Majalah saga edisi ii (halaman 1 21)

Page 1

Pimpinan beserta Staf dan Muzakki

VOL. X NO. 02 DESEMBER 2012

PEKAN (BUDAYA) MANGGALEH

PROGRAM PADANG

PEDULI

Mengucapkan

Selamat atas Terbitnya MAJALAH ANALISIS DAN PEMIKIRAN

Ketua Umum

Direktur Eksekutif

Prof. Dr. H. Salmadanis, M.Ag.

H. Maigus Nasir, S.Pd.

KETAHANAN BUDAYA MINANG

GONG DIBUNYIKAN DARI ATAS Kolonel Inf. Drs. Amrin Danrem 032/Wirabraja Sumbar

Rp.15.000


Padang Today PT. PADANG RUANGMEDIA INFORMATIKA

POKOK PADANG Beranda

Solusi

Layanan

Produk

Support

Hubungi Kami

Diterbitkan oleh

PT. Alammedia Nusantara

Komisaris, Direksi, Staf dan Karyawan

Padang Today PT. PADANG RUANGMEDIA INFORMATIKA

Pimpinan Umum :

Sutan Zaili Asril Wakil Pimpinan Umum/Pimpinan Redaksi :

Yulizal Yunus Staf Khusus :

Wistian Yoetri Sekretaris Redaksi :

Faisal Zaini Dahlan Redaktur Pelaksana: Zelfeni Wimra

Mengucapkan

Selamat atas Terbitnya MAJALAH ANALISIS DAN PEMIKIRAN

Redaktur : M. Ibrahim Ilyas Alizar Tanjung Arjuna Nusantara Reporter : Gita Jonelva Mimi Hendra Eni Sapura Tata Letak & Perwajahan

Rolly Fardinan Rafii Hidayatullah Nazari Periklanan/Promosi

Hartomi Keuangan

Retik Selvira

Office : Jl. Tarandam III No.13 Padang-Sumatera Barat Telp. Fax. 0751-32834 E-mail- saga.minangkabau@gmail.com

Layar Sudah Terkembang

Mempertahan kan lebih sulit dari pada memulai, kata pepatah”. Kalimat itu kami tulis di Pokok Padang SAGA Edisi Perdana yang lalu. Ternyata memang sulit dan itu betul-betul kami alami, tetapi komitmen untuk mendedikasikan SAGA kepada bumi Minangkabau, insya Allah akan kami pertahankan. “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang”, begitu kira-kira semangat yang menggelorakan SAGA. Meski untuk itu, SAGA perlu “tambah darah” dan “suplay vitamin” untuk mengantisipasi kelesuan serta menjaga stamina agar tetap fit, sehingga bisa rutin hadir di tangan pembaca. Tentunya SAGA tidak sekedar hanya bisa bertahan, dan terbit tanpa kemajuan. Sebagai media publik, kami juga harus bisa membaca arah selera dan kebutuhan pembaca. Konsumen adalah raja, begitu dalam konteks bisnis, meksi SAGA tidak bisnis oriented. Ini juga tidak mudah bagi kami, mengingat konsumen yang beragam dari berbagai latar berbeda. Tentunya kami berupaya untuk memuaskan semua segmen itu. Karena SAGA

kami usung dengan misi sebagai majalah analisis dan pemikiran yang diharapkan jadi basis kultural bagi reaktualisasi dan revitalisasi kearifan lokal Minangkabau, bagi semua anak nagari. Tentunya di samping jembatan hati media bersilaturrahim di nagari dan rantau. Kepada pembaca, SAGA Edisi kedua ini kami suguhkan tema budaya, khususnya melihat event-event kebudayaan yang diselenggarakan di Sumatera Barat. Ini juga sekaligus mengapresiasi dan mengkritisi alek gadang “Pekan Budaya” Sumatera Barat awal September di Solok kemaren. Sejalan dengan pujian, kritik tidak pula menjadi pantangan. Tak ada gading yang tak retak, tentunya. Baik alek itu sendiri maupun visi-misitujuan, mestinya bisa ditingkatkan dan lebih berdaya guna dari masa ke masa. Tidak stagnan, jalan di tempat, apalagi mengalami kemunduran teknis mekanisme dan kelunturan makna substansial. Untuk mengcover tema ini, melihat secara jernih apa yang terjadi sambil mencoba merumuskan gerak langkah yang lebih maju ke depan, SAGA mengadakan Focus Group

Discusssion (FGD) bersama sejumlah tokoh budaya, ulama, dan pejabat terkait. Redaktur SAGA yang juga budayawan, Bram (Muhammad Ibrahim Ilyas) bersama Wimo (Zelfeni Wimra) lebih banyak “bergerak” kali ini. Bram, selain turun langsung mengikuti Pekan Budaya di Solok, juga memburu tokoh-tokoh yang berkompeten dalam tema ini. Mereka jugalah yang banyak bergerak di “rumah mereka sendiri”, Taman Budaya, tempat FGD dilangsungkan. Hasil FGD itulah yang kami jadikan sebagai Tema Utama Edisi kali ini. Pembaca, banyak pujian dan sebanyak itu pula kritik konstruktif telah SAGA terima. Kedua respon itu menjadi indikator bahwa kami diminati, dan lebih dari itu disayangi pembaca. Jika sudah hilang upat puji, pertanda sudah tak ada SAGA dalam memori. Ini berbahaya karena sudah dilupakan orang, atau dianggap tidak ada, mesti wujudnya masih ada. “Wujudihi ka'adamihi”, kata orang Arab. Adanya seperti tiada. “EGP, Emang Gue Pikirin”, kata anak muda masa kini. Semoga ini tidak terjadi. Karena itu, berilah SAGA kritik dan saran. Itulah yang menjadikannya lebih


Komisaris, Direksi, Staf dan Karyawan Harian Umum

Rakyat Sumbar Sebenar-benarnya Koran Sumbar

Mengucapkan

Iven Seni Budaya, Seni Budaya Iven? Hal.12

Selamat atas Terbitnya MAJALAH ANALISIS DAN PEMIKIRAN


Kehidupan

GONG MESTI DIBUNYIKAN DARI ATAS Penguaan Ketahan Budaya

Ketika budaya Minang tidak menguat lagi, siapa peduli. Gong mesti dibunyikan dari atas, pikir Danrem 032/ Wirabraja Sumatera Barat Kolonel Inf. Drs. Amrin. SAGA melakukan percakapan khsusus yang sarat diskusi dengan Danrem 032/ Wirabraja Sumatera Barat, di Makorem, Padang 5 November 2012 sekitar penguatan ketahanan budaya. Amrin percaya, jika kembali Gong dari atas berbunyi, akan disahuti di bawah. Seluruh jajaran pejabat mulai dari Gubernur, Kapolda, Danrem dst. Lembaga Musyawarah Daerah, sampai ke jajaran pimpinan di daerah otonomi kabupaten/ kota secara terpadu, meningkatkan kepedulian, memfasilitasi dan mengayomi penguatan budaya. Yang berprestasi diberikan reward, yang kurang elok atau kurang cocok lagi diperbaiki, kelembagaan budaya yang kurang jalan didinamisasi, ada masalah dicari akarnya dan dipecahkan bersama.

6

/Desember 2012

Kemestian kepedulian dari atas ini, dipersandingkan SAGA dengan menyebut pengalaman sejarah Daulat Abasiah dulu. Pernah, gerakan memajukan kebudayaan termasuk sistem seni dan sastra, gong dibunyikan khalifat dalam istilah “tasyji' alkhulafa (sokongan kuat dari khalifah) di samping gerakan gencar budayawan sendiri secara dinamis. Hasilnya memuaskan, kebudayaan mengalami kemajuan pesat dan mencapai puncak kegemilangan (masa keemasan) pada masa itu. Budayawan terutama seniman terangsang untuk melahirkan karya kreatif secara produktif. Seniman sastrawan penyair yang berkaya diberi reward, bahkan difasilitasi dan hidup menjadi orang istana. Misalnya penyair Firdausi (Abdul Qasim Mansur) menggubah syair

Shah-nama 60.000 bait, dihargai Sultan (Khalifah) Mahmud dengan1 dinar emas untuk setiap baitnya. Pertanyaan SAGA, dalam menciptakan ketahanan budaya daerah ini apakah Bapak Danrem siap memberikan dukungan dengan mengoperasionalkan Satuan Teritorial Kewilayahan yang merupakan ujung tombak bagi Korem dalam penyelenggaraan “Pembinaan Fungsi Teritorial” (Binter) di daerah?. Danrem Amrin menyatakan kesiapannya bekerja terpadu dengan seluruh jajaran pimpinan daerah mulai dari provinsi sampai kabupaten dan kota. Diceritakan Korem 032 Wirabraja Sumatera Barat dilihat dari “Dislokasi Satuan” merupakan Sub Kompartemen strategis dengan wilayah teritorial kewenangannya

meliputi 12 kabupaten dan 7 Kota Kotamadaya digelar 10 Kodim sebagai Satuan Teritorial Kewilayahan. Sepuluh Kodim di wilayah Korem 032 /Wirabraja itu adalah: (1) Kodim 0304/Agam berkedudukan di Bukit Tinggi, (2) Kodim 0305/Pasaman berkedudukan di Lubuk Sikaping Pasaman Timur, (3) Kodim 0306/50 Kota berkedudukan di Payakumbuh, (4) Kodim 0307/Tanah Datar berkedudukan di Batu Sangkar, (5) Kodim 0308/ Pariaman berkedudukan di Pariaman, (6) Kodim 0309/Solok berkedudukan di Solok, (7) Kodim 0310/Sawah Lunto Sijunjung berkedudukan di Sijunjung, (8) Kodim 0311/Pesisir Selatan berkedudukan di Painan, (9) Kodim 0312/ Padang berkedudukan di Kota Padang dan (10) Kodim 0319/Mentawai berkedudukan di Tuapejat Kepulauan Mentawai. Selain itu terdapat pula dua satuan tempur di wilayah Korem 032 / Wirabraja yakni: (1) Batalyon Infanteri 131/ BRS Berkedudukan di Payakumbuh dan (2) Batalyon Infanteri 133/ YS berkedudukan di Padang. Kata Danrem Amin putra Padang ini, kita optimis siap bersama-sama manunggal dengan masyarakat budaya turut mengembangkan ketahanan budaya daerah. Kalau ada masalah tuntaskan bersama. Sering terjadi di beberapa wilayah, konflik dalam masyarakat tidak tuntas. Ada upaya jembatan emas perdamaian, selesainya hanya di permukaan. Damai, bersalaman, di hati belum bersih karena akar masalahnya dan purbawasangka belum diretas. Dalam kondisi yang tidak kondusif seperti itu pada banyak pengalaman di beberapa daerah, menjadi rentan dipicu dan disulut kemarahannya. Apalagi ketika wawasan nusantara lemah. Saat keruh dan masih buntu itu, datang sutradara “cadiak buruak” – jahat dan ingin “menangguak di air keruh”, lalu masalah kecil misalnya dari

konflik sopir angkot dan preman soal jatah, dibesar-besarkan, dipicu menjadi tawuran antar kelompok, seiring dengan itu dimunculkan isu etnis, antar pribumi - tak peribumi (penduduk asli dan pendatang), diisukan pendatang yang hidup lebih baik penyebab tersingkirnya penduduk asli, terusiklah keserasian sosial. Bahkan lebih buruk lagi sampai dipicu menjadi isu yang judulnya soal agama, lalu “kabek kapalo”, tawuran, dan tak jarang di belahan sana tawuran dengan judul soal agama itu berakibat menimbulkan korban, juga tidak saja memacetkan arus lalu lintas, bahkan memacetkan arus ekonomi rakyat, BBM krisis dan menghambat kesejahteraan. Kita tidak mau konflik seperti itu terjadi di daerah Sumatera Barat yang terkenal dengan benteng filosofinya ABS – SBK, yang bagaimanapun marahnya, tetap saja “rasa santun” dipertahankan, harimau dalam paruik, kambing juga dikeluarkan. Dalam pendistribusian hak dalam norm Minang, pengambilan hak pribadi/ kelompok adalah setelah kewajiban dibayarkan, dan tidak pernah mengorbankan kepentingan orang banyak, lamak dek awak – katuju dek urang, tak seperti pisau tajam sabalah, tak seperti kukuran marawik kelapa. Benar sekali, Minang terkenal dengan kekuatan kearifan lokalnya, tukas SAGA. Transformasi nilai orang Minang (di ranah dan rantau yang mendunia) dalam banyak kasus masih jalan, meski harus tetap diperkuat. Di rantau orang Minang sering dilindungi warga penduduk asli, Rumah Makan Padang dijaga, karena tidak saja cadangan ransum juga tempat berkumpul menyelesaikan beberapa konflik sekaligus berfungsi safety valve (perekat konflik). Nilai adat budaya lokal Minang yang merupakan karakter dan jati diri efektif sebagai kekuatan proteksi masuknya kejahatan. Karena karakter Minang cepat beradaptasi dan

membaur. Mereka cepat menjadi bagian penduduk di tempat tinggal mereka. Dengan karakter inklusifisme orang Minang, tidak pernah perantau Minang mendirikan “kampung Minang” di dalam/ luar negeri. Benar sekali karakter yang disebut Danrem, orang Minang cepat beradaptasi, di mano bumi di pijak di situ langik dijujung, di mano air disauk di situ rantiang dipatah, yang sekaligus menjadi motto Korem. Betapapun besarnya konflik, karakter Minang sejati, kepala tetap saja dingin, sebab mereka optimis dan percaya diri, tak ado karuah nan tak kajaniah, tak ado kusuik nan tak kasalasai. Karakter dari norm Miang ini bagus ditransformasikan terus menerus, mulai dari peningkatan pembelajaran mulok (muatan lokal) BAM (Budaya Alam Minangkabau) melalui sekolah sampai bentuk pewarisan dan sosialisasi norm adat dalam masyarakat Minang, biar orang luar belajar ke Minang bagaimana kekuatan “nilai adat Minang merekat konflik”. Kita ingin Sumatera Barat dengan subkultur Minangkabaunya aman dan damai, kata Amrin. Aman yang dimaksud tidak saja menyangkut kamtibmas yang menjadi bagian tugas polri, tetapi aman dalam pengertian luas, yakni menyangkut bentuk ketahanan nasional. Bentuknya menawarkan kondisi dinamis dalam seluruh aspek kehidupan nasional (AKN), termasuk kehidupan budaya, yang berpotensi membentuk masyarakat yang ulet, mampu dan kuat dalam menangkal semua ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) dalam upaya mempertahankan identitas, integritas dan kelangsungan kehidupan bangsa terutama dalam “gatra budaya” sebagai identitas nasional di daerah di samping tri gatra alamiah dan panca gatra kehidupan sosial. Tugas gerakan penguatan ketahanan budaya seperti ini dapat diberi sokongan secara

/Desember 2012

7


terpadu termasuk dari Korem 032/ Wirabraja Sumatera Barat, bersamaan dengan pelaksanaan kebijakan pembinaan kemampuan Korem. Misalnya pada bagian peningkatan pembinaan perlawanan wilayah, melalui kegiatan penyusunan tata ruang wilayah pertahanan darat, dapat membantu pemerintah dalam pembinaan sumber daya alam dan buatan, sumber daya manusia serta membantu pemerintah membina ketahanan kondisi sosial wilayah bagi kepentingan pertahanan negara aspek darat. Pemeliharaan dan peningkatan komunikasi sosial dengan seluruh komponen bangsa, baik aparatur pemerintah, TNI maupun komponen masyarakat lainnya, untuk mengkomunikasikan konsep pemberdayaan wilayah pertahanan dan terjalinnya hubungan yang harmonis dengan seluruh komponen bangsa, sehingga dapat memantapkan kemanunggalan TNI-Rakyat dan membangun kesadaran berbangsa dan bernegara dalam rangka kepentingan pertahanan wilayah aspek darat. Demikian pula “peningkatan kesiapan satuan jajaran Korem 032/Wirabraja dalam pelaksanaan Bhakti TNI melalui Operasi Bhakti dan Karya Bhakti guna membantu tugas pemerintah di daerah dalam upaya meningkatkan akselerasi pembangunan serta membantu mengatasi kesulitan masyarakat untuk kepentingan pertahanan negara di darat”. Pada posisi kesulitan masyarakat misalnya dalam pengembangan kebudyaan dan merevitalisasi nilai dan peranan pemangku adat, kita dapat bersama-sama pemerintah daerah mengatasinya demi terwujudnya ketahanan budaya daerah, kata Amrin. Pemikiran ini, diperkuat SAGA dengan mengeksplorasi dan mengelaborasi fakta sejarah kelembagaan masyarakat budaya di Sumatera Barat, bahwa dalam

8

/Desember 2012

sejarah TNI di Sumatera Barat bersama pemerintah dengan manunggal rakyat, pernah membantu upaya merevitalisasi dan penguatan peranan kelembagaan masyarakat budaya di bidang adat dan agama, fakta sejarah ini dapat dilihat dalam sejarah LKAAM dan Majelis Ulama di Sumatera Barat. Melihat profil wilayah Sumatera Barat di samping geografi dan demografi khusus dari perspektif kosmos, Korem 032/ Wirabraja sebagai Komando Kewilayahan, memiliki ciri sosial kemasyarakatannya, sangat agamis serta sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang diwariskan oleh para leluhurnya. Segenap prajurit jajaran Korem 032/Wirabraja juga senantiasa menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku di daerah ini “di mano bumi dipijak di situ langik dijujung, di mano ayia di sawuak di situ rantiang dipatah”. Adat yang berlaku di daerah ini “Adat Basandi Syara' - Syara' Basandi Kitabullah (ABS – SBK)” dilaksanakan dengan strategi “Syara' Mangato Adat Mamakai (SM-AM)” dan “Alam Takambang Jadi Guru (ATJG)”. Suku bangsa masyarakat di Sumatera Barat sebagian besar adalah suku Minang dengan mayoritas beragama Islam, sebagian kecil suku pendatang (suku Jawa, Batak, Bugis, Nias, Aceh, Melayu, etnis Cina dll). Karenanya segenap prajurit di daerah ini selalu berbuat yang terbaik untuk kemajuan daerah Sumatera Barat khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya, kata Amrin. Amrin sebagai juga tokoh masyarakat Minang memahami, namun katanya, yang patut dijaga, tugas penguatan ketahanan budaya daerah ini, jangan sampai mengesankan intervensi, sifat bunyi gong dari atas ini, adalah mengayomi (melindungi, menyokong, mencarikan peluang dan memfasilitasi) secara

bersama-sama. Lakukan penguatan SDM dan kelembagaan sekaligus bangun sinergisitas unsur pemangku adat (ninik mamak) dan agama (ulama) dan cadiak pandai (pemerintah dan pemikir - budayawan) dalam sistem tali tigo sapilin. Kalau ada unsur dan kelembagaan yang kurang berperan dan berfungsi, sambil jalan dilakukan perbaikan dan revitalisasi peran dan fungsinya. Tidak harus berhenti pada satu titik, ibarat kereta api berjalan, kalau gerbong yang rusak kita terus berjalan, yang terhambat kita bentangkan jalan, yang terlambat“kita tunggu dengan kerja”, sambil jalan gerbong yang rusak kita perbaiki bersama. Terus berjalan mengadakan terobosan memperluas pengetahuan dan wawasan tentang kebudayaan nasional, mentransformasikan budaya Minang sebagai milik bersama dan kebanggaan bersama sebagai bagian identitas dan kekayaan nasional. Dengan cara ini dipastikan budaya daerah dapat berfungsi dalam peningkatkan ketahanan budaya nasional. Tak dapat dipungkiri, warisan leluhur/ nenek moyang keanekaragaman budaya menjadi sumber kekuatan dan persatuan bangsa Indonesia. Hanya saja kekuatan daya rekat budaya itu menjadi lemah ketika ego menguat dan penguasaan nilai budaya lemah. Misalnya ketika terjadi perdebatan alot, hati nurani sudah mengakui kehebatan dan kebenaran pemikiran orang, tapi karena ego masih berdalih tetap mencari-cari alasan menyanggah, akibatnya perdebatan alot menjadi kemarahan dan konflik yang masalahnya tak juga terselesaikan, kata Amrin. Nenek moyang Minang dulu cukup arif menghindari konflik dalam penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan dengan

menawarkan budaya musyawarah mufakat. Budaya musyawarah mufakat ini kalau mau diadaptasikan juga sejenis demokrasi berkeadaban, begitulah. Para pendiri negara dan perumus nilai instrumental Pancasila dan UUD 1945 cukup kuat memberikan seleksi merekrut konsep bagi pengambilan keputusan menjatuhkan pilihan pada akar budaya Indonesia ini “musyawarah mufakat”. Musyawarah mufakat fokusnya “kedaulatan rakyat”, tergambar dalam nilai sila “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Oleh komponen bangsa dari suku Minang, dalam pengambilan keputusan ternyata dengan “musyawarah mufakat” tidak pernah menganut suara terbanyak (voting), tetapi pembicaraan dibawa ke mufakat, dipalegakan (digelarkan), dibulatkan, sesudah bulat diambil kesepakatan bersama. Tak sama dengan substansi demokrasi barat yang berinti voting, yang pada gilirannya tak dapat dihindari suara terbanyak menekan suara yang kecil, tak puas suara terkecil lalu mengadakan protes, dan terjadi koflik berkepanjangan. Banyak lagi kearifan budaya Minang, seperti lirik lagu itu kata Amrin “rangkiang baririk”, tidak “ranting baririk” bukan?. Rangkiang itu simbol cadangan bangsa entaskan kemiskinan. Rangkiang itu khazanah “menyimpan yang ada” dan menyiratkan “memakan yang tidak ada”, artinya yang dimakan, yang akan dicari dengan usaha keras lainnya, kreatif dan produktif. Sedangkan simpanan cadangan dalam rangkiang, dapat dikeluarkan ketika terjadi pecaklik “konflik ekonomi”. Karenanya dengan konsep budaya rangkiang, kemiskinan terentaskan, makanya ketika rangkiang rubuh, saat itu

kemiskinan menggerogoti. Tidakkah dalam konsep rangkiang ini ninik mamak berperan dan malu kamanakannya miskin dan tamunya tidak makan?. Mungkinkah stategi pengentasan kemiskinan dapat menggunakan ninik mamak di limbago paruik dan suku?, tawaran Amrin menyepakati dengan SAGA. Sayang, kaum muda Indonesia lantaran tergoda budaya populer tawaran dunia modern dan global, tidak melirik budaya daerahnya, sehingga peran budaya daerahnya sendiri tidak diketahui potensi kuatnya dapat memperkokoh ketahanan budaya bangsa. Tak sama dengan orang muda Minang dulu, sebagai unsur katahanan budaya parik paga nagari, kental mengaplikasikan nilai adat budayanya. Berkata tak pernah langsunglangsung “dua belas pas”. Mengungkapkan rasa cintanya saja kepada seorang gadis yang disukainya, harus berkias, menggunakan referensi alam takambang jadi guru. Kalau ada bunga ketika itu, ia akan berkata mengungkapkan rasa senangnya: “indah sekali bunganya, senang memandanginya” dan tidak akan pernah mengatakan seperti ungkapan orang barat dua belas pas: I love you. Budaya Minang seperti ini bagian daya tarik baik bagi anak bangsa sendiri maupun bagi orang asing. Kekuatan budaya seperti ini dan dengan keunggulan artikulasi dan substansi budaya Minang seperti tadilah melahirkan orang besar, negarawan besar seperti Sjahrir, Hatta, Agus

Salim, Hamka, Natsir dsb yang tokoh ini tak dapat dipungkiri berjasa memperkuat ketahanan budaya sebagai jati diri bangsa, kata Amrin bersamaan pengakuan SAGA.***

/Desember 2012

9


Editorial

“PEKAN BUDAYA”

BUKAN

“PASAR MALAM” “Kalau Pekan Budaya seperti ini lebih baik dihentikan saja, tidak usah diadakan. Karena Pekan Budaya ini bukan pasar malam...”, begitu kata seorang tokoh dan mantan pejabat teras Provinsi Sumatera Barat menyatakan kegalauannya atas berbagai event budaya di Sumatera Barat. Kita percaya, beliau tidak bermaksud menafikan urgensi event-event itu, tetapi lebih dimaksudkan sebagai kritik konstruktif agar kegiatan rutin yang menghabiskan biaya yang tidak sedikit itu berjalan lebih baik, efektif dan efisien, serta seoptimal mungkin mencapai tujuan. Paling tidak, ada dua aspek yang menjadi tolak ukur keberhasilan event budaya seperti ini. Pertama, aspek teknis penyelenggaraan dengan indikator antara lain berjalannya acara dengan lancar sesuai time schedule yang telah dirancang. Kelancaran ini termasuk “nan ketek-ketek”, hal kecil yang selama ini sering terdengar dikeluhkan. Akomodasi misalnya, harus kondusif, nyaman, dan layak huni bagi peserta alek yang datang dari berbagai daerah.

10

/Desember 2012

Kedua, aspek substansial terkait goal, tujuan, atau sasaran yang ingin dicapai lewat kegiatan itu. Ini menyangkut soal seberapa besar kontribusi event ini terhadap budaya Minangkabau, baik menyangkut reaktualisasi, revitalisasi, maupun reimplementasi simbol dan nilai budaya dalam kehidupan riil masyarakat sehari-hari. Aspek kedua tampaknya lebih problematis dan berat dibanding pertama, walaupun aspek teknis tak boleh terabaikan. Dalam konteks inilah, berbagai kalangan meragukan kontribusi dan dampak alek budaya terhadap budaya itu sendiri. Hingga kini dalam catatan SAGA memang belum ada penelitian yang mencoba mengukur ataupun mengevaluasi sejauh mana korelasi antara event-event budaya yang selama ini dilakukan dengan peningkatan pemahaman maupun peran budaya di tengah masyarakat. Padahal, problem degradasi atau melemahnya budaya, baik nilai maupun simbol tradisi Minangkabau menjadi isu utama dalam perbincangan budaya kita selama ini. Dalam bahasa

masyarakat, budaya sudah luntur, ditinggalkan dan ditanggalkan, tidak lagi menjadi pakaian bagi anak kamanakan. Persoalan itulah sesungguhnya yang dirisaukan oleh semua pihak. Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana degradasi budaya, baik nilai maupun simbol itu, bisa –paling tidak- “ditangkal” agar tidak semakin luntur, khususnya melalui event-event budaya. Meski kegalauan atas kondisi budaya sudah sangat mencemaskan, kita tidak boleh berlepas tangan dan menyerah pada keadaan. Kondisi budaya kita juga belum sampai ke titik nadir. Dalam beberapa hal kita masih berbudaya sesuai budaya lokal kita, masih ber-Minangkabau. Masih terlihat ada upacara adat, batagak pangulu, baralek gadang. Masih ada rumah adat, rumah bagonjong. Masih ada limbago. Masih terdengar pepatah-petitih, pantun, bidal, dan mamangan. Rabab dan saluang pun masih berbunyi, meski ditingkahi musik pop, rock, dan orgen tunggal. Memang miris kita melihat realitas masyarakat, terkait dengan degradasi budaya di satu sisi, dan

semakin merebaknya budaya asing masuk tanpa saringan ke jantung kebudayaan kita. Globalisasi dan sebentar lagi- pasar bebas, menjadi tantangan luar biasa bagi ketahanan budaya lokal. Bila kita jujur melihat kondisi ranah Minangkabau dengan kaca mata budaya yang dimilikinya, sudah cukup jauh panggang dari api. Tidak perlu kita bersedih dan beriba hati, apalagi malu dan menutup-nutupi. Karena semua kita sudah tahu, itulah kondisi kita yang sebenarnya. Begitulah realitas empiris ranah Minangkabau hari ini. Banyak contoh riil yang sudah dianggap bukan masalah. Di kampung-kampung nonton bareng dan menikmati goyang erotis di panggung terbuka orgen tunggal selepas pesta baralek, sudah menjadi lumrah. Bisa jadi mamak jo kamanakan sama-sama duduk sambil maisok. Tak adakah yang mengingatkan bahwa itu melanggar sumbang nan duo baleh? Itulah Ranah Minang under cover! Dalam konteks itulah dibutuhkan upaya cerdas dan ampuh untuk reaktualisasi, revitalisasi, dan reimplementasi budaya. Banyak event, wahana,

dan media yang bisa diupayakan turut berkontribusi dalam hal ini. Mesti –lagi-lagi- perlu konsep dan strategi yang jelas, serta kerja keras. Lewat event budaya, pasti tidak cukup upaya itu hanya dengan pawai, seni pertunjukan, kontes masak rendang, bertanding rabab dan saluang, berloma pencak dan silat. Tidak memadai serentetan serimonial dan hiburan. Inilah yang dikhawatirkan oleh tokoh dan mantan pejabat kita seperti ditulis di atas. Jangan sampai event yang sangat berpotensi dan diharapkan sebagai wahana penguatan budaya itu justru jatuh ke tingkat entertainment, semata peran menghibur. Persis pasar malam yang bubar begitu saja setelah jadwal selesai, tanpa ada makna dan implikasi budayanya. Jika kita betul-betul ingin mencapai idealitas yang dimaksudkan di atas, tentunya pekerjaan yang terletak di bahu kita bersama sungguhg tidak ringan. Baik bagi pemangku dan pelaku budaya, pendidik, dan pemerintah daerah. Demikian pula perlu didudukkan bersama gerak langkah

apa yang dilakukan secara simultan, bertahap, dan berkesinambungan. Apa metodenya, strateginya, medianya, dan seterusnya. Kita juga tidak bisa melangkah sendirisendiri, apalagi hanya sebatas menilai dan memberi saran lewat analisis yang tidak empiris. Budaya tidak hanya berada pada 'arasy filosofis, tetapi “membumi“ pada perilaku empiris. Jangan seperti orang yang berdiri di pematang sawah, lalu memberi saran dan nasehat mengenai lumpur, padahal tak pernah pula kakinya turun ke bawah. Dalam konteks ini, lagi-lagi andil pemangku dan pelaku budaya sangat besar, karena merekalah sebagai aktor utama. Sekaligus merekalah yang akan dijadikan patron, contoh hidup dan kongkrit bagaimana semestinya beradat berbudaya itu. Justru itu, pada event-event budaya di tingkat manapun, meski tetap menjadi tanggungjawab bersama seluruh emenen masyarakat, tetapi mau tidak mau, peran penting pemangku dan pelaku budaya tetap berada di garda terdepan. Memang sebuah tugas berat, tapi insya Allah mulia [FZD].

/Desember 2012

11


Saga Utana

Dialog Pakar

Iven Seni Budaya, Seni Budaya Iven?

12

/Desember 2012

/Desember 2012

13


SENI Saga Utama

Dialog Pakar

Pariwisata Sumatera Barat; Drs. Darman Moenir, budayawan, panitia pengarah Pekan Budaya Sumbar 2012; H. Masoed

berpangkal. Bagaimana persinggungan Sumatera Barat dengan Minangkabau, apakah sesuatu yang sama dan sebangun?

Abidin, ulama, pengamat budaya; Edy Utama, budayawan, mantan ketua Dewan Kesenian Sumbar; Diana, mewakili pengurus Bundo Kanduang Sumbar; Efiyarti, Kepala Taman Budaya Sumatera Barat; Jasman M, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Solok; Yulizal Yunus, pemimpin redaksi SAGA; Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto, budayawan, pelaku seni tradisi; Zelfeni Wimra, Redaktur Pelaksana SAGA, notulen; dan Muhammad Ibrahim Ilyas, redaktur SAGA yang bertindak menjadi moderator. Sejumlah undangan lain berhalangan. Berikut sari perbincangan yang berlangsung sore itu.

Jawabannya hanyalah sebuah senyum. Saya coba membuka bahan-bahan mengenai rencana pembangunan Sumatera Barat dalam jangka pendek dan menengah, saya nyaris tak menemukan kata Minangkabau. Begitupun dalam rencana jangka panjang. Yang ada hanya kalimat

Iven Seni Budaya, Seni Budaya Iven?

D

i Sumatera Barat, setiap tahunnya atau secara berkala, telah diselenggarakan iven-iven kebudayaan. Menurut pengamatan Majalah SAGA, Sumatera Barat memiliki cukup banyak iven seni budaya. Paling tidak, iven-iven itu bisa dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, iven yang dirancang dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah secara berkala: Pekan Budaya Sumatera Barat di tingkat provinsi, dan kegiatan yang sama namun tak persis serupa di tingkat kota dan kabupaten. Ada Pedati di kota Bukittinggi, Festival Serambi Mekah di kota Padangpanjang, Festival Harau di kabupaten 50 Koto, Festival Langkisau di kabupaten Pesisir Selatan dan Festival Danau Kembar di

14

/Desember 2012

kabupaten Solok. Kegiatan kota dan kabupaten ini nyaris menyerupai Pekan Budaya provinsi, mengusung semangat wisata budaya, sebuah konsep yang masih dipertanyakan definisi dan sasarannya. Di luar itu ada pula program yang lebih khusus seperti Festival Perahu Naga di kota Padang. Ada pula iven-iven itu yang sudah tak dilaksanakan lagi, seperti Festival Pagarruyung di kabupaten Tanah Datar atau Festival Khatulistiwa di kabupaten Pasaman. Kedua, di luar agenda seni budaya pemerintah, masyarakat Sumatera Barat masih mempunyai beberapa iven seni budaya yang berhasil bertahan. Sebutlah alek nagari di Kabupaten Padang Pariaman, pacu jawi di Pariangan, kabupaten Tanah Datar dan di

Kabupaten 50 Koto, pacu kudo di beberapa kota dan kabupaten, tabuik di kota Pariaman dan sebagainya. Iven-iven ini ada yang murni berdasarkan swadaya masyarakat pendukungnya, ada pula yang telah disubsidi oleh pemerintah. Bahkan ada yang sudah dicampuri manajerial penyelenggaraann ya. Ketiga, bisa dicatat pula aktivitas seni budaya yang berada dalam wilayah yang lebih kecil serupa randai, dendang, salawaik dulang, tupai janjang, rabab, atau pacu itiak dan lainnya. Kegiatan seperti ini banyak yang masih bertahan karena kebutuhan masyarakat pendukungnya, ada pula yang sudah hilang akibat tiadanya regenerasi pelaku. Masalah itulah yang menjadi awal pokok perbincangan dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Majalah SAGA, yang dirangkum redaksi sebagai SAGA UTAMA nomor ini. Dalam diskusi terbatas yang berlangsung di Galerry Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat pada hari itu, hadir Drs. Burhasman, MM, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Barat; Drs. H. Hawari Siddik, pengamat seni budaya, mantan Kepala Dinas

adat basandi syara', syara' basandi kitabullah. Bila kita pertanyakan apakah Minangkabau sudah berubah? Tak ada satupun yang bisa menjawab. Berubah atau tidak, Minangkabau tetap Minangkabau. Seratus tahun yang lalu tetap Minangkabau, limapuluh tahun yang lalu tetap Minangkabau, duapuluh tahun yang lalu tetap Minangkabau. Yang menjadi persoalan adalah dinamika apa yang kita punyai untuk mempertahankan Minangkabau sekian tahun yang akan datang. Apa yang harus kita kerjakan, barangkali ini yang dicari oleh Majalah SAGA. Pertama kali saya terlibat dengan Pekan Budaya sekitar tahun 83 atau 84. Seniman dan budayawan Sumatera Barat tunggang-langgang untuk mempersiapkan iven ini dengan kerja keras. Sebutlah Chairul Harun, Abrar Yusra, AA Navis dan lainnya. Kegiatan ini sempat terhenti dan kemudian berjalan lagi, sampai pada Pekan Budaya kemarin di Kabupaten Solok. Banyak di antara kita yang tak mengetahui iven ini, tidak diundang, dan tidak menghadirinya. Pada masa lalu, Pekan Budaya juga pernah dilaksanakan di daerah, misalnya di Bukittinggi, Batusangkar atau Payakumbuh. Kalau kenyataannya seperti yang kita lihat sekarang,

Hawari Siddik, pengamat aktivitas seni budaya, mantan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Barat Ketika menerima undangan dari Majalah SAGA, pikiran saya melayang jauh, saya tidak tahu kemana melayangnya. Kita kembali membicarakan Minangkabau, kembali lagi Minangkabau, seolah tak berujung

/Desember 2012

15


Jangan sampai kita yang membunuh kebudayaan kita sendiri� -JASMAN-

lebih baik Pekan Budaya diberhentikan saja, tidak usah diadakan. Pekan Budaya yang kita saksikan adalah pasar malam. Ambo tidak pernah membayangkan itu sebagai sebuh iven kebudayaan. Itu adalah iven pasar. Saya tertarik dengan tawaran Majalah SAGA, tapi sasarannya harus jelas. Jangan hanya sekadar membayangkan iven kebudayaan lagi, kemudian jatuh menjadi pasar malam. Pembiayaannya memakan anggaran besar, tapi kemudian jatuhnya hanya hura-hura. Mungkin lebih baik seperti apa yang dilakukan di zaman pak Azwar Anas dulu, ada medan nan bapaneh di setiap kecamatan. Tujuannya adalah bagaimana masyarakat berkesenian sesuai dengan aspirasi mereka, dengan caracara mereka sendiri. Sekarang

16

/Desember 2012

medan nan bapaneh itu tak berfungsi lagi sebagaimana yang direncanakan dulu, bahkan ada yang menjadi tempat penggembalaan ternak. Sejak saya menjadi kepala dinas pariwisata, dari awal sampai akhir tidak ada bekeinginan untuk menjadikan kegiatan berkesenian untuk mendatangkan wisatawan. Kita berkesenian bukan karena wisatawan datang tetapi karena kita berkesenianlah wisatawan datang. Sekarang ini, di Bukittinggi saja, tidak ada satu gedung pun untuk berkesenian. Saya menyarankan kepada forum ini, marilah kita mulai dari agenda kecil-kecil saja. Tidak usah membayangkan biaya segala macam. Kalau perlu tidak usah melibatkan pemerintah. Lebih baik kita melaksanakan program kecil yang bisa kita jamin kelanjutannya, daripada kita melakukan program besar tetapi tidak bisa kita jamin kelanjutannya. Diana, mewakili Bundo Kanduang Sumatera Barat Saya menanggapi apa yang disampaikan oleh pak Hawari. Saya sudah mengamati beberapa kali kegiatan Pekan Budaya, itu memang mirip pasar malam. Saya mempunyai gagasan, bagaimana kalau ada perayaanperayaan, festival apa saja yang menyangkut kegiatan seni budaya, bagaimana kalau kita libatkan peserta didik. Kebetulan saya juga seorang pendidik. Jadi kalau kita libatkan otomatis anak-anak mengenal budaya kita. Pendidikan kebudayaan anak-anak sangat penting. Anak saya kuliah di jawa, dia melihat bagaimana budaya Jawa bisa terjaga, karena ada pakempakem, ada acuan yang bisa menjadi media pewarisan budaya. Buya Masoed Abidin, ulama, pengamat budaya. Pertama saya ingin fokus kepada undangan, majalah

Minangkabau yang bernama SAGA. Usulan saya pertama, harus ada rubrik bahasa Minang. Kenapa harus begitu. Antara budaya dan bahasa sangat erat. Menurunkan bahasa Minang ke bahasa Indonesia tidak mudah dan tidak selalu menghasilkan pengertian yang sama. Alun takilek alah takalam, tidak bisa dibahasa indonesiakan begitu saja, tidak bisa dirjemahkan sebagai belum berkilat-kilat sudah berkelam-kelam. Banyak kata dalam bahasa Minang yang sudah tidak diketahui oleh orang sekarang dan sulit menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia: kucawai, apuah, singkah, bajak, sikai. Buya Hamka keistimewaannya menulis. Memasukkan bahasa Minang ke KBBI sehingga banyak kosa kata Minang yang masuk dalam kamus bahasa Indonesia. Kini banyak generasi muda awak yang merusak KBBI. Orang Minangpun sudah berubah bahasa Minangnya. Saran saya kepada Majalah SAGA, kalau ingin hendak berSAGA juga buat rubrik bahasa Minang di Majalah SAGA. Mungkin rubrik bahasa ini berisikan kosakata bahasa Minang, kedua gramatikal bahasa Minang, tatacara berbahasa bahasa Minang. Kemampuan orang Minang dahulu, baik di rumah, di surau atau di lapau, mereka menerima pewarisan nilai sehingga pandai mengaji, pandai memasak, pandai basilek, pandai berbahasa. Dengan bekal itu, orang Minang di masa lalu menguasai sembilan dari sepuluh profesi kehidupan nan memiliki posisi baik. Hanya satu yang tidak dimasuki oleh orang Minang, menjadi tentara. Kalau masuk tentara juga, mesti tamat Akademi Breda, ke negeri Belanda belajarnya. Sembilan dari sepuluh. Pertama, saudagar. Kedua, menjadi ulama. Di Jakarta di zaman Hamka, dari sepuluh khatib, delapan di antaranya

Lembaga boleh berubah, tetapi nilai tidak boleh beranjak� -BUYA MASOED ABIDDIN-

adalah orang Minang. Ketiga, diplomat. Sejak Agus Salim sampai kini. Empat, seluruh advokat Minangkabau dipakai orang. Kelima, guru. Para orang tua ingin anaknya menjadi guru. Kemudian profesi seperti dokter, insinyur dan amtenar. Edy Utama, budayawan, mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat. Ada dua hal penting yang harus dicermati ketika bicara tentang keberadaan Minangkabau. Pertama bagaimana cara memandang Minangkabau, kedua, bagaimana kita mempresentasikan Minangkabau. Bagaimana kita memandang dan membaca Minangkabau? Terus terang saja, menurut pengamatan saya, apa yang berkembang selama 30 tahun adalah hasil pandangan dan bacaan dari orang-orang yang berdiri di pematang sawah, orangorang yang berdiri di tebing, melihat ke bawah seperti melihat

lumpur tanpa pernah benar-benar turun ke bawah, merasakan lumpur dan mencium bagaimana baunya. Akibatnya, presentasi yang muncul adalah presentasi yang sangat artifisial. Memang secara dialektika diperlukan sebuah tafsir. Bagaimana kita memperlakukan tradisi sebagai sebuah gerakan kebudayaan. Tetapi justru presentasi yang muncul bukanlah hasil dari sebuah tafsir, tetapi sebuah penjajahan terhadap kultural Minangkabau yang diformat dalam sebuah iven. Kita lihat iven Pekan Budaya, dengan mudah dapat dikatakan sebagai sebuah pelecehan budaya. Kedua, cara berfikir kita dalam melihat Minangkabau. Jangan-jangan gagasan-gasasan Minangkabau yang ada dalam diri kita justru hasil gagasan orang luar, orangorang yang berdiri di pematang sawah. Pada tahun 2007 saya telah menulis tentang Pekan Budaya

kaki lima. Sebuah pertarungan ruang publik yang tidak seimbang. Ketika kebudayaan tradisi Minangkabau itu dipersandingkan dengan kaki lima yang menjual BH, kacamata, mainan anak dan sebagainya. Hal ini terus terjadi sampai pada penyelenggaraan Pekan Budaya di Solok yang baru berlangsung. Para pelaku pawai berjalan di tengah panas terik, tapi tak ada penonton. Apa yang terjadi adalah sebuah pembunuhan terhadap kebudayaan. Lebih parah lagi hampir semua iven dipertandingkan. Apakah benar semangat budaya kita adalah semangat budaya perlombaan, dan tradisi kita untuk saling mengalahkan? Silat tradisi kita sebagaimana mestinya berorientasi pada persaudaraan dan silaturrahmi. Sekarang silat itu diadu dan dipertandingkan. Randai diadu dengan randai. Saluang diadu dengan saluang. Kalau ada yang menang akhirnya mereka berfikir bahwa itu yang

/Desember 2012

17


sendiri.

paling bagus, lalu meniru dan mengakibatkan penyeragaman. Jadi iven ini membunuh keragaman budaya kita. Motivasi mereka yang datang ke pekan budaya sekarang ini untuk menang, untuk mengalahkan orang lain. Sangat berbahaya sekali kalau presentasi kita tetap seperti ini dalam memandang Minangkabau sekarang ini. Orang yang mengamati selama ini sangat kuatir kalau ini timbul menjadi kebudayaan baru. Festival yang diadakan sekarang ini harus ada penilai, harus ada pemenang. Benarkah harus demikian? Saya kira tidak. Budaya Minangkabau justru tumbuh untuk dirinya sendiri, untuk membangun martabatnya sendiri, untuk berkomunikasi dengan orang lain, untuk menyambung silaturrahmi. Itu inti dari kebudayaan Minangkabau. Jadi siapa yang membunuh kebudayaan itu. Saya bilang pemerintah, ya. Saya ingin lebih tegaskan lagi tentang itu. Kalau benar-benar ingin mau mengembalikan Minangkabau lagi, marilah kita duduk semeja lagi. Tidak mungkin Minangkabau tumbuh diluar habitatnya. Tidak mungkin budaya kita tumbuh di gedung-gedung yang megah, hanya sebagai tontonan kemudian orang-orang pergi. Tradisi budaya Minangkabau adalah media pendidikan bagi anak-anak kita. Karena nilai-nilai itu sulit diajarkan melalui kelas. Kemudian digunakanlah kesenian. Wajar anak-anak Minang tidak tahu dengan Minangkabau ketika

18

/Desember 2012

“Saya mempunyai gagasan, bagaimana kalau ada perayaanperayaan, festival apa saja yang menyangkut kegiatan seni budaya, bagaimana kalau kita libatkan peserta didik� -DIANA-

semua media mereka itu dihancurkan. Sadar atau tidak sadar. Soal presentasi, saya mengajak masyarakat setempat untuk membuat iven sesuai dengan adat tradisinya. Harus ada yang mengkonsolidasi agar masyarakat kembali kompak melaksanakan seni tradisi. Tidak mungkin hidup tanpa bersatu, tanpa musyawarah. Pelaku-pelaku budaya harus ditampilkan kembali, mereka sebagai aktor-aktor utamanya. Bukan hanya sebagai penonton. Harus ada strategi mengembalikan

hak-hak budaya itu. Begitu banyak aspek berkeMinangkabauan itu yang perlu dikaji kembali sebagai kekuatan untuk dipresentasikan. Motif penenunan, motif sulaman, tradisi-tradisi kecil, model ikat kepala, adalah produk budaya yang mengandung nilai-nilai luar biasa. Sayangnya kita di Sumatera Barat tidak memiliki strategi dan sebuah agenda apresiatif dalam mencoba membaca Minangkabau. Kalau pemerintah tidak mau membuat strategi, masyarakat akan berjalan dengan caranya

Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto, budayawan, maestro seni tradisi Uji coba pekanbudaya itu sebenarnya pada tahun 82 di Taman Budaya. Sesudah itu Pekan Budaya pertama dilaksanakan tahun tahun 1983. Tidak pernah saya tidak ikut jadi panitia. Waktu itu semua seniman Sumatera Barat terlibat dan merasa memiliki. Anggaran tidak besar, honor kecil, tetapi kami kerjakan dengan hati senang. Tapi Pekan Budaya sekarang? Anggaran sudah jauh lebih baik, tapi penghargaan kepada para pelaku seni tidak memadai dan tidak banyak seniman yang terlibat di dalam kegiatan ini. Dalam Pekan Budaya di Kabupaten Solok yang baru saja berlangsung, banyak hal yang bisa disampaikan sebagai kritik, protes atau komplain. Sosialisasi, publikasi dan keterlibatan masyarakat tetap menjadi masalah. Ada kegiatan yang tetap berjalan walaupun azan Ashar sudah berkumandang dari mesjid yang berada dalam arena Pekan Budaya. Ada peserta atau panitia yang tidak kebagian konsumsi dan sebagainya. Kalau Pekan Budaya tetap seperti sekarang ini, lebih baik matikan saja anggaran yang satu ini. Sebagian besar seniman dan budayawan kita tidak akan mendukung Pekan Budaya berikutnya. Saya sarankan kepada pak Kepala Dinas, agar kita bisa duduk bersama lagi untuk membicarakan Pekan Budaya ini. Bukan hanya untuk membicarakan Pekan Budaya, banyak hal yang harus kita bicarakan bersama. Tentang pelajaran BAM misalnya, guruguru BAM mengajarkan muatan lokal ini dengan bahasa Indonesia. Saya keliling Jawa selama 30 hari, muatan lokal diajarkan dalam bahasa Jawa. Di Aceh juga saya saksikan bahasa Aceh dipakai untuk mengajarkan muatan lokal. Bila kita lihat perkembangan randai akhir-akhir ini, banyak hal yang perlu dikaji ulang. Ada yang mengatakan bahwa randai sudah

hancur, terjadi penyeragaman. Siapa yang bertanggung jawab? BKKNI, ISI, SMKI? Selain itu, keberadaan institusi pemerintah di bidang seni budaya, juga pantas kita bicarakan kembali. Dengan alasan pariwisata, misalnya, apakah tidak terjadi penggerusan nilai seni dan budaya? Darman Moenir, budayawan Saya ingin mengembalikan ke pokok persoalan kita dengan Majalah SAGA. Bagaimana kaitan Majalah SAGA dengan kita yang diundang ini. Majalah ini jelas ada aspek bisnisnya, orientasi profitnya. Kedua, bagaimana mengelola SAGA, betul-betul memiliki harus memiliki greget. Banyak majalah-majalah Minang yang pernah terbit di Jakarta atau Padang. Pada umumnya tidak bernafas panjang, karena memang tidak mendapat pasar, tidak mendapat pembacanya. Tidak mungkin dalam majalah SAGA itu tidak ada rubrik yang berbahasa Minang. Mungkin 50 atau 60 persen bahasa Minang. 40 bahasa lain; 30 Persen bahasa Indonesia, 10 atau 5 persen bahasa inggris. 5 Persen bahasa arab bisa diupayakan. Jadi itu persoalan bagaimana mencari redaktur yang baik. Dalam masalah kebahasaan kita masih repot sekarang ini, di koran-koran yang terbit di Padang saja perhatikan, banyak soal penulisan kata yang berbeda cara penulisannya. Apakah Padang Pariaman harus ditulis Padangpariaman atau dipisah? Kemudian juga penulisan nama nagari di Minangkabau. Bagaimana kita bisa membakukan nama seperti duo kali sabaleh anam lingkuang, misalnya. Itu kan bagus sekali nama nagari, tidak ada itu di Amerika. Sekarang ditulis sebagai Dua kali sebelas enam lingkung, Aia Cama menjadi Air Camar. Wah, ke mana larinya? Ini memerlukan kejelian redaksional. Hal ini pernah saya sampaikan pada redaktur TVRI Sumbar. H. Hawari Siddik Saya coba melihat persoalan Minangkabau hari ini, berkaitan

“Anggaran tidak besar, honor kecil, tetapi kami kerjakan dengan hati senang� -Musra Dahrizal Katik jo Mangkutodengan kehadiran Majalah SAGA. Problematiknya hanya dua. Pertama kontens nilai, kedua simbol. Di manapun kebudayaan persoalannya adalah nilai dan symbol. Di Minangkabau sekarang, nilai sudah diketahui tidak terkuasai oleh kita, dan simbol sudah mulai ditinggalkan, nyaris tidak terpakai lagi dalam kehiduan sehari-hari. Mohon Majalah SAGA mempelajari simbol-simbol apa yang ada di Minangkabau. Simbol apa yang terkandung dalam seni ukir, umpamanya. Juga penulisan nama tempat, nagari dan istilah Minangkabau. Penulisan sebaiknya sama dengan pengucapan. Dengan demikian tidak menghilangkan arti yang sesungguhnya. Drs. Burhasman, MM, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat Selamat atas terbitnya Majalah SAGA, alhamdulillah. Bukan sebagai media yang profit oriented, setidaknya bisa impas.

/Desember 2012

19


Harus ada strategi membuat kekinian, bagaimana membumikan adat dan kebudayaan Minangkabau dalam bentuk kekinian. -Drs.BURHASMANKami berharap Majalah SAGA bisa mengedukasi masyarakat dalam persoalan kebudayaan Minangkabau. Memang tidak sederhana menyebut kebudayaan Minang dalam era sekarang, sebab tidak mungkin mengembalikan Minangkabau bentuk dahulu. Harus ada strategi membuat kekinian, bagaimana membumikan adat dan kebudayaan Minangkabau dalam bentuk kekinian. Kita berharap kepada SAGA agar dialog-dialog seperti sekarang agar diulas lebih spesifik. Satu kabek, sehingga masyarakat teredukasi. Pilih satu topik yang objektif. Kita ingin dialog tetap ada, apakah yang namanya dialog, apakah yang namanya wirid budaya, silahkanlah. Ke depan kita berharap fokuslah satu topik, sehingga proses edukasi

20

/Desember 2012

masyarakat bisa berjalan. SAGA itu akan dibundel. Kalau disimpan SAGA itu adalah bentuk bundel dia bisa menjadi rujukan (satu). Kedua, menyangkut seluruh kritik terhadap Pekan Budaya, mungkin bukan budayanya yang salah tetapi mengemasnya yang salah. Jadi jangan sampai salah letak. Jangan sampai sepakat pula, tidak usah saja ada Pekan Budaya. Cara membungkusnya, cara menatingnya, ini yang dibutuhkan. Walaupun demikian tentu ada satu dua yang dapat diambil. Kemudian menyangkut kegalauan. Saya yakin setiap kita menyimpan kegalauan, resah kita, kalau teringat bisa membuat tak bisa tidur. Ada yang memang hilang dalam peran lembaga sosial kita, kalau dahulu ada lapau, ada surau. Ada pengawasan komunal, di mana kita harus bertanggung jawab. Tanpa kita sadari peran ini menyusut. Berlatih di surau, bersilat di surau, tidak ada lembaga lain yang bisa mengambil alih peran ini secara utuh. Saya melihat peran lapau, surau, komunal, yang ada dahulu serasa sesakit semalu. Apa strategi sekarang menciptakan kondisi itu dalam suasasana kekinian. Memang membutuhkan suatu pemikiran yang mendasar. Tentu dengan kehadiran Majalah SAGA kita menghidupkan kembali nuansa-nuansa itu. Ada hal-hal yang dahulu dibuat nenek moyang kita yang tak bisa kita perbuat hari dan ini yang kita cari formatnya. Harus ada kesepakatan untuk memilih itu. Harus ada kesepakatan wali nagari, lurah, camat, KAN. Pekan Budaya biar kami yang mengurusnya. Ikut serta pariwisata itu membunuh kebudayaan, iya, sebab memang tidak semua orang pariwisata yang mengerti dengan kebudayaan. Barangkali wirid-wirid seperti ini terus menerus kita laksanakan, boleh kita dengar pula pandangan bersama. Kalau meningkatkan kinerja bagusnya kita memberi subsidi, kalau dalam bentuk lomba tentu kita harus mencari juri. Kalau kita beri subsidi, ada tanggungjawab. Saya ingin apa (atraksi budaya) yang ditampilkan di provinsi itu memang yang terbaik di tingkat

kabupaten. Jangan berharap melakukan atraksi budaya karena mengharap orang tampil, tetapi tampil karena atraksi budaya itu orang datang. Seperti kata Pak Hawari, jangan atraksi. Misi Majalah SAGA bisa menjadi harapan bagi kita sekarang ini. Buya Masoed Abidin Pertama, lembaga boleh berubah, tetapi nilai tidak boleh beranjak. Kedua, saya sangat mendukung harapan kepala dinas. Sekali kita membuat majalah yang namanya SAGA kalau dia hilang. Hati-hati, ijuak indak basaga buruak akibaiknyo. Jasman. M, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Solok. Apa yang saya dengar dari tadi, sangat luar biasa sebagai pengayaan bagi saya pribadi. Mudah-mudahan bisa kami implementasikan nanti dalam tugas sehari-hari di lapangan. Ada beberapa hal yang saya tangkap. Partamo, kakanda Edi Utama, masalah kebudayaan yang sudah tergerus. Ya, kita perlu bersama-sama membincang dan mencari jalan baik untuk hal ini. Jangan sampai kita yang membunuh kebudayaan kita sendiri. Mungkin kita perlu lebih memberdayakan lembagalembaga kebudayaan kita, dan inistiatif seniman dan budayawan sangat diperlukan. Kita menginginkan agar Pekan Budaya tidak hanya menjadi rutinitas. Janganlah Pekan Budaya serupa pasar malam. Mengenai majalah SAGA, di samping redaktur yang hebat, tentu harus ada fotografer yang handal. Penutup Diskusi terbatas tentang iveniven seni budaya yang ada di Sumatera Barat itu berakhir menjelang senja. Banyak pekerjaan rumah yang masih tersisa, dan masih banyak hal yang harus dikaji untuk masa depan iven-iven seni budaya kita. Apakah kita masih memerlukan Pekan Budaya dan iven-iven yang serupa? Jawabannya terpulang pada masyarakat kebudayaan itu sendiri.

/Desember 2012

21


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.