ISSN : 0854-1620
Rp18.000,-
MENUJU DEMOKRASI BERKUALITAS Demokrasi sebuah sistem politik bangsa Indonesia, masih abu-abu. Namun, sebuah proses akan terus berjalan menuju demokrasi berkualitas
Infografis Alfian Ghaffar dan Taufiqulhidayat Khair
Editorial
Demokrasi Berkualitas
D
emokrasi, sebuah sistem pemerintahan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Diambil dari bahasa Yunani yaitu demokratia berarti kekuasaan rakyat. Abraham Lincoln mengatakan bahwa sistem demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sistem ini membuat rakyat mempunyai wewenang yang sangat dominan dalam penentuan kebijakan publik, juga dalam hal kebebasan, rakyat juga bebas untuk memilih apa yang mereka inginkan. Demokrasi sejatinya merupakan sebuah proses menuju
keadilan yang akan didapatkan oleh setiap individu-individu. Akan tetapi, realitanya di Indonesia banyak output dari sistem ini yang tidak berjalan dengan baik. Demokrasi berkualitas sendiri mempunyai makna yaitu sistem demokrasi yang memiliki progres yang terus berkembang sehingga menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Demokrasi berkualitas merupakan impian seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi untuk mencapai demokrasi berkualitas banyak hambatan yang dihadapi oleh bangsa kita.
Majalah kali ini akan menceritakan berbagai macam hambatan tersebut. Mulai dari partai politik itu sendiri, lembaga yang mengelola pesta demokrasi, juga dari masyarakatnya itu sendiri. Tidak hanya itu majalah kali ini juga membahas tentang sejarah kelam sistem ini. Semoga dengan terbitnya majalah ini bisa menjadi pembelajaran untuk pembaca, dan menambah wawasan, pun juga kita akan terus mempunyai asa menuju demokrasi berkualitas.
Sumber Foto : Google
LAPORAN UTAMA
“Pergeseran nilai-nilai tersebut adalah buah dari demokrasi kita yang masih sangat prosedural. Karena bagi saya, demokrasi kita itu masih mekanistis. Demokrasi tanpa pendidikan politik adalah omong kosong,� ujar Muhammad Nizhar Siagian.
DEMOKRASI INDONESIA DAN IMPIANNYA Oleh : M Thoriq Ardiansyah LPM NOVUM FH UNS
Ilustrasi oleh M Satria Praja P
Laporan Utama
Foto : Annisa Fianni / NOVUM
D
emokrasi bukan merupakan tujuan akhir, tetapi merupakan cara untuk mencapai kesejahteraan sosial, keadilan, dan kemanusiaan. Begitulah sepenggal kutipan dari sambutan Jusuf Kalla dalam acara Bali Democracy Forum 2015. Tidak ada yang salah dari perkataan Jusuf Kalla waktu itu. Beliau menyampaikan interpretasi dari tujuan adanya demokrasi itu sendiri. Jika kita lihat pengertian demokrasi secara bahasa, demokrasi terdiri atas dua kata dari bahasa Yunani, yaitu Demos (rakyat) dan Cratos (kekuasaan). Artinya, kekuasaan atau kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut prinsipprinsip demokrasi. Nilai-nilai tersebut tersusun rapi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan terwujud dalam kehidupan kita seharihari. Perkumpulan karang taruna, diskusi, pemilihan umum (Pemilu) merupakan sekelumit contoh perwujudan nilai diatas. Namun, banyak yang berpendapat bahwa konteks demokrasi lebih erat kaitannya
dengan pemilu. Joseph A. Schumpeter, seorang ilmuwan politik AmerikaAustria bahkan berpendapat bahwa demokrasi merupakan suatu perencanaan instutisional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
“
Demokrasi Merupakan Cara Untuk Mencapai Kesejahteraan Sosial, Keadilan dan Kemanusiaan
�
Stereotip bahwa demokrasi adalah melulu soal pemilu dan sistem pemerintahan sudah menancap dalam benak masyarakat. Ditambah banyaknya tontonan yang mempertunjukan drama politik Ibu Pertiwi. Hakekat demokrasi pun berangsung-angsur menipis. Bukan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, tetapi dari pejabat, oleh pejabat, dan untuk pejabat. “Pergeseran nilai-nilai tersebut adalah buah dari demokrasi kita yang masih sangat prosedural. Karena bagi saya, demokrasi kita itu masih mekanistis. Demokrasi tanpa pendidikan politik a d a l a h o m o n g ko s o n g , � u j a r Muhammad Nizhar Siagian M.Pol, dosen Hubungan Internasional Universitas Sebelas Maret (UNS) Demokrasi Kemarin Sore Apabila dibandingkan dengan negara-negara senior dalam berdemokrasi, Indonesia masih belum ada apa-apanya. Cukup jauh rasanya jika kita membandingkan diri dengan Inggris yang sudah menanamkan nilainilai kerakyatan sejak lahirnya Magna Carta pada tahun 1215. Norwegia yang pada tanggal 30 Januari 2018 lalu ditetapkan sebagai negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia oleh media ternama Amerika Serikat, The Economist. Meskipun Indonesia masuk dalam 5 besar negara demokrasi terbesar di dunia, tetapi sepertinya yang terbesar bukan berarti yang terbaik.
Laporan Utama Cukup sulit bagi orang awam untuk menilai seberapa berhasil kita dalam berdemokrasi. Nizhar berpendapat, indikator yang bisa digunakan sebagai barometer adalah Pancasila. “Bagi saya untuk melihat demokrasi di Indonesia yang paling dekat pakai aja ideologi itu. Apakah setiap sila-sila itu sudah tercermin. Pakai saja sila-sila tersebut sebagai indikatornya.” Tambahnya. Bagi Gilang Ramadhan mahasiswa Fakultas Per tanian Universitas Pekalongan. masalah sebenarnya ada pada kualitas masyarakat dan kualitas pemimpin. “Pemimpin lahir dari rakyat. Ketika pemimpin berasal dari latar belakang rakyat yang rusak, maka pemerintahannya pun akan rusak. Jika tidak dibenahi dari akarnya (rakyat), sistem ini akan selamanya buruk. Pe r p u t a r a n y a n g h a n y a a k a n mengahasilkan pemerintahan yg rusak secara berulang-ulang.”
“
Rakyat Butuh Edukasi Demokrasi, Bukan Janji Tanpa Bukti Ujar Nizhar
”
Kepercayaan rakyat terhadap pejabat-pejabat pun tak lebih dari sekedar formalitas saja. Tingkah laku petinggi yang banyak menyalahgunakan wewenangnya merupakan alasan yang cukup membuat rakyat berfikir demikian. “Pejabat itu kan wakilnya rakyat. Mereka yang kita percaya untuk menyuarakan kepentingan rakyat kecil seperti kami. Kalau mereka aja kelakuannya kaya gitu, mementingkan urusan pribadi, boro-boro suara kita bakal didengar.” Ujar Darmono, tukang becak asal Pasar Kliwon.” Pria 58 tahun itu menambahkan, demokrasi yang sekarang sudah mengalami peningkatan. “Dulu mas, kita rakyat kecil takut untuk menyuarakan keluhan kami. Sekarang sudah mending, kita bisa bebas berpendapat,
boleh menyampaikan keluh kesah kepada pemerintah. Mungkin yang masih kurang tindak lanjut dari pemerintahnya aja dalam menanggapi masalah kami.” Integrasi Rakyat dan Lembaga Demokrasi Demokrasi tidak bisa berjalan sendiri. Meskipun hakekat demokrasi adalah kedaulatan rakyat, tapi dalam pelaksanaannya tetap membutuhkan lembaga fasilitator demokrasi. Salah satu lembaga tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Meskipun ruang lingkup demokrasi tidak hanya soal pemilu, tetapi dalam sistem pemerintahan, pemilu merupakan perwujudan yang paling besar. KPU bertugas menjalankan pemilu yang berkualitas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, KPU bertanggungjawab untuk mengarahkan dan mengedukasi masyarakat agar turut berpartisipasi dan menggunakan hak suaranya dengan bijak. Nurul Sutarti, S.P.,M.S., selaku ketua KPU Kota Surakarta menegaskan bahwa KPU sedang getol untuk meningkatkan pastisipasi masyarakat dengan berbagai macam cara. “Caranya macam-macam. Yaitu langsung turun ataupun melalui komunitas-komunitas, bahkan ke pasar-pasar. Dalam Pilgub (Pemilihan Gubernur) kemarin kita sudah melibatkan tiga puluh komunitas atau organisasi masyarakat sipil ataupun organisasi masa kepemudaan sebagai agen sosialisasi agar masyarakat menggunakan hak pilihnya secara berdaulat,” pungkasnya. Wa l a u p u n K P U s e b a g a i lembaga fasilitator demokrasi sudah menjalankan perannya, sinergi antara masyarakat dengan lembaga belum bisa terwujud jika hanya salah satu pihak saja yang bergerak. “Sense of cricis masyarakat kita belum terbangun. Akhirnya dalam artian itu, politik kita tanpa peran rakyat, jadi
demokrasi kita jadi begitu mekanis, bukan filosofis. Demokrasi kita masih dalam tahap mekanis. Karena masyarakat sendiri minim edukasi politik, dan ketika mendapat edukasi, masyarakat tidak menyikapinya dengan baik,” tutur Nizhar. Impian Demokrasi Indonesia Impian demokrasi sebenarnya cukup sederhana karena sudah tertanam dalam pengertian demokrasi itu sendiri, yaitu kedaulatan rakyat. Namun tidak semudah itu untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Indonesia masih harus banyak berbenah. “Sumber daya manusia kita masih banyak yang harus dibenahi. Meningkatkan mentalnya terutama. Sekarang kan yang cukup ramai disoroti adalah kebebasan berpendapat. Namun banyak yang masih bersumbu pendek dalam menyikapinya,” ucap Dimas Hanifan Vijaya Kusuma, mahasiswa Informatika UNS. Senada dengan Vijay, Gilang juga berharap agar masyarakat ikut memperbaiki diri. ”Kita sebagai rakyat tidak boleh hanya mengkritik tapi tidak membenahi diri sendiri. Sebenarnya, keberhasilan suatu negara itu ditentukan oleh rakyatnya. Apalagi disini (demokrasi) komponen terpenting adalah rakyat, jadi ya rakyatnya harus bener dulu, baru demokrasinya bener,” pungkasnya. Bagi negara yang masih tergolong muda dalam berdemokrasi, rasanya cukup wajar jika masih ada kekurangan disana-sini. Kekurangan tersebutlah yang membuat kita harus selalu memperbaiki diri. Rakyat butuh edukasi demokrasi, bukan janji tanpa bukti. Karena Indonesia merdeka karena demokrasi. “Edukasi yg dimaksud bukanlah edukasi yang mekanis kaya kita. Kesadaran kita itu mekanis, bukan organik. Seketika budaya membaca tumbuh, buahnya adalah nalar kritis, kemudian ia akan menggeser masyarakat sipil itu menjadi lebih baik, lebih kritis. Agar masyarakat sipil tidak seperti kerbau yang dicucuk hidungnya,” tutup Nizhar.
“Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka� Sumber Foto : Markijar.com
“ “
LAPORAN UTAMA
Ada 73 partai politik di Indonesia yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), itu menandakan memang banyak ideologi yang berkembang di masyarakat sehingga menyebabkan menjamurnya partai politik di Indonesia.
PARTAI POLITIK SAKIT, HAMBATAN BESAR MENUJU DEMOKRASI BERKUALITAS Reporter : Taufiqulhidayat Khair LPM NOVUM FH UNS
P
artai politik (parpol) memiliki peranan yang sangat vital dalam keberjalanan sistem demokrasi di Indonesia, karena mereka merupakan representasi masyarakat di pemerintahan. Ada 73 partai politik di Indonesia yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), itu menandakan memang banyak ideologi yang berkembang di masyarakat sehingga menyebabkan menjamurnya partai politik di Indonesia. Muhammad Nizhar Siagian M.Pol, salah satu dosen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) menjelaskan bahwa itu merupakan hal yang wajar karena partai merupakan wadah dalam demokrasi “Tempat berkumpul orang-orang yang punya ideologi, semua ideologi itu kan teoritis lalu mereka butuh praktikal jadi partai itu menjadi wadah untuk praktikal itu sendiri.” Parpol di Indonesia memiliki konfigurasi yang berbeda-beda. Ada partai ideologis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) dengan ideologi nasionalismenya, ada partai ulama seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang didasari syariat-syariat Islam ketika menentukan kebijakannya. Namun, pada hakikatnya semua partai itu tetap memiliki semangat yang sama yaitu mewujudkan Indonesia yang lebih baik, seperti yang diutarakan oleh Mikail Cesario, mahasiswa Fakultas Hukum (FH) UNS angkatan 2016, “Sebenarnya tujuan Partai Politik itu sama kan, bedanya itu dalam menggapai tujuan yaitu menuju Indoensia yang semakin baik, mereka memiliki cara masing-masing.”
Fungsi yang Tidak Berfungsi Sebagai perangkat dalam suatu sistem, partai politik tentu memiliki fungsi-fungsi untuk menciptakan iklim demokrasi yang berkualitas. Jadmiko Anom Husodo, S.H., M.H salah satu dosen Hukum Tata Negara di UNS yang juga
pemerhati politik Indonesia mengungkapkan bahwa yang membedakan partai politik dengan organisasi atau lembaga yang lain adalah partai politik memiliki fungsi. Seperti sarana rekrutmen, pendidikan politik, komunikasi politik, pengendali konflik, dan pemandu kepentingan rakyat. Banyak catatan negatif ketika berbicara tentang realita partai politik dalam menjalankan fungsinya. Beberapa partai dianggap gagal dalam menjalankan fungsinya misalnya fungsi sarana rekrutmen. Jadmiko menjelaskan “Sekarang parpol masih dalam tahap patriarki jadi ketika ada regenerasi tidak jauh dari keluarga-keluarga mereka, contohnya Partai Amanat Nasional (PAN) begitu, Partai Demokrat begitu, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) meskipun masih samar kita bisa lihat menuju kesitu juga ya jadinya tidak jauh dari darah elit-elit politik mereka sendiri.” Sama halnya dengan fungsi untuk memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat pun juga dinilai gagal. “Mereka harus ada program
Laporan Utama dalam edukasi, tapi programnya sekarang cuman makan-makan kalau mengenai edukasi ini mereka ngga serius mereka turun ke masyarakat niatnya hanya untuk membujuk masyarakat untuk mendapatkan suara,” ujar Nizhar. Bak gayung bersambut, salah satu Mahasiswa FISIP jurusan Sosiologi angkatan 2015, Muhammad Nurul Arifin juga mengatakan bahwa fungsi ini tidak berjalan dengan baik “Kalau dalam pendidikan politik masih kurang, secara ngga langsung kan memang partai politik membawa kepentingannya, cuma ya kurang membawa aspirasi masyarakat dan tidak mencontohkan kedewasaan dalam berpolitik,” ungkapnya. Meskipun pada realitanya pendidikan politik itu tidak hanya didapatkan melalui program yang disuguhkan oleh partai, tetapi bisa juga melalui pendidikan secara tidak langsung. Seperti yang diungkapkan
“
yang telah diberikan oleh kader PKS kepada masyarakat. Sehingga kita bisa tau integritas terhadap warga sekitar, itulah yang bisa menjadi bukti pendidikan yang kita berikan.”
Ketika ada pemilik modal besar di dalam suatu partai, maka bukan tidak mungkin partai hanya menjadi kendaraan untuk mendapatkan jabatan politik tertentu.
Internal Partai yang Tidak Sehat
”
Amien Supodo, S.P., selaku Ketua Dewan Pimpinan Cabang PKS Banjarsari, Kota Surakarta “Temanteman bisa melakukan survey, apa
Jika ada yang harus dikambing hitamkan terkait fungsifungsi partai politik yang tidak berjalan optimal itu pasti bermuara kepada internal partai politik itu sendiri. Nizhar mengungkapkan beberapa masalah internal partai salah satunya adalah pendanaan. “Saya pikir memang yang pertama itu soal pendanaan karena biaya politik
Foto : Taufiqulhidayat Khair / NOVUM
“
“
Laporan Utama
“Tempat berkumpul orang-orang yang punya ideologi, semua ideologi itu kan teoritis lalu mereka butuh praktikal jadi partai itu menjadi wadah untuk praktikal itu sendiri.”
Geliat Partai Baru sama kan, bedanya itu dalam menggapai tujuan yaitu menuju Indoensia yang semakin baik, mereka memiliki cara masing-masing.” Sebagai perangkat dalam suatu sistem, partai politik tentu memiliki fungsi-fungsi untuk menciptakan iklim demokrasi yang berkualitas. Jadmiko Anom Husodo, S.H., M.H salah satu dosen Hukum Tata Negara di UNS yang juga pemerhati politik Indonesia mengungkapkan bahwa yang membedakan partai politik dengan organisasi atau lembaga yang lain adalah partai politik memiliki fungsi. Seperti sarana rekrutmen, pendidikan politik, komunikasi politik, pengendali konflik, dan pemandu kepentingan rakyat. Banyak catatan negatif ketika berbicara tentang realita partai politik dalam menjalankan fungsinya. Beberapa partai dianggap gagal dalam menjalankan fungsinya misalnya fungsi sarana rekrutmen. Jadmiko menjelaskan “Sekarang parpol masih dalam tahap patriarki jadi ketika ada regenerasi tidak jauh dari keluarga-keluarga mereka, contohnya Partai Amanat Nasional (PAN) begitu, Partai Demokrat begitu, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) meskipun masih samar kita bisa lihat menuju kesitu juga ya jadinya tidak jauh dari darah elit-elit politik mereka sendiri.”
Sama halnya dengan fungsi untuk memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat pun juga dinilai gagal. “Mereka harus ada program dalam edukasi, tapi programnya sekarang cuman makan-makan kalau mengenai edukasi ini mereka ngga serius mereka turun ke masyarakat niatnya hanya untuk membujuk masyarakat untuk mendapatkan suara,” ujar Nizhar. Bak gayung bersambut, salah satu Mahasiswa FISIP jurusan Sosiologi angkatan 2015, Muhammad Nurul Arifin juga mengatakan bahwa fungsi ini tidak berjalan dengan baik “Kalau dalam pendidikan politik masih kurang, secara ngga langsung kan memang partai politik membawa kepentingannya, cuma ya kurang membawa aspirasi masyarakat dan tidak mencontohkan kedewasaan dalam berpolitik,” ungkapnya. Meskipun pada realitanya Mudah-mudahan pendidikan politik itu tidak hanya partai bisa didapatkan melaluimenjadi program yang disuguhkan oleh partai, tetapi bisa panutan agar tidak juga melalui pendidikan secara tidak terjadiSeperti konflik yang langsung. yang diungkapkan Amien Supodo, S.P ., selaku dampaknya bisa Ketua Dewan Pimpinan Cabang PKS terasa Kota sampai ke “TemanBanjarsari, Surakarta teman bisa melakukan survey, apa Masyarakat, yang telah diberikan oleh kader PKS kepada masyarakat. Sehingga kita bisa tau integritas terhadap warga tutup Suwarso. sekitar, itulah yang bisa menjadi bukti pendidikan yang kita berikan.” Jika ada yang harus dikambing hitamkan terkait fungsifungsi partai politik yang tidak berjalan optimal itu pasti bermuara kepada internal partai politik itu
“
“
P
artai politik (parpol) memiliki peranan yang sangat vital dalam keberjalanan sistem demokrasi di Indonesia, karena mereka merupakan representasi masyarakat di pemerintahan. Ada 73 partai politik di Indonesia yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), itu menandakan memang banyak ideologi yang berkembang di masyarakat sehingga menyebabkan menjamurnya partai politik di Indonesia. Muhammad Nizhar Siagian M.Pol, salah satu dosen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) menjelaskan bahwa itu merupakan hal yang wajar karena partai merupakan wadah dalam demokrasi “Tempat berkumpul orang-orang yang punya ideologi, semua ideologi itu kan teoritis lalu mereka butuh praktikal jadi partai itu menjadi wadah untuk praktikal itu sendiri.” Parpol di Indonesia memiliki konfigurasi yang berbeda-beda. Ada partai ideologis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan ideologi nasionalismenya, ada partai ulama seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang didasari syariat-syariat Islam ketika menentukan kebijakannya. Namun, pada hakikatnya semua partai itu tetap memiliki semangat yang sama yaitu mewujudkan Indonesia yang lebih baik, seperti yang diutarakan oleh Mikail Cesario, mahasiswa Fakultas Hukum (FH) UNS angkatan 2016, “Sebenarnya tujuan Partai Politik itu
Seorang tukang becak Pasar Legi yang merupakan simpatisan Partai PERINDO. Foto : M Thoriq Ardiansyah / NOVUM
“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan
LAPORAN UTAMA
seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”. - SOEKARNO
MEWUJUDKAN DEMOKRASI YANG SUBSTANSIAL Reporter : Vivi Savira dan Tyara Devy Purnamasari LPM NOVUM FH UNS
Ilustrasi oleh Yuliana Silvy R.Z
Laporan Utama
1967 1967, ketika Ir. Soekarno diusir dari Istana Negara Republik Indonesia, dengan mantap Presiden pertama Indonesia itu mengatakan, “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”. Ini seakan membenarkan ungkapan Vox Populi Vox Dei(Suara rakyat adalah suara Tuhan). Kekuasaan rakyat yang lalu kita kenal sebagai “Demokrasi”. Agus Riwanto, S.H, S.Ag, M.Ag, pakar hukum sekaligus pengamat politik dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FH UNS), mengatakan peran rakyat m e n e n t u k a n ke b i j a k a n, b a i k kebijakan politik, ekonomi, bahkan hukum adalah syarat adanya demokrasi. Demokrasi bukanlah tujuan akhir melainkan sebuah proses dan alat untuk mencapai tujuan itu. “Tujuan akhir demokrasi menurut pandangan hukum adalah equality before the law (kesetaraan individu di depan hukum), kalau dalam kebijakan politik yaitu sebanyak mungkin menguntungkan orang banyak, bukan beberapa kelompok, dan tanpa memedulikan ikatan yang bersifat primordial,” ujarnya.
Hoaks dan Politik Identitas M.T Arifin, pengamat politik dari Surakarta, mengatakan bahwa secara substansial demokrasi Indonesia sangatlah kurang.“Sekarang yang paling banyak
sah saja dilakukan.“Wong demokrasi kok, yang memilih juga gak dipaksa. Inilah demokrasi, yang gak boleh itu pemaksaan,” ujarnya. Menurut Ali yang tidak boleh adalah memperjualbelikan agama untuk kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya. Selain itu menurut Agus masyarakat masih sering mengurusi hal remeh-temeh dalam melihat pemimpin, pemilihan presiden m i s a l n y a . A g u s m e n g a t a k a n, “Presiden kok ditanya tentang punya istri/suami atau engga? Bisa salat atau engga? Gak ada urusan. Anda pemimpin politik bisa gak membawa bangsa kita menjadi bangsa yang besar?.”Agus juga menambahkan Pilar ke-4 demokrasi bahwa seharusnya perdebatan yang adalah pers ada di masyarakat lebih ditekankan pada program-program calon setelah eksekutif, presiden. legislatif, dan yudikatif. Hal ini dibuktikan pada jajak Oleh karena itu media harus pendapat yang diterbitkan Kompas bersikap netral dalam tanggal 15 Oktober 2018 yang melibatkan 457 responden dari 16 memberikan informasi kota besar di Indonesia. Hanya 15,8 kepada masyarakat persen yang mengerti visi-misi Jokowi-Ma'ruf dan 11,6 persen untuk ujar Agus Prabowo-Sandi, sisanya masyarakat hanya terpaku pada “gosip politik”. Maka dari itu menurut Agus pendidikan politik dan penegakan Selain itu isu politisasi agama hukum sangat diperlukan untuk juga turut mewarnai demokrasi di m e w u j u d k a n d e m o k r a s i y a n g Indonesia. Survei yang dilakukan berkualitas. Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) pada bulan April-Juli 2018 di 11 Provinsi di Indonesia menyatakan bahwa politisasi suku, ras, dan agama serta identitas menjadi penghambat terbesar Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yakni mencapai 23,6persen. Menurut Burhanudin Harahap, S.H., Ironisnya partai politik (parpol) M.H., M.Si., Ph.D, pakar Hukum saat ini gagal untuk menjadi teladan Islam FH UNS, hal ini terjadi karena serta memberikan pendidikan politik agama masih digunakan sebagai bagi masyarakat dan kadernya. Survei jargon untuk meraih suara, tetapi NOVUM menunjukan bahwa 56,9 b e l u m d i j a d i k a n n i l a i u n t u k persen responden menyatakan melaksanakan kekuasaan yang diraih kualitas pendidikan politik saat ini melalui proses politik. masih tidak bagus. Arifin menyatakan Beda orang pastinya berbeda bahwa seringkali pendidikan politik pandangan, menurut Abbah Ali, diberikan partai hanya ketika Pengasuh Pondok Pesantren Ta'mirul menjelang pemilu. “Itupun ke Islam Surakarta, politik identitas sah- kelompok menengah. Kalau untuk itu hoaks (berita bohong) karena seringkali kampanye itu ada kelompok yang menyebarkan hoaks dengan cara merongrong yang dianggap tidak etis,” ujarnya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh NOVUM sebanyak 65,3 persen dari 174 responden menyatakan bahwa hoaks sangat mencederai demokrasi. Menurut Usep Taryana, S.H, alumni FH UNS angkatan 2014, masyarakat yang tidak mengerti kebenaran suatu informasi dapat terpengaruh karena adanya hoaks.
Gagalnya Partai Politik
Laporan Utama
1967 ketika Ir. Soekarno diusir dari Istana Negara Republik Indonesia, dengan mantap Presiden pertama Indonesia itu mengatakan, “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”. Ini seakan membenarkan ungkapan Vox Populi Vox Dei(Suara rakyat
adalah suara Tuhan). Kekuasaan rakyat yang lalu kita kenal sebagai “Demokrasi”. Agus Riwanto, S.H, S.Ag, M.Ag, pakar hukum sekaligus pengamat politik dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FH UNS), mengatakan peran rakyat m e n e n t u k a n ke b i j a k a n, b a i k kebijakan politik, ekonomi, bahkan hukum adalah syarat adanya demokrasi. Demokrasi bukanlah tujuan akhir melainkan sebuah proses dan alat untuk mencapai tujuan itu. “Tujuan akhir demokrasi menurut pandangan hukum adalah equality before the law (kesetaraan individu di depan hukum), kalau dalam kebijakan politik yaitu sebanyak
mungkin menguntungkan orang banyak, bukan beberapa kelompok, dan tanpa memedulikan ikatan yang bersifat primordial,” ujarnya.
Pengawasan yang Belum Mumpuni M.T Arifin, pengamat politik dari Surakarta, mengatakan bahwa secara substansial demokrasi Indonesia sangatlah kurang.“Sekarang yang paling banyak itu hoaks (berita bohong) karena
Laporan Utama
Media sosial (harusnya) dijadikan alat untuk socialitation of
democration ujar Agus
Sumber Foto : Merdeka.com /Muhammad Lutfi Rahman
seringkali kampanye itu ada kelompok yang menyebarkan hoaks dengan cara merongrong yang dianggap tidak etis,” ujarnya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh NOVUM sebanyak 65,3 persen dari 174 responden menyatakan bahwa hoaks sangat mencederai demokrasi. Menurut Usep Taryana, S.H, alumni FH UNS angkatan 2014, masyarakat yang tidak mengerti kebenaran suatu informasi dapat terpengaruh karena adanya hoaks. Selain itu isu politisasi agama juga turut mewarnai demokrasi di Indonesia. Survei yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) pada bulan April-Juli 2018 di 11
Provinsi di Indonesia menyatakan bahwa politisasi suku, ras, dan agama serta identitas menjadi penghambat terbesar Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yakni mencapai 23,6persen. Menurut Burhanudin Harahap, S.H., M.H., M.Si., Ph.D, pakar Hukum Islam FH UNS, hal ini terjadi karena agama masih digunakan sebagai jargon untuk meraih suara, tetapi belum dijadikan nilai untuk melaksanakan kekuasaan yang diraih melalui proses politik. Beda orang pastinya berbeda pandangan, menurut Abbah Ali, Pengasuh Pondok Pesantren Ta'mirul Islam Surakarta, politik identitas sahsah saja dilakukan.“Wong demokrasi kok, yang memilih juga gak dipaksa.
Inilah demokrasi, yang gak boleh itu pemaksaan,” ujarnya. Menurut Ali yang tidak boleh adalah memperjualbelikan agama untuk kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya. Selain itu menurut Agus masyarakat masih sering mengurusi hal remeh-temeh dalam melihat pemimpin, pemilihan presiden m i s a l n y a . A g u s m e n g a t a k a n, “Presiden kok ditanya tentang punya istri/suami atau engga? Bisa salat atau engga? Gak ada urusan. Anda pemimpin politik bisa gak membawa bangsa kita menjadi bangsa yang besar?.”Agus juga menambahkan bahwa seharusnya perdebatan yang ada di masyarakat lebih ditekankan pada program-program calon presiden. Hal ini dibuktikan pada jajak pendapat yang diterbitkan Kompas tanggal 15 Oktober 2018 yang melibatkan 457 responden dari 16 kota besar di Indonesia. Hanya 15,8
O
P
I
N
I
MEDIA MASSA, MAINAN SEGELINTIR ELIT POLITIK Oleh : Okta Ahmad Faisal LPM NOVUM FH UNS
M
edia massa atau pers merupakan ujung tombak dari keberjalanan sistem politik demokrasi. Pers juga dilabeli sebagai pilar keempat demokrasi, setelah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Label tersebut diberikan oleh publik karena bisa dikatakan kondisi demokrasi suatu negara bisa dilihat dari kondisi pers di negara tersebut. Pers sejatinya mempunyai peran sebagai penyampai informasi kepada publik, pengawas kebijakan penguasa serta sebagai alat kontrol sosial, maka dari itu pers menjadi indikator kualitas demokrasi di suatu negara. Peran-peran vital yang dimiliki pers membuat posisi pers sangat penting dan berpengaruh. Pers bisa membentuk opini publik melalui produknya. Tidak heran jika pers diperebutkan kepemilikannya karena nilai tawarnya tersebut. Di Indonesia, kita melihat kepemilikan media massa banyak dimiliki oleh orangorang berpengaruh, seperti para pengusaha dan politisi. Fa k t a m e n g a t a k a n b a h w a memang segelintir elit yang memiliki kapital menguasai media-media mainstream. Contohnya saja Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem) juga pemilik Perusahaan Media Group yang didalamnya ada stasiun TV berita Metro TV dan Koran Media Indonesia. Harry Tanoesoedibjo sebagai Ketua Umum Par tai Persatuan Indonesia (Perindo) juga pemilik MNC Group yang didalamnya
ada Stasiun TV MNC, Global, RCTI, lalu Koran Seputar Indonesia. Aburizal Bakrie pemilik sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golongan Karya (Golkar) juga sebagai pemilik media seperti TvOne, ANTV, Viva News, dll. Semuanya pun tergabung dalam koalisi pendukung salah satu capres-cawapres di pemilu mendatang. Tidak hanya itu, sekitar pertengahan bulan September
pengusaha Erick Thohir, pemilik perusahaan media massa Mahaka Group bergabung ke koalisi Jokowi menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN). Mahaka Group sendiri adalah perusahaan media massa yang meliputi Harian Republika, Harian Indonesia, Republika Online, dsb. Merapatnya Erick Thohir menambah daftar pemilik perusahaan media massa yang bergabung ke kubu incumbent.
Opini Empat elit pemilik perusahaan media massa yang bergabung ke salah satu pihak tentu merupakan pengaruh buruk bagi berjalannya demokrasi di Indonesia. Alasannya adalah kemungkinan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik, yaitu bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Sama dengan pendukung capres-cawapres yang biasa kita sebut cebong dan kampret, media-media massa yang terafiliasi dengan kekuasaan politik juga tidak kalah partisan. Metro TV misalnya, yang jelasjelas menyajikan berita yang menguntungkan salah satu kubu. Ketika terjadi pelemahan nilai tukar rupiah di Rp. 15.000/ US dolar, Metro TV melakukan framing dengan menarasikan bahwa rupiah masih dalam kondisi aman, rupiah melemah karena faktor eksternal, dan sebagainya. Lalu, ketika rupiah ke m b a l i m e n g u a t , M e t r o T V menarasikan hal tersebut seolah-olah
Foto : Azalia Deselta / NOVUM
sebagai keberhasilan pemerintah, contohnya dengan menampilkan judul berita ”Cara Sri Mulyani Hadapi Pukulan Balik Dolar AS ke Rupiah.” Keberpihakan Metro TV pada pasangan calon Jokowi-Ma'ruf Amin kemudian membuat kubu paslon Pr a b o w o - S a n d i “ a l e r g i ” d a n memboikot stasiun tv tersebut. Media massa Republika pun seperti berubah, dulu masih sering memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya mengenai kebijakan impor beras, Republika merilis beberapa berita, salah satunya berjudul satire yaitu “Daerah Surplus Beras, Kok Pemerintah Malah Impor Beras?” tertanggal 13 Januari 2018. Re p u b l i k a m e n g u l a s t e n t a n g kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah disaat beberapa daerah justru surplus produksi beras. Republika juga mengulas bagaimana blundernya pemerintah memutuskan untuk impor beras ditengah ketidaksesuaian antara Menteri Perdagangan yang melaksanakan impor beras dan Menteri Pertanian yang berulang kali menegaskan bahwa produksi pangan surplus. Namun berita yang dirilis tertanggal 21 September 2018 berjudul “Alasan Pemerintah Harus Impor Beras” berbanding terbalik dari sebelum pimpinan mereka menjadi TKN. Intervensi pemilik perusahaan dan keberpihakan media massa pada salah satu pihak dalam politik sebetulnya bukan hal yang tabu. Ross Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia : Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution. Mencatat bahwa sebuah pernyataan pernah dilontarkan Surya Paloh sebagai salah satu pemilik perusahaan media. “Jika saya tidak dapat memakainya, apalagi yang dapat saya pakai? Jika ada jurnalis yang tidak setuju dengan situasi ini, mereka bebas keluar dari Metro [TV] atau Media Indonesia. Saya tidak mau hipokrit.” Pernyataan tersebut dilontarkan dalam konvensi capres jelang pemilu 2004. Sebenarnya jika media massa mendukung salah satu pihak dalam suatu percaturan politik bukanlah
suatu hal yang haram. Di Amerika Serikat misalnya, media massa secara terang-terangan mendukung pihakpihak politik tertentu, seperti Fox News yang biasanya mendukung calon dari Partai Republik dan CNN yang biasanya mendukung calon dari Partai Demokrat. Media massa lain pun dengan lugas mendeklarasikan diri sebagai pendukung salah satu paslon, seperti media Dallas Morning News yang pada Pemilu AS kemarin pertama kalinya mendukung paslon dari Partai Demokrat, yaitu Hillary Clinton. Dallas Morning News memberikan judul pada suatu tajuknya yakni "Kami merekomendasikan Hillary Clinton jadi Presiden." sebagai pernyataan sikap politiknya. Sikap egaliter media massa Amerika berkebalikan dengan media massa Indonesia. Media di Indonesia cenderung menjadi partisan suatu kelompok politik secara underground. Mereka memberikan dukungan lewat produk-produk mereka dengan framing sedemikian rupa, tapi dengan topeng netralitas pers. Arah politik pemilik perusahaan media pun seperti memberikan pengaruh pada pengambilan sudut pandang suatu media massa. Sejatinya masyarakat berhak mendapat informasi dari pers yang utuh sesuai dengan kode etik jurnalistik, bukan informasi kepentingan politik para elit. Pers yang partisan dan tidak independen adalah pembunuh senyap dari demokrasi. Pelan tapi pasti, produk jurnalistik dari pers partisan mempersempit pola pikir publik, pemecah belah masyarakat dan racun dari demokrasi itu sendiri. Seperti apa yang dikatakan Sudjiwo Tedjo “Bila datang padaku era Dwi Fungsi Jurnalis, aku tak mendengar berondongan senjata seperti saat Dwi Fungsi Tentara. aku hanya membaca, mendengar, menonton berondongan berita yang tak otakku pikir sebagai berita framing lalu lama-lama aku mati walau tanpa peluru yang bersarang di otakku.”
LAPORAN KHUSUS
FENOMENA ARTIS “NYALON”, SIASAT PARTAI POLITIK TINGKATKAN ELEKTABILITAS
Reporter : Chiara Sabrina Ayurani dan Vera Rahayu LPM NOVUM FH UNS
P
erhelatan puncak pesta demokrasi yang meliputi ajang Pemilihan Presiden (Pilpres) serta Pemilihan Legislatif (Pileg) akan diselenggarakan pada bulan April 2019. Hal yang menarik untuk diamati adalah bagaimana partai politik (parpol) saling berlomba dalam menyiapkan strategi terbaiknya agar mampu bersaing dan memperoleh suara dalam pileg. Banyak siasat yang digunakan parpol dalam menghadapi pileg mendatang. Politik pragmatis menjadi salah satu cara yang ditempuh oleh parpol untuk memperoleh dukungan masyarakat. Salah satu bentuk politik pragmatis yang banyak digunakan parpol untuk memperoleh dukungan ialah dengan memanfaatkan calon legislatif (caleg) dari kalangan artis. Maraknya artis yang banting setir ke dunia politik hingga menjadi caleg merupakan suatu fenomena tersendiri di Indonesia. Banyak parpol yang menggunakan caleg artis ini untuk meningkatkan elektabilitas partai agar lolos dari syarat empat persen Parliamentary Treshold. Hal ini didukung oleh pernyataan Drs. M. Yulianto, M.Si., dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro Semarang sekaligus pakar politik, “Itu jenis partai politik yang pragmatis, instan. Partai politik yang mencoba
untuk menyelamatkan diri dari syarat lolos empat persen Parliamentary Treshold. Supaya lolos maka dia harus memperoleh banyak kursi di Senayan.
Panutan bagi masyarakat terlepas dari pro kontranya di kehidupan artis ya. Jadi mereka memang ingin menarik massa di kelompok-kelompok tertentu untuk meraih suara. kata Budi Prasetyo Cara mendongkrak perolehan atau elektabilitas kursi ya dengan menempatkan orang-orang yang populer. Karena dengan adanya orangorang yang populer, barangkali nanti akan dipilih oleh masyarakat.” Pendapat Yulianto tersebut senada dengan pandangan M.T. Arifin, budayawan yang juga pengamat politik Solo, “Kalau partai mencoba untuk meraih dukungan dari caleg artis yang punya nama, itu strategi untuk dukung mendukung. Itu bagian dari manajemen kampanye politik, artinya mengelola bagaimana agar partai mendapat dukungan dari
kelompok-kelompok yang dianggap strategis untuk mempengaruhi pihak lain sehingga pihak lain akan memberi dukungan.”
Laporan Khusus
Strategi Partai Mengusung Caleg Artis Motif utama dari pengusungan caleg artis ini tidak lain tidak bukan adalah untuk memperoleh jumlah suara agar bisa menempati kursi legislatif. Hal ini juga didukung Budi Prasetyo S.Sos, selaku Wakil Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Pa r t a i D e m o k r a s i I n d o n e s i a Perjuangan (PDIP) kota Surakarta. “Jadi yang pertama, tentunya artis ini kan salah satunya dijadikan sebagai public figure, panutan bagi masyarakat terlepas dari pro kontranya di kehidupan artis ya. Jadi mereka memang ingin menarik massa di kelompok-kelompok tertentu untuk meraih suara.” Menurut Yulianto, pada dasarnya strategi semacam ini bukanlah suatu hal yang salah karena strategi ini merupakan manajemen dari parpol itu sendiri. Namun, Yulianto menegaskan bahwa strategi semacam ini harus
diikuti dengan kompetensi caleg artis yang memadai pula sehingga tidak m e n i m b u l k a n ke ke c e w a a n d i kemudian hari. Bekal Artis “Nyalon” Hal yang menjadi perdebatan seru ialah banyak orang di luar sana yang menganggap bahwa caleg dari kalangan artis hanya memiliki kekuatan dalam hal popularitas saja, tanpa menelisik lebih dalam apakah benar seperti itu atau tidak. Hal ini dikonfimasi oleh salah satu caleg artis dari Partai Nasional Demokrasi (NasDem), Afdhal Yusman, “Kalau menurut saya sudah benar popularitas itu salah satu keuntungan kita yang tidak dimiliki oleh caleg lain yang selain artis. Tapi bagaimana menjaga popularitas itu agar kita disukain orang gitu loh, biar kadar stabilitas kita tinggi. Popularitas itu penting tapi jangan sampai nggak paham politik.”
Foto : Dok. Pibadi Afdhal Yusman
Perlu diketahui, partai NasDem merupakan partai yang paling banyak mengusung caleg artis. Afdhal sebagai orang baru dalam dunia politik yang turut serta untuk “nyalon” sebagai anggota DPR RI Dapil IV (Karanganyar, Sragen, Wonogiri) pun
Orang-orang yang punya ideologi, punya visi misi sering terpinggirkan. Tersingkir dalam kompetisi karena mendatangkan orang-orang yang memiliki basis
popularitas semata. ujar Yulianto menjelaskan bagaimana partai NasDem memoles caleg artis yang diusungnya agar mampu bersaing dalam pileg mendatang. “Partai NasDem menyiapkan kader-kadernya dengan pembekalan politik. Memang caleg artis paling banyak dari NasDem, tapi tidak serta merta partai NasDem membiarkan artis masuk lalu sudah. Saya tahu sekali anggapan orang-orang artis itu bisa apa sih di p o l i t i k . Ta p i p a r t a i N a s D e m menyiapkan para kadernya untuk bertarung di politik pileg 2019 nanti,” jelas Aktor pemeran drama kolosal Angling Dharma tersebut. Dalam konteks perpolitikan di Indonesia, pengusungan caleg artis tentu tergantung dari strategi partai, bagaimana mereka menetapkan kriteria dan sebagainya. Sehingga keputusan mengenai dampak jangka panjang itu juga berada di tangan setiap partai yang mengusungkan caleg artis tersebut. “Nah sekarang artisnya kayak apa? Kalau artisnya itu cuma memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang seni peran, tetapi dia tidak memiliki pemikiran ke depan untuk bicara negara ya tidak akan mempengaruhi apa-apa. Tetapi kalau artis itu memiliki kemampuan, kapasitas yang tinggi untuk
Laporan Khusus
membicarakan politik ke depan ya nanti juga akan bagus gitu. Artinya tidak tergantung pada artisnya, tapi tergantung pada kapasitas dari orang per orang itu sendiri,” jelas Arifin. Dampak Pengusungan Caleg Artis Maju menjadi caleg juga membuat setiap artis yang terjun ke dunia politik mau tidak mau harus menerima risiko yang sudah ada. Artinya, mereka harus siap melepas dunia hiburan yang selama ini melekat pada kehidupan mereka demi menjadi seorang figur politik yang nantinya akan menjadi wakil rakyat. “Kalo untuk kegiatan shooting otomatis saya lepas, itu sudah risiko saya,” ucap Afdhal. Terlepas dari itu semua,
nyatanya terdapat satu hal yang tidak bisa dikesampingkan dalam fenomena ar tis “nyalon” ini. Perekrutan artis yang notabenenya merupakan kader baru dalam parpol bisa menggeser posisi kader yang sudah lama bertahan di dalam suatu parpol. “Memang risiko dari politik pragmatis instan itu orang-orang yang baik dalam konteks ini, orang-orang yang punya ideologi, punya visi misi sering terpinggirkan. Tersingkir dalam kompetisi karena mendatangkan orang-orang yang memiliki basis popularitas semata,” ujar Yulianto. Setiap hal tak akan pernah terlepas dari adanya pro dan kontra, termasuk fenomena politik pragmatis itu sendiri. Namun, perlu ditekankan bahwa dunia politik di Indonesia
bergantung pada setiap pihak yang ada di dalam negara itu sendiri. Tidak akan bisa menjadi baik selama masih ada pihak-pihak yang hanya selalu menuntut kepentingan pribadi dan rela melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Amien Supodo, SP. selaku Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Banjarsari Kota Surakarta mengatakan, “Intinya saya ingin menyampaikan, bisa jadi cara mendapatkan macam-macam dukungan itu dengan cara praktis. Cuman praktis yang kita lakukan ini harus punya dasar yang jelas, punya etika dan sebagainya. Lalu kembali kepada niat, niat kita adalah untuk kebaikan.”
Sumber Foto : Pacitanku.com
LAPORAN KHUSUS
PENCEGAHAN POLITIK UANG, BAWASLU DITUNTUT TAK HANYA "DI BELAKANG MEJA� Reporter : Annisa Fianni Sisma dan Gustaf Ardiansyah LPM NOVUM FH UNS
M
enjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, setiap proses dan tahapan Pemilu tentu tidak terlepas dari peran Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Bawaslu terbentuk sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaran Pemilu. Pasal 69 ayat (1) undangundang ini menyebutkan bahwa pengawasan penyelenggaran Pemilu dilakukan oleh Bawaslu, baik yang berada tingkat pusat hingga daerah bahkan luar negeri.
Foto : Taufiqulhidayat Khair / NOVUM
Sejarahnya, pada 1982 nomenklatur lembaga ini adalah Panitia Pengawas Pelaksana Pemilu (Panwaslak Pemilu), sebelum akhirnya ditetapkan menjadi Bawaslu. Cikal bakal terbentuknya Bawaslu dilatarbelakangi oleh protesprotes atas pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pada 1971. Saat ini, tuntutan pembentukan penyelenggara Pemilu yang bersifat mandiri dan bebas dari kooptasi
penguasa semakin menguat. Ditambah dinamika pelanggaran pemilu yang lebih canggih dan terkoordinir rapi hingga lapisan bawah membuat Bawaslu dituntut lebih aktif menangani pelanggaran pemilu seperti politik uang. Meskipun telah diatur dalam Pasal 93 huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi mencegah terjadinya politik uang, tetapi tidak dapat dipungkiri praktik politik uang masih terjadi.
Laporan Khusus
Bawaslu dan Politik Uang Menurut M. Didik Rusmaryadi, S.E., mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan, politik uang adalah segala kehendak yang dibayar menggunakan uang. Hingga kini, kasus politik uang masih saja marak, bentuknya pun semakin sulit untuk dideteksi. Bentuk dan model politik uang yang dilaksanakan pun beragam, mulai dari bentuk konvensional hingga bentuk yang lebih modern. Ada berbagai varian dalam praktek politik uang. Mulai dari pemberian uang tunai, pemberian pulsa, pembagian polis asuransi, pembagian sembako, hingga perbaikan infrastruktur publik oleh calon untuk meraih simpati konstituen menjelang pemilu yang tentu hal tersebut terlihat sah dan legal dari sudut pandang sebuah sistem. Politik uang tidak hanya dapat dimaknai pada masa kampanye, tetapi dapat dilakukan sebelum masuknya masa kampanye terlebih setelah diumumkannya Daftar Calon Tetap (DCT). Tentu terlalu sempit jika
mengartikan politik uang hanya berlangsung pada saat ditetapkannya jadwal kampanye. Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FH UNS) Jadmiko Anom Husodo, S.H.,M.H. mengibaratkan bahwa politik uang seperti berlomba mencari celah. Hukum selalu berkembang dibelakang dinamika masyarakat. Pendapat dari Jadmiko didukung kompatriotnya sesama Dosen FH. Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum, Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH UNS mengatakan, “Sistem pemilu kita itu brutal, memancing produk yang corr upt. Sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Pertama, memaksa setiap kader partai bersaing dengan kader partai yang lain. Kedua, memaksa kader partai yang sudah ditetapkan sebagai caleg harus berkompetisi dengan kader lain menghadapi masyarakat. Ketiga, tidak ada jaminan ideologis dari nasional yang bisa mengikat antara kandidat dengan pemilih, kecuali loyalitas personal yang dibangun dengan vote buying.�
Beberapa faktor tersebut merupakan faktor yang membuat masih diterapkannya politik uang sebagai strategi politik.
Tuntutan Aktif Bawaslu Awasi Politik Uang Sebagai lembaga pengawas, Bawaslu dituntut untuk lebih berperan aktif dan cermat dalam mendeteksi politik uang dalam bentuk lain, penindaklanjutan temuan dan laporan, sekaligus melakukan pengawasan. Alfian Bagaswara, Mahasiswa FH UNS angkatan 2015 berharap agar Bawaslu lebih tanggap dan tidak hanya menunggu datangnya laporan, baginya penanganan kasus seperti itu bukanlah penanganan yang progresif. Terkait hal ini, perlu adanya inovasi penegakkan hukum dan pengawasan oleh Bawaslu. Meskipun ketersediaan jumlah anggota Bawaslu yang terbatas di setiap daerahnya, tetapi hal ini diharapkan tidak menunjukan sikap pasif Bawaslu karena menerima laporan dari masyarakat saja. Menanggapi situasi tersebut, Isnawati Sholihah, ST. MH., selaku a n g g o t a B a w a s l u Wo n o g i r i
Laporan Khusus
mengatakan bahwa Bawaslu sedang melakukan pengawasan partisipatif. “Bagaimanapun caranya kami sosialisasi sebanyak mungkin sampai ke lini paling bawah, yaitu melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan menyampaikan apa yang dimaksud money politic, pidananya, termasuk batasan saat kampanye. Kami sedang gencar melakukan pengawasan partisipatif,” tuturnya. Terkait prosedur pelaporan, dibutuhkan kelengkapan atas laporan tersebut. Poppy Kusuma Nataliza Wijaya, S.H., selaku anggota Bawaslu Surakarta mengatakan, laporan dapat dikatakan lengkap apabila berisi saksi, bukti, identitas pelapor dan pelaku. Selain laporan yang lengkap, pelapor dituntut untuk bekerja lebih cepat dalam prosedur pembuktiannya. Laporan yang diterima dari masyarakat bisa ditindaklanjuti jika tidak lebih dari 7 hari sejak diketahui adanya politik uang. “Hari ke-7 adalah batas akhir bisa melaporkan. Kalau melaporkan pada hari ke-8, masuknya kadaluarsa dan tidak bisa ditindaklanjuti,” tambah Isnawati. Hal
ini lantas membuat sebagian besar kasus politik uang tidak ditindaklanjuti apabila pelapor tidak mampu memberi bukti dalam waktu sesingkat itu. Menanggapi hal tersebut, Isnawati menekankan bahwa Bawaslu tidak menutup kemungkinan laporan yang meskipun tidak menyertakan bukti akan ditindaklanjuti. Kesediaan pelapor untuk membantu Bawaslu
ucap Isharyanto memenuhi syarat formil dan materiil, akan menjadi langkah awal penindaklanjutan pelanggaran.
Harapan Untuk Bawaslu Hal terpenting dari pelanggaran pemilu adalah pencegahan. Pencegahan menjadi usaha yang mestinya dilakukan dengan maksimal. Pencegahan yang dilakukan haruslah mencakup seluruh elemen masyarakat khususnya masyarakat desa. Pendidikan politik dan hukum jelas diperlukan untuk menekan terjadinya pelanggaran. Seperti yang dituturkan
oleh Jadmiko, sebagian dari kelompok masyarakat masih mudah dan mau dikendalikan oleh uang. Solusi dari Bawaslu terkait permasalahan tersebut yakni melakukan workshop dan dialog interaktif di radio, sosialisasi, dan gerakan relawan partisipatif di SMA dan SMK. Hal tersebut bertujuan agar pemilih pemula menjadi delegasi Bawaslu untuk memberikan informasi terkait politik uang. Bawaslu yakin informasi sekecil apapun akan berpengaruh kepada kebijakan dan pelaksanaan pemilu lainnya. Menanggapi situasi ini, Isharyanto mengatakan deteksi Bawaslu hanyalah pada pelaku, sementara dalam pelaksanaannya, pelaku bisa memelihara broker dengan jabatan resmi atau orang yang sengaja yang menjadi perantara vote buying. “Pemilu harus dipikirkan dengan baik, sebaiknya menggunakan hak pilihnya. Kedepannya Bawaslu harus membuat pola kerja yang memungkinkan dia responsif, yang output-nya sebetulnya adalah desain undang-undang,” tutupnya.
Foto : Azalia Deselta / NOVUM
LAPORAN KHUSUS
KEMBALINYA HAK POLITIK EKS TAPOL PKI Reporter : Dinda Nisa El Salwa dan Fatma Fitrianuari Fatima LPM NOVUM FH UNS
Ilustrasi oleh M Satria Praja P
Laporan Khusus
Pemutaran Film G30S/PKI di depan Masjid Nurul Iman Kalitan
Foto : Jastrian Renskyrio / NOVUM
S
eseorang ditangkap, ditahan, diadili dan kemudian dihukum adalah hal yang wajar terjadi dalam suatu negeri yang menganut prinsip-prinsip rule of law. Akan tetapi, persoalan menjadi lain ketika seorang ditangkap, dipenjara, lalu dipisahkan dari lingkungan sosialnya hanya karena perbedaan berpikir dan gagasan. Kondisi inilah yang dialami oleh tahanan politik (tapol) Partai Komunis Indonesia (PKI), Mereka ditangkap dan diasingkan tanpa pernah melalui proses peradilan. Hal itu terjadi karena adanya pemberontakan yang diduga dipimpin oleh PKI pada 30 September 1965. Orang-orang yang diduga PKI disiksa, dibunuh, dan diasingkan tanpa proses peradilan oleh orang-orang tak bertanggungjawab. Tuduhan mereka pun samar karena tidak ada bukti yang mengarah langsung mereka terlibat dalam pemberontakan itu. Kondisi dan situasi beberapa daerah menjadi kacau ketika pemberontakan 30 September 1965 atau yang kita kenal G30S. “Bapak saya hilang ngga tau kemana, saya dan adik bersama ibu kabur ke Jakarta karena di rumah banyak yang datang. Semua harta benda disita. Akhirnya saya terpisah dari ibu dan kakak. Ngga ada keluarga yang mau membantu karena situasinya ngga memungkinkan,” ujar Ribka Tjiptaning, selaku Ketua Umum DPR RI Komisi IX, anak dari R. M. Soeripto
Tjondro S. yang merupakan anggota PKI. Jaman pemerintahan Orde Baru anggota PKI atau yang terduga terlibat G30S ditangkap dan dijadikan tapol. Hak-hak mereka dicabut sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 28 Tahun 1975. Para keluarga pun ikut merasakan dampaknya. Selain mereka tidak dapat mengakses hak politiknya dan identitas atau kewarganegaraan mereka dicabut, mereka juga diasingkan dari lingkungannya, didiskriminasi, ditangkap dan dihakimi oleh masyarakat. “Ibu saya, sebagai anak eks-tapol, dia di masa mudanya sangat kesulitan untuk bersosialisasi karena stigma sosial yang telah terbentuk. Dia juga tidak bisa mendaftar kerja ke institusi negeri karena status ayahnya.” Hal ini disampaikan oleh Dhianita Kusuma Pertiwi yang merupakan cucu Anggota PKI.
Diskusi Mengenai Komunisme Dilarang Diskriminasi juga terjadi di lingkungan pendidikan dan sosial dimana pembahasan mengenai komunisme dianggap tabu dan terlarang bahkan di lingkungan
k a m p u s s e k a l i p u n. A k i b a t n y a pemerintah dianggap belum mampu mewadahi kebebasan berekspresi karena dalam beberapa kasus ruangruang seminar publik yang diadakan dalam lingkup akademisi justru dibubarkan. “Negara takut akan hal yang tidak jelas. Seperti anak kecil yang takut gelap. Apa yang ditakuti dari komunisme? toh negara-negara komunis juga sudah tidak ada. Saya pernah diundang seminar sejarah tetapi seminarnya dibubarkan karena diduga penyebaran komunisme. Nah yang kaya gini jangan.” Ujar Prof. Dr. Warto, M.Hum selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan Dosen Sejarah di Universitas Sebelas Maret. Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah mulai memberikan perhatian kepada korban G30S termasuk orang-orang yang diduga terlibat dengan peristiwa pemberontakan G30S. Langkah yang cukup besar pernah diambil oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjabat menjadi Presiden. Pada tahun 2000 beliau berencana mencabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor XXV Tahun 1966, khususnya tentang Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Gus Dur juga menyatakan permintaan maaf kepada korban peristiwa 1965.
Laporan Khusus
S
eseorang ditangkap, ditahan, diadili dan kemudian dihukum adalah hal yang wajar terjadi dalam suatu negeri yang menganut prinsip-prinsip rule of law. Akan tetapi, persoalan menjadi lain ketika seorang ditangkap, dipenjara, lalu dipisahkan dari lingkungan sosialnya hanya karena perbedaan berpikir dan gagasan. Kondisi inilah yang dialami oleh tahanan politik (tapol) Partai Komunis Indonesia (PKI), Mereka ditangkap dan diasingkan tanpa pernah melalui proses peradilan. Hal itu terjadi karena adanya pemberontakan yang diduga dipimpin
Keluarga Anggota PKI pun Terkena Dampaknya oleh PKI pada 30 September 1965. Orang-orang yang diduga PKI disiksa, dibunuh, dan diasingkan tanpa proses peradilan oleh orang-orang tak bertanggungjawab. Tuduhan mereka pun samar karena tidak ada bukti yang mengarah langsung mereka terlibat dalam pemberontakan itu. Kondisi dan situasi beberapa daerah menjadi kacau ketika pemberontakan 30 September
Pemutaran Film G30S/PKI di depan Masjid Nurul Iman Kalitan
Foto : Alfian Ghaffar / NOVUM
1965 atau yang kita kenal G30S. “Bapak saya hilang ngga tau kemana, saya dan adik bersama ibu kabur ke Jakarta karena di rumah banyak yang datang. Semua harta benda disita. Akhirnya saya terpisah dari ibu dan kakak. Ngga ada keluarga yang mau membantu karena situasinya ngga memungkinkan,” ujar Ribka Tjiptaning, selaku Ketua Umum DPR RI Komisi IX, anak dari R. M. Soeripto Tjondro S. yang merupakan anggota PKI. Jaman pemerintahan Orde Baru anggota PKI atau yang terduga terlibat G30S ditangkap dan dijadikan tapol. Hak-hak mereka dicabut sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 28 Tahun 1975. Para keluarga pun ikut merasakan dampaknya. Selain mereka tidak dapat mengakses hak politiknya dan identitas atau kewarganegaraan
“
mereka dicabut, mereka juga diasingkan dari lingkungannya, didiskriminasi, ditangkap dan dihakimi oleh masyarakat. “Ibu saya, sebagai anak eks-tapol, dia di masa mudanya sangat kesulitan untuk bersosialisasi karena stigma sosial yang telah terbentuk. Dia juga tidak bisa mendaftar kerja ke institusi negeri karena status ayahnya.” Hal ini disampaikan oleh Dhianita Kusuma Pertiwi yang merupakan cucu Anggota PKI. Diskriminasi juga terjadi di lingkungan pendidikan dan sosial dimana pembahasan mengenai komunisme dianggap tabu dan terlarang bahkan di lingkungan k a m p u s s e k a l i p u n. A k i b a t n y a pemerintah dianggap belum mampu mewadahi kebebasan berekspresi karena dalam beberapa kasus ruangruang seminar publik yang diadakan dalam lingkup akademisi justru
“
Negara takut akan hal yang tidak jelas. Seperti anak kecil yang takut gelap. Apa yang ditakuti dari komunisme?
LAPORAN KHUSUS
Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Demokrasi di Indonesia Reporter: Azalia Deselta dan Bidari Aufa S
Ilustrasi oleh Fara Novanda
Laporan Khusus
N
etralitas bukan menjadi kata yang sering kali merujuk pada d e m o k r a s i . Pa s a l n y a , penyelenggaraan demokrasi identik dengan kebebasan untuk berpendapat dan mengeluarkan pikiran. Arti netralitas menurut Dwi Ariyatno selaku Sekretaris Badan Kepegawaian Negara Kota Surakarta, “Netral itu porsinya tidak berpihak, tidak mendukung, dan tidak berafiliasi terhadap kelompok, golongan, atau partai politik, apapun bentuknya. Apakah itu produk kebijakan, simbol (atribut tertentu), ataupun kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kelompok atau golongan tertentu yang terkait dengan politik.” Pendapat Dwi didukung dengan Surat Edaran No 800/5061/2017 tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintahan Kota Surakarta. Kenyataannya, tidak semua Warga Negara Indonesia (WNI) memiliki kebebasannya karena telah diikat oleh Peraturan PerundangUndangan. WNI tersebut ialah Aparatur Sipil Negara (ASN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (Polri), dan Badan Intelijen Negara (BIN). ASN diatur dalam Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. TNI dan Polri diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan BIN diatur dalam UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Menurut UU No 5 Tahun 2014 Pasal 1 Ayat (1), ASN merupakan profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Sedangkan TNI, Polri, dan BIN adalah alat negara yang ber tugas untuk menjaga keamanan negara. Aturan tersebut membuat netralitas TNI, Polri, dan BIN menjadi mutlak. Artinya mereka tidak boleh terjun ke dunia politik (berpolitik praktis) dan tidak memiliki hak suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Sama halnya dengan ASN, mereka juga tidak boleh berpolitik praktis, namun memiliki hak suara dalam Pemilu.
Realita Netralitas ASN dalam Berdemokrasi Pe r a t u r a n Pe r u n d a n g undangan yang bersifat mengikat tersebut ternyata tidak disambut hangat oleh beberapa ASN. Pernyataan tersebut didukung dengan salah satu contoh kasus yang ditemukan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri pada Pemilihan Kepala Daerah gubernur Jawa Tengah tahun 2018. Kasus tersebut ialah ASN di Kecamatan Baturetno yang tidak netral. Dalam hal ini terdapat pelanggaran oleh beberapa PNS antara lain Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usazha Mikro Kecil dan Menengah Kabupaten Wonogiri, Camat Baturetno, Kepala Pasar Sukarno di Baturetno, dan beberapa Staf PNS Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang saat itu mendukung pasangan gubernur dengan nomor urut 1. Pelanggaran terjadi karena mereka mengikuti keberjalanan kampanye, kebetulan ada anggota Panwaslu Baturetno dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Wonogiri yang hadir dalam kegiatan untuk melakukan pengawasan sehingga mereka langsung merekam kejadian dan ditindaklanjuti dengan melakukan kajian dan mengumpulkan unsur-unsur (alat bukti, saksi, terlapor, dan pelapor). Panwaslu juga melalukan klarifikasi terhadap beberapa orang yaitu Panwaslu Baturetno yang melakukan kegiatan pengawasan bersama PPL (Pengawas Pemilu Lapangan). Klarifikasi dikembangkan ke pelapor dengan melihat unsurunsur. Kajian tersebut dibahas oleh Sentra Gakkumdu (Sentra Penegak Hukum Terpadu) yang beranggotakan Panwaslu, Polisi, dan Kejaksaan. Kasus ini secara langsung berhenti karena kurangnya satu unsur tindak pidana pemilu yaitu harus ada hubungan sebab akibat yang menguntungkan atau merugikan para ASN terhadap pasangan calon. Namun
Panwaslu juga mempunyai hak untuk merekomendasikan jeratan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur hal serupa. Sehingga dari Bawaslu merekomendasikan 3 orang ASN yaitu Kepala Dinas, Kepala Pasar, dan Camat Baturetno kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (Komisi ASN) sebagai bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang No 5 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai N e g e r i S i p i l s e r t a Pe r a t u r a n Pemerintah No 42 Tahun 2004 Pasal 11 Huruf c tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Selain itu, rekomendasi juga di kirim ke Bupati Wonogiri sebagai penanggungjawab ASN tersebut. Komisi ASN telah melakukan rekomendasi yang dikirim, sehingga keputusan terakhir berada pada Bupati. Melihat realita di lapangan, membuat pelaksanaan demokrasi di Indonesia menjadi lebih buruk karena pelaksaan tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Isnawanti Sholihah selaku Koordinator Organisasi dan Sumber Daya Manusia Bawaslu Wonogiri, “Sebenarnya netralitas ASN bukan mengganggu karena telah diatur oleh UU kayak Polri dan TNI juga diatur UU, namun mereka tidak punya hak pilih. ASN memiliki hak pilih tetapi masih dibatasi oleh UU dalam melakukan kegiatan berpolitik karena dikhawarikan para ASN kalau tidak dibatasi netralitasnya maka bukan tidak mungkin seperti orde baru dapat terjadi (kembali).” Dinding Tipis antara PNS dan Hak Politik sebagai Warga Negara PNS akrab dengan pakaian rapi dengan warna senada. Fakta tersebut selaras dengan kedudukannya sebagai abdi negara yang berarti mempunyai tugas pokok untuk melayani masyarakat. Mereka dituntut untuk sigap dalam meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
Laporan Khusus dipersembahkan untuk masyarakat. Namun di balik itu, mereka juga bisa memakai pakaian santai dengan aneka ragam warna yang menandakan bahwa PNS memiliki peran ganda selain sebagai pelayan masyarakat. Peran lain PNS adalah menjadi warga Negara pada umumnya. Artinya, di luar jam kerja mereka adalah masyarakat biasa. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka juga memiliki hak suara dalam berpolitik, meskipun tidak diperkenankan berpolitik praktis. Bagai buah simalakama, PNS diberikan hak pilih dan juga harus selalu menjaga kenetralitasannya. Bahkan Dwi mengakui bahwa untuk bersikap benar-benar netral adalah suatu hal yang sangat sulit dilakukan. “Kita sebagai pribadi punya hak suara yang saat ini menjadi lebih sulit ketika
membedakan antara identitas. Kita seorang PNS itu juga seorang warga negara. Batasannya menjadi sangat tipis ketika kita berpendapat itu atas nama siapa (sebagai PNS atau warga negara),” tuturnya. Menanggapi hal tersebut, Adriana Grahani Firdausy selaku akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) turut menyumbangkan pandangannya, “Netralitas itu sendiri bukan berarti diam membiarkan. Karena netral itu, sebagai amanat akademisi juga harus berperan untuk meng-clear-kan manakala terjadi hoaks yang tersebar di media sosial.” Maka dari itu diperlukan data yang valid untuk meluruskan hoaks yang terjadi, tidak peduli siapa pasangan calon (paslon) yang terkena berita bohong tersebut, apakah paslon yang
suatu saat dipilih atau tidak dipilih. S e h i n g g a ke n e t r a l i t a s a n P N S (terutama akademisi) masih dapat terjaga, begitu Adriana menambahkan. Sebagai wakil mahasiswa, Muhammad Shidiq Fathoni selaku Menteri Kementerian Luar Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (BEM FISIP) UNS 2018 juga memberikan solusi agar peran PNS dan warga negara bisa ditangani sehingga dapat mencapai demokrasi yang berkualitas. “Perlu ada namanya pendidikan, kalau terkait netralitas maka harus ada politik literasi yang memang membuat ASN atau siapapun lebih melek politik. Juga adanya peraturan yang jelas sehingga tidak menimbulkan multi tafsir.”
Sumber : Tim Lensa Majalah/NOVUM
Celetuk Si Hakim
PEMILU AJANG SALING SINDIR? Oleh : Neiska Aranafta N beberapa pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang cukup banyak dan detail. Sehingga partai politik harus benarbenar memperhatikan setiap syaratnya dengan teliti untuk menghindari terjadinya kesalahan. Mungkin karena banyaknya persyaratan inilah yang memunculkan pemikiran bahwa syarat yang ada terlalu memberatkan partai politik. Menanggapi sindiran yang disampaikan tersebut, Oesman Sapta Odang yang merupakan Ketua Umum Partai Hanura membalas sindiran tersebut saat gilirannya menyampaikan sambutan. Oesman mengaku takjub dengan semangat dan keberanian para politisi muda. Akan tetapi, dia juga mengingatkan bahwa para senior jauh lebih berpengalaman di bidang politik.
“
Juga anak-anakku pejuang yang baru saja muncul. Saya bangga sama kalian. Tetapi, jangan mengajari bebek berenang, - kata Oesman.
“
P M
emilihan Umum (Pemilu) yang akan dilangsungkan pada 2019 mendatang menjadikan tahun 2018 dan 2019 menjadi tahun politik yang cukup panas. Masyarakat, bahkan para politisi menjadi sangat sensitif jika topik Mengenai Pemilu mulai naik ke permukaan. Muncul argumen saling menyindir yang berbau provokasi untuk memancing lawan politiknya masingmasing. Salah satu yang menjadi sorotan media yaitu aksi saling sindir yang dilakukan oleh para petinggi partai. Grace Natalie seorang politisi muda yang juga Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) beberapa waktu lalu mengungkapkan sindiran tajam dalam sambutan pengundian dan penetapan nomor urut partai peserta Pemilu 2019, di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sindiran ini nampaknya ditujukan kepada para senior yang duduk di kursi parlemen mengenai persyaratan yang sangat berat bagi partai baru calon peseta Pemilu 2019. “Persyararatan mahaberat yang dibuat para senior di parlemen berhasil kami patahkan, akhirnya kami berhasil menjadi peserta pemilu,” ungkap Grace yang saat itu disambut riuh pendukungnya. Walaupun pernyataan Grace Natalie seolah menyalahkan para senior di parlemen yang membuat aturan mengenai persyaratan tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyaknya syarat yang ada membuat beberapa partai baru menjadi sulit untuk berkembang. Seperti PSI yang membutuhkan usaha selama 3 tahun hingga berhasil menjadi partai peserta pemilu di tahun mendatang. Persyaratan partai politik untuk menjadi partai peserta Pemilu 2019 seperti yang sudah diatur dalam
“Jadi, boleh-boleh saja semangatnya begitu tinggi. Tetapi, umur kami ini sudah lewat jam terbangnya. Jadi, tidak perlu lagi kami diajari,” sambungnya. Tanggapan yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Hanura tersebut kiranya dapat menimbulkan berbagai persepsi bagi yang mendengarnya. Oesman seolah menyampaikan secara tersirat bahwa apa yang sudah dilakukan oleh para senior di parlemen sudah benar dan tidak perlu diberitahu lagi. Sindiran dibalas sindiran seolah tidak ada habisnya. Padahal kritikan-kritikan yang disampaikan oleh para politisi muda
juga perlu di dengar guna membangun politik yang lebih baik di masa mendatang. Jika dalam menyampaikan kritik saja sudah dijegal bagaimana para politisi muda bisa membangun politik bangsa. Meskipun terkadang dalam menyampaikan kritikannya para politisi muda ini cenderung menggebugebu sehinngga terkesan mendikte para senior, tetapi hal ini harus ditanggapi dengan kepala dingin. Pemikiran para politisi senior yang terkadang masih kolot ini seolah
Celetuk Si Hakim
Foto Dokumentasi KPU Kota Surakarta
memandang jika para politisi muda belum cukup pengalaman. Hal tersebut justru akan menjadi bumerang saat mengambil kesimpulan terlalu cepat atas suatu hal. Sedangkan pemikiran para politisi muda yang cenderung lebih modern selalu menginginkan agar suatu hal tidak perlu dibuat menjadi sulit jika ada jalan yang lebih mudah. Saling egois ingin menang sendiri, merasa pemikiran yang mereka miliki merupakan yang terbaik untuk dijalankan merupakan intisari
permasalahan ini. Benturan pemikiran semacam ini jika terus berlanjut tanpa adanya p e n y e l e s ai an y an g j e l as ak an berdampak pada roda politik di Indonesia. Akan selalu terjadi tindakan saling sindir yang dilakukan saat ada perbedaan pendapat terhadap suatu hal. Mengakibatkan kacaunya suasana politik yang ada. Tidak memberikan solusi malah hanya menimbulkan perpecahan. Bukan tidak mungkin akan memunculkan golongan tua dan
golongan muda dalam ranah politik seperti apa yang terjadi pada zaman sebelum kemerdekaan. Berjalan dan belajar bersama mencari solusi terbaik untuk menjalankan politik di Indonesia dengan saling menyampaikan pemikirannya melalui musyawarah merupakan jalan yang dikiranya tidak akan menyebabkan perpecahan di kemudian hari.
Komik
Tahukah Kamu
SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA, PRESIDEN DARURAT RI YANG TERLUPAKAN ungkin masih banyak diantara kita yang beranggapan bahwa Indonesia hingga saat ini telah dipimpin oleh tujuh Presiden, yaitu Ir. Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, K.H. Abdurrahman Wa h i d ( G u s D u r ) , M e g a w a t i Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Presiden Ir. Joko Widodo. Anggapan yang selama ini berkembang ternyata keliru menurut catatan sejarah, hingga saat ini sebenarnya sudah dipimpin oleh delapan presiden. Sjafruddin Prawiranegara adalah Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Presiden Soekarno dan wakilnya Moh. Hatta ditangkap Belanda pada awal agresi militer kedua tanggal 19 Desember 1948, di Ibukota Negara
M
kala itu Yogyakarta. Tak lama setelah itu Belanda juga menggempur Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat, yang pada saat itu dijadikan Ibukota alternatif jikalau Yogyakarta juga lumpuh. Kondisi itu dianggap darurat maka diadakan Sidang kabinet di Yogyakarta dan menghasilkan dua putusan. Pertama, Soekarno dan Moh. Hatta tetap tinggal di Yogyakarta meski menghadapi risiko penangkapan. Kedua, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera untuk membentuk Pemerintah Republik Darurat. Belanda berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh. Hatta, dan para pimpinan Indonesia lainnya tidak lama setelah rapat digelar untuk kemudian akan diasingkan ke Pulau Bangka. Soekarno-Hatta mengirimkan telegram berbunyi, “Kami, Pr e s i d e n Re p u b l i k Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu Ko t a J o g j a k a r t a . Djika dalam k e a d a a n pemerintah tidak d a p a t mendjalankan ke w a j i b a n n j a lagi, kami menguasakan k e p a d a M r. Sjafruddin Prawiranegara, M e n t e r i
Oleh Kurnia Larasati
Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera.� Akhirnya, pada 22 Desember 1948 Pemerintahan Darurat Repbulik Indonesia (PDRI) diproklamirkan dan Sjafruddin menjadi pemimpinnya. Ia dibantu oleh anggota kabinet diantaranya T.M. Hasan sebagai Wakil Ketua PDRI merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri/Menteri PKK/Menteri Agama, Sutan Moh Rasjid sebagai Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan,Pemuda, Lukman Hakim segabai Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan, dan Ir. Indracaya sebagai Menteri perhubungan/Menteri Kemakmuran. Sementara Jenderal Sudirman tetap menjadi Panglima Besar Angkatan Pe r a n g . S e t e l a h p e n g u m u m a n tersebut, Sjafruddin dan sebagian besar anggota kabinet berpindahpindah tempat untuk menghindari kejaran pasukan Belanda. PDRI saat itu menjadi musuh yang paling dicari oleh Belanda. Semua tokoh-tokohnya hingga sampai harus bermalam di hutan rimba untuk menghindarkan diri dari serangan Belanda. Demi memperlihatkan bahwa pemerintahan RI masih eksis, pada 23 Desember 1948, Sjafruddin berpidato melalui radio yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia dan pasukan TNI. Perjuangan mereka ternyata membuahkan hasil. Pada pertengahan tahun 1949, posisi Belanda semakin terjepit karena agresi besar-besaran yang diluncurkan ke Indonesia mendapat kecaman internasional. Mereka tidak pernah berkuasa penuh, dan akhirnya Belanda memilih berunding dengan utusan SoekarnoHatta yang saat itu masih berstatus tawanan. Akhirnya perundingan menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Setelah perjanjian itu Sjafruddin kemudian mengembalikan pemerintahan kembali kepada Ir Soekarno pada 13 Juli 1949.
Profil
Foto Dokumentasi KPU Kota Surakarta
BAPAK SOLO RAMAH DEMOKRASI Oleh : Christy Ayu Saputri
P
emilu boleh jadi merupakan
dan partisipasi dari masyarakat
sebagai ketua Komisi Pemilihan
salah satu perwujudan asas
menjadi alasan yang utama dalam
Umum (KPU). Memiliki latar
kedaulatan di tangan rakyat.
berjalannya proses pemilu yang
belakang pendidikan ekonomi tidak
Namun keberhasilan atas hasil yang berkualitas dari pemilu yang
membuat bapak dari dua orang anak
demokratis. Begitu juga yang dirasakan
bernama Hanania Mumtaz dan
demokratis tak lepas dari indikator
oleh Agus Sulistyo, siapa sangka
Qanita Silmi Kaffah ini minder untuk
partisipasi masyarakat, begitu pula
sosok kelahiran Boyolali dengan
menjalani serangkaian tes untuk terjun dalam dunia politik.
dukungan dan kerja keras dalam
predikat Sarjana Ekonomi dan
penyelenggaraan. Masyarakat juga
Magister Manejemen ini mampu
melakukan pengawasan dan
menuai
ke b e r h a s i l a n
dalam
Selama ada jalan dan mau belajar hal yang baru, menurutnya
proses
penyelenggaraan pemilu yang
perkerjaan yang memang bertolak
berjalannya pemilu. Selain itu peran
demokratis pada 2017-2018 silam
belakang dengan latar belakang
pemantauan
dalam
Profil
pendidikannya ini menjadi sebuah
dapat menghasilkan hasil pemilu
tantangan yang menarik bagi Agus
yang berkualitas.
Sulistyo. Selain tantangan beliau
Meskipun memang kultur
juga menganggap terjun ke dunia
partisipasi politik masyarakat solo
politik merupakan ladang mencari
sendiri yang memang cukup tinggi,
amal asal kita berani menjadi pribadi
dan budaya politik demokrasi yang
yang jujur. Beliau juga memiliki
sudah dewasa menjadi salah satu
rencana
faktor keberhasilan pemilu pada
untuk
menuruskan
pendidikannya ke strata yang lebih tinggi yaitu S3 dan masih dalam linear ekonomi sama seperti pendidikan sebelumnya. Beliau juga membagikan beberapa
tips
dalam
keberhasilannya menjadi ketua KPU selama dua periode. salah satunya merupakan festival ataupun pawai dalam rangka sosialisasi menarik perhatian masyarakat untuk memberikan partisipasinya dalam kegiatan penyelenggara pemilu. Disisi
lain
bertujuan
agar
masyarakat menggunakan haknya untuk memilih secara maksimal dalam memilih ser ta untuk menghasilkan
pemilu
yang
berkualitas.
waktu itu tambahnya.
“Solo Ramah Demokrasi”
merupakan salah satu program yang di keluarkan beliau ketika menjabat menjadi ketua KPU pada tahun 2017, dengan harapan masyarakat Solo mampu menjunjung tinggi demokrasi yang ramah. Beliau juga
Tak tanggung–tanggung menarik
partisipasi
Sehingga kegiatan penyelenggaraan
menggandeng beberapa komunitas
pemilu menurutnya tidak hanya
untuk berkerjasama diantaranya
merupakan ajang pemilihan calon
komunitas diafabel, komunitas
legislatif, calon Gubernur, Bupati
pemilih
atau ajang pemilihan jabatan politik
pemula,
ko m u n i t a s
perempuan serta komunitas marjinal
di tingkat tertentu. Namun,
dalam
bagaimana masyarakat dapat
mengupayakan
meningkatkan
partisipasi
menggunakan haknya secara
harapannya
maksimal dalam penyelenggaraan
masyarakat dapat memaksimalkan
pemilu dan menjadikan pemilu
masyarakat.
hak-hak untuk memillih serta dalam
sebagai wadah aspirasi dan
pemilu.
partisipasi perwujudan kedaulatan
Kini setelah dua kali untuk
Beliau berujar “Demokrasi yang berkualitas itu demokrasi yang memiliki ciri dewasa dan mampu memilah dan memilih, lalu tingkat partisipasi dan kesadaran yang tinggi atas pemilu,”
menjabat menjadi ketua pemilihan umum Agus Sulistyo telah resmi
rakyat.
Harapan baru sekarang berada di depan mata, Pemilu
Sulistyo
diangkat menjadi anggota Badan
mengeluarkan sayembara Tempat
Pengawas Pemilihan Umum atau
tantangan
Pemungutan Suara (TPS) yang unik
sering dikenal dengan BAWASLU
penyelenggara dan pengawas dalam
masyarakat
Agus
2019 nampaknya merupakan yang
berat
bagi
dan menarik. Selain itu ia
pada tanggal 15 Agustus 2018.
melaksanakan jalannya proses
memberikan hadiah seekor kambing
Namun,
Pemilu serentak di berbagai daerah
terdapat
beberapa
untuk sedikitnya 336 TPS pada
peninggalan selama beliau menjabat
tingkat partisipasi masyarakat di
menjadi ketua KPU salah satunya
“Hasil yang diluar
literatur dalam perpustakaan KPU
dugaan dan melampaui target,” ujar
yang dapat dipelajari dan dikunjungi
beliau.
oleh anak SD, SMP, SMA maupun
atas 80%.
Pemberian tersebut
merupakan salah satu bentuk
Mahasiswa,
serta
beberapa
apresiasi kepada sejumlah TPS dan
karangan buku seperti demokrasi,
merupakan salah satu upaya
dan buku 17 indikator mencapai
menekan angka golput sehingga
ramah demokrasi.
di Indonesia.
“Pemilu 2019 adalah gerbang utama untuk era konsolidasi dan demokrasi yang berkualitas.”
HUKUM KITA
PKPU KONTROVERSI MENJELANG PEMILU Oleh : Amalia Rahma Hafida
Foto Dokumentasi KPU Kota Surakarta LPM NOVUM FH UNS
ketentuan yang lebih tinggi tingkatanya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Namun, PKPU tersebut bertentangan
telah membuat Peraturan Komisi
dengan Undang-Undang dan putusan
C
Putusan MA dalam pasal 240 ayat (1) huruf g Mantan narapidana yang sudah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih dapat mencalonkan diri sebagai calon legislatif dengan syarat telah mengakui perbuatannya kepada masyarakat.
calon legislatif yang ditentukan oleh KPU
alon legislatif (Caleg) yang merupakan objek pemilihan dalam pemilu mulai dipertanyakan kreadibilitasnya oleh masyarakat, lantaran banyak mantan narapidana koruptor yang kembali mencalonkan diri sebagai caleg. Tidak ada aturan perundang-undangan atau yang setingkat diatasnya yang melarang narapidana koruptor menjadi calon legislatif. Hal ini menjadi pertanyaan bagi sebagian masyarakat bagaimana seorang narapidana koruptor yang telah banyak merugikan keuangan negara dapat mencalonkan diri sebagai caleg.
namun tidak ada peraturan perundangundangan yang mengaturnya. Hal ini menjadi tanda tanya, apakah benar bahwa kewenangan KPU dalam membentuk peraturan tersebut sudah sesuai dengan tupoksinya sebagai penyelenggara pemilu. Selain itu adanya PKPU sendiri merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan, sehingga Peraturan KPU tidak boleh bertentangan dengan
Pemilihan Umum Republik Indonesia
Mahkamah Agung (MA) dalam pasal 240
(PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Pada bab
ayat (1) huruf g, yang menjelaskan bahwa
II Pengajuan pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor
mantan narapidana yang sudah menjalani
20 Tahun 2018 bagian kesatu tentang
masa hukuman selama lima tahun atau
pengajuan bakal calon: “Dalam seleksi
lebih dapat mencalonkan diri sebagai calon
bakal calon secara demokratis dan terbuka
legislatif dengan syarat telah mengakui
sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
perbuatannya kepada masyarakat.
tidak menyertakan mantan terpidana
Beberapa kalangan setuju akan
bandar narkoba, kejahatan seksual
adanya peraturan ini, akan tetapi
terhadap anak, dan korupsi.�
pencabutan hak-hak tertentu bagi
Di sisi lain terhadap peraturan
masyarakat untuk mendapatkan hak
terkait mantan napi korupsi dilarang
politik yang sama dimana semua
mengajukan diri sebagai bakal calon
masyarakat bebas memilih dan dipilih. Hal
legislatif memang perlu dilakukan sebagai
ini juga menjadi polemik bagi sebagian
antisipasi terhadap pengulangan tindak
masyarakat yang lain karena pencabutan
pidana atau recidive yang berpotensi
hak-hak politik tersebut tentu melanggar
merugikan negara. Selain itu, untuk
hak asasi manusia yang telah dijamin oleh
mempertegas bahwa negara sangat
negara yang tertera pada Undang-Undang
menentang adanya korupsi dan sebagai
Dasar Negara Republik Indonesia tahun
hukuman yang dapat membuat jera bagi
1945 pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
pihak-pihak yang melakukan korupsi.
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Muncul per tanyaan apabila
Manusia “Setiap warga negara berhak
peraturan terkait kriteria penentuan bakal
untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
Hukum Kita
umum berdasarkan persamaan hak
termasuk
membuat
yang sesuai dengan PKPU Nomor
melalui pemungutan suara yang
ketentuan pengajuan bakal calon
20 tahun 2018 tetapi diloloskan
langsung, umum, bebas, rahasia,
legislatif.
dalam
oleh yang berpegangan pada undang-undang no 7 tahun 2017.
jujur dan adil sesuai dengan
Meskipun pada akhirnya MA
ketentuan peraturan perundang-
melakukan judicial review dan
undangan�. Tujuan pemidanaan sendiri
Titik permasalahan disini ialah apa benar bahwa penentuan pengajuan bakal calon yang diatur dalam PKPU tidak melanggar peraturan yang berada di atasnya,
mencabut frasa “Eks napi Koruptor�
yang terdapat pada teori relatif atau
pada Pasal 4 ayat 3 PKPU Nomor 20
tujuan dimana pemidanaan tidak
tahun 2018, dengan dalil PKPU
hanya sebagai media punishment
tersebut dinilai menyalahi aturan
atau pembalasan atas tindakan
yang lebih tinggi di atasnya yaitu,
melawan hukum yang dilakukan
Undang-Undang nomor 17 tahun
oleh orang yang melakukan tindak
2017 tentang pemilu. Akan tetapi
untuk
hal ini menjadi salah satu perhatian
mengembalikan pada keadaan
dalam pesta demokrasi tahun 2019,
semula atau merehabilitasi pelaku
dengan segala keruwetannya kita
pidana,
tetapi
juga
dalam
berharap pesta demokrasi kali ini
masyarakat. Hal ini berarti PKPU
akan berjalan dengan damai dan
hal ini dikarenakan PKPU yang
sendiri telah melenceng dari tujuan
yang pastinya lebih berkualitas.
harus segera disahkan sebagai
awal pemidanaan.
landasan
hukum
untuk
penyelenggaraan pemilu. Sehingga
agar
dapat
ke m b a l i
Pe r m a s a l a h a n
ke m b a l i
terjadi ketika sejumlah bakal caleg
mau tidak mau peraturan tersebut
yang tidak di loloskan oleh KPU
harus segera diterapkan agar tidak
mengajukan sengketa kepada
menghambat jalannya pemilihan
BAWASLU. Beberapa bakal caleg
umum. KPU dalam membuat PKPU
yang diloloskan dalam sengketa
yang berkaitan dengan pelaksanaan
termasuk di dalamnya merupakan
tahapan pemilu wajib berkonsultasi
mantan napi koruptor. Terjadi
dengan DPR dan pemerintah
perbedaan dimana KPU yang tidak
melalui rapat dengar pendapat,
meloloskan bakal caleg tersebut
Artikel Lepas
Demokrasi: Berisik dan Mengusik Oleh: Rheza Narendra Putra Mahasiswa Fakultas Hukum UNS Angkatan 2015 semakin berisik, s a k i n g berisiknya hingga seolaholah bendabenda mati pun ikut berteriak Rheza Narendra Putra 'demokrasi'. Mahasiswa Fakultas Hukum UNS Angkatan 2015 Demokrasi mengaktifkan ungkin kata 'demokrasi' diskursus publik ke arah yang sekarang ini menjadi lebih riil dan logis. Memang salah satu kata yang demokrasi dipandang sebagai paling sering didengar dan sistem yang paling baik di antara didengungkan. Di Istana Negara, sistem-sistem lain, monarki, Gedung Nusantara, Ruang Kelas, oligarki, maupun otoriter. Warung Kopi, bahkan mungkin Pun dulu ketika Jeanhingga gubuk kecil di tengah Jacques Rousseau ditanya sawah. Belum lagi di dalam media wartawan mengenai alasan daring, suara-suara 'demokrasi' runtuhnya Romawi yang juga terdengar dari Twitter, menerapkan demokrasi. Instagram, Whatsapp, Facebook, “Demokrasi ibarat buah yang baik dan media daring lainnya. untuk pencernaan, akan tetapi Disuarakan oleh Presiden, hanya lambung yang baik saja parlemen, akademisi, yang mampu mencernanya�, ujar mahasiswa, nelayan, petani, Rousseau untuk menampik buruh, bahkan murid sekolah. alasan demokrasi sebagai Dengan kata lain demokrasi penyebab utama runtuhnya memberikan keleluasaan bagi Romawi. rakyat secara luas untuk Akhir-akhir ini di Indonesia berdiskusi mengenai apapun timbul pemikiran bahwa termasuk demokrasi itu sendiri. demokrasi yang ada saat ini sudah Demokrasi membuat rakyat
M
kebablasan. Dalam artian banyak kejadian-kejadian di publik yang menunjukkan bahwa demokrasi membawa anarkisme. Mulai dari serangan di media sosial hingga persekusi di acara-acara tertentu. B a h k a n Pr e s i d e n s e n d i r i mengamini pemikiran tersebut sebagaimana beliau sampaikan di acara Pengukuhan Pengurus DPP Hanura pada 22 Februari 2017 lalu. Pernyataan ini menjadi kontroversi mengingat bangsa ini pernah begitu sulit bahkan cenderung takut untuk menyampaikan pendapatpendapatnya. Bahwa demokrasi itu bising, iya. Bahwa demokrasi itu melelahkan, mungkin iya. Jika kita hanya semata melihat pada kritik-kritik yang dilancarkan oleh oposisi, tangkisan-tangkisan oleh pemerintah, gegap gempita Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan secara serentak yang mana hal ini mengakibatkan hampir setiap tahun ada Pilkada yang selalu menjadi topik nasional. Belum lagi hari-hari ini mulai semarak mengenai Pe m i l i h a n L e g i s l a t i f d a n
Artikel Lepas
Yang keluar dari mulut petinggi negara seringkali sentimen, bukan argumen. Ini membuat masyarakat yang di bawah juga ikut-ikutan sentimentil, dalam artian selalu
nyinyir. Sumber Foto: Tempo/Dhemas Reviyanto
Pemilihan Presiden. Balihobaliho dan billboard selalu menghiasi jalanan di republik ini. Demokrasi melalui pemilihan umum dipandang selalu menjadi pesta. Akan tetapi terlalu sempit bagi kita memandang demokrasi hanya sebatas pemilihan umum. Masih ada elemen kedaulatan rakyat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, menyampaikan pendapat, kebebasan mengakses informasi, d a n ke b e b a s a n - ke b e b a s a n lainnya. Kembali kepada dalil bahwa demokrasi mengaktifkan diskursus publik. Adu argumen pemerintah dan oposisi yang secara langsung dapat disaksikan oleh masyarakat, akan menjadi stimulus publik untuk juga membahasnya. Terjadi diskusidiskusi positif di masyarakat. Tentu saja hal ini baik untuk proses bernegara. Akan terdapat banyak argumen baik yang
terukur dan sudah teruji secara publik untuk dilakukan oleh negara. Yaa, itu nilai idealnya. Sayangnya di Indonesia masih cukup jauh dari kedewasaan berdemokrasi yang demikian. Yang keluar dari mulut petinggi negara seringkali sentimen, bukan argumen. Ini membuat masyarakat yang di bawah juga ikut-ikutan sentimentil, dalam artian selalu nyinyir. Hal ini diperparah dengan penegakan hukum yang dipandang selalu memihak dan cenderung nir-keadilan. Banyak terjadi pelarangan atau bahkan pembubaran acara diskusidiskusi publik yang bernarasumberkan orang-orang yang vokal mengkritik penguasa. Diskriminasi seperti ini justru membahayakan bagi hukum itu sendiri maupun bagi demokrasi. Hukum harus mengayomi demokrasi dan demokrasi menjaga hukum. Artinya, hukum
tanpa demokrasi akan cenderung elitis, diskriminatif, bahkan koruptif. Sedangkan, demokrasi tanpa supremasi hukum bisa menimbulkan anarkisme. Hari-hari ini kita perlu lebih menggiatkan demokrasi yang berisik dan mengusik. Tentunya bukan berisik yang membisingkan telinga dan mengusik perasaan hingga terbawa emosi. Tetapi yang berisik argumen untuk bisa saling didengarkan dan 'ramah telinga' serta mengusik akal sehat untuk terus menelurkan dalil pemikiran yang baik. Sehingga kebebasan yang kita rasakan harus sebanding dengan tanggung jawab yang kita emban. Kata kuncinya jika ingin demokrasi kita lebih berkualitas adalah, tegakkan hukum sebagaimana mestinya hukum bertindak. Dan hilangkan fanatisme terhadap satu sosok untuk menyingkirkan sentimen.
Histori
Oleh : Riwayati
BUNG TOMO BUKAN SEKEDAR ORASI Bung Tomo “ Kita toendjokkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka. Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebik baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka. Sembojan kita tetap, MERDEKA atau MATI!�
D
emikianlah kalimat yang keluar dari salah satu
pahlawan nasional Indonesia Soetomo atau lebih
dikenal
sebagai
Bung
To m o ,
mampu
membangkitkan darah juang rakyat Surabaya dalam menghadapi penjajah melalui orasi hebatnya kala itu. 10 November 1945 tidak akan dikenang sebagai Hari Pahlawan jika tak ada pertempuran masyarakat Surabaya melawan Kolonialisme, disitulah Bung Tomo muncul dengan katakatanya membangkitkan semangat para pejuang Surabaya. Soetomo lahir di Surabaya, 03 Oktober 1920. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo. Bung Tomo tumbuh dalam keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan meskipun berasal dari keluarga menengah. Beliau pernah mengenyam pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan HBS (Hogere Burger School). Perjalanan pendidikan Bung Tomo tidak semulus itu, karena pada usia 12 tahun beliau terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO. Sebagai gantinya beliau melakukan pekerjaan untuk mengatasi depresi yang melanda dunia saat itu, dengan mengikuti organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan beberapa kelompok sosial dan politik. Pada masa mudanya Bung Tomo juga disebut pernah bekerja sebagai wartawan pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya (1937), Redaktur Mingguan Pembela Rakyat, serta menjadi penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya (1939). Pada tahun 1942 hingga 1945, Bung Tomo juga tercatat bekerja pada kantor berita tentara
Histori
kependudukan Jepang, Domei.
Kehidupan Bung Tomo
menyerang Surabaya guna melucuti
Selain itu, Bung Tomo juga termasuk
senjata Jepang dan melepas tawanan
setelah 10 November 1945 diisi
orang yang menyebarluaskan berita
Eropa. Hingga pada puncaknya, 9
dengan kegiatan politik, yaitu sebagai
kemerdekaan Indonesia melalui
November
tulisannya dalam bahasa Jawa
mengeluarkan ultimatum yang isinya
1945,
Sekutu
Menteri Negara Urusan Bekas Pe j u a n g
Bersenjata/
Ve t e r a n
bersama wartawan Romo Bintarti,
memerintahkan rakyat Surabaya
sekaligus Menteri Sosial Ad Interim
yang kemudian beliau menjabat
untuk menyerah. Keesokan harinya,
pada 1955-1956. Bung Tomo juga
sebagai Pemimpin Redaksi Kantor
pernah duduk di kursi DPR pada
berita ANTARA di Surabaya.
1956-1959. Kemudian beliau memutuskan meninggalkan dunia
Pada tahun 1944 Bung Tomo menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru di mana gerakan tersebut disponsori oleh Jepang. Bersamaan dengan itu, Bung Tomo juga menjadi wartawan di kantor berita ANTARA merangkap sebagai ketua bagian penerangan Pemuda Republik Indonesia (PRI). Pada saat itulah, September 1945 terjadi insiden Hotel Yamato di Surabaya, yaitu saat sekelompok
orang
Belanda
memasang bendera mereka yang menyebabkan rakyat Indonesia marah,
insiden
tersebut
mengakibatkan salah satu orang
“Kita (di Surabaya) telah memperoleh
kemerdekaan
politik. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Bung Tomo pernah ditahan akibat diduga terlibat unjuk
sementara di ibukota
rakyat Indonesia terpaksa harus hidup dalam ketakutan sementara di ibukota
rakyat Indonesia terpaksa harus hidup”
rasa mahasiswa yang menentang kebijakan Orde Baru. Memang Bung Tomo sering mengkritik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di masa Orde Baru. Selain itu Bung tomo juga mengkritisi perihal sikap pemerintah terhadap etnis Tionghoa yang dianggap terlalu baik, kritikan tersebut termuat dalam buku “Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat: pemikiran, surat, dan artikel”.
Belanda tewas. Sedangkan di Jakarta
Bung Tomo wafat ketika
sedang kedatangan pasukan Sekutu. Bung Tomo menyerukan orasi
menunaikan ibadah Haji di Padang
pemuda agar tidak memulai
sebagai pembakar semangat juang
Arafah, Makkah, pada 7 Oktober
konfrontasi senjata.
untuk bertempur sampai titik darah
1981. Beliau awalnya dimakamkan
Presiden Soekarno memerintahkan
penghabisan guna mempertahankan
di Tanah Suci, namun kemudian
Tomo memutuskan untuk pulang ke
tanah air dan bangsa yang telah
dipindah ke Tempat Pemakaman
Surabaya. Perkataan beliau sangat
Dalam kondisi tersebut, Bung
diproklamasikan. Banyak di antara
Umum Ngegel di Surabaya. Pada 10
mengesankan pada saai itu, sesuai
mereka yang gugur, namun semangat
November 2008, Bung Tomo
yang dicatat oleh sejarawan William
nasionalis
yang
didengung-
H. Frederick dari Universitas Ohio,
dengungkan oleh Bung Tomo
Amerika Serikat, “Kita (di Surabaya)
mendapatkan
gelar
sebagai
Pahlawan Nasional pada 10
menguapkan segala rasa takut untuk
November 2008 setelah pada tahun
telah memperoleh kemerdekaan,
berperang. Pengorbanan rakyat
sebelumnya ada desakan dari
sementara di ibukota rakyat
Surabaya pada saat itu melahirkan
Gerakan Pemuda Ansor dan Fraksi
Indonesia terpaksa harus hidup
Hari Pahlawan, yang jatuh pada 10
Partai Golkar untuk pemerintah
November
memberikan gelar Pahlawan kepada
dalam ketakutan.” Pada bulan Oktober dan N o v e m b e r,
pasukan
Inggris
1945,
yang
juga
menjadikan Surabaya sebagai kota Pahlawan.
Bung Tomo.
Lesehan
MONUMEN PANCASILA SAKTI: SAKSI BISU PILU POLITIK DI MASA LALU Oleh : Alfin Ramadhan
Foto Oleh Jastrian Renskyrio / NOVUM
Lesehan
B
elajar kalimat dari sang p r o k l a m a t o r, p r e s i d e n Republik Indonesia yang pertama Ir. Soekarno, jasmerah jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sudah sepatutnya kita mengenal lebih jauh tentang sejarah Indonesia. Mengenal sejarah tidak hanya melalui bacaan buku saja tetapi bisa dengan mengunjungi tempat-tempat yang penuh dengan sejarah, salah satunya Monumen Pancasila Sakti. Monumen yang banyak menyimpan sejarah kelam perpolitikan Ideologi di Indonesia saat peristiwa Gerakan 30 September atau yang kita kenal G30S Monumen Pancasila Sakti atau yang juga disebut Monumen Lubang Buaya terletak di daerah Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. Tepatnya di sebelah selatan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, daerah Monumen ini sendiri memiliki luas 14,6 hektare dan diresmikan pada era pemerintahan Soehar to yang bertujuan untuk mengenang jasa perjuangan para pahlawan revolusi demi menghindari Indonesia dari ancaman ideologi komunis. Namun siapa sangka, areal monumen Pancasila Sakti ini dulunya merupakan tempat pelatihan anggota dan sukarelawan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebelum akhirnya menjadi tempat pembantaian dan pembuangan jenazah para anggota TNI. Areal monumen ini sendiri terbagi dalam beberapa lokasi yang terdiri dari Monumen Pancasila Sakti, Ruang Penyiksaan, Museum Penghianatan PKI, Dapur Umum PKI, Pos Komado PKI, Museum Paseban, Ruang Teater serta Sumur Maut tempat dikuburnya tujuh Pahlawan Revolusi yang diculik PKI dengan kedalaman sumur 12 meter dan memiliki diameter 75 cm. Ketika melewati pintu masuk, pengunjung akan disuguhkan dengan beberapa mobil
antik yang pernah digunakan oleh beberapa tokoh pahlawan Indonesia salah satunya Letnan Jendral Ahmad Yani, dan terdapat pula truk pengangkut yang digunakan oleh PKI untuk menculik satu dari tujuh Pahlawan yang dikubur dalam sumur Lubang Buaya. Di sebelah kanan pintu masuk terdapat Museum Penghianatan PKI, ketika masuk museum ini kita akan diperlihatkan pada tiga buah mosaik yang menampilkan korban keganasan dari pemberontakan PKI Madiun, proses penggalian dan pengangkatan jenazah dari tujuh Pahlawan Revolusi di lubang buaya, dan terakhir sidang Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap para Tokoh PKI. Setelah melewati mosaik tersebut, terdapat deretan diorama berjumlah kurang lebih 42 buah yang menceritakan perjalanan sejarah PKI di Indonesia, diawali dengan peristiwa tiga daerah setelah pidato Proklamasi dilaksanakan pada 1945, peristiwa Revolusi Sosial di Langkat, Pengacauan Surakarta, Pemberontakan PKI sampai akhir kehancuran dan dihapusnya PKI. Tidak hanya PKI, di dalam diorama juga menceritakan keterlibatan organisasi selain PKI yaitu Buruh Tani Indonesia, Pemuda Rakyat, dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Keterlibatan beberapa organisasi tersebut digambarkan secara jelas dalam diorama tersebut, terdapat pula teks panduan di tiap-tiap etalase sehingga memperjelas rangkaian kejadian yang digambarkan dalam diorama tersebut. Sebelum menuju pintu keluar museum dapat terlihat sebuah pesan dari pemerintah Soeharto terkait dengan PKI yang terpampang jelas di dinding.
“Terima kasih kepada anda yang terlah menyaksikan sebagian dari diorama peristiwa biadap yang dilakukan oleh PKI. Jangan biarkan peristiwa semacam itu terulang
kembali. Cukup sudah tetes dan air mata membasahi bumi pertiwi, untuk itu pelihara dan tingkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Selamat jalan dan merdeka.� Itu merupakan penggalan dari pesan yang ditinggalkan oleh Presiden Soeharto dalam museum ini. Setelah selesai melihat seluruh isi museum area selanjutnya yaitu monumen Pancasila Sakti dan area inti yaitu Sumur Maut. Sumur maut ini sendiri diberi sebuah cungkup sehingga menambah kesan sakral, sumur ini juga merupakan saksi bisu dikubur dan ditemukannya tujuh pahlawan revolusi yang dianiaya oleh PKI. Di sebelah sumur maut terdapat Rumah Penyiksaan, pada saat terjadinya G30S rumah ini dipakai oleh pasukan PKI untuk menawan dan menyiksa para pahlawan revolusi sebelum akhirnya dibunuh. Di dalam rumah ini ada sebuah diorama penyiksaan terhadap para Pahlawan Revolusi yang diculik, juga terdapat beberapa rumah yang dijadikan Pos Komando serta menjadi Dapur Umum yang digunakan oleh PKI dan rumahrumah ini pun masih dijaga keasliannya mulai dari bentuk sampai isi perabot rumah di dalamnya. Hal unik dapat ditemukan pada monumen Pancasila Sakti, yaitu terdapat sebuah relief yang menggambarkan alur cerita dari awal diculiknya para Pahlawan Revolusi hingga penumpasan G30S. Akan tetapi memiliki sejarah yang cukup terkenal tidak menjamin tempat ini akan selalu ramai, ini terlihat jelas ketika memasuki kawasan museum yang nampak lengang dan hanya beberapa wisatawan saja, padahal museum ini sangat memberikan ilmu dan manfaat serta menumbuhkan semangat patriotisme terutama bagi anak-anak.
ARTIKEL LEPAS
SELAYANG PANDANG DEMOKRASI DAN DILEMA VIGILANTE Oleh : Muhammad Taufik Nandito (LPM PABELAN UMS) LPM NOVUM FH UNS
P M
yang
masyarakat, di satu sisi memang patut
menggulung era Soeharto
diapresiasi. Di sisi lain, aksi itu
asca
reformasi
gegap
menimbulkan keresahan bagi masyarakat
gempitanya, demokrasi menuai banyak
yang menginginkan kedamaian dan
kontroversi. Demokrasi produk reformasi
ketenangan.
dengan
Hatta mengatakan �Pengalaman
segala
diasumsikan memberi jalan aksi vigilante
Apa yang terjadi tempo hari di
atau premanisme, berkembang dan
tengah masyarakat memang patut kita
mengakar dalam partisipasi politik.
renungkan. Aksi vigilante seperti ini cepat
Fe n o m e n a
atau lambat akan mengoyak kohesi sosial
PA M
Swakarsa
yang
dipersenjatai pada saat reformasi
masyarakat Indonesia. Di tengah
pemerintahan
membuncah, disinyalir menandai awal
keberagaman yang begitu kental,
autokrasi kolonial
premanisme mulai masuk dalam sumsum
premanisme merusak iklim demokrasi
dengan
dalam bentuk negara-polisi
kehidupan publik pada demokrasi
yang sarat dengan keterbukaan informasi dan kebebasan berekspresi. Suka
pasca reformasi.
menghidupkan
Pasca cerita PAM Swakarsa yang
dalam kalbu
bentrok dengan mahasiswa atau
tidak suka, ini merupakan ancaman untuk kesehatan demokrasi kita.
pemimpin dan
kelompok-kelompok massa lainnya,
Risalah Mohammad Hatta
rakyat Indonesia
vigilante dalam demokrasi
dalam Demokrasi Kita (1957)
cita-cita negara
berlanjut dengan kedok
nampaknya tak akan padam
hukum yang
agama. Ormas-ormas
menemui duduk perkara
demokratis.�
agama adalah salah
demokrasi
satu contoh vigilante
sekarang ini. Dalam pamflet
itu.
Aksi-aksinya
Indonesia
itu, Hatta mengatakan
mempersekusi
�Pengalaman
kebejatan moral
pemerintahan
dengan autokrasi
kolonial dalam bentuk negarapolisi menghidupkan dalam kalbu pemimpin dan rakyat Indonesia cita-cita negara hukum yang demokratis.� Kurang lebih bersepakat dengan Hatta, pemerintahan autokrasi-kolonial bentuk negara polisi dilanjutkan oleh demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila. Soekarno dan Soeharto jadi pemrakarsanya. Sikap otoriter dan politik belah bambu pada masa demokrasi
Artikel Lepas
terpimpin membikin masyarakat bergesekan satu sama lain (Max Lane, 2017). Sedangkan di era demokrasi pancasila ala Soeharto, ketakutan adalah perasaan kolektif bagi pemilik aspirasi kritis pemerintahan.
Dinamika demokrasi
di
Sikap kita sendiri tidak boleh didasarkan pada rasa benci kepada siapapun, karena kebencian hanya akan melahirkan kebenciankebencian baru. -Gus Dur (2006)
tiap era memunculkan optimisme dan pesimisnya tersendiri. Optimisme
keadlian dan distorsi komunikasi
dalam demokrasi ini berlangsung, kita
bagi konsistensi cita-cita demokrasi
dalam ruang publik.� Dari sana kita
tak perlu ikut menjadi trengginas
dari awal kemerdekaan. Pun,
dapat melihat celah-celah penegakan
karenanya. Sejenak, kita perlu
pesimisme bagi gambaran vigilante
demokrasi itu, utamanya dalam
menuruti
yang nyatanya di tiap masa ada, dan
penegakan keadilan.
apa
yang
pernah
disampaikan oleh Gus Dur (2006),
membenak dalam memori kolektif
Singkat kata, demokrasi
bangsa Indonesia. Jadi katakanlah,
Indonesia hendaknya menjadi sebuah
didasarkan pada rasa benci kepada
jika saat ini premanisme itu tengah
ke p a s t i a n
siapapun, karena kebencian hanya
publik.
Pe r l u
ada
bahwa sikap kita sendiri tidak boleh
meluap-luap, bisa jadi kita tengah
penyerapan dan konsolidasi internal
akan
memasuki fase ketidaksadaran
dalam institusi publik agar demokrasi
kebencian baru. Bagi penulis, gejala
masyarakat yang terbarui dari memori
mewujud
premanisme dalam demokrasi adalah
kolektif pasca-kolonial.
sebuah
kemapanan
melahirkan
ke b e n c i a n -
bermasyarakat. Cara-cara seperti ini
sebuah gejala psikososial. Oleh
Menengok riwayat demokrasi
memang baiknya dilakukan agar tak
karenanya perlu ada yang menjaga
semacam itu, tentu kemiskinan akan
terjadi sebuah diskriminasi identitas
kesehatan mental demi menjaga
sukar lenyap dari peredaran. Karena
dalam sebuah prosedur. Intinya
ruang publik tetap kondusif.
nyatanya, adanya premanisme atau
demokrasi berarti adil dan tidak
Soekarno mendambakan
vigilante ini sebagian dari representasi
menghasilkan sebuah kecemburuan
sikap saling menjaga ini dengan
gagalnya demokrasi mewujudkan
sosial.
welfare health. Pada kasus vigilante
istilah “gotong royong�. Sebagaimana seperti
demokrasi mendambakan sikap
berkedok agama, sebagian orang
kecemburuan sosial memang sedari
saling menghargai, masyarakat akan
yakin, dengan penegakan syariat yang
awal perlu dihindari dalam praktik
menyerap nilai-nilai itu selaras
tegas akan mengurangi kemaksiatan.
demokrasi. Deprivasi merupakan
dengan koridor nilai yang berlaku.
Lantas jika dosa berkurang, ekonomi
salah satu hal yang menjadi momok
Jika sudah demikian, kekerasan,
pasti akan diputar oleh Tuhan. Logika
dalam persoalan ini. Deprivasi
premanisme, vigilante atau apapun
Hal
ihwal
seperti ini adalah contoh dari
merupakan suatu gejala psikologis di
itu namanya akan menyusut sejalan
eksistensi massa semacam itu.
mana
dengan
seseorang
merasa
penyerapan
tuntutan
tersingkirkan, tidak puas, atau
kebebasan dan keadilan dalam
Untungnya, Yudi Latif (2006)
merasakan kesenjangan dalam
demokrasi secara proporsional.
urun menyumbang analisis mengenai
sebuah sistem masyarakat. Apabila
hal ini. Lewat tulisannya yang
benar deprivasi itu berlangsung,
berjudul Ruang Publik, Partisipasi,
jangan heran jika praktik premanisme
dan Kekerasan, kurang lebihnya ia
merebak mengancam konsolidasi
menuliskan demikian, �Fanatisme
demokrasi.
dapat muncul akibat, basis-basis
Lantas, jika praktik kekerasan
Alhasil ,
demokrasi yang
sudah lama dioptimismekan oleh Amar tya Sen sebagai sarana menghapus kemiskinan bisa jadi akan terealisasi bila kita konsisten dengan prinsip demokrasi yang arif dan adil.
Out of Topic
PASOEPATI : WAJIB NAIK KASTA ! Oleh : Pricellia Griselda dan Akbar Rosyad
H
idup adalah sebuah pilihan, ketika orang di luar sana sibuk menjadi Presiden Negara Republik Indonesia, Namun bapak tiga orang anak ini memilih menjadi Presiden Pasoepati periode 20182020. Aulia Haryo Suryo namanya ia merupakan salah satu pembentuk Pasoepati termuda yaitu pada umur 17 tahun saat tim sepak bola kebanggaan kota Solo bernama Pelita Solo. Sepakbola di Indonesia merupakan salah satu olahraga yang memiliki peminat paling tinggi, begitu pula di kota Surakarta. Pada saat ini, tim kebanggaan masyarakat Solo adalah Persis Solo dengan supporter bernama Pasoepati. Pasoepati pada mulanya merupakan salah satu suporter kreatif di
Indonesia, tak sedikit pula suporter tim lain yang menjadikan Pasoepati sebagai role model mereka. Akan tetapi beberapa tahun terakhir kreatifitas Pasoepati sedikit menurun dan di waktu yang hampir bersamaan performa Persis Solo pun mulai menurun.
Bagaimana bentuk dukungan dari Pasoepati untuk Persis Solo ? Sebenarnya bentuk dukungan dari Pasoepati untuk Persis Solo tidak berbeda jauh dengan dukungan suporter lain pada umumnya seperti nonton langsung ke stadion, membuat formasi, away saat mereka main di luar kota, dan tidak berbuat hal-hal yang
bisa merugikan tim. Namun yang membedakan mungkin lebih fanatik saja dibandingkan dengan suporter lain. Dukungan lain yang kita lakukan dari segi finansial kita juga ikut membantu dalam penjualan tiket pre-sale, penjualan jersey dan merchandise resmi Persis Solo. Meskipun saat ini menurut saya Pasoepati berada dalam titik terendahnya ditambah lagi dengan munculnya kultur-kultur baru seperti hooligan dan ultras namun, kita semua masih dalam satu tujuan untuk mendukung Persis Solo naik kasta.
Out of Topic
Apakah ada aksi tersendiri pada saat tim kalah atau tidak sesuai dengan ekspektasi teman-teman Pasoepati ? Beberapa saat yang lalu, pada saat Persis bermain melawan Persita Tangerang di Karawang aksi balik badan menjadi aksi proses kita kepada tim dan manejemen karena dalam 6 pertandingan nggak pernah menang. Kita mencoba proses ke manajemen, kebetulan manejemen Persis yang sekarang jauh dari harapan pribadi saya sebagai presiden Pasoepati karena berapa kali temen-temen mengajak saya untuk bertemu manajemen “ayo mas nemuin manajemen�. Namun, apa yang ingin mereka sampaikan ke manajemen hanya sampai ke saya padahal saya sudah datang ke tementemen manajemen untuk mengundang mereka dan berdiskusi tentang masalah apa yang dihadapi oleh Persis sehingga tidak pernah menang dalam beberapa pertandingan belakangan ini. Sampai
hari ini mereka saya ajak untuk bertemu dan menjawab pertanyaan temanteman Pasoepati secara langsung belum dipenuhi padahal sudah saya fasilitasi tapi mereka tidak menyanggupi dan hanya memberi janji. hal ini dikarenakan jajaran direksi memang orang Jakarta bukan orang Solo. Walaupun ada salah satu pengurus dari manejemen yang orang Solo namun beliau bukan seorang yang berhak mengambil keputusan.
Apa harapan teman teman pasopati untuk persis solo dalam waktu dekat? Harapan yang jelas naik kasta karena ini yang Pasoepati inginkan sejak lama, sebelum 100 tahun Persis kalau bisa udah naik kasta, sekarang masih 94 tahun dan kebetulan 3 tahun belakangan selalu masuk 8 besar tapi gak pernah lolos. Untuk manejemen sendiri, menurut saya masih banyak yang perlu di benahi, dalam beberapa
tahun belakangan ini belum ada perubahan yang sangat signifikan. Terutama cara pengelolaan jersey musim ini sangat-sangatlah buruk, harusnya ketika dirilis sudah bisa dibeli tetapi ini setelah 5 pertandingan baru dapat dibeli. Berbeda musim lalu, musim lalu saat dirilis sudah langsung bisa dibeli saat itu juga. Dari segi finansial tim juga perlu di perkuat lagi agar dapat naik kasta, karena menurut saya saat ini masih belum kuat untuk naik kasta, masih perlu diperbaiki lagi jika ingin nantinya naik kasta.
Untuk mencapai harapan tersebut apakah teman-teman Pasoepati optimis hal tersebut akan tercapai? Untuk optimisme tetap harus optimis , kerena optimisme suporter ini juga mempengaruhi performa tim. kalau tim main jelek suporter mencomooh performa tim maka akan berdampak pada psikologis pemain. Pada saat kita melakukan aksi balik badan, banyak pemain yang protes ke saya "kok gitu to mas kok Pasoepati sampe segitune padahal yo gak kalah lho mas," hal tersebut terjadi sebagai bentuk kekecewaan kita karena saat itu terjadi 6 laga tanpa kemenangan, kita jauh-jauh away pakai uang sendiri, juga bela-belain bolos kerja (ninggalin) kerjaan semua ya harusnya punya timbal balik.
Sekumpulan tim pendukung Persis Solo sedang menonton pertandingan di Stadion Wilis. Foto Dokumentasi Pasoepati
Tahukah Kamu
GOLPUT GERAKAN ALTERNATIF MEWUJUDKAN DEMOKRASI
Oleh Ratih Yustitia
G M
“putih” karena gerakan ini
Negara Indonesia kedepan adalah
menganjurkan agar mencoblos
ABRI (sekarang menjadi TNI). Tokoh
bermaksud
bagian putih di kertas atau surat
yang banyak mencetuskan gerakan
menggunakan hak pilihnya sesuai
olput berarti “golongan
adanya pemilu, tetaplah kekuatan
minggu tenang sebelum pemilihan
putih”. Digunakan istilah
efektif yang menentukan nasib
yang berbunyi Memorandum agar
itu
masyarakat
suara di luar gambar parpol peserta
golput adalah “Angkatan 66”.
keyakinan dimana siapapun berhak
pemilu, bagi pemilih yang datang ke
Pencetusan gerakan itu kemudian
memilih dan dipilih dan tanpa
bilik suara. Namun, kala itu jarang
dilanjutkan dengan penempelan
paksaan mengingat banyak yang
ada yang berani tidak datang ke
pamflet kampanye yang menyatakan
takut tidak datang ke TPS hanya
Tempat Pemungutan Suara (TPS)
“Tidak akan Turut Serta dalam
karena takut ditandai.
karena akan ditandai. golput
Pemilu” dan terdapat gambar segi
kemudian juga digunakan sebagai
lima dengan dasar warna putih.
Sebenarnya, ada dasar hukum dalam logika golput dalam
istilah lawan bagi Golongan Karya,
Banyak pengekangan yang
pemilu. Hal itu tercantum dalam
Partai Politik dominan masa Orde
terjadi terkait gerakan ini. Bahkan,
pasal 19 ayat (1) UU Nomor 10
Baru. Istilah golput sendiri
Komando Keamanan Langsung
Tahun 2008 tentang Pemilu yang
( Ko k a m s u n g )
berbunyi, “WNI yang pada hari
sendiri
pernah
muncul pertama kali di Indonesia
menangkap sejumlah tokoh aliansi
pemungutan suara telah berumur 17
pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya
golput. Yaitu Arif Budiman, Julius
tahun atau lebih atau sudah/pernah
Jakarta, sebulan sebelum hari
Usman, Imam Waluyo, Husin Umar,
kawin mempunyai hak memilih”.
pemungutan suara pada pemilu
dan Asmara Nababan yang menjadi
Dalam klausul tersebut disebutkan
pertama era Orde Baru dilaksanakan.
korban penangkapan. Beberapa
bahwa setiap orang mempunyai hak
Hal ini berawal karena adanya protes
penguasa seperti Menteri Luar Negeri
bukan sebuah kewajiban. Sehingga,
dari kalangan mahasiswa terhadap
yaitu Adam Malik mengecap gerakan
setiap orang boleh atau tidak memilih
pelaksanaan pemilu pertama di era
golput sebagai gerakan setan karena
dalam pemilu. Artinya, sebenarnya
Orde Baru tahun 1971. Pada saat itu
dianggap tidak ikut berpartisipasi
golput sendiri menjadi sah-sah saja
peser ta par tai politik hanya
dalam
berjumlah 10, berkurang drastis dari
demokrasi.
pelaksanaan
Negara
pemilu tahun 1955 yaitu berjumlah
Gerakan Golput selalu
172 partai politik. Pencetus istilah
menyuarakan memorandum di
golput ini adalah Imam Waluyo. Arif Budiman sebagai salah satu
tokoh
gerakan
golput
beranggapan bahwa gerakan golput bukan untuk mencapai suatu kemenangan politik melainkan untuk menciptakan tradisi dimana adanya jaminan perbedaan pendapat antara rakyat dengan penguasa dalam kondisi apapun. Menurut kelompok gerakan ini dengan ada atau tidak
dan sampai sekarang belum ada undang-undang tentang pemidanaan terhadap orang yang tidak memilih dalam pemilu.
Riset
Sosial Media Sarana Depresiasi Kualitas Demokrasi Oleh : Litbang LPM NOVUM FH UNS
A
ktivitas bermedia sosial terpaut cukup tinggi, lebih dari 50% responden menyatakan sering dan sangat sering bermedia sosial seperti update dan berkomentar. Selain itu mayoritas responden bermedia sosial untuk menambah relasi dan untuk menujukan eksistensi. Dari berbagaimacam aplikasi bermedia sosial, masyarakat Indonesia paling sering menggunakan Instagram terutama oleh responden dengan rentang usia kuranglebih 20 tahun. Rata-rata masyarakat masih tidak mampu mengambil sikap dari kemunculan komentar negatif atau penyebaran konten negatif di media sosial. Sekitar 54,7% dari 170 responden memilih mengabaikan apabila melihat komentar negatif atau konten negatif di media sosial. 52,4% responden menyatakan bahwa kebebasan berpendapat merupakan aktualisasi dari sistem demokrasi di Indonesia, 35,9% responden masih ragu untuk menjawabdan 11,7% berpendapat bukan aktualisasi dari sistem demokrasi. Selain itu
menyatakan
bahwa
ke b e b a s a n
dari 20,6% responden menyatakan
bahwa pelarangan untuk berkomentar negatif merupakan salah
satu pencideraan terhadap
kebebasan berpendapat, 25,9% masih ragu untuk menjawab,
53,5% menyatakan bahwa hal
tersebut bukan merupakan pencideraan terhadap kebebasan
berpendapat.
Responden
menyatakan bahwa, pemerintah harus lebih berperan aktif
dalam mengawasi aktifitas
bermedia sosial. Sebab masyarakat masih menganggap aktifitas
bermedia
sosial
belum
mencerminkan demokrasiberkualitas. Terkait data di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas sering menggunakan media sosial untuk sekedar update berkomentar. Namun, masyarakat masih tidak mampu sikap dari kemunculan komentar negatif atau an konten negatif di media sosial bahkan masih yang memilih mengabaikannya. Selain itu, banyak
masyarakat a
t
a
u
mengambil penyebar banyak d a r i
mereka yang menyatakan bahwa kebebasan
berpen
dapat merupakan aktualisasi dari sistem
demok
rasi di Indonesia
Sekitar Kampus
OPEN STAGE AGROBUDAYO UNS, SARANA PENGEMBANGAN SENI MAHASISWA Oleh : Anisa Nur Hidayah
Foto : Anisa Nur Hidayah
Sekitar Kampus
C
itra budaya timur khususnya budaya Jawa telah dikenal di seluruh penjuru dunia sebagai budaya yang memiliki nilai tinggi, adi luhung, dan halus. Namun kini hanya tinggal wacana dan nostalgia. Sederet krisis multi dimensi yang berkepanjangan berujung pada krisis kepercayaan terhadap kekuatan budaya sendiri. Hal ini dikarenakan tidak adanya pengawalan budaya yang bersifat akulturasi selektif terhadap budaya asing yang masuk. Tanpa ada kepedulian dan dukungan dari masyarakat, budaya akan menjadi lemah. Te r k u b u r n y a s e b u a h kebudayaan sama artinya dengan runtuhnya peradaban dan nilai. Hal ini berdampak pada banyaknya generasi muda yang kurang mengenal budayabudaya tradisonal di negerinya sendiri. Kurangnya fasilitas pendukung serta tempat pelestarian juga menjadi salah satu faktor mengapa generasi muda kurang mengembangkan budayabudaya Indonesia. Melihat hal tersebut, pihak Universitas Sebelas Maret (UNS) menyadari bahwasanya generasi muda, khususnya mahasiswa UNS sendiri membutuhkan wadah dimana mereka bisa mengembangkan potensi yang mereka miliki dengan nilai-nilai seni tradisi Indonesia. Atas dasar itulah UNS mendirikan open stage Argobudoyo UNS.
Open Stage Argobudoyo UNS merupakan panggung terbuka dengan latar belakang alam perbukitan hijau. Panggung terbuka yang terletak persis di sebelah timur gedung Rektorat Universitas Sebelas Maret Surakar ta, lebih tepatnya berlokasi di area Fakultas Pertanian UNS.
Open Stage Argobudoyo UNS merupakan panggung terbuka dengan latar belakang alam perbukitan hijau. Panggung terbuka yang terletak persis di sebelah timur gedung Rektorat Universitas Sebelas Maret Surakarta, lebih tepatnya berlokasi di area Fakultas Pertanian UNS. Bangunan ini didirikan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNS atas inisiasi Prof. Sahid Teguh Widodo, S.S., M.Hum.,Ph.D. Pendirian ini bertujuan agar UNS memiliki wadah ruang gerak seni, sastra, dan budaya bagi mahasiswa. Kemudian, mahasiswa diharapkan mampu untuk mengenalkan budaya asli bangsa yang telah tenggelam oleh arus globalisasi. Berbagai kegiatan dengan misi pelestarian budaya sering diselenggarakan di sini, seperti drama jawa group seniman muda Surakarta, membaca geguritan, teater, tari-tarian daerah, pertunjukan ketoprak dan karawitan, atau untuk sekedar berbincang ringan dengan temanteman. Kegiatan tersebut didukung oleh para seniman, sastrawan, dan budayawan, baik yang berada di dalam kampus maupun luar kampus. Open stage Argobudoyo ini sebenarnya mempunyai potensi yang baik untuk mahasiswa UNS. Namun, setahun belakangan ini banyak kalangan civitas akademik UNS yang kurang peduli dengan lingkungan sekitar sehingga belum mengetahui
manfaat dari open stage Argobudoyo tersebut yang mengakibatkan kurang aktifnya kegiatan yang terselenggara disana. Sejak tahun lalu open stage Argobudoyo sudah tidak lagi dikelola oleh LPPM, melainkan telah dialihkan ke pihak fakultas, yakni Fakultas Ilmu Budaya UNS. Hal tersebut mungkin menyebabkan kurangnya informasi tentang izin penggunaan tempat tersebut sehingga menjadi penyebab sepinya kegiatan di open stage Argobudoyo. Pendapat tersebut dibenarkan oleh petugas Javalogi LPPM UNS. Bahkan, pada saat ini barangkali sebagian dari mahasiswa UNS sendiri tidak mengetahui keberadaan dan manfaat dari open stage Argobudoyo. Oleh sebab itu, sebaiknya seluruh warga UNS bersama-sama ikut mengembangkan serta melestarikan open stage Argobudoyo. Selain karena tempat ini mengandung unsur budaya yang kental, sungguh disayangkan apabila tempat tersebut menjadi terbengkalai akibat tidak digunakan secara optimal mengingat butuh dana yang tak sedikit untuk proses pembangunannya. Ayo dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada di kampus tercinta ini mari kita lebih peduli terhadap budaya tradisional bangsa Indonesia
Artikel Lepas Oleh : AGUS RIEWANTO, S.H., M.H. DOSEN FH UNS
DEMOKRASI DIBAJAK OLIGARKI suburnya perilaku korupsi di daerah.
Demokrasi Terancam Sesungguhnya roda pemerintahan daerah (Pemda) hanya dikuasai oleh oligarki atau sekelompok elit politik lokal yang punya akses dengan penguasa lokal, uang dan sumberdaya kekerabatan yang kelak akan menjadi pejabat di daerah
B
elakangan ini publik diperlihatkan oleh perilaku korupsi pejabat lokal yang memiliki hubungan kekerabatan dalam dinasti. Seperti operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Adriatma (Wali Kota Kendari) dan ayahnya Asrun (mantan Walikota Kendari sekaligus Calon Gubernur Sulawesi Tenggara), Atut Chosiyah (Gubernur Banten) dan adiknya Tubagus Chaeri Wardana, Sri Hartini (Bupati Klaten) suaminya Haryanto Wibowo (Bupati Klaten), Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara) Ayahnya Syaukani HR (Bupati Kutai Kartanegara) dan masih banyak lagi. Ini merupakan tragedi demokrasi, dimana seharusnya kekuasaan politik diperebutkan
dengan kompetisi yang adil dan demokratis, serta memberi kesempatan pada semua orang, tetapi nyatanya hanya kaum bangsawanlah yang berhasil merebut kursi jabatan politik di ranah lokal. Ini sekaligus mengajarkan masih kuatnya watak penghargaaan pada kaum bangsawan (aristokrat) dalam tradisi politik primitif di tengah suasana penguatan arus demokratisasi dalam desain pemilukada. Jelaslah bahwa pemilukada hanya sarana seremonial demokrasi, tanpa mampu menghasilkan kaum demokrat. Wa j a h p o l i t i k k i t a m e m a n g demokrasi, namun sejatinya ruh dan tubuh kita masih berwatak patrimonial. Bahaya paling nyata dari politik kekerabatan ini adalah
Munculnya politik dinasti dalam pengisian jabatan eksekutiflegislatif di ranah lokal seperti dipertontonkan itu, adalah merupakan cermin betapa kita masih mempraktekkan model demokrasi tradisional yang hanya percaya pada kemampuan yang dimiliki oleh caloncalon yang segaris dengan keturunan kaum �bangsawan modern� yang menjadi kepala daerah. Dengan harapan kerabat ini akan memiliki kemampuan dan kharisma yang sama dengan kerpala daerah sebelumnya. Fenomena penyerahan mandat kepemimpinan politik lokal pada kaum bangsawan ini, pasti akan mengancam demokrasi, bahkan membajaknya. Karena kekuasaan politik hanya akan berputar di sekitar ring keluarga yang memiliki garis karir politik dan kekuasaan. Sudah barang pasti cara ini akan mematikan model regenerasi pemimpin politik dalam demokrasi modern yang berorientasi pada merit system, yakni: profesionalisme, kapasitas intelektual, integritas moral, daya inovasi dan kreatif membangun daerah. M o d e l r e g e n a s i kepemimimpinan politik lokal yang berbasis pada kaum bangsawan ini lambat tapi pasti akan mengeser demokrasi ke aristokrasi. Perbincangan politik akan kian elitis. Karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan orang luar biasa.
Artikel Lepas
Anomali Politik Konsep kebijakan politik hukum (legal policy) otonomi daerah (Otda) melalui tiga kali perubahan, yakni UU No. 22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang diperkenalkan dalam landskap politik nasional di Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2018 ini sesungguhnya bertujuan untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi di daerah, yakni terpilihnya putra-putri terbaik daerah untuk menjadi pemimpin politik yang sesuai dengan kehendak dan aspirasi masyarakat lokal, dengan demikian pemimpin politik tersebut punya legitimasi kuat dan dapat kian dipercaya publik lokal, harapannya tentu akan dapat dapat menjakankan roda pemerintahan daerah secara partisipatif, akuntabel dan transparan.
Realitasnya tidak demikian, penyebaran demokrasi lokal justru melahirkan kaum oligarki, yakni kepemimpinan politik lokal hanya dikuasai oleh sekerlompok elit politik lokal yang memiliki akses politik, uang dan kekerabatan. Akibatnya menyebar demokrasi lokal menuai oligarki yang cenderung merupakan aktor utama korupsi di daerah. Landskap politik dinasti merupakan potret kegagalan membumikan konsep Otda di Indonesia.
Demokrasi di Tangan Oligarki Sesungguhnya roda pemerintahan daerah (Pemda) hanya dikuasai oleh oligarki atau sekelompok elit politik lokal yang punya akses dengan penguasa lokal, uang dan sumberdaya kekerabatan yang kelak akan menjadi pejabat di daerah. Maka dengan begitu berarti pejabat daerah juga hanya berputar-putar dalam ring oligarki. Jangan harap jika tak punya
akses dengan penguasa lokal, uang dan sumberdaya kekerabatan akan dapat menjadi pejabat lokal. Itulah sebabnya era Otda ini jabatan publik di daerah hanya diperebutkan oleh kalangan terbatas dengan model rekruitmen yang tertutup, tak berstandar dan penuh rekayasa politik. Birokrasi di era Otda ini hanya menghasilkan manusia-manusia kerdil yang gila jabatan dengan menghalalkan segala cara untuk meraih ambisi kekuasaan dan jabatan di Pemda.
Daerah dalam Genggaman Segitiga Menurut Ian Wilson (2010) dalam “The Rise and Fall of Political Gangster in Indonesia Democracy�. Salah satu faktor mengapa politik lokal hanya dikuasi oleh oligarki yang cenderung korup di tengah upaya menyebar demokrasi lokal dapat dilihat dari realitas, bahwa para petahana (incumbent) biasanya cenderung menggunakan amunisi ancaman dan provokasi kepada Pengawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) agar menyokong kemenangannya dalam kompetisi Pilkada. Tak jarang para petahana menggunakan orang-orang kuat (gangster) dari unsur aktifis partai politik penyokong petahana atau dengan menggunakan tokoh-tokoh kuat lokal (local strogment) untuk mempengaruhi para PNS/ASN potensial untuk menyokong kemenangan petahana. Bahkan menurut Syarief Hidayat (2009) orang-orang kuat (local strogment) ini tak jarang akan berubah bentuk menjadi pemerintahan bayangan (shadow g o v e r n m e n t ) d i Pe m d a y a n g berkolaborasi segitiga antara kepala daerah, orang kuat daerah (local strogment) dan pebisnis lokal (local busines) untuk mengatur jalannya pemerintahan lokal, mulai dari mengatur proyek-proyek pembangunan daerah, penerimaan
keuntungan proyek (fee), hingga penempatan jabatan PNS/ASN di dinas-dinas terkait. Tak dapat d i b a n t a h k i n i Pe m d a d a l a m genggaman politik segitiga.
Memotong Pembajak Demokrasi Perputaran kekuasaan politik hanya pada kerabat penguasa dan kaum bangsawan lokal ini juga mencerminkan mundurnya sistem kepartaian yang gagal menyiapkan kader-kader yang terampil dan mumpuni. Partai politik selama ini lebih banyak mengalami perpecahan yang disebabkan oleh kepentingan prakmatis bukan ideologis. Maka yang terjadi adalah gagalnya partai melahirkan kader-kader pemimpin politik yang matang, sebaliknya gemar �membeli� kader dari luar partai, hanya berdasarkan pada pertimbanagn memiliki uang, jejaring sosial dan tingkat keterpilihan (elactability) bukan berbasis pada idologi kepartaian dan kemampuan memerintah (governability). Agar fenomena oligarki yang korup di daerah tak kian subur dan menjadi tren politik kita. Maka tiba saatnya kita melakukan rekayasa sistem pemilukada (electoral engineering) meminjam ungkapan Pippa Norris (2004) dalam Electoral Engineering: Voting Rules and Political Behaviour. Di titik ini diperlukan cara sistemik memotong mata rantainya melalui perubahan mendasar UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.10 Tahun 2016 Tentang Pilkada agar membatasi jarak satu generasi antar kerabat dinasti dalam pencalonan kepala daerah dengan membatasi tampilnya para kerabat langsung.
DESTINASI
DI BALIK SERAMNYA NUSAKAMBANGAN Oleh : Genies Wisnu P.
T
empat yang terisolir dan seram mungkin itu yang terbesit pertama kali dalam pikiran sebagian orang jika mendengar kata Nusakambangan, memang tidak bisa dipungkiri karena pulau ini merupakan tempat terletaknya beberapa Lembaga permasyarakatam yang memiliki tingkat keamanan di atas rata-rata, pulau ini juga menjadi tempat esekusi mati bagi beberapa narapidana yang terjerat dalam kategori hukum berat seperti dalam kasus terorisme dan narkoba. Banyak yang mengira jika pulau itu termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Cilacap, namun ternyata Nusakambangan dikelola oleh Kementrian Hukum dan HAM. Pulau ini menyajikan panorama alam yang sangat mengagumkan dan statusnya sebagai cagar alam menjadikan tempat ini habitat bagi tumbuhan dan satwa langka.
Perjalanan dimulai dari Pantai Teluk Penyu yang berada tidak jauh dari kota Cilacap sekitar 2 Km ke arah timur, dari sini kita akan menyebrang ke pulau Nusakambangan menggunakan perahu nelayan dengan biaya penyebrangan berkisar 25 sampai 30 ribu rupiah per orangnya. Untuk perahu nelayan sendiri hanya muat untuk 8 orang dewasa cukup kecil menilik ganasnya ombak-ombak pantai selatan dari pantai Teluk Penyu ke Nusakambangan memakan waktu kurang lebih 25 menit. Pemberhentian pertama adalah pantai Karang Bolong, dengan pesisir pantai berwarna putih, tidak begitu luas dan memiliki hutan alami yang masih sangat asri. Disinilah awal wisatawan berjalan untuk menyusuri pulau Nusakambangan. Beberapa meter berjalan dari bibir pantai akan menemukan plang bertuliskan Cagar Alam Nusakambangan tepat di sekitar
sinilah banyak warga yang menjual berbagai aksesoris maupun souvenir hasil alam sekitar dan karya kerajinan dari narapidana lapas Nusakambangan. Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan setapak melintasi hutan, tidak perlu takut kesasar karena sudah ada petunjuk jalan namun jika masih merasa ragu bisa menggunakan jasa pemandu yang ditawarkan masyarakat lokal. Setelah kita berjalan sekitar 15 menit kita akan menemukan cabang pertigaan jika ke kiri menuju Pantai Tebeng dan lurus ke arah benteng Karang Bolong tepat di tengah-tengah ini kita sudah dapat melihat dua objek wisata. Pantai Tebeng merupakan pantai yang sangat indah dengan bibir pantai pasir putih bercampur hitam nan cukup luas, di pantai ini diajurkan tidak untuk berenang karena memiliki ombak yang tinggi, dan karang yang
Destinasi
tajam. Kebanyakan wisatawan menikmati suasana pantai dengan meminum kopi yang dijual di dekat area tersebut. Selanjutnya adalah Benteng Karang Bolong tinggal berjalan lurus dari kejauhan sudah terlihat gapura benteng yang setengah roboh karena faktor usia dan alamiah. Biasanya banyak orang asli daerah tersebut menawarkan jasa untuk mendampingi wisatawan jika ingin masuk ke benteng lebih dalam, maklum karena benteng ini memiliki struktur bangunan di bawah tanah dan memiliki sekat-sekat seperti halnya labirin jadi jika belum mengetahui medan bisa saja sulit untuk keluar dari benteng, keadaan benteng ini benarbenar sangat tidak terawat banyak bangunan yang rusak termakan zaman, tidak ada penanganan khusus untuk menjaga situs sejarah ini tetap
lestari. Menurut cerita warga sendiri penamaan benteng Karang Bolong terinspirasi dari keberadaan sebuah karang besar yang terletak di sudut pantai, yang memiliki lubang dibagian tengahnya, konon lubang tersebut dulunya digunakan untuk mengintai kapal-kapal musuh yang hendak singgah di pulau Nusakambangan. Benteng Karang Bolong terdiri dari bangunan yang terpisah-pisah, menurut perkiraan warga benteng ini memiliki luas kurang lebih 6000 meter persegi. Menurut penuturan pemandu konon dari berbagai bangunan yang ada di Benteng Karang Bolong yang terseram justru berada di bangunan utama, karena pada bangunan utama terdapat tempat pembantaian para pekerja paksa dulu, jadi buat anda yang memiliki nyali cukup besar mampirlah untuk
Sumber foto : wisatacilacap.orgfree.com
mengunjungi benteng ini sambil b e l a j a r s e j a r a h d a n mengabadikannya. Selanjutnya ada pantai Karang Pandan untuk kesini harus melewati medan yang lumayan sulit dengan jalan bebatuan yang menanjak dan turunan yang curam. Saat di perjalanan kita juga bisa menemukan bekas meriam Belanda serta tugu Bataliyon. Setelah berjalan sekitar 20 menit dengan medan yang ekstrim disinilah kita akan menemukan surga tersembunyi Nusakambangan dengan pasir putih menghampar luas laut biru bergradasi ombak yang bersahabat akan memanjakan mata kita, keadaan sekitar pantai yang masih asri serta pantai yang masih perawan seketika akan menghilangkan beban pikiran dan rasa lelah kita setelah berjalan mengitari indahnya pulau Nusakambangan.
Cerpen
MENGAPA SEMUA HARUS TERJADI? Oleh : Laras Iga Mawarni
“Kring... kring... kringg... “ (suara bel) Suara bel itu membuat jantungku berdetak lebih kencang, yang semula keadaan bising dengan suara orang mengobrol, ketawa, lalu lalang kendaraan masuk seketika sepi. Aku hanya terduduk diam di ruangan yang sangat dingin dengan suhu AC 20 derajat Celcius, mendengarkan ayah ku mengobrol dengan kepala sekolah. Di hari itu juga aku merasakan perasaan yang bercampur aduk cemas dan gelisah. Apakah aku sanggup bertemu dengan orang-orang baru?. Ya, Ini adalah hari pertama ku masuk sekolah yang baru SMAN 2 Long Ikis “Sudah siap untuk belajar hari ini nak?” Pertanyaan awal dari kepala sekolah. “Siap pak.” jawab ku. “Tak usah khawatir pasti di sini kamu dapat teman yang baik seperti teman-temanmu dulu” perkataan ayah itu seolah-olah mengerti hal apa yang aku rasakan saat ini. “Iya yah.” jawab ku “Kalo sudah pulang, langsung ke kantor ayah.” ucap ayah. Ya, kantor baru ayahku kebetulan sangat dekat dengan sekolah. Langkah demi langkah
kujalani menyelusuri lorong yang sepi untuk menuju kelas. Setiap langkahku, saat mendekati kelas yang akan kutempati, tangan ini semakin dingin dan jantungku berdebar lebih kencang, dan akhirnya sampailah aku di depan pintu kelasku yang baru. “Silahkan masuk,” guru yang saat itu sedang mengajar menyuruh ku masuk dan kepala sekolah pun meninggalkanku. Aku duduk di bangku paling depan. Kebetulan jumlah kelas yang aku tempati sekarang berjumlah ganjil, mau tidak mau aku harus duduk sendiri. Pelajaran pun dimulai kembali. Aku mengawali masuk sekolah dengan pelajaran yang aku sukai yaitu matematika. Bel pun berbunyi lagi, menandakan waktu istirahat telah tiba. Tak ada seorang pun yang mengajakku ngobrol, kondisi ini pun terus terjadi setiap harinya. (Hari ke-11 di sekolah) Kebetulan hari ini tak ada pelajaran, karena hari ini adalah hari kartini. Semua murid dan guru memperingati dengan upacara dan melaksanakan berbagai kegiatan lomba. Kebetulan kelasku masuk final lomba basket dan lawannya adalah kelas 10 e. Kelas 10 e adalah kelas Ara teman baruku di sekolah
dan juga di perumahan. Ara memperkenalkanku dengan temanteman sekelasnya mereka sangat baik denganku. Saat lomba dimulai posisiku berada di antara anak-anak 10 e, karena merekalah yang menerima aku sebagai teman, tetapi teman-teman di kelas ku tidak menerima jika aku ada di antara kelas 10 e mereka mengira aku lebih mendukung kelas lain di banding kelas sendiri. Pulang sekolah aku langsung pulang kerumah dan siap-siap untuk berangkat les “Nahwa cepet duduk sini.” ucap Chika. Chika adalah salah satu sahabatku di tempat les. Kami selalu duduk belakang jarang sekali duduk di depan. Iya kami berlima yang beranggotakan Chika, Rania, Saka, Dewa dan aku. Kami membentuk sebuah geng yang bernama A5, nama tersebut kita ambil dari nama belakang kami yang kebetulan berakhiran “A”. Mereka semua anak hits dan satu sekolahan di SMAN 1 Long Ikis, jauh berbeda denganku yang anak pindahan yang selalu di bully teman sekelas. Mereka selalu membela jika temanteman sekelasku mulai membullyku di sini, karena kebutulan teman sekalas ku juga les di tempat yang sama denganku. Apalagi setelah
Cerpen
Sumber Foto : Google
kejadian perlombaan itu aku selalu dipanggil penghianat. (Hari ke-21 di sekolah) Sampai suatu hari, saat sedang berlangsungnya pelajaran fisika di laboratorium aku menangis karena Bu Ika memarahiku, lagi-lagi aku tidak mendapatkan kelompok. Bu Ika mengira aku akan menjadi parasit bagi kelompok temantemanku. Aku dibilang tak bisa bergaul, tidak cocok di kelas ini karna di kelas ini semua murid mengusai pelajaran fisika, aku merasa terintimidasi. Aku tak tahan dengan perlakuan mereka. Aku hanya duduk terdiam dan menangis hingga bel berbunyi menandakan waktu pulang. Aku menangis sampaisampai air mata ku ini kering menandakan sudah berapa lamanya aku menangis, akhirnya aku tertidur sampe pukul 19.00 WITA. “Nahwa ayo bangun, ini sudah jam berapa? Kamu belum mandi dan makan” ucap mama. Saat aku bangun mama ku terkejut melihat mataku yang merah dan bengkak disebabkan tangisan. “Mata kamu kenapa? Kamu habis nangis?,” Tanya mama ku. Aku hanya terdiam dan menangis lagi. “Ayaaaaaah!” Teriak mama. Akhirnya ayah datang ke kamarku. Dan aku menceritakan
semua kejadiaan apa yang aku rasakan selama aku sekolah di tempat yang baru. (Hari ke-22 di sekolah) Pukul 06.00 WITA aku belum keluar dari kamar ku, ayah pun masuk ke kamar. “Ayo kita ke sekolah!.” perintah ayah. “Tidak yah, aku mohon hari ini aku tak ingin masuk sekolah.” jawab ku. Ayah tetap memaksa untuk pergi kesekolah. Akhirnya aku dan ayah pergi ke sekolah. “Mohon maaf pak, saya mau ketemu dengan Bu Ika sekarang juga !.” ucap Ayah kepada kepala sekolah, dengan nada emosi. Akhirnya aku, ayah dan kepala sekolah pergi ke ruang guru, kebetulan Bu Ika ada di ruangan guru. “Mohon maaf, anda yang bernama Bu Ika?” tanya ayah kepada Bu Ika “Iya pak, ada apa?” Tanya Bu Ika dengan wajah yang kebingungan. “Anda masih tanya kenapa? Anda tidak tau anak saya pulang-pulang nangis dan tidak mau berangkat sekolah, anda tidak tau perlakuan anda dapat membuat mental anak saya turun?” Jawab ayah. Semua orang yang berada di ruangan tersebut sontak kaget mendengarkan percakapan ayah dengan Bu Ika. “Mohon maaf atas kejadian kemarin
pak” jawab Bu Ika. “Kata maaf apa bisa membuat mental anak saya kembali seperti semula? Tidak seharusnya anda berperilaku seperti itu, anda guru yang seharusnya sebagai contoh murid anda, sebagai guru anda harus mengajarkan kebaikan dan memberi ilmu, bukannya memarahi anak saya! anda seharusnya sebagai perantara anak saya biar bisa bergaul dengan yang lain”. ucap Ayah dengan nada marah. “Sekali lagi saya minta maaf pak” jawab Bu Ika. “Pak maafkan Bu Ika, tentang masalah ini biar saya saja yang menindak lanjuti.” jawab kepala sekolah. Akhirnya ayah memaafkan Bu Ika. Dan teman-teman sekelas ku dipanggil kepala sekolah untuk meminta maaf kepadaku. Walaupun ayah dan aku sudah memaafkan mereka, ayah memutuskan untuk aku pindah sekolah ke SMAN 1 Long Ikis, karena ayah tau aku mempunyai sahabat yang baik disana yang akan membantuku untuk tidak trauma atas segala kejadian yang kualami.
Resensi
SIR ARTHUR CONAN DOYLE SHERLOCK HOLMES (KOLEKSI KASUS 1) Oleh : Novena Larasati
Judul
: Sherlock Holmes: Koleksi Kasus 1
Pengarang : Sir Arthur Conan Doyle
S
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama, 2015
ISBN
: 6020312917, 9786020312910
Tebal
: 832 halaman
herlock Holmes menjadi tokoh fiksi fenomenal yang merupakan seorang detektif terkenal dengan sikap tenang, cerdik, dan mengedepankan logika dalam memecahkan sebuah masalah. Cara yang dilakukan Holmes dalam memecahkan suatu kasus yang terjadi memang terbilang langka dan unik, ia hanya cukup mendengar cerita dari kliennya sambil memejamkan mata dan merokok dengan pipanya. Seketika pikirannya melayang untuk menyambungkan mata rantai antara peristiwa satu dan peristiwa lain dan terakhir memberi solusi yang tepat untuk kliennya atau Holmes sendiri yang bertindak untuk turun ke tempat kejadian peristiwa agar dapat menemukan petunjukpetunjuk yang sering diabaikan orang lain dan memecahkan kasus tersebut dengan caranya sendiri. Demikian seorang Sherlock Holmes menjadi konsultan bagi para detektif lain yang kesulitan dalam memecahkan masalah pada kliennya. Pada buku “Sherlock Holmes: Koleksi Kasus 1�, ada lima bagian yang menceritakan kisah Holmes yang berbeda-beda. Bagian Benang Merah menceritakan awal mula bagaimana Holmes bertemu dengan Dr. Watson, seorang Dokter Umum
lulusan dari Universitas London yang melanjutkan ke Netley dan berhasil menjadi Dokter Ahli Bedah khusus Angkatan Darat. Pertemuan awal mereka memang tidak semenarik yang dibayangkan, karena dengan memiliki sifat yang berbeda dengan Holmes yang cenderung lebih cuek dan masa bodoh dengan hal-hal semacam itu ditambah lagi Watson yang tertarik untuk mengenal Holmes lebih dekat, namun seiring dengan waktu Holmes dan Watson akhirnya lebih dekat dan menjadi rekan kerja dalam penyelesaian kasus-kasus Holmes. Hal ini terjadi karena apa yang menjadi kekurangan dari mereka merupakan suatu kelebihan pula bagi mereka. Perjalanan Holmes tidak hanya berhenti pada bagian Benang Merah saja, pada bagian Empat Pemburu Harta pula Holmes dan Watson saling bekerja sama dalam memecahkan sebuah kasus yang penuh dengan teka teki sulit untuk dipikirkan secara logika namun Watson dan Holmes mampu menyelesaikan dengan cara mereka masing-masing. Perjalanan Holmes pada bagian Petualangan Sherlock Holmes, Holmes akhirnya menemukan wanita yang dikaguminya membuat Holmes
merasakan cinta. Kisah cintanya ini menarik dan membuat pembaca seakan-akan terbawa pada kisah Holmes dan cintanya, kata kata cinta Holmes begitu nyata dan menggambarkan bahwa cinta tidak bercerita bahagia saja namun juga kesedihan. Kisah Holmes mengenai kasus-kasus yang harus dipecahkan berlanjut pada bagian Memoar Sherlock Holmes dimana pada bagian ini peristiwa pertama yang mempertemukannya dengan musuh bebuyutannya, Dr. Moriarty dan bagian Anjing Setan yang dibuat apik dan menarik untuk dibaca. Setelah membahas bagian bagian dari buku dan cerita-cerita pendeknya, dengan membahas kelebihan dan kekurangan buku ini perlu untuk diketahui oleh si pembaca. Kekurangan dari buku ini mungkin penggunaan kosa kata yang sulit dan kadang perlu kamus untuk menerjemahkannya. Kelebihan dari buku ini adalah pembaca akan terbawa dalam imajinasi yang disuguhkan dengan rapi oleh penulis tentang petualangan Holmes dan Watson serta buku ini memiliki sensani tersendiri bagi penikmat cerita fiksi di mana banyak hal yang dapat diambil dari pengalaman Holmes.
Resensi
MENGENANG SEBUAH KISAH KLASIK Oleh : Ghirindra Chandra
U
ntuk anak generasi 80 dan 90an mungkin album ini terdengar familiar di telinga. Pasalnya album ini lah yang mengantarkan grup band asal Kota Gudeg, Yogyakarta. Sheila On 7 dari grup band pemula sejak debut mereka pada tahun 1999, menjadi grup band legendaris di industri musik Indonesia. Album itu berjudul “Kisah Klasik untuk Masa Depan” album kedua Sheila On 7 ini dirilis pada tahun 2000. Album yang pada masanya meledak di pasaran, bahkan menguasai top request di radio. Hanya memerlukan waktu setahun untuk menembus 1,7 keping penjualan di Indonesia saja. Bahkan di Malaysia menembus 150 ribu keping, angka yang bahkan sulit didapatkan oleh musisi lokal setempat sekalipun. Dengan bekal album selftitled yang menjadi debut band asal Jogja itu di industri musik Indonesia yang juga laris di pasaran, pada album ini Sheila On 7 seakan menemukan zona nyamannya dimana penempatan rasa dan emosi semakin tepat dilakukan dengan nyaman oleh Duta sang vokalis. Ritme iringan bass dan drum pun semakin variatif yang membuat album ini lebih berwarna dan memberi ciri serta karakter album ini sehingga bisa dikatakan sangat khas dan lain dari album dengan tema serupa pada awal tahun 2000-an. Ditambah dengan kepiawaian Eros Candra sang gitaris dan penulis mayoritas lagu Sheila On 7 dalam mengolah nada dan diksi, yang dinilai ikonik dan menjauhkan dari kesan basi dan membosankan untuk lagu percintaan dan persahabatan. Karenanya album bisa dikatakan tidak lekang oleh zaman. Lagu didalamnya seakan selalu relevan dengan keadan hari ini, padahal album ini sudah terbit sekitar 18 tahun yang lalu. Walaupun dari segi usia album ini sudah memasuki usia dewasa, namun masih cocok untuk didengarkan remaja jaman sekarang. Seakan penulisnya bisa menggambarkan curahan hati para remaja tentang
persahabatan maupun manis pahitnya cinta. Benar saja gambaran itu cocok dengan judul albumnya yaitu 'Kisah Klasik Untuk Masa Depan' Lagu yang paling hits dan fenomenal pada album ini adalah “Sephia” menguasai chart lagu lokal dan video klipnya pun sering ditayangkan di televisi pada masa itu. Lagu yang seakan menyuguhkan cerita tentang hadirnya orang ketiga dalam suatu hubungan. Figur yang digambarkan juga mengundang rasa penasaran dari pendengar terkait siapakah sosok 'Sephia' sebenarnya. Sentuhan dari komposer kenamaan Erwin Gutawa pada instrumen biola yang membuat kesan sedih dan tragis kian jelas pada lagu ini. Gambaran persabatan di kalangan remaja tentang mengarungi dengan penuh suka duka perjalan hidup yang penuh warna dan perjuangan, juga dikemas dengan bagus pada lagu “Sahabat Sejati” dan “Temani Aku”. Klimaksnya ada pada
lagu “Sebuah Kisah klasik” yang menggambarkan nuansa haru dalam perpisahan dimasa ujung persahabatan yang seakan menjadi lagu wajib pada masa periode terakhir sekolah. Dengan cerita yang sesederhana itu dan dialami oleh semua orang yang membawa pendengarnya mengenang kisah masa lalu dan menyadari bahwa hidup yang dilalui penuh warna. Album ini tentunya bisa menjadi favorit bukan hanya untuk Sheila Gank tetapi untuk semua orang, karena hampir setiap orang mengalami kisah persahabatan dan percintaan, lagu ini tetap akan menjadi karya yang segar untuk didengarkan di setiap waktu. Sangat unik memang karena album ini bisa membangun dan memecah romantisme yang ia ciptakan. Sesuai nama albumnya memang di usianya yang ke-18 tahun album ini benar benar menjadi kisah klasik di masa depan.
Produk LPM NOVUM FH UNS
PRODUK LPM NOVUM FH UNS LEDAK (Lembar Demokrasi Kampus) Newsleter LEDAK terbit sebulan sekali dengan menghadirkan berita-berita hangat, terktual, dan terpercaya seputar kampus Universitas Sebelas Maret dan Fakultas.
BINGKAI (Bingkisan Gambar Berita Terkini) Poster BINGKAI terbit sebulan sekali dengan berpacu pada berita-berita hangat Nasional dan Kota Solo yang divisualisasikan ke dalam foto atau gambar ilustrasi.
ULTIMATUM (Ulasan Cerita dan Opini Mahasiswa Fakultas Hukum) ULTIMATUM adalah program kerja Bidang Redaksi dengan bentuk buletin yang berisi kumpulan cerita dan opini mahasiswa Fakultas Hukum.
Selamat Wisuda
Selamat dan Sukses Atas Diwisudanya
Deas Markustianto, S.H
Dian Sri Lestari, S.H
Nadito Amanu Rizal, S.H
Annisa Syah Putri, S.H
Devina Ruth Merida, S.H
M. Gafur Salaffudin, S.H
Rio Cahya Nandika, S.H
Fidha Nursita Putri, S.H
Limausine Limaran, S.H
Rizky Di Agustius, S.H
M. Fachri Wijaya, S.H
Ahmad Nurhuda. T, S.H
Amanda Athasya, S.H
Oba Lintang, S.H
Narulita Puspita Rahmi, S.H
Bagas Ariyadi. W, S.H