M edia Jurnalisme Sehat untuk Penanggulangan Bencana Tahap-tahap penanggulangan bencana membutuhkan keterlibatan media yang menyebarkan informasi terkait bencana kepada masyarakat. Namun informasi mengenai penanggulangan bencana ha nya akan berguna bagi warga jika media menerapkan jurnalisme sehat. Oleh Fatchur Rahman satuharapan.com
H
al itu terungkap dalam dis kusi bertema “Jurnalisme Sehat dalam Penanggulang an Bencana Erupsi Merapi” yang diprakarsai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Geologi (BP PTKG) dan Jalin Merapi, Selasa (10/6) di Kantor BPPTKG Yogyakarta. Disku si yang dibuka Kepala BPPTKG Suban driyo itu menghadirkan Jenarto, pe nyiar Radio Komunitas Lintas Mera pi FM dan Ahmad Arif, jurnalis Hari an Kompas sebagai narasumber. Dalam diskusi yang diikuti oleh jur nalis media arus utama, media komu nitas, serta admin media sosial ini, Su bandriyo menuturkan bahwa selama ini pihaknya cukup kewalahan ketika menghadapi munculnya beragam in formasi terkait kondisi Gunung Me rapi. Banyak berita yang ternyata tak sesuai fakta sehingga membuat ma syarakat bingung. Oleh karena itu jur nalisme sehat sangat dibutuhkan. Bagi Subandriyo, jurnalisme sehat adalah jurnalisme yang menghasilkan informasi menyehatkan bagi psikolo gi masyarakat. Artinya, informasi itu 18
Kombinasi Edisi ke-56 Juni 2014
tidak membingungkan, dan bisa men dorong masyarakat untuk bersikap tenang namun tetap siaga dan antisi patif dalam merespons bencana. “Se hingga masyarakat dapat merespons aktivitas gunung Merapi secara lebih efektif dan terukur tanpa ada kepanik an, meskipun badan pemerintah tak bisa menjamin masyarakat untuk ti dak panik,” ujarnya. Terkait dengan aktivitas kegunung apian, lanjut dia, perbedaan persepsi dalam menginterpretasikan aktivitas gunung api adalah hal biasa. Interpre tasi tidak tunggal karena setiap ahli mempunyai pendapat yang berbeda. Perbedaan interpretasi ini menjadi ba han berita yang menarik bagi media. Namun jika tidak hati-hati, informasi mengenai perbedaan pendapat di ka langan ahli gunung api bisa membu at masyarakat kebingungan. Oleh karena itu, ke depan ia berha rap informasi yang berkaitan dengan peringatan dini status Merapi berasal dari satu sumber. Adapun sumber in formasi resmi terkait aktivitas gunung api di Indonesia ada di Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Da ya Mineral, dan BPPTKG untuk infor masi lokal terkait Merapi.
Gagap Bencana Ahmad Arif berpendapat, salah sa tu masalah paling serius dalam peli putan bencana di Indonesia adalah mi nimnya pengetahuan jurnalis tentang bencana. Banyak media arus utama yang tak punya standar prosedur ope rasional dalam meliput bencana. Arif mencontohkan adanya jurna lis televisi yang tidak dapat membe dakan antara awan panas dengan abu vulkanik. Selain itu, banyak lembaga media yang menggunakan lokasi ben cana sebagai tempat magang bagi war tawan baru, sehingga akhirnya salah dalam memberitakan bencana. Padahal jurnalis juga menjadi ke lompok rentan dalam bencana. Keti ka meliput tsunami Aceh, ada jurna lis foto yang kehilangan keluarganya ketika sedang meliput bencana yang semula dikiranya hanya banjir besar. Sebagai jurnalis, ia memang menda pat kepuasan batin lantaran berhasil
mengabadikan momen bencana. Na mun ia tidak menyadari bahaya yang mengancam nyawanya saat bertugas. Bencana juga menjadi komoditi, ti dak hanya bagi media massa, tapi ju ga media sosial. Kesedihan masyara kat dieksploitasi. Praktik itu semakin marak terutama di media yang sarat kepentingan politik pemiliknya. Kini ada kecenderungan media di Indonesia dimiliki penguasa tunggal atau pemegang saham mayoritas. Ka rena itu, ada praktik-praktik tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terse lubung saat media menyalurkan ban tuan. Bencana didramatisasi lantaran pihak media terlibat dalam pengum pulan serta penyaluran bantuan. Media massa pun tak selalu meng awal proses pemulihan pascabenca na yang sebenarnya vital. Selain itu, ada bias desentralisasi dalam pembe ritaan, seperti ketika bencana di Men tawai berlangsung hampir bersama an dengan Merapi. Liputan media yang terfokus pada Merapi membuat ben cana Mentawai hampir terlupakan. Situasi pascabencana juga berpo tensi jadi bencana baru. Sembilan bu lan usai erupsi Sinabung menjadi pun cak krisis bagi warga penyintas. Pu sat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sudah mempersilakan warga untuk pulang, tapi warga tak berani. Selain itu, selalu ada potensi konflik dan kejahatan korupsi pascabencana yang sebaiknya dikawal media. Arif menambahkan, seharusnya li putan bencana diawali dengan mem pelajari informasi dari bencana sebe lumnya. Ada tiga tahap yang harus di lakukan. Pertama meliput pra benca na untuk mendorong kesiapsiagaan, kedua meliput tahap tanggap darurat sewaktu terjadi bencana, dan ketiga mengawal proses rekonstruksi dan re habilitasi pascabencana untuk men cegah munculnya bencana baru. Dia lantas membandingkan media di Indonesia dengan media di Jepang dalam memberitakan tahap tanggap darurat bencana. Jepang mempunyai lembaga penyiaran publik NHK yang memang diwajibkan oleh undang-un dang untuk menyampaikan informa si tanggap darurat.
Pendokumentasian terbaik tentang tsunami dilakukan oleh media di Je pang karena sebelum tsunami datang, stasiun televisi di sana sudah siap me nyorot gelombang yang datang. Se dangkan berita pertama tentang tsu nami Aceh baru muncul 12 jam pas cakejadian, itu pun tidak akurat. Di Jepang, hampir tak ada jeda da lam pemberitaan bencana. Media Je pang berhubungan langsung dengan institusi pemantau bencana dan lem baga berwenang. Di Indonesia, jurna lis terpaksa mengandalkan tebengan untuk mencapai lokasi bencana di pe losok. Akibatnya, antara lain, penyam paian informasi bencana di Kepulau an Mentawai terlambat satu hari. Di samping itu, media-media di Je pang cenderung memberi informasi yang bisa mengangkat semangat un tuk bangkit. “Substansi pemberitaan nya didesain untuk mendorong kor ban tetap bersemangat,” kata Arif.
Alternatif Kegagapan media arus utama da lam meliput bencana itu menghadir kan tantangan sekaligus peluang ba gi media-media alternatif, utamanya media komunitas. Untuk itu, kemam puan media komunitas dalam meng hadirkan informasi akurat terkait ben cana di wilayahnya perlu diperkuat se hingga warga punya sumber informa si alternatif yang bisa dipercaya. Terlebih lagi pada kondisi bencana, banyak media arus utama yang lum puh karena ikut terkena bencana. Ra dio dan media sosial semacam twit ter yang lebih tahan bencana menja di media yang efektif. Ketika terjadi tsunami, media sosial di Jepang juga memiliki peran besar. Banyak korban yang terselamatkan berkat informasi yang beredar di twitter. Penggunaan radio dan media sosi al juga sudah lama dipraktikkan di Me rapi. Salah satu contoh keberhasilan penggunaan radio dan media sosial untuk meliput bencana di seputar ka wasan Merapi dilakukan oleh Radio Komunitas Lintas Merapi FM. Jenarto mengungkapkan, pada awal kiprahnya menyediakan informasi se putar Merapi bagi warga, Lintas Me
rapi FM kerap dicap sebagai provoka tor dan pembangkang oleh pemerin tah. Cap itu justru muncul ketika pa ra pegiatnya berupaya menyampaikan informasi yang benar bagi warga. Contohnya terjadi menjelang erup si Merapi 2006. Sewaktu Merapi ber status “waspada”, pemerintah setem pat memerintahkan warga mengung si. Pegiat Lintas Merapi FM yang su dah belajar bahwa evakuasi mestinya baru dilakukan ketika status “awas” pun menolak perintah itu, sehingga di cap sebagai pembangkang. Namun, radio komunitas itu terus konsisten pada upayanya sehingga ja di rujukan penting bagi warga. Pada erupsi Merapi 2010, Lintas Merapi FM dapat menunjukkan bahwa radio ko munitas bisa berperan baik di ranah onair maupun offair. Menurut Jenarto, media arus utama terutama televisi masih sering salah dalam memahami istilah-istilah ke bencanaan sehingga memberi infor masi yang membingungkan bagi war ga. Guna mengatasi hal itu, Lintas Me rapi FM pernah sampai harus men datangkan petugas BPPTKG guna me luruskan informasi dan memberikan penjelasan langsung kepada warga. Terkait fenomena media sosial, Je narto mengatakan saat ini makin ba nyak komunitas yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan in formasi tentang Merapi. Namun, ba nyak di antaranya yang menyebarkan opini ketimbang fakta. Kondisi tersebut membuat pegiat Lintas Merapi FM khawatir. “Muncul nya komunitas-komunitas itu mem buat masyarakat terkotak-kotak, se hingga nanti jika terjadi letusan, ma syarakat bingung harus bergantung pada informasi siapa,” ungkapnya. Melihat kondisi tersebut, para pe giat radio komunitas pun aktif men datangi warga untuk mengajak mere ka lebih kritis atas informasi di tele visi dan media lain. “Kami bukannya anti TV, tetapi ingin memberi pema haman tentang pemberitaan yang ti dak benar, bagaimana mengantisipa si ancaman, menenangkan warga, ser ta meredam kepanikan jika bencana Merapi terjadi lagi,” terangnya. Kombinasi Edisi ke-56 Juni 2014
19