30 minute read

1

Salam Perhimpunan!

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada semua makhluk-Nya dan karena-Nya PPI India berhasil menerbitkan majalah “Namaste” di tengah-tengah kesibukan menimba ilmu di Tanah Gandhi ini. Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman PPI India yang telah memberikan dukungan dan kontribusi dalam pembuatan majalah “Namaste”, baik itu

Advertisement

secara langsung maupun tidak langsung.

Dengan diterbitkannya majalah “Namaste”, kami berharap dapat memberikan inspirasi kepada pelajar Indonesia yang berkeinginan untuk melanjutkan studi mereka di India. Selain itu, majalah “Namaste” juga memberikan berbagai wawasan seputar kehidupan,

makanan dan tempat wisata di India. Kami mengakui bahwa ada banyak kekurangan pada majalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca kami harapkan demi perbaikan dikemudian hari. Semoga majalah “Namaste” dapat bermanfaat dan menjadi

salah satu sumber informasi bagi pembaca dimanapun kalian berada. Dan semoga majalah “Namaste” akan senantiasa memberi ruang kepada teman-teman PPI India untuk berkreasi dan beraspirasi. Akhir kata, “Namaste”, tetap berkarya!

Salam,

Presiden PPI India 2019-2020

Rendy Firnanda

TAK KENAL, MAKA TAK SAYANG BERSAMA PPI INDIA

Yuk Kita mengenal lebih dekat PPI India khususnya untuk anggotanya.

Menurut Data Anggota 2019, 63% anggota PPI India adalah laki-laki. Kemudian juga Pelajar Indonesia di India saat ini 71% orang sedang mengambil S-1, 24% mengambil S-2, dan 6% mengambil S-3.

Penyebaran anggota PPI India di India terbanyak di Uttar Pradesh state sebanyak 78 orang, diikuti di Karnataka sebanyak 38 orang, lalu Tamil Nadu dan Candigarh masing-masing 20 orang. Asal Daerah Anggota PPI India Sendiri terbanyak dari Sumatera Utara sebesar 49 orang. Mejuah-mejuah! Horas! setelah itu berasal dari DKI Jakarta 21 orang, Jawa Tengah dan Banten masing-masing 19 orang.

Terakhir, 58% pelajar Indonesia di India menggunakan pembiayaan studi secara mandiri, 42% dengan jalur beasiswa (India, Indonesia, atau Kampus). dan Pada 2018 46% anggota PPI memulai kuliah di India. Okaayy sekian pengenalannya dulu ya.. !!

INFOGRAFIS ANGGOTA PPI INDIA 2019 - 2020

KOLOM CERPEN

CERPEN UNTUK MAMAK

Penulis : Thiarma Harahap (@thiarmaharahap) M.Sc Physics – University of Madras

“Mak, aku mau cerita dengerin yaa jangan kemana-mana pikirannya fokus sama aku aja. Kataku penuh harap sambil memandang tajam ke wajah wanita yang sangat mencintaiku bahkan sebelum aku terlahir. Iya mamak dengar (sambil menganggukkan kepalanya). Ku atur sila dudukku dan menarik nafas...ku mulai bercerita...

“10.15 pm. Sudah sepi” bisikku. Sengaja ku perlama keluar dari pesawat.

“Selamat datang di Chennai, Terima kasih telah terbang bersama kami. Sampai jumpa kembali” kompak para pramugari mengucapkan salam kepadaku yang satusatunya Indonesian passanger.

Aku menaiki Batik Air airline milik Indionesia yang tergabung dalam Lion Group Airline yang baru beroperasi kurang lebih 2 tahun, Agustus 2016 diresmikan route MedanChennai walaupun tetap harus transit di KL, Malaysia. Ku hamburkan pandangan ke sekililing, di dinding-dinding bangunan terdapat tulisan yang tidak bisa kubaca, bentuknya seperti lingkaran-lingkaran yang terhubung namun memiliki estetika penulisan yang indah. Aku arahkan pandanganku sedikit ke bawah “Welcome to Anna International Airport” dalam hatiku berbisik, “Alhamdulillah I’m here again” . Aku lanjutkan langkahku, sekeliling jalan menuju immigration section dan exit gate banyak terdapat patung-patung dari yang berukuran kecil hingga menyerupai tinggi manusia, namun dari semua patung aku tertarik dengan patung penari wanita berwarna perak dengan mata besar dan tajam yang berada di sebelah kanan perbatasan dengan departure dan arrival gate. Sampai di

immigration section dan mengisi form kedatangan aku menuju counter immigration officer, seorang pria dengan rambut hitam disisir rapi dengan belahan ke arah kiri terlihat masih muda mungkin usianya 30an tahun menyapa ku ramah

“Hello madam welcome to Chennai, may I get your passport”.

Thank you sir, jawabku sambil menyerahkan passport. Dari raut wajahnya aku yakin dia orang baru yang bekerja di bagian immigration ini, karena beberapa kali dia menanyakan hal apa yang harus dilakukan dengan officer lainnya dengan mother language kota ini yang sedikit-sedikit aku tahu artinya.

“Are you coming for study” officer tanya sang

(dengan cepat aku menjawab ) “Yes sir”

“which university?”

“University of Madras sir”

“This is your second time visit to chennai?”

“Yes sir, before i came just for travel”

“Super, you are from Indonesia, right?”

“Yes sir I’m Indonesian”

“I know Bali and Jakarta, you stay there?”

“No sir, I’m belong to Medan in Sumatera island, Jakarta and Bali are in Java island”

“Ok all the best for ur study”

“Nandri sir” jawabku dengan senyum sambil berjalan menjauhi counter, sang officer menunjukkan raut wajah takjub tak percaya aku bisa menjawab dengan bahasa ibu mereka. Aku dorong trolley menuju exit gate sesampai di pintu arrival terdengar suara seorang perempuan memanggilku dengan bahasa ibu yang sama denganku “Thiarma...Thiarma...sebelah sini” ku tolehkan pandanganku ke arah kiri terlihat dua orang yang sangat kontras melambai-lambaikan tangan mereka dan memberi isyarat untuk bergerak menuju pick up point. Pria yang malam ini menjemputku adalah pria yang sama menjemputku enam bulan yang lalu, pria yang berperawakan tinggi besar, berkumis tebal dan berkulit coklat (baca:hitam). Majority orang india tidak suka dibilang berkulit hitam, mereka lebih suka mengatakan mereka berkulit coklat. Namanya Venkat, pria berumur 40an tahun itu sangat mirip sekali dengan bandit di film-film india dari pada seorang driver di perusahaan milik pemerintah Indonesia (haha...peace Venkat).

“Hello madam, how are you?” Tanya venkat.

“Hi venkat epedi irukenga? Nalarukan...nice to meet you again” jawabku.

“Woww...super madam”

“Just a little Venkat”, jawabku sambil senyum bangga namun rendah hati. Benar, ini kali kedua aku ke Chennai, kunjungan pertama di bulan Februari yang lalu selama 2 minggu, hal ini yang membuatku mengetahui sedikit bahasa ibu di Chennai. Tamil, yeah bahasa ibu di Chennai adalah bahasa tamil yang termasuk bahasa tertua di india bahkan salah satu bahasa tertua di dunia yang memiliki lebih dari 200 huruf ejaan (ampun deh).

Berbeda dengan perempuan yang menjemputku malam ini, 6 bulan yang lalu yaitu mbak Sarah (mbak: dalam bahasa jawa panggilan untuk perempuan yang lebih tua) mahaisiswi Master of Sociology in University of Madras. Adalah daeng Dian (daeng: panggilan kakak dalam bahasa bugis

dan makassar) mahasiswi Master of Law in Aligarh Muslim University itu berperawakan cantik dengan kulit putih, rambut hitam dan lurus, bibir kecil dan mata bulat hitam, bertubuh kecil dengan berat sekitar 40 kg dan tinggi 150 cm, sangat ideal sekali bagi seorang gadis berdarah sulawesi tersebut.

“Wahh...mobil yang sama?” tanya ku terkejut, aku juga duduk di posisi yang sama seperti enam bulan yang lalu di dalam mobil. Sepanjang perjalanan aku dan daeng Dian berbincang dari hal kenapa kami memilih India sebagai negara untuk melanjutkan study dari pada Korea yang bertabur salju dan oppa-oppa (panggilan untuk pria yang lebih tua di Korea) ‘tamvaan’ berkulit kinclong hingga bercerita ke arah pribadi (wkwkwk...ternyata kami sama indian movie lover).

“Loh, Metrozone apartment juga? Di lantai delapan juga?” Iya jawab daeng Dian santai.

“Hello...selamat datang”, seorang wanita bertubuh tinggi berkulit kuning langsat memakai kaca mata dengan rambut di gulung ke atas menandakan dia baru terbangun dari istirahatnya, menyapaku ramah sambil tersenyum hingga membuat kedua pipinya terangkat membentuk bulatan besar hingga matanya mencipit.

“Silakan masuk” sambil menunjukkan kamar untuk ku, yeah lagi-lagi aku surprised kamar yang sama juga tiada yang berbeda, hanya saja di sudut kanan tepat di samping jendela kamar terparkir sepeda gunung berwarna hitam yang tampaknya baru dan belum pernah digunakan, bannya terlihat ‘perawan’ tiada bekas gesekan dengan jalan bahkan debupun tak bersemanyam di ban dan seluruh body sepeda itu ketika ku usapkan jari telunjukku. Ibu Angel deputi International Trade Promotion Center (ITPC) perusahaan milik pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Mentri Perdagangan yang baru 5 bulan bergabung dan tinggal di Chennai.

“Thiarma sudah makan?” “Sudah bu di pesawat dapat nasi chicken biryani” (makanan populer di India, nasi khas dengan tekstur panjang dan pipih berwarna kuning dimasak dengan lebih dari 15 bumbu masakan dan biasanya di hidangkan dengan telur rebus dan daging bisa ayam maupun kambing).

“Lelah tidak? Sini duduk dulu kita cerita” . Terlihat bu Angel sudah duduk di kursi ruang makan yang bergabung dengan ruang TV dan ruang tamu, hanya sofa panjang yang menjadi pemisah.

“Tidak begitu lelah bu” jawab ku sambil keluar menuju kursi tepat di depan bu Angel duduk.

“Gimana-gimana ceritanya bisa lanjut kuliah di India?”

“Aku applied ICCR Scholarship bu, beasiswa ini dari pemerintah India yang setiap tahun di buka”

“Dari pemerintah India? Oh, bukan LPDP ya? Apa aja yang ditanggung?”

“Uang kuliah full dan dapat uang saku per bulan bu”

“Wah...bagus donk. Oyah, ambil S1 atau S2?”

“S2 bu” (tersenyum)

“Jurusan apa?”

“Physics bu (menundukkan kepala) M. Sc Physics” sambungku (aku terbayang kesusahan yang akan kuhadapi dengan segala macam formula dan equation).

“Keren...berarti kamu pintar donk? (nada suara meninggi antara kagum dan tak percaya dengan program yang ku ambil). Eh, di universitas mana?”

Aku diam tak merespon, hati ku bergejolak, pikiranku melayang kenapa aku mengambil jurusan yang sangat sulit ini.

“Di universitas yang sama dengan Sarah ya?” Menimpali kegusaranku

“Iya bu sama di University of Madras” (mencoba tersenyum dan menegarkan diri aku bisa)

“Oyah, sudah punya sim card india? Kalau belum ada connect kan aja dengan wifi rumah ini” (mengambil kertas dan pulpen menuliskan password wifi)

“Wah...terima kasih bu” (bersyukur memiliki saudara senegara di negara lain)

“Besok apa rencana kamu?” (menyodorkan kertas berisi password yang selesai di tulis)

(Mengambil kertas berisi password) “Mau ke kantor ICCR bu dan setelah itu ke universitas”

“Ya sudah besok ibu pesankan Ola (taksi online di Chennai) untukmu, sekarang kamu istirahat, kalau ada butuh sesuatu bilang aja ya ibu senang ada mahasiswa indonesia di sini. Belajar yang rajin ya buat bangga Indonesia dan keluarga (tersenyum menaruh harapan padaku)”

(meluruskan pandangan dan menatap ke wajah bu Angel) “Insha Allah bu” (aku menjawab dengan penuh keharuan)

Bu Angel beranjak menuju kamar tidurnya dan tak berapa lama aku juga menuju kamar ku yang bersebelahan dengan kamar bu Angel. Jam sudah hampir menunjukkan pukul 12 malam, aku aktifkan wifi di ponselku dan mengirim pesan whatsapp ke Mamak “Assalamu’alaikum Mak, aku sudah sampai di Chennai, ini sekarang aku di apartment bu Angel deputi ITPC. Aku baik-baik aja Mak, Mamak jaga kesehatan yaa” (tegas ku menyatakan kalau aku bisa bertahan di Gandhi Land). Pukul 9 am. “Tia (panggilan singkat untukku) itu Olanya sudah datang”, bu Angel memberikan informasi kepadaku setelah menerima telpon dari driver Ola.

“Iya bu” jawabku sambil beranjak dari meja makan mendekati bu Angel yang duduk di sofa menghadap tv. “Aku pergi ya bu, mungkin agak sore pulangnya (menyalam tangan bu Angel dan menempelkannya di kening).

“Iya Thiarma, hati-hati ya”

“Terima kasih bu” jawab ku berlalu.

Sampai di kantor ICCR, di ruang tepat di depan pintu masuk sedang duduk seorang bapak yang perawakannya mirip dengan Venkat driver ITPC, namun pria ini bertubuh pendek dan perutnya buncit, berkumis tebal, jenggot menutupi dagu dan kedua sisi pinggir wajahnya, memakai kaca mata minus, dan terdapat rambut putih di kepalanya yang menandakan dia sudah cukup tua. Untuk warna kulit rerata orang tamil berkulit coklat (baca;hitam) baik pria maupun wanitanya.

“Good morning sir, my name is Thiarma I’m from Indonesia” singkatku memperkenalkan diri.

“Good morning, ooh...you are that Thiarma from Indonesia? U know I was waiting you yesterday night, I waited 2 hours in airport to pick up you”. Berbicara cepat menunjukkan kekhawatiran dan sedikit kesal menunggu lama dan tidak ada kabar.

“I’m sorry sir, I dont know if u pick up me, because Melissa told me she can’t pick up me in late night because her hostel close at 9 pm so I have called my Indonesian friend to pick up me in airport”

“Where are you stay now?” Tanya bapak yang bernama Mr. E. Basker itu memberiku perhatian.

“In my Indonesian friend house in Anna Nagar sir” jawabku faham kekhawatiran bapak yang aku perkirakan berumur 50an tahun tersebut.

“Ok, now you go and meet the madam in next room” sambil menunjukkan sebuah ruangan dengan telunjuknya

“Ok sir, Nandri” jawabku nakal sambil menempelkan kedua telapak tangan dan sedikit membungkukkan badan dan beranjak menuju ruangan yang dimaksud.

“Good morning madam, I’m Thiarma from Indonesia” kembali aku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan menyalam dengan salaman khas Indonesia.

“Hi good morning” jawab ibu bertubuh bulat dan pendek, rambut hitam panjang di kepang, pipi bulat, mengenakan saree berwarna gelap, memakai bindi merah dan perhiasan dari emas (kalung, cincin, anting, dan gelang) tanpa make up. Satu hal yang unik di Tamil Nadu, khususnya di Chennai, wanita yang aku temui baik muda maupun dewasa jarang memakai make up mereka tidak suka berhias namun suka memakai perhiasaan dari emas, baik itu ke kantor, kampus, pasar, bahkan mereka mengenakannya setiap saat.

Setelah beberapa saat bercerita, ibu yang bernama Madam Lalitha Director ICCR Chennai Regional itu memberikanku beberapa surat untuk diberikan ke universitas, immigration, dan bank. Saat aku beranjak pergi dua orang perempuan berkulit hitam datang menghampiri meja dimana Madam Lalitha duduk. “Hey Thiarma this is Melissa” seorang gadis berkuturunan America berkulit hitam, berambut gimbal seperti Bob Marley, memakai kaca mata dan bertubuh tinggi besar, selintas dia lebih mirip keturunan Africa dari pada Guyana di Amerika Selatan. Dan seorang lagi bernama Samira yang parasnya tidak jauh beda dengan Melissa, namun Samira lebih kurus dan pendek. Tingginya hampir sama dengan tinggiku.

“Melissa can you help Thiarma to do registration?” Pinta Mam Lalitha

“Yeah I can help her do registration in main campus, but I can’t help her to her department, because its too far” Jelas Melissa yang membuat ku bingung, main campus? My department? Apa bedanya?

“Excuse me, what do you mean about my depatrment too far?” Tanyaku heran

“Main campus is in Chepauk, also my depatment there. But your department is in Guindy because your course is Physics. In Chepauk only social course and in Guindy science course.”

“I see...jawabku sambil mengangguk-anggukkan kepala.”

“Dont worry ma (panggilan akrab di chennai untuk perempuan sebaya). There are a one guy from Afghanistan will help you”. Mahasiswa tingkat dua Master of Sociology itu menyakinkanku jika aku akan baik-baik.

“Yeah you are right Melissa, Nazary is there in Guindy campus. So Thiarma you can contact him and he will help you defenitely”. Jawab Madam Lalitha menimpali sambil mengambil menyusun berkasku dan memasukkannya ke dalam lemari.

“Let’s go Thiarma”, ajak Melissa. Di ikuti oleh Samira

Selesai urusanku di main campus, aku lanjutkan menuju departmentku di Guindy dengan menaiki Auto (kendaraan roda tiga menyerupai bajaj).

“This is University of Madras Guindy Campus Madam”, jelas auto driver sambil menunjukkan tulisan di depan pagar.

“How much uncle?”

“Hundred rupees madam”

Aku turun dan membayar uang sewa. Ku lihat di sekeliling tidak ada seseorang yang menungguku seperti yang dikatakan Melissa jika pelajar dari Afghanistan sudah menungguku di gerbang kampus.

“Hello sir, do you know Nazary from Afghanistan M. Sc student of Geology Department?” tanyaku kepada satpam yang sedang duduk santai di depan gerbang.

“I dont know the person you asking but I know where is Geology Department” jawab satpam heran dengan pertanyaanku sambil tersenyum menahan tawa.

“Geology Department is there in red building, just walking straight from here”

“Ok sir” jawabku sambil berfikir pertanyaan apa yang aku tanyakan kepada beliau hingga beliau seakan menertawakanku.

Khairullah Nazary, Master of Geology tingkat dua itu sudah menungguku tepat di depan departmentnya. Dengan perkenalan singkat kami pun beranjak pergi menuju departmentku walaupun sebenarnya aku lebih suka jika dia mengajakku ke KUA, hatiku berbisik wahh...oppa-oppa Korea kalau gagah sama abang Afghanistan ini. Tinggi 180 cm dengan otot lengan besar, berkulit putih, jenggot tipis di bawah bibirnya yang tipis dan merah dengan dagu terbelah, dan rambut bergaya seperti CR7 dia sangat memesona di pandangan pertama.

“Come this way” ajak Nazary memecahkan khayalanku. lembut

“This is your department”, Nazary menunjukkan bangunan tingkat 3 dengan cat yang sudah memudar membuat bangunan tersebut terlihat tua. Terdapat tulisan “Theoretical Physics” di atap di depan pintu masuk bangunan tersebut. Kami beranjak masuk menuju kantor Head of Department. Setelah memberikan surat dari ICCR dan mengisi form, wanita bertubuh bongsor yang menjadi ketua jurusan theoretical physics sekaligus menjadi warden hostel di universit y ini memintaku untuk segera tinggal di hostel dan masuk kelas yang sudah berjalan seminggu yang lalu.

“Thats all Ti...sorry I forget your name”, tanya Nazary malu sambil tertawa kecil yang membuat gigi putihnya terlihat.

“Thiarma, you can call me Tia”

“Ok Tia, if you need any help just call me. See you later”

“Thank you for your help. See you later”. Kami berpisah di gerbang utama kampus.

Setelah semua urusan di universitas selesai aku pindah dari apartment ke hostel university. Kamar yang berukuran 3x2 meter persegi ini sangat kecil untuk dua orang, aku harus berbagi space dengan seorang gadis india yang menjadi roommate aku yang berasal dari daerah bernama Dundukar yang memerlukan waktu 6-8 jam untuk mencapainya dari Chennai. C. Kaushiga teman sekamarku yang bertubuh tinggi dan langsing, berkulit coklat (please anggap aja seperti coklat beneran, wkwkwk) berambut curly sebahu yang selalu di kuncir french black (gaya rambut princess Elsa dalam film Frozen), hidung mancung dan mata tajam (ciri khas gadis

india pada umumnya). Sebulan, tiga bulan, hingga saat ini Alhamdulillah tidak ada perselisihan yang terjadi antara kami. Mahasiswi M. Phil Nuclear Physics itu yang sudah ku anggap sebagai kakak sendiri sangat banyak membantuku dalam memahami pelajaran dan menguatkanku ketika aku merasa lelah dengan semua keadaan disini. Kamar bernomor 116 ini menjadi saksi hari-hari berat yang kuhadapi di Chennai, kerasnya hidup dengan procedure yang complicated, susahnya pelajaran dan dosen yang mengajar dengan bahasa tamil, buruknya fasilitas hostel, dan makanan yang diberikan sangat membosankan. Saksi betapa rindunya aku dengan sosok wanita yang ketika aku pulang kerumah aku selalu mencarinya, yang selalu menyuruhku makan sesampai rumah, yang selalu siap memasakkan telur dadar kesukaanku, yang selalu membangunkanku di pagi hari, yang selalu khawatir jika aku pulang telat, yang selalu siaga jika aku sakit, yang selalu mendukung dengan keputusan yang aku ambil, walaupun aku tahu sebenarnya beliau berat melepaskanku untuk melanjutkan study di India karena terlalu jauh. Disini tidak ada yang menungguku pulang, tidak ada yang memasakkanku telur dadar ketika aku tidak selera makan, tidak ada yang mengangis ketika aku sakit, tidak ada yang memarahiku ketika kamarku berantakan, tidak ada yang membuatku menjadi anak yang istimewa selain di rumah di dekat Mamak. Mak aku kangen, airmataku tak dapat ku bendung saat rindu menghampiriku.

“Mamak juga rindu”, sahut wanita berusia 55 tahun itu. Terdengar isak tangis yang tertahan.

“Mak aku sudah satu semester di India, aku pasti selesai tepat waktu. Tunggu aku pulang ya Mak”, tangisku pecah. “Iya nak belajar yang sungguh-sungguh, jangan telat makan, jangan pergi jauh-jauh, jaga kesehatan”, suaranya tertahan.

Ku tatap wajahnya dari layar handphoneku yang sudah mulai menua, tampak keriput di dahi dan kantung mata yang kendor, sudah banyak rambut putih di kepala beliau, serta warna kulit yang coklat bekas bakaran sinar matahari. Tubuhnya yang dulu terlihat kekar hari ini beliau terlihat lebih kurus. Dia adalah wanita tangguh yang melahirkan 7 orang anak yang sehariharinya bekerja sebagai pedagang buah di pasar.

“Mak, selamat hari ibu. Maaf aku belum bisa menjadi anak yang baik untukmu. Maaf yang selalu membuat khawatir. Maaf untuk jauh darimu selama dua tahun. Maaf yang terkadang aku sibuk sampai lupa menelponmu. Maaf aku hanya bisa merayakan hari ibu melalui videocall. Maaf aku yang sangat merinduimu yang semoga Allah memberkahi hidupmu Mak” . Suaraku terbata-bata karena sesak akan kerinduan yang tertahan.

“Terima kasih nak, Mamak bangga denganmu, selesaikan kuliah mu dengan baik. Do’a mamak selalu menyertaimu, semoga kau jadi orang sukses” (senyum tersungging di bibir beliau yang basah karena air mata).

“Aku sayang Mamak selamanya. Mamak jaga kesehatan ya jangan terlalu capek kerja, jangan terlalu khawatir memikirkanku. Aku baik-baik aja Mak, Insha Allah” .

“Iya, ingat jangan lupa makan yaa” (mengingatkanku dengan suara di tekan, karena beliau tahu aku selalu lupa makan jika sibuk dan tidak mau makan kalau makanan yang dihidangkan yang tidak aku suka).

“Assalamu’alaikum Mak”

“Wa’alaikumsalam” .

Mak aku masih kangen, bisikku ke handphone.

METAMORFOSIS

Usia dua puluhan merupakan dekade yang penuh dilemma dan serba salah bagi seorang perempuan. Ia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menentukan untuk masa depan. Dua diantara pilihan itu adalah untuk melanjutkan studi dan meraih gelar yang diimpikan atau menikah. Dan manapun pilihan yang dipilih, sama-sama akan melahirkan berbagai macam komentar dari para netizen yang budiman. Namaku Orithya Leila, mahasiswa strata satu semester empat di sebuah universitas negeri di kotaku, umur tiga bulan menuju dua puluh tahun. Di sini lah aku, di persimpangan jalan tentang pilihan masa depanku. Aku memiliki seorang pacar yang saat ini berkuliah di universitas yang sama denganku. Dia sudah bersamaku sejak di bangku SMA. Dia orang yang luar biasa, bagiku setidaknya.

Aku masih ingat, senja saat itu indah sekali, langit disepuh warna orange yang kian merah, beradu dengan ungu dan biru gelapnya langit yang mulai malam dan bintang yang mulai bermunculan. Semuanya baik-baik saja dan damai seperti senja waktu itu. Aku pulang dari kampus, saying goodbye kepada pacarku yang mengantarku pulang dan mengucapkan salam ketika masuk ke rumah. Di sinilah aku dapati atmosfer senja yang damai yang kurasakan selama perjalanan pulang tadi berubah menjadi pekat. Ada sesuatu yang salah. Mama dan Papa yang biasanya menyambut kedatanganku dengan senyum mengembang kini berwajah masam.

“Ri, duduk dulu sini!” Kata Papa. “Iya, Pa. Ada apa?” Tanyaku penasaran. “Pulang diantar siapa kamu?” “Ijal, lah. Siapa lagi?” Jawabku balik tanya seolah-olah itu jawaban yang sudah pasti. Papaku menghembuskan nafas berat sebelum melanjutkan pembicaraan, “Kamu tidak bisa pulang sendiri? Atau bareng temanmu yang lain?” “Maksud Papa gimana? Kita kan sudah dari SMA pulang bareng terus. Mengapa baru sekarang dipermasalahkan begini?” Tanyaku masih mencoba meraba-raba arah pembicaraan ini. “Nak…” kali ini giliran Mamaku yang berkata, “Mama dan Papa sudah tidak kuat lagi mendengar omongan tetangga tentang kalian. Kalian sudah bareng-bareng dari SMA dan itu bisa dibilang lama sekali. Bukan berarti Mama atau Papa tidak percaya dengan kalian. Hanya saja para tetangga kita berbicaranya sudah keterlaluan. Jadi….” “Tunggu…” potongku, “ini Mama dan Papa gak nyuruh aku putus sama Ijal kan?” Mama dan Papa saling berpandangan, lagi-lagi Papa menghembuskan nafas sebelum melanjutkan, “Papa kasih pilihan sama kamu, kalau kamu masih mau kuliah kamu sudahi hubunganmu dengan Ijal. Toh kalaupun jodoh gak ke mana. Atau, kamu berhenti kuliah dan nikah saja dengan Ijal.” “Haaa?” Aku masih mencoba mencerna ucapan Papa tadi. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. “Papa kasih dua pilihan itu untuk Ori? Maksud Papa apa? Katanya percaya sama Ori, kalau begini bukan percaya namanya. Mama dan Papa kan tahu kalau para tetangga itu memang gak pernah berhenti ngurusin kehidupan orang lain. Nanti A lalu B, tiba-tiba ke C. Toh kita hidup bukan dari omongan tetangga kenapa harus pusing dipikirin? Kenapa Papa tega bertaruh dengan masa depan Ori hanya demi omongan tetangga?” Kataku berapi-api.

“Keputusan Papa sudah bulat. Kamu…” “Ori benci sama Papa.” Selaku yang kemudian pergi ke kamar. Sebelum pergi ku tatap Mamaku. Beliau yang selama ini selalu jadi air di antara ketegangan yang kadang kala muncul di rumah. Tapi kali ini beliau memilih diam. Sama tahunya denganku bahwa Papa dan keputusan bulatnya tidak dapat diganggu gugat. Beliau menatapku dengan sorot mata minta maaf dan iba.

Aku tutup pintu kamarku keras-keras. Menangis sejadi-jadinya. Aku bukan orang yang gampang menangis karena mendapat jatah keras kepala dari Papa. Tapi kali ini aku benar- benar tak tahu lagi. Selama ini aku berusaha sebaik mungkin membanggakan Papa dan Mama. Aku selalu mendapat peringkat 3 besar satu kelas dan terkadang satu angkatan. IPK yang aku dapat selama ini juga cukup membanggkan jika tidak ingin dibilang cumlaude. Aku berusaha sebaik mungkin bahwa adanya Ijal tidak menurunkan kualitasku sebagai pelajar dan tetap menjadi anak kebanggaan Papa dan Mama. Dan semuanya hancur gara-gara mulut netizen.

Kutatap ponselku, ada pesan dari Ijal dan aku tak kuasa untuk membalasnya. Aku hanya berdiam di kamar. Berpikir mana yang harus aku pilih. Aku termasuk orang yang memiliki ambisi yang tinggi. Aku masih berkeinginan untuk mendapatkan gelar Master dan Doktor jika memungkinkan. Bukan berarti aku tidak mau menikah dengan Ijal. Rencana itu tetap ada. Tapi paling tidak itu terjadi dengan perencanaan yang matang dan keputusan bersama. Tidak seperti ini. Kehilangan Ijal, atau kehilangan masa depan yang aku impikan. Dua-duanya tidak pernah aku bayangkan akan datang di persimpangan jalanku. Aku hapus air mataku. Sudah kutetapkan pilihanku. Benar kata Papa, kalau jodoh tidak akan ke mana.

*** Pagi hari kukabari ke Ijal bahwa aku akan berangkat ke kampus sendiri. Dari semalam dia sudah bertanya-tanya ada apa dan kubilang akan kujelaskan nanti. Kita bertemu ketika istirahat makan siang. Aku menceritakan semuanya dan terakhir keputusan pilihanku untuk meninggalkan dia. Dia diam sejenak.

“Beri aku 10 menit. Tunggu di sini.” Kata dia dan meninggalkan aku.

Aku terlalu kebas untuk menangis lagi. Aku tahu ini juga akan sulit untuk dia terima. Hubungan yang sudah berjalan hampir lima tahun dan berakhir hanya karena permasalahan yang datang dari luar. Dia kembali dan duduk di hadapanku.

“Ri, aku pilih pilihan ke tiga, mari menikah dan kamu tetap lanjutkan mimpimu. Papa bilang untuk menikah dan berhenti kuliah saja kan? Tapi kalau sudah menikah, kamu adalah tanggung jawabku. Jadi, aku pastikan kamu tidak perlu meninggalkan mimpi-mimpimu. Itu janjiku.”

Aku yang semula merasa kebas karena dua pilihan yang Papa berikan, tiba-tiba merasa ada harapan untuk tidak kehilangan dua-duanya. Sore itu juga, kami putuskan untuk bertemu Papa dan mengungkapkan pilihan kita. Papa tersenyum meski dengan berat hati melepaskan putrinya untuk menjadi milik lelaki lain.

*** Pernikahan menjadi keputusan paling krusial yang pernah aku ambil dalam hidup. Kami sama sama masih muda dan memutuskan untuk tidak memiliki momongan dulu, paling tidak sampai sama-sama menyelesaikan studi. Hidupku bermetamorfosis dari seorang gadis menjadi seorang istri. Sesekali berselisih pendapat. Hal-hal yang tidak pernah muncul ketika pacaran mendadak ada di permukaan setelah menikah. Hal yang paling konyol adalah ketika awal-awal pernikahan dimana omongan tetangga pun bermetamorfosis dari yang dulu mengumpat kedekatan kami yang terlalu lama menjadi menikah karena ‘kecelakaan’. Alangkah lucunya, rasa-rasanya tak habis mereka mencela seolah-olah hidup mereka telah bermetamorfosis secara sempurna. Sejak saat itu, aku berhenti memperdulikan omongan tetangga.

Manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menghendaki. Memasuki semester enam, aku hamil. Aku dan Ijal sama-sama shock karena ini merupakan kehamilan yang tidak direncanakan. Trimester awal merupakan hal yang paling berat. Morning sickness dan mood swing membuatku sangat tersiksa. Ijal berupaya semampunya menjadi sosok yang lebih pengertian dan sabar menanggapi segala celotehan ngalor-ngidulku ketika lagi mood swing. Pernah suatu hari aku sampai tak bisa masuk kuliah, Ijal mau saja menemaniku tapi aku yakinkan dia bahwa aku baikbaik saja, dia pun pergi kuliah dengan setengah hati.

Aku tengah duduk melamun di teras rumah. Memikirkan hidupku yang bak roller coaster. Semua yang awalnya baik-baik saja. Rencana yang sudah dibuat sedemikian rupa, mendadak jadi tak berguna. Dengan kehamilan ini, tentu akan menghambat kuliahku. Belum skripsi dan wisuda. Rasa-rasanya semua hal menjadi kacau. Andai saja dulu aku tidak mengiyakan ajakan Ijal….

“Nak….”panggil ibuku. “Iya, Ma.” “Jangan pernah kau sesali apa yang telah jadi keputusanmu.” Kata Mama seolah tahu apa yang aku pikirkan. “Hidup itu berputar dari satu tempat ke tempat yang lain, dari perjalanan yang satu ke perjalanan yang lain. Hanya saja, kita tidak pernah tahu pasti di mana posisi kita dalam putaran itu. Dari semua jalan yang ada, kebetulan ini yang kamu pilih. Jujur saja, Mama dan Papa kaget waktu kalian memutuskan untuk menikah. Karena perkiraan Mama dan Papa kamu tidak akan begitu saja melepaskan mimpi-mimpimu. Tapi kami hargai keberanian kalian. Ijal datang dengan segala keberaniannya memberikan pilihan ke tiga kepada Papa yang mau tidak mau kami setujui. Nak, semua itu terjadi bukan tanpa alasan. Tuhan hanya memberikan kepercayaan kepadamu sedikit lebih cepat karena Dia yakin bahwa kamu mampu. Kamu adalah anak kebanggaan Mama dan Papa, dan dengan Ijal di sampingmu, Mama rasa kamu akan sanggup melewati apapun.”

Aku tak sanggup berkata-kata lagi. Kupeluk Mama dan menangis sejadinya. “Kau tahu, Nak, namamu Orithya diambil dari salah satu spesies kupu-kupu, dengan harapan bahwa entah bagaimanapun proses yang kamu alami dalam kehidupanmu, kamu akan mampu mengatasinya dan berkembang menjadi pribadi yang tegar dan mempesona.”

“Terima kasih, Ma.” Hanya itu yang sanggup aku ucapkan.

*** Aku putuskan untuk mengambil cuti di semester tujuh untuk fokus pada kehamilanku. Ijal awalnya sempat ragu karena dia tahu pasti apa yang menjadi impianku. Aku meyakinkan dia bahwa penundaan itu sepadan dengan apa yang tengah aku perjuangkan. Dia tersenyum dan memelukku.

Di sinilah aku sekarang, bersama Ijal, memandangi putra kami yang tengah lelap tertidur.

“Aku berhutang maaf padamu.” Kataku. “Maaf untuk?” Tanya Ijal. “Aku pernah meragukan keputusan yang aku ambil untuk menikahimu. Menyalahkan keadaan bahkan kehamilanku. Tapi, setelah semua ini, aku pikir itu adalah keputusan terbaik yang pernah aku ambil. Dan sekarang, aku punya kamu dan si mungil Shaaz. Dan kurasa aku juga berhutang maaf kepada Papa sempat berkata aku membencinya karena keputusannya dulu.” “Kamu tidak perlu minta maaf untuk apapun. Dan Papa, kurasa beliau lebih dari paham bahwa kamu tidak benar-benar membencinya. Justru aku berterima kash Papa membuat keputusan itu. Tapi terkadang juga berpikir, apakah keputusanku saat itu benar? Apakah kamu bahagia? Saat kamu memutuskan untuk cuti kuliah apakah itu benar-benar tidak apa-apa? Aku merasa kian hari kian menjauhkanmu dari mimpimu, bukan mewujudkannya. Seolah-olah perlahan mengingkari janji yang pernah aku buat.” Kata Ijal sambil menatap putra kami. “Sepertinya sudah saatnya meluruskan semua. Kamu tahu, itu adalah keputusan paling tepat yang pernah kamu ambil. Dan kamu tidak sedang mengingkari janjimu. Kita sedang menuju ke sana. Perlahan tapi pasti. Dan dalam perjalanannya kita diberi anugerah dengan kehadiran Shaaz yang melengkapi semuanya.” “Dan kamu akan menjadi Ibu yang sempurna untuk dia.” “Tidak, aku sangat jauh dari sempurna dengan semua proses yang aku alami. Kelak akan kukatakan pada dia bahwa Ibunya bukanlah orang yang sempurna. Tapi dengan segala ketidaksempurnaan yang dimiliki, dia tetap berusaha yang terbaik. Dan di atas itu semua bahwa dia memiliki cinta yang cukup untuk membantu putra kesayangannya bermetamorfosis to be the best version of himself. Kesempurnaan… rasa-rasanya terlalu tinggi.”

Dia tersenyum menatapku. Ada kebahagiaan yang membuncah yang aku rasakan. Menjadi seorang perempuan benar-benar anugerah yang terindah dengan segala metamorfosisnya. Berupaya yang terbaik dalam setiap fasenya. Tidak melulu harus menjadi sempurna. Justru dari ketidaksempurnaan yang terakumulasi, akan melengkapi puzzle kehidupan dengan sempurna.

***SELESAI***

(Penulis: Alfin Rosyidha, Mangalore University, Karnataka, India

Terima kasih, Ibuk.

Malam itu, udara dapur dipenuhi wangi olahan daging sapi yang dimasak gulai ala ibuk. Didapatnya daging sedari siang usai shalat Idul Adha 1438H. Dipenuhi tawa malam itu kami makan dengan lahapnya hasil tangan Ibu lincah mengolah hidangan sedap yang tak lupa kami bersyukur atas nikmat Nya.

“Ibuk capek ndhok, mau tidur duluan ya.” Tak lama usai santap malam Ibuk pun pergi ke kamar. “iya buk.” Sahut ku biasa saja. Keesokan paginya, aku bangun lebih pagi dari Ibuk. Tidak seperti biasanya ibuk masih tidur padahal jam sudah di angka 1.00 siang hari. Dengan penasaran aku tengok ibuk di kamar dan Ibuk masih terbaring di kasur, “Ibuk pusing ndhok, sepertinya migraine ini kok muter-muter.” Keluhnya. “Mau diantarkan ke dokter gimana buk, kuat jalan ndhak?” Tanya ku agak cemas. “Ndhak usah, ambilkan obat sakit kepala aja ndhok.” Pinta Ibuk yang langsung aku eksekusi. Setelah minum obat sakit kepala, ibuk kembali mencoba untuk lanjut istirahat dan tidur.

Adzan Isya’ berkumandang, seusai shalat aku tengok Ibu yang masih di kamar sembari “Ayo ndhok antarkan ibuk ke dokter.” Pinta ibuk dengan nada lirih dan wajah agak sembab. Tanpa ragu lalu aku rangkul dan papah ibuk ke klinik terdekat yang jaraknya sekitar 100 meter dari rumah malam itu. Jalannya ibuk terseok, badannya lemas bak tak bertulang.

“Wah, Ibu ini kuat sekali lho, ini tensi darahnya tinggi sekali bu. Apa karena kemarin kebanyakan makan daging kurban? Hati-hati Ibu kan punya riwayat darah tinggi.” Tegas dokter Handoyo usai melepas alat tensi yang diikatkan di lengan kanan Ibuk. Lalu kami pulang dengan membawa obat yang diberikan klinik, lagi, ku papah ibuk.

Esok harinya, aku periksa kondisi ibuk. Aku lihat ibu sedang terbaring menatap langitlangit kamar. Tidak bisa digerakkan tangan dan kaki kirinya, wajah ibuk terlihat asimetris dan ibuk kesulitan bicara. Byarrr! Hati ku dipenuhi rasa cemas, ibuk terserang stroke! Aku bergegas menelfon bapak yang sedang bekerja pagi itu yang langsung kembali ke rumah. Kami pun membawa ibuk ke RSUD yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. membawa makanan untuk santap malam.

Sesampainya di ruang tunggu, ibuk harus sabar antre dan menahan sakit.

Hari demi hari setelah malam ibuk terserang stroke, aku dan adikku bergantian untuk merawat dan membantu ibuk dengan segala

keperluannya, dari makan sampai ke kamar mandi. Setelah beberapa minggu adik harus pergi ke luar kota untuk bekerja. Dengan rasa tidak enak hati

aku menghubungi sepupu ku untuk membantu merawat ibu yang Alhamdulillah ditanggapinya dengan senang hati.

Usai makan malam sekeluarga, aku duduk terpaku. Tanpa aku sadari air mataku beruntai sampai aku dapati diriku sudah menangis sesenggukan. Anganku terhanyut membayangkan ketika ibuk melahirkan ku, menyusui, memandikan, menggantikan popok ketika aku bayi. Memenuhi keperluanku yang ku pinta hanya dengan cara menangis tapi anehnya ibuk paham arti setiap nada tangisanku. Semua itu dilakukan ibuk tanpa sekata pun mengeluh.

Kini aku menggantikan posisi ibuk, bukan merawat bayi ku tapi merawat ibuk. Membasuh ibuk ketika mandi, membopong ibuk untuk BAB, menyuapi ibuk, memasak untuk sekeluarga. Kadang aku mengeluh capek, itu pun sudah ada sepupu yang membantu. Tak sanggup ku bayangkan bagaimana ibuk merawat dan membesarkanku dan adikku sampai sebelum ibuk jatuh sakit.

Satu hari setelah aku pulang kerja dan membantu ibuk pergi ke kamar mandi, ibuk mendapatiku sedang berwajah murung. “Kamu capek ndhok? Maaf ya ndhok, ibuk jadi beban kamu.” Kaget dan terpaku, aku menangis dan langsung ku peluk ibuk. “Ndak buk! maafkan aku yang selalu jadi beban ibuk sedari aku kecil. Semua ini ndak ada apaapanya dibandingkan tenaga ibuk yang tercurah merawat aku dan keluarga.” Sore itu dipenuhi tangis dan tak kulepasnya pelukan ibuk.

22 Desember 2017, banyak sekali aku dapati teman-teman mengunggah foto mereka bersama ibu, ataupun hanya sekedar tulisan mengucap selamat hari Ibu. Tapi ibukku disini, masih berjuang melawan stroke yang menyerangnya dari hampir tiga bulan yang lalu. Tidak, aku tidak mengunggah foto apapun untuk hari ibu. Usai shalat maghrib aku kembali bersujud memohon agar diringankan beban ibuk dan diangkatkan penyakit beliau. Ku peluk erat badan ibuk yang terlihat lebih kurus karena selera makan ibuk yang berkurang drastis. Ku basuh kaki ibuk lalu ku cium pipi dan kaki nya. Memohon ampun dan berterima kasih atas kerja keras ibuk membesarkanku.

Kini sudah hampir tiga tahun dari hari ibuk terserang stroke. Jalan ibuk masih terseok, tangan ibuk masih kaku saat memasak di dapur, meskipun wajah ibuk sudah terlihat lebih segar. Serangkaian pengobatan alternative dan terapi masih ibuk jalani. Namun kami bersyukur bisa melihat senyum ibuk merekah diwajahnya.

Hari ibu tahun ini aku tidak disamping ibuk. Suasanya yang hampir sama ketika aku lihat media sosial yang dipenuhi unggahan foto teman-teman bersama ibu mereka, aku pun tak bisa lagi membasuh kaki ibuk karena jarak yang terpaut jauh. Aku ambil ponselku dan kusampaikan salam sayang untuk ibu, memohon ampunan dan mendoakan ibuk agar selalu sehat.

Aku megulas balik kenangan di malam ibuk terserang stroke. Betapa lelahnya menjadi

seorang ibuk. Lalu aku berfikir, apakah cukup ucapan maaf, foto bersama ibu yang diunggah ke media sosial, mencuci kaki ibu itu dilakukan hanya sekali dalam satu tahun? Ibu bekerja siang malam merawat dan membesarkan kita tanpa ada hari libur ataupun hak untuk cuti. Pernah kah kita dengar ibu melontar kata keluh kesahnya kepada kita? Tentu tidak. Ibu bak seorang pemain panggung yang sangat tahu bagaimana cara menyembunyikan wajah lelah dan sedih agar kita tetap merasa bahagia.

Pernah kah kita berfikir berapa ratus liter susu ibu yang kita minum, berapa juta bulir keringat ibu habiskan merawat kita dan keluarga? Berapa kali kita berterima kasih kepada ibu atas apa yang sudah beliau kerjakan? Adilkah hanya berterima kasih dan meminta maaf kepada ibu hanya sekali setahun? Kenapa tidak setiap hari?

Salam rinduku untuk Ibuk.

Epti Sejati,

Selamat Hari Ibu.

Shimla, 22 Desember 2019 Bagi teman-teman PPI India yang ingin berkontribusi karya, bisa kirimkan ke email redaksi kami:

kajianstrategisppiindia@gmail.com

Karya boleh berbentuk:

Cerpen, Puisi, Tips & Triks Kuliah di India, Informasi Beasiswa, Seputar Kehidupan di India, All about India, dll

VIRUS CORONA

By Aziz Kemal Fauzie

This article is from: