Tahun I Edisi 6 • April 2019
derap gembala kebudayaan
3 : 54
DAFTAR ISI Ÿ STEPA 6
Gairah Lokalitas dan Sufistik dalam Puisi-puisi Akhmad Tabrani
Ÿ CARANGAN 11
Nasi Hainan dan Lamian Cou
Ÿ Layar 14
Taste of Cherry, Memaknai Hidup
Ÿ Arena 18
Bhiti: Pengabaran dan Penyabaran
Ÿ Capres Sastra 22
Komedi Sastra
Ÿ mBELIK 26 26 27 28 29
Mata Anak-anaku Jatuh Cinta Songenneph Di Selat Madura Masa Itu
Pengurus Buletin Lintang : Dewan Redaktur : Mufakat Omah Puisi | Penanggung Jawab Redaksi : Musyawarah Syahruljud Maulana dan Sobrun Jamil | Editor : Riza Hamdani | Ilustrasi Sampul dan Desain Grafis : Faizal Hidayat, Akhsan Baihaqi, Bowo Wijoyo, dan Gusti Aditia. Buletin Lintang menerima kiriman karya berupa esai, cerpen, puisi, komik strip, catatan film dan teater. Karya dengan format .docx dikirim ke alamat surel : buletin.lintang@gmail.com Buletin Lintang membuka taman kreativitas bagi pertukaran ide dan gagasan perihal seni, budaya, sosial dan politik. Diharapkan menjadi ruang pemikiran belajar bersama tentang kesusastraan dan kebudayaan serta ikut meramaikan dinamika sastra Indonesia. Buletin Lintang diusahakaan terbit sebulan sekali.
P
anembrama Redaksi
“Bagaimana ini kok demokrasi penerapannya begini? Pengetahuan belum memadai kok merasa paling demokrat. Ilmu saja belum mumpuni kok merasa sudah demokratis. Katanya, pemilu bebas dan rahasia. Kok, kita bisa merasa tertekan begini. Padahal mereka yang bilang bebas. Oh, ternyata maksudnya bebas itu keributan boleh saja terjadi. Dan mereka juga bilang rahasia. Tapi boleh diumbar dan dipamerkan kepada siapa saja, eh malah sering muncul pertikaian juga. Itu saja repotnya bukan kepalang, kok ditambahi daulat lagi. Lha kan, sudah merasa punya kedaulatan, tapi mengapa tidak mengerti. Wajar bila pengertian berdaulat itu ternyata bukan memilih, tapi dipilihi. Pemahaman berdaulat ternyata bukan dorongan, tapi didorong, pun kadang seperti ditarik. Bagaimana tahu kedaulatan, wong belum belajar sudah langsung praktek, maka beginilah jadinya. Apalagi omong kesadaran, mereka saja bingung antara sadar atau tidak sadar, atas apa yang telah dilakukannya. Oh ya, kalau dihitung-hitung, sudah berapa kali keliru? Coba saja itu dikali satu, terus dikali dua, terus dikali tiga. Masing-masing ditambah oleh jumlah perkaliannya. Terus dikali, begitu ditambahi, bagaimana hasilnya? Toh, kita mesti remedial. Kita harus mengulang. Ya kan, nilai ujian negaranya jelek, bahkan ulangan demokrasi yang nyontek ternyata bikin bodoh, apalagi rapot pemerintahannya barangkali merah. Kok malah senang tidak lulus, justru gembira mengulang-ulang hal yang sama. Begini maunya gimanah sih, begitu saja malas mencoba. Kok mereka biasa saja ya, padahal pengalaman demokrasinya sudah begitu ruwet. Makin keliru. Jadi pikiran juga buntu. Budaya demokrasi begitu ternyata kita pelihara. Demokrasi tanpa intelektual kita sembunyikan. Aduh, Gusti Pangeran, teruskan saja kalau begitu! Padahal kan, sejarah kasih kita pelajaran, supaya tidak mengulangi, atau terulang lagi. Sejarah yang begitu repot ditulis oleh banyak kepentingan, ternyata cukup menyadarkan saja, belum sampai memupuk kesadaran kita. Apalagi demokrasi yang hujan angin badai petir guntur kilat kekuasaan begini, wajar bila kehilangan kesadaran, sebab ulangannya tidak pernah diselesaikan sih. Belum diisi jawabannya, sudah dikasih ke Negara. Masih banyak tidak terjawab, asal saja ditaruh ke Negara. Apalagi kalau bukan, transisi atau stagnasi, demokrasi?�
Apa yang dituliskan di atas merupakan serapan tuturan pengalaman demokrasi. Peristiwa tersebut banyak tersebar di tengah perbincangan masyarakat. Catatan dari suara-suara itu adalah jalan dialog ke arah perubahan kebudayaan mendasar yang bisa diterapkan di masyarakat. Sebagaimana dasar demokrasi, mestinya adalah mengikut-sertakan semua makhluk hidup sekalian alam. Sebab bagi sebuah bangsa apabila rakyatnya belum menyiapkan konsepsi kematangan kesadaran segera, dan tidak segera belajar dari pengalaman demokrasinya, baik secara intelektual pun budaya, maka tunggu tibalah waktunya ketakjuban. 3
Tapi upaya apapun-siapapun-bagaimanapun akan sangat mustahil tercapai kalau tanpa pertimbangan keterlibatan (atau kita membersamai) Tuhan dalam setiap proses kematangan “produksi berpikir� yang berdaya implikasi-etik pada (sikap dan perilaku) keseimbangan, kesadaran, batas, ketepatan, dan ketetapan. Sebab itulah, Lintang pada edisi April ini, bukan sebagai penentu demokrasi sebenarnya, melainkan diniatkan menggali bahan pembelajaran bersama dari proses pengalaman demokrasi. Siapa lagi kalau bukan kita? Apakah kita bagian dari pengelolaan dan pengendalian masalah, ataukah justru sumber masalah di dalam kehidupan? Bagaimana kita memahaminya dan bisa saling paham? Lantas, kita sekarang transisi, sedang atau menuju, demokrasi? (SJM) 9 April 2019
4
Stepa (Esai)
GAIRAH LOKALITAS DAN SUFISTIK DALAM PUISIPUISI AKHMAD TABRANI Membaca puisi-puisi Akhmad Tabrani tak dapat menampikkan saya dari pembacaan teks puisi penyair-penyair Sumenep—salah duanya yang cukup besar—yaitu, D. Zawawi Imron dan Abdul Hadi WM. Di samping karena berasal dari tempat yang sama, Sumenep, apa yang terbaca dalam puisi-puisi Akhmad Tabrani berkecenderungan meneruskan pendahulu. Ini bukan sesuatu yang—katakanlah—buruk. Tentu asumsi atas kecenderungaan bisa hadir lantaran Akhmad Tabrani merupakan seorang santri yang senantiasa menakzimi pendahulu. Misal, dalam bait akhir pada puisi Untuk Mustofa Bisri yang Sudah jadi Penyair kita bisa membaca nama Zawawi, Abdul Hadi, dan Mustofa, sedangkan aku-lirik dalam puisi tersebut mengumpakan dirinya sebagai /dan aku yang pilu/ sebagai penutup dari tiga nama tersebut. Ini merupakan sikap mutlak bahwa seorang santri semestinya senantiasa takzim dan tawadhu. Sebagai seseorang yang tak begitu sering mengirimkan puisi-puisinya baik ke media massa maupun daring, Akhmad Tabrani termasuk yang tekun mencatat peristiwaperistiwa, baik itu peristiwa yang bersifat sangat personal maupun universal, seperti dapat kita lihat dalam puisinya yang berjudul Berita dari Daun Bambu. Upayanya meneroka peristiwa bencana alam dan bencana sosial dalam puisi tersebut Ia catat menjadi sebentuk teks puisi, yang pada akhirnya kita dihadapkan pada kegetiran aku-lirik dalam puisi tersebut, karena dampak dari bencana mengakibatkan penyair berhenti berpuisi/ karena puisi telah jadi banjir bandang/ terhanyut ke hilir bersama mayatmayat/ yang tak jelas asal-usulnya.
Kecenderungan Sufistik yang Menjadi Sikap Seorang Santri Menemukan Gaya dalam Berpuisi Warsa 1980-an, Abdul Hadi W.M. secara terbuka menganjurkan tentang sastra bercorak sufi atau transendental. Ia menilai sufi sebagai kekayaan khazanah sastra yang merupakan warisan dalam sastra Melayu di zaman Islam. Ia khawatir jika sastra ini tak dipelihara dan dikembangkan maka akan lenyap dari sejarah. Baginya, sastra sufi memiliki peran sebagai jembatan antara tradisi dengan kehidupan masyarakat kosmopolitan. Pada puisi-puisi Akhmad Tabrani, kecenderungan sufistik dapat hadir lantaran Ia merupakan seorang santri dan masyarakat nahdliyin. 'Santri' dan 'nahdliyin' yang kerap melakukan tradisi syi'r di pondok pesantren, menjadi identitas secara personal dalam tubuh kultural Akhmad Tabrani dan pada akhirnya menjadi sebentuk bangunan puitik yang berkecenderungan sufistik yang dapat kita jumpai dalam puisinya. Misalnya kita bisa baca dalam puisinya yang berjudul Dalam Keteduhan: Kalau langitmu adalah tanda kebesaranmu, maka aku tadahkan rindu pada sebaris mega itu Kalau samudera adalah lambang jari kasihmu, maka aku celupkan dada agar terbasuh segala daki dengki kami
6
Bila kasihmu ibarat langit dan samudera, maka aku bernaung dalam teduhMu Mu sebagai kau-lirik pada kata penutup dalam larik akhir puisi tersebut menegaskan hal yang Esa, yang Transenden, sedangkan /langitmu adalah tanda kebesaranmu/ dan /samudera adalah lambang jari kasihmu/ merupakan metafora yang seringkali hadir dalam puisi-puisi yang memiliki kecenderungan sufistik. Seperti halnya anggur, meja perjamuan, kayu, dan mahkota dalam puisi-puisi yang mentransformasikan narasi-narasi perjanjian lama. Dalam Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (1999), Abdul Hadi W.M. menjelaskan bahwa estetika sufi berdasarkan cinta. Dan cinta adalah tema sentral sastra sufi. Metafora langit dan samudera dalam puisi Dalam Keteduhan merupakan sumber kasih terbesar dan kepadanya si aku-lirik ingin bernaung, Bila kasihmu ibarat langit dan Samudera, maka aku bernaung dalam/ teduhMu./ Sufistik dalam puisi Indonesia bukanlah hal yang baru. Kita bisa membaca Hamzah Fansuri melalui Syair Perahu-nya yang sejak abad ke enam belas telah mengelaborasi daya puitik dan kerinduannya pada Yang Transenden melalui puisi. Lokalitas Sebagai Jembatan Angan Menuju Kampung Halaman Lokalitas bisa hadir dalam sebuah puisi baik sebagai estetika-pengucapan maupun upaya membawa spirit kampung halaman. Menurut Damhuri Muhammad, lokalitas dalam kesusastraan kita hadir lantaran kerinduan akan kampung halaman. Jenuh akibat kesemrawutan kota dengan kepadatan penduduknya maupun
kendaraannya, kemacetan tak berkesudahan, dan angka kriminalitas yang cukup tinggi. Maka dari itu, kerinduan akan kampung halaman kita bawa masuk ke dalam teks, dan jika berhasil, sesuatu yang personal tersebut dapat menjadi sesuatu yang siapa pun membacanya, dapat turut merasakannya. Kerap kali bangunan-bangunan yang menjadi ikon sebuah kota (kampung halaman) kita temukan dalam puisi yang menghadirkan gairah lokalitas. Entah itu merupakan sesuatu yang langsung bernama maupun perumpamaanperumpamaan. Misal, dapat kita baca dalam puisi Songenneph: Sudah lama sekali tak kusambang rumah Engkau juga tak memberi kabar, Hanya sesekali titip salam Sedang lumut di sungai kecil sawah kita Mulai menuai sepinya Sudah lama sekali tak kujejak pasir lautku Engkau juga tak meninggalkan bekas tapakmu Hanya lukisan kaki keong berbaris rapi Menghalau segala isak daun siwalan pilu Sudah lama sekali tak kusapa Asta Tinggi, Gunung Payudan, Selopeng, Lombang, Dermaga Kalianget, Tanjung engkau juga lindung di balik Daun-daun rakara dan lindap di antara lalang ranggas Masjid Jamik, taman bunga, keraton, Labeng Mesem, museum, Taman Sare, Taman Lakek Bagaimana kabarmu? masihkah wajahmu se-elok seperti ketika senja kutunggu buka puasa di samping suara jeddem blanggur meriam masjid? Di bawah pohon sabu keccet Sudah lama sekali, SDN Bangselok, SMPN 1, SMAN 1‌ aku rindu 7
warung kantinmu, jajanan recehan yang sederhana, menghapus dahagaku Guru-guru yang sudah sepuh dan sudah pergi Taman sekolah, pohon angsana, dan bougenvile Sudah lama sekali nyanyian surau yang sepi siang hari memanggilku aku tahu tak lagi seorang belia yang azan di Masjid Sokambeng Dan deretan makam semakin memanjang di tepian kali Inilah surat rinduku, nyanyian para kembara Yang masih setia menggedong rembulan kekasih kampungnya di bawah langit yang bernama S o n g e n n e p h...... Akhmad Tabrani menghadirkan banyak 'sesuatu' yang Sumenep, seperti Asta Tinggi, Gunung Payudan, Selopeng, Lombang, Dermaga Kalianget, dan lain-lain. Sesuatu tersebut bisa menjadi sesuatu yang turistik, maupun sesuatu yang dirindukan. Tak hanya itu, gairah lokalitas dalam puisi tersebut terlihat cukup kuat dari upayanya yang mencoba mewartakan kembali ihwal muasal nama Songgeneph yang secara etimologi merupakan Bahasa Kawi/Jawa Kuno yang terjemahannya: kata “Sung” mempunyai arti sebuah relung/cekungan/lembah, dan, kata “ènèb” yang berarti endapan yang tenang. Sumenep dalam puisi tersebut menjadi palung rindu tempat pulang setelah letih dari sebuah perjalanan panjang di kota. Akhmad Tabrani merupakan seseorang yang lahir dari tanah Madura. Kerinduan akan, baik Madura maupun Sumenep, sebagai muasal hadir sebagai hal yang kongkrit dalam puisi Akhmad Tabrani. Ia beberapa kali dicitrakan melalui metafora lautnya, namun pun juga kerap kali hadir sebagai sesuatu yang langsung.
Contohnya, kita bisa baca dalam puisi Di Selat Madura: Pak Ali berkata pada asin air itu Inikah Madura, yang ketika kutenggak jamunya Lelaki sanggup mengguncang Monas? Sang camar berceloteh kecil: rendamkan linggamu di lautku Akan kau rasa perihnya samudera Madura Ketika kakekku mengayuh sampan, jauh ke seberang! Menjadikan air (asin) sebagai personifikasi yang berdialog bersama aku-lirik merupakan upaya Akhmad Tabrani mendeskripsikan bahwa akibat dari perihnya samudera Madura ialah /ketika kakekku mengayuh sampan, jauh ke seberang/. Seberang yang dimaksud dalam puisi tersebut tentu merantau, baik itu untuk menuntut ilmu maupun mengadu nasib untuk membawa kabar kesuksesan pada keluarga di kampung halaman. Kita semua tahu, bahwa masyarakat Madura merupakan masyarakat perantau. Hal menarik lainnya yang perlu diperhatikan sebagai pembaca ialah bagaimana absurdisme turut bekerja dalam puisi Akhmad Tabrani. Kita bisa melihat beberapa kali Sisipus dihadirkan sebagai umpama dalam puisinya. Hal ini merupakan pengejawantahan Sisipus ke dalam absurdisme peristiwa dalam hidup baik itu tragedi maupun komedi, menjadi umpama dalam puisi. Dalam puisi Kepodangku, aku-lirik mengumpamakan Ahasveros yang menjadi mimpi sisipus. kita menjadi ahasveros yang menjadi mimpi sisipus beterbangan kian kemari mencari luka..
8
Ya, hidup ini memang serupa Sisipus yang mendorong batu ke atas bukit, lalu batu tersebut menggelinding ke bawah, dan Ia mendorongnya lagi ke atas, dan seterusnya, dan seterusnya. Begitu pun kita yang serupa Ahasveros (seorang raja yang mengembara dan dikutuk tak memiliki kampung halaman) dan yang bertenang kian kemari mencari luka, begitu seterusnya, seperti Sisipus. Ahasveros pertama kali hadir dalam puisi Indonesia melalui Tak Sepadan yang ditulis oleh Chairil dengan sebegitu lirisnya lantaran cinta yang bertepuk sebelah tangan. Dan, pada akhirnya, absurdisme dalam puisi Akhmad Tabrani ialah kita, manusia-manusia pengembara, musafir, di dunia ini, yang terus berjalan menuju ujung hidup.
Akhmad Tabrani yang dalam berproses, tekun mencatat peristiwa-peristiwa baik yang personal maupun universal. Aku hanya ranting masa silammu, maka biarkan ia berlepasan / bersama angin dan berganti tunas baru/ Aku hanya bagian dari masa lalumu, sudah silam waktu kita, dan tak/ usah kaulukis di beranda rumahmu, karena anak-anak kita terus/ beranjak dewasa. Biarkan mereka menulis sendiri sejarahnya. Tugas penyair merupakan kerja-kerja melihat, merasakan, dan mencatat sebuah peristiwa-peristiwa. Walau Akhmad Tabrani menolak dikatakan sebagai penyair dan lebih ingin dikatakan sebagai seorang akademisi di perguruan tinggi, ketekunannya dalam mencatat peristiwa-peristiwa merupakan salah satu dari laku seorang penyair. Pada akhirnya, pembacalah yang dapat memutuskan.
Dandy, pekerja buku dan pembaca paruh waktu. Surel: dandy.airwaves@gmail.com
Carangan (Cerita Pendek)
Nasi Hainan dan Lamian Cou Di garis hidup Goplek yang sunyi memang tak ada sesiapa lagi yang bisa ia jadikan 'one for everything or everyone' kecuali Paman Lu'. Di dalam 'sepakbola' hidupnya, bola-bola pengalaman sangat liar bergerak karena kontur lapangan yang 'siluman', semisintetis tetapi juga semi-tarkam. Ditambah lagi 22 jumlah 'pemain' yang berada di lapangan, 20 di antaranya adalah musuh, satu kawannya adalah Paman Lu' itu sendiri. Singkatnya, hidup Goplek adalah permainan sepakbola 2 vs 20 di mana Goplek adalah pemain lumpuh sehingga Paman Lu' harus mengambil role play sebagai pemain serba bisa. Kadang menjadi Bapak yang tegas, kadang menjadi Ibu yang penuh sayang, kadang menjadi Kakak yang mengayomi, bahkan terkadang menjadi Kakek atau Buyut dari masa silam yang menghajar Goplek dengan falsafah-falsafah leluhur. Mungkin nasib itu ia dapatkan karena dirinya sendiri. Sifat Goplek yang tidak pernah nriman kalau-kalau mendapat pendidikan keras dari kedua orang tuanya membuat Tuhan akhirnya mengambil sikap untuk lebih cepat menyudahi tugas kedua orang tua Goplek di bumi. Jadilah sebatang kara ia. Dan keadaan menerapkan sistem pendidikan tiga kali lipat lebih keras dari yang pernah diterapkan oleh kedua orang tuanya sendiri. Boleh jadi Goplek menyesal, atau justru bersyukur. Yang jelas itulah kehidupan, sebuah bola bulat di mana rasa sesal dan rasa syukur hanyalah dua dari tak terbatasnya kemungkinan titik sudut yang bisa dipilih untuk tumpuan melempar pandang. Kini hanya ada Paman Lu', tempat segalanya ditumpahkan, diluruhkan, digali, dicairkan atau dipadatkan. Maka sepanjang perjalanan langkah kakinya memburu rumah,
hatinya tak sabar untuk segera bertemu Paman Lu' dan menceritakan pengalamannya hari ini. Tidak spesial, hanya saja langka. Untuk pertama kali dalam 17 tahun hidupnya di bumi, Goplek ditraktir makan di restoran Chinese Food klasik oleh teman satu kelasnya yang kebetulan sedang berulang tahun (dan kebetulan kaya, dan kebetulan baik hati, dan kebetulan ingat pada Goplek). Betapa bahagia lambung Goplek yang saban hari hanya disemayami opak dan sego jagung! Sesampainya di rumah, Paman Lu' yang terlihat sedang mengukir pesanan asbak langsung ditabrak tanpa basa-basi oleh Goplek. "Dengarkan kisahku wahai pamanku yang tampan!� "Plak dung dung cessssss! Terektek tek, tek, tek...." Paman Lu' menyahuti dengan perkusi lambe. "Sore tadi aku ditraktir makan Nasi Hainan dan Lamian Cou oleh teman kelasku yang berulang tahun. Oleh karena nikmatnya cita rasa dari makanan yang ditemukan oleh Etnis Hui di utara China itu masih melekat di lidah dan lambungku, jadi kuserahkan saja pada paman seluruh makanan yang masih berada di atas meja makan kita itu. Hahaha.� "Sombong betul. Di lubang wc, semua cita rasa, bentuk, dan harga makanan akan jadi seonggok tahi.� "Itu kan di lubang wc, kalau di permukaan lidah ya jelas ada bedanya dong antara opak singkong dan bebek peking," Goplek terus mengejek. "Seenak-enaknya menu kuliner, western atau chinese, frozen atau traditionally, bintang lima atau kaki lima, toh kalau di atas jamban dubur menolak mangap dan terbuka, semua makanan akan jadi penyakit yang menggerogoti 11
tubuh. Duburmu itu jenderal anatomi dari tubuhmu, lho. Ayo, bantah lagi?” "Ampun, Paman Dubur, eh Paman Lu'....” "Bicara tahi dan dubur, paman jadi ingat satu formula yang melandasi seluruh kreativitas dan karya manusia di bumi, Plek.” "Tahi itu paling dekat dengan pupuk atau tangki septik, Paman. Kalau dengan proses kreativitas dan berkarya, di mana simpul talinyaaaaa?” "Oleh orang yang mengajari Paman seni ukir kayu waktu muda dulu, Paman diberi tahu bahwa karya seni itu lahir dari tiga tahap: potensi, kontemplasi, dan aktualisasi. Potensi adalah ilham, ide, atau inspirasi yang datangnya dari 'langit', dari Allah. Kontemplasi ialah respons kita terhadap asupan dari Tuhan itu, semacam tahap menggiling, mengunyah, atau mengasah 'bahan-bahan' dari Allah tadi. Untuk kemudian hasilnya diaktualisasi, dimuntahkan, dipresentasikan sebagai sesuatu yang kita kenal bernama karya.” "Hmmm, mulai mendaki langit...” "Seorang butcher diberi potensi oleh Allah berupa bakat memotong, daya fokus dan kekuatan fisik terutama tangan. Kemudian calon butcher berkontemplasi dengan mengasah potensi itu dari hari ke hari. Hasil aktualisasinya adalah ketrampilan memotong daging tingkat tinggi alias skillfull yang membuatnya dicari oleh berbagai rumah potong daging di seantero kota.” "Terence Ian Butcher, legenda sepakbola Inggris!” "Setelah sekian lama, ternyata ada yang slip dari alur logika teori ini. Tuhan hanya dianggap berkontribusi pada tahap potensi. Sementara pada tahap kontemplasi dan aktualisasi, Tuhan dinihilkan. Kalau kesadaran
yang dipakai sistemnya seperti itu, semua potensi hanya akan berakhir jadi tahi, sebab Tuhan tidak dilibatkan. Apapun asupannya, apa pun 'nama menu dan jenis makanan'-nya, begitu masuk ke dalam tubuh manusia, hanya jadi tahi. Tahi ini sekarang pating tlethek di kebun peradaban manusia modern. Tahi itu kita kenal dengan nama lain kesombongan atau egosentrisme. Dengan kesadaran egosentrisme seperti itu, mungkin potensi tetap berhasil diaktualisasikan, tapi sepanjang Tuhan 'tidak diajak main', apakah bisa kita anggap bahwa kita akan terbebas dari amukan-Nya kelak? Dengan kata lain apakah Tuhan meridloi? Kalau tidak diridloi, kalau tidak diterima, lantas untuk apa segala aktualisasi itu? Bukankah Tuhan adalah titik pusat cakrawala di mana segala sesuatu dalam hidup kita tujukan?” "Lamian Cou, Lamian Cou, Lamian Cou, Lamian Cou, Lamian Cou, Lamian Cou, Lamian Cou....." mata Goplek terpejam, mewiridkan nama menu yang sore tadi ia makan, sambil mendengarkan kalimat-kalimat Paman Lu' yang bagai brondongan laras panjang. "Begini jadinya kalau potensi kreativitas tidak diikat dengan talinya Allah. Timah pemberian dari Allah diaktualisasikan jadi peluru yang menimbulkan perang di mana-mana. Minyak, baja, tembaga, emas, perak, mutiara, gas dan lain-lain menjadi sumber konflik sesama manusia. Rahmat dikonversi jadi laknat karena hati dan akal yang memproses kontemplasi dan aktualisasi tidak bersujud kepada regulasi dan kemauan Allah. Memangnya dari mana kita dapatkan bulu hidung, kaki, tangan, kepala, alam semesta, ruang-ruang hampa? Dari mana? Apakah Allah sedemikian kotor, bau, dan menjijikkan untuk kita ajak bekerja sama, memadu cinta bersama, dan membangun harmoni hidup bersama?” "Jian cou, jian cou, jian cou, jian cou, jian cou, jian chou, jianc....” Bunyi wirid Goplek berubah. Tapi tidak dengan cara kerja dunia. Pamulang, 20 Maret 2019
Sobrun Jamil, pemuda kelahiran Pekalongan, 14 Desember 1997. Anggota aktif Omah Puisi. Saat ini tinggal di Pamulang. Bisa dihubungi melalui akun Instagram @sobrunjamil_ .
Layar
(Catatan Film)
Taste of Cherry, Memaknai Hidup
"Aku tahu bunuh diri adalah dosa besar. Tapi merasa tidak bahagia juga adalah dosa besar. Ketika kau tak bahagia, kau menyakiti orang lain. Bukankah menyakiti orang lain itu juga dosa?�demikianlah Badii. Tokoh utama dalam film Taste of Cherry (Ta'm e Guilass, 1997) mencoba membantah asupan agama dengan mengatakan, bahwa rasa tidak bahagia yang ia alami memiliki beban yang sama dengan dosa akan bunuh diri pada seorang pelajar yang sedang mendalami agama Islam dari Afghanistan yang dimintainya bantuan dalam usaha bunuh dirinya. Adalah Badii, lelaki dengan gurat keresahan dan ketegangan pada wajahnya; menyetir mobil berkeliling perbukitan tandus di sebuah daerah di Iran, berputar-putar seperti predator mencari mangsa. Kiarostami mencampur dokumenter dan fiksi, disajikan dengan teknik pengambilan visual long-shot yang cenderung monoton dan pace yang perlahan menguji kesabaran untuk dapat betah
mengikuti plot bejibun dengan dialog verbal yang mampu mengintrepretasikan skala manusia penuh esensi menjadi sebuah alegori. Tentu saja ini akan menyulitkan, jika tidak sabar dengan pendekatan narasi yang dilakukan oleh Kiarostami. Tapi, andai berhasil menahan diri, pastilah akan terseret dalam perjalanan Badii. Badii dikisahkan berupaya mencari orang yang bersedia membantunya bunuh diri dengan menguburkan dirinya di sebuah lubang. Sudah digalinya di sebuah bukit. Ada tiga orang bersedia diajaknya “bernegoisasi�. "Aku tawarkan sebuah pekerjaan, dengan gaji yang sangat tinggi.� Orang pertama yang ditawari adalah seorang pemuda calon anggota militer. Dari percakapan di dalam mobil, Badii tahu bahwa anak itu butuh uang untuk keluarganya. Meski bayaran akan didapatkan besar, tapi pemuda itu menolak tawaran Badii. 14
Orang kedua yang ditemuinya adalah seorang pelajar dari Afghanistan. Pria ini memilih merantau belajar ke Iran karena di negerinya berkecamuk perang. “Tugas berdakwah agama bisa dilakukan nanti-nanti karena usiamu masih muda. Tapi sekarang aku tak butuh ceramahmu. Aku hanya butuh tanganmu. Dengan imanmu yang teguh, kurasa kau pantas melakukan pekerjaan ini,� kata Badii pada Pelajar tersebut. Badii dan Si Pelajar tidak menemui kata sepakat. Pelajar dari Afghanistan itu menolak dan enggan membuat masalah gara-gara membantu orang bunuh diri, juga diyakininya bertentangan dengan perintah agama. Dalam keputus-asaannya, Badii bertemu dengan seseorang taxidermis tua yang sedang membutuhkan uang untuk pengobatan anaknya, kalau ia bersedia membantu Badii. Taxidermis tua itu tidak meminta Badii menghentikan usaha bunuh dirinya. Dia hanya mengisahkan pengalamannya, bahwa dia juga pernah berada di posisi Badii. Dia bercerita bahwa pada suatu pagi, ketika dia melaju bersama mobil sejauhnya. Dalam pikirannya saat itu, dia ingin membunuh saja dirinya. Mengakhiri semua permasalahan hidup yang pelik. Berhentilah dia di sebuah perkebunan murbei. Saat itu masih gelap. Tali dia lempar ke sebuah pohon, tapi tak mau menggantung. Dia coba lagi kedua kalinya, ketiga kalinya, tetap tak bisa. Jadi dia panjat pohon itu, dan mengikatkan tali itu di dahan yang tinggi. Tak sengaja, dia merasakan sesuatu yang lembut di tangannya: buah murbei yang sangat manis. Dia pun makan satu biji, enak sekali. Dia makan lagi, yang kedua dan ketiga. Di ufuk timur, dia
melihat matahari mengintip dari balik gunung. Matahari itu, pemandangan itu, hijau pepohonan itu, alangkah indahnya. Momen itu begitu spontan. Tiba-tiba dia mendengar anak-anak berangkat ke sekolah. Mereka berhenti saat melihatnya. Mereka memintanya mengunduh buah itu. Buah murbei berjatuhan, dan mereka berebutan sebelum memakannya. Di hatinya muncul perasaan senang. Maka dia kumpulkan buah itu untuk dibawa pulang. Istrinya saat itu masih tidur. Tapi, ketika istrinya terbangun, dengan segera ia menikmati buah itu. Laki-laki paruh baya itu takjub. Dia pergi untuk bunuh diri, tapi kemudian dia pulang membawa murbei. Buah itu sudah menyelamatkan hidupnya. "Hidup seperti kereta api, yang harus tetap berjalan. Dan suatu waktu akan mencapai pemberhentian, yaitu kematian. Mati memang solusi, tapi bukan di masa mudamu ini,� begitu si Taxidermis tua menasihati Badii yang kolot pada keinginannya membunuh diri. Badii boleh jadi telah mengalami berbagai ketegangan dalam hidupnya. Bahkan untuk mengakhiri hidupnya, Badii mengalami kesulitan meski bersikukuh pada keinginannya untuk mati. Mungkin, seperti pernah dikatakan Victor E. Frankl, bahwa upaya manusia untuk mencari makna hidup bisa menimbulkan ketegangan, bukan keseimbangan batin. Meski ketegangan macam itu dibutuhkan sebagai syarat tercapainya kesehatan mental. Badii pun sedikit banyak mengingatkan saya pada tokoh-tokoh dalam novel Albert Camus. Mampu membawa saya pada suasana yang juga dihadirkan Abbas Kiarostami dalam film-filmnya; melankolis dengan sang lakon bersifat sedih, hopeless, penyendiri. Mersault dalam Mati Bahagia digambarkan Camus awalnya berpikir bahwa 15
uang adalah jalan keluar bagi setiap permasalahan. Mersault lalu sadar tentang apa yang sebenarnya mesti ia raih untuk menjemput kematian setelah percakapannya dengan Zagreus. Zagreus, lelaki yang kakinya hancur usai mengalami suatu insiden kecelakaan itu memberi nasihat kepada Mersault, “…dengan badanmu, satu-satunya tugasmu dalam hidup adalah berbahagia." Mersault mungkin merasa kalah dari lelaki bertubuh setengah itu, karena dia sendiri tidak bisa merasakan hidup yang baik dan benar selama bertahun-tahun. Atau, mungkin saja, Mersault merasa seluruh perkataan Zagreus tentang dirinya benar adanya. Badii dan Mersault sama-sama menginginkan kematian. Namun, ada perbedaan dari keduanya. Badii sejak awal digambarkan tidak memedulikan apapun, selain kesulitan yang dihadapinya ketika mencari orang yang sedia membantu usaha bunuh dirinya. Lantas, mengapa Badii teramat ingin mati? Apakah Badii sudah mencoba menjalani hidup dengan baik dan benar? Itupun tak dijabarkan oleh Kiarostami. Badii tidak seperti Mersault yang menginginkan mati bahagia, Badii hanya menginginkan mati.
Tentang ketidakjelasan hal yang terjadi pada Badii dalam Taste of Cherry, Abbas Kiarostami berkata, “itu cara saya mendekatkan diri kepada penonton. Setiap orang memiliki masalah, dan penonton akan menduga-duga masalahnya sesuai dengan latar belakang dan masalah yang dihadapi pemeran utamanya.” Taste of Cherry tidak menyelesaikan konflik dengan perasaan bahagia atau sedih tetapi dengan datar dan terkesan feelingless. Kiarostami seolah hanya mengembalikan pertanyaan-pertanyaan filosofis dalam film tersebut kepada penonton. ”Bukankah Tuhan Maha Besar? Bahkan karena ke-Maha Besarannya Dia tak akan memaksa kita untuk tetap memilih hidup.” Akan tetapi, "tidakkah kau ingin kembali minum dari mata air yang sejuk? Atau mencuci mukamu dengan air itu? Kau ingin melewatkan semua nikmat tadi? Apakah kau ingin mengabaikan manisnya rasa ceri?”
Atik Herawati, Menetap di Bandung. Mencinti dunia craft & handmade. Selain sebagai crafter, ia menulis untuk bersenang-senang.
Arena (Catatan Teater)
Bhiti: Pengabaran dan Penyabaran Karya Devita Mawartiwi,Yoga Fauzi Tsani, Maulana Syaiful Bahri Sutradara Ahmad Echo Chotib 22-24 Maret 2019, Aula SC UIN, Jakarta
Naskah drama Bhiti: The Power of Unity ini sungguh gamblang menyiratkan 'pengadeganan jelang pemilu', tapi belum sampai berarti kompromi kepada perubahan kebudayaan masyarakat yang mendasari unsurunsur 'sesudah pemilu berlangsung'. Bhiti sarat klise-klise mengenai pertentangan suatu paham dan gejala identitas yang menonjol di Negeri kita serta hal-hal sangat umum diketahui oleh banyak orang. Jelas, bersama “Bhiti� ini Teater Syahid mau urun soal tentang perbedaan yang semestinya dengan kebersamaan justru menyatukan, tentang bagaimana merawat spirit kearifan tradisi di tengah kebudayaan global yang berlaku pada suatu perkampungan masyarakat. Pada pokoknya adalah tentang kemanusiaan. Bedanya, hal ini bersama Bhiti diwartakan dengan terbuka, meskipun tidak dalam rangka memberi kesaksian, melainkan sekadar upaya yang alit untuk mendukung proses dramatisasi. Semacam juru kabar rakyat. Ia menyalin apa yang telah tersedia. Dan, bagaimana alur kisah Bhiti menjadi jalan menyibak polarisasi praktik-praktik atau agenda-agenda, yang telah direncanakan oleh kekuasaan global melalui para pemodal, yang mana sebenarnya gambaran umumnya hanya terjadi dalam bayangan kita. Tapi kini dinyatakan secara menggebu-gebu bahwa memang itu terjadi di negeri kita, dan menjadi persoalan setiap abdi masyarakat untuk menyelenggarakan pencegahan segera.
Pementasan Bhiti merupakan kecemasan sebuah bangsa yang sedang belajar kuda-kuda pada keseimbangan, seperti keluh-kesah sosial akibat derap gejolak dan deru dinamika masyarakat, terutama sekali lahir dari kegelisahan seorang manusia, sebab bisa merasakan rangsangan kepekaannya di tengah kedamaian yang mengandung tekanan dan ketenangan yang menyimpan ancaman. Bhiti adalah seekor burung yang menjadi ikon pertunjukan, bertolak dari khasanah mitologi. Konon, katanya, telah hidup ratusan tahun dan tinggal di Pohon Angsana tua—yang berusia 352 tahun—tinggi menjulang, bahkan sampai tidak bisa terlihat puncaknya. Bahkan, belum pernah sekalipun warga melihat rupa burung Bhiti. Tapi keberadaannya dicetuskan sebagai filosofi hidup tenang dan damai di kampung setu. Keragaman masyarakat tersebut digambarkan secara entitas karikatural. Pun dinamika masyarakat yang bergejolak juga digambarkan tepat secara karikatural. Sedangkan kondisi kejiwaan manusia dicetuskan dengan tindakan yang liar, yang bukan tradisi, yang selalu mencari gairah baru untuk pelampiasannya! Dan sang kapitalis dijadikan tokoh yang sedemikian gigihnya memperjuangkan tanah tempat jajahannya laiknya pahlawan! Bahkan, kemunculan sesepuh Mpu Atma, bagi saya, pun juga karikatur antara seseorang mesti sedih atau gembira, di tengah kerawanan hidup memang kebingungan begitu berkesan untuk ditertawakan. 18
Dan Bhiti sebagai gambaran burung raksasa—yang sekali memekik—redalah segala hal yang sedang terjadi. Ia menjadi peruwat semesta. Ia penanda berakhirnya suatu tragedi. Kemunculannya adalah akibat ulah sebagian manusia, kerjanya sibuk mengusik dan berisik ketika merumuskan penguasaan lahan. Artinya, potensi materi berlimpah adalah tanda bahwa segelintir manusia seringkali rakus. Apa yang ditawarkan Bhiti hanyalah rangkaian-rangkaian akibat. Sudah terencana dan kini dapat terlaksanakan. Dan, apa yang menyebabkan hal demikian dapat menimbulkan konflik-konflik yang besar kemungkinannya dapat meruncing, Bhiti belum membagikan warta responsif lampu hijau, reaksi lampu kuning, aksi lampu merah. Mungkin karena kita terlanjur percaya, bahwa konflik-konflik memang ada, tapi kita masih menganggap menjadi bagian kerja dalam pemerintahan. Seandainya kita mau menyadari akan antisipatif terhadap konflik-konflik ke arah kekerasan, meskipun kecil kemungkinan pencegahannya, tapi berarti kerja di luar pemerintahan. Itupun semacam percobaan untuk pencegahan, toh tidak menghentikan jalannya perubahan atau pembenahan secara kontinuitas sejalan hukum alam. Sebermula cermin harkat dari Bhiti adalah upaya suatu masyarakat untuk tidak mengusik dan tidak mengganggu seekor burung—yang sedang tidur panjang dalam damai dan tenang. Kemudian timbul konflik, akibat dari pelaksanaan pencalonan kepala desa, yaitu dua tokoh masyarakat: Roja dan Roma. Pak Roma adalah gambaran orang-orang religius yang menghendaki spiritualitas setiap laku-lampah dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan, pak Roja menjadi bagian dari masyarakat—yang kini dianggap sukses dan diakui unggul—berkat kekayaan materi
berlimpah. Kedua paham tersebut dimaknai Teater Syahid sebagai pertentangan, bertolak belakang saling menghimpun massa untuk adu kekuatan. Keadaan yang meruncing beralih menjadi pergesaran psikologi manusia secara signifikkan. Sehingga memungkinkan tercipta situasi keruh, saling menyalahkan satu sama lain hingga berujung perpecahan, sampai memanas ke arah pertikaian. Perselisihan yang memunculkan suasana genting merupakan pintu masuk bagi dua kekuatan asing, turutcampur tangan memupuk kesadaran api kekanakan-kanakkan dalam diri manusia yang telah dewasa untuk dijadikan pokok perpecahan yang membara. Lantas, siapa saja, kapan tiba waktunya, di mana peran bagi kita melakukan penanggapan atas pengamatan? Pada posisi apa daya refleksi hidup manusia dengan segala kewajarannya berusaha mengendorkan keadaan seperti sekarang ini? Sebab kalau tidak, inisiasi diluncurkan oleh para pemodal, melalui perangkap teknologi. Saat kendali tak sadar diri, kita bisa terbuai oleh nafsu angkara yang melenakan sisi kesadaran manusia di hadapan serbuan tipu daya hoaks semacam hipnotis. Tentu kita percaya, bahwa hal ini tak akan menang, meskipun kita kebobolan seribu-kali pun. Martabat Bhiti adalah kemanusiaan yang saling asah, saling asih, saling asuh. Itulah mengapa sebagai masyarakat di perkampungan, atau rakyat bagi sebuah bangsa, ternyata memang kita terlampau kuat dalam ketegaran dan tangguh dalam kesabaran menghadapi segala tindak-tanduk akan persoalan kuasa nyata terjadi di negeri ini.
19
Tugas Bhiti, sebagai juru kabar, penyampai berita dari sebuah kampung dan informasi dari sebuah bangsa. Oleh karena itu, Bhiti hadir mewartakannya. Tapi sama sekali meniadakan kritik pemerintahan, belum berani menilai rapor ujian negara, pun tidak bersikap menjadi oposisi ketika invasi asing memasuki wilayahnya. Bhiti memang kabar buruk dari negara meski bukan berarti kabar prinsipil bagi para penguasa. Bhiti hanya mengalirkan kisah pertunjukan, saling jalin-menjalin proses determinasi sebuah pementasan. Dengan begitu menjadi jelas, mungkin sampai pada kita, bahwa Bhiti dihasrati tidak dalam rangka pemuasan batin penonton untuk bisa mencari pembenaran ketika menuding pihak lain sebagai yang salah. Melainkan hanya sebuah penegasan oto-kritik kepada diri sendiri, supaya tercermin implikasi etik sehabis menikmati resepsinya. Sesudah menonton Bhiti, saya melihat ketegaran, harapan, dan penyabaran untuk menggerakkan lagi roda kebudayaan yang macet, terutama sekali membenahi diri sendiri dengan mempertimbangkan tradisi—kasur tua—nilai-nilai yang sudah mapan, sehingga mampu menopang kembali tubuh peradaban bangsa yang teguh mengemban martabat dan
tanggung-jawab terhadap kedaulatannya masing-masing. Pekikan Bhiti, meski hanya sekali itu, adalah pesan dari tanda, saran dari gejala, tugas yang dianugerahi Allah kepada kita semua. Bahwa bersama-sama Bhiti, atau masing-masing kita, perlu menawarkan warta semesta, yang semestinya juga sampai memberi kesaksian terhadap gejala kebudayaan sebagai suatu kewajaran. Semoga pekikan daya hidup dalam diri tidak lekas hilang, sementara policy kematangan kesadaran yang sedang kita masak bisa segera menghidangkan keselamatan dari gerak perubahan kebudayaan. Itupun kalau kita mau jujur bukan sebagai “konsumsi pikiran”, melainkan memang suatu jalan “produksi berpikir”, sebab di persimpangan telah banyak mengalami kebuntuan berpikir terhadap situasi, keadaan, dan suasana. Lain halnya kalau tidak jujur, maka biarkanlah Bhiti memekik sekeras-kerasnya! 4 April 2019
Syahruljud Maulana, anggota Omah Puisi dan aktif membidani buletin Lintang, tinggal di Jakarta. Penikmat dongengan ini bisa dihubungi melalui WA : 0838-0746-7311
Capres Sastra
(Catatan Apresiasi Sastra)
Komedi Sastra Penakota.id mempersembahkan Selidik Karya : bersama Galeh Pramudianto (Penulis “Asteroid dari Namamu) dan Doni Ahmadi (Penulis “Pengarang Dodit) Moderator Ryan Suryadinata Pada Sabtu, 6 April 2019 di Leitstar HQ, Kebon Jeruk
Adalah suatu kegembiraan bagi saya secara khusus, matur sembah nuwun kepada Galeh Pramudianto berkat buah puisinya (Asteroid dari Namamu, Basabasi, 2019), dan kepada Doni Ahmadi yang panen perdana buah cerpennya (Pengarang Dodit, Basabasi, 2019), keduanya merupakan buah dari pohon sastra. Serta kepada lumbung penerbit Basabasi, telah sedia menampung-menimbang karya dan mengedarkan bacaan ke masyarakat. Juga kepada penakota.id beserta tim kreatifnya sedia mengadakan syukuran budaya, atas pertemuan dan pembelajaran bersama khalayak yang hadir. Sebagai penggembira sastra, menggembirakan adalah suatu kewajaran dari gerak peralihan kebudayaan masyarakat, kegembiraan itu justru seringkali sedap kenikmatannya, dan menjadi, selera kesusastraan kita sekarang. Penggembira itu bisa berarti komedian sastra, bisa juga penonton komedi sastra Indonesia. Artinya, sama-sama gembira meskipun beda konteksnya. Seseorang disebut komedian bukan karena bisa melucu dengan lelucon-lelucon ganjil, melainkan memang pada dasarnya, dirinya dan hidupnya semerbak oleh kelucuan. Dan seseorang disebut penonton komedi bukan sedang butuh bahagia yang tercermin bersama tawa, mungkin memang ada banyak
bahan pengalaman hidupnya senantiasa mengandung hal-hal lucu, yang bisa jadi dengan semangat haru-biru kekonyolan seseorang perlu komedi sebagai pengantar sekaligus pemuas hasrat untuk menertawakan dirinya kembali, lagi dan seterusnya. Dengan begitu, komedi adalah dasar kritik hidup terhadap dirinya sendiri, pada cakupan bagian dan wilayah lain spektrum pembahasannya juga luas dan mendalami pokok gejala masyarakat, inti dinamika sosial, serta esensi gejolak ber-negara. Mungkin itulah mengapa peristiwa sastra perlu komedi, acapkali resepsi budaya semisal apresiasi sastra, kritik sastra, peluncuran buku, bedah karya, dan seterusnya. Sebab, kalau tidak, kegembiraan dari kebersamaan hanyalah pertemuan gairah ilmu dan nafsu pengetahuan untuk kita belajar makin membedakan perihal sastra, bukan lagi menggali persamaan kita pada sastra. Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa pada kenyataan gelaran sastra, apapun bentuk acaranya ternyata belum cukup berani meng-apresiasi persamaan sastra pada tiaptiap bagian formalitas teori, klasifikasi ilmiah, perbandingan akademik, dan wacana kategori yang memilah keberadaan satu dengan lainnya. Tanpa sadar, perangkap tersebut ternyata malah menimbulkan kesan semacam impresi yang kuat tentang wacana perbedaan lebih 22
dominan ketimbang mencari persamaan yang mendasar. Hal tersebut tidak dalam rangka upaya meng-generalisasi atau menggabungkan keragaman suatu karya ke entitas tunggal sastra. Seandainya saya membayangkan hal utopis mungkin pada suatu hari akan terjadi peristiwa seperti “simposium sastra”; menumbuhkan spirit dialektika kebersamaan dan merawat prinsip (pegelaran apresiasi karya) tentang persamaan sastra yang secara fitrah pengetahuan telah menganugerahi kita ilmu sastra yang beraneka-ragam. Seandainya, nanti dapat terlaksana, maka tidak ada lagi istilah semacam pendapat lampau yang terus membayang tentang “drama yang di anak-tirikan sastra”, “puisi yang paling menyinari sastra”, atau “prosa yang mengenalkan sastra pada dunia”, dan lain-lain. Oleh karena itu, sebagai penggembira sastra dari jauh, saya mohon maaf atas apa yang telah terungkap di atas. Betapapun juga, saya menyadari pentingnya perbedaan itu supaya memudahkan kajian sastra yang mumpuni atau kritik sastra yang berbobot serta lugas berlandaskan teori ilmiah, teori akademik, dan teori kreatif. Di samping itu pula, ada semacam impuls olah sastra melalui metode pembacaan hermeunetik dan heuristik. Semua tahapan itu penting dan dibutuhkan lagi diperlukan setiap pendedahan karya sastra. Hanya saja, pada konteks pembahasan kali ini, kenapa kita cenderung mengadakan peristiwa sastra dengan semangat perbedaan yang ada pada karya sastra? Semisal contohnya bedah buku puisi, tapi tidak dibersamakan dengan bedah buku prosa, atau buku drama. Kritik sastra kita masih terfokus pada titik-titik
karya sastra, belum menyeluruh sampai kebulatan sastra. Apresiasi karya sastra seperti diskusi dari peluncuran buku cenderung menyeragamkan, hal itu memang lumrah secara seragam, toh ternyata tidak menutup kemungkinan lain untuk kita mengadakan peristiwa peluncuran buku puisi, novel, cerpen, drama, dan esai sastra secara bersamaan pula. Kan, pada dasarnya, semua karya sastra adalah sumbangan sastra kepada dunia, bukan hanya karya prosa atau puisi menyumbang kepada dunia. Maka dalam komedi, apapun bentuk ekspresinya, siapapun bisa bersama-sama atau masing-masing kita, kepada apa saja bahasannya, di mana pun keberadaannya, bagaimana cara mengungkapkannya, menjadi semacam penggugah rasa nikmat dalam kebersamaan kesadaran yang dihidupi oleh kegembiraan. Sebab kegembiraan sastra adalah kesusastraannya. Kegembiraan manusia adalah kemanusiaannya. Lantas, sastra yang hadir sekarang kepada kita, dengan atau tanpa, sedang atau menuju, kesusastraan? Rasanya, kita perlu menghidupkan lagi memori sastra yang telah banyak dibangun oleh kekuasaan para perancang sastra pada setiap pendapat, argumentasi, dan analisisnya, baik terhadap kondisi atau kehidupan sastra—pada masa itu. Begitupun sastra hari ini, semoga mampu menyiapkan kerangka, susunan, dan rancangan sastra. Sebelum kita merumuskan hal di atas, ada baiknya kita masak aneka pertanyaan terlebih dahulu, yaitu: Sudah berapa jumlah kehadiran Anda pada tiap acara sastra seragam yang bertolak dari perbedaan suatu karya? Dan sudahkah Anda jumpai gelaran sastra yang mencakup segala perbedaanya puisi, novel, cerpen, drama tersebut itu bersama-sama pada suatu forum diskusi? 23
Maka kegembiraan saya saat ini, bukan karena saya terlampau sering menghadiri acara sastra, melainkan disebabkan oleh penakota.id, tanpa sadar atau disadari, telah mau memulai semangat kebersamaan akan persamaan tentang sastra. Pada “selidik karya� tersebut dicetuskanlah sebuah resepsi sastra antara puisi dan prosa (khususnya cerpen). Jadi, jelaslah, fokus tulisan ini memang tidak menaburkan serapan dari diskusi, hanya sedang membeberkan pokok soal sekitar masalah atau peristiwa yang sering kita jumpai sebagai acara sastra. Begitulah komedi atas peristiwa sastra kita. Begitulah para penggembira menikmati komedi. Karena hanya di jalan gembira, sastra kita bisa mematangkan kesadaran dirinya. Dengan begitu, membaca jadi gembira. Menulis dengan gembira. Diskusi bersama gembira. Kritik membawa gembira. Menjadi
sastra gembira yang gembira pada sastra. Tapi, gembira atau tidak, itu tergantung pada faktor kemunculan lain tak terduga. Tergantung pada variabel kemungkinan lain tak terkira. Hal itu seperti tanda untuk kita ketahui tentang pentingnya sadar diri akan waspada dan selalu mawas diri. Jadi, kegembiraan itu, mungkin ketika kita sadar bahwa ada sesuatu yang tak beres. Apakah dengan gembira semua bisa beres? Tentu tidak. Mungkin, semoga saja. Jawabannya ada di dalam diri Anda, di situ sastra hidup selama-lamanya. 8 April 2019
Syahruljud Maulana, anggota Omah Puisi dan aktif membidani buletin Lintang, tinggal di Jakarta. Penikmat dongengan ini bisa dihubungi melalui WA : 0838-0746-7311
mBelik (Puisi)
Puisi-puisi Sobrun Jamil:
Mata Anak-anakku Puisi-puisi yang tergantung di langit Adalah benih cahaya Kuperam dalam hati untuk satu masa Di mana matahari kian tipis dan tanpa kulit Kelak ketika hari benar-benar bertiarap di kolong kegelapan Mata anak-anakku akan menyala seribu kali lebih tajam dari bait-bait puisi. Pamulang, Februari 2019 Jatuh Cinta Udara bergolak Berputar melilit tulang-tulang tubuhku Di bawah kolong matahari Mana lebih dulu bergerak, aku atau bayanganku? Sepenggalah lagi waktu menyuruk kita Jatuh di ruang-ruang yang patah Ketika waktu membeku Aku jatuh cinta pada-Mu Pamulang, 4 April 2019
Sobrun Jamil, pemuda kelahiran Pekalongan, 14 Desember 1997. Anggota aktif Omah Puisi. Saat ini tinggal di Pamulang. Bisa dihubungi melalui akun Instagram @sobrunjamil_ .
Puisi-puisi Akhmad Tabrani:
Songenneph Sudah lama sekali tak kusambang rumah Engkau juga tak memberi kabar, Hanya sesekali titip salam Sedang lumut di sugai kecil sawah kita Mulai menuai sepinya Sudah lama sekali tak kujejak pasir lautku Engkau juga tak meninggalkan bekas tapakmu Hanya lukisan kaki keong berbaris rapi Menghalau segala isak daun siwalan pilu Sudah lama sekali tak kusapa Asta Tinggi, Gunung Payudan, Selopeng, Lombang, Dermaga Kalianget, Tanjung engkau juga lindung di balik Daun-daun rakara dan lindap di antara lalang ranggas Masjid Jamik, taman bunga, keraton, Labeng Mesem, museum, Taman Sare, Taman Lakek Bagaimana kabarmu? masihkah wajahmu se-elok seperti ketika senja kutunggu buka puasa di samping suara jeddem blanggur meriam masjid? Di bawah pohon sabu keccet Sudah lama sekali, SDN Bangselok, SMPN 1, SMAN 1‌ aku rindu warung kantinmu, jajanan recehan yang sederhana, menghapus dahagaku Guru-guru yang sudah sepuh dan sudah pergi Taman sekolah, pohon angsana, dan bougenvile Sudah lama sekali nyanyian surau yang sepi siang hari memanggilku aku tahu tak lagi seorang belia yang azan di Masjid Sokambeng Dan deretan makam semakin memanjang di tepian kali Inilah surat rinduku, nyanyian para kembara Yang masih setia menggedong rembulan kekasih kampungnya di bawah langit yang bernama S o n g e n n e p h ...
27
Di Selat Madura (Tim PMB FKIP)
Pak Ali berkata pada asin air itu Inikah Madura, yang ketika kutenggak jamunya Lelaki sanggup mengguncang Monas? Sang camar berceloteh kecil: rendamkan linggamu di lautku Akan kau rasa perihnya samudera Madura Ketika kakekku mengayuh sampan, jauh ke seberang! Lelaki itu tiba-tiba memutar kopiahnya Mendengar seksama bisik seorang perawan Madura Tiba-tiba dadanya berdegup kencang Tubuhnya bergetar, ia tak sanggup berkata-kata Apalagi untuk sekedar berdiri lagi Di buritan kapal suara ombak yang mengejar Berteriak-teriak dengan suaranya yang parau Dikibas-kibaskan baju loreng merah putih Ia tak rela bila kyai Jawa itu tak mengetahui Ketika Sakerah melumuri kaosnya putih dengan darah. Angin senja pun mulai menutup jendela Lampu mercusuar syahbandar menyapa, Kerlap lampu kota metropolis Surabaya, Kerlip lampu nelayan Madura, Memantul di atas permukaan ombak Ada puisi mengapung-apung di atas air Kapal yang merapat, mengucap salam Untuk kembalinya para musafir 19 Juli 2003
28
Masa Itu Aku hanya ranting masa silammu, maka biarkan ia berlepasan bersama angin dan berganti tunas baru Aku hanya bagian dari masa lalumu, sudah silam waktu kita, dan tak usah kaulukis di beranda rumahmu, karena anak-anak kita terus beranjak dewasa. Biarkan mereka menulis sendiri sejarahnya. Jangan pisahkan mereka dari haru biru kisah masa itu, biarkan saja seperti air kali di sebelahmu, tetap mengalir mengikuti lekuk liku alurnya Aku hanya sisa masa lalu kita, jangan kausimpan rapat-rapat wajahmu di balik sejarah, mari lebur dalam sejarah kini, tak akan lagi kutarik masa itu dalam hujan sore ini Biarkan aku ceritakan saja pertanyaan dan mimpiku pada cuaca yang semakin berair ini, seperti suratsurat kita yang tersusun rapi, beserta foto-foto itu Lekat aroma waktu, masih kuat menempel pada jaket cokelat dan kaos hijau putih itu, jarimu masih terlihat jelas ruasnya, seperti langit yang tegas memisahkan mendung dan kemarau "Sudah lama sekali..." ucapmu pada seseorang. Aku tahu itu buatku, sesekali kau berkelebat dalam pesan singkat yang lirih "Selamat Idul Fitri..." ucapmu, lalu tenggelam lagi suaramu, hilang mengendap bagai sebuah "kota yang hilang" pada mitologi Mesir kuno. Hanya film-flim fiksi ilmiah yang mampu menjangkau sukmamu Sedang dalam mimpi saja, kita hanya bertukar senyum Aku hanya bagian dari catatan kecil sejarah kita. Aku ingin mengurai benang itu dalam sisa gerimis musim. Salamku pada anak-anak tercinta itu, pada lelaki yang mencintai dan membesarkannya Kota kita yang bersejarah, pernah membenamkan kita dalam ruah rindu yang agung, kota itu pula yang membelah sejarah kita menjadi dua dunia yang jauh bersekat dan asing. Tapi langit kita ternyata masih satu juga, yang menurunkan hujan yang sama di kotaku dan kotamu Pada sahabat-sahabat kita, yang selalu mendaraskan salam, menyematkan damai, aku selalu hidupkan silaturrahim Dan engkau tetap memilih menjaga rinai sendiri, dalam rumah penuh kaca itu Persinggahan ini memang tak lama, aku mengerti setiap gurat gerimis dan mendungmu
Akhmad Tabrani, lahir di Sumenep-Madura 28 Oktober 1968. Menyelesaikan S-1 dan S-2 di Universitas Negeri Malang jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. S3 di Universitas Udayana Bali Program Studi Kajian Sastra Budaya. Dosen di Universitas Islam Malang pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang menjabat sebagai kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Islam Malang. Gemar menulis puisi sejak di sekolah dasar di Madura, dimuat di majalah remaja HAI, di koran Memorandum, tabloid kampus Komunikasi. Menulis kumpulan puisi “Sajak Musim Hujan� tahun 2000 dan buku “Bagaimana Memulai dan Menjadi Penulis� UM Press 2010.