yang jumlahnya sekitar 10 ribu unit. Semua puskesmas dan rumah sakit ini telah memiliki tenaga kesehatan, sudah ada pengalaman memberikan vaksin selama puluhan tahun, dan lokasinya tersebar di seluruh Indonesia.

Dengan demikian masyarakat dapat pergi dengan mudah di dekat rumahnya atau di dekat tempat kerjanya dengan cara yang mudah dan nyaman. Selain itu kalau ada Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) akan lebih mudah terkontrol karena tempat tinggal yang berdekatan dengan puskesmas.

Selanjutnya kita perlu memberi perhatian khusus pada dua kelompok masyarakat yaitu mereka yang tinggal di daerah terpencil dan anggota masyarakat kita yang dengan berbagai alasan masih belum mau divaksin. Kita tahu bahwa perlu ada mekanisme pendekatan kepada kedua kelompok tersebut agar vaksin dapat dijangkau maksimal. 4. Mengamati secara ketat perkembangan data di

daerah secara seksama dari waktu ke waktu. Data yang dimiliki setidaknya meliputi angka yang positif, angka negatif, jumlah kasus baru, jumlah kematian serta jumlah tes yang telah dilakukan. 5. Dari hasil pengamatan data yang ketat ini mungkin diperlukan upaya yang kelima yakni penerapan PPKM lagi jika diperlukan. Pengalaman yang lalu menunjukkan jumlah kasus baru pernah di bawah 3.000 kasus. Lalu naik sampai sepuluh kali lipat, menjadi 27 ribu sehingga diterapkam

PPKM darurat pada 3 Juli 2021.

Di waktu mendatang sebaiknya tidak perlu menunggu sampai terjadi sepuluh kali lipat peningkatan angka kasus. Mungkin jika lima kali peningkatan angka kasus dari sebelumnya saja maka pembatasan sosial sangat perlu diperketat lagi.

Semoga kecenderungan penurunan angka karena positif COVID-19 yang terjadi sekarang ini terus terjaga. Dengan penerapan lima upaya di atas, semoga situasi tidak memburuk lagi. (Artikel ini

telah dipublikasikan di Harian

Kompas, 8 September 2021)n

Foto : Onbloss Creative

COVID-19 MEMBUKA MATA: SEHAT PRODUKTIF ITU MAHAL

Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH

ILUNI FKUI 1980 dan Senior Health Economist & Health Policy Advisor, KBI Consulting Ketika bulan Januari 2020 wabah COVID-19 di Wuhan mulai memenuhi berita di televisi, pemerintah Indonesia tampak tidak sigap. Bahkan Menteri Kesehatan ketika itu boleh dibilang menganggap enteng wabah tersebut. “Sakit flu bisa sembuh sendiri,” begitu kira-kira komentar sang Menteri yang banyak dikutip media.

Satu setengah tahun kemudian, terjadi ledakan COVID-19 varian Delta di India. Banyak ahli kesehatan masyarakat yang memperingatkan pemerintah Indonesia mengenai risiko ledakan COVID-19 seperti di India. Sayangnya peringatan tersebut seakan tidak ada pengaruhnya. Pasalnya, akhir Juni 2021, kasus harian COVID-19 di Indonesia mulai merangkak dengan jumlah kasus baru 8.189 sehari pada tanggal 14 Juni. Puncaknya terjadi dalam sebulan saat kasus terkonfirmasi sehari mencapai puncaknya pada tanggal 18 Juli dengan jumlah kasus baru 54.517 dan kematian mencapai puncaknya pada tanggal 28 Juli dengan jumlah kematian 2.069 sehari. Jumlah kasus COVID-19 secara akumulatif telah mencapai lebih dari 4 (empat) juta orang di Indonesia pada tanggal 29 Agustus 2021. Pada tanggal yang sama pandemi COVID-19 ini telah memakan korban jiwa lebih dari 4,5 juta orang di dunia dan lebih dari 130 ribu jiwa di Indonesia.

Penyebaran COVID-19 varian Delta begitu cepat dan menimbulkan

kepanikan dimana-mana. Pada bulan Juli sampai awal Agustus, banyak orang yang menderita stres karena hampir tiap hari mendapat berita duka di WA grup. Rakyat panik karena tidak dapat ruang perawatan, tidak dapat oksigen, dan tidak dapat obat. Meskipun semua biaya pengobatan ditanggung pemerintah, jika nyawa melayang apalah artinya.

Tuhan secara berkala menguji manusia dengan berbagai cobaan bencana alam, bencana penyakit, bencana perang, dan bencana akibat perilaku manusia. Pada tahun 1918-1920, seabad yang lalu, pandemi virus Flu Spanyol merenggut nyawa sebanyak 50-100 juta orang, sepertiga penduduk dunia ketika itu. Kini virus Corona dengan nama resmi SARS-CoV-2 telah menyerang lebih dari 217 juta orang di dunia dengan angka kematian relatif rendah sebanyak 4,5 juta.

Ternyata serangan makhluk halus yang besarnya 1/600 lebar rambut mampu memporakporandakan ekonomi dunia. Kita mungkin sedikit beruntung karena hidup di zaman teknologi kedokteran, farmasi, komunikasi, dan tingkat ekonomi yang jauh lebih baik dari zaman ketika terjadi pandemi flu seabad lalu.

Bank Dunia melaporkan bahwa pada tahun 2020 ekonomi dunia kontraksi sebesar 3,5 persen, sebuah resesi dunia yang paling berat. Itu artinya bahwa kerugian ekonomi dunia akibat pandemi COVID-19 mencapai USD 3 triliun, atau sekitar Rp43.500 triliun, cukup untuk memenuhi belanja Pemerintah Indonesia selama 16 tahun. Pada tahun 2009, ketika terjadi krisis finansial global, ekonomi dunia terkontraksi hanya 1,7%. Dampak COVID-19 bagi Indonesia relatif tidak seberat dampak COVID-19 di banyak negara maju dan negara setara, emerging market yang turun ratarata 4,3%. Ekonomi Indonesia tahun 2020 hanya menyusut sebesar 2,1% PDB yang sebesar Rp15.434 triliun. Dampak ekonomi Indonesia dirasakan berat bagi 1,8 juta orang yang menganggur di tahun 2020. Diperkirakan tahun 2021 ada 3,2 juta orang kehilangan pekerjaan.³

Kesehatan dan Ekonomi

Peran sektor kesehatan terhadap sektor ekonomi di Indonesia

3 The World Bank. Boosting the Recovery – Indonesia Economic Prospect. Juni 2021.

selama sebelum COVID-19 belum dipahami dan belum diakui banyak orang. Pola pikir sebagian pejabat terbelenggu pada “belanja kesehatan adalah belanja nonproduktif, cuma ngobatin orang sakit”. Oleh karena itu, belanja kesehatan dalam APBN sebelum COVID-19 nyaris tidak tumbuh, meskipun Pasal 28H ayat 1 UUD ‘45 telah menugaskan negara untuk memenuhi “hak layanan kesehatan setiap orang” sejak tahun 1999.

Jika diukur dengan belanja kesehatan dibanding Produk Domestik Bruto (% PDB) sebagai indikator sejauh mana Pemerintah memenuhi kewajiban konstitusional dalam melindungi rakyat, maka tidak terjadi kepatuhan yang cukup. Baru setelah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dijalankan, atas perintah UU nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, belanja kesehatan publik mulai merangkak naik sebagaimana disajikan dalam gambar 1 di bawah ini.

Selama 15 tahun sejak amandemen UUD ‘45 yang

Gambar 1. Tren Belanja Publik untuk Kesehatan di Tujuh Negara Asia Tahun 2000-2018

memerintahkan negara untuk memenuhi hak layanan kesehatan penduduk, belanja kesehatan publik selalu di bawah 1 (satu) persen PDB. Pemerintah lebih suka mengeluarkan uang hal yang bukan kewajiban konstitusional seperti subsidi BBM dan Energi (yang tidak diperintah UUD ‘45, tidak ada kewajiban konstitusional) yang jumlahnya jauh lebih banyak dari belanja wajib.

Mengambil pelajaran wajib dan sunah dalam hukum Islam, “Pemerintah menjalankan yang sunah tetapi tidak menjalankan yang wajib.” Jadi, tidak mengherankan jika Sistem Kesehatan Nasional (SKN) terpuruk, sangat lemah, dan “gagap” menghadapi serbuan pandemi COVID-19. Padahal, di berbagai negara maju, kesehatan rakyat adalah investasi negara untuk produktivitas bangsa.

Banyak pihak baru sadar bahwa SKN Indonesia sedang sakit parah, kekurangan laboratorium klinik yang mampu memeriksa PCR cepat dan murah, kekurangan suplai obat, kekurangan suplai oksigen, kekurangan tenaga kesehatan kompeten di berbagai daerah, dan kekurangan jumlah tempat tidur layanan intensif. Baru pada masa pandemi COVID-19 hampir semua pejabat, di pusat dan di daerah, berbicara tentang upaya kesehatan—baik promotif maupun kuratif. Karena dipaksa pandemi, pemerintah terpaksa membelanjakan 11,8% APBN untuk kesehatan, yang hampir dua per tiganya (Rp201 Triliun di tahun 2021) untuk “belanja kaget” karena COVID-19. Sedangkan belanja rutin kesehatan sebesar Rp125,2 triliun atau hanya 4,5% APBN 2021.4

Jika digabung dengan perkiraan belanja JKN, belanja kesehatan publik—termasuk belanja kaget karena COVID-19— tahun 2021 masih di bawah 3% PDB, masih di bawah belanja kesehatan publik rutin negara-negara setara Indonesia yang pada tahun 2018 sudah mencapai 3% PDB. Jika setelah COVID-19 belanja kesehatan publik tidak mencapai 2,5% PDB, maka reformasi struktural yang dijanjikan pemerintah hanya akan menjadi “lagu nina bobok” bagi rakyat. Dalam urusan kesehatan, pemerintah masih belum patuh sepenuhnya pada amanat UUD

4 Kemenkeu. Advertorial RAPBN 2022:

Pemulihan Ekonomi dan Reformasi

Struktural. Jakarta, 2021

Gambar 2. Tren Belanja Kesehatan Total dalam Int$ Indonesia dan Beberapa Negara Tetangga di Asia, Tahun 2000-2018

‘45. Rendahnya belanja kesehatan publik dan perlunya Indonesia meningkatkan belanja kesehatan telah diingatkan oleh tim Bank Dunia di tahun 20165 dan tahun 2020.6

Selain indikator belanja publik sebagai porsi PDB yang merupakan indikator komitmen suatu negara dalam membangun sumber daya manusia dan kesejahteraan rakyatnya, Indonesia juga tertinggal dalam belanja kesehatan publik diukur dengan nilai internasional $. Belanja publik untuk kesehatan dalam nilai internasional $, nilai sebanding antarnegara, merupakan faktor

5 World Bank Group. Indonesian Health

Financing System Assessment. Oktober 2016 6 World Bank Group. Public Expenditure

Review Chapter 5: Health. Juli 2020 penentu seberapa baik sebuah SKN suatu negara.

Gambar 2 di atas menunjukkan belanja publik Indonesia dalam investasi SDM dan penguatan kualitas layanan kesehatan jauh di bawah Malaysia, Thailand, dan China. Jangan heran jika banyak orang Indonesia, sebelum COVID-19 berobat ke Malaysia atau China, karena memang dengan belanja kesehatan per kapita yang jauh lebih tinggi, kualitas layanan di sana dapat dipastikan lebih baik. “Ada harga ada barang” atau “ono rego ono rupo”, begitu kata pepatah.

Data tren belanja kesehatan Indonesia (Int$) meningkat lambat, meskipun sudah ada

JKN. Bahkan sejak 2015, nilainya sudah di bawah belanja publik Vietnam. Padahal pendapatan per kapita Vietnam hanya 2/3 pendapatan per kapita Indonesia. Artinya, komitmen Vietnam untuk penguatan SKN-nya jauh lebih baik dari komitmen Indonesia.

Pada gambar 2 di atas, belanja kesehatan per kapita Indonesia tertinggi pada tahun 2018 hanya Int$ 375 sedangkan Vietnam sudah mencapai Int$ 440. Pendapatan per kapita Indonesia di tahun 2018 sebesar Int$ 11.45 sedangkan PDB per kapita Vietnam sebesar Int$ 7.768.7

Jelas, komitmen Vietnam dalam membangun kualitas dan produktivitas SDM-nya melalui investasi kesehatan jauh lebih besar dibanding komitmen Indonesia. Jangan heran jika ketahanan SKN Indonesia dalam menghadapi COVID-19 tampak berantakan. Nugroho dan Syarif (2021)8 menyimpulkan bahwa ketidakmampuan Indonesia mengendalikan COVID-19

7 Data Bank Dunia. https://data.world bank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.

PP.CD?view=chart. Diunduh 1 Sept 2021 8 Nugroho Y and Syaries SS. Grave Failures in Policy and Communication in Indonesia during the COVID-19 Pandemi. ISEAS,

Issue 2921 no 113 25 Agustus 2021. merupakan bukti kurangnya kemauan politik untuk all out mengendalikan kesehatan sesuai UU Karantina. Ditambah lagi secara struktural SKN Indonesia lemah sehingga dapat dipastikan bahwa jika tidak cukup komitmen penguatan investasi kesehatan maka dalam waktu dekat daya saing Indonesia akan terkalahkan oleh Vietnam dan negara ASEAN lain. Fakta di dunia menunjukkan bahwa daya saing, kemajuan ekonomi, dan tingkat kesejahteraan suatu bangsa lebih ditentukan oleh kualitas SDM-nya, bukan jumlah SDA (sumber daya alam) yang dimilikinya. Pandemi COVID-19 telah menunjukkan kepada semua elemen bangsa bahwa SKN Indonesia lemah. Data The Global Competitiveness Report 20199 menempatkan ranking layanan kesehatan Indonesia pada urutan ke-96, jauh di bawah urutan layanan kesehatan Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Lemahnya SKN Indonesia menimbulkan kerugian ekonomi yang besar ketika terjadi pandemi COVID-19. Kerugian ekonomi merupakan konsep

9 World Economic Forum. The Global

Competetiveness Report 2019.

nilai ekonomi, diukur dalam satuan mata uang, akibat suatu peristiwa seperti COVID-19. Nilai kerugian mencapai kerugian langsung berupa nilai uang yang dikeluarkan untuk berobat misalnya dan kerugian tidak langsung (opportunity loss) berupa nilai uang yang tidak diperoleh karena masyarakat sakit dan tidak bekerja. Berapa kerugian ekonomi Indonesia akibat COVID-19? Kerugian ekonomi nyata (riil) Indonesia akibat COVID-19 belum dihitung karena pandemi masih berlangsung.

Kerugian ekonomi terukur sementara, dari sisi pemerintah saja—belum termasuk yang dialami masyarakat—mencapai rata-rata Rp607 triliun setahun selama tahun 2020-2021 (Advertorial APBN 2021). Nilai tersebut dihitung berdasakan nilai rata-rata perkiraan defisit APBN tahun 2020-2021 secara akumulatif sebesar Rp2.777 triliun dikurangi rata-rata defisit sebelum COVID-19 tahun 2017-2019 yang secara akumulatif sebesar Rp955 trilun. Artinya, dalam tiga tahun masa pandemi, tambahan defisit mencapai Rp1.822 triliun. Nilai tersebut belum terhitung nilai pendapatan rakyat yang kehilangan pendapatan karena di-PHK, berhentinya bisnis, hilangnya hari produktif selama sakit, hilangnya hari produktif karena kematian penduduk usia produktif akibat COVID-19, dan nilai tambah bisnis baru yang terjadi akibat COVID-19.

Dampak ekonomi COVID-19 di Indonesia dipengaruhi juga oleh kondisi ekonomi negaranegara mitra bisnis Indonesia. Modal manusia (penduduk sehat-produktif, terdidik, dan terampil) merupakan unsur terpenting bagi daya saing bangsa, jauh lebih penting dari unsur sumber daya alam. Dalam kondisi pandemi, hampir semua negara mengalami penurunan ekonomi. Negara berpendapatan tinggi (high income) mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang lebih dalam. Namun karena struktur ekonominya sudah lebih kuat, negara maju akan lebih cepat pulih. Pertumbuhan ekonomi negara mitra bisnis Indonesia akan membantu Indonesia memulihkan ekonominya lebih cepat. Tim IMF memprediksi bahwa mulai tahun ini ekonomi dunia akan kembali menguat di

atas 3,2% yoy.10 Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2021 adalah 5,6%, suatu pertumbuhan terkuat dalam 80 tahun terakhir.11

Kemajuan teknologi kedokteran, farmasi, dan bioteknologi serta cepatnya temuan dan produksi berbagai vaksin COVID-19 merupakan berkah kita semua. Namun, apakah pengendalian COVID-19 Indonesia juga akan lebih baik? Banyak faktor non-ekonomi yang ikut berpengaruh. Faktor terpenting yang berperan bagi kembalinya ekonomi Indonesia adalah cakupan vaksinasi COVID-19. Vaksin telah terbukti cost-effective dalam me-

10 Https://www.wsj.com/articles/imfsees-countries-economic-prospectssplit-based-on-Covid-19-vaccinationrates-11627390800. 11 World Bank Group. Global Economic

Prospect. June 2021. ngendalikan berbagai penyakit di dunia seperti polio, tuberkulosis, campak, cacar, dan lain-lain.

Pemerintah memahami dan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dunia dan dalam negeri dalam RAPBN 2022 sebagaimana terlihat dalam gambar 3 di bawah ini.12

Data pertumbuhan ekonomi dalam gambar 3 memberi harapan dampak COVID-19 di Indonesia tahun 2022 dan seterusnya akan kembali ke masa prapandemi. Jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju yang dua digit, Kemenkeu mengakui bahwa prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sebaik itu. Namun, prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sedikit lebih baik dibanding

12 Kemenkeu RI. RAPBN 2022 Buku I & II.

Jakarta, 2021.

Gambar 3. Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Beberapa Negara Pembanding (Kemenkeu 2021).

Foto : Onbloss Creative

pertumbuhan ekonomi Vietnam dan Korea. Hal itu disebabkan kontraksi ekonomi Vietnam tidak terjadi dan kontraksi ekonomi Korea hanya -2,5%.

Tentu saja, dampak langsung SKN terhadap pertumbuhan ekonomi secara umum dipengaruhi banyak faktor. Dalam hal penyakit menular, khususnya COVID-19, dampak langsung masalah kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi sangat jelas. Hal itu karena ada kesamaan pelaku dengan arah berlawanan. Penyakit COVID-19 menyebar karena mobilitas orang tanpa protokol kesehatan atau protokol kesehatan lemah, sedangkan mobilitas orang justru diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi. Efek negatif COVID-19 terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dibuktikan di seluruh dunia. Sistem kesehatan yang buruk juga mempengaruhi kesadaran orang dalam berperilaku hidup yang berisiko tinggi terhadap penularan COVID-19 dan terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi.

Harapan dan Tantangan Masa Depan

Kita bersyukur hidup di zaman modern yang memungkinkan dalam waktu satu tahun sejak mulai pandemi COVID-19, vaksin telah ditemukan dan diproduksi. Meskipun obat COVID-19, seperti juga obat virus penyakit HIV/ AIDS dan banyak penyakit virus lain, belum ditemukan; vaksin memberi harapan besar ke depan.

Harus diakui bahwa perilaku masyarakat yang masih belum memiliki disiplin tinggi dalam prokes menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kita sering mengikuti berita-berita masyarakat bahkan pejabat yang masih menyelenggarakan hajatan tanpa prokes yang ketat lalu dibubarkan petugas. Perubahan perilaku memang tidak bisa cepat dan tidak mudah dikendalikan.

Dalam kondisi seperti itu, maka vaksinasi COVID-19 menjadi harapan terbesar. Sayangnya, sampai tanggal 1 September 2021, porsi penduduk yang telah mendapat vaksin dua dosis baru 17,3% penduduk dan yang telah mendapat vaksin satu dosis baru mencapai 30,5% penduduk.13 Padahal untuk mencapai herd immunity diperlukan paling sedikit 70% penduduk telah memiliki imun terhadap COVID-19.

Lambatnya cakupan vaksinasi di Indonesia dipengaruhi banyak hal, seperti ketersediaan vaksin

13 Https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines.

Diakses 1 Sept 2021.

yang sangat bergantung pada produsen vaksin di luar negeri. Sampai saat ini Indonesia belum memproduksi vaksin buatan dalam negeri. Kita bergantung suplai vaksin Sinovac Sinofarm, AstraZeneca, Moderna, Pfizer, dan Sputnik V.

Selain suplai, banyak kendala lapangan yang berkaitan dengan disiplin perilaku petugas maupun masyarakat. Faktor politik juga berpengaruh sebagaimana kita saksikan bahwa fasilitas kesehatan swasta belum mendapat izin untuk menyediakan vaksin berbayar. Padahal, secara ilmu ekonomi, vaksin berbayar sebagai alternatif untuk percepatan perluasan vaksinasi merupakan alternatif yang viable. Namun, secara politis hal ini belum diterima karena ketakutan permainan harga dan persepsi pelanggaran UU Karantina. Padahal, dalam praktiknya kini banyak sekali penduduk yang membayar tes antigen atau PCR atau membayar biaya berobat di klinik atau rumah sakit swasta karena berbagai hal.

Karena itu diperlukan perubahan struktural, fundamental, dan berbagai kebijakan yang mensinkronkan kewajiban negara, hak penduduk,

Foto : freepik

dan pilihan penduduk yang menginginkan layanan tertentu atau waktu/tempat tertentu dengan membayar sendiri pilihan tersebut. Akibat tertutupnya pilihan, perluasan vaksinasi relatif lambat. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dalam rangka percepatan cakupan vaksinasi yang pada berbagai penyakit pandemi dan epidemi terdahulu telah terbukti efektif.

Bank Dunia14 merekomendasikan agar pengambil kebijakan melakukan reformasi yang menjamin stabilitas harga layanan serta produk kesehatan dan kesinambungan fiskal. Reformasi ekonomi juga harus diarahkan menuju ekonomi hijau, resilient, dan inklusif agar terjadi perbaikan kesehatan penduduk yang produktif secara ekonomi.

Dalam RAPBN 2022 pemerintah mencoba mengusulkan reformasi struktural yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan menjadi 5,5% di tahun 2022 dibanding tanpa reformasi yang mungkin hanya tumbuh 5% tanpa reformasi (RAPBN 2022). Salah satu reformasi penting adalah perubahan dalam struktur belanja dan jumlah

14 World Bank Group. Global Economic

Prospect. Juni 2021. alokasi untuk fungsi kesehatan. Namun, reformasi fundamental SKN hanya sampai masa pandemi tidak akan meningkatkan ketahanan dan perbaikan jangka panjang (sinambung) sistem yang meningkatkan daya saing SDM Indonesia.

Reformasi jangka panjang tidak bisa dipelajari dari jumlah anggaran tahunan dalam RAPBN saja. Diperlukan kejelasan arah reformasi penguatan SKN ke depan yang menyangkut pembiayaan publik yang cukup, berkeadilan, dan inklusif di semua tingkat sosial ekonomi penduduk dan berkeadilan di antara wilayah. Dalam dokumen RAPBN, baik buku I maupun buku II, belum tampak konsep reformasi fundamental. Yang tercantum masih sekadar penguatan program, akreditasi, kemandirian farmasi, distribusi tenaga kesahatan, dan teknologi informasi, tetapi belum jelas perubahan fundamental apa.

Selain itu, dokumen RAPBN masih eksklusif programprogram yang diusulkan dan didanai APBN pada layanan di fasilitas kesehatan publik milik Pemerintah seperti puskesmas. Peran dan penguatan fasilitas kesehatan swasta belum

tampak. Hal ini berbeda dengan pendidikan dimana dana BOS dan hibah kepada perguruan tinggi swasta sudah lazim dilakukan.

Dalam program JKN Pemerintah juga hanya menganggarkan subsidi (bantuan) iuran JKN masih pada 96,4 juta penduduk dengan besar iuran Rp42.000 per orang per bulan. Dengan demikian, subsidi yang berpotensi penduduk tersebut menggunakan fasilitas kesehatan swasta hanya berjumlah Rp48,6 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih sedikit dari anggaran subsidi yang tidak wajib, yaitu subsidi energi dan BBM yang mencapai Rp134 triliun. Padahal, selama COVID-19 begitu banyak orang yang bukan penerima upah yang tidak sanggup bayar iuran dan ketika sakit terpaksa membayar jumlah yang dapat memiskinkan. Padahal, tidak ada kewajiban pemerintah menanggung “BBM atau energi terjangkau”,

Perintah pemenuhan layanan kesehatan yang layak bagi seluruh rakyat jelas tercantum dalam UUD ‘45 Pasal 28H (1) dan Pasal 34 (2). Bahkan, terdengar ada usulan Bappenas untuk mengurangi jumlah peserta PBI JKN karena persepsi keliru yang menyamakan jumlah peserta PBI sama dengan jumlah orang miskin. Dalam RAPBN 2022 tampak bahwa belanja kesehatan reguler, di luar untuk COVID-19 yang berwarna orange dalam gambar 4 dan gambar 5 jelas menunjukkan bahwa porsi belanja wajib kesehatan dan belanja tidak wajib (subsidi) energi relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mematuhi UUD ’45 secara penuh dan masih terbelenggu dengan belanja subsidi (yang tidak diwajibkan UUD ‘45) yang lebih bersifat politis. Sesungguhnya masih ada pilihan lain yang bisa menambah dana investasi pemerintah dalam membangun SDM unggul berkualitas sebagaimana direkomendasikan oleh Bank Dunia. Dalam dokumen Boosting the Recovery15 Bank Dunia merekomendasikan Indonesia untuk meningkatkan penerimaan, yang di banyak negara digunakan untuk meningkatkan belanja kesehatan antara lain peningkatan nilai cukai rokok, menaikan PPh (di atas maksimal 30%), pajak karbon, cukai minuman berpemanis yang

15 Bank Dunia. Boosting the Recovery, Juni 2021.

meningkatkan risiko penyakit tidak menular. Banyak negara telah meningkatkan belanja kesehatan bersumber pajak dosa (sin-tax), baik bersifat earmarked maupun dedikasi.

Para pejabat Kemenkeu tidak suka dengan earmarking, yaitu penepatan persentase tertentu dari penerimaan (cukai atau pajak) untuk layanan tertentu. Tetapi, seharusnya pemerintah mengalokasikan sejumlah dana yang cukup untuk kesehatan dari penerimaan cukai barang-barang yang memiliki dampak buruk kesehatan seperti rokok, bahan polutan (termasuk BBM), minuman

Gambar 4. Tren Belanja Kesehatan dalam APBN 2017-2022.

Gambar 5. Tren Subsidi Energi APBN 2017-2022.

alkohol, dan berpemanis tinggi. Pengalokasian ini disebut dedikasi yang tampaknya juga belum tampak.

Kesimpulan dan Saran

Pandemi COVID-19 telah menimbulkan kerugian ekonomi dunia dan Indonesia dalam jumlah dan tingkat yang sangat besar, jauh lebih besar dari krisis ekonomi yang terjadi setelah tahun 2000. Krisis ekonomi Indonesia dan dunia yang disebabkan oleh faktor kesehatan merupakan krisis yang pertama sejak satu abad yang lalu.

Penyakit COVID-19 merupakan penyakit yang menular langsung dari manusia kepada manusia lain dalam jarak dekat tanpa perlindungan masker dan perilaku hidup sehat lain. Sementara ekonomi dapat tumbuh jika manusia bebas bergerak/bekerja untuk menggerakkan ekonomi. Jelas sekali antara COVID-19 dan ekonomi terdapat hubungan sebab-akibat.

Kita dapat menjamin semua rakyat sehat, tetapi gerakan rakyat harus sangat dibatasi—apakah itu namanya PSBB, PPKM, lockdown— tidak masalah. Gerakan rakyat yang dibatasi untuk mencegah penyakit dan kematian menghambat pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi yang diprioritaskan, maka banyak rakyat menderita sakit atau mati.

Dalam kondisi SKN Indonesia yang secara tradisional lemah karena kekurangan investasi dan kekurangan dana, pandemi COVID-19 telah membuka mata banyak pejabat dan terasa perlunya reformasi fundamental, khususnya pembiayaan yang mencukupi. Selama pandemi terbukti pemerintah dipaksa mau dan mampu (meskipun harus pinjam) menyediakan dana yang cukup untuk penanganan COVID-19.

Apakah ada kemauan politik pemerintah untuk mengeluarkan belanja kesehatan yang cukup, yang menjadi kewajiban konsititusional, untuk masa pasca COVID-19? Masih belum jelas. Peluang untuk menurunkan dampak negatif COVID-19 terhadap pertumbuhan ekonomi terbuka dengan vaksinasi yang memadai. Namun demikian, sampai September 2021, cakupan vaksinasi belum cukup untuk menimbulkan herd immunity yang dapat berdampak

Foto : freepik

makin lamanya COVID-19 di Indonesia terkendali.

Komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi struktural dengan penguatan pembiayaan kesehatan yang pada akhirnya akan memperkuat ketersediaan bahan medis, obat, fasilitas, dan tenaga kesehatan yang kompeten harus

segera dirumuskan dengan menjamin inklusivitas seluruh masyarakat, seluruh fasilitas kesehatan publik dan swasta. Keterbukaan pemerintah dalam melakukan reformasi dan menghimpun pandangan berbagai kelompok harus bisa dibuktikan dalam waktu satu tahun ke depan.n

VAKSIN MERAH PUTIH BISA MEMENUHI 50% KEBUTUHAN VAKSIN DI INDONESIA

Prof. dr. Amin Soebandrio. Ph.D, Sp.MK (K)

Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Periode tahun 2014–2021 Dengan adanya reorganisasi dan restrukturisasi Kementerian Riset dan Teknologi/Badang Riset dan Inovasi Nasional (KemRISTEK/ BRIN) menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sejak awal September kami juga mengalami reorganisasi dan restsrukturisasi, serta diganti namanya menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler Eikjman. Sekalipun sudah ditunjuk Kepala Pusat yang baru, tetapi tugas untuk merampungkan penelitian dan pengembangan vaksin Merah Putih tetap merupakan tanggung jawab saya sebagai peneliti utama.

Sejak Januari 2020, begitu diketahui adanya infeksi virus yang merebak di Cina dan berpotensi menjadi pandemi, kami sudah mulai mengantisipasi semuanya. Kami sudah menyiapkan diri jika ada pandemi yang meluas. Kami sudah memiliki kemampuan jauh sebelum itu karena memiliki penelitian untuk mendeteksi penyakit infeksi emerging dan reemerging, termasuk virus Corona, yang ada di antara hewan liar dan manusia. Sejak Januari itu juga kami sudah mulai memantau munculnya kasus-kasus yang mencurigakan di beberapa rumah sakit tertentu, tapi belum dilaporkan karena saat itu secara resmi diagnosis laboratorium hanya dapat dilakukan

oleh Kementerian Kesehatan. Sekitar dua minggu setelah kasus pertama di Indonesia resmi diumumkan oleh Presiden pada tanggal 2 Maret 2020, baru laboratorium lain yang sudah memiliki kemampuan, termasuk kami, diizinkan untuk melakukan pemeriksaan PCR dan melaporkannya.

Pada minggu berikutnya sekitar tanggal 15 Maret, kami sudah diizinkan untuk melakukan pemeriksaan. Kami sudah menerima sampelsampel PCR dari berbagai fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia. Kami juga sudah menyediakan Virus Transport Medium (VTM) secara gratis ke seluruh Indonesia. Karena saat itu masih sulit mendapatkan VTM, kami membuatnya sendiri dan itu menggunakan resep internal kami yang justru malah lebih bagus daripada yang komersial.

Pada bulan Januari 2020 kami bersama pimpinan Bio Farma menyepakati perlunya Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar ini, memproduksi vaksin sendiri dalam menghadapi wabah yang kemungkinan akan menjadi pandemi ini. Ini akan menjadi untuk pertama kalinya Indonesia mengembangkan vaksin sendiri dari nol. Di sisi lain, Kementerian Kesehatan juga mengundang beberapa Fakultas Kedokteran dan Lembaga Penelitian, untuk berupaya membuat vaksin untuk mengatasi pandemi ini. Pada minggu ke tiga bulan Maret 2020, Menteri RISTEK/Kepala BRIN saat itu, Profesor Bambang Brodjonegoro, menugaskan kami untuk mengembangkan vaksin untuk melawan pandemi COVID-19 ini, dan beliau menegaskan komitmen pemerintah, melalui Kementerian yang beliau pimpin, untuk mendanai pengembangan vaksin tersebut. Kami menyatakan kesanggupan untuk melaksanakan tugas tersebut, karena kami punya kemampuan itu, dan kami sudah memiliki virus SARS-CoV-2 yang diisolasi dan dibiakkan dari penderita COVID-19 di Indonesia. Berdasarkan masukan dan kesanggupan pihak Bio Farma, kamipun memutuskan bahwa yang akan dikembangkan oleh kami bersama Bio Farma adalah vaksin ber-platform protein rekombinan. Platform ini akan menghasilkan protein subunit Spike (S) dan Nucleocapsid (N). Kedua protein tersebut

Foto : freepik

dipilih karena Protein S akan memfasilitasi menempelnya virus pada permukaan sel manusia melalui reseptor ACE2, sedangkan Protein N adalah bagian yang mengikat material genetik atau RNA di dalam virus dan berfungsi untuk melepaskan RNA-nya apabila virus sudah berhasil masuk ke sel manusia.

Mengapa Disebut Vaksin Merah Putih.

Vaksin COVID-19 yang dikembangkan ini akan menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia, karena dikembangkan berdasarkan virus

yang diisolasi di Indonesia, oleh peneliti Indonesia, di fasilitas penelitian Indonesia, diproduksi oleh industri Indonesia, dan dipergunakan utamanya untuk melindungi rakyat Indonesia dari Pandemi COVID-19. Ketika perkembangan pengembangan vaksin dengan ciri-ciri tersebut dilaporkan ini di salah satu Rapat Kerja dengan Komisi DPRRI, semangat nasionalismepun muncul dan nama Merah Putih secara spontan diberikan, dan mendapat sambutan hangat dari seluruh anggota yang hadir. Sejak itu vaksin yang dikembangkan oleh tim kami disebut Vaksin Merah Putih.

Dalam perkembangannya, beberapa institusi lainnya, UI, LIPI, ITB, UGM, UNAIR, dan UNPAD, juga mengembangkan vaksin COVID-19 walaupun dengan platform dan pendekatan berbeda-beda. Karena semuanya memenuhi ciri di atas, maka oleh Kementerian Ristek/BRIN saat tu, semua calon vaksin tersebut disebut sebagai Vaksin Merah Putih.

Roadmap Pengembangan Vaksin Merah Putih Eijkman

Secara umum, pengembangan suatu vaksin terdiri dari dua tahapan besar. Pertama, tahap penelitian dan pengembangan, yang disebut juga tahap laboratorium, Kedua, tahap industri, termasuk di dalamnya uji pra-klinik dan uji klinik fase satu sampai tiga. Tugas kami adalah menyelesaikan tahap laboratorium dan menghasilkan bibit vakin, yang siap dihilirisasi ke tahap industri.

Tahap laboratorium diawali dengan isolasi, pembiakan, dan karakterisasi virus. Kami mengambil salah satu virus yang diisolasi di bulan Maret 2020, yang masih berkerabat erat dengan virus SARS-CoV-2 yang muncul pertama kali di Wuhan. Setelah mengisolasi materi genetiknya, kami mengisolasi dan mengamplifikasi gen S dan gen N-nya, Gen yang sudah berhasil diamplifikasi kemudian dimasukkan (insersi) dan diklon di dalam plasmid tertentu, untuk kemudian dimasukkan ke dalam virus adeno (adenovirus) khusus. Adenovirus yang sudah mengandung gen S atau gen N tersebut pada gilirannya digunakan untuk memasukkan gen yang dibawanya ke dalam sel mamalia, yang akan menjadi sistem ekpresi atau “pabrik” yang akan menghasilkan protein S atau protein N. Sel mamalia yang digunakan dalam sistem ekspresi adalah sel CHO (Chinese Hamster Ovary) yang memang sudah dikenal dan diijinkan untuk digunakan dalam menghasilkan obat maupun vaksin. Semua proses menginsersi dan mengklon gen tadi selalu pantau dengan menggunakan teknik molekuler, untuk memverifikasi bahwa gengen tersebut memang sudah masuk sebagaimana diharapkan. Pengujian awal menggunakan protein S menunjukkan bahwa kelompok mencit yang disuntik dengan protein S itu menghasilkan antibodi jauh lebih tinggi daripada

yang tidak mendapatkan protein S. Kami juga memeriksa beberapa organ penting seperti paru-paru, hati, dan limpa untuk mengamati apakah ada kerusakan jaringan pasca penyuntikan tersebut. Pengujian ini sekaligus memperlihatkan bahwa penyuntikan Protein S tidak menyebabkan kerusakan jaringan apa pun.

Selain sel CHO, kami juga mengembangkan sistem ekspresi yang menggunakan sel ragi Pichia pastoris, yang juga sudah lazim digunakan dalam pengembangan bahan biologik dan vaksin. Alternatif ini dilakukan karena pada saat tersebut fasilitas produksi PT. Bio Farma lebih siap untuk memproses sistem ekspresi sel ragi.

Setelah bibit vaksin berhasil diekspresikan, proses selanjutnya adalah transisi ke skala industri melalui proses optimasi, scaling up, dan meningkatkan yield-nya, agar proses produksi dapat lebih efisien dan harga vaksin menjadi lebih murah. Untuk itu kami sudah melakukan pembiakan sel ragi yang mengekspresikan protein rekombinan S dan N dengan skala pilot 2 liter, yang dilanjutkan dengan purifikasi, karakterisasi, dan pengujian yield. Proses selanjutnya adalah menyiapkan seed GMP (Good Manufacturing Practice) agar dapat dilakukan uji pra-klinik pada hewan.

Jika semua hasilnya baik, maka bisa berlanjut ke uji klinis fase 1 hingga fase 3. Apabila nanti sudah memperoleh Emergency Use Authorization (EUA) dari BPOM baru akan dilakukan produksi dengan skala yang lebih besar.

Pengembangan vaksin Merah Putih ini juga memperhatikan perkembangan berbagai varian COVID-19 yang ada di Indonesia. Vaksin yang dikembangkan juga harus diuji terhadap varian yang beredar di Indonesia. Saat ini varian yang mendominasi virus yang beredar di Indonesia adalah varian Delta, namun varian lain seperti Alfa dan Beta juga hadir sekalipun tidak terlalu banyak. Tidak tertutup kemungkinan vaksin Merah Putih suatu ketika perlu disesuaikan terhadap varian tertentu, tapi karena teknologi dan resepnya sudah kita kuasai, kita tidak perlu mulai dari nol.

Foto : freepik

Dalam Situasi Pandemik Pembuatan Vaksin Bisa Dipercepat

Dalam situasi non-pandemik, pembuatan vaksin membutuhkan waktu sekitar 3 sampai 5 tahun untuk menyelesaikan tahap R&D, dan sekitar 5 sampai 10 tahun untuk menyelesaikan uji kliniknya. Namun dalam situasi pandemik, beberapa proses dapat dilakukan secara lebih ringkas, dan/atau dilakukan secara paralel. WHO memprediksi pembuatan vaksin COVID-19 membutuhkan waktu sekitar 18 sampai 24 bulan.

R&D di laboratorium dikejar mati-matian, dengan menambah tenaga peneliti dan memperpanjang jam kerja dalam sehari atau seminggu. Uji pra-klinik dan uji-klinik juga akan dilakukan secara intens dalam waktu lebih pendek termasuk dilakukan secara paralel. Misalnya jika hasil di fase uji praklinik sudah bagus tapi belum selesai, kita sudah bisa mendapatkan izin untuk melakukan uji klinik fase pertama yang akan berjalan selama 6 bulan. Jika setelah 3 bulan atau sudah mencapai 50% dan hasilnya dianggap memuaskan, maka fase kedua dapat dimulai dengan tetap menyelesaikan fase pertama. Demikian pula dengan fase kedua, jika sesudah berjalan sebanyak 50% menunjukkan hasil baik, fase ketiga sudah dapat dimulai. Sebelum fase ketiga selesaipun, apabila hasilnya sudah memuaskan, BPOM dapat mempertimbangkan untuk memberikan Emergency Use Authorization (EUA). Dengan demikian, keseluruhan uji klinik dapat diselesaikan dalam waktu 8 sampai 12 bulan. Tentu semua proses ini tetap berada di bawah pengawasan ketat BPOM, untuk memastikan semua persyaratan keamanan dan efikasi terpenuhi.

Dampak Munculnya Varian Baru

Mutasi virus COVID-19 akan terus terjadi, yang mungkin menyebabkan munculnya berbagai varian baru. Beberapa varian ternyata memiliki sifat menurunkan keampuhan antibodi, baik yang terbentuk pascavaksinasi, pada penyintas, maupun yang digunakan pada pengobatan. Di beberapa negara telah diamati terjadinya penurunan efikasi beberapa vaksin sebesar 10% sampai 20%

terhadap varian Alfa. Beberapa varian lain, termasuk Delta, Mu, dan R.1. juga menunjukkan penurunan kepekaan terhadap vaksin yang sudah ada. WHO menyatakan bahwa selama efikasi masih di atas 50%, vaksin yang sudah ada masih dianggap efektif. Sekalipun demikian, kita tetap harus memantau, jika suatu ketika, jika efikasi menurun sampai di bawah 50%, tidak tertutup kemungkinan kita harus melakukan penyesuaian terhadap vaksin yang sudah ada. Saat ini varian-varian baru memang diperoleh Indonesia dari luar negeri, tetapi dimungkinkan munculnya varian baru di Indonesia.

Peran Vaksin Merah Putih

Karena vaksinasi terhadap 208 juta penduduk Indonesia ditargetkan selesai pada ahir tahun 2021, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berencana menggunakan vaksin Merah Putih sebagai booster atau vaksin penguat di tahun depan. Tentu tetap tidak mengesampingkan penggunaan vaksin Merah Putih sebagai priming atau suntikan pertama dan kedua pada mereka yang belum mendapatkan vaksin. Diharapkan, ketika sudah mendapat Izin Edar, atau setidaknya EUA, vaksin Merah Putih dapat memenuhi sedikitnya 50% kebutuhan vaksin COVID-19 di Indonesia. Di samping itu, Indonesia juga harus siap membantu beberapa

Foto : freepik

negara lain yang belum memiliki akses yang memadai terhadap vaksin ini.

Kami juga berupaya agar vaksin Merah Putih diakui di dunia internasional. Karena itu sejak awal kami bekerja sangat hati-hati agar bisa memenuhi persyaratan internasional baik dari sudut keamanan, efikasi, maupun kehalalannya. Hingga saat ini belum ada negara lain yang memesan vaksin Merah Putih karena memang belum diproduksi. Tetapi beberapa negara sahabat sudah menyatakan minatnya untuk dilibatkan dalam uji klinik fase 3.

Hingga saat ini kami belum bisa memastikan kapan vaksin Merah Putih ini akan tersedia. Awalnya kami memperkirakan pertengahan tahun 2022 sudah bisa, tapi tampaknya terjadi beberapa keterlambatan. Kami berharap akhir tahun 2023 vasin Merah Putih sudah dapat diberikan secara gratis bagi penduduk Indonesia yang membutuhkannya.

Berbicara soal KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) dari vaksin Merah Putih, pastinya semua vaksin memiliki KIPI. Tapi salah satu alasan penting pemilihan platform protein rekombinan adalah karena memiliki KIPI yang paling kecil, Teknologi dan platform ini sudah dikenal oleh negaranegara berkembang penghasil vaksin seperti India, Kuba, Brazil,

Foto : freepik

Bangladesh, selain Indonesia sendiri, dalam mengembangkan vaksin hepatitis dan lainnya. Insya Allah vaksin Merah Putih aman diberikan untuk wanita hamil, anak kecil, komorbid, dan lansia. Vaksin COVID-19 direncanakan disuntikkan dua kali agar bekerja efektif untuk mencegah infeksi oleh virus SARS-CoV-2 dan munculnya gejala COVID-19. Kemungkinan juga dibutuhkan suntikan ketiga sebagai booster atau penguat. Hal tersebut berguna untuk memproduksi lebih banyak antibodi di dalam tubuh seseorang.

Perubahan Status dari Pandemi ke Endemi

Suatu penyakit dinyatakan berada di fase endemik apabila angka infeksi harian nasional bisa diredam di titik tertentu sehingga tidak lagi terjadi lonjakan kasus secara drastis. Tetapi kita tetap menjaga, terutama, bagi populasi vulnerable (populasi yang rentan).

Kita melihat contoh influenza yang muncul musiman. Pada kasus ini yang paling berdampak adalah tempat atau negara dingin. Jika sudah musim dingin, kasusnya akan meningkat tajam karena cenderung satu keluarga berkumpul di dalam satu rumah

dengan sirkulasi udara yang tertutup, dengan menggunakan penghangat ruangan. Hal ini menyebabkan konsentrasi virus di dalam ruangan menjadi tinggi. Vaksinasi tahunan merupakan salah satu upaya yang ampuh dalam pencegahan infeksi, morbiditas, dan mortalitas. Karena virus influenza merupakan virus yang mudah dan cepat melakukan antigenic shift dan antigenic drift melalui proses mutasi, maka vaksin influenza harus dimodifikasi secara berkala, disesuaikan dengan antigen virus yang sedang bersirkulasi pada periode tersebut.

Berkembang informasi di masyarakat bahwa untuk memberikan perlindungan pada anak usia di bawah 12 tahun dari infeksi virus Corona adalah dengan memberikan vaksin influenza karena belum ketersediaan vaksin tersebut untuk anak usia di bawah 12 tahun. Pemikiran seperti itu tidak benar, karena virusnya berbeda, sekalipun sebagian tanda dan gejala klinisnya serupa. COVID-19 memang menimbulkan gejala mirip influenza, sehingga dikelompokkan ke dalam influenza life illness. Tidak terjadi cross protection, tetapi

pemberian vaksin influenza itu sebetulnya lebih ditujukan untuk setidaknya untuk meminimalisasi gejalanya, apabila terjadi infeksi berbarengan (co-infection). Anakanak lebih rentan terhadap serangan virus influenza dan itu bisa menurunkan kekebalannya sehingga proteksi terhadap SARS-CoV-2 (COVID-19) itu menurun.

Saat ini sudah hampir 2 tahun sejak virus SARS-CoV-2 ditemukan belum ada tandatanda pandemi ini akan berakhir, walaupun diamati bahwa jumlah kasus saat ini sudah jauh lebih rendah dibandingkan bulan Juni 2021. Kondisi yang baik ini harus terus dipertahankan melalui berbagai cara, antara lain melaksanakan protokol kesehatan dengan ketat dan kosisten, termasuk mencegah kerumunan dan membatasi pergerakan manusia, serta menuntaskan program vaksinasi. Tantangan yang dihadapi adalah adanya libur panjang terutama yang terkait dengan acara ritual, masih relatif tingginya jumlah kasus di negara lain, dan tingginya pergerakan domestik dan internasional manusia. Dengan pemahaman, peran aktif, dan kerja sama, seluruh lapisan masyarakat, insya Allah kita dapat segera terbebas dari pandemi ini. n

Foto : freepik

DAMPAK PANDEMIK COVID-19 PADA IBU HAMIL DAN KESEHATAN WANITA SERTA EFEK VAKSIN TERHADAP IBU DAN KEHAMILAN

Dr. dr. M. Alamsyah Azis, SpOG(K)

Ketua Pokja Infeksi Saluran Reproduksi Pengurus Pusat POGI; Divisi Kedokteran Fetomaternal FK Unpad/ RSHS Bandung Ketua Umum Pengurus Pusat POGI)

Ibu hamil termasuk dalam kelompok populasi yang berisiko. Sekitar 51,9% ibu hamil yang terinfeksi COVID-19 tidak menunjukkan gejala dan 72% infeksi COVID-19 terjadi pada kehamilan di atas 37 minggu. 45 % membutuhkan perawatan intensif dan angka kematian sebesar 3% (Bank Data POGI sampai dengan April 2021). Hal ini tentu menjadi masalah untuk ibu hamil. Ibu hamil dilaporkan memiliki risiko lebih tinggi daripada ibu yang tidak hamil untuk mengalami COVID-19 yang berat. Diperlukan suatu pencegahan COVID-19 yang efektif pada ibu hamil karena gejala COVID-19 yang berat pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko

dr. Ari Kusuma Januarto, SpOG(K)

persalinan preterm, keguguran, dan kematian.

Efektivitas dan keamanan vaksinasi COVID-19 pada ibu hamil dan menyusui masih menjadi topik yang sering dibicarakan. Saat ini Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) telah merekomendasikan ibu hamil untuk mendapatkan vaksinasi COVID-19. Selain itu, Center for Disease Control (CDC) juga telah menyatakan bahwa ibu hamil dan ibu menyusui dapat menerima vaksinasi COVID-19. Di Indonesia, berdasarkan rekomendasi POGI, pemerintah telah memperbolehkan vaksin COVID-19 untuk diberikan kepada ibu hamil dengan usia kandungan 13 minggu ke atas dan ibu menyusui.

Kondisi Indonesia terkait Peningkatan Kasus Maternal COVID-19

Ibu hamil merupakan salah satu bagian dari kelompok populasi yang berisiko tinggi terpapar COVID-19. Saat terpapar, sebanyak 51,9% ibu hamil yang terkonfirmasi COVID-19 tidak menunjukkan gejala. Berdasarkan data pada bulan April 2021, sebanyak 72% infeksi COVID-19 pada ibu hamil terjadi pada usia kehamilan di atas 37 minggu. Kasus yang membutuhkan perawatan intensif sebanyak 45% dengan angka kematian sebesar 3-5%.

Berdasarkan data di Rumah Sakit Umum Pendidikan Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, terdapat fluktuasi kasus COVID-19

Gambar Data Kasus dan Kematian COVID-19 pada Ibu hamil di RSHS Bandung

Foto : freepik pada ibu hamil, kematian ibu hamil dengan COVID-19, dan kematian perinatal dengan COVID-19.

Terdapat beberapa penelitian yang membahas mengenai luaran/ outcome ibu hamil yang menderita COVID-19 dibandingkan yang NonCOVID-19. Dalam jurnal CMAI bulan April 2021 disebutkan bahwa ibu hamil yang mengalami COVID-19 dapat meningkatkan kejadian hipertensi dalam kehamilan/ preeklamsi, kematian janin dalam rahim, persalinan kurang bulan meningkat hampir dua kali lipat, bahkan akan meningkatkan perawatan di ruang intensif menjadi lima kali lipat dibandingkan ibu hamil yang tidak menderita COVID-19. Kejadian ini akan bertambah buruk bila ibu hamil mengalami gejala yang berat maka kemungkinan masuk ke ruangan rawat intensif menjadi meningkat 15 kali lipat. Jadi dapat disimpulkan bahwa ibu hamil yang menderita COVID-19 akan mengalami perburukan yang lebih dibandingkan dengan yang tidak terpapar COVID-19.

Isolasi Mandiri untuk Ibu Hamil tanpa Gejala atau Gejala Ringan COVID-19

Ada beberapa rekomendasi untuk ibu hamil tanpa gejala atau gejala

ringan COVID-19 yang perlu mendapatkan perhatian. 1. Ibu hamil yang sedang menjalani isolasi mandiri diberikan konseling dan panduan isolasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. 2. Mengingat kemungkinan persalinan prematur yang lebih tinggi pada ibu hamil penderita COVID-19, sebaiknya ketika menjalani isolasi di rumah menghindari pekerjaan berat, mengurangi stres pikiran (dapat melakukan yoga, peregangan, cukup tidur), berkomunikasi dengan petugas kesehatan apabila timbul kencang atau kontraksi perut yang teratur, rasa menekan di perut bagian bawah, nyeri pinggang yang menetap, ada pengeluaran per vagina berupa lendir yang lebih banyak dari biasanya atau bercak darah. 3. Ibu hamil yang sedang menjalani isolasi mandiri sebaiknya dibekali sarana komunikasi dan nomor kontak petugas yang bisa dihubungi untuk konsultasi dengan unit pelayanan maternal di tingkat

puskesmas dan petugas lain yang ditunjuk di FKTP terdekat dan petugas BKKBN. 4. Ibu hamil yang sedang menjalani isolasi mandiri sebaiknya diberikan formulir penilaian diri (self assessment) kondisi kejiwaan. Apabila ada keluhan atau penilaian yang memerlukan konsultasi, bisa menghubungi petugas yang menangani kesehatan mental (mental health) di puskesmas (Petugas Kesehatan Jiwa

Puskesmas). Apabila ada keluhan yang memerlukan konsultasi dengan dokter spesialis (psikiatri) pada

Satgas COVID rumah sakit atau dokter di RSJ dapat dilakukan dengan cara telemedicine. 5. Ibu hamil yang melakukan isolasi di rumah dianjurkan untuk diberikan suplementasi vitamin sebagai berikut. a. Vitamin D 1000-5000 IU per hari. b. Vitamin C, pilihannya sebagai berikut. 1) Tablet vitamin C non acidic 500 mg per 6-8 jam sekali (untuk 14 hari).

2) Tablet hisap vitamin C 500 mg per 12 jam sekali (selama 30 hari). 3) Multivitamin yang mengandung vitamin C sebanyak 1-2 tablet per hari (selama 30 hari). Dianjurkan multivitamin yang mengandung C, B, E, Zink. c. Tablet tambah darah (TTD) dilanjutkan sesuai dosis berdasarkan panduan kemenkes. 6. Ibu hamil yang melakukan isolasi di rumah sebaiknya dibekali dengan alat pemeriksaan suhu tubuh (termometer) dan diajarkan cara membaca dan melaporkan hasilnya secara harian kepada petugas. Kalau memungkinkan sebaiknya dibekali dengan oxymeter untuk mengukur saturasi oksigen. 7. Ibu hamil yang melakukan isolasi di rumah harus diberitahu tanda perburukan seperti demam tinggi di atas 38 C, frekuensi nafas di atas 24 kali per menit, denyut nadi di atas 100 kali per menit, saturasi oksigen kurang dari 95%, rasa berat bernafas, sesak nafas, berkeringat dingin, berdebar atau ada tanda bahaya dari kehamilannya (nyeri kepala, keluar air ketuban, keluar darah, gerak anak berkurang).

Jika mengalami hal itu, segera laporkan kepada petugas. 8. Ibu hamil yang melakukan isolasi di rumah sebaiknya dilakukan telemedicine (telekonsultasi) dan didokumentasikan dalam kegiatan telemedicine harian. Apabila sudah selesai kegiatan isolasinya, segera diberikan surat keterangan selesai isolasi yang ditandatangani dokter umum fasilitas kesehatan terdekat (Puskesmas). 9. Ibu hamil yang melakukan isolasi di rumah diberikan cara menghitung gerakan bayi dengan cara “menghitung 10 gerakan dari Cardiff” (The

Cardiff Count to Ten). Ibu hamil diajarkan menghitung gerakan janin mulai jam 8 pagi. Apabila gerakan 10 kali sudah didapatkan (umumnya satu sampai dengan dua jam), maka bayi masih dalam kondisi baik dan ibu selesai menghitung gerakan janin untuk hari itu. Apabila dalam 12 jam (sampai jam 8 malam) belum didapatkan gerakan 10

kali, maka ibu melaporkan kepada petugas. 10. Ibu hamil risiko tinggi dengan komorbid maupun ada komplikasi medis seperti asma, penyakit jantung, diabetes, pengakit ginjal kronik, penyakit hati, disabilitas, obese, HIV, TBC, dan penyakit autoimun sebaiknya dirawat di fasilitas isolasi terpusat atau di tempat khusus yang memungkinkan dilakukan pemantauan langsung oleh petugas. 11. Ibu hamil yang mengalami masalah kebidanan risiko tinggi seperti preeklampsia, plasenta previa dengan riwayat perdarahan, riwayat

SC lebih satu kali dengan keluhan, riwayat dirawat dengan KPD atau ancaman persalinan prematur sebaiknya melakukan isolasi di rumah sakit. 12. Ibu hamil yang melakukan isolasi mandiri diberikan nomor kontak telepon petugas kesehatan terdekat, seperti petugas Puskesmas, atau fasilitas kesehatan lain yang ditunjuk untuk memantau. 13. Khusus pasien ibu hamil konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang sudah dipulangkan tetap melakukan isolasi mandiri minimal 7 hari dalam rangka pemulihan dan kewaspadaan terhadap munculnya gejala COVID-19, dan secara konsisten menerapkan protokol kesehatan. 14. Pascaisolasi mandiri, mengingat kemungkinan penyakit akan lebih berat apabila terkena COVID-19 di trimester 3, ibu hamil khususnya yang sudah mencapai trimester 3 sebaiknya sangat membatasi diri untuk kontak dengan orang lain (social distancing). 15. Waktu isolasi diri sendiri untuk kasus COVID-19 tanpa gejala adalah selama 10 hari dan gejala ringan adalah selama 10 hari plus 3 hari.

Rekomendasi dan Jenis Vaksin

Berdasarkan mekanisme kerja vaksin di dalam tubuh, para ahli percaya bahwa vaksin COVID-19 kemungkinan tidak menimbulkan risiko bagi ibu hamil. Penelitian tentang

keamanan vaksin COVID-19 pada ibu hamil sampai saat ini masih terbatas terkait dengan masalah etik.

Jenis sediaan vaksin COVID-19 yang tersedia saat ini, dan telah direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan RI dan POGI adalah sebagai berikut. a. Inactivated virus: Sinovac. b. RNA: Pfizer/Moderna.

Saat ini vaksin yang beredar di dunia cukup banyak, seperti dijelaskan dalam gambar berikut.

Gambar Jenis Vaksin COVID-19 yang Ada di Dunia

Gambar Platform Vaksin COVID-19 yang Ada Saat Ini

Dasar Rekomendasi Terkait Vaksinasi COVID-19 Ibu Hamil dan Menyusui

1. Inactivated Virus

World Health Organization (WHO) tertanggal 22 Mei 2021 mengeluarkan rekomendasi interim tentang penggunaan vaksin inactivated CoronaVac, yang dikembangkan oleh

Sinovac. Wanita hamil di atas usia 35 tahun dan memiliki IMT yang tinggi dengan komorbid hipertensi atau diabetes disarankan menggunakan jenis ini. Data yang didapatkan dalam percobaan binatang

Developmental and

Reproductive Toxicology (DART) memperlihatkan efek yang tidak berbahaya terhadap pemberian vaksin pada kehamilan.

Persamaan penggunaan vaksin inactivated pada ibu hamil, dimana Hepatitis B dan

Tetanus aman digunakan pada ibu hamil, sehingga efektivitas

Sinovac: Coronavac pada wanita hamil diperkirakan aman bila dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil dalam usia yang sama. 2. mRNA Virus CDC V-Safe

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari 35.000 ibu

hamil yang bervariasi dari usia kehamilan dan ras saat menerima vaksin pertama dan kejadian infeksi COVID-19 dalam kehamilan didapatkan tidak ada perbedaan antara komplikasi atau luaran kehamilan pada populasi umum dibandingkan dengan ibu hamil yang mendapatkan imunisasi. 3. Royal College of Obsetrics &

Gynecology (RCOG) (30 Juni 2021)

Vaksin COVID-19 dapat diberikan pada pasien dalam semua usia kehamilan. Pada kelompok risiko rendah, pemberian vaksinasi dapat ditunda paling lambat sampai dengan usia kehamilan 12 minggu. Pada ibu hamil kelompok risiko tinggi, pemberian vaksinasi sangat bergantung pada usia, etnis, IMT, serta penyakir penyerta. 4. American College of

Obstetrics & Gynecology (ACOG)

Berdasarkan percobaan yang dilakukan terhadap hewan, didapatkan

bahwa Pfizer merupakan vaksin yang tidak memiliki efek yang berbahaya baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehamilan, perkembangan embrio, atau fetus dan perkembangan massa postnatal. 5. Vector Virus

Pada penelitian yang melibatkan percobaan terhadap hewan, vaksin yang dibuat oleh Janssen memperlihatkan tidak ada efek yang berbahaya pada kesuburan, perkembangan embrio atau fetus serta perkembangan post-natal. 6. CDC

Percobaan pada hewan yang menerima vaksin

Moderna, Pfizer, dan J&J/

Janssen selama kehamilan memperlihatkan keamanan dalam kehamilan serta terhadap bayinya.

Pemberian vaksin hidup dilarang dilakukan terhadap ibu hamil. Pengalaman pemberian vaksin inactivated dan adjuvant yang sama untuk ibu hamil telah lama dilaksanakan dengan aman misalnya TT, Td, Tdap sehingga diduga hasilnya akan sama jika vaksin ini diberikan pada ibu hamil dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Pemberian vaksin inactivated akan menghasilkan respon antibodi maternal dan antibodi pasif yang akan ditransfer pada bayi (akhir trimester kedua dan ketiga) sesuai rekomendasi ACOG/CDC.

Uji klinis yang mempelajari efektivitas dan keamanan vaksin COVID-19 pada ibu hamil masih berjalan. Penelitian pada hewan yang menerima vaksin Moderna, Pfizer-BioNTech, atau J&J/ Janssen sebelum dan selama kehamilan tidak menunjukkan adanya kelainan pada hewan dan janin yang dikandungnya. Vaksin Moderna dan Pfizer-BioNTech adalah vaksin mRNA yang tidak mengandung virus hidup, Vaksin mRNA ini tidak berinteraksi dengan DNA seseorang atau menyebabkan perubahan genetik karena mRNA.

Syarat dan Skrining Ibu Hamil dan Menyusui

Berdasarkan rekomendasi dari POGI pada tanggal 1 Juli 2021 terdapat beberapa syarat untuk melakukan vaksinasi COVID-19 untuk ibu hamil. Beberapa syarat itu adalah sebagai berikut.

n Vaksinasi COVID-19 untuk ibu hamil di Indonesia menggunakan vaksin Pfizer, Moderna, dan Sinovac. n Pemberian vaksinasi untuk ibu hamil dapat dilakukan dengan konseling mengenai keamanan dan efektivitas vaksin. n Sasaran vaksinasi COVID-19 dapat dilakukan pada kelompok sebagai berikut. } Risiko tinggi: Usia > 35 tahun, komorbid (Hipertensi, DM), dan Obese. } Risiko rendah: dapat dilakukan setelah konseling. n Dosis pertama vaksinasi

COVID-19 dianjurkan diberikan mulai kehamilan di atas 13 minggu dan paling lambat kehamilan 33 minggu. n Vaksinasi COVID-19 untuk ibu hamil hanya dapat dilakukan dalam pengawasan oleh dokter dan bidan. n Pasca vaksinasi COVID-19 untuk ibu hamil harus dilakukan pemantauan dan pencatatan oleh tim yang ditunjuk pemerintah bersama dari POGI. n Bagi ibu yang telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 kemudian diketahui hamil, tetap dapat dijadwalkan untuk mengikuti vaksinasi COVID-19 dosis 2.

Regulasi tanggal 2 Agustus 2021 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI mengenai vaksinasi COVID-19 untuk ibu hamil menyatakan sebagai berikut. ƒ Vaksin yang dapat digunakan untuk ibu hamil. } Vaksin COVID-19 platform mRNA: Pfizer dan Moderna. } Vaksin platform inactivated virus: Sinovac. ƒ Untuk platform vector virus, belum direkomendasikan.

Pada tanggal 19 Agustus 2021 saat pencanangan percepatan dan perluasan vaksinasi COVID-19 untuk ibu hamil ditentukan sebagai berikut. 1. Vaksinasi dapat dilakukan mulai usia kehamilan 13 minggu hingga aterm. 2. Tidak diperlukan rekomendasi dari Spesialis Obstetri dan

Ginekologi. 3. Pemantauan dan pencatatan vaksinasi mulai dari sejak kehamilan sampai dengan persalinan.

4. Gform pemantauan yang dikeluarkan oleh PP POGI. 5. Jenis vaksin yang dapat digunakan sesuai dengan SE

Kemenkes: Pfizer, Moderna, dan Sinovac.

Sebelum melakukan vaksinasi COVID-19 perlu dilakukan skrining terlebih dahulu terhadap ibu hamil sebagai berikut. 1. Usia kehamilan trimester 1 (vaksinasi ditunda), 2 dan 3 (direkomendasikan). 2. Ibu hamil dengan preeklamsia (vaksinasi ditunda). 3. Riwayat anafilaksis karena vaksinasi COVID-19 sebelumnya (kontraindikasi). 4. Suhu <37,5 C dan Tekanan

Darah <140/90 mmHg. 5. Ibu hamil dengan riwayat sebagai berikut. ƒ Penyakit autoimun. ƒ Riwayat anafilaksis bukan karena vaksinasi COVID-19. ƒ Alergi obat, rhinitis alergi, urtikaria, dermatitis atopic HIV. ƒ Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), asma, ILD penyakit hati, transplantasi hati.

ƒ Ibu hamil dengan riwayat hipertensi. ƒ Penyakit ginjal kronik (PGK), transplantasi ginjal. ƒ Gagal jantung, penyakit jantung koroner, penyakit jantung bawaan, aritmia. ƒ Penyakit gastrointestinal diabetes melitus tipe 2. ƒ Obesitas. ƒ Hipertiroid dan hipotiroid, nodul tiroid. ƒ Penyakit gangguan psikomatis. 6. Ibu hamil dan menyusui dengan kanker darah, kanker tumor padat, kelainan darah seperti talasemia, imunohematologi, hemofilia, gangguan koagulasi, dan kondisi kelainan darah lainnya vaksinasi ditunda. Kelayakan dari individu untuk vaksinasi ditentukan oleh dokter ahli terkait (SpOG, IPD & Spesialis lainnya). 7. Ibu hamil dan menyusui yang ditunda vaksinasinya, apabila terdapat hal-hal berikut. ƒ Reaksi alergi berupa anafilaksis dan reaksi alegi berat akibat vaksin COVID-19 dosis pertama

ataupun akibat dari komponen yang sama yang terkandung dalam vaksin COVID-19. ƒ Individu yang sedang terinfeksi COVID-19. ƒ Ibu hamil dan menyusui terdiagnosis penyakit imunodefisiensi primer. ƒ Ibu hamil dan menyusui sebagai penyintas dapat divaksinasi setelah 3 bulan dinyatakan negatif.

Konseling Pravaksinasi

Terdapat beberapa konseling yang dapat dilakukan untuk ibu hamil yang akan melakukan vaksinasi COVID-19. ƒ Risiko terpapar dan keparahan ibu hamil yang terinfeksi COVID-19 bila tidak divaksinasi akan mengalami gejala berat sampai kematian ibu, komplikasi kehamilan, dan masalah pada janin. ƒ Risiko keparahan akan bertambah bila ibu memiliki komorbid seperti penyakit jantung, diabetes melitus, dan hipertensi. ƒ Risiko keparahan akan bertambah berat jika infeksi terjadi pada masa nifas karena reaksi inflamasi

COVID-19 terjadi bersamaan dengan reaksi inflamasi yang meningkat juga pada masa nifas. ƒ Komplikasi kehamilan yang sering terjadi akibat terpapar

COVID-19: persalinan prematur, kematian janin intra uterin, dan ketuban pecah dini.

Panduan Teknis Singkat Vaksinasi COVID-19 untuk Ibu Hamil dan Menyusui

ƒ Jenis vaksin yang ada saat ini dapat diberikan kepada ibu hamil dan menyusui (Sinovac, Moderna, dan

Pfizer). ƒ Ibu hamil yang mendapat vaksinasi diutamakan kelompok sebagai berikut. à Tenaga kesehatan. à Risiko tinggi. à Usia di atas 35 tahun. à Disertai komorbid (contoh: riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit autoimun). à Obese (BMI di atas 30).

à Risiko rendah: dapat dilakukan vaksinasi COVID-19 setelah konseling. ƒ Vaksinasi COVID-19 pada ibu hamil hanya dapat dilakukan dengan pengawasan dokter. ƒ Pemberian vaksinasi dosis pertama dianjurkan untuk diberikan di atas 12 minggu dan diharapkan paling lambat usia kehamilan 33 minggu, sehubungan dengan periode kritikal organogenesis trimester 1 dan guna memberikan perlindungan pada akhir trimester 2 dan 3. ƒ Bagi ibu yang telah mendapat suntikan vaksinasi COVID-19 kemudian diketahui hamil, tetap dapat dijadwalkan untuk mengikuti penyuntikan dosis ke-2 (usia kehamilan lebih dari 12 minggu). ƒ Melakukan konseling pada ibu hamil yang meliputi sebagai berikut. à Risiko jika terpapar virus COVID-19. à Risiko keparahan infeksi COVID-19.

à Keuntungan vaksinasi COVID-19. à Keamanan vaksinasi COVID-19. ƒ Tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan tes kehamilan sebelum dilakukan vaksinasi COVID-19. ƒ Tidak dianjurkan untuk menunda kehamilan bagi ibu yang telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 secara lengkap. ƒ Vaksinasi COVID-19 dapat diberikan pada pasangan yang sedang merencanakan kehamilan. ƒ Pascapenyuntikan vaksinasi

COVID-19 harus dilakukan pemantauan dan pencatatan oleh tim yang ditunjuk.

Foto : alodokter.com

Gambar KIPI Pada Ibu Hamil Pasca Vaksinasi COVID-19.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Efek samping dapat terjadi setelah menerima vaksinasi dosis pertama atau kedua. Ibu hamil tidak mempunyai efek samping yang berbeda dari orang yang tidak hamil. Efek samping yang sering terjadi adalah merasa agak demam. Meski jarang, beberapa orang dapat mengalami reaksi alergi. Dipastikan bahwa obatobatan untuk reaksi alergi yang akan diberikan juga aman untuk kehamilan.

Selama dalam kehamilan diharapkan ibu hamil mendapatkan dua kali vaksinasi. Antibodi yang terbentuk akan melindungi ibu dan diharapkan adanya antibodi pasif yang masuk ke dalam tubuh janin selama dalam kandungan juga akan memberikan kekebalan setelah dilahirkan.

Registrasi dan Pemantauan

Setelah ibu hamil mendapatkan vaksinasi COVID-19 harus dilakukan pemantauan. Untuk form pemantauan dapat dilakukan pada bit.ly/ DATAVAKSINASIBUMIL.

Form ini terbagi dalam 5 bagian. 1. Data diri. 2. Vaksinasi ibu hamil. 3. Pascavaksinasi. 4. Pemantauan kehamilan pascavaksinasi. 5. Data neonatus.

Kesimpulan

1. Ibu hamil bila terpapar

COVID-19 memiliki dampak kesehatan yang lebih buruk dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak terpapar

COVID-19. Ibu hamil dengan gejala berat kemungkinan besar akan membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit. 2. Isolasi mandiri dapat dilakukan oleh ibu hamil tanpa gejala atau dengan gejala ringan dengan izin dokter dan harus diketahui oleh Puskesmas dan

Perangkat Desa/Kelurahan setempat. 3. Platform vaksin yang ada aman digunakan untuk ibu hamil dan menyusui (Sinovac, Moderna, dan

Pfizer). 4. Vaksinasi akan melindungi ibu hamil terhadap paparan dan keparahan infeksi COVID-19. Perlu diberikan konseling dan skrining sebelum vaksinasi oleh petugas kesehatan terkait. 5. Namun karena pada fase embrionik, embrio masih cukup rentan, masih muncul keluhan mual dan muntah pada trimester pertama, maka vaksinasi diberikan setelah usia kehamilan 13 minggu sampai dengan cukup bulan. 6. Reaksi lokal dan sistemik yang muncul pada ibu hamil yang divaksinasi sebanding dengan wanita pada umur sama yang tidak hamil. Reaksi ini menunjukkan bahwa antibodi sedang bekerja. 7. Pengamatan dan observasi dilakukan pasca vaksinasi dan dimasukkan di dalam data registrasi nasional

POGI. n

PENGARUH PSIKOSOMATIK PADA PASIEN COVID-19

dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD

Penggagas Vaksin Untuk Kita (VUK) Pada abad ke-20 terjadi wabah besar yang dikenal sebagai wabah Flu Spanyol. Setelah wabah yang berdampak luas tersebut tahun-tahun berikutnya tidak lagi terjadi wabah yang seluas dan semengerikan Flu Spanyol itu, sampai kemudian umat manusia kembali dipertemukan dengan wabah penyakit yang penyebarannya begitu cepat ke berbagai negara hampir satu abad setelah Flu Spanyol itu. Wabah yang disebabkan oleh varian virus Corona bernama SARS-CoV-2 memicu sebuah pandemi baru yang disematkan nama sebagai COVID-19.

Karakteristik COVID-19 yang menyebar di udara melalui mikrodroplet menyebabkan penularannya menjadi begitu cepat, untungnya, alhamdulilah-nya, Case Fatality Rate (CFR) virus ini tidak setinggi CFR dari SARS yang dicatatkan sebagai epidemi pada tahun 2002 dan MERS yang menjadi epidemi di tahun 2012. SARS dan MERS juga sama-sama disebabkan oleh varian virus Corona.

Penyebaran virus Corona yang baru ini juga diikuti oleh penyebaran informasi yang begitu masif melalui media dan media sosial. Akibatnya di

beberapa tempat sempat terjadi kepanikan karena informasi saling menyusul sementara banyak ahli yang dianggap berkompeten belum siap dengan jawaban yang utuh mengenai bagaimana kita akan menghadapi wabah yang baru ini. Sehingga di satu sisi kita berhadapan dengan potensi wabah yang datang bersama penularan virus tapi di sisi lain kita juga diberhadapan dengan infodemi dan bahkan disinfodemi.

Resultan dari dua jenis gelombang wabah tersebut menyebabkan terganggunya roda kehidupan manusia terutama di awal-awal pandemi tersebut. Wabah kemudian tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan saja tapi juga berdampak sosial, ekonomi, politik, keamanan, bahkan ke hal yang paling mendasar tentang bagaimana manusia memandang hidup. Sebuah pandemi dengan dampak multidimensi yang hampir semua orang di dunia ini tidak punya pengalaman dengan wabah yang seperti ini sebelumnya.

Bagaimana dengan kita di Indonesia? Di Indonesia pun mengalami turbulensi tapi turbulensinya boleh dibilang tidak separah apa yang diprediksi teman-teman sejawat kita di negara lain. Ternyata Indonesia punya resiliency yang di atas ratarata. Banyak aspek kehidupan kita terdampak tapi masih lebih banyak masyarakat Indonesia yang melakukan upaya yang multidimensional juga untuk bertahan dari dampak buruk pandemi ini. Boleh jadi karena kita masih punya nilai-nilai spiritualitas dan ketuhanan, nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan, serta persatuan dan gotong royong yang sudah terpatri dalam benak dan jiwa masyarakat kita.

Memang fasiltas kesehatan kita tidak secanggih fasiltas kesehatan di dua negara adidaya, kita juga masih cukup tergantung kepada negara-negara sahabat kita untuk memasok kebutuhan obat dan alat kesehatan, tapi Indonesia bersama-sama sebagai suatu bangsa besar berhasil menunjukkan bahwa kita menolak untuk menyerah dan kita menolak untuk kalah. Masyarakat mulai dari mereka yang berpendidikan rendah hingga berpendididkan tinggi, mulai dari yang kelas ekonominya menengah ke bawah hingga mereka yang diberikan kemampuan lebih saling bantu.

Foto : freepik

Hal ini sesuai dengan kalimat, “Kita memang berada di kapal yang berbeda-beda tapi kini kita dalam badai yang sama”, dan di sinilah diujinya persatuan Indonesia.

Pada tahun pertama sering kita temukan masyarakat yang ketika keluarganya atau dirinya sakit berada pada kondisi kebingungan bahkan masyarakat sekitarnya pun bingung. Bagaimana cara membantu si orang sakit ini dan juga keluarganya? Karena lazimnya orang Indonesia ketika ada tetangga yang sakit maka mereka ingin ramai-ramai datang untuk menghibur dan membantu. Tapi situasi sekarang ini berbeda. Masyarakat diminta untuk tidak hanya menggunakan masker agar tidak tertular virus tapi juga diperkenalkan sebuah konsep kekarantinaan dan termasuk jaga jarak atau physical distancing di dalamnya.

Ini adalah tantangan yang unik bagi masyarakat kita karena di satu sisi jiwa sosial mayoritas orang Indonesia masih cukup bagus sehingga sulit untuk diperkenalkan dengan konsep social distancing. Kondisi agak membaik setelah social distancing diubah menjadi physical distancing sehingga pasien-pasien dan keluarganya tidak perlu merasakan dikucilkan secara sosial karena yang diperlukan hanyalah jaga jarak fisik, tapi secara psikososial tetap akrab dan saling menguatkan antara orang yang sehat dan orang yang sakit.

Kita tahu bahwa COVID-19 ternyata tidak hanya menyerang satu dua organ saja. Dia bisa meniru banyak penyakit lain sehingga dikenal sebagai Penyakit 1000 Wajah. Apa yang terjadi ketika seorang pasien diberi tahu bahwa gejala yang dialami dan hasil pemeriksaan swabnya menunjang diagnosis COVID-19, tidak sedikit dari mereka merasa

cemas. Tidak sedikit keluarga yang kemudian harus berpisah dengan keluarganya yang sakit itu merasakan kesedihan. Jika kondisi ini tidak diatasi maka akan lebih banyak lagi orangorang dengan kecemasan (anxiety) dan atau depresi, dan itulah yang terjadi sekitar dua tahun ini. Lagi-lagi beruntung di Indonesia kondisi tersebut tidak separah apa yang diprediksi pakar di negara lain. Mungkin karena beberapa faktor di Indonesia yang kulturnya memang berbeda dibandingkan negara lain.

Sebuah studi yang dilakukan pada 300 pasien COVID-19 di RSDC Wisma Atlet mendapati bahwa sekitar 10% pasien yang dirawat itu mengalami gejala depresi yang ringan, sekitar 3% mengalami gejala yang sedang, dan kurang dari 1% mengalami gejala depresi yang signifikan. Tapi tetaplah angka-angka ini bukan sekadar angka tapi pasien-pasien kita tersebut tetaplah manusia. Meskipun 1% terlihat kecil secara statistik tapi jika ada banyak pasien, mungkin sekitar 1 juta maka tetap ada sekitar 10 ribu dari 1 juta itu yang jelas memerlukan bantuan tidak hanya secara fisik dan biologis tapi juga secara sosial dan psikologis. Apalagi jika lebih dari 1 juta, di sini perlu diperlihatkan dan perlu hadir kebersamaan kita sebagai satu Indonesia.

Saat ini pada tahun ke-2 wabah kita sudah tahu sedikit lebih banyak mengenai COVID-19, tata laksana sudah menjadi lebih terstruktur, fasilitas kesehatan pun sudah bisa lebih mengukur, pemerintah pun sudah lebih tahu dan lebih paham apa saja yang mesti dilakukan serta sudah memberikan vaksinasi pada puluhan juta orang. Bersama itu kita lihat menurunnya kasuskasus baru, menurunnya angka kematian, dan mulai dibukanya kembali secara bertahap sentra ekonomi. Roda ekonomi mulai menggeliat dan di sisi lain secara paralel sektor kesehatan terus diperkuat. n

Foto : freepik

Foto : Onbloss Creative

This article is from: