Jurnalisme Sehat dalam Penanggulangan Bencana Erupsi Merapi

Page 1

Jurnalisme Sehat untuk Penanggulangan Bencana Diskusi Jurnalisme Sehat Dalam Penanggulangan Bencana Erupsi Merapi yang di prakarsai oleh Jalin Merapi dan BPPTKG (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Geologi) Membahas soal bagaimana masyarakat melihat media memberitakan perubahan status dan bencana erupsi yang di timbulkan oleh gunung Merapi. Acara tersebut di selenggarakan di kantor BPPTKG padahari Selasa pada tanggal 10 Juni 2014 dengan rangkaian acaranya adalah sambutan pembukaan dari kepala BPPTKG Bapak Drs. Subandriyo, field trip melihat dapurnya BPPTKG dalam memantau gunung Merapi dari waktu ke waktu, selanjutnya diadakan diskusi dan dialog. Di hadiri dari berbagai jurnalis lokal, media komunitas dan admin media sosial. Bpptk sudah melalui perubahan sejak 2013 kemudian berganti nama menjadi BPPTKG yang awalnya menangani hanya kegunung apian saja tetapi sekarang juga menangani bencana geologi yang lain seperti memantau tanah longsor, gempa bumi dan tsunami. BPPTKG dan Jalin Merapi sudah lama merasa kerepotan terkait dengan berita terkait merapi yang dipolitisir, artinya tidak sesuai dengan keadaan apa yang ada dilapangan, bahwa kemudian banyak sekali akses dari masyarakat yang masuk membuat keawalahan dalam memberikan kebenaran kepada masyarakat yang telah masuk meanyakan keadaan yang sebenarnya dari pemberitaan yang sedikit di pelintir dari media mainstream. Diskusi kami dengan teman-teman di JALIN Merapi, bagaimana agar di kemudian hari tidak muncul gejala itu lagi di media mainstream. Dalam pertemuan diskusi berseri ini memang sengaja tidak mengundang media mainstream tetapi mengundang komunitas peduli Merapi dan masyarakat sekitar lingkar Merapi berharap dapat mengawali dengan pemahaman yang sama terkait pemberitaan yang sedikit di plelintir oleh media massa. Di hadiri pula mas Ahmad Arif sebagai narasumber dari jurnalis yang menulis Ekspedisi Cincin Api di KOMPAS. Beliau akan berbagi, di satu sisi sebagai jurnalis, dan sisi lain sebagai relawan. Narasumber yang kedua Mas Jenarto sebagai pegiat Radio Komunitas Lintas Merapi FM yang akan berbagi tentang pemberitaan yang salah dari media massa dan dampaknya kepada masyarakat. Acara diskusi ini di buka oleh Pak Subandiyo, kesempatan bertemu ini dalam rangka diskusi Jurnalisme Sehat Dalam Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Merapi agar jurnalisme memang sehat, sehat itu yang bagaimana dan untuk siapa juga dari siapa. Jurnalisme adalah sebuah tools/alat untuk menyampaikan menginformasikan dalam hal ini


adalah soal kebencanaan gunung Merapi kepada masyarakat disekitarnya. Tentu saja jurnalisme sehat menurutnya, “menyehatkan masyarakat secara psikologis, membuat masyarakat sehat dalam kebencanaan dalam menerima informasi dari jurnalis sehingga menjadi lebih tenang dan lebih antisipatif sehingga bisa melalukan dan merespon aktivitas gunung Merapi secara lebih efektif dan terukur tanpa ada kepanikan meskipun badan pemerintah tidak bisa menjamin masyarakat untuk tidak panik�, tandasnya. Tetapi jika berfikir secara rasional dengan landasan pemahaman aktivias gunung merapi dengan baik, masyarakat akan lebih tenang, jadi jurnalisme yang sehat itu yang menenangkan warga disekitar Merapi. Berbicara merapi memang sangat kompleks, Merapi itu bukan hanya sekedar gunung api, ketika berbicara merapi aspeknya sangat banyak tetapi jika melihat Merapi dan segala implikasinya ketika mulai bergolak, gaungnya sangat besar, Merapi sangat berbeda dengan gunung lain. Gunung lain jika terjadi perubahan status pada peningkatan level aktivitasnya, nampaknya berimplikasi tidak begitu luas. Tetapi jika Merapi, barangkali berbeda, saat kenaikan status waspada saja gagap gempitanya sudah luar biasa. Ketika beberapakali terjadi letusan minor, BPPTKG menetapkan untuk bertahan pada kondisi status normal, dan mendapati respon masyarakat yang bermacam-macam. Bagi BPPTKG tidak ada masalah, yang penting masyarakat bisa memahami. Menurut Pak Subandriyo, “perbedaan persepsi dalam menginterpretasi suatu aktivitas gunung api itu sudah biasa, interpretasi itu tidak tunggal dan setiap ahlipun mempunyai pendapat yang berbeda-beda�, ungkapnya. Jangankan dari luar, dari internal BPPTKG sendiri sangat tajam perbedaannya setiap kali membahas mengenai Merapi. Interpretasi atau prediksi itu tidak unik dalam artian benar, tunggal itu tidak mungkin, jika kita melihat dari folosofi geofisika kita hanya tau dan mengutkur parameter secara kimia, fisika dipermukaan saja. Inilah menjadi konsums menarik bagi i jurnalis dan media, ketika ada para ahli yang berbeda pendapat tetapi dampaknya yang tidak menarik karena masyarakat menajdi bingung. Kami harapkan kedepan, informasi yang berkaitan dengan peringatan dini mengenai status merapi itu seharusnya tunggal, jika menginterprestasinya berbeda itu mestinya dalam hal proses bukan dalam hal pengambilan keputusan. Mengenai sumber berita soal aktivitas dan status merapi, badan geologi menginginkannya adalah dari Badan


Geologi Kementrian SDM tetapi BPPTKG hanya menginformasikan informasi lokal saja terkait Merapi. Pada tahun 2006, Lintas Merapi FM mengenai informasi, terkait dengan media, dicap sebagai provokator, pembangkang. Pemerintah saat itu melakukan perintah untuk pengungsian dilakukan sebelum waktunya. Teman-teman Lintas Merapi FM saat itu sudah belajar bahwa evakuasi dilakukan pada saat status “Awas�, padahal situasi itu masih “Waspada�. Pegiat Lintas Merapi FM saat itu dianggap pembangkang dan dianggap provokasi masyarakat. Pada tahun 2010, Lintas Merapi FM bisa menunjukkan bahwa radio komunitas bisa berperan baik di ranah onair maupun di offair. Teman-teman media mainstream masih banyak dalam penggunaan istilah kebencanaan saja tidak benar dalam penulisannya. Sampai saat ini, oleh masyarakat menjadi penyebab kebingungan. Untuk menjelaskan, Lintas Merapi FM harus sampai mendatangkan BPPTKG untuk menjelaskan langsung kepada masyarakat untuk meluruskan pemberitaan soal kondisi Merapi yang benar sesuai apa yang terjadi dilapangan. Komunitas-komunitas yang baru bermunculan banyak menggunakan media sosial ini terkadang tidak mengunggah fakta, tetapi opini. Ketakutan Lintas Merapi FM bahwa hal ini akan menjadi pengkotakan komunitas/masyarakat. Masyarakat akan bingung jika terjadi letusan, masyarakat harus bergantung informasi yang benar kepada siapa. Di Cangkringan dan Klaten, pasca 2010 ini muncul ratusan komunitas baru yang mengklaim paling akurat menginformasikan Merapi. Namun, sayangnya, informasinya tidak sehat, karena sering sumbernya dihilangkan. Jadi, masyarakat yang membaca jadi bingung, sumber informasi ini dari mereka sendiri atau dari sumber yang benar? Kami punya beban besar di Lintas Merapi FM. Pemerintah sendiri mendukung komunitas-komunitas baru tadi yang merasa paling hebat dalam menginformasikan Merapi. Pemerintah mulai memberikan fasilitas, sehingga ada persaingan yang kurang tidak sehat. Ada puluhan radio pancar ulang, membuat informasi semakin simpang siur dalam pemberitaannya dan menganggap semua paling benar. Rujukan masyarakat nomor satu memang media TV sebagai sumber informasi. Tetapi berita di TV dan koran seringkali menayang informasi yang salah dan selalu membesar-besarkan, tidak sesuai apa yang terjadi dilapangan. Di TV ada tayangan orang ke pasar naik pick up terkadang di beritakan masyarakat sudah melakukan pengungsian. Rujukan masyarakat nomor satu memang media TV sebagai sumber informasi. Temanteman radio komunitas, kita sering terjun ke RT/warga untuk menyampaikan agar


masyarakat lebih kritis, bukan anti TV tetapi memberikan pengertian dan pemahaman pemberitaan yang tidak benar, mengenai antisipasi ancaman, menenangkan masyarakat, serta meredam kepanikan atas bencana Merapi jika terjadi. Menurut Mas Jack, “warga harusnya menjadi sumber informasi utama tentang Merapi, bukan lah media massa yang seharusnya dipercaya yang pertama oleh masyarakat� cetusnya. Wartawan juga menjadi kelompok rentan dalam bencana. Ada teman wartawan yang juga kehilangan keluarganya ketika sedang meliput tsunami di Aceh saat ituyang dikira banjir biasa, dia memang dapat kepuasan batin sebagai wartawan foto, tapi dia tidak menyadari akan bahaya jiwanya sendiri saat ertugas. Hal yang sama terjadi ketika wartawan juga kurang memiliki pengetahuan tentang bencana, seperti ketika ada wartawan masuk ke zona bahaya erupsi gunung api khususnya di Merapi. Ahmad Arif mengatakan, “pengalamanku tiga tahun di Aceh lebih sebagai pengakuan dosa, otokritik dalam praktik jurnalisme di Aceh. Jurnalisme bencana bisa jadi bencana baru. Ada beberapa catatan dalam praktik di Aceh saat itu. Kabar buruk itu memang jadi kabar baik bagi media. Sampai sekarang itu masih dominan� tandasnya. Bencana juga menjadi komoditi, tidak hanya bagi media massa, tetapi juga media sosial. Kesedihan masyarakat juga dieksploitasi. Dalam industri media ada banyak bias, praktik itu sangat mengemuka sekarang ketika media sangat syarat dengan kepentingan politik pemilik medianya. Saat ini kita lihat media di Indonesia, sulit menemukan media yang netral. Ada kecenderungan media di Indonesia dimiliki oleh penguasa tunggal atau pemegang saham mayoritas. Menarik melihat praktik-praktik adanya corporate social responsibility (CSR) terselubung, ketika media juga menyalurkan bantuan. Dramatisasi di media juga karena media massa terlibat dalam penyaluran bantuan. Hal ini masif dalam kejadian tsunami 2004 dan juga di Merapi. Media massa tidak selalu mengawal proses pemulihan/rehabilitasi pasca bencana yang sebenarnya vital juga. Selain itu, ada bias desentralisasi dalam pemberitaan. Misal, kejadian Mentawai yang berlangsung berbarengan dengan Merapi menjadikan Mentawai hampir terlupakan. Situasi pascabencana juga berpotensi besar menjadi bencana kembali. Sembilan bulan usai erupsi Sinabung, itu sebenarnya menjadi puncak krisis karena proses yang lama. Berbeda dengan Merapi yang warganya mungkin lebih punya resiliensi dibandingan dengan Sinabung. Di sana, PVMBG sudah persilakan pulang, tapi warga tidak berani pulang, selain karena memang ada masalah infrastruktur, ada banyak hal tentang konflik dan korupsi pada situasi pascabencana. Hal ini juga harus dikawal oleh media massa. Ahmad Arif juga membandingkan antara media di Indoensia dengan media di Jepang dalam pemberitaan tanggap darurat bencana. Dari sisi media, ada bedanya. Mereka punya NHK yang dalam UU diwajibkan untuk menyampaikan soal tanggap darurat. Ketika terjadi gempa langsung ada black-out. Dokumentasi terbaik tsunami adalah di media Jepang karena sebelum tsunami datang, TV sudah sorot gelombang yang datang. Dibandingkan di Aceh, berita pertama 12 jam setelah kejadian, itu pun dengan data yang salah. Di Sendai, Jepang, hampir tidak ada jeda dalam pemberitaan. Media Jepang punya hubungan langsung dengan infrastruktur pemantauan bencana dan terhubung dengan lembaga yang berwenang. Media di Indonesia harus andalkan tebengan untuk bisa sampai ke lokasi bencana yang pelosok. Kejadian di Mentawai pun terlambat 1 hari untuk dikabarkan. Media Jepang cenderung kabarkan semangat untuk bangkit daripada mengabarkan tentang kesedihan. Berita yang ada secara substansi lebih untuk dorong publik untuk bangkit. Substansi pemberitaannya didesain untuk dorong masyarakat lebih semangat.


Bagaimana media meliput bencana? Masalah paling serius adalah minimnya pengetahuan tentang bencana pada pelaku media di Indonesia. Banyak media massa yang juga tak punya Standard Operational and Procedure (SOP) dalam peliputan bencana. Andi Arif menceritakan, “Dulu juga ada TV yang tak bisa bedakan awan panas dengan abu vulkanik. Banyak media yang gunakan lokasi bencana sebagi lokasi magang bagi wartawan baru yang akhirnya salah dalam liputan bencana�, ungkapnya. Seharusnya, liputan bencana itu harus diawali dengan belajar dari bencana sebelumnya. Meliput bencana itu sekarang tendensinya hanya meliput kejadian saja. Ada tiga tahap yang harus dilakukan. Pertama, pra bencana untuk dorong kesiapsiagaan. Kedua, tanggap darurat. Ketiga, mengawal proses rekonstruksi dan rehabilitasi untuk cegah munculnya bencana baru. Komunitas juga harus didorong. Masyarakat lupa, jurnalis abai, dan pemerintah katrok, jadikan situasi tidak sehat. Ada tantangan dan peluang dalam media alternatif atau media komunitas. Harus ada upaya secara simultan untuk kuatkan media komunitas. Ini adalah ruang wacana yang harus diperebutkan yang tidak bisa dikuasai oleh media massa mainstream saja. Media sosial di Jepang dapat porsi yang besar juga. Dengan twitter banyak korban yang bisa diselamatkan usai tsunami. Media mainstream kebanyakan lumpuh, kecuali beberapa radio. Radio komunikasi dan twitter menjadi sangat efektif di sana dan di Merapi sudah dipraktikkan sejak lama. Di Merapi, sangat jelas berdayanya media sosial di Merapi. Kini pun hal itu banyak digunakan oleh kampanye politik. Kini kita masih gunakan radio komunikasi sebagai media yang paling efektif. Potensi Indonesia di media sosial sangat besar. Sangat digdaya jika itu dipakai dalam ranah ini. Namun, munculnya media baru juga munculkan budaya baru; budaya berbagi dan komentar. Namun, juga bisa muncul berbagi hal yang sesat. Dengan media konvensional, seperti radio pun, informasi sampah atau hoax pun sangat umum. Masalah tentang kesalahan informasi ke publik ini bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya media massa, juga media sosial. Saringannya adalah individu masingmasing. Saringan di media mainstream sebenarnya sudah ada pada editor. Ini juga peluang yang juga harus diperbaiki. Masyarakat Indonesia kadang belum siap ketika diberi pisau informasi. Media mainstream, media sosial itu juga medan laga untuk berebut ruang. Publik rentang dapat informasi sampah ketika pegiat media sosial dikuasai lebih banyak yang tidak sehat.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.