Tahun I Edisi 4 • Februari 2019
derap gembala kebudayaan
DAFTAR ISI 타 STEPA 5 Urgensi Literasi Digital dan Informasi Bagi Perkembangan Media Islam 6 Chairil Anwar: Yang Dulu Redup dan Tetap Hidup* 17 Milenial di Luar Milenial
타 CARANGAN 21 27
Sirkuit Desas-desus Presiden
타 mBELIK 31 31
Monyet Munaroh
타 CAPRES SASTRA 33 Kewajaran Sosial: Sikap dalam Puisi
Pengurus Buletin Lintang : Dewan Redaktur : Mufakat Omah Puisi | Penanggung Jawab Redaksi : Musyawarah Syahruljud Maulana dan Sobrun Jamil | Editor : Riza Hamdani | Ilustrasi Sampul dan Desain Grafis : Faizal Hidayat, Akhsan Baihaqi, dan Bowo Wijoyo. Buletin Lintang menerima kiriman karya berupa esai, cerpen, puisi, komik strip, catatan film dan teater. Karya dengan format .docx dikirim ke alamat surel : buletin.lintang@gmail.com Buletin Lintang membuka taman kreativitas bagi pertukaran ide dan gagasan perihal seni, budaya, sosial dan politik. Diharapkan menjadi ruang pemikiran belajar bersama tentang kesusastraan dan kebudayaan serta ikut meramaikan dinamika sastra Indonesia. Buletin Lintang diusahakaan terbit sebulan sekali.
P
anembrama Redaksi
Yang akan menentukan 'apa, siapa, dan bagaimana' generasi milenial adalah para milenial itu sendiri. Bukan komplotan X, apalagi Baby Boomer. Tinggal sekarang tergantung bagaimana para milenial memproses dirinya; menentukan tiang, haluan, serta sikap hidupnya. Keberhasilan milenial menguasai teknologi kebendaan mutakhir hanyalah salah satu faktor. Untuk tak menjadi manusia cacat (—yang besar pada satu bagian tubuh dan kecil pada bagian tubuh lainnya), milenial harus segera menyadari kemudian mulai menggarap sisi lain dari kehidupan yang urusannya tidak sekadar hal-hal kasat mata. Supaya tidak terjadi ketimpangan antara teknologi inderawi dan rohani. Tugas manusia ialah mencari titik perimbangan dari dua hal tadi, bukan justru menciptakan ketimpangan di antara keduanya. Meskipun kalau mau lebih melubuk dan mendalam, alam semesta dan organ tubuh sesungguhnya lebih banyak terdiri dari 'kosong' ketimbang 'isi'.
Atas sebab itulah diperlukan stamina pencarian dan daya gedor perjuangan yang prima, total, intens dan konsisten untuk menguak kembali cakrawala kebulatan hidup. Sebab kehidupan ini kita hidupi, kita rasakan—atau sejauh-jauhnya—kita amati, bukan lagi sebagai keutuhan bola, melainkan hanya tersisa setengah atau bahkan seperempat bola. Pemangkasan, penggerogotan serta pengeroposan yang datang bersama arus materialisme, hedonisme, dan kapitalisme lewat ideologi globalisasi mengantar ummat manusia menuju satu ruang yang sempit, mandeg, dan pengap. Maka dari itu apa yang kita alami di era mutakhir ini sejatinya ialah stagnasi. Lantaran bola yang bocĂŠl tak pernah bisa menggelinding sempurna. ‘Apa, siapa, dan bagaimana' itu tadi masih terus akan kita (milenial) rintis pengertiannya dalam sejarah. Kita yang akan menulis tentang watak kita. Zaman terlalu buram dan kabur untuk memandang, jangankan kita pasrahi untuk mencatat. Kita masih memiliki waktu lima hingga sepuluh tahun lagi untuk menjelaskan 'rumus genetika' generasi ini. Akankah kita kembali termakan sebagaimana dua generasi yang lalu? Ataukah justru berhasil kita tunggangi zaman liar ini untuk selanjutnya kita bawa menuju zaman yang baru: kebangkitan manusia (sebagai titik pusat jaring kehidupan yang bertaut dengan Tuhan)? (SJ)
3
Stepa (Esai)
Urgensi Literasi Digital dan Informasi Bagi Perkembangan Media Islam Pertumbuhan teknologi digital menimbulkan berbagai perkembangan di berbagai sektor kehidupan. Sehingga menguasai literasi digital dan informasi bagi umat Islam menjadi urgensi yang vital di era sekarang ini, perkembangan teknologi dan informasi membuat mudahnya penyebaran berita yang dapat dijamah oleh semua kalangan maupun individu di zaman ini. Banyak ungkapan bahwa "Siapa yang menguasai media maka Kau akan menguasai dunia". Kata-kata berikut sepertinya bukan hanyalah bualan belaka. Pada hal ini, media telah banyak mengantarkan dan berperan pada puncak karir dan keberhasilan seseorang. Pemimpin suatu negara dan politisi baru bermunculan sebagai hasil kerja media masa. Tak terhitung jumlah orang yang berhasil di ekspos media masa menjadi seseorang yang berhasil maupun dijatuhkan. Stigma yang terbangun pada masyarakat dunia mengenai islam pun terbentuk menjadi suatu agama yang berkaitan dengan kekerasan, radikalisme, rigid, dan asosial dan berhasil dikordinir karena permainan di lingkungan media informasi. Proses framing inilah yang dilakukan oleh media, yang mengarah pada agenda yang telah ditetapkan oleh sebuah individu untuk kepentingan tertentu. Dengan maksud tentu saja untuk mengarahkan informasi atau berita ke sebuah persepsi ataupun opini publik yang diharapkan, atau dengan sengaja ingin menciptakan bias informasi akan sebuah issue tertentu. Pada hal ini, biasanya pemilik media jelas berafiliasi dengan individu atau golongan yang sudah memiliki maksud tertentu.
Permasalahan bagi umat islam itu sendiri dalam ruang lingkup digital dan informasi adalah perannya hanya sebagai penikmat atau pengguna media informasi saja namun, kurang berperan aktif dalam menyajikan informasi sehingga info yang didapatkan terkadang didapatkan dari hasil propaganda politik maupun kepentingan suatu golongan yang ingin menjatuhkan islam dengan menggunakan pembingkaian yang buruk tentang Islam. Maka dari itu umat Islam di era ini harus menguasai soft skill dan hard skill dari digitalisasi teknologi terutama dalam ruang lingkup media informasi jangan hanya menyudutkan media yang anti-Islam saja melainkan juga berperan aktif dalam menciptakan media besar yang jelas pro islam juga membawakan informasi secara jujur dan terbuka dan umat islam juga harus lebih berpikir secara terbuka dalam perkembangan zaman dan pertumbuhan teknologi ini juga mengubah mindset bahwa umat Islam anti-peradaban yang berteknologi dan berkemajuan. Selain itu umat Islam sebagai penerima informasi pun harus memiliki kecerdasan dalam bermedia, karena kecerdasan bermedia ini penting dalam literasi digital dan informasi sebagai strategi penting untuk menciptakan inovasi dalam bermedia, memproduksi konten islami yang disukai oleh pasar dan terutama dalam mengantisipasi dan memfilter berita bohong yang bisa saja membawa nama buruk Islam. Dari paparan diatas diharapkan umat Islam sendiri jika menyadari betapa pentingnya literasi digital dan informasi, umat islam tidak berperan sebagai korban dari kejahatan media anti-Islam melainkan berperan sebagai penyedia media informasi yang menyajikan keseluruhan informasi secara jujur, terbuka dan memiliki pandangan informasi dalam perspektif agama Islam sehingga penerima media informasi tidak disajikan informasi-informasi hasil propaganda terlebih lagi yang membuat image Islam semakin buruk melainkan mendapatkan informasi yang sebenarbenarnya terjadi.
Mohamad Rafdi Zhafari, lahir di Jakarta, 7 Maret 1997.
CHAIRIL ANWAR: YANG DULU REDUP DAN TETAP HIDUP* Anthony H. Johns -1979
H
ubungan antara seorang penyair dengan dunia tempat ia tinggal: sebuah penerimaan atau penolakan, pengaruh terhadapnya, dan transmutasi pengalaman totalnya ke dalam gambar-gambar yang mempertemukan ia dengan tempat suci yang tak terhindarkan dan sesuai dalam syairnya - ini adalah abadi dan berkembang. Pertanyaan yang menuntut diskusi setiap kali kita dihadapkan dengan karya seorang penyair sejati. Terlebih lagi ketika penyair yang dimaksud merupakan salah satu pencipta tradisi sastra baru dalam sejarahnya, dan tahun - tahun pembentukannya didominasi oleh peristiwa-peristiwa yang sama dahsyatnya dengan penaklukan Jepang atas Hindia Belanda pada 1941-1942, dan perjuangan selanjutnya untuk kemerdekaan Indonesia. Chairil Anwar lahir di Medan pada tahun 1922 dan meninggal di Jakarta pada tahun 1949. Pendidikan formalnya hanya meningkat sejauh dua tahun pertama di Sekolah Menengah Pertama, setelah itu kemiskinan menyebabkan dia meninggalkan rumah menuju Jakarta pada tahun 1940 – menjelang usia 18 tahun. Sangat sedikit yang diketahui tentang kehidupannya di Jakarta sampai Jepang menduduki Jakarta , ketika ia dikenal sebagai penyair di antara para intelektual Indonesia. Hanya sedikit puisi yang diterbitkan sebelum penyerahan Jepang tetapi setelah perang reputasinya melambung: dirinya dianggap sebagai pencipta puisi Indonesia yang baru dengan penuh semangat menjaga integritas artistiknya selama pendudukan Jepang, dan setelah perang dengan membakar semangat patriot. Pada masa tersebut, banyak penulis Indonesia dan asing meliriknya. Bukan berarti
dia hanya menerima pujian. Untuk suatu periode, paling tidak, menjadi gaya untuk menyanggah dia sebagai seorang plagiat. Dan para penulis yang mengasosiasikan diri mereka dengan asosiasi budaya sayap kiri Lekra, dengan alasan politis , telah mengutarakan melarang keras atas karyanya dengan alasan moralitas eksistensialisnya, dan rekannya yang berpihak pada politik-kosmopolitan. Namun, tidak satu pun dari pandanganpandangan ini yang menyumbang banyak pada apresiasi terhadap Chairil Anwar sebagai penyair, atau pada pemahaman tentang puisinya sebagai puisi. Akses langsung ke karyanya juga dihambat oleh gambar populer yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri. Bukanlah suatu alasan untuk mengatakan bahwa banyak penulis yang mengarahkan perhatian mereka kepadanya telah begitu terobsesi dengan kepribadiannya sehingga mereka tidak pernah mencengkeram puisinya dengan caranya sendiri. Sekarang, kepribadian yang pasti dimiliki beliau: tidak teratur, sombong, eksentrik, dibakar dengan sebuah obsesi dan vitalitas, ia terjun ke setiap jenis pengalaman yang bisa dibayangkan. Dia tidak lebih dan tidak kurang menghormati Presiden daripada pengemudi becak. Dia menganggap norma - norma kehidupan sosial sebagai keabadian dan tetap dipertahankan oleh kemunafikan, dan hampir menghancurkan dirinya sendiri daripada menerima mereka.Karena itu, dia mengabdikan dirinya pada seni; dan untuk menjadi seorang seniman ia berjuang untuk membebaskan dirinya dari tuntutan keluarga, agama, dan negara, memimpin kehidupan khas Bohemian. Tetapi, jika kehidupannya yang tidak 6
teratur itu merupakan masalah prinsip - dalam cara Rimbaud - itu juga sebagian merupakan topeng untuk menyembunyikan dirinya yang sebenarnya yang ia ungkapkan hanya dalam puisi-puisinya. Chairil Anwar mulai menulis ketika seluruh bangunan perilaku sosial hancur berantakan - ketika standar yang ada tampaknya telah kehilangan penerapan dan validitasnya, dan konsep nilai yang terkait dengan agama, moralitas , dan supremasi hukum tidak lagi memiliki ada artinya. Orang miskin mati kelaparan tanpa izin , Belanda diambil alih, dan semua tunduk pada kekuatan hukum tertinggi .
surat beliau menulis:'Sebagai seorang seniman, Ida, saya perlu melakukan penetrasi dan menentukan dalam mengevaluasi dan memutuskan. Dengar!! Setelah kematian Beethov , buku catatannya ditemukan penuh dengan catatan, pekerjaan dasar dan persiapan untuk melodi-melodinya yang hebat. Simfoni kelima dan kesembilannya tampaknya tidak siap. Dia harus bekerja selama bertahun-tahun sebelum pekerjaan seperti itu sudah matang untuk dipetik. Komposisi Missa Solemnis membutuhkan waktu lebih dari lima tahun .... Jadi, jika saya menulis tanpa berusaha keras untuk pekerjaan saya , saya mampu berubah menjadi improvisator. ' (H.B. Jassin, Chairil Anwar, Pelopor Angkatan '45 (Gunung Agung,Jakarta, 1956), h. 110 (parafrase)
Kekacauan yang mengelilinginya ini, penting untuk memahami kepribadiannya, tetapi seharusnya tidak memberi kesan bahwa ada sesuatu yang hingar-bingar atau sumpah serapah tentang syairnya, apalagi bahwa dengan cara apa pun itu tanpa persiapan dalam karakter . Dua bintang yang membimbing Chairil ialah kehidupan dan seni,biar bagaimanapun, ia menghubungkan signifikansi eksistensial murni . Dan dia menulis, memberikan ekspresi pada kaleidoskop suasana hati yang diprovokasi oleh dunia tempat ia tinggal. Subjeknya lebih tinggi dari dirinya sendiri : keraguan, keputusasaan, nostalgia ; siapa dia, dalam hal apa yang ia bisa temukan dalam kebebasan - semuanya diteliti dan ditetapkan dengan kejujuran yang tak terhindarkan dan sangat disiplin dalam teknik yang sesuai. Puisi-puisinya merupakan bagian dalam puisi: dengan ini, bersamaan dengan kepeduliannya dengan teknik yang mendorong untuk dilakukannya revisi terus-menerus terhadap karyanya, adalah dua fakta paling penting tentang dirinya sebagai seorang penyair. Perhatiannya pada teknik itu rasional, namun bukan mengabaikan intuitif pula. Dalam sebuah
Kekhawatiran yang sama juga terlihat dalam pemilihan yang ia terjemahkan dari surat-surat RM Rilke, dipilih, diurungkan di mana-mana, karena mereka mengungkapkan gagasan yang paling dekat dengan hatinya. Kata-kata berikut dari sepucuk surat dari Rilke hingga Lou Andreas-Salome mungkin adalah milik saya sendiri: 'Bukan bentuk yang harus saya pelajari darinya, tetapi konsentrasi mendalam yang diperlukan untuk menciptakan bentuk. Saya harus belajar bekerja, Lou - ini adalah kelemahan saya . '(Jassin, Chairil Anwar, h. 132.) Dinyatakan bahwa Chairil Anwar dipengaruhi terutama oleh ekspresionis Belanda Marsman dan Slauerhoff, dan dengan menggunakan mereka sebagai modelnya, ia memperkenalkan Ekspresionisme ke dalam puisi Indonesia . Afiliasi ini, bagaimanapun,terlalu sempit dan kedaerahan. Bagian dalam penciptaan alam semesta, dan dedikasinya untuk kesempurnaan teknis , pada kenyataannya, menandai dia sebagai pewaris gerakan besar puisi modern yang diresmikan oleh simbolis Prancis. Kita hanya perlu membaca pepatah Valery, 'sebuah puisi adalah 7
masalah intelektual yang rumit , berjuang dengan kondisi-kondisi yang dipaksakan sendiri itu adalah, di atas segalanya, sesuatu yang dikonstruksi', dan perumpamaan kesukaannya: 'sebuah puisi seperti berat badan bahwa penyair harus membawa ke atap demi sedikit pembaca adalah pelintas-oleh kepada siapa berat dijatuhkan sekaligus, dan akibatnya menerima itu dalam sekejap, kesan yang luar biasa, efek estetika yang lengkap, seperti penyair tidak pernah dikenal ketika menyusunnya,(E. Wilson, Axel's Castle (Charles Scribner's Sons, New York, 1947)p . 80.) dan membandingkannya dengan sikap Chairil dengan seninya, untuk menyadari bahwa kita berada di dunia intelektual yang sama. Puisi Chairil Anwar merupakan perwujudan diri batiniahnya, suasana hati dan sikapnya; puisinya, demikian, bukan komentar objektif tentang dunia luar, meskipun mereka mungkin terpancing olehnya; dan dengan cara simbolis, isi puisinya , dan susunan gambarnya diinvestasikan dengan penuh makna ketika mereka ditafsirkan sebagai simbol suasana hati dengan sikapnya sendiri. Beliau banyak memberi tahu kita di 'Rumahku' (My House): 'Rumahku, di mana aku tinggal, mengambil istriku, melahirkan anakku , (Anwar, Kerikil Tadjam dan Jang Terampas Dan Jang Putus (PustakaRakjat, Jakarta, no date), 24.adalah
puisi; sangat nyata dan jelas sehingga tanpa semua keintiman hati dan pikiran saya tergugah.Puisi tersebutdidasarkan pada 'Woninglooze' (Homeless), oleh Slauerhoff. Tetapi penting juga untuk mencatat kalimat yang terjadi dalam surat Rilke yang lain yang dia terjemahkan : 'Saya menemukan, tersimpan dalam puisi - puisi yang telah menjadi bagian dari saya lebih benar daripada yang dapat ditemukan dalam hubungan (pribadi) dan persahabatan.'
Puisi pertamanya yang diterbitkan mungkin 'Nisan' (An Epitaph): Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertakhta. It is not [your] death which moves me, But your resignation to all that befell; I had not realised how high above dust And sorrow, nobly you reign. (Anwar, Kerikil, p. 5.)
Arti penting dari puisi itu tidak segera terlihat, maupun titik fokus keterlibatan pribadi Chairil; dan pola sintaksis yang asli, karena bentuknya hampir seperti quatrain tradisional, tidak mudah didefinisikan. Saya mengerti tema sebagai jurang pemisah antar generasi; dan penyebab kesedihan Chairil bukanlah karena kehilangan sang nenek, tetapi hilangnya rasa penerimaan (keridlaan) yang dia lontarkan, membuat hidup dapat ditanggung. Jika demikian, maka puisi pertama ini menetapkan panggung untuk semua yang harus diikuti. Dunia Chairil adalah dunia yang rusak.Beliau mengakui hal ini dan menerima kenyataan (meskipun tidak mungkin tanpa sedikit pun penyesalan): lebih baik dunia yang rusak di mana tidak ada nilai yang pasti, daripada keseluruhannya, ditopang oleh kemunafikan. Konsistensi dalam sikap ini tidak membuat tenang pikiran: keputusasaan menunggu di setiap sudut. Kemudian dalam sebuah puisi yang ditulis hanya dua bulan, ia berseru: 'Kebahagiaan yang diberikan kepada kita hanyalah hal yang sepele, tidak layak dihargai atau dipelihara(Anwar, Kerikil, p. 6.)'.Bukan hanya putus asa, tetapi bahkan rasa jijik, seperti 8
dalam puisi '1943', di mana Chairil melihat seorang anak kecil, tampaknya dalam keadaan sehat, tetapi sudah terinfeksi penebusan oleh pembusukan yang mengisi paru-parunya dinapas pertama kehidupannya(Jassin, Chairil Anwar,
FORWARD Your rank [marches] without beat of drum Conviction is the signal for attack Once to be meaningful And after that death. (Anwar, Kerikil, p. 7.)
p. 41).
Kadang-kadang, kita menemukan sebuah puisi menyala dengan kepercayaan diri dan vitalitas, vitalisme yang ingin dia masuki ke dalam seni; tetapi ini relatif jarang. Di antara mereka adalah 'Diponegoro'. Diponegoro adalah pemimpin mesianis dari Perang Jawa 1826-1830 - seorang tokoh tipe Mahdi, seorang revolusioner yang dalam imajinasi dan tradisi Jawa populer akan menyapu bersih ketidakadilan, dan menciptakan Surga dan Bumi yang baru: Dimasa pembangunan ini tuan hidup kembali Dan bara kagum menjadi api Didepan sekali tuan menanti Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang dikanan, keris dikiri Berselempang semangat yang tak bisa mati. MAJU Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu Sekali berarti Sudah itu mati.
Ini adalah salah satu dari beberapa puisi kaliber puitis sungguhan untuk lulus dari sensor Jepang, tetapi harus diragukan apakah sensor Jepang dan Chairil memahaminya dengan cara yang sama. Bagi orang Jepang, tidak diragukan lagi, ini menunjukkan bahwa pengabdian total pada tujuan dan mengabaikan kematian yang menjadi ciri prajurit sejati. Rekan-rekannya dari Indonesia mungkin memahaminya sebagai perjuangan untuk kebebasan politik. Tapi bukankah tidak mungkin bahwa seluruh rangkaian puisi itu ada dalam pikiran Chairil, dan bahwa Diponegoro adalah simbol untuk tekad Chairil untuk meledak ke dalam kebebasan anarki, bahkan jika itu mengorbankan nyawanya? Ini jelas halnya dengan'Aku' (My Self) (Anwar, Deru Tjampur Debu (Pembangunan, Jakarta, 1957),di mana ia menggambarkan dirinya sebagai binatang buas, ditolak oleh teman-temannya. Benar, dia ingin hidup seribu tahun, tetapi dengan caranya sendiri, berjuang untuk merobohkan alat-alat kemunafikan yang menopang kehidupan seharihari yang busuk dan bersuka ria karena dirinya merasa kurangterlibat dalam hal itu.
********* At this time of reawakening You live again The startled embers burst into flame In the forefront you stand Unflinching, facing foes a hundredfold. Swords at the right, spears at the left Kindled with a spirit that cannot know death.
Suasana hati yang berbeda, juga pemberontakan, dapat ditemukan dalam puisi'Kepada Kawan' (To a Fellow Spirit) (Anwar ,Debu, p. 18.)sebuah puisi carpe diem: Kematian, dalam merebut kita akan menghancurkan dirinya sendiri - karena itu, marilah kita mengambil gelas kehidupan, dan mengosongkannya sekaligus. Pilih kuda paling liar dan mendorongnya ke depan, menambatkannya ke siang atau malam hari. 9
Hancurkan semua yang telah anda buat, dan lenyap tanpa meninggalkan kerabat atau tanah, tidak ada meminta maaf, tidak ada undur diri! Kemudian, ketika Maut datang, ia akan menemukan mangsanya telah melarikan diri. Mungkin hanya dua puisinya yang bisa disebut bahagia. Salah satunya ialah 'Ajakan' (An Invitation) (Anwar, Kerikil, p . 20) sebuah puisi murni liris; sebuah kenangan akan masa kanakkanak, tahun-tahun penuh kebahagiaan dan persahabatan antara gadis dan anak lelaki yang tidak bersalah. Ketika kemalangan terburuk adalah terjebak dalam hujan - dan bagaimana? Sebentar lagi mereka akan kering kembali. Yang lainnya adalah 'Taman' (A Garden), sebuah puisi 'pelarian' yang romantis. Keinginannya: taman untuk 'Aku' dan 'Engkau'. Kecil, yang satu tidak bisa kehilangan yang lain di dalamnya; sederhana, tanpa berjuta bunga atau umbi empuk; mungil, tetapi dipenuhi sinar matahari tempat untuk menarik diri dari dunia dan umat manusia. Namun, ada dua tema pribadi utama yang mengalir melalui puisinya: satu adalah perasaan kesepian yang menindas, keputusasaan untuk mencapai segala jenis komunikasi antara manusia dan manusia; yang lain, perasaan religius yang hampir mencapai obsesi. Di antara puisi-puisi kelompok pertama, beberapa mengomentari tentang kengerian mimpi buruk yang menindas. Salah satunya adalah 'Kesabaran'(Patience), yang ditulis pada tahun 1943. Penyair itu terbangun di malam hari, dan mendengar, bingung di kejauhan, percakapan manusia dan lolongan anjing anjing, manusia, apa bedanya, semua adalah sama dalam kegelapan yang telah turun ke atasnya seperti dinding berbatu: dia benarbenar merasa terisolasi:
Aku hendak berbicara Suaraku hilang, tenagaku terbang Sudah! Tidak jadi apa-apa: Ini dunia enggan disapa, ambil perduli Keras-membeku air kali Dan hidup bukan hidup lagi. Kuulangi yang dulu kembali sambil bertutup telinga, berpicing mata Menunggu reda yang musti tiba. ********* I wish to speak My voice is lost, my strength fled Let it be! It is of no consequence The world does not care to be addressed, or to pay heed. The river has frozen hard And life is life no longer. I try to revive the past again... Close tight my ears, close tight my eyes Awaiting the resolution that must come. Setidaknya bagi saya, penyair itu berkata: Saya benar-benar terisolasi, dan tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun. Masa lalu berada di luar jangkauan saya, visi saya sebelumnya hilang selamanya. Kematian akan membawa pembebasan. ‘Sendiri' (Alone) adalah salah satu dari puisi kesepian phantasmagoric ini, di mana kesendirian kamarnya menahannya di tenggorokan, dan bahaya mengintai di setiap sudut. Kengerian itu hanya teratasi saat dia menangis dan menangis sambil berkata:'Ibu! Ibu!’ 'Kawanku dan Aku' (My Companion and I) juga mengungkapkan kesia-siaan dari segala upaya untuk berkomunikasi:
10
Kami jalan sama. Sudah larut Menembus kabut. Hujan mengucur badan. Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan. Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat. Siapa berkata? Kawanku hanya rangka saja Karena dera Mengelucak tenaga. Dia bertanya jam berapa! Sudah larut sekali Hingga hilang segala makna Dan gerak tak punya arti.
(Futility), misalnya, menggambarkan ketidakmampuan Chairil untuk menyerah pada cinta, dan kemarahannya pada dirinya sendiri karena ketidakmampuan ini. Seorang gadis membawa bunga ke kekasihnya, dan meletakkannya di kakinya. Tapi sepanjang hari pasangannya hanya bisa duduk saling berhadapan, masing-masing tidak dapat melakukan langkah pertama. Dan Chairil berseru memuakkan: Ah! Hatiku yang tak mau memberi Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
********** We are both wanderers, overtaken by night Struggling on through darkness And drenched by rain. Boats stiffen in the harbour, My blood congeals. I am dense, compact. Did anyone speak? My companion is a skeleton His vigour enfeebled by blows He asked: What time is it? It is very late: Meaning is lost in latency And movement has no sense.
Ah! My heart, which will not yield, Die, devastated by loneliness. 'Orang Berdua' (A Couple) memiliki jangka waktu yang sama. Kamar di mana mereka menemukan diri mereka adalah tempat perlindungan terakhir mereka di malam tanpa batas. Bersama-sama mereka meraih rakit hitam (mungkin, persatuan seksual) tanpa mengetahui apakah di atasnya, mereka akan dilemparkan ke pantai atau dihisap ke dalam pusaran air; tidak yakin apakah mereka benarbenar berada dalam pelukan satu sama lain mencapai klimaks - atau apakah masih mengejar ilusi.
Penyair tidak menggambarkan jalan yang sebenarnya di malam hari. Kegelapan ada dalam benaknya, dan kapal-kapal, kaku, tidak bergerak, samar-samar terlihat melalui hujan yang turun menunjukkan paralel dengan aliran lamban dari darahnya yang mengerucut saat ia merasakan mati rasa keterasingan. Rekannya hanya bisa mengucapkan kata-kata yang tidak bermakna dan dangkal seperti: Jam berapa sekarang? Dan penyair berkomentar dengan getir: Kapan pun waktunya, sudah terlambat; tidak ada yang memiliki arti.
Tema ini diungkapkan lebih jelas dalam 'Puncak' (nama kawasan pegunungan). Setelah malam pelukan telanjang dengan nyonya,di bukit yang tinggi, jauh dari keriuhan kota, penyair menemukan bahwa kabut pagi yang tebal bersandar pada pinus hijau, dan suara aliran jernih berdesir di antara mereka, hanya sekali lagi mengajukan pertanyaan yang belum terselesaikan yang sama: apakah cinta itu, apakah hubungan itu?
Bahkan sebuah hubungan intim tidak mampu melampaui keterasingan ini. 'Sia-sia'
Perhatiannya terhadap agama tidak harus dipahami dalam arti pengakuan. Bagi 11
saya, tampaknya ia sangat religius dalam temperamennya, dan ia merasa jauh lebih sulit untuk melepaskan kepercayaan religius daripada menemukan imannya. Sikapnya terhadap agama formal secara alami ditentukan dengan menyembunyikan penolakan total terhadap setiap bentuk organisasi sosial sebagai korup yang tidak dapat diperbaiki, dan ia tidak menggunakannya. Dalam puisi 'Aku' (My Self jangan bingung dengan puisi lain yang saya sebutkan sebelumnya) ia menyatakan: 'Saya menjaga jarak dengan guru agama dengan katakata mereka.' Di Mesjid' (At The Mosque) ia menggambarkan upayanya untuk bergulat dengan Tuhan, dan mengalahkan-Nya: Kuseru saja Dia Sehingga datang juga Kamipun bermuka-muka Seterusnya la bernyala-nyala dalam dada. Segala daya memadamkannya Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda. Ini ruang Gelanggang kami berperang Binasa- membinasa Satu menista lain gila. ********* I call upon Him Until at length He comes We are face to face He bursts into flame within my breast With all my strength I strive to extinguish Him My self, rejecting [His] yoke, Is drenched in sweat This hall (i.e. the Mosque) Is our place of struggle Bent on mutual destruction The one contemptuous, the other mad. Namun, tiga puisinya merupakan bukti yang luar biasa tentang keyakinan agama.
Dalam 'Doa' (A Prayer) dia berseru: Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerdip lilin dikelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara dinegeri asing Tuhanku dipintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling. ******** My Lord, When overcast by thought Still I utter your name Even in bitter sorrow, At the thought of you, all is filled With your light, pure and burning Now a flickering candle in silent darkness My Lord I face dissolution and collapse. My Lord I wander in a strange land. My Lord At your door I knock, I cannot turn away. Yang sama mencoloknya adalah puisi 'Isa' (Yesus), sangat mirip gayanya dengan 'Doa' yang merupakan meditasi penyaliban. Ia memandangi tubuh Kristus yang berdarah dan hancur, lalu dihadapkan pada pertanyaan: Apakah saya bersalah?
12
kulihat Tubuh mengucur darah aku berkaca dalam darah I see the body, bleeding, In the blood, I see myself.
dipulau' (My Beloved is afar off, on an Island): Cintaku jauh dipulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri. Perahu melancar, bulan memancar, dileher kukalungkan ole-ole buat sipacar, angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak 'kan sampai padanya.
Namun, masing-masing puisi memiliki arti yang berbeda. 'Doa' didedikasikan untuk orang yang tunduk kepada Tuhan, dan 'Isa' untuk orang Kristen. Seolah-olah - sangat terasa seperti puisi-puisinya - Chairil tidak ingin sentimen dengan yang diungkapkan di dalamnya dikaitkan kepada dirinya sendiri melainkan untuk orang lain. Puisi agama ketiga adalah 'Kepada Peminta-minta' (To A Beggar). Ini didasarkan pada puisi Belanda karya William Elschot dengan judul yang sama. Si penyair dihadapkan dengan wajah seorang pengemis yang bopeng dan penuh bintik, meneteskan nanah, yang mengejarnya tanpa henti dan bahkan menghantui mimpinya. Inspirasi dari puisi itu dari kisah Kitab Injil yaitu Dives dan Lazarus, dan pengemis itu jelas adalah jari yang menuduh hati nurani, memerintahkan penyair untuk melemparkan dirinya yang sarat dengan dosa, di kaki Tuhan.
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang bersama 'kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Chairil Anwar hanya memiliki enam tahun kehidupan sebagai penyair. Tema dan sikap yang saya uraikan secara luas mewakili karyanya, tetapi tidak lengkap. Dan tidak boleh dibayangkan bahwa Chairil harus konsisten dalam sikapnya, atau bahwa puisi yang saya diskusikan hanya memuat satu interpretasi.
My boat surges onward, the moon radiates light, and round my neck hangs a garland for my darling; the wind is with me, the sea bright and yet I feel that I shall never reach her.
Beberapa dari puisi-puisinya yang kemudian, walaupun tidak menyimpang dari keprihatinannya sebelumnya, tidak memiliki penindasan yang mengerikan dari pekerjaan sebelumnya, dan ditandai dengan penerimaan yang tenang akan nasibnya - kesadaran bahwa cita-citanya tidak pernah dapat dicapai. Seperti sebuah suasana hati dalam puisi 'Cintaku jauh
Diair yang terang, diangin mendayu, diperasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata: 'Tujukan perahu kepangkuanku saja.'
Manisku jauh dipulau, kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri. ********** My beloved is afar off, on an island A sweet girl Whiling away her time alone.
For in the clear water, in the sighing wind in the sense of all things fleeting to their close Death sits in majesty and declares: Direct your barque to my embrace. Alas, so many years have I travelled in the boat doomed to dissolution with me! Why is it that Death should call Before my beloved reclines in my embrace. 13
My sweet one is afar off, on an island; myself dead, she too will die whiling away her time alone. Yang 'dicintai' melambangkan idenya tentang kesempurnaan. Semua elemen menguntungkannya saat ia berangkat dengan perahu untuk bergabung bersama cintanya. Tetapi ketika perahu melaju ke depan, dia menyadari dalam hatinya bahwa ia ditakdirkan untuk tidak pernah bertemu cintanya - dan menerima kenyataan. Ketabahan yang sama terlihat dalam salah satu puisi terakhirnya 'Cemara menderai sampai jauh' (Pines straggling into the distance): Cemara menderai sampai jauh Terasa hari jadi akan malam Ada beberapa dahan ditingkap merapuh Dipukul angin yang terpendam Aku sekarang orangnya bisa tahan Sudah lama bukan kanak lagi Tapi dulu memang ada suata bahan Yang bukan dasar perhitungan kini Hidup hanya menunda kekalahan Tambah jauh dari cinta sekolah rendah Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan Sebelum pada akhirnya kita menyerah. ********** Pines straggling into the distance It seems night is at hand; Branches about the window collapse Broken by the muffled wind. Now I can bear it - I am no longer a child, But in childhood there was something I can take no account of now.
Life is but an attempt to defer death As the loves of schooldays fall further behind us, And we realise that something must remain unuttered Until the moment we concede defeat. Teknik puisi ini terlihat terampil dengan sentuhan-sentuhannya. Ritme dan kecepatan yang sengaja tidak merata, sejajar dengan garis pinus yang acak-acakan, dan pola kehidupan yang tidak teratur dan tidak pasti itu sendiri, hanya berfungsi untuk menyoroti ketidakgoyahan, langkah cepat dari inti kesimpulan: Hidup hanya menunda kekalahan (life is but an attempt to defer death) . Ini merupakan puisi pengunduran diri. Pohon cemara mencirikan daerah pegunungan Puncak di Selatan Jakarta, dan garis pembuka kemudian mengatur suasana: dinginnya malam gunung yang semakin dekat, sebuah pergulatan, dengan dinginnya kematian. Gagasan pembubaran yang akan datang ditegaskan oleh cabang-cabang yang runtuh tentang jendela. Dan sama seperti hanya sedikit yang dibutuhkan untuk menjatuhkan mereka, demikian juga akan sedikit untuk membubarkan nyawa penyair. Puisi itu dengan demikian menyatakan dua kebenaran, yang dengan tenang diterima: kehidupan tidak pernah dapat dimahkotai dengan kesuksesan tertinggi, dan kematian terusmendekat. Pada pandangan pertama, sikap-sikap terakhir ini tampaknya bertentangan dengan cita-citanya yang diakui. Dalam sebuah surat ia berseru: 'Kolonel Jamasaki adalah perwujudan cita-cita saya ... dalam pengabdian totalnya kepada kaisar, kepada rakyatnya, negaranya ... dalam kapasitasnya yang luar biasa untuk pengabdian yang harus mencakup kekuatan fantastis yang akan ia kejar sampai mati 14
sendiri.Ida, Vitalisme! Semangat, api kehidupan. Dan aku bertanya kepadamu apakah pandangan vitalisme ini benar-benar dapat ditransmisikan menjadi seni. Ida, kenapa tidak? Bagaimana kualitas semacam ini mampu hilang dan terhapus. '' Di sini, sejauh ini dari menulis untuk melawan Jepang, ia menemukan inspirasidalam pengabdian Jepang kepada Kaisar. Namun, pada kesempatan lain ia menulis: "Selama pendudukan Jepang, kami harus bertindak, atau paling tidak berpikir dan merasakan dengan tajam tentang bagaimana melawan atmosfer pada waktu itu, untuk menjaga harga diri kami." Dan di tempat lain ia menulis: "Kita harus menemukan kompensasi dan kompleksitas di dalam diri kita sendiri ... kompensasi dan kompleksitas, tempat yang besar dan gelap tempat diri sejati kita disembunyikan." Namun, kontradiksi yang nyata tidak perlu menjadi perhatian kita. Dia sangat lincah, suatu hari proJepang, pro-Belanda, pro-Republik. Dan dari antusiasmenya yang berayun dengan keras, dia berkata pada dirinya sendiri bahwa vitalisme adalah kekacauan primordial di mana seni berasal, dan keindahan tatanan kosmik yang dihasilkan ketika sebuah karya seni tertentu telah mencapai ekspresi formal. Didalam penjelajahannya tentang energi-energi non-etis yang terpesona secara merata oleh kengerian dan kegembiraan mereka, ia menggambarkan seorang penulis modern yang khas. Antusiasme inimenngunakan istilahnya sendiri, the 'chaotisch voorstadium' dari karyanya, dan di antara mereka dan terletak di kosmos yang tersusun dari sebuah puisi yang sudah selesai menggali ke dalam tempat yang besar dan gelap penuh kompensasi dan kompleksitas; pengawasan dan pengabaian setiap larangan tanpa henti, evaluasi, seleksi, analisis,serta penolakan. Masih ada pertanyaan tentang dugaan plagiarismenya. Disimpulkan bahwa beberapa
puisinya adalah terjemahan tanpa pengakuan; dan yang lain, jika tidak secara jelas berasal dari puisi-puisi individual dari penulis seperti Marsman, Slauerhoff, dan du Perron, memiliki kemiripan tema dengan karya-karya para penulis ini, dan kadang-kadang mengandung garis-garis individual yang jelas berasal dari karya mereka. H.B. Jassintelah memberikan sebuah publikasi, mengumpulkan semua puisi yang tampaknya turunan dengan dugaan asli dari Belanda. Pertanyaan mendasar yang dipermasalahkan di sini, tentu saja, adalah sifat orisinalitas dalam diri seorang penyair. Dua ilustrasi paling umum untuk mendukung tuduhan plagiarisme adalah 'Datang Dara, Hilang Dara' (A girl comes, a girl departs) berdasarkan Hsu Chih Modari puisi'A Song of the Sea', dan 'Krawang-Bekasi' (ini adalah dua nama tempat ) berdasarkan Archibald MacLeish'The Young Dead Soldiers'. Hubungan kedua puisi ini dengan aslinya dalam bahasa Inggris tidak dapat disangkal. Namun, yang tak dapat disangkal adalah transformasi halus yang dilakukan Chairil Anwar dalam adaptasinya. 'Datang Dara, Hilang Dara' - jauh lebih kaya secara musik daripada 'A Song of the Sea'. Dan, yang lebih penting, sedangkan 'A Song of the Sea' hanyalah sebuah lukisan kata romantis, sebuah kebangkitan adegan pantai, dalam versi Chairil gadis yang berkeliaran di pantai adalah simbol dari dirinya sendiri, berani dan melampaui elemen, dan bahkan mengidentifikasi dirinya dengan esensi batin mereka, vitalitas mereka. Ini terlihat jelas dalam modifikasinya pada frasa pada titik-titik kunci tertentu, sehingga, misalnya, bahasa Inggris 'I am like the tossing of the wild sea'diterjemahkan: 'Aku, sendiri geteran yang jadikan gelombang'-I myself am the pulsation (pulsating energy?) that creates the waves.'Demikian pula, 'Krawang15
Bekasi'menggunakan materi yang sama dengan Archibald MacLeish' The Young Dead Soldiers 'tetapi dengan musik dan ritme yang sangat kaya, dan ungkapan yang ditingkatkan. Sangat disayangkan bahwa kesimpulan dari puisi yang tidak memiliki padanan dengan yang ada di MacLeish, jatuh jauh di bawah tingkat bagian sebelumnya. Jika puisi-puisi itu, yang diduga plagiarisme, sangat individual, ini lebih mirip dengan puisi-puisi yang hanya tampak menggemakan pengarang Belanda, pada satu titik atau yang lain. Tidak perlu untuk membantah fakta bahwa ia sangat pemilih dalam apa yang terjadi untuk menyerang akord dalam imajinasinya, atau bahwa garis tersebut sesekali dikaitkan dengan penyair Belanda berfungsi sebagai titik keberangkatan untuk karyanya sendiri. Tetapi dalam hampir setiap kasus, di mana pun ia meminjam, ia memperdalam dan bertransformasi. W.A. Suchting telah mencatat bahwa 'Setiap seniman yang signifikan memiliki dasar fundamental tentang bagaimana karyanya berputar, perspektif dasar dari mana, di mana, ia melihat dunia dan dalam dirinya sendiri.' Dalam pandangan saya, Chairil Anwar, jauh menjadi seorang penjiplak yang memang memiliki poros, perspektif dasar, dan bahwa
puisinya secara langsung intim dan unik. Terlebih lagi, ia berhasil dengan sukses memperkenalkan ke Indonesia, puisi menjadi salah satu tradisi utama abad ke-20. Secara formal, Chairil Anwar dengan setia menerapkan formula para simbolis. Secara khusus, ia menunjukkan banyak pengaruh dari penulis Belanda. Tapi ini tidak lebih merupakan gangguan dari jasa-jasanya daripada hutang T.S.Eliot kepada simbolis Prancis. Dan, dengan demikian, ia tidak dapat digambarkan sebagai peniru, karena dalam beberapa hal - menulis dalam Bahasa Indonesia ia jelas merupakan seniman yang unggul, hasil karyanya lebih sempurna daripada model Belanda-nya. Dan bahkan di mana dia tidak asli, karyanya memiliki perbedaan khas yang terletak, seperti yang telah dikatakan tentang Eliot, dalam ungkapannya. *First published in Bijdragen tot de Taal-3 Land- en Volkenkunde3 Vol. 120, pt 4, 1964, pp. 393-408. Dari buku: Cultural Options and the Role of Tradition “A Collection of Essays on Modern Indonesian and Malaysian Literature� - Anthony H Johns, terbitan The Australian National University Press antara tahun 1965-1991
Setyowati Wulandari, biasa dipanggil Wulan. Sekarang menjadi pekerja kantoran didaerah pelosok dan penerjemah lepas
Milenial di Luar Milenial Apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar Amerika Serikat? Kim Jon Un? Hizbullah? Fir'aun? Ernesto Guevara? Kylian Mbappe? Usain Bolt? Ariel "Peterpan"? Chairil Anwar? Larry Page? Michael Jackson? Rhoma Irama? Pablo Picasso? Sepp Blatter? Soimah? Voltaire? Plato? Rocky Gerung? Jihan Audy? Spongebob Squarepants? Tentu isi kepala anda sangat berantakan saat ini. Bertabrakan satu gambar dengan gambar lain atas beberapa nama yang saya sebutkan tadi. Mungkin tergambar di kepala anda seorang supreme leader yang sedang karaoke lagu koplo di panggung negeri bawah laut bernama Bikini Bottom. Atau binatang jalang yang berlari sangat kencang kemudian tersandung skandal video seks dan masuk mesin pencarian bernama anu. Atau mungkin anda temui seorang lelaki paruh baya sedang melukis bintang sepakbola berumur 19 tahun yang mengangkat trofi piala dunia kemudian dua orang mendatanginya, yang satu coba mengurai falsafah lukisan itu, satunya lagi berteriak kencang: "lukisan itu fiksi!". Itu terserah dan monggo-monggo saja. Tetapi, sesungguhnya gejala apakah itu? Seorang psikolog pernah bilang, kesan pertama yang muncul di kepala ketika kita menyebut sebuah subjek adalah definisi dari subjek itu sendiri. Dan definisi itu bisa berarti sifat atau karakter dominannya, garis besar sejarahnya, atau kebermanfaatan hidupnya. Meskipun kesan itu tetap saja bersifat subjektif dan tidak pasti benar-benar menjelaskan "siapa" subjek itu. Sebab toh kita pun selalu
salah menangkap kesan yang muncul ketika bicara tentang tomat, apakah ia termasuk famili sayur atau buah-buahan. Sama halnya dengan kita yang selalu gagal membedakan apakah bambu itu golongan pohon atau golongan rumput. Itu baru bambu dan tomat. Bagaimana kalau ternyata kita juga salah kesan terhadap kata pemimpin dan penguasa? Baiklah, rasanya tema itu terlalu jauh dan harus kita hindari sebagaimana harus semakin sering kita hindari angka 1 dan 2 akhir-akhir ini. Jadi, ada baiknya mulai hari ini penembak pistol di garis start lomba lari memulai hitungannya dari angka 3 dan berakhir di angka 5. Bukan tak setia kepada pakem peraturan, ini hanya sekadar upaya untuk membebaskan para penembak pistol dari tuduhan-tuduhan politis yang semu, absurd, dan konyol. Kembali ke teori psikolog tadi, meski kesan yang muncul tak selalu menjelaskan kebenaran "siapa" dari sebuah subjek, paling tidak teori itu menemukan sisi ketersambungannya dengan apa yang sering diwejangkan oleh orang tua zaman dahulu. Pini sepuh dari era lampau selalu menasihati anak cucunya bahwa nama manusia diukir oleh sejarah lelaku hidup manusia itu sendiri. Akan baiklah namamu sepanjang hidup selalu diisi oleh kerja-kerja baik yang mulia, dan akan buruklah nama itu jika yang dilakukan adalah hal sebaliknya. Artinya juga, identitasmu, entah itu sebuah individu, keluarga, komunitas, organisasi, instansi, bahkan juga sampai kepada warga, masyarakat, bangsa dan negara, dijelaskan terutama oleh laku dan sikap hidup yang konsisten serta continue yang kemudian kita sebut itu sebagai karakter. Dari titik pijak teori seperti itu, pertanyaan kita semua menemukan wilayah tematiknya: siapakah generasi milenial? 17
Siapa sih generasi milenial? Apakah ia adalah generasi yang sebagian besar ruang hidupnya tergantung kepada teknologi? Apakah ia adalah generasi flash sale dan pemburu potongan harga? Apakah ia adalah generasi cendekia literasi? Apakah ia adalah generasi yang fokus hidupnya adalah materi, rohani, atau keseimbangan racikan dari keduanya? Apakah ia adalah kumpulan inovator yang membuka jalan peradaban? Apakah ia generasi pencetus, penemu, penerus, atau pembaharu? Apakah ia generasi muqollid atau justru generasi mujtahid? Apakah ia adalah generasi yang menunggangi atau ditunggangi zaman? Apakah ia adalah generasi perawat dendam masa lalu ataukah ia adalah generasi gerbang maaf menuju cerah hari baru? Apakah ia adalah generasi yang jengah dan muak, ataukah justru generasi yang diam-diam merasa nikmat dimabuk keadaan? Tentu tidak mudah menjawab semuanya. Kita mesti terlebih dahulu menemukan parameter materi dan substansinya. Mengatur jarak pandang, kelengkapan pandang sekaligus kejernihan mata pandangnya. Sebab sebenarnya identitas sebuah subjek adalah juga hasil dari dialektika antara subjek dan pengamat subjek. Harus ada keseimbangan ilmu antara yang dilihat dan yang melihat. Karena terkadang parfum tidak kita sebut wangi bukan karena parfum tidak mengeluarkan wangi melainkan karena hidung kita sedang mengidap penyakit pilek. Kalau pun dengan segala kelengkapan penjurian itu telah kita temukan beberapa plang identitas untuk ditancapkan pada dada generasi milenial, umpamanya seperti generasi budak teknologi, generasi cengeng, generasi anut runtut tanpa kedaulatan, generasi minder, generasi tanpa kesabaran, generasi hedonis materialis, generasi silau dunia, generasi tanpa
nurani akal dan akal nurani, generasi tak kenal martabat, generasi buta masa lampau serta seribu macam plang negatif lainnya, aku katakan pada kalian: mulailah untuk berpikir ulang. Karena zaman masih terus bergulir. Untuk juga harap diingat, bahwa generasi milenial bukan hanya yang saat ini sedang tampil di atas panggung utama peradaban globalisasi. Ingatlah bahwa panggung hanya diisi oleh pihak-pihak yang dikehendaki oleh pencipta panggung dan didasarkan pula oleh selera panggung si penyelenggara acara. Masih ada ratusan, ribuan, bahkan jutaan anggota generasi milenial yang kostum utamanya sama sekali berbeda dengan generasi milenial yang tampil di atas panggung. Ialah generasi milenial yang mengendap dari balik semak-semak, yang mengintai dan mengamati dari bilik-bilik sunyi, yang berlatih dan mengembarakan diri dari pojok keremangan. Ada milenial di luar milenial. Ialah anak-anak muda yang rentang usianya masuk ke dalam pembabakan milenial namun kecenderungan dan 'selera' hidupnya sama sekali berbeda dengan generasi milenial yang dipahami dunia hari ini. Sehingga seolaholah mereka adalah 'mutan' dari generasinya yang tidak menemukan kotak di dalam peta dunia modern. Langkah kakinya sering kali tak seirama dengan tren kemajuan. Bila umumnya milenial identik dengan parameter kesuksesan hidup semacam gelar tinggi kesarjanaan, jabatan necis di sebuah perusahaan, keberlimpahan harta benda, atau popularitas dunia maya, beberapa anak 'mutan' ini justru seperti tidak bernafsu di hadapan jenis-jenis makanan seperti itu. Namun tidak berarti juga mereka antipati terhadap fenomena itu. Yang jelas ada cara menilai dan cara memandang baru terhadap kata "sukses" yang mereka gali langsung dari Empunya Kehidupan, Allah Swt.. 18
Sumber utama nilai-nilai yang mengaliri darah mereka berbeda dengan milenial pada umumnya. Ada semacam gejala trauma untuk jatuh pada 'lubang' yang sama, yang mereka refleksikan dari kaca pengilon dua babak generasi sebelum mereka. Gejala semacam inilah yang membuat proyeksi para 'mutan' ini terhadap masa depan sedikit berbeda dengan teman satu lapangannya. Pokoknya mereka seperti turun dari langit dan membawa sesuatu dari langit yang dititipkan langsung oleh Tuhan, sehingga salah satu kerugiannya ialah bumi tidak mengenal mereka. Dengan banyaknya orientasi, visi, aksi hingga konfigurasi hidup yang sangat berbeda dan otentik dari generasi milenial di luar milenial ini tidak akan membuat mereka justru memusuhi milenial reguler. Yang saya
bayangkan justru terjadinya semacam pertarungan alam pikiran yang persuasif, dinamis serta dialektis untuk satu tujuan bersama: membentuk identitas milenial di mata sejarah. Dunia telah sampai di persimpangan jalan antara mati membusuk atau menguak hidup baru. Kita akan jatuh pada satu pilihan masa depan yang ditentukan oleh hasil dari pertarungan alam pikiran dua jenis milenial itu tadi. Sebab merekalah lokomotif utama yang akan menentukan ke stasiun mana selanjutnya kereta berjalan. Seperti apa suasana kehidupan di stasiun selanjutnya itu? Sabar, tunggu, dan bersiaplah terhadap segala kemungkinan. Allah masih menimang-nimang tubuh kita semua.
Sobrun Jamil, pemuda kelahiran Pekalongan, 14 Desember 1997. Anggota aktif Omah Puisi. Saat ini tinggal di Pamulang. Bisa dihubungi melalui akun Instagram @sobrunjamil_ .
Carangan (Cerita Pendek)
Sirkuit L
ayar perlahan ditutup. Cahaya lampulampu kian susut meredup, ruangan teater menjadi gelap. Bersamaan gemuruh tepuk tangan penonton. Pembawa acara tampak berdiri di sudut ruangan, meminta penonton untuk tepuk tangan meriah sekali lagi. Pelan-pelan tirai kembali dibentangkan, mengikuti alunan irama takjub sorak-sorai serta luapan emosional penonton terangkum dalam ketidak-beraturan suara-suara—yang keluar dari masing-masing mulut dan peraduan tangan. Di dalam keremangan cahaya, saya melihat pembawa acara bergerak ke ruang ganti. Dengan tempo agak lambat, lighting mulai menerangi panggung, tapi tidak ruang penonton. Barangkali, memang sengaja dibiarkan gelap. Seolah pertunjukan baru akan dimulai. Keheranan pun muncul ketika panggung tampak kosong, tak satupun pemain terlihat. Hanya artistik yang masih tertata rapi memainkan peran dan fungsinya. Pelataran panggung yang semula berantakan oleh adegan pembakaran kertas-kertas yang telah menjadi abu, daun-daun yang porak-porandakan, serta cairan merah imitasi darah yang tumpah usai digunakan. Kini. itu semua hilang jejaknya dipanggung, sungguh kilat sekali mereka membersihkannya. Ketika usai berhenti saling mengadu tangan, kesepian telah meruang selama kuranglebih lima menit. Sebagian penonton yang tak peduli (basa-basi apresiasi dan penghormatan) lekas pergi meninggalkan ruang pertunjukan.
Sebagian penonton lainnya saling melemparkan pertanyaan kepada kiri-kanan, teman yang baru dikenal, kekasih atau sahabat yang ikut menonton pertunjukan bersamanya. Saya sendiri terus melamuni peristiwa tersebut. Ada banyak sekelebatan pertanyaan yang datang lalu pergi. Sambil mengamati daerah panggung dari bangku penonton. Pikirku mungkin ada suatu bahan, hal atau kesan yang menarik ditanggalkan. Itulah mengapa saya belum tertarik meninggalkan ruang pertunjukan. Seperti ada yang terus menarik diri supaya tetap diam di kursi. Entah, apa namanya. Sontak, terdengar suara seruan panggilan, ditujukan kepada sutradara segera harap naik panggung. Tapi, tidak diketahui siapa yang mengatakan. Terdengarlah langkah sutradara lekas berjalan ke arah panggung, tetiba muncul dari belakang penonton, melewati kursi-kursi. Terdengar pula bisikan suara penonton di sebelah saya kepada sahabatnya yang masih tak bergeming itu untuk main tebak-tebakan: sutradara itu tadi menonton atau tidak? Dia ikut main atau tidak? Atau jangan-jangan dia sejak awal, memilih di luar ruangan pertunjukan; memesan kopi dan merokok dengan penuh kecemasan. Sesampainya sutradara di atas panggung. Lighting menggambarkan warna yang memacu adrenalin, warna kebiruan dengan kepulan asap tebal menutupi panggung. 21
Musik latar memainkan ketegangan-ketegangan suara. Saya membayangkan seperti upacara menghidupkan lagi orang yang mati di atas panggung berkali-kali, tapi lahir dan mati lalu hidup sekali di luar panggung pasti terjadi. Karena apa yang terlihat mata terus bergumul dalam pikiran. Selang kemudian, sutradara menegaskan bahwa “Pementasan ini belum selesai! Meskipun revolusi terus-menerus merenggut banyak korban, akan tetapi revolusi itu sejatinya tidak pernah selesai. Setiap zaman butuh revolusi, dalam revolusi tentu ada yang mati, tapi kematian adalah panggilan kelahiran yang baru. Begitupun dengan pertunjukan ini, kita tidak merasa kehilangan penonton, walaupun telah banyak kursi ditinggalkannya. Perlu diketahui, pertunjukan belum kita akhiri. Karena pertunjukan adalah bentuk transaksi tawarmenawar, serta komunikasi tarik-menarik terhadap apapun yang melingkupi kehidupan. Itupun terus-menerus, jika berhenti berarti istirahat, kalau nanti kita akhiri mesti berdasar kesepakatan. Itulah puncak revolusi!” Begitu kata sutradara, dengan kobaran semangat berapi-api ia menjelaskan, gerakannya menggebu-gebu. Tatapannya mengintai para penonton. Dengan sigap, dia melompat dari panggung, ingin lebih dekat penonton. Setelah mendengar pidato tadi, banyak muncul duga semacam prasangka di kepala, belum lagi asumsi saya juga turut campur. Sebab, apa yang telah dilakukan sutradara itu semacam improvisasi atau memang begitu dialognya. Alurnya memang begini atau kisahnya seharusnya begitu. Tentu, ada banyak sekali macam-macam ini-itu ketika saya sedang menikmati pertunjukan yang tidak karuan biasa, sebuah hiburan yang berhasil mengusik pikiran
dibuat mabuk oleh kebosanan. “Bagaimana pertunjukan ini mesti diselesaikan? Bagaimana tanggapan kalian jika melihat peristiwa yang belum benar-benar berakhir? Ya, hanya ada dua kemungkinan cara paling tepat mengakhirinya: kalian melanjutkan bayangan pertunjukan ini di rumah, atau kita sepakati bersama-sama sebagai keputusan final?” sutradara mulai mendesak. Dia bergerak maju ke hadapan muka penonton, kepalanya memberi kode isyarat menggeleng atau menunduk. Wajah-wajah penonton tampak ada yang takut, malu, sungguh-sungguh, dan penuh ragu-ragu. Saya memandangi para penonton yang kebingungan mesti gerak apa kepalanya. Penonton di sebelah saya justru malah tertawa. Di kiri-kanannya cuma tersenyum sinis. “Memang apa yang kau tawarkan, sutradara?” seru salah seorang penonton. Tetiba disusul suara penonton lain dari belakang, “Iya apa?” “Iya atau tidak?” dengan gagah sutradara menyambut. “Iya…” sorak penonton, bersamaan penonton lainnya mengatakan, “tidak!” “Jadi, yang tidak mau tahap penyelesaian pertunjukan silakan keluar,” kembali sutradara meyakinkan penonton. Tak satupun dari mereka berdiri dari kursi masing-masing. Rasanya perlu keberanian lebih bagi mereka yang mau beranjak keluar setelah yakin mengatakan “tidak” tapi tidak sanggup melakukannya. Tindakan atas pembenaran kata “tidak,” bukanlah murni suatu penolakan. Karena bayang-bayang “iya” telah berhasil merasuk pikirannya. Mungkin, bagi mereka yang tergolong 22
sedikit mengatakan “tidak” itu sedang mengalami proses determinasi antara gengsi atau malah sangat ingin tahu kelanjutannya. Kita sama tidak tahu tentang hal yang tak mungkin kita ketahui. Penonton lainnya pun sudah memaklumi sebagai hal yang lumrah. Wajarlah jika kita lebih baik tidak mengungkit lebih dalam isi hati penonton. “Apakah itu artinya semua setuju?” “Iya,” jawab penonton serempak. “Baiklah, sekarang kita tarik kesepakatan dari kejauhan pilihan yang nanti kita putuskan,” kata sutradara menyambung lagi, “kita sedang dihadapkan pada pilihan antara bunuh diri, atau berperang meskipun seorang diri.” Penonton diam termangu. Seperti sedang menonton pikiran atau membayangkan pertunjukan. Kita merasa diteror oleh apa yang dibayangkan. Bayangan itu, menurut sutradara, bisa berarti perangkap, jebakan, atau yang disebut penjara pertunjukan. Saat itulah, penonton mesti bertanggung-jawab memikirkan ending pertunjukannya, dan sebaliknya, sutradara dan aktor adalah giliran para pemainnya. “Jika kita pilih bunuh diri, artinya pengecut dan pecundang. Keberanian yang seluas semesta rasanya tidak cukup menampung pikiran yang sempit, kerdil dan dangkal. Bunuh diri bukanlah menyerah takluk begitu saja, melainkan penyerahan terhadap perjuangan yang didasari cinta. Tetapi perbuatan bunuh diri adalah hal yang tidak dibenarkan dalam pertunjukan, karena berpotensi melemahkan pribadi manusia yang kuat, tapi juga bisa menguatkan pribadi manusia yang lemah. Sebagai mantan sutradara, sekarang aku berperan ikut main dalam
penyutradaraan penonton sekalian, maka kalau boleh turut usul. Sebaiknya kita pilih perang meski seorang diri.” “Kenapa sebelumnya kau menawarkan pilihan, tapi tidak dipilih?” teriak salah seorang penonton. “Pertunjukan yang membebankan!” keluh kesal penonton lainnya. “Seharusnya sejak tadi pertunjukan terus dimainkan saja. Tidak perlu ada peralihan semacamnya,” tambah penonton lagi. “Kita sedang musyawarah saudarasaudara. Ayolah, kita putuskan penyelesaian pertunjukan ini dengan pikiran yang tenang dan hati yang lapang,” mantan sutradara tersebut menengahinya, “sekarang kita perlu menanyakan pilihan tersebut kepada para pemain.” “Aku siap, pak, perang seorang diri!” jawab salah seorang aktor satu. “Saya jauh lebih siap berani mati seorang diri!” sanggah aktor dua. Masing-masing aktor menginginkan peran tersebut. Mereka benar-benar berani mati seorang diri. Mereka tidak takut pada kematian yang sudah sangat jelas dihadapannya. Sementara, sutradara yang sedemikian banyaknya kian kebingungan memilih satu aktor saja dari yang banyak. Dan tanpa diduga, seorang penonton sekaligus kini sutradaranya, berjalan menghampiri dan menaiki panggung. “Kaulah si pemainnya,” kata seorang penonton menaiki panggung memutuskan 23
sambil menunjuk, “jatuh kepada mantan sutradara pertunjukan ini. Karena dialah penyebab kematian terjadi. Dia mesti menjawab panggilan kematian dari dalam dirinya sendiri untuk merepresentasikannya, bukan memerankannya. Dia adalah satu-satunya orang yang belum, atau tidak mau menanggapi peristiwa kematian. Tentu saja, cara dia mengelak dengan melemparkan pertanyaan pilihan sekalian permintaan kepada para pemain, adalah suatu upaya mengelabui kita semua, agar dia terhindar dari proses kematian. Dialah orang yang takut menghadapi kematian. Dialah yang mesti kita tunjuk sebagai pemberani di hadapan kematian. Dengan begitu, akan datang suatu masa nanti ketika ketakutan akan kematian tiba, maka kelahiran akan keberanian manusia pastilah hadir.” “Ya benar, karena perjalanan sutradara adalah sirkuit pertunjukan ke pertunjukan, aktor ini beralih ke aktor itu,” teriak penonton yang terlibat penyutradaraan bersama menambahkan. “Tapi kan, kita bukan dari kalangan yang kau sebut dan jelaskan itu, saya pribadi seorang penonton dan penikmat teater saja. Belum pernah bermain-main di pertunjukan,” sanggah penonton yang termasuk penyutradaraan bersama. “Memang bukan kamu yang memutuskan jadi sutradara. Tetapi mantan sutradara itu yang memberimu gelar sutradara. Karena itulah, saya mendakwa mantan sutradara tersebut dengan memberikan hukuman kematiannya sendiri.” “Pertunjukan ini seolah ingin mencetak sifat kepahlawanan. Yang kini tanpa disadari tenggelam di alam kuburan. Di luar pertunjukan, kehidupan pertunjukan yang berlangsung
adalah tradisi perbudakan yang konvensional sehingga kita tidak merasa asing. Bahkan, terhadap penjajahan, kita tidak peduli apakah sedang dijajah atau tidak, sehingga penjajahan itu nyata terjadi dan memainkan kisah penjajahan sebenarnya bahwa penjajahan adalah ketika kita tidak lagi merasa dijajah. Pada saat itulah, kepahlawanan tak jarang dianggap sebagai pandangan kuno yang terbelakang kalau tidak punya pengaruh kekuasaan. Apalagi, di tengah sarang budaya kapitalistik sekarang ini semua jadi bahan komoditi. Tak terkecuali apapun. Sampai-sampai kematian mesti dibiayai oleh pemilik modal dengan pelan-pelan membunuh rakyatnya tanpa bayangan. Dan, dapat merasa bebas dari segala tuduhan hukuman…” “Sudahlah, soal kita sekarang ada pada kematian. Bukan mengabarkan bagaimana praktek kekuasaan itu dijalankan, tapi bukan berarti kita menolak gambaran yang telah dipaparkan sebagaimana diketahui umumnya. Pada intinya, pemain yang nanti bakal mati atau kalah di medan pertempuran, meski sendirian itu sejatinya pahlawan sejak ia memutuskan di awal untuk menerima segala konsekuen daripada kematian. Dia, mantan sutradara sekaligus bakal pemainnya, adalah manusia yang mendedikasikan hidupnya pada kerja kematian. Dia telah memilih mati di awal pertunjukan dengan tidak menontonnya. Karena dia percaya sekaligus takut pada kematian. Seandainya pada dirinya tidak tercermin ketakutan pada kematian, tak mungkin dia menawarkan kita pilihan sukar lagi menjemukkan.” Para sutradara berembuk di kursi penonton. Dalam posisi sirkuit, mereka menetapkan putusan beberapa hal di antaranya: Kita mesti mencari sebab pertunjukan kematian ini? Terutama sekali, kita 24
harus jadikan mantan sutradara tersebut pemain yang menghadapi perang seorang diri. Dengan begitu, masing-masing dari kita cari tahu sebab apa pertunjukan ini dimainkan begini. Sebagian juga gali informasi ke para crew yang turut membantu jalannya pertunjukan. Tentu kita akan dapat jawabannya. Kita perlu ingat baik strategi ini, jika kita ingin menang di medan pertempuran pikiran dan mendapatkan jawaban dari pertunjukan. “Maka, dengan ini, kami para penonton penyutradara bersama akan memutuskan bahwa mantan sutradara itulah yang paling tepat menjadi aktor. Sekarang, waktunya para pemain memikirkan adegan seperti apa yang hendak disuguhkan kepada kami.” Pada saat pertunjukan dimulai lagi. Peperangan mulai disusun adegan ceritanya, dikembangkan dari kisah-kisah perang masa lampau. Para sutradara memulai kerjanya masing-masing yang telah ditetapkan dan ditentukan oleh hasil musyawarah. Ada yang mesti ke belakang panggung mencari info. Ada yang mesti ke luar panggung menemui crew pertunjukan. Ada yang mengawasi ruang ganti. Ada yang macam-macamlah, intinya mencari dan menggali informasi sebanyak mungkin didapat. Seorang penonton sutradara memberikan info bahwa ia melihat mobil ambulans di luar gedung. Seorang lagi menambahkan bahwa ada seorang aktor bernasib naas pada saat adegan akhir pertunjukan yang tadi sempat dihentikan. Ya, seorang aktor yang semula dianggap mati berkali-kali di atas panggung, kini hanya cukup sekali mati di atas panggung sekalian di luar panggung. Ketika adegan upaya pembunuhan sebelumnya dilangsungkan itulah awal seorang aktor mengalami dua sisi kematian sekaligus.
Tapi sayangnya, pertunjukan itu memang belum diselesaikan. Maka, sebagai penebus rasa bersalah, si mantan sutradara tersebut memberikan kita pilihan, mungkin sebagai hukumannya. Tapi kita belum tahu, apakah dia akan mengalami proses kematian yang sama dengan kematian aktor yang sebenarnya tadi? Itulah mengapa dia menganjurkan supaya kita menolak pilihan ending “bunuh diri.” Karena dia benar-benar takut melakukan hal demikian jika harus nyata kejadiannya. Akhirnya, pilihan jatuh pada saran yang dia anjurkan bahwa dia akan berperang seorang diri. Ketika proses kematiannya sedang berlangsung di atas panggung itu, maka si mantan sutradara tentu akan jadi pahlawan di luar panggung. Karena dia telah berani memutuskan seorang diri bertempur dengan banyaknya musuh. Selain itu, dia juga tidak ingin mengecewakan penonton, kalau ternyata pertunjukannya harus berhenti seiring kematian aktor utamanya. Lalu, dia mencari cara supaya pertunjukan ini tetap diselesaikan sebagaimana isi naskah diperjalankan ke dalam laku tindakan dan perbuatannya setiap adegan. Itulah cerita sebenarnya yang baru saya ketahui sesaat sebelum pertunjukan benarbenar berakhir. Betapa, si mantan sutradara yang bodoh lagi ceroboh itu kini dianggap pahlawan sebab rela mati di atas panggung. Tetapi aktor utama yang benar-benar mengalami kematiannya itu kini telah dibawa ke rumah sakit dengan mobil ambulans untuk diotopsi penyebab kematiannya. Dan, kematian aktor utama tersebut cuma dikenang sebagai peristiwa teater. “Maka, hanya ada satu kata:…”
25
“Bajingan!” “Gila!” “Fantastis!” “Lantas, siapa tersangka dan siapa korban?” “Siapa pembunuh sebenarnya dan mengapa kematian mesti disembunyikan?” “Apakah dengan menyembunyikan atau menghilangkan kematian seseorang dapat menutupi apa yang sesungguhnya terjadi?” “Mungkinkah kematian adalah hal yang diharuskan bagi dusta kepahlawanan di segala bidang praktek kehidupan yang orientasinya hanya untuk mengagungkan diri sendiri, dan lebih parah lagi, menjadi tujuan kebanggaan untuk mengatasi kesulitan, rintangan, dan masalah-masalah yang sedang dihadapi.”
pemaknaan—yang mungkin adalah cermin cambuk bagi kehidupan sosialnya. Usai pertunjukan, kita akan berhadapan lagi dengan hal-hal yang samar, bias, dan sangat mungkin mengalami macam benturan. Ada satu hal yang luput kita cari, alpa kita gali, lalai kita giat; yaitu memburu apa sebetulnya yang terkandung dalam peristiwa tersebut? Ataukah memang demikian skenario yang dijalankan supaya mereka dapat bebas melakukan hal-hal tanpa pernah bisa diketahui oleh umum serta khalayak luas. Atau. karena kita terlampau sibuk dan terpesona pada isu-isu yang demikian berkembang, maka segala yang tidak terlihat, tak mungkin terkuak apalagi tersentuh. Matinya seorang aktor utama itu kematian murni, atau karena bunuh diri, atau mungkin juga dibunuh. Tapi jelasnya, matinya seorang aktor utama adalah matinya kesaksian. Saya curiga ini pasti ada sesuatu? Tapi dari mana mesti memulainya? Astaga. 16 Desember 2018
Para penonton penyutradara bersama saling merebut kesimpulan. Sehingga lupa pada penghayatan dan pemahaman akan
Syahruljud Maulana, anggota Omah Puisi dan aktif membidani buletin Lintang, tinggal di Jakarta. Penikmat dongengan ini bisa dihubungi melalui WA : 0838-0746-7311
DESAS-DESUS PRESIDEN Jono, pria berkepala plontos yang menghabiskan hari-harinya untuk menanam sayuran di belakang rumah. Memiliki moto 'hidup sendiri dan tidak berpikir'. Dia hanya pria biasa, siapa pun perempuan yang melihatnya merasa jijik dan risih. Ketahuilah di zaman yang hampir berakhir ini, semua perempuan akan melihat laki-laki dari isi dompetnya. Laki-laki seperti Jono ini, bermimpi saja tidak sanggup apalagi memiliki uang. Benar kata orang-orang bahwa ada kekayaan seseorang yang tidak akan habis sampai tujuh turunan. Sama halnya dengan kemiskinan, Jono terpilih sebagai keturunan miskin yang sampai tujuh turunan akan tetap miskin. Orang tua yang sudah tiada membuatnya jadi lebih nyaman karena bisa sesukanya untuk melakukan apa saja. Saudara dan saudarinya juga sudah saling meninggalkan, ada yang memberi kabar ada juga yang sudah pergi tanpa pamit. Keuangan yang tidak stabil ini membuatnya kadang hanya bisa membeli mi instan itu juga dibagi tiga. Tubuh kerempeng sudah dia terima dari lahir. Jono berjalan lurus sambil menenteng plastik yang berisi rokok dan mi instan. Dia melewati warung kopi yang selalu jadi tempat duduk laki-laki di kampungnya. Melirik sekilas, dan dengan lancang mendengarkan pembicaraan mereka. Jono tersenyum iblis, salah satu bapak mengatakan “Presiden itu harus dua periode, supaya kita tahu kerjanya dan kesalaahannya.” “Halah, untuk apa sampai dua periode kalau satu saja sudah berantakan.”
Apa yang dibicarakan oleh mereka membuat Jono ingin muntah. Bukan berarti dia tidak peduli dengan negaranya, tapi itu tidak akan berguna sama sekali. Kaum elit akan tetap elit. Manusia pinggiran seperti mereka hanya dibutuhkan suaranya bukan pendapatnya. Belum sempat Jono melangkah lagi, tibatiba salah satu dari mereka memanggil Jono untuk bergabung. Jono mengambil tempat duduk di paling pojok untuk sekadar menghargai orang-orang di kampung itu. “Jon, kamu pilih siapa?” Jono tidak menjawab dan hanya menatap mata laki-laki yang tadi bertanya. “Jon, kamu jawab dong, ah..” Suara salah satu warga yang sudah bosan melihat Jono yang tidak menjawab-jawab. “Apa ada perbedaan antara suara orang miskin dan orang kaya?” Seluruh manusia di sana menatap Jono dengan raut wajah yang susah untuk diartikan. Mereka tidak mengerti maksud dari pertanyaan Jono. “Mereka butuh suara kamu bukan status sosialmu, goblok.” Jawab seorang bapak yang kopinya sudah tinggal setengah. Warga lainnya juga ikut tertawa mendengar jawaban dari lakilaki itu. sampai Jono juga tersenyum penuh arti, “Kalau seperti itu, kenapa harus repot memperdebatkan mereka? Kerja mereka tetap sama, duduk dan memperhatikan. Kampanyenya saja yang meriah, kalau sudah duduk mereka lupa segalanya. Kaum elit.” Mendengar jawaban dari Jono membuat beberapa warga yang berkumpul juga mengangguk-anggukkan kepala membenarkan pernyataannya. 27
“Saya tidak pernah berpikir untuk memilih presiden yang biasa-biasa saja. Saya maunya presiden itu kaya dan memperkayakan warganya. Kalau ditanya pilih siapa, saya berusaha untuk memilih pakai hati saja. Karena, tugas saya hanya memilih yang memang patut untuk dipilih. Kalau pada akhirnya yang menang bukan pilihan saya, biarkan saja. Karena orang miskin yang bisa digunakan ya kemiskinannya saja.” Sekumpulan laki-laki tadi kini memperhatikan Jono dengan seksama, laki-laki yang lebih banyak mengurung diri itu kini berubah menjadi orang lain ketika membicarakan negara. Ah, sudah memang seperti itu adanya. Orang-orang akan menjadi berbeda ketika membicarakan status sosial. Jono yang biasanya hanya duduk diam di belakang rumah pun sebenarnya banyak menanggung kekecewaan. Pada dunia,. Tidak, dia tidak menyalahkan Tuhan atas kehadirannya di bumi ini sebagai orang miskin, tapi dia bingung bagaimana cara membuat pemborong partai-partai itu sadar bahwa mereka hanya memerdekakan kantong mereka sendiri. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh orang miskin seperti Jono kecuali menikmati sisa-sisa kemiskinannya. Berkembang segala cerita tentang baik dan buruknya kandidiat presiden, baginya hanya kebodohan yang dibuat mereka sendiri untuk membohongi publik. Siapa tahu bahwa hoax yang tersebar bisa saja dari tangan kanan mereka sendiri, untuk selanjutnya menawarkan kesejahteraan, bukan? Mereka mengatakan untuk jangan percaya hoax yang sudah dibuat oleh mereka sendiri? Bukan, bukan Jono berpikir terlalu liar, tapi dia hanya berpikir yang menurutnya rasional. Ketika keburukan seseorang dibuka di depan umum otomatis orang juga akan mencari
keburukan dari lawannya. Dan rakyat akan membandingkan, mana yang lebih baik. Hal-hal buruk akan tercipta jika nilai kebaikan semakin banyak. Itulah yang Jono pikirkan. “Dalam beberapa waktu ke depan, mungkin akan lebih banyak berita yang bermunculan. Menurutku, pilihlah sesuai hati. Pemimpin akan jadi “pemimpin” jika rakyatnya juga mau dipimpin.” Tegas Jono diakhir pembicaraan mereka. Kemudian dia bangkit dan berjalan pulang ke rumah. Jono yang biasanya diam, bisa berubah dengan sekali duduk. Tapi Jono kembali berpikir bahwa dia miskin, yang sampai matahari terbit dari barat tidak akan mengubah nasibnya. Anggota dewan yang sedang duduk santai di kursi dan ruangan dingin itu tidak akan mengerti rasanya di bawah. Mereka hanya budak dari uang mereka sendiri. Sambil merebus air untuk merendam mi instan, Jono membuka pintu belakang rumahnya dan memandang lurus. Kalau saja mereka yang di atas itu sadar, Jono bukan ingin membeli kursi mereka atau menjadi kaum elit tersebut, tapi hanya merasa susah melihat mereka kenapa mau sekali saling gigit hanya untuk sebuah nama? Kenapa sibuk sekali membenarkan yang salah? Kenapa sibuk sekali memasang badan untuk diakui sebagai teman? Bukankah politik adalah tempatnya orang saling memakan? Jono diam. Sadar bahwa setiap waktu yang sudah dia habiskan di negara ini memang tidak menghasilkan apa-apa. Kembali ke Tuhan juga bukan sebuah jawaban. Tiba-tiba Jono tersenyum, karena mi instannya sudah harum. Dia ambil mangkuk dan langsung memasukkan ke dalam mulut. Miskin ada baiknya, karena tidak memikirkan hal-hal rumit seperti mereka.
28
Mi instannya kali ini akan dia habiskan dalam sekali makan. Karena dia sudah punya uang dari hasilnya berjualan bayam di pasar. Kalau nanti, salah satu kandidat presiden itu mengunjungi pasar, dia hanya ingin memberikan bayamnya satu ikat kemudian membisikkan sesuatu. Setelah mi instannya habis, Jono menutup pintu dan akan segera mandi. Tapi ada yang mencegahnya, seorang pria yang umurnya kisaran setengah abad, dia adalah seorang pedagang yang menjual sayuran di tempat yang sama dengan Jono. “Jon, besok, salah satu calon presiden datang ke pasar katanya akan mendengarkan cerita-cerita rakyat kecil seperti kita ini.” ucap pria itu antusias, kemudian Jono meletak mangkuknya di pinggir pencucian piring, “Gong, saya mau mereka bukan hanya mendengar cerita kita tapi juga memahami kita. Yang mereka dengarkan itu, bukan untuk membahagiakan kita tapi untuk membahagiakan diri mereka sendiri.” Pria tadi kemudian pamit untuk pulang karena tidak mengerti maksud dari ungkapan Jono. Jono yang tadi sempat berpikir untuk membisikkan sesuatu akhirnya sudah mempersipkan kalimatnya. Malam ini dia ingin tidur lebih cepat agar bangun lebih pagi dan bisa membisikkan kalimat itu. Sambil menghisap rokok yang tadi dia beli, dia mulai mengantuk dan tidur dengan nyamannya. Pagi mulai menyapa, Jono sudah siap dengan dagangan dan berjalan dengan tergesagesa. Yang dia harapkan kali ini bukan untuk mendapatkan banyak uang dari hasil dagangannya tapi untuk mengeluarkan pendapat. Beradu kalimat-kalimat dalam
pikirannya dan dia sudah tidak tahan lagi. jalannya dipercepat, langkahnya diperbesar dan dia berdiri di tempat biasanya berjualan. Kerumunan orang-orang menyambut salah satu kandidat presiden itu, keadaannya sangat sederhana tapi siapa tahu harganya malah bisa membeli keseluruhan pasar ini. Orang itu berjalan dengan gagah sambil tersenyum dan sesekali menyiapkan diri untuk diambil gambar. Oleh warga atau pengawalnya. Kandidat itu semakin dekat dengat Jono dan Jono memberanikan diri untuk menggaet tangannya kemudian, “Pak, saya akan berikan satu ikat bayang ini secara gratis.” Kemudian bapak itu tersenyum dan menanggapi dengan sangat baik, “baiklah saya terima. Terima kasih ya.” Jono belum siap atas aksinya kemudian dia tarik bapak itu untuk lebih dekat dan mengatakan “Pak, kami hanya orang-orang miskin yang tidak mengerti drama yang kalian buat. Kami menerima apa saja yang bacot orangorang elit katakan, karena miskin bukanlah kemauan kami. Berusaha sudah sangat kuat tapi kalian hanya membesarkan anak-anak kucing yang mahal bukan membesarkan harimau liar seperti kami, kalian takut kami cabik-cabik?” Wajah kandidat itu hanya memarah, tidak tahu menahan amarah atau malu tapi kemudian dia tersenyum. “Jangan takut. Kita saling membutuhkan, untuk sama-sama jatuh atau sama-sama berdiri.” Kemudian dua orang manusia yang berbeda kasta itu hanya saling menatap dan memaki dalam pikiran mereka masing-masing, ada yang malu ada yang sudah putus urat malunya.
Ami Khairunnisa, lahir di Riau, 13 Maret 1999, sedang belajar di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan tergabung di FOKUS UMSU.
mBelik (Puisi)
Monyet di tubuhmu yang hutan aku menjelma seekor monyet yang liar dan nakal "aku terima kau apa adanya" ucapku dahulu semenjak cinta yang lugu nan malu belum mengenal ranting dan pohon yang bisa dipanjat dalam tubuhmu "aku terima kau apa dadanya" ucapku kini yang baru menahu bahwa cinta juga mau-mau saja pasca menemu dua buah bukit yang kelak di sana, aku ingin melihat senja yang lanskap dari tubuhmu lalu sesaat sebelum memasuki goa dalam haribaan hutanmu kau yang sepi nan sunyi berkata padaku; "aku terima, kau adanya apa?" sejak tahu ekorku yang depan tak sepanjang monyet pada wajarnya
Munaroh Bukan maksud untuk ragu namun memang aku tak pandai berhitung apakah segala sedu usia di masa muda mampu membuat Babe segan? Aduh sayang, bukan maksud aku tak cinta, tapi hanya sisa receh yang bisa aku bawa. Selama jalan restu belum dibangun satu arah selama oplet tidak kumat manjanya Sudikah kau menungguku di bawah pohon nangka bersama radio tua yang setia? Besok jika tekat demi nekat telah terkumpul, aku kan maju tidak seperti sekarang, yang hanya bibirku saja.
Cahya R. Gusti, kelahiran Yogyakarta 8 januari 1993 yang sedang sibuk memantau sekitar demi mencari tragika, komedi dan ironi yang sekiranya layak untuk diingat dan ditertawakan di masa mendatang. Dapat dijumpai di Instagram @chyrdlgst
Capres Sastra
(Catatan Apresiasi Sastra)
Kewajaran Sosial: Sikap dalam Puisi Tempo hari, saya ditawarkan “membaca puisi” oleh seorang kawan—yang ia juga diminta oleh seorang kawannya, penyiar radio—supaya bantu dicarikan pembaca puisi yang bersedia untuk siaran radio secara langsung. Dengan syarat beberapa pasal yakni: puisi-puisinya mesti dikirimkan via pesan WhatsApp. Sebelum nanti dibacakannya, terlebih dahulu mesti dibaca oleh pihak pengelola (yang bukan penyiar) radio tersebut untuk dipilih serta mendapatkan persetujuan apakah layak atau tidak dibacakan. Parameter atau standarisasi yang disebut tidak layak menurutnya, yaitu isinya tidak boleh mengandung kritikan (bahkan dengan tegas memberi pembatas terutama jangan meng-kritik pemerintah—yang bagi saya—“pemerintah” yang dimaksud itupun mesti dipertanyakan lagi; yang mana, yang apa, yang siapa, yang kenapa, yang bagaimana), sedangkan untuk ukuran kelayakan baginya, adalah suatu ketentuan mutu paling rendah, pilihan dangkal, putusan sempit yang samasekali tidak memuat bobot penilaian mendasar secara intuitif ataupun metode khas keilmuan sastra dalam apresiasi puisi. Sederhananya, proses penerimaan suatu karya berupa puisi hanya dibolehkan (pegangannya sesuai aturan radio atau norma siaran yang berlaku padahal itu jelas membelenggu), juga mungkin yang diperbolehkan terutama puisi-puisi tematik yang umumnya mengambang dipermukaan seputar cinta dan rindu. Tidak salah memang.
Tidak juga keliru. Tapi sangat jelas kita tangkap, pengelola radio itu menilai puisi bukan karena isi puisinya melainkan disebabkan oleh suatu hal di luar puisinya terasa ada tekanan hukum, lain daripada itu, mengikuti selera massa umumnya penggemar atau pendengar setia radio merupakan sentrum pertimbangan penting yang wajib jadi patokan. Dari situlah kita petik pelajaran bersama, penting mana antara lahiriah ketakutan yang muncul di luar puisi atau esensial kenikmatan yang hadir di kedalaman puisi? Takut boleh saja, asalkan ketakutan itu memang tumbuh dari penghayatan usai membaca puisi lantaran tidak mau mengulang kisah tragedi lagi. Ketakutan yang tidak dibenarkan ialah asumsi tak berdasar dan dugaan tak berpangkal meskipun bertolak dari realitas pekerjaan serta kehidupan sehari-hari. Seandainya pengelola radio adalah kita. Bagaimana sikapmu di hadapan ketakutan? Apa sebab ketakutan? Ada apa dengan jurad (jurnalistik radio)? Dia yang meminta kita membaca puisi, tapi kenapa kita tidak dipercaya? Sekali mengundang, sudah itu percaya. Kalau tidak percaya, untuk apa menawarkan. Jurad itu tidak menyangkut masalah apa yang disampaikan dan jumlah pendengar saja, tapi juga masalah budaya. Sebab, jurad tidak berada di luar konteks budaya. Lantas, mengapa ketakutan pikiran dan kepercayaan bayangan 33
dijadikan kunci pembuka dampak budaya jurad saat siaran langsung pembacaan puisi? Secara budaya, tentu perlu dikaji. Tapi secara peradaban, sangat butuh keseriusan dan kelengkapan mempelajari terminologi akar secara antropologi kepercayaan, sosiologi ketakutan, psikologi pendidikan ilmu dan pengetahuan mengolah, mengelola sekalian mengendalikan pikiran-hati-jiwa-mental. Hal itu merupakan suatu rangkaian yang tidak berpola untuk kemudian kita runut cara berpikirnya selaras mekanisme logika dan menata susunan algoritmanya. Benarkah demikian keterbukaan yang tertera dalam UUD Negara kita—tak ubahnya sebuah balon kata-kata yang dengan ceroboh malah ditiupkan pemerintah—justru makin mengembang akan meledak, lalu hanya jadi padatan balon hiasan kata-kata yang tercatat di buku harian Negara. Mungkinkah ada puisi yang bisa menghancurkan sebuah negara? Puisi itu apa kabarmu atau bagaimana kabarmu? Puisi menjawab dan saya menuliskannya begini, puisi yang membebaskan kini seolah sedang mengalami kebebasan dalam sangkar yang dibangun oleh slogan 'melestarikan kebudayaan nasional'. Suatu hal amat muskil kita tolak, sekaligus tidak memberikan jalan alternatif lain dari keseragaman pikiran romantisisme sejarah. Dari hukum yang kita takuti bukan karena sayang disiplin, tapi memang takut oleh ketakutannya. Dari kaidah serta aturan yang berlaku kita patuhi sebagai pengabdian jurnalistik radio, bukan semata ajaran kebiasaan para pendahulu. Bukan tradisi atau hukum yang memikat erat, tapi statisme dan stagnasi yang tak bisa diterima.
Maka dengan ini, saya bertanya kepada para jurad, atas dasar apa pembacaan puisi diperlukan saat siaran langsung? Disebabkan oleh semua kata slogan yang sulit ditolak? Atau jangan-jangan memang telah terjadi monopoli keindahan, sehingga jurad merasa harus turut andil dalam laku ekonomi perdagangan bebas? Puisi kritik tidak boleh masuk siaran kami, tapi puisi cinta masa remaja sangat kami bantu supaya bisa dibacakan dan diperdengarkan ke khalayak luas. Kan, sama juga bohong? Apa yang akan jurad jual saat siaran? Puisi tentang dua remaja yang kehilangan pegangan? Padahal dua remaja bahkan berjuta remaja sekarang tidak memiliki pegangan, kan? Mengapa jurad tidak mencari bagaimana sebetulnya keadaan itu? Kenapa malah melontarkan pendengar setia radio ke tengah-tengah medan pertarungan dengan puisi yang melemahkan? Bagi jurad, untuk apa puisi? Toh, kita tidak siap sama sekali, baik kelengkapan sosiologi, keseluruhan antropologi, apalagi ketahanan psikologi. Yang jurad lakukan hanyalah pidato puisi yang melenakan. Bukan melakukan pembinaan proses dialektika remaja melalui salah satu jalan puisi. Puisi hanya contoh kecil. Budaya masalah itulah yang mesti ditinjau dalam konteks masalah budaya. Dalam skala besar, peradaban juga akan terjadi. Kita terjebak macet kebudayaan, pikiran kita mandek terbuai slogan, sementara proses terus berjalan. Sebagaimana plastik, ia akan berterbangan dilontarkan angin sampai jauh, butuh waktu lama suatu saat berada pada posisi yang tidak dapat menolong dirinya sendiri. Seandainya kita sedia membaca sejarah peristiwa pembacaan puisi, tentang puisi yang 34
mesti dikoreksi polisi. Kesan yang muncul di benak kita tidak tahu apakah harus bersedih atau tertawa. Memang ada banyak istilah-istilah yang digunakan para penguasa pada waktu itu tanpa harus mereka buktikan. Misalnya menghasut, meresahkan, mengandung sara, atau mempertentangkan golongan atas dan bawah. Betapa ampuh kata-kata itu, sekali diucapkan, terjadi macam-macam larangan. Lantas, siapa yang akan mengoreksi kebijakan dalam kebijaksanaan itu? Di TIM pernah geger, peristiwa pembacaan puisi justru malah menimbulkan sanksi atau larangan dari pihak yang berwajib. Di Yogya pun gempar, hak manusia untuk bicara dibatasi. Sikap perlawanan keduanya jelas, di TIM menolak berpentas, sedang di Yogya, pertunjukan oral history tetap akan dilangsungkan. Bagaimana sikapmu—wahai pembaca puisi—terhadap polisi jurad yang mengoreksi puisi dengan alasan melarang segala bentuk kritik dan batasan-batasan lainnya? Atau memang kita semua belum cukup persiapan-persiapan di hadapan kritik? Apa yang membedakan puisi dan kritik? Dalam konteks budaya, kita semua perlu kritik. Kritik itulah kurikulum elementer dari psikologi keterbukaan, kedewasaan, dan perkembangan. Dengan kritik, kita belajar mengoreksi dari pandangan yang dibayangkan, kita terhindar dari benturan kecelakaan pikiran yang seragam. Dari situlah keseimbangan kita terjaga, dalam setiap laku perbuatan dan perasaan tidak boleh menafikan hal inti serta esensial. Berbeda pendapat ataupun kritik jangan lantas terburu-buru disamakan hukum tangan! Silakan pandang kehidupan yang tanpa
kritik itu kenyamanan atau keadaan gawat? Cobalah teropong kekuasaan yang jauh dari kritik itu keamanan atau situasi kerdil? Ayo telusuri diri sendiri yang tanpa kritik itu kesejatian atau kewajaran? Apa yang saya tuliskan ini merupakan bahan ajar kritik, terutama untuk diri sendiri. Sebab mendasarnya, upaya mencari kritik ideal yang pas dan jitu buat pribadi saya. Misalnya, mengapa saya menolak tawaran pembacaan puisi tersebut. Apa yang menguatkan saya berani untuk tidak membacakan puisi sebagai suatu sikap pertahanan. Saya tidak mau terjerumus pertanyaan kenes, konyol, sedikit tolol tentang puisi: Apa arti puisi yang dibacakan tadi bagimu? Untuk siapa puisi itu ditulis? Bagaimana caranya kamu menuliskan puisi? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang penyiar atau jurnalis merasa tahu betul tentang puisi yang ditulis dan dibacakan oleh penulisnya. Mereka tidak mendasari pertanyaan dengan klasifikasi informasi bahwa ada informasi yang mesti diberitahu langsung, ada informasi yang mesti digali sendiri, ada informasi yang tidak usah diberitahu, dan ada informasi yang lebih baik tidak tahu samasekali. Karena tidak semua makna itu berita. Tidak semua arti itu informasi. Tidak semua tafsir itu hukum. Tidak semua analis itu benar. Apa yang berguna dari jawaban adalah mengulang pertanyaan, dan yang bermanfaat dari pertanyaan adalah proses pengulangan jawaban yang mempertanyakan lagi pertanyaan. Hidup tidak berhenti pada kesimpulan, sebab kesimpulan adalah teori proses awal kembali. Seorang ilmuwan akan lebih senang jika 35
teorinya dianggap gagal, maka dia lebih tergerak mencoba serta mengulang percobaan. Seorang penulis (baca: puisi) mesti bersikap apa dihadapan todongan pistol ketika diminta mengabarkan makna puisinya sendiri, seandainya dia tahu penghayatan dan pengalaman. Bukan puisi yang memberi arti, apalagi makna. Tapi pengalaman hidup masing-masing yang mewarnai. Puisi adalah arti itu sendiri, makna itu sendiri, pengalaman itu sendiri. Biarkan ketiga anak dari puisi itu memilih jalan hidupnya masing-masing. Biarkan ia dewasa oleh arti intelektualnya dan menjadi kaya oleh imajinasinya sendiri. Tapi selebihnya, tergantung bagaimana Anda menggunakan kekuasaan pendengar dan kekuasaan pembaca.
Dengarlah para pembaca, jangan tusukkan rasa ingin tahumu untuk membunuh puisi! Dengarlah para pendengar, jangan tikamkan pandai pengetahuanmu untuk menikam puisi! Dengarlah para penanya, jangan tancapkan sangkur ilmu yang keliru untuk merobek puisi! Itulah mengapa tidak semua 'pusaka keramat' kita lulus dari sekolah senjata, sebab ada senjata yang digunakan untuk membegal, bukan melawan dari dirimu sendiri. Sebagai warga puisi, profesiku kadang petani yang menanam butir-butir puisi di sawah, kadang tukang kebun perawat kalimat, dan setiap harinya menyiram kata yang hampir layu. Karena begitulah fitrah puisi, kesejatian hidupnya adalah keseimbangan roh dan badan! 10 Februari 2019
Syahruljud Maulana, anggota Omah Puisi dan aktif membidani buletin Lintang, tinggal di Jakarta. Penikmat dongengan ini bisa dihubungi melalui WA : 0838-0746-7311