Obrolan di belakang hotel #JogjaAsat

Page 1

Obrolan di Belakang Hotel

Diawali dengan screening video dokumentasi Belakang Hotel dan kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang bertajuk “buka Mata, Jaga Jogja Berbudaya, merupakan agenda lanjutan dari proses gerakan warga dengan mengambil isu budaya, lingkungan dan korupsi yang terjadi di Jogja. Acara serupa dilakukan sebelumnya di PKKH UGM. Agenda kolaborasi dengan di hadiri oleh Dandhy Laksono (WatchDoc), Marco Kusumawijaya Rujak center for Urban Studies (RCUS) Jakarta sebagai pakar tata ruang dan perkotaan, serta Eko Riyadi (PUSHAM UII) sebagai peneliti dan pegiat anti korupsi, ini di selenggarakan di Warung Jawi Dalem Sopingen, Kotagede, Yogyakarta pada hari Selasa, 27 Januari 2015 pukul 19:00 – 21:30 WIB. Diskusi ini dimoderatori oleh Mas Bambang MBK (AJI Yogyakarta/The Jakarta Post). Dandhy Laksono hadir bersama Teguh Supriyadi (Ucok) sebagai fotografer jurnalis yang saat ini sedang melakukan projek expedisi Indonesia Biru, melakukan keliling Indonesia selama setahun kedepan dimulai tanggal 1 Januari 2015 waktu lalu hingga akhir tahun 2015 dan hari ini membicarakan karyanya salah satunya Belakang Hotel. Marco Kusumawijaya akan lebih banyak membicarakan bagaimana dampak dari tata kota yang kemudian dipenuhi dengan hotel, dampak sosiologisdan psikologis yang sangat besar terhadap masyarakat yang tinggal Jogja. Eko Riyadi berbisacara bagaiama persoalan pembangunan yang telah mengambil hak asasi atas lingkungan dan budaya masyarakat dan yang terpenting adalah persoalan perijinan hotel terhadap pembangunnya yang sangat masif akhir-akhir ini di Jogja.


Dan apakah ada persoalan korupsi yang terjadi dalam perijinan pembangunan terhadap hotel tersebut. Menurut riset dari KPK dan BPK, banyak kepala daerah memang tidak melakukan korupsi dalam penggunaan penyalahgunaan dari APBD tetapi banyak bermasalah soal perijinan. Mengutip Busro Muqodas, “Ada sekitar 500 perijinan, dari Bupati dan Walikota di Indonesia itu yang bermasalah dengan korupsi perijinanan, dengan nilai gratifikasi soal perijinan sekitar 5-6 miliar untuk satu perijinan”. Ini persoalan bersama, ini adalah awal sebuah perubahan yang cukup signifikan di Jogja dengan munculnya hotel-hotel yang masif. Ada sekitar 106 hotel yang akan dibangun lagi dengan mengahabiskan lahan serta wilayah publik di Jogja. Wilayah tersebut yang sebenarnya dapat digunakan sebagai berkomunikasi saling mengenal sesama warga yang telah diambil oleh korporasi besar atas ijin pemerintah, yang kemudian untuk menghasilkan PAD (Pendapatan Anggaran Daerah) yang di dampakan oleh pemerintah kota. Ini yang menjadi persoalan yang secara antropologis kebudayaan itu selalu dibangun di atas tanah, ada ruang dan ketika ada masyarakat disana menempati ruang inilah mereka membangun kebudayaannya. Tetapi ketika ruang publik di Jogja kemudian sudah semakin hilang, maka kebudayaan apa yang akan di bangun dan dikembangkan? Satu sisi, munculnya hotel dan apartemen di Jogja juga Sleman yang akan meminggirkan kearifan lokal, budaya-budaya lokal akan hilang. Warga Sleman bergolak karena jika dilihat di dunia maya misalnya ada sekitar 10 apartemen sebagian besar berdiri berbatasan dengan kota Jogja akan membuat persoalan tersendiri. Pemda Sleman juga belum memiliki Perda tentang pembangunan apartemen ini, ini akan menjadi persoalan besar. Ruang diskusi ini semoga bisa menggali ide-ide baru agar bisa melakukan gerakan masa secara kolektif untuk kemudian mencoba bersama-sama menyelesaikan persoalan ini. Menurut Dandhy, “film Belakang Hotel tidak ada sutradaranya, tetapi semuanya adalah para videografer, dikerjakan secara bersama-sama yaitu Teguh Supriyadi (Ucok) sebagai videografer, Widya Utomo sebagai editor video, Adit sebagai pilot drone. Intinya kami mengerjakan dalam waktu seminggu, memang karakter video dokumenter Watchdoc dirancang sederhana tidak perlu lama, desain produksinya sederhana juga, eksekusinya sederhana, yang penting substansinya tersampaikan, urgensi sosialnya diutamakan, keindahan gambar tidak diutamakan, yang penting membawa perubahan sosial, gambar bagus adalah bonus semata. Jadi itu bagian dari usaha kami dalam bergabung dengan warga berdaya karena momennya memang pas”. Pengerjaan film ini tidak ada sponsor dan tidak ada kebohongan dalam aktingnya. “saya tertarik karena memang ini isu kebijakan publik yang merata di semua kota. Kota Batu , Malang juga mengalami hal yang sama, sudah menjadi kota wisata dan perebutan air tanah menjadi perebutan. Semarang juga direklamasi, Makassar juga reklamasi, Jakarta juga dilakukan sudah lama di reklamasi karena akan di bangun Giant Sea World. Hampir semua kota, tata ruangnya tidak dibuat tapi mungkin untuk kompetensi pembangunan lumpuh. Setiap hari kita melihat sehingga tidak menjadikan itu bukan masalah, tetapi begitu ketika di lihat dengan kamera, hal ini menjadi masalah.”, imbuhnya. Sehingga ketika ditarik dengan sudut pandang yang lebih luas mata kita menjadi lebih terbuka, padahal persoalan itu jelas ada dihadapan kehidupan kita bersama. Ini sebuah cerminan watak dan paradigma pembangunan di Indonesia yang tidak berubah, hanya aktor yang dianggap kemenangan-kemenagan kecil yang kita yakini akan mengalami perubahan padahal paradigma besar bahwa pembangunan tidak akan mengalami perubahan.


Bahwa kemudian film, gambar adalah yang terpenting dapat menjadi media dan membawa dampak peruabahan sosial bagi masyarakat Jogja. Persoalannya selain soal air, Indonesia ini sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan ciri yang sangat unik dan pertumbuhan kelas menengah perkotaan yang sangat besar. Bukan soal paradigma membangun saja bukan soal rejim, tetapi persoalannya adalah pada kitanya sendiri. Kita yang selalu ingin konsumsi air yang banyak, ingin jalan jalan dan sebagainya. Marco mengungkapkan, “Indonesia seringkali menjadi alat dari kapital yang ingin menumpuk keuntungan itu sudah biasa sekali. Itu sudah menjadi sejarah kapitalisme sejak 250 tahun, kita sekarang akan mengalaminya besar-besaran. Siapapun presidennya akan menjajikan kemakmuran yang lebih, disamping itu juga untuk menyalurkan kelas menengah yang tumbuh secara pesat, ini menjadi persoalan besar”. Menurut BLH Jogja, “sumur kering karena lagi musim kering”. Itu menurut Marco, “air tanah yang kita pakai itu tidak terpengaruh oleh musim hujan pada waktu itu. Itu pointnya. Air sumur atau air tanah yang disedot oleh hotel-hotel itu adalah air yang terbentuk puluhan ratusan tahun yang lalu tergantung kedalaman”. Tidak betul jika menghubungkan karena ini musim hujan yang turun naik lalu air sumur ikut turun naik juga. Dan film tersebut sudah membuktikannya. Karena ketidakmampuan dari PDAM kita dalam menyediakan kecukupan air dalam pipa (pipe water) pada warganya. Di Jogja persoalan tata ruang dalam persoalan hotel-hotel besar pada jaman dahulu masih sangat terbatas, tetapi sekarangpun kalau tidak salah ada peraturan yang lebih mendorong hotel kecil dengan spesifikasi tertentu dapat bebas pajak tertentu. Tetapi hal itu tidak mengurangi hotel besar dalam pembangunannya, persoalannya adalah proses industrialisasi hotel pariwisata yang berlebihan. Betulkah Jogja perlu hotel sebanyak itu atau perlu kamar sebanyak itu? Hotel yang banyak sekarang ini mulai dikuasai hotel yang “bermerk”, sehingga hotel rakyat yang kecil-kecil akan tertekan. Gejala ini akan ini akan terus, dan menjadi perebutan ruang antar berbagai fungsi dalam sebuah kota adalah sebuah hal yang biasa tetapi apakah pembicaraan tersebut dilakukan secara terbuka? Barangkali hotel dapat mempengruhi ekonomi Jogja dan diatakan menjadi faktor perekonomian tumbuh, tetapi jangan lupa bahwa turisme yang berlebihan sangat mungkin menaikkan harga-harga di Jogja, berarti bencana bagi Jogja sebagai kota pendidikan. Ketika suatu sektor berkembang, seharusnya ada pembicaraan yang terbuka diantara warga pada sektor-sektor lain yang menguntungkan masyarakat. Hubungan antar sektor seharusnya perlu dibahas lebih terbuka melibatkan warga, selama puluhan tahun mengenai tata ruang tidak pernah diajak berbicara mengenai hal tersebut. Tata ruang selalu dianggap sebagai persoalan teknokratis, persoalan BAPPEDA, persoalan orang pinter yang ada di kampus, dan seringkali orang kampus bekerjasama dengan pemerintah mengatakan “rakyat tidak tahu, yang tahu hanya kami-kami aja”. Uniknya dengan isu Jogja Asat, warga mempunyai kasus yang sangat nyata yang dapat di buktikan secara nyata juga. Perjuangannya bukan hanya soal air, tetapi persoalan yang lebih luas adalah hak-hak warga untuk ikut terlibat dalam membahas kotanya. Bahwa persoalan ini adalah persoalan kepemerintahan karena kita mewarisi suatu kebiasaan persoalan-persoalan seperti ini tidak dianggap persoalan warga karena dilihat secara teknokratis seoalah-olah yang ahli, yang berwenang, dan yang hanya berkuasa yang berhak membicarakannya. Ini merupakan awal yang penting untuk mempejuangkan bahwa persoalan kota dapat di bicarakan bersamasama dengan warga.


Dalam kontek air menurut Eko, “memang kita ada masalah! Kita punya UU no.7 tahun 2004 tentang sumber air. Undang-undang itu paradigmanya memang sudah keliru karena pada masa lalu air adalah “public goods”, air adalah barang publik seperti halnya udara, dia tidak bisa di klaim sebagai barang pribadi atau milik siapa?”. Jadi air ataupun udara adalah common property, milik bersama yang tidak mungkin di jual belikan atau di kuasai oleh siapapun. Jika ada orang atau perusahaan yang memiliki teknologi untuk memperjualbelikan udara, bahaya! Ketika kita ingin bernafas harus beli? Seperti halnya air itu juga. Air karakternya adalah barang publik yang tidak bisa dikuasai oleh siapapun. Nah pada konteks itu, sebenarnya negara bukan untuk memiliki air atau udara tersebut tetapi negara justru memastikan bahwa barang-barang itu tidak dikuasai siapapun dan bisa dugunakan oleh kita semua. Itu mandat konstitusional berdirinya negara. Mengapa? Karena kalau tidak ada negara, kepentingan publik tidak terlindungi dan negara didirikan sebenarnya adalah kita sendiri atau masyarakat. Persoalan ketika ada UU no.7 2004 itu, air bisa dilekati sebagai barang privat, tidak secara langsung air tersebut menjadi barang private property tetapi undang-undang tersebut memberikan kemungkinan menjadi private property, sehingga air tersebut bisa dikuasai. Sehingga jika kita membutuhkan air dalam keseharian kita minum “Aqua” dan sejenisnya. Karena air yang kemudian bis dikuasi oleh aktor privat. Lebih lanjut Eko menegaskan, “pasal 17 di deklarasi Universal HAM, secara teoritis bahwa semua orang berhak mendapatkan status kehidupan yang layak, kemudian diterjemahkan di pasal 11 ayat 1dan pasal 12 ayat 1, hak internasional ekonomi sosial budaya bahwa setiap orang memiliki hak akses untuk kehidupan yang layak”. Putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa secara konstitusional air itu adalah bagian hak asasi manusia yang dijamin oleh negara. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pernah membuat komentar umum no. 15, tentang hak ekonomi sosial budaya internasional, bahwa air memiliki tiga indikator agar hak atas air tersebut terpenuhi, yang pertama adalah ketersediaan, air harus tersedia. Kedua kualitas, negara punya kuajiban untuk menyediakan air dan menjaga kualitas air. Yang ketiga adalah aksesibilitas, negara juga harus menjamin bahwa air tersebut dapat di akses oleh masyarakat, oleh siapa saja. Aksesbilitas itu terkait dengan empat hal, yang pertama adalah fisik, secara fisik air tersebut harus tersedia, tidak asat. Aksesibilitas secara ekonomi, karena air itu barang publik, maka negara harus memastikan setiap orang itu berhak atas air, setiap orang memiliki kemampuan secara ekonomi untuk minum dan untuk mendapatkan air. Non diskriminasi, tidak boleh ada sekolompok orang medapatkan air tetapi sekelompok lain tidak bisa. Kemudian yang ke empat adalah aksesibilitas informasi, masyarakat harus diberi informasi bahwa berapa air yang di butuhkan, padahal hal tersebut bagian dari hak publik untuk mendapatkan informasi tentang hal itu. Kuajiban negara dalam konteks itu ada tiga, yang pertama negara tidak boleh menghambat warga negaranya untuk mendapatkan air, yang kedua adalah negara itu punya kuajiban bahwa negara mencegah pihak ketiga mengahalangi masyarakat atau warga negaranya untuk mendapatkan air. Itulah fungsinya BLH (Badan Lingkungan Hidup), Dinas Perijinan dan sebagainya karena negara punya kuajiban utnuk memastikan bahwa tidak ada pihak ketiga mengahalangi warga untuk mendapatkan air tersebut. Yang ketiga adalah negara punya kuajiban untuk menyediakan air, kaitannya dengan PDAM dan lainnya. Eko menjelaskan, “data dari Badan Statistik pada tahun 2013-2014, di Sleman berdiri sekitar 802 hotel baru, itu hanya dalam waktu selama 2 tahun saja. Dan kota Jogja, berdiri sekitar 836 hotel baru”. Bagaimana kita mengatasi ini? Lanjut Eko, “Kemungkinan


akan kita ajukan gugatan ke pemerintah melalui pemerintah atas situasi ini. Beberapa kemungkinan yang bisa kita ajukan adalah melalui pengadilan pengadilan Tata Usaha Negara, menggugat ijin-ijin yang dikeluarkan karena ijin adalah keputusan Tata Usaha Negara. Yang kedua, melalui mekanisme Citizen Law Suit (Gugatan Warga Negara), warga negara mengajukan gugatan ke pemerintah melalui pengadilan negeri dengan asumsi bahwa hak-hak warga negara tidak di penuhi oleh negara. Kemungkinan yang terahir adalah dengan melalui gugatan perbuatan melawan hukum, jika ada orang yang menyebabkan orang lain menderita kerugian maka dia harus bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan itu. Dalam kasus Jogja Asat tersebut yang bisa kita lakukan adalah “mengkapitalisasi data itu secara hukum� untuk diajukan gugatan PMA (kira-kira: Penanaman Modal Asing) ke pengadilan negeri dengan mekanisme dengan melalui perdata yang di gugat adalah pemerintah daerah agar membatalkan ijin pembangunan hotel tersebut dan kemudian memberikan kompensasi terhadap warga yang terdampak yang dirugikan atas kebijakan itu. Dan bisa jadi kita juga bisa menggugat pihak ketiga, korporasi hotel dalam hal ini atas perbuatan yang menyebabkan masyarakat di sekitarnya menjadi dikerugian�.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.