Buletin Lintang Edisi 3

Page 1

Tahun I Edisi 3 • Januri 2019

derap gembala kebudayaan


DAFTAR ISI

DAFTAR 3

6

7

PANEMBRAMA REDAKSI

28 mBELIK Jouissance

29

Menepi ke Tegowanu

29

Himne Desember

30

Dysphoric Disorder

31

Bertolak Esai Berlabuh Puisi; Pelayaran Bersastra 8

Impian

31

Puisi Dari Semua Puisi

Dari Stasiun Blitar

32

Stasiun Malam

33

KERANJANG PEMBACA

STEPA

11

18 CARANGAN Takdir Buruk

19

Kesunyian Yang Melamun

20

Lahir Kembali

22

34 CAPRES SASTRA Rendra di Masa Depan yang Silam 35

24 LAYAR Kokohnya Keluarga Cemara Milenial

25

Pengurus Buletin Lintang : Dewan Redaktur : Mufakat Omah Puisi | Penanggung Jawab Redaksi : Musyawarah Syahruljud Maulana dan Sobrun Jamil | Editor : Riza Hamdani | Ilustrasi Sampul dan Desain Grafis : Faizal Hidayat, Akhsan Baihaqi, dan Bowo Wijoyo. Buletin Lintang menerima kiriman karya berupa esai, cerpen, puisi, komik strip, catatan film dan teater. Karya dengan format .docx dikirim ke alamat surel : buletin.lintang@gmail.com Buletin Lintang membuka taman kreativitas bagi pertukaran ide dan gagasan perihal seni, budaya, sosial dan politik. Diharapkan menjadi ruang pemikiran belajar bersama tentang kesusastraan dan kebudayaan serta ikut meramaikan dinamika sastra Indonesia. Buletin Lintang diusahakaan terbit sebulan sekali.


P

anembrama Redaksi

Untuk apa dikasih pintu, kalau engkau berkenan masuk boleh saja. Untuk apa diberi daun pintu, seandainya engkau tetiba datang telah tersedia ruang. Sekarang kita bisa duduk bersama sambil minum kopi, bercerita tentang para petualang menyebrangi tahun akhir 2018 ke awal tahun baru 2019. Alangkah baiknya, engkau simpan atau boleh dikuburkan semua hal-hal barang bawaan isu, hoax, fenomena, gejala, dan segala laporan, kabar, berita bernama tragedi itu ke tempat pengelolaan penyaringan dan ruang pengendalian dalam hatimu. Supaya terus memupuk kematangan empati dan kedewasaan simpati.

Kedatanganmu ke awal tahun baru, kan bukan untuk membenarkan apakah harapanmu itu nyata, atau menyalahkan pada kenyataannya resolusimu itu hampa. Sebagaimana sifat perubahan, ialah semestinya “akan terjadi”, jadi bukan seharusnya “sekarang menjadi”. Perubahan adalah gerak yang dinamis, elastis, dan plastis dalam kebudayaan hidup manusia. Kemampuan manusia hanyalah merencanakan rancangan perubahan, akan tetapi sangat muskil, bahkan tidak mungkin demikian dapat terlaksana tanpa keputusan engkau yang maha menghendaki. Sebagaimana upaya manusia Indonesia yang kreatif, seringkali terhadap kata “perubahan” saja kita terlampau kurang ajar, bahwa perubahan itu berarti pergantian, peralihan, dan betapa parahnya lagi, perubahan selalu mengarah ke perbaikan. Artinya, perubahan sebermula kabar buruk dari dalam diri atau di luar diri manusia yang sedang berupaya selain berusaha menuju ke-baru-an yang lampau lagi baik. Kegagalan kita dalam membaca perubahan karena tidak melihat faktor yang tak tampak pandangan, tak teraba pemahaman, tak terjangkau pemikiran, dan tak pernah terbayangkan pra-duga sekalian pra-kira manusia. Bangunan megah makna perubahan kita, dari masa ke masa, dari buku ke buku, dari peristiwa bersejarah, tidak cukup untuk pikiran engkau yang teramat luas sanggup (mau menerima lainnya, atau tidak mampu berhenti) menampung memori makna yang hanya dibangun oleh kekuasaan. Pengetahuan tentang perubahan tadi hanya merupakan omong-kosong saja, hanya berupa slogan dan pendidikan hafalan belaka. Jika tanpa adanya konsep puasa secara utuh dan menyeluruh. Lagi-lagi pengetahuan lebih menggairahkan kita (memaknai puasa) sebagai menahan nafsu atau melampiaskan hasrat. Maka, tidaklah mengherankan bahwa pengetahuan perubahan dan puasa tersebut tidak pernah berakar dalam kenyataan. Sebagaimana kita juga terlanjur percaya pada 3


keyakinan tentang sesudah kesulitan datang kemudahan, bukankah sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Mudah-mudahan pintu terbuka Lintang edisi Januari kali ini, dapat melegakan hatimu serta menggembirakan pikiranmu. Dengan begitu, engkau sedia belajar kepada guru perubahan yang terkembang di alam, yang tergambar di masyarakat, dan yang terhampar di kehidupan sehari-hari. Untuk itu, kita perlu puasa, bukan sebatas menahan ataupun melampiaskan, melainkan mengelola apa yang tidak biasa dan mengendalikan suatu hal yang umumnya sudah lazim. Terhadap apapun, kapanpun, dan di manapun. Sebagai penutup, wajib diingat, bahwa pintu, perubahan, dan puasa adalah providentia dei, berkat penyelenggaraan Allah. (SJM)

4


Keranjang Pembaca


Keranjang Pembaca

Ini saran saja, dari dua edisi yang sudah meluncur, ada baiknya mulai dipikirkan untuk fokus pada sedikit obyek saja, sehingga bisa menjadi buletin yang khas. Misalnya fokus pada puisi: berupa puisi, kritik puisi, berita apresiasi puisi, dan lain sebagainya, yang berkait dengan puisi. Dalam hal ini sudah ada beberapa contoh, misalnya Jurnal Sajak (konsen puisi), Dramakala (konsen teater), dan RuangFilm (konsen film). Atau boleh dicoba tematik. Mengulas satu tema tertentu dari berbagai bidang.

Zaky Mubarok, Depok

Pertama, perkara design: Kalau bisa, mengenai perwajahan buletin ini dan ilustrasi per-rubriknya semestinya menggunakan kelihaian tangan-tangan yang gemar menggambar (yang tentunya niat menyumbang)—di luar dari tim. Anggaplah, kerja kolaboratif. Kedua, perkara distribusi dan pembaca: Kalau bisa dibuat semacam site. Bisa pakai “wixsite� dengan tampilan templatenya yang beragam pilihan dan ciamik. Selain penyebarannya lebih mudah (tinggal copy link, lalu sebarkan) juga bisa tiap edisi dibuatkan semacam pengantar singkat. Untuk e-buletinnya bisa diunduh langsung setelah pengantar.

M. Dandy, Malang


Stepa (Esai)


Bertolak Esai Berlabuh Puisi; Pelayaran Bersastra Puisi adalah pulau terpencil Di tengah esai samudera sastra mahaluas Laut sastra kita makin ramai dikunjungi “para pendatang” baru, serta “wisatawan” yang mungkin tidak asing bagi kita karena mereka senang berlibur membaca karya sastra. Dari sudut pandang wisatawan, sastra adalah wahana pelayaran bersastra. Membaca sastra berarti upaya memburu harta karun kebahagiaan yang telah disembunyikan dunia, atau bisa juga, sebagai petualangan seni bagi wisatawan yang hendak belajar pada kehidupan. Sebab, kehidupan yang berlangsung sekarang telah mengajari manusia bagaimana memanusiakan diri, bersamaan dengan arus menduniakan dunia. Agaknya gejala demikian perlu (dengan kata lain meminta) kita untuk menyangsikan kembali; mengulang pengamatan, penghayatan dan perenungan yang lebih dalam. Dalam perasaan wisatawan itulah, sastra menawarkan peta sebagai jalan kebudayaan. Sejalan dengan memanusiakan manusia yang akan mengarahkan dirinya ke dunia budaya. Karena kebudayaan adalah tanda perkembangan manusia; meliputi mentalitas, pola berpikir, sikap hidup “survive”, dan terutama kesadaran manusia atas dirinya dan dunianya. Ini merupakan konsepsi dasar kebudayaan. Maksud “para pendatang” di atas artinya, orang yang (mulai) menggeluti sastra dan berusaha mendedikasikan hidupnya pada kesenian. Sedangkan, “wisatawan” yang dimaksud adalah orang-orang yang (gemar) membaca karya sastra. Dalam kata mulai, orang tersebut bisa saja berhenti di tengah jalan oleh sebab macam hal, dan kemudian, pindah haluan ke arena lain. Dalam kata gemar pun demikian, kalau orang (maksudnya pembaca) yang pada

dirinya belum menemukan kecintaan terhadap karya sastra, mungkin baginya, lebih baik beralih ke—yang—bukan sastra. Pada intinya, tujuan pelayaran bersastra adalah menulis, lebih jauh lagi ingin jadi penulis. Tentu saja, masih banyak variabel lainnya lagi disesuaikan keadaan dan kondisi. Kenapa sastra? Karena hal ihwal manusia dan dunianya adalah sentrum bagi sastra. Sementara sastra bagi manusia dan kehidupan adalah tonggak; penyeimbang antara ilmu dan pengetahuan. Dan di sisi lain, hasil karya kesenian lainnya selain sastra, juga termasuk dijadikan patokan. Berangkat dari pandangan manusia, bahwa kehidupan dan kesenian adalah manusia di hadapan cermin pengalaman hidupnya atau hubungan manusia dengan dunianya. Ada dua faktor kemungkinan yang saling berpengaruh sebagai pembeda seni sastra dengan cabang seni lainnya; kalau cabang seni lainnya ialah bentuk fisis lahiriah itu sendiri, sedangkan seni sastra, karya rohani manusia alamiah itu sendiri. Artinya, cabang seni lainnya bersifat materi atau jasmani, dan seni sastra bersifat rohani atau spiritualitas. Keduanya sama muatannya nilai-nilai tertentu, senantiasa mengikuti gerak pemaknaan dan daya penghayatan ke arah ke-baru-an. Di mana keragaman dalam penyatuan seni selalu menuntut proses latihan dan kerja kreativitas melalui aktivitas-aktivitas rekreatif. Seandainya nilai-nilai kesenian hendak mengukuhkan gambaran tentang dunia budaya ke dunia spiritual menuju dunia religius. Maka implikasi etiknya mesti lebih dulu tercermin 8


dalam laku-lampah kehidupan sehari-hari. Kelak akan berdaya-guna bagi kehidupan yang harmoni antara sesama manusia dengan dunianya dan serasi antara manusia dengan alamnya. Dengan bersastra, kita mengolah pengelolaan antara benar, baik dan indah; juga merangkum pengendalian tata logika, etika dan estetika. Pada hakikatnya, tanggung-jawab sastra adalah mesti menjaga dan mengamankan keutuhan umat manusia. Hal demikian sesuai lima sifat sastra yaitu reflektif (pengarang-karyapembaca-dunianya-kehidupan), rekreatif (karyapembaca-dunianya-kehidupan), komunikatif (pembaca-dunianya-kehidupan), aplikatif (dunianya-kehidupan), dan kontemplatif (kehidupan). Dunia < — > Proses penyair / pengarang — > karya < — > pembaca —> mencatat — > penulis — > esai — > fakta < — > fiksi — > cerpen — > novel — > drama — > puisi < — > kata (komunikatif) = (komunikasi) manusia < — > bahasa — > Kehidupan Alam Nama diagram di atas adalah sirkuit pelayaran bersastra; dunia sebagai peta, kehidupan sebagai kompas, dan alam adalah ruang kreativitas manusia di dalam dirinya dan dunianya berhubungan dengan kehidupan arah mata angin. Kesadaran tentang tiga hal tersebut akan mempengaruhi kesenian ciptaannya. Sesuai perkembangan gerak alam: kondisi, keadaan dan situasi. Karena berkembang merupakan sifat hakiki kehidupan manusia dan dunianya. Kehidupan (Survive) Puisi Puisi adalah apa yang ditelan (misteri) kepenulisan, penyair menuliskannya menjaga daya tahan tubuh. Perjuangan penyair merupakan cara bertahan hidup paling ampuh.

Bisakah kita bayangkan, bagaimana menjalani hidup di sebuah pulau terpencil dan tak berpenghuni. Hidup yang demikian sekarat dan menyakitkan adalah bayangan semu “pendatang baru” puisi; ia cuma merasakan apa yang kita katakan, sementara yang kita rasakan hilang lenyap ia katakan, padahal puisi itu sendiri seolah mengatakan dan merasakan bahwa gumam mungkin puisi. Sebelum pada akhirnya kita (memilih dan menetapkan) berlabuh ke pulau bernama puisi, itu tergantung bagaimana menentukan arah pelayaran bersastra. Kita bisa sebentar singgah di tengah samudera esai. Pada esai kita belajar kepenulisan secara akademik dan kreatif, entah sesuai pendidikan formal atau informal. Sifat esai adalah menggoda kita, ia ada di mana-mana, memancing kejelian pengamatan indera dan penghayatan personal secara batiniah. Hal ini merupakan formulasi bagi pemikiran tentang ide dan gagasan yang akan dituangkan dalam setiap tulisan karena menyangkut cara berpikir dari berbagai macam pola dan gaya sudut pandang. Esai melatih kepekaan kita sebagai manusia untuk tanggap pada keadaan; mentalitas kebudayaan dibangun dari pondasi empati dan simpati. Demikian nantinya kita terlatih (menjadi pribadi kuat secara batin) dalam kerumitan, rintangan dan tantangan kepenulisan. Betapa akibat itu nyata terjadi jika kita tidak segera belajar membedakan antara mana fakta dan mana fiksi. Betapa beruntungnya pemuda yang hidup zaman sekarang, karena ia melihat (lagi mengalami) langsung keruntuhan dan kehancuran total. Oleh sebab ketergantungan kita dalam menyerap informasi, tanpa memilah lebih dahulu. Itulah mengapa fakta menjadi penting, bukan sebagai kekuatan untuk mengalahkan, melainkan pemicu kesadaran tentang; sesuatu yang mesti Anda cari tahu sendiri, sesuatu yang telah Anda ketahui 9


sebelumnya, sesuatu yang sama sekali Anda belum mengetahui, dan sesuatu yang mungkin lebih baik tidak perlu Anda ketahui. Sementara, pendeknya fiksi adalah apa yang Anda bayangkan. Fakta dan fiksi menjadi dua kebutuhan dalam hidup, ia bisa saja menyatu dalam karya sastra, bisa jadi suatu sikap bagaimana mesti menghadapi hidup; semisal berkelakar dan menuai humor. Dalam kepenulisan, hal tersebut mesti dipertanggungjawabkan, itulah mengapa kita perlu latihan pada fakta dan fiksi.

terdahulu lalu kita cemburu; tersulut dan terpicu. Terhadap apapun dan siapapun kita mesti terangsang dan belajar merangsang. Terangsang dan merangsang ada dalam persepsi—yang menyulut intuitif dan memicu kreatif. Dalam hal ini, maksudnya upaya menggali potensi mode kesenian dan merumuskan kesadaran pengetahuan puisi (mungkin tidak) konvensional namun dapat diterima. Apakah puisi kita nanti sanggup melampaui zaman sebagaimana penyair terdahulu? Jawabannya ada pada puisi waktu. Ada pada arah mata angin.

Menurut pembaca, mana di antara cerpen-novel-drama-puisi yang termasuk pulau dan pantai? Kalau ia pulau, berpenghuni atau tidak. Kalau ia pantai, bagaimana kehidupannya. Jawaban itu nantinya akan menyirami tanah kekeringan bagi daya refleksi kepenulisan puisi.

10 Desember 2018

Sebagai pemungkas, penulis menawarkan satu teori “rangsangan puisi”; teori ini akan bisa dibuktikan jika puisi itu hidup. Artinya, puisi hidup ialah kehidupan manusia. Sebab, kata dalam puisi itu bernyawa, setiap yang bernyawa itu makhluk. Kata-kata, bagi penyair, ialah para leluhur dan bukan warisan para leluhur. Kata memang hasil pergulatan dialektika yang telah berlangsung selama ratusan bahkan ribuan tahun di masa lalu kemudian berdasar kesepakatan budaya. Tapi sejatinya, kata selalu hidup sebagai makhluk dalam diri manusia. Kemuliaan puisi adalah tanda persahabatan penyair dengan kata-kata. Kata, dalam teori “rangsangan puisi”, berarti mata: sepasang mata untuk melihat, mata hati untuk merasa, mata kaki untuk menggerakkan. Kalau ketiga pasang mata sama frekuensinya, maka itulah puisi hidup di dalam kehidupan bersastra. Namun kita sering abai, bahwa puisi hidup yang telah mengajari kita belajar menuliskan puisi. Percobaan lain dari teori “rangsangan puisi” adalah ketika kita membaca puisi penyair Syahruljud Maulana, anggota Omah Puisi dan aktif membidani buletin Lintang, tinggal di Jakarta. Penikmat dongengan ini bisa dihubungi melalui WA : 0838-0746-7311


PUISI DARI SEMUA PUISI By Stephen Fredman Diterjemahkan oleh: Setyowati Wulandari Robert Duncan adalah penyair pertama yang saya kenal, dan terasa berbeda dari penyair lainnya. Kami bertemu pada bulan April 1967, ketika aku masih menjadi mahasiswa tahun pertama di Pomona College California dan dia berada di sana selama seminggu sebagai penyair residensi. Saya belum pernah mendengarnya, tetapi tidak ada yang salah dengan penggila nada tinggi, pemikiran yang ensiklopedis untuk apa pun kecuali ia seorang penyair. Dia tanpa malu-malu jatuh cinta pada puisi, memerhatikan setiap vokal dan koma, terpesona oleh keindahan garis dan bahkan oleh ruang putih di baliknya. Pada hari pertama kami di kelas, ia meminta puisi dari siswanya untuk ia kerjakan. Saya menawarkan salah satu milikku, potret retak komedian W.C. Fields, dengan membayar utang besar untuk perkataan E.E. Cummings. Duncan membacanya dengan keras, tetapi alih-alih memberikan penilaian, seperti yang aku harapkan, dia menggaruk tiga baris pertama di papan tulis dan melanjutkan untuk mengisinya dengan kata-kata seperti Commedia dell'Arte, Aristophanes, Pico della Mirandola, Picasso, Einstein — banyak yang baru bagi saya. "Ini," katanya, "membuat garis silsilah puisi ini."Dengan aroma debu kapur, ia berjalan bolak-balik di depan konstelasi yang telah ia lakukan, menunjukkan garis-garis afiliasi, membangkitkan interaksi matriks historis hingga melampaui isi otak kepalaku. Kemudian ia masuk ke dalam kata-kata puisi itu, berkonsultasi dengan Kamus Inggris Oxford yang berjajar di ambang jendela, mencari penggunaan varian dan mencabut etimologi.

Duncan cukup sadar memainkan peran penyair dan mengasahnya dengan layak untuk semua. Dia melepaskan rapsodi yang penuh kegembiraan, kegilaan, konspirasi bahasa yang berkeliaran di sekitar kelas seperti kelelawar, menyelam dan menukik masuk ke pendengar,memusingkan — gerakan terbang melintasi panjang dan luasnya penemuan manusia. Seolah-olah dia menerima tantangan untuk mempraktikkan seni Emerson, dosen Lyceum besar abad lalu, yang serangan verbalnya dapat mengubah konsepsi diri dan masyarakat menjadi puing-puing — hanya saja seolah-olah Duncan melakukannya dengan steroid. Gagasan-gagasan muncul begitu cepat di otaknya sehingga saling bertabrakan dan menyikut satu sama lain ketika mencoba untuk keluar dari mulutnya, kadang-kadang menyebabkan kegagapan dan perasaan bahwa beberapa garis pemikiran menggulung secara bersamaan di lidahnya. Topik yang ia bahas meliputi seni, sains, klasik, okultisme, dan keseluruhan sejarah sastra — dan itu hanya untuk pemula. Ini berlangsung setiap sore selama lima hari. Sulit untuk menggambarkan konsekuensi dari ledakan mental dalam kepalaku ketika saya mencoba untuk memahami tidak hanya apa yang dikatakan Duncan tetapi juga apa arti berlakunya penyair terhadap konsepsi saya tentang puisi. Ketika saya pindah ke UC Berkeley pada musim gugur berikutnya, saya bertemu dengannya di Telegraph Avenue. Yang mengejutkan saya, dia mengenali saya, dan kami mulai sering bertemu, kadang setiap minggu, selama 13 tahun ke depan. Kisah ini sama sekali tidak unik. Duncan murah hati kepada penyair muda, baik pria maupun wanita, dan meskipun ia jarang mengajar di universitas, ia sangat percaya pada masa-masa belajar secara puitis. Ini melibatkan membaca dan mengomentari puisi seseorang 11


(dia selalu tampak melihat apa yang saya tuju lebih baik daripada yang saya lakukan) dan menyampaikan kegembiraan tentang penyair yang karyanya dipelajari secara mendalam: kaum modernis (terutama wanita yang saat itu tidak disukai, seperti HD (Hilda Doolittle) atau Virginia Woolf), para Objectivists (yang hampir sepenuhnya menghilang dari pandangan), dan anggota lain dari kohort Black Mountain dengan mengidentifikasikannya. Di Bay Area, ia berlatih belajar dan mengajar puisi di luar lingkungan kelembagaan selama beberapa dekade. Pada tahun 1940-an, ia bergabung dengan Jack Spicer, Robin Blaser, dan beberapa penyair lainnya di Berkeley Renaissance, yang memprakarsai avant-garde puisi pascaperang di Pantai Barat. Pada tahun 1950-an, ia merupakan tokoh sentral di San Francisco Renaissance, yang juga melahirkan “Beat Movement” melalui pembacaan Six Gallery yang terkenal pada tahun 1955, di sebuah tempat yang didirikan Duncan dengan mitra lamanya, pelukis Jess (Collins). Banyak penyair di dalam maupun di samping daerah San Francisco bersayap di “Language Poetry Movement” duduk di kaki Duncan atau setidaknya menghadiri pembacaan dan diskusinya pada 1960-an dan 1970-an. Dan pada 1970-an dan 1980-an, ia mengajar generasi baru dalam kursus puisi di New College of California di San Francisco. Puisi-puisinya dapat dianggap sebagai dua hal: internal dan eksternal. Dari kedua perspektif itu, ia memandang sebuah puisi memiliki kehidupannya sendiri, yang meminta penyair untuk bergabung sebagai peserta aktif. Secara internal, dia mengalami nada tubuh tertentu, katanya, ketika dia merasakan sebuah puisi tiba dan tahu dia harus meninggalkan yang lainnya. Dia akan mengambil buku catatannya dan mulai menulis, dalam naskah yang sangat bagus, tanpa perencanaan terlebih dahulu, bergerak dari satu konteks ke konteks lain,

menarik bagian-bagian yang dia salin dari bacaannya, menerima "kesalahan" ketika ia membuatnya untuk maksud tersembunyi yang mungkin mereka ungkap. “A Poem Beginning with a Line by Pindar” misalnya, lepas dari salah baca kreatifnya dalam sebuah puisi yang diterjemahkan, yang kemudian membuka kolase yang menarik dari mitologi, lukisan, kesuksesan presiden Amerika, penyelesaian dari Amerika Barat, dan mimpi buruk masa kecil yang berulang tentang tenggelam. Pada akhir bagian kedua dari empat bagian, Duncan berbicara tentang kecenderungannya untuk melihat kekuatan gelap di dalam jiwa dan di bawah lanskap politik serta harapannya bahwa bentuk-bentuk keberanian baru akan muncul: I see always the under side turning, fumes that injure the tender landscape. From which up break lilac blossoms of courage in daily act striving to meet a natural measure. *(A Poem Beginning with a Line by Pindar-Robert Duncan (1960))

Secara eksternal, ia menganggap dirinya penyair "turunan", dalam arti ia terus-menerus mengutip teks-teks lain, baik puisi maupun prosa, sebagai cara berinteraksi dengan dunia budaya yang lebih luas. Dalam hal ini, bunga lilac mengingat keelokan Whitman untuk Lincoln, “'When Lilacs Last in the Dooryard Bloom’d,” tetapi puisi itu penuh dengan katakata dan gambar dari banyak sumber. Ketika menulis puisi, Duncan adalah pembaca yang kreatif seperti penulis kreatif, dan dia menolak untuk memisahkan kegiatan. Baik sikap eksternal maupun internalnya melibatkan apa yang disebutnya "kepatuhan" terhadap apa pun yang ia rasakan bergerak melalui dirinya. Karena 12


itu, puisi itu bukan obyek melainkan peristiwa atau situasi, dan Duncan mempertahankan kesetiaan seumur hidup terhadap pragmatisme William James dan John Dewey, tentang pengetahuan, tindakan, dan ciptaannya selalu berada dan selalu dalam proses. Keyakinan bahwa puisi tidak hanya berbicara dan tentang kesempatannya tetapi juga berpartisipasi dalam percakapan lintas waktu dan ruang adalah salah satu warisan utama Duncan. Dalam esainya 1967 “Rites of Participation” (kemudian dimasukkan dalam The H.D. Book), ia menyulap sebuah seni yang akan menjadi “symposium of the whole,” yang menyatukan puisi, seni, dan semua budaya manusia sepanjang waktu. Dia memiliki visi puisi di mana seseorang berbicara dengan dan untuk kerabat manusia dengan binatang dan akhirnya dengan semua sel duniawi - suatu kebersamaan dalam "satu nasib" yang dibawa oleh keharusan lingkungan saat itu. Untuk menjadikan nasib ini positif, ia merindukan munculnya komunitas terbuka yang telah ”melampaui realitas bangsa atau ras yang tak tertandingi, Yehuwa yang tak tertandingi dalam bentuk manusia, Kitab atau Visi yang tak tertandingi, spesies yang tiada bandingnya , di mana identitas dapat menahan dan mempertahankan batas-batasnya terhadap wilayah asing. "Alih-alih menjaga perbatasan masyarakat yang dibatasi, ia akan" menyusun “symposium of the whole,” sedemikian totalitas, "di mana" semua perintah lama tidak termasuk harus dimasukkan. Perempuan, kaum proletar, orang asing; hewan dan vegetatif; bawah sadar dan tidak diketahui; penjahat dan kegagalan — semua yang telah diusir dan gelandangan harus kembali untuk diterima dalam penciptaan apa yang kita anggap sebagai kita. ” Untuk membawa visi keutuhan dan keterbukaan ini ke dalam puisinya, Duncan

mengembangkan bentuk-bentuk kolase yang mampu menempatkan materi yang paling beragam dalam kontak dan percakapan. Dalam seri puisi “Passages”, termasuk dalam tiga buku terakhirnya, Bending the Bow (1968), Ground Work: Before the War (1984), and Ground Work II: In the Dark (1988), ia membangun kolase di dalam setiap puisi dan kemudian dalam seri secara keseluruhan, membangun struktur terbuka di mana elemen-elemen secara konstan bergetar dalam harmoni atau pertentangan dengan elemen-elemen lain. Dalam pengantar Bending the Bow, ia berbicara tentang metodenya sebagai "grand collage," yang merupakan "puisi dari semua puisi." Sama seperti fragmen-fragmen yang disusun untuk menyusun kolase visual dengan membawa konteks asli mereka, penggunaan puitis Duncan dari kolase tidak hanya memunculkan keseluruhan teks dari mana ia memilih suatu bagian tetapi juga konteks historis yang mengelilinginya dan percakapan intertekstualnya sendiri. Dia menjelaskan bagaimana proses ini bekerja ketika menyusun bagian pertama "A Poem Beginning with a Line by Pindar": When . . . membaca larut malam baris ketiga dari Pythian Ode pertama dalam terjemahan oleh Wade-Gery dan Bowra, pikiran saya kehilangan akal sehat tentang Pindar dan dihadapkan dengan permainan kata-kata tertentu, sehingga kata-kata ringan: kaki, mendengar, Anda, kecerahan, mulai bergerak di dunia di luar bacaan saya, ini bukan lagi katakata tetapi juga kekuatan dalam Theogony, memiliki resonansi dalam kosmogoni Hesiodic dan Orphic. ... Immediately, pemandangan kanvas besar Goya, yang pernah terlihat di koleksi Marquis de Cambo di Barcelona, ​mendatangi saya. . ... —dari pembangkitan fragmen dari Pindar dan dari penggambaran bergambar Goya untuk menambahkan kekuatan 13


mereka yang agung ke dalam visi saya — visi yang hidup, Cupid dan Psyche, ada di sana; kemudian kekuatan dari tuan ketiga, bukan ahli puisi atau gambar, tetapi bercerita, kekuatan Lucius Apuleius juga ada di sana. "Puisi dari semua puisi" Duncan merupakan aula cermin atau ruang gema yang tak berujung di mana ia bertemu Pindar, Goya, dan Apuleius. Dalam hal ini, puisinya adalah tentang cara membaca puisi atau berpartisipasi dalam kehidupan seni seperti halnya tentang materi pelajaran tertentu. Ini mungkin membuat Duncan tampak "penyair," dan ada beberapa kebenaran dalam karakterisasi itu. Di sisi lain, puisinya sama sekali tidak kering, karena pada dasarnya bersifat erotis dalam arti yang paling luas. Subjeknya adalah cinta, seks, semangat, dan komunitas serta bayang-bayang mereka: kegelapan, perang, rasa sakit, dan kematian. Dalam istilah Freudian, dia adalah penyair Eros dan Thanatos. Dia merasakan kekeluargaan yang mendalam dengan Whitman, dengan siapa dia berbagi semua subjek ini serta homoeroticism bahwa setiap penyair dengan berani menyatakan, dengan caranya sendiri, hampir 100 tahun terpisah. Jawaban Duncan terhadap puisi-puisi Calamus Whitman dalam beberapa hal merupakan deklarasi yang lebih mengejutkan karena sangat eksplisit. Pada tahun 1944, ia menerbitkan sebuah esai di majalah Politics, "The Homosexual in Society," yang, sebagaimana ia refleksikan kemudian, memiliki perbedaan "menjadi diskusi pertama tentang homoseksualitas yang mencakup pengakuan yang jujur ​bahwa penulis sendiri terlibat." Maksud dari esai ini, bagaimanapun, bukanlah pembenaran cinta sesama jenis (yang menurut Duncan tidak diperlukan) tetapi permohonan

untuk homoseksual dan orang lain untuk tidak menyerah pada apa yang kita sebut hari ini "politik identitas." Seperti yang ditulis Duncan , “my view was that minority associations and identifications were an evil wherever they supersede allegiance to . . .the creation of a human community good—the recognition of fellow-manhood.” Setelah berjuang dengan gagah berani demi pandangan bahwa tidak seorang pun boleh direduksi menjadi identitas seksual mereka, ia merasakan beban diskriminasi semacam itu ketika John Crowe Ransom menarik salah satu puisi Duncan dari Review Kenyon karena esainya. Meskipun demikian, esai ini mengumpulkan reputasi bagi penyair muda untuk keberanian, kejujuran, dan kepercayaan diri — kualitas yang menopang kemitraan pernikahannya dengan Jess selama hampir empat dekade. Bersamaan dengan pengakuan eksplisit Duncan tentang homoseksualitas ialah dukungannya yang sama tegasnya untuk penulis wanita, terutama di kalangan kaum Modernis, yang karier anggota wanita mereka hampir terhapus. Hampir sendirian, misalnya, ia mempertahankan reputasi H.D. pada saat puisinya hampir tidak dibaca. Dia menjadi sangat berinvestasi sehingga dia menulis The H.D. Book, dengan 678 halaman, menunjukkan betapa sentralnya dia dalam konsepsi puisi dan berdebat untuk kontribusi sinyal yang dia dan orang lain, seperti Marianne Moore, Virginia Woolf, Gertrude Stein, Mary Butts, Laura Riding, dan Edith Sitwell, dibuat untuk gerakan Modernis yang sebagian besar kritikus diidentifikasi secara eksklusif dengan Yeats, Pound, Eliot, Stevens, Williams, Lawrence, dan Joyce. H. Buku menggabungkan bacaan tajam dari semua penulis ini, baik pria dan wanita, dengan autobiografi pertumbuhan Duncan 14


sebagai penyair. Salah satu tema utamanya adalah puisi berperan sebagai latihan spiritual. Untuk tujuan ini, H.D. adalah contoh sempurna, karena dia, seperti Duncan, terlibat dalam penelitian seumur hidup tentang agama dan ilmu gaib dan berpendapat bahwa puisi mempengaruhi transaksi spiritual. Pada tingkat yang sama ia mengadopsi H.D. sebagai figur ibu pengganti, ia juga mengakui Denise Levertov, yang lebih muda sezamannya, sebagai saudara perempuan, dan ini menghasilkan volume korespondensi yang menempati 857 halaman lainnya. Meskipun ada banyak masalah spiritual dalam puisi yang dikerjakan Duncan dan Levertov dalam percakapan, persahabatan mereka yang erat timbul karena pertanyaan tentang tempat politik dalam puisi selama Perang Vietnam. Sejak awal karirnya, Duncan mengemukakan komunalisme anarkis sebagai cita-cita politiknya, dan selama tahun 1960-an, puisi politiknya mengecam kejahatan AS terhadap kemanusiaan di Vietnam. Tetapi dia memutuskan dengan menyakitkan dan tegas dengan Levertov atas apa yang dia lihat sebagai subordinasi puisinya terhadap protes politik, karena dia percaya puisi mencakup seluruh kehidupan manusia, termasuk perang, dan bahwa berbicara untuk "keseluruhan", sang penyair harus memasukkan — dan dalam pengertian itu menerima tanggung jawab untuk — kekejaman yang mengerikan. Ini mengembalikan kita pada pendapat sentral Duncan bahwa puisi mewakili keterlibatan terdalam dalam kehidupan manusia. Penyair Beat Diane di Prima memiliki pengalaman mendalam tentang Duncan, ia mengajarkan pelajaran bahwa puisi meningkatkan kehidupan. Dalam sebuah wawancara dengan sesama penyair Beat, David Meltzer, ia mengenang, “Robert mungkin salah

satu kekasih paling dekat dan paling intim yang pernah saya miliki, meskipun kami tidak pernah memiliki hubungan fisik. Saya belajar banyak hal dari dia. Salah satu hal yang saya pelajari — dengan cara yang tidak pernah ditunjukkan oleh guru agama Buddha kepada saya — adalah betapa berharganya hidup saya. Betapa berharganya seluruh suasana waktu itu. Rasa menghargai yang sesungguhnya setiap menit. ” Menikmati setiap momen, Duncan juga menantang penyair untuk bertanggung jawab atas semua yang terjadi dalam sebuah puisi — bahkan hal-hal yang tidak 'dimaksudkan'. Menurut Freudian, ia percaya tidak ada hal seperti kesalahan, kebetulan, atau korelasi kebetulan dan bahwa semua yang dilakukan manusia bermakna dan terbuka. Dia terusmenerus menyelidiki dirinya sendiri, tulisannya, dan semua yang dia baca atau lihat atau dengar dengan perhatian penuh yang sama, mencari metafora, korespondensi, dan koneksi lain yang bersaksi tentang apa yang terjadi pada saat itu, baik secara internal maupun eksternal. Seperti seorang guru spiritual, ia bersikeras pada disiplin untuk belajar membaca puisinya, yang pada gilirannya akan membekali pembaca untuk melihat bagaimana puisi meningkatkan pengalaman. Bergabung dengan Levertov dan di Prima, banyak penyair selama hidupnya mengambil Duncan sebagai guru puitis dan banyak lagi yang melakukannya dalam 30 tahun sejak kematiannya, termasuk Michael McClure, Jerome Rothenberg, David Bromige, Susan Howe, Michael Palmer, Nathaniel Mackey, Ron Silliman, Jennifer Moxley, Lisa Jarnot, dan Peter O'Leary. Duncan berdiri dan selalu siap untuk mengajak seseorang masuk ke dalam kehidupan puisi. Pada hari terakhir residensinya di Pomona College, Duncan mengingatkan kami bahwa ia telah membawa salinan bukunya 15


untuk dijual. Saya merogoh saku dan menemukan cukup uang untuk membeli satu. Yang membuatku senang, dia bersikeras untuk menuliskan halaman setengah judul, menggambar anak matahari di atas dan kemudian lingkaran besar di sekitar judul, The Opening of the Field (1960). Di bagian bawah lingkaran ada beberapa garis berlekuk, mungkin untuk menunjukkan sesuatu yang bersembunyi di bawah padang rumput yang dibuat oleh lingkaran. Saya menganggapnya sebagai padang rumput karena dalam puisi pertama, “Often I Am Permitted to Return to a Meadow” - puisi yang melalui beberapa generasi pembaca pertama memasuki alam puisinya — ada "Queen Under The Hill / yang tuan rumahnya merupakan gangguan kata-kata dalam katakata. "Di bawah gambar ini, dia menandatangani," Robert Duncan / at Claremont Colleges / April 1967. " Saya membawa jimat ini kembali ke asrama saya dan menghabiskan sisa semester musim semi, dengan bantuan teman sekamar saya, mencoba untuk berdamai dengan "gangguan kata-kata dalam kata-kata." Kami diyakinkan oleh kroteknik verbal Duncan selama seminggu di kampus itu, seperti lukisan di gua Paleolitik, puisi itu menyimpan harta budaya manusia yang belum terbayangkan dan menawarkan cara-cara baru bagi mereka untuk menerangi sudut-sudut gelap kita sendiri. Tapi nyaris tidak mungkin untuk memahami keseluruhan puisi. Tampaknya pemahaman itu hampir dalam jangkauan: salah satu dari kami akan memperbaiki bagian yang berisi sesuatu yang telah dibahas Duncan, dan kami pergi dan berlari, kami yakin dapat menopang sisa puisi di atas batu fondasi ini. Tetapi seperti tanah liat yang basah, indera kita tentang puisi merosot, makna-makna itu menyimpang dengan penuh bahaya, dan akhirnya puisi itu runtuh menjadi massa tanpa bentuk. Bahkan rasa dari puisi awal

itu, “Often I Am Permitted to Return to a Meadow,” yang judulnya bertindak sebagai baris pertama, mulai menyelinap melalui genggaman saya ketika saya terus membaca: as if it were a scene made-up by the mind, that is not mine, but is a made place, that is mine, it is so near to the heart, an eternal pasture folded in all thought. Kata-kata yang licin itu ialah pikiran, milikku,perbuatan, hati, dan gagasan — bagaimana mereka tumpang tindih dan menyatu, dan bagaimana mereka terpecah? Dari petunjuk yang kuambil menonton Duncan berimprovisasi, saya curiga ada sesuatu yang lebih dipertaruhkan dalam tidak memahami puisinya daripada sekadar ketidaktahuan tentang peta historis yang luas tempat dia melayang. Untuk satu hal, puisi-puisi ini tidak berfungsi seperti teka-teki silang atau kode untuk memecahkan, yang merupakan cara puisi disajikan di sekolah menengah. Aneh untuk mengatakan, seolah-olah pembaca tidak dimaksudkan untuk sepenuhnya memahami mereka. Puisi-puisi itu dengan keras kepala menolak pemahaman, seolah-olah pemahaman adalah semacam pengkhianatan terhadap dasar pemikiran puisi, pengurangan potensi yang terus diperbarui untuk makna. Namun, ketika saya mengakui kualitas yang baru jadi, saya masih belum merasa puas sepenuhnya. Yang benar-benar mengganggu saya adalah berdiri di luar lingkaran puisi itu, yang saya inginkan sangat menyakitkan. Tanpa resolusi logis yang jelas, puisi itu bertindak seperti Zen koan yang menenangkan pikiran atau sebutir pasir yang bergulung-gulung di sekitar kulit kerang otak saya. Gangguan ini menyebar ke semua yang 16


saya baca karena saya selalu mencari cara untuk membaca Duncan. Dari mendengar dia berbicara dan kemudian menyelidiki esainya, saya mengumpulkan bahwa untuk membacanya dengan serius, saya harus menyerap diagram tradisi ketika dia menggambarnya. Saya tidak hanya akan mempelajari buku-buku yang sama sulitnya dengan ramalan William Blake, Louis A Zukofsky dalam puisinya "A," Williams dalam puisinya berjudul Paterson, H.D. dalam Helen in Egypt, Charles Olson dengan puisinya Maximus Poems, dan Pound's dalam Cantos, tetapi saya harus menganggapnya sebagai repositori dari bentuk-bentuk puitis dan pengetahuan spiritual yang menginformasikan puisi Duncan tentang semua puisi. Belajar sebagai bentuk mimikri yang halus tapi kuat. Jika saya bisa membaca sebagai Robert Duncan, maka saya mungkin bisa membaca Robert Duncan. Jika saya bisa membaca Robert Duncan, maka saya mungkin tahu apa yang dituntut puisi dan apa yang dijanjikannya, karena saya belum pernah menemukan orang yang betul-betul betah di dalamnya. Seiring waktu, saya datang untuk meniru Duncan tentang puisi sugestif dengan cara saya sendiri dan untuk menganggap puisi individu, seperti "My Mother Would Be a Falconress," dan sekuens puitis, seperti puisi "Passages", sebagai poin tertinggi dalam puisi Amerika abad ke-20. Kerajinan gambar-gambar yang mencolok dan keberanian untuk membawa bahan-bahan dari setiap bidang aktivitas manusia dan berpikir ke dalam puisi "turunannya" membuatnya penting, baik untuk zamannya sendiri maupun untuk masa-masa sulit di mana kita menemukan diri kita sekarang. Dia sering menyatakan bahwa mulai tahun 1939, dengan mobilisasi total, Amerika Serikat memulai ekonomi perang permanen, dan tampaknya 80 tahun kemudian kita masih terperosok. Di tengah-tengah keputusasaannya atas Perang Vietnam, Duncan

menulis " My Mother Would Be a Falconress," sebuah puisi mimpi di mana ibunya menjadi muse komandan, dan ia mengakui kekerasan dan keinginan pada inti puisi: My mother would be a falconress, and I her gerfalcon, raised at her will, from her wrist sent flying [‌] Ah, but high, high in the air I flew. And far, far beyond the curb of her will, were the blue hills where the falcons nest. And then I saw west to the dying sun— it seemd my human soul went down in flames. I tore at her wrist, at the hold she had for me, until the blood ran hot and I heard her cry out, far, far beyond the curb of her will. Kemampuan untuk menghuni kondisi perang yang menyedihkan ini sebagai fitur intim puisi adalah salah satu keterampilan Duncan yang paling mencolok, dan akan terus memerintahkan pembaca yang menuntut puisi menantang segalanya. Lebih intim lagi, saya masih bisa mendengar suara manik bernada tinggi yang mengagungkan koneksi dari segala jenis yang masih bisa ditemukan. Dengan cara ini, bagi saya dan bagi banyak pembaca lainnya, Duncan sendiri adalah inspirasi. Diterbitkan: 7 Januari 2019 via Poetryfoundation.org (https://www.poetryfoundation.org/articles/1 48874/poetry-of-all-poetries)

Setyowati Wulandari, biasa dipanggil Wulan. Sekarang menjadi pekerja kantoran didaerah pelosok dan penerjemah lepas


Carangan (Cerita Pendek)


Takdir Buruk

BEBERAPA menit sebelum Tokoh Kita mengakui tindak kriminalnya di hadapan seorang opsir polisi, waktu seketika membeku. Ia merasakan gigil di sekujur tubuhnya. Ia masih tidak percaya takdir buruk menimpanya bertubitubi.

Istrinya baru pulang dari rumah sakit—ia memergoki tindak tanduk si Adik yang mencurigakan di kamar mereka, apalagi laci tempat perhiasan sudah setengah terbuka. Jika ia tahu sopan santun aku pasti akan membantunya, kata si Istri.

Sejam yang lalu, di jalan Istal—tepatnya pada gang sempit di antara dua hotel melati—ia menghabisi nyawa Adik laki-lakinya dengan dua belas tusukan.

Lima belas jam sebelum si Adik kepergok Istri Tokoh Kita, Tokoh Kita mengunci paksa si Adik di dalam gudang dan mengeluarkannya lima jam kemudian. Hal ini Tokoh Kita lakukan karena ia tidak punya cara lain untuk menangkal terjadinya hal buruk akibat si Adik yang belum mengonsumsi pil merah.

Dua jam sebelum pembunuhan itu, sepulang dari Bar tempat Tokoh Kita bekerja, ia melihat istrinya terbujur kaku dengan bekas kerat di lehernya. Tokoh Kita menyadari ketika ia melihat ada sesuatu yang ganjil dari kamarnya. Singkatnya, Tokoh Kita tahu siapa pelakunya. Dua belas jam sebelum Istrinya meninggal, si Adik meminta uang kepada Tokoh Kita yang baru saja pulang saat jam istirahat. Tokoh Kita mafhum, uang itu akan digunakan untuk hal buruk, tetapi ia lebih tidak tega lagi melihat si Adik harus merasakan nyeri luar biasa dan mengamuk tanpa sadar karena belum menelan pil merah (salah satu jenis obat terlarang) yang membuatnya kecanduan. Tokoh Kita meminta Istrinya untuk menggadaikan perhiasan karena ia tidak memiliki cukup uang untuk diberikan pada si Adik. Tapi hal itu ditolak keras oleh Istrinya. Mereka berdebat. Perhiasan itu tidak boleh digadai, kata si Istri. Tokoh kita mafhum setelah tahu bahwa empat jam yang lalu—saat

Pukul sebelas malam, tepatnya empat jam sebelum Tokoh Kita sampai di kantor polisi dan mengakui perbuatan kejinya, dokter kenalannya mengirimi pesan pendek. Dokter itu bilang, “Selamat, dari hasil pemeriksaan Istrimu, kau akan menjadi seorang Ayah.”

Doni Ahmadi. Lahir dan tinggal di Jakarta. Menulis cerpen dan esai. Bukunya yang akan terbit, kumpulan cerita "Pengarang Dodit" (Basabasi. 2019)


Kesunyian yang Melamun Matahari di barat mulai mengantuk. Tertunduk lesu mengikuti irama musik Tuhan yang sangat indah melantunkan ritme kehidupan. Halim, di saat macam itu, sedang berdiri memandangi matahari layu di depan matanya dengan senyum yang merekah di bibirnya.

Sungguh Halim gelagapan, bingung. Ia tidak siap dengan pertanyaan-pertanyaan, sebab selama perjalanan itu ia tak pernah membuat pertanyaan bahkan untuk dirinya sendiri. Sehingga jawaban merupakan hal asing yang belum pernah masuk ke dalam file informasinya sedikitpun.

Halim sangat tahu bahwa matahari tak pernah ingkar akan takdir yang telah digariskan kepadanya. Ia taat kepada lintasan, sebab jika ia mangkir sedikit saja dari garisnya, akan terjadi ketidakseimbangan bagi alam semesta. Maka dari itu, senyum di bibir Halim juga diarifi olehnya sebagai bentuk ketaatan kepada hukum fitrah manusia, bahwa ia akan tersenyum ketika mendapati jiwa sedang berseri bahagia.

Ia hanya mampu menjawab dengan terbata-bata, "Saya tidak tahu." Si prajurit marah. Ia todongkan pistol ke kepala Halim sambil berseloroh, "Walau kau tidak mengerti seribu bahasa pun, Raja tak akan pernah bisa kau bohongi dengan alasan palsu yang menempel di jidat majikanmu!"

Lamunan kesunyian itu menerbangkan jiwanya ke awang-uwung. Menerobos berlaksalaksa cahaya. Jatuh sebentar. Tapi kemudian bangkit lagi. Hingga akhirnya berhenti pada segumpal daging di dalam tubuhnya. Satu. Saat Halim berangkat menuju tempat pesanggrahan raja kehidupan dengan mengendarai cinta dan kasih sayang itu, ia bertemu dengan prajurit raja di tengah jalan. Ditanyailah ia oleh si prajurit, "Lim, sebelum kau menemui Sang Raja, setidaknya kau harus bisa menjawab satu pertanyaanku ini: apakah hatimu sekarang sudah betul-betul menyampaikan keinginan untuk bertemu Sang Raja?"

Dua. Secara sadar, Halim tahu apa yang dilakukannya menyalahi kodratnya sebagai manusia. Hal-hal yang semestinya dijauhi, olehnya malah didekati, dipacari, lantas dicumbui habis-habisan. Tetapi kesadaran itu hanya dijadikan potensi di dalam dirinya, dan tak pernah sekalipun tebersit keinginan untuk mendayagunakan potensi tersebut. Mata Halim nanar memandangi matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Jiwanya merah, semerah warna langit senja yang mengelilinginya. Yang tersisa pada hidupnya kini hanyalah penyesalan tiada tara atas ketidakmampuannya sendiri. Yang terapung di atas nasibnya kini hanyalah rasa bersalah yang tak mampu ia lampiaskan.

20


Tiga. Lagi-lagi Halim tergeletak lemas memandangi dirinya sendiri di depan cermin. Baju lusuh hombreng, celana penuh tambalan, serta penampilan rambut acak-acakan, bagi pandangan mata Halim merupakan sebaik-baik tampilan melebihi setelan hypebeast kawankawan seperguruannya dulu. Semua sudah tak bisa diubah. Seluruh keterlanjuran itu merupakan ujung muara keragu-raguan yang dulu ia tampilkan seolah menjadi kebenaran paling absah. Matahari yang sebentar lagi lenyap itu juga ikut bubrah sebab lamunan kesunyian Halim. Namun tiba-tiba lamunan itu buyar. Kawannya berteriak lantang di ujung lorong, "Hoi, Lim, jangan karena kau mampu bermainmain dengan nasib, lantas kau tega permainkan nasib alam semesta!"

Azka Elfaatih, Tukang bikin tulisan biasa saja bernuansa Serampangan.


Lahir Kembali Aku membuka mata dengan sangat lunglai dan sayu pagi ini. Malam tadi memang sedikit kurang ajar, dia menghajar wajahku sekaligus menikam hatiku. Malam memang rahasia, entah bersemayam benda apa di balik langit hitamnya. Yang pasti kini mataku telah terbuka sepenuhnya di pagi buta yang cukup janggal. Kutoleh wajah ke sebelah kanan. Ada sesosok aneh terbujur di sana. Segera kuuluk salam. "Halo selamat pagi, hmm bagaimana aku memanggilmu? Sedang apa di sini? Apakah Tuhan mengutusmu untuk mengantarkan segelas teh hangat pembuka hari?� Sosoknya memang aneh. Tak jelas apakah ia lelaki atau perempuan. Air wajahnya tenang dan hangat, maka kupikir ia utusan Tuhan untuk mengantar segelas minuman pagi layaknya pegawai hotel. Tapi ia terus memandangiku sambil tersenyum. Menatap mataku dalam-dalam. Seperti ada yang ingin ia rengkuh dari balik bola mataku. Kini aku yang merasa ngeri. "Halo selamat pagi! Tak usah merasa ngeri denganku. Aku membawa kabar baik untuk dirimu. Selamat, engkau telah lahir kembali!" Begitu ia membuka percakapan. Bukannya merasa lega, tambah ngeri aku melihatnya. Lho, bagaimana tak ngeri. Ia memberi selamat atas kelahiranku, padahal aku

sudah hadir di dunia sejak lima dasawarsa yang lalu. Dan sepanjang kurun waktu itu aku menjalani hidup sebagaimana layaknya orang. Aku menikahi seorang perempuan, aku bekerja, aku menafkahi keluarga dan mencoba membangun kebahagiaan. Naik turun kehidupan telah aku rasakan. Badai demi badai aku lewati. Aku melihat banyak warna dalam kehidupan hingga usiaku yang menginjak setengah abad ini. Aku mengamati banyak gerak terjadi di atas bumi. Aku hampir sampai di ujung. Tapi apa maksud dari "selamat, engkau telah lahir kembali!"? Ibuku hanya melahirkanku sekali dalam kehidupan ini. Dan kematiannya setelah itu pun hanya terjadi sekali. Lalu apa maksudnya lahir kembali? Apakah dunia meminta kematian ibuku untuk kedua kalinya? Dan itu juga berarti ia meminta agar aku terjatuh dalam penyesalan untuk kedua kalinya? Memang, kalau mengingat ibuku yang mati setelah melahirkanku, rasanya aku ingin ikut mati saja. Aku selalu tak tahan bila terlalu lama berdiri menghadap cermin. Sebab di dalam cermin itu kutemui seorang pembunuh besar yang dengan tega membunuh ibunya sendiri demi hadir di dunia. Sama menyesalnya dengan apabila kuingat-ingat nasib kedua putriku yang malang. Binnur yang meregang nyawa di dalam rahim ibunya, dan Salsabil yang tenggelam di laut lepas setelah kapal yang ia tunggangi bersama kawan-kawannya karam. Dua kejadian itu seakan selalu meminta tempat terluas di dalam tempurung kepalaku. Dan dari dalam sana ia cabik-cabik nyawaku secara berkala dan perlahan. 22


Untung ada Adiba, istriku, yang lebih kuat otot-otot hatinya. Seorang perempuan yang sangat lembut, sejuk, dan mencintaiku sepenuhnya. Tingkah lakunya selama mengarungi kehidupan berkeluarga denganku bagaikan udara. Aku bernafas melalui tiap tutur katanya. Ia juga yang selalu berhasil menguatkanku dari segala cobaan. Seorang perempuan yang sangat lentera. Dan atas jasanya aku selalu berhasil melewati kegelapan. Ketika dokter mengatakan bahwa Binnur telah meninggal dunia, mungkin ia satu-satunya perempuan di dunia yang mampu berkata: "Mas, Binnur anakmu, yang telah engkau namai sejak awal kabar kehamilanku ini benar-benar hadir sebagai bukti bahwa Allah menyayangi keluarga kita. Nyawanya melayang di dalam rahimku. Apakah engkau ingat bahwa sifat utama Allah adalah Ar-Rahim? Aku sangat berbahagia hari ini, Binnur benar-benar merelakan hidupnya jatuh ke dalam pelukan kasih dan sayang-Nya. Pergi menuju Allah ArRahim dari dalam rahimku." Dahsyat bukan? Belum lagi kalau kuingat ucapannya begitu mendengar kabar bahwa kapal yang dinaiki Salsabil karam di tengah lautan. Aku yang hampir remuk dan memutuskan bunuh diri merasa malu begitu ia datang mengusap pundakku sambil mengatakan: "Tak ada segala sesuatu yang terjadi di dunia ini selain atas kehendak cintaNya, mas. Aku pun sangat hancur mendengar kabar ini. Padahal baru saja kucium keningnya pagi tadi. Namun ternyata hatikulah yang tak mampu merasakan kehadiran-Nya. Salsabil adalah mata air. Dan Allah menjemputnya pada waktu dan tempat yang sangat sesuai. Nama adalah doa, mas, dan engkau benar-benar tepat memberikan doa kepada anak kita itu."

Adiba. Aku seseorang yang lemah sebelum ia menggenggam tanganku. Mataku tertutup sebelum ia membukanya. Hatiku kalang kabut sebelum ia menjinakkan dengan cintanya. Kini mungkin aku telah menjadi seorang lelaki yang utuh berkatnya. Banyak makna dari suatu kata dalam kehidupan yang kurombak semenjak Adiba berada di sisiku. Kehidupan, kematian, musibah, kebahagiaan, kesedihan, Tuhan, alam, penderitaan, benar-benar berubah dalam pandanganku. Dan semua itu berkat Adiba yang dengan penuh kesabaran mengasuh jiwaku dari hari ke hari. Tapi apa maksud dari ucapan sosok aneh di sampingku ini? "Selamat, engkau telah lahir kembali!" Sosok itu masih berada di sampingku. Dengan tatapan yang sama. Belum beranjak. Ia terus memandangiku dan mencoba merengkuh apa yang bersemayam di balik kedua bola mataku. Aku mencoba bangkit dari ranjang, mengelilingi seisi rumah. Ternyata Adiba belum kembali dari pasar. Kuputuskan untuk kembali ke kamar dan tidur. Puji syukur, sosok aneh itu telah lenyap. Kurebahkan badan kembali, dan kucoba perlahan menutup mataku yang memang masih merasakan kantuk yang berat ini. Pandangan berubah gelap, aku menuju alam bawah sadar. Sekeliling berubah senyap. Dingin memenuhi ruangan. Dari kegelapan itu tiba-tiba muncul wajah Ibuku, Salsabil, dan setitik cahaya yang mungkin adalah Binnur. "Selamat, engkau telah lahir kembali!"

Mungkin aku terlahir sebagai lelaki yang tak sempurna kelelakianku sebelum menikahi Sobrun Jamil, pemuda kelahiran Pekalongan, 14 Desember 1997. Anggota aktif Omah Puisi. Saat ini tinggal di Pamulang. Bisa dihubungi melalui akun Instagram @sobrunjamil_ .


Layar

(CatatanFilm)


Kokohnya Keluarga Cemara Milenial

J

ika sebuah fiksi yang baik adalah fiksi yang terasa bagaikan non-fiksi, atau pun begitu juga sebaliknya. Maka, Film Keluarga Cemara yang baru dirilis 3 Januari 2019 ini, selain menawarkan “fiksi yang baik”, juga menawarkan “klise” yang menyenangkan. Setidaknya, itu yang saya dan penonton lainnya, mungkin rasakan. Sepanjang film diputar, kita dibuat betul-betul benar menebak jalan cerita, namun dengan sensasi melegakan. Hal yang menimbulkan kesan saya di awal adalah kuatnya realisme cerita yang ditawarkan: sesuai kontekstual zaman, terasa begitu romantik walau agak berlebihan di beberapa sisi. Peran antagonis di sini pun dibuat betulbetul manusiawi. Tidak hitam-puitih, dan adil sejak dari dalam cerita. Debt collector yang menyita rumah mewah Abah di dalam film ini pun sampai sudi berkata “bukan saya yang jahat” dan mau “bernegosiasi” dengan pemilik rumah, hingga jelas siapa yang sebenarnya bersalah. Atau, lebih berkesannya lagi, kedewasaan remaja labil macam Euis yang

keluar dari group dance-nya dengan cukup getir, namun tanpa adanya caci maki di antara mereka. Orangtua dan Kepemimpinan Anggota yang baik berpangkal dari pemimpin yang baik. Sistem yang sehat pun mustahil tanpa disertai kepemimpinan yang bijaksana. Orang tua dalam Keluarga Cemara ini ditampilkan penuh wibawa dan tanggung jawab, walau agak terasa memaksakan pada diri Abah. Meskipun, narasi yang ditawarkan agak (jika sungkan menyebutnya masih) terasa “kebapak-isme”-an, justru di situlah pesan nilai kepemimpinan terasa begitu tersampaikan – mengingat di tengah derasnya arus tekanan tahun politik; tahun di mana orang tak lagi ingat nilai-nilai kepemimpinan, yang mereka tahu hanya kami, kalian dan mereka. Ya, kepemimpinan dalam Keluarga Cemara ini digambarkan lebih condong pada figur lelaki. Tidak hanya peran Abah yang terlalu memaksakan kehendak hingga tergelincir saat jadi kuli, tapi juga Pak Guru Gading yang amat 25


ramah dan pengertian pada Euis dan kawankawan. Peran wanita terasa seperti penjaga rumah, saat Emak dan Ceu Salma terlibat proses negosiasi pembatalan penjualan rumah warisan pada Tante Pressier yang dingin. Di satu sisi, ini bisa menjadi disfungsi, di mana peran kepemimpinan lelaki dan perempuan yang tertukar. . Ada satu scene yang cukup wagu: saat Abah dan Emak berpelukan di saat hujan. Scene itu mengingatkan saya dengan Surat dari Praha, film yang juga diproduksi Visinema. Terasa wagu, karena di saat kondisi setertekan itu kok sempat-sempatnya beromantis ria? Ternyata itulah mungkin penyebab Emak hamil lagi. Sungguh “kecelakaan” yang mengganjal. Seperti mengulang kewaguan dalam Surat dari Praha, saat Jaya sebagai ayah memeluk Larasati sebagai anak yang lama tak berjumpa. Orangtua dalam kedua film tersebut digambarkan sebagai pemimpin dengan keromantisan yang akut dan sembrono. Menyingkirkan Stigma Milenial Yang membedakan Keluarga Cemara dulu dan sekarang, tentu adalah zaman. Tiap zaman selalu melahirkan pola pikir, trend, dan segudang produk kebudayaan. Anak-anak dalam Keluarga Cemara milenial ini dicitrakan dengan karakter yang jauh dari stigma “generasi micin” – yang seringkali dianggap sebagai sekumpulan anak-anak tak bernalar, gila trend, dan mengutuk budaya masa lalu. Di satu sisi, ini merupakan harapan atau sebuah inspirasi yang menarik. Namun, bisa juga dilihat sebagai utopi atau eskapisme belaka Hal yang cukup mengganjal di benak saya, adalah ketika anak-anak itu berkumpul dan menyanyikan sebuah lagu nostalgia era 80'an. Pasalnya, tak ada alasan mengapa

mereka bisa memiliki pengetahuan musik sejauh itu di usia mereka. Mungkin, hal itu bisa terbantah dengan argumen bahwa fiksi dan fakta mestilah berjarak. Namun, bermain-main dengan tempelan seperti ini justru membuatnya terasa berlebihan dan sangat disayangkan. Stigma yang berkembang di masyarakat semestinya perlu ditampilkan juga. Film sebagai potret sosial perlu menampilkan daya tawar dan pertimbangan nilai-nilai kebenaran. Jika suatu film menawarkan daya tanding tanpa menghadirkan realitas sosial di zamannya, tentu terkesan sebagai romantisme dan heroisme belaka. Kesederhanaan yang Membuatnya Kuat Salah satu hal yang membuat film ini terlihat canggih dan tidak sederhana, adalah sinematografinya. Pengambilan gambar terasa begitu pas ditambah dengan sentuhan warna yang menghangatkan. Salah satu scene dengan tone warna paling menyentuh, adalah saat Abah berdiri di sebelah kereta yang sedang melintas. Pesan visual tekanan sosial itu begitu terasa: kereta yang mengangkut para pencari nafkah, sementara di luar sana ada orang-orang yang termangu macam Abah. Klise? Mungkin. Tapi cukup puitis, dan tepat guna. Sebagai debut, Yandy Laurens betulbetul beruntung mendapatkan pemain dengan kualitas mumpuni macam Ringgo dan Nirina. Juga karakter pemain yang begitu pas, seperti Widuri Sasono dan Adhisty Zahra. Tolok ukur kualitas Yandy baru betul-betul bisa diperhitungkan hingga dua film ke depan, layaknya standardisasi tiga album pertama sebuah band. Paling tidak, dari Keluarga Cemara ini kita tahu bahwa Yandy begitu memikat dengan strategi “panas-dingin”-nya: menampilkan cerita yang hangat dan visual 26


yang sejuk. Secara skenario, campur tangan Gina S Noer tentu tak dapat diragukan lagi. Sederhana tidaklah mudah, apalagi dalam berkarya. Ada saja godaan untuk berpretensi demi sensasi dan ratting. Kesederhanaan itulah yang membuat Keluarga Cemara terasa sayang untuk ditinggalkan. Keluarga Cemara milenial yang kokoh, namun terasa rapuh di sebagian tangkainya.

Riyadijoko Prastiyo, Budayawan mbeling yang bermukim di Selatan Tangerang.


mBelik (Puisi)


Puisi – puisi Astrajingga Asmasubrata :

JOUISSANCE perihal sepi apa yang akan kamu rasakan? tentu ia hanya belaka selebihnya ia sekadar jeda membikin apa yang tampak di dalam dan luar diri seolah tak semarak

MENEPI KE TEGOWANU

kamu tentu paham perkara waktu yang bukan berputar melainkan berlalu menyuguhkan sebuah saat

Panjangkan pandangmu Di jembatan rawa Tegowanu Tunggulah, sunyi akan bergetar Dan bau anyir itu Tercium juga di hidung yang radang

yang berkisar kini atau nanti dengan sejumlah mungkin atas tanya yang ditakzimi sebagai kira cermatlah jika sepi tiba adalah isyarat agar kamu ziarah menemu diri yang sementara seolah melenyut di lubuk duli (Sorowajan, 2018)

Tentu tak ada rumpun kembang Hanya rumput kering Terbakar terik matahari, meski Pada kegersangan itu kau dengar juga Jerit kengerian yang merah Apa yang menyembul di benakmu Dari 52 tahun sejarah kelam Adalah rahasia terpendam Yang sengaja diluputkan Dan diabaikan sebuah Buku Hitam Pada seantero pandang Di parit kumuh itu kau dengar juga Luapan harapan untuk ditemukan Bukan sebagai korban Hanya secuil ingatan Sebuah bangsa yang beranjak dewasa Yang hendak kau akrabi kini (Sorowajan, 2018)

Astrajingga Asmasubrata, Buku puisi yang telah terbit: Ritus Khayali (2016), Miryam Dan Bayangan Dari Yang Berlalu (2017), Instalasi: Pandangan Yang Miring (2018)


Puisi-puisi Arco Transept :

HIMNE DESEMBER 1/ Sisa dari malam hanya gigil tubuh bergelut dalam tabah waktu Menjalar serupa jarum yang mencair di darah, sekiranya kehilangan bicara dari waktu ke waktu untuk kau dan aku

2/ Di luar kehendak kau menenggak anggur di bawah daun-daun gugur

saling bersisian di muka malam tapi tak sejalan di kaki pagi

Hingga mabuk dan menjatuhkan rindu di atas daun lotus

semisal kau bayangan aku suguhkan cermin semisal kau ruang, aku cahaya dan di antara kesepian kita raung sajaknya

Di situ kesedihanmu saksama kudengar seperti suara lebah di sekitarku, tapi tak terlihat

selalu ada kita dalam taman kata di halaman semesta atau sampul muka buku puisi usai kita baca kita lipat segala yang bernama silam menyala di luar jendela 2018 30


DYSPHORIC DISORDER Aku terus memetik gitar di dalam kamar, memagut kata dan mengobarkan irama, sambil mengubur kebisingan kota, merobek spanduk-spanduk kampanye, dan suara-suara politik di televisi yang semakin hari mengasingkan hari-hariku dari ibadah sepi menjadi bid'ah untuk bunuh diri karena telah hidup di zaman mata telanjang yang melihat domba di kepalaku dan di kepalamu, menjadikan rumah sebagai arena adu cemburu. Sambil bernyanyi, kau duduk di sampingku sambil menyulam syal hitam dan putih, mengatasi kesepian ruang-ruang saat angka di kalender menjadi pucat dan dindingnya semakin keriput, bagai kota-kota kehilangan hutan bagi hujan, kehilangan tanah bagi langkah anak-anak. Pagi yang embun di mataku akan berganti debu sisa-sisa reruntuhan seperti masa silam yang beranak-pinak membangun pilu untuk mengingat pelukan kita pernah menjadi cukup untuk mencakar langit biru. Kau dan sebuah kota sama saja. Lalu lintasnya kacau. Tak bisa membedakan antara aku dan kenangan yang kau bilang telah mati. Karena di sana, saat aku masuk ke lembar-lembar tubuhmu, aku melihat kau seperti anna karenina yang mengakhiri kegelisahan dan membiarkan cinta hidup di kepala mereka dengan cara yang tak lazim di stasiun kota. Sementara pepohonan di dada dan bahumu tumbang, hingga tak ada tempat paling teduh untuk bersembunyi dari raung matahari, kecuali di matamu yang penuh luka, agar aku selalu takzim pada ketabahanmu merawat musim.

Arco Transept, 15 September. Buku puisinya Protokol Hujan (Indiebook Corner, Yogyakarta/2016). Didera Deru Kedai Kuala (Taresi Publisher, Bekasi/2017) Beberapa puisinya pernah dimuat di media massa dan internet.


Puisi-puisi Mahwi Air Tawar :

Impian Kuimpikan hari-hari bercahaya dalam pengap gelap kutukan pintumu kuketuk hanya di hari-hari nyeri Kulagukan segala kesenduan dalam sumbang nada nafasmu getarkan dada Kumadahkan ayatmu suci dalam rindu, dalam nadi cintaku bara di tungku pisau tak berulu.

Stasiun Malam Perhatian, perhatian Penumpang jurusan stasiun fajar Segera mengemasi barang bawaan dan menyimpannya di gerbong bertanda sulur Baju, celana dalam, dan selendang dengan motif kenangan disimpan di pojok petang Perhatian, perhatian Kereta segera tiba di stasiun transit Kenangan menjelangnya ke tubir pagi Sang masinis berselempang subuh berjalan lambat lewati mimpi; senyuman hangat keluarga di halaman rumah dengan tanda cinta dan rindu mohon jangan sampa tertinggal di gerbong bergambar nanar matahari. Penumpang, penumpang Mohon segera bersiap Kereta akan segera tiba Barang bawaan: kenangan Dan kerinduan harap diselipkan Dalam lipatan peta perjalanan

32


Dari Stasiun Blitar Kereta jurusan sepuluh November lintasi empatpuluh lima stasiun keheningan di jalur-jalur runcing perlintasan di denyut-denyut stasiun dewangga Penumpang, sudi kiranya terbangkan garuda dari lima jendela dan runcing doa dalam dada dimohon kepada penumpang bermantel harapan agar memberi tempat kepada sepuluh pemuda dan bila putra Sang Fajar tiba, guncangan di jalur rawan kusam pandangan kan membubung mengasapi bulan sepuluh kepalan berdenyut di dada sepuluh kepakan nusantara garuda sepuluh harapan denyutkan nadi sila sepuluh pemuda kan guncang dunia Penumpang jurusan sepuluh November kereta jurusan masa depan akan segera tiba diharap segala barang bawaan tak tertinggal bagi yang hendak turun diharap senyapkan duka di depan gerbang stasiun sangsaka impian bangsa dan bagi anda yang hendak melanjutkan perjalanan diharap tak retakkan lima jendela, juga peta petunjuk arah selamat jalan penumpang, selamat tinggal pelintasan berpalang remuka dukana.

Mahwi Air Tawar, lahir dan besar di Sumenep. Menulis puisi dan cerpen. Karya-karyanya dimuat di pelbagai media, Jawa Pos Kompas, Suara Merdeka, Horison, Jurnal Cerpen dll. Cerpen dan puisi terhimpun dalam antologi bersama. Buku kumpulan puisinya Taneyan (2015), Tanah Air Puisi, Air Tanah Puisi (2016), Perjumpaan, Pengembaraan, Puisi (2018). Buku kumpulan cerpennya Blater (2018), dan Karapan Laut (2015). Saat ini Mahwi tinggal di Pondok Cabe.


Capres Sastra

(Catatan Apresiasi Sastra)


Rendra di Masa Depan yang Silam Serapan diskusi bulanan Pustaka Rendra bersama Elena Coletta dan Paolino Severino bertajuk “Elena Talks: Melintasi 11 Negara Memburu Rendra”

Pada (22/12) menjelang tengah malam, telah selesailah kegiatan rutinan, yaitu diskusi bulanan “Pustaka Rendra”. Bertempat di “Purnama Aula Rendra”, di halaman (Universitas) Bengkel Teater Rendra. “Pustaka Rendra”, menurut saya, adalah suatu upaya menawarkan ruang pergumulan kreatif dan oral histori tentang perjalanan rekreatif Rendra; secara persona dalam gerak kehidupan alam dan dunianya. Baik secara tradisi diskursif ataupun komprehensif. Mungkin demikian maksudnya, sekadar mengenalkan lebih jauh siapa dan apa—yang bagaimana sosok Rendra di masa depan yang silam nantinya, selain itu juga sebagai sumber perluasan wawasan dan pendalaman pandangan perihal Rendra atas sumbangan dedikasi hidupnya bagi kerja-kerja kebudayaan, kesenian, pendidikan, sosial, politik, dan semacamnya. Sejak November lalu, “Pustaka Rendra” mulai merintis kegiatan rutin, diskusi sebulan sekali. Tentu saja, selalu ada hal menarik serta bugar, bagi saya, ketika datang di bulan sebelumnya, dan lalu kedua kalinya, saat di penghujung akhir tahun; bulan Desember. Menariknya, karena apa yang diperbincangkan berdasar pengalaman, tidak melulu tekstual sebagaimana umum biasa saya pahami sebagai bahan membaca Rendra. Kebugarannya, disebabkan oleh ketersentuhan langsung dengan Rendra, jadi jelas bahwa bincangbincang bersama tersebut menempatkan Rendra sebagai subyek utama, khususnya sebagai manusia, mungkin juga rakyat biasa.

Pengalaman adalah buku-buku yang terus berjalan dari masa ke masa, posisi Rendra sebagai subyek merupakan salah satu gerak jalan kebudayaan: mau dibawa ke mana? Ke mana tujuannya? Bagaimana menempuh trayeknya? Maka, atas nama pengalaman para pembicara tatkala pernah bersama Rendra, entah ketersembangunnya karena terlibat berproses atau memang ada hubungan kekerabatan, hal itu intinya merupakan jalur terbuka dan masih bebas untuk kita (generasi baru) agar menyerap, mengelola, dan mendayagunakannya kembali. Pokoknya bisa menjadi vitamin bandingan dan asupan tandingan yang membebaskan atas pembacaan konvensional (tekstual) Rendra selama ini. Biasanya, satu-satunya sumber bagi generasi muda ketika membaca Rendra (baik karya dan pengalaman kehidupannya), berangkatnya dari buku ke buku, serta fragmenfragmen yang banyak tersebar di media massa. Faktor paling mutakhir dikarenakan perbedaan usia (dua masa yang terlampau berbeda bagi seseorang dari generasi muda dengan Rendra), sehingga tak jarang, bahkan sedikit sekali yang pernah bertemu langsung, atau pernah menonton pementasannya Bengkel Teater Rendra. Namun, betapapun itu, anggaplah bagian keberuntungan, sebab generasi muda tersebut, sedia mencari apa yang baru kita ketahui tentang Rendra melalui rentetan pengalaman para pembicara. Artinya, peristiwa Rendra merupakan bahan pengajaran sekalian pendidikan.

35


Itupun kalau kita mau belajar kepada kehidupan Rendra; melewati teks karya sastra (Rendra) sebagai cermin kehidupan, dan terutama, kesadaran akan aplikatif nilai-nilai kebudayaan serta kehidupan Rendra dalam laku-lampah kesehariannya. Walaupun, kesaksian ataupun pengakuan berupa wawancara serta tulisan tentang Rendra sebenarnya juga hamparan nilai-nilai yang tergambar. Tapi, entah kenapa, pengalaman yang terungkap melalui tuturan pada setiap diskusi bulanan “Pustaka Rendra� selalu berusaha menegaskan sesuatu pada saya. Bahwasanya, apa saja yang ditulis di media massa ataupun dibukukan mengenai Rendra adalah hal-hal percobaan (mempertimbangkan proses) yang erat hubungannya dengan karyanya, pertunjukannya, lebih jauh lagi menguak proses kreatifnya. Sedangkan di lain sisi, sewaktu diskusi berlangsung, hal-hal yang diperbincangkan ialah kehidupan Rendra dalam keseharian, itu dijadikan bahan pergumulan yang menjurus ke rekreatif Rendra—yang kemudian membentuk pola kesadaran kreatif dan mengembangkan bakat (secara alam dan intelektual) tradisi kepenulisannya; melalui penyatuan dalam kesaksian. Menurut Rendra, begitu itu berumah di angin. Bisa dikatakan, hal di atas sejalan, dengan perkembangan sosiologi dan tradisi kebudayaan di masa lampau kita lebih dekat kepada dongeng. Artinya, budaya lisan merawat pendengaran kita untuk lebih bisa mendengar segala sesuatu. Akan tetapi, bukan berarti kita boleh menampik budaya tulis sebagaimana terlihat oleh mata baca. Sebab, dalam kitab suci Al-Qur'an, Allah telah menegaskan bahwa maksudnya telinga lebih dulu dikatakan, kemudian baru mata. Mendengar didahulukan, lalu melihat dengan membacanya.

Maka tidaklah mengherankan, jika pembicaraan tentang pengalaman Rendra jauh lebih menarik (tantangan pendengaran) perhatian saya daripada saya membaca proses interpretasi penulis mengenai karya Rendra. Walaupun juga keduanya saling dibutuhkan; bahan pembelajaraan keseimbangan. *** Kebutuhan mendengar, bagi saya, mengingat pentingnya keterbatasan kemampuan manusia serta latihan mem-puasa-i segala informasi yang dirasa perlu. Supaya daya pendengaran mengalami perkembangan. Supaya kita senantiasa tergerak rasa ingin tahunya. Supaya benteng pertahanan diri dalam pengelolaan dan pengendalian saya tetap terjaga. Supaya tidak terlampau paham pada sesuatu hal yang bisa berakibat hampa. Maka, salah satu kegembiraan saya saat menikmati bincang bersama Elena Coletta, Paolino Severino, beserta eMak Ida (Ken Zuraida); istri mendiang almarhum Rendra. Adalah ketika saya tidak mencoba lebih jauh dan menggali lebih banyak dari pertanyaan tentang Rendra yang bisa saja saya ajukan, walaupun kesempatan untuk itu sangat amat terbuka. Bahkan, kalau mau semalam suntuk bisa juga saya membujuk mereka agar menangkis tembakan pertanyaan-pertanyaan saya seputar Rendra dan pola hidup kebudayaannya. Alhasil, semua pertanyaan saya masih tersimpan dalam benak saya. Biarlah pertanyaan terus melahirkan pertanyaan baru, sehingga jawaban atas pertanyaan itu nanti bisa jadi sangat tidak terbatas dan terlampau bertumpuk-tumpuk. Tapi kemudian ada hikmahnya juga, bukan kepalang main gembiranya, entah 36


anugerah atau karunia Allah, saya seperti ditransfer suatu rumusan sastra oleh Rendra dari kehidupan lain; yaitu “keterbacaan, keterhubungan, dan implikasi (keterjaringan atau keterkoneksian).” Rumusan itupun belum usai saya pahami, apakah itu teori penerapan sastra? Metode penelaahan karya sastra? Atau paket peralatan pembedahan kritik sastra?

“Buku Harian Sepeda Motor” karya Che Guevara. Mereka menyusuri Amerika Latin dengan mengendarai sepeda motor namanya “La Poderosa II” atau “Si Kuat”. Lain Che lain Elena, lain Amerika latin lain Italia; Che dengan motornya bersama sahabatnya, sedangkan Elena dengan mobilnya bersama kekasih yang suaminya, Paulino.

Lain waktu mungkin akan saya bahas. Barangkali, salah seorang teman—yang tak disadari—rela membaca tulisan ini, dapat merasa tergugah dan memiliki ketertarikan lebih lanjut menguraikan rumusan sastra tersebut. Tentu, pasti akan lebih menarik. Lagipula, rumusan sastra di atas sengaja saya catat supaya pembaca bisa menyadari suatu hal substansial, apakah itu penting? Harus? Perlu? Dilupakan? Atau seperti kelakar eMak Ida tentang suaminya, bahwa Rendra sering mencatat banyak hal dan senang menuliskan sedikit hal untuk disimpan, tapi semua itu luput dan sia-sia dari ingatannya, karena mengingat adalah melupakan banyak hal-hal.

Che keliling Amerika Latin berkat gerak rasa kemanusiaannya. Elena melintasi 11 negara hanya untuk memburu Rendra karena, baginya, apa yang ditulis Rendra dalam karyanya itu sejalan dengan pemikiran Elena dan Paulino; tentang desakan kritik sosial, kritik politik, dan lain sebagainya.

*** Perlu diketahui, serapan ini akan jauh berbeda dari reportase pada umumnya. Karena saya tidak berniat menirukan apapun dalam kehendak kepenulisan. Saya membiarkan ingatan saya yang begitu pendek tentang panjangnya cerita pengalaman, dan memori otak saya sedemikian terbatas untuk merangkum banyak hal. Oleh karena itu, apa yang saya tuliskan seperti aliran yang mengalir begitu saja. Hal-hal yang kemudian saya ingat, pasti nanti berloncatan dan berdesakan meminta tempat untuk ditulis. Kisah yang berdasarkan pengalaman ini bermula “Melintasi 11 Negara, Memburu Rendra”. Seperti kisah petualangan Che Guevara dan sahabatnya Alberto, yang terkenal melalui

Elena pun jadi bertanya kepada para hadirin (rerata dominan generasi muda), yaitu apa kesan pertama kalian, menurut suatu hal yang sebegitu tertarik oleh Rendra? Satu orang menjawab. Lainnya diam saja, termasuk saya. Dalam hati, diam-diam saya membatin jawabannya (kisah perjumpaan batin antara saya dengan Rendra, dan akhirnya, setelah mengendap sekian lama kini keluar juga) begini: Kali pertama, diperkenalkan sosok Rendra oleh Bapak beserta kawan-kawannya dulu, yang sering datang ke gelaran konser Swami dan Kantata Takwa. Entahlah, waktu itu saya diajak atau malah tidak pernah ikut. Tapi, suatu hari masa kecil saya bertanya, itu apa namanya? Maksud saya, menunjuk orang sedang ngomong kayak pidato sambil memegang kertas. Jawabnya, itu puisi. Lalu tetiba, saya ingin belajar puisi, kayak gitu, musik sudah pasti saya tidak bisa, sanggah saya. Begitu singkatnya. Dan kemudian, lebih jauh ke belakang, ke masa saya masih bayi. Dulu, Bapak pernah mengaku seorang wartawan, atau jelasnya sih, penjaja koran, di bilangan antara Citayam dan Cipayung Jaya. Ketika umur saya masih 37


beberapa tahun, rumah tinggal keluarga saya di sekitar itu. Artinya, sangat dekat dengan markas Bengkel Teater Rendra; tempat orang-orang urakan membenarkan diri, kembali ke fitrah manusia sejati. Saya merasa ada sambungan keterkoneksi antar batin seorang anak kecil saat itu dan seorang Rendra yang tengah menapaki senja. Demikianlah, perjumpaan saya—yang sama sekali tidak diketahui—apakah saya pernah melihat pembacaan puisi Rendra saat pentas atau dengan Kantata Takwa? Tak pernah terbayangkan, bahkan sangat tidak mungkin, di tengah keterdesakan ekonomi masa itu, serta jalan yang ditempuh keluarga saya satu-satunya adalah kemiskinan yang pahit, mungkinkah Bapak sedia rela berkorban mengajak anak pertamanya menonton pertunjukan Bengkel Teater Rendra? Sudahlah, orang seperti saya kalau bercerita dengan tulisan sangat lancar, apalagi ungkapannya sarat fiksi dan kentara kebohongannya. Anggap saja, apa yang diungkapkan di atas sekadar meringankan pertanyaan dari Elena—yang berani hanya seseorang menjawabnya saat perbincangan sedang berlangsung.

Setelah tesis pertama—yang sudah selesai—itu dibatalkan, Elena tergerak untuk memburu literatur tentang Rendra. Di tahun 1990, ketika Elena mengunjungi Indonesia, untuk melakukan penelitian di Universitas Indonesia bersama Prof. Harimurti. Akan tetapi, justru Elena malah bertemu dengan mahasiswa IKJ, dan kemudian, arah penelitiannya tergoyahkan. Pada saat di IKJ, Elena bertemu Permadi dan John de Rantau (ini orang sinema yang sebentar lagi filmnya akan tayang di bioskop). Itulah awal di mana dan saat-saat Elena mulai mengubah haluan penelitiannya, mulai dari nol kembali, karena bagi Elena sendiri, Rendra adalah penelitian sepanjang masa kemauan tanpa memaksa di dalam hatinya. Elena pun berniat menemui Rendra di Bengkel Teater. Menginap selama beberapa waktu untuk melihat proses latihan di Bengkel Teater. Elena tertarik mendalami Rendra, terutama karyanya untuk kebutuhan tesis. Lebih dari itu, seperti telah terjalin hubungan kekeluargaan yang kuat antara Elena bersama Paulino dengan Rendra bersama eMak Ida. Adalah hal yang sejatinya memang Elena niatkan sejak ingin menemui Rendra, yakni belajar dari pengalaman hidupnya Rendra.

*** Bagaimana perkenalan Elena dengan Rendra? Semasa belajar di institut, Universitas Orientale di Italia; merupakan universitas utama untuk kajian oriental. Elena memang mengambil jurusan fakultas ke-Timur-an: kesusastraan dan kebudayaan. Ketika Elena telah selesai menyusun tesis tentang “Kerajaan Brunei”, hanya tinggal menunggu proses sidang saja. Tak dinyana, Elena kemudian mengurungkan niat tersebut. Sebab, tertarik daya pukau dan terpikat oleh karya-karya Rendra.

Pada 1991, Elena turut hadir ke beberapa pementasan atau pembacaan puisi Rendra, jadi Elena tahu betul bagaimana suatu rezim yang berkuasa saat itu teramat takut kalau Rendra akan baca puisi. Seperti kejadian geger di TIM (Taman Ismail Marzuki). Tertanggal 8-9 November, demikian jadwal Rendra mesti baca puisi dua malam berturut-turut. Persoalannya, justru malah menimbulkan sanksi dari pihak yang berwajib. Karena puisi yang dilarang dibacakan yaitu, di antaranya Pidato Multatuli 38


(Baca: Demi Orang-Orang Rangkasbitung) dan Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam. Dari delapan puisi yang akan dibacakan nanti, dua di antaranya ternyata dilarang. Waktu itu Rendra katakan, lebih baik tidak membacakan puisi sama sekali, artinya menolak berpentas. Itulah sikap perlawanan Rendra. Setelah pelarangan tersebut, Rendra mengadakan konferensi pers, kemudian menegaskan bahwa untuk apa saya baca puisi kalau yang saya baca nanti cuma secuil dari keutuhan isi puisi saya (maksudnya dua puisi yang dilarang). Alasan aparat kala itu belum jelas, tapi mereka menyatakan, bahwa dua puisi Rendra tersebut dikhawatirkan meresahkan masyarakat karena senada menghasut, dianggap mengandung sara karena mempertentangkan golongan atas dan bawah. Menurut tuturan eMak Ida, setelah sejumlah seniman mengadakan dialog dengan DPR RI, termasuk Menko Polkam Sudomo, setelah peristiwa pencekalan itu akhirnya Rendra bisa tampil di ruang sidang pleno DPR RI. Menurut kesaksian Nano Riantiarno, mengaku dirinya seorang murid Rendra (sekaligus Teguh Karya bersama Teater Populernya, Nano juga turut terlibat berproses), Rendra membaca puisi dengan sangat-sangat bagus. Indah. Memukau. Itulah pembacaan puisi terbagus yang pernah saya saksikan. Hal serupa pernah juga dialami Rendra, bedanya cuma rentang tahun, tatkala pembacaan puisi sedang berlangsung, di TIM pula. Kisah ini, mungkin tak lekang oleh zaman bagi mereka yang pernah menonton Rendra baca puisi di Teater Terbuka, 1978. Pada pementasan bertajuk “Pamflet Penyair” yang diperkirakan mampu menyedot massa sekitar

3500 penonton. Bagaimana mungkin teror bom molotov itu tidak membekas? Bagaimana mungkin menghapus ingatan tentang suatu upaya seseorang yang hendak memukul, kalau boleh mengeroyok, tatkala Rendra sedang baca puisi? Kejadiannya, seperti diceritakan kembali oleh eMak Ida, ada seorang yang tergesa-gesa naik ke atas panggung, lalu ia menghadiahi pukulan ke arah Rendra, dan tetiba, dari kursi barisan empat, Iwan Fals dengan sigap meloncati kursi penonton, segera menangkap pelaku, namun tidak hanya itu, Iwan Fals juga memukulinya lagi, setelah apa yang ia lakukan kepada Rendra. Maka, muncullah kericuhan disebabkan bom Molotov. Dokumentasi video mengenai peristiwa tersebut masih tersimpan di Kyoto, Japan. Bengkel Teater, lanjut eMak Ida, tak punya salinannya. “Rumah kami biasa dimasuki orangorang. Diburu oleh siapapun. Buku-buku di Bengkel Teater banyak yang dirampas. Catatan dan tulisan Rendra tentang apapun banyak juga yang dicuri. Mereka datang tanpa salam, mereka masuk tanpa permisi, mereka sesukasemau mengambil apa saja,” sepenuh yakin eMak Ida menambahkan, “semua itu sangatsangat biasa!” Menanggapi hal tersebut, bagi eMak Ida, hanyalah drama kecil-kecilan. Seperti halnya peristiwa-peristiwa sebelumnya, sebermula di tahun 1974, ketika Rendra sedang giat-giatnya mencibir penguasa dengan kredo “Pamflet Penyair”-nya. Yang mana kemudian, berganti judul menjadi Potret Pembangunan Dalam Puisi. Tentu saja, penghargaan yang diterima Rendra seringnya pelarangan dan pencekalan, selain itu Rendra juga pernah dipenjara selama tiga bulan, pada tahun 1978. Mendekap di sel tahanan penjara khusus militer 39


Guntur; penjara bawah tanah lagi, kata eMak Ida, heran saya kenapa karena puisi.

terlampau gembira kalau berdekatan dengan Rendra.�

Selama tiga bulan tersebut, eMak Ida terus mencari keberadaan Rendra, namun tak kunjung ketemu. Akhirnya, setelah masa tahanan selesai. eMak Ida sendiri datangi ke kodam, kemudian diantarkan ke Guntur, Jl. Minangkabau. Ketika tiba di sana, siap menjemput suaminya, Rendra pun berkata: Aku bersujud. Aku melihat Matahari.

Apa yang dilakukan Elena, selain khususnya untuk menyusun dan menulis tesis tentang karya-karya Rendra. Elena juga seorang penerjemah sajak-sajak Rendra dari bahasa Indonesia ke bahasa Italia. Suami Elena, Paulino, dalam pandangan eMak Ida, seorang yang tahu betul sejarah perkembangan musik di Italia, apalagi pengetahuannya tentang sejarah bangsanya sendiri, Paulino tahu banyak tentang itu, kita perlu menggali darinya.

*** Beralih lagi, ke perbincangan lain, meskipun banyak yang tak saya paham. Mungkin dikarenakan penggunaan bahasa komunikasi saya tak memadai, sehingga sukar menjangkau dialog resepsi antar bahasa: Bahasa Indonesia, Italia, dan Inggris. Tapi, toh, saya tetap berusaha menerjemahkan sebisasemampu saja, seperti bagaimana Elena menceritakan pengalamannya bersama Rendra dan eMak Ida; waktu itu, sedang tinggal di Belanda. Elena dan Paulino pun segera mengunjunginya (di Belanda), dari Italia mereka pacu dan menempuh perjalanannya dengan menggunakan mobil. “Tiga hari kemudian, setelah omongomong dan silaturahmi dengan Rendra dan eMak Ida, kita pulang ke Italia. Pertemuan kami sering singkat, tapi kesan selalu padat. Pertemuan kami sangat jarang, oleh karena jarak adalah kemesraan. Rendra itu, seperti magnet yang menarik dan menjauhi, tapi magnet tak bisa terpisah karena sifatnya ajaib saling tarik-menarik dan dekat-mendekat,� kata Elena menambahkan, “Begitupun, ketika Rendra dan eMak Ida berkunjung ke Italia, pasti mereka akan menetap di rumah Elena. Saya sangat senang peristiwa itu. Karena anak saya, juga turut ikut kami mengunjungi Bengkel Teater kini, namun sedang sakit, padahal waktu kecilnya

Samo Saverino, ini anaknya yang kedua (baca: seorang lelaki), mewariskan apa yang ada pada Paulino. Jelas, malam itu, ketika Samo menampilkan musik, yakni memainkan gitar senada-nada petikan khas Italia. Lha, saya cuma mendengarkan musiknya saja, rasanya ingin menari, padahal Samo tidak sedang menyanyi, melainkan cuma membunyikan komposisi nadanada instrumen tarantella dengan gitarnya. Di lain sisi, anak pertamanya Elena dan Paulino ialah seorang perempuan, bernama Dhea Paulino. Tapi, sayangnya malam itu Dhea tidak turut bersama-sama duduk di Aula Rendra, lagi-lagi karena beruntung, Dhea sedang terbaring di atas amben kasur karena sakit, mungkin efek kelelahan usai melewati panjang perjalanan. Cerita tentang Dhea ini menarik, yakni hubungan Dhea dengan Rendra. Intensitas kedekatan mereka terjalin sangat akrab dan karib. Sejak Dhea masih bayi, terasa sekali pergaulan Dhea dengan Rendra, baik dilihat dari foto ataupun dokumentasi video keluarga Paolino. Pasalnya, menurut kesaksian eMak Ida sendiri, Rendra begitu sering nembang Jawa untuk Dhea, tembang-tembang itu kemudian meresap ke dalam tubuhnya, dan Dhea selalu terlelap ketika ditembangkan oleh Rendra. Atas 40


keterikatan batin itulah, dalam dialog mereka, Rendra biasanya menggunakan bahasa Jawa, sedangkan Dhea menggunakan bahasa Italia, tapi mereka saling menyambung terkoneksi satu sama lain. Suatu hari, lanjut eMak Ida, Rendra pernah berkata, Dhea nanti kalau sudah besar mulutnya akan mengeluarkan produk-produk kebaikan. Dan akhirnya itu terbukti atau dibuktikan, Dhea kini jadi pemimpin aktivis kemanusiaan di Italia. Inilah Rendra dari pandangan yang tidak biasa, sebagaimana Rendraisme (begitu nama akun media sosialnya), menurut saya artinya bukanlah suatu paham, melainkan berarti Rendra “is� adalah “me� aku, saya, atau kita semua. Dengan begitu, Rendra hidup abadi dalam hati orang-orang yang menyayanginya, dan menumbuhkan jiwa kesadaran bagi pertahanan akan penyatuan cinta yang sejati. Cuma seorang Rendra, sambung eMak Ida, selama kurang lebih 25 tahun, sebagai orang Asia yang namanya tercatat dalam Ensiklopedia Teater Dunia. Namun, kabar baik lain dari eMak Ida, baru tahun ini bertambah satu, yaitu seorang dari Japan, mungkin antara Kazuo Pontoh, atau Tadasi Suzuki. Barangkali perlu juga saya tambahkan, bahwasanya daftar nama (dramawan Indonesia atau wakil Asia) yang tersebut dalam masingmasing ensiklopedia teater itu berbeda sumbernya. Hal ini bisa saja kita telusur lebih lanjut. Misalnya, dalam buku The Oxford Encyclopedia of Theatre and Performance, dieditori oleh Dennis Kennedy, pada 2004 silam. Selain disebutkan nama (dramawan Indonesia seperti) W.S. Rendra, termasuk ada juga Putu Wijaya, Nano Riantiarno, dan Arifin C. Noer. Dari ketiga nama yang disebutkan itu semuanya pernah mengenyam proses belajar atau

katakanlah berguru langsung kepada Rendra. Lantas, mengapa nama-nama lainnya seperti Teguh Karya, Asrul Sani, atau beberapa lagi yang mungkin disebutkan malah tidak terdaftar dalam Ensiklopedia Teater? Apa pertimbangannya sehingga Rendra, Putu, Nano, dan Arifin bisa masuk dalam daftar nama kategori tersebut? Sangat mungkin, faktor politik adalah sumbernya, karena dari empat dramawan tersebut itu pernah dilarang pentas dan sering terjadi pencekalan pada masa orde baru. Mengapa informasi terkait sejarah perlu dikabarkan? Mengapa saya harus mencatatkan peristiwa itu? Mungkin, karena saya tertarik menelusuri lebih lanjut lewat kajian serta diskusi. Dan, alangkah menyedihkan atau malah menggembirakan, seperti terungkap kata eMak Ida agak terheran, dalam buku Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX susunan E. Ulrich Kratz tersebut, sebuah buku setebal 1017 halaman, berisi 97 esai penentu perjalanan sastra Indonesia abad-20, tapi tak satupun nama Rendra dicatat apalagi disebut, bahkan Rendra tak dianggap sebagai sastrawan di buku tersebut. Oleh karena buku itu disusun pada saat kekuasaan orde baru berlangsung, sampai kemudian tahun 2006 baru diterbitkan. Tapi, tanggapan saya, kita tak perlu kecewa, Rendra sudah mendapat tempat yang lebih aman dan nyaman dalam hati kita; kalau saya mau bercermin kepada Rendra maka ia adalah nilainilai budaya dan sosial dalam tata struktur masyarakat. Rendra adalah masa depan yang silam senantiasa menggetarkan hati orangorang yang terlena dan teraniaya, untuk bangkit dan gagah dalam kemiskinan.[] 23 Desember 2018

Syahruljud Maulana, anggota Omah Puisi dan aktif membidani buletin Lintang, tinggal di Jakarta. Penikmat dongengan ini bisa dihubungi melalui WA : 0838-0746-7311



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.