urbanisasi & suburbanisasi
S e m ac a m Kata P e n ga n ta r (Anggap Saja) Ebenezer Howard - CEO Peta Dasar Fix Bgt
Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Om swastiastu. Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sampai detik ini begitu banyak nikmat yang telah dikaruniai kepada kita semua. Akhirnya Peta Dasar Fix Bgt (PDFB) balik lagi. Semoga dengan kembalinya PDFB ini, bisa memberikan manfaat kepada teman-teman sekalian. Fenomena urbanisasi dan suburbanisasi menjadi fenomena yang sangat menarik untuk di telisik, sehingga kali ini kami mencoba berbagi atas apa yang kami ketahui tentang urbanisasi dan kaitannya dengan perkotaan. Mohon maaf apabila ada kesalahan. Penulis juga masih mahasiswa hampir semester tua. Terima kasih, Salam Perencana, VIVA PLANOLOGI!
1
Da f ta r Is i Diurut Berdasarkan Abjad Nama Pengirim
S e m ac a m Kata P e n ga n ta r
1
T i n j aua n L i t e r at u r
3
T e o r i P e r ko t a a n & Suburbanisasi
5
Suburbanisasi & Alih Fungsi Lahan
8
D a m pa k S u r b a n i s a s i T e r h a da p L i n g k u n ga n
10
Da f ta r P u s ta k a
11
T i n j aua n L i t e r at u r
Urbanisasi merupakan suatu proses konsentrasi penduduk yang oleh kebanyakan orang disalahpahami sebatas migrasi penduduk desa ke kota. Sesungguhnya, konsep urbanisasi adalah persentasi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Urbanisasi juga bisa menggambarkan suatu proses peningkatan penduduk perkotaan secara total (Evers, 1975). Kingsley Davis menjelaskan urbanisasi sebagai suatu proses peralihan dari pola pemukiman penduduk yang tersebar menjadi pola pemukiman yang terkonsentrasi di pusat-pusat perkotaan (Manjunatha dan Kote, 2012). Urbanisasi sering dikaitkan dengan pendapatan perkapita suatu negara. Umumnya semakin maju suatu negara, yang diukur dengan pendapatan perkapitanya, maka semakin banyak penduduk yang tinggal di daerah perkotaan (Todaro dan Smith, 2006). Berdasarkan data urban map Unicef, pada tahun 2010, negara-negara berpendapatan perkapita tinggi seperti Amerika Serikat, Prancis, Spanyol dan Inggris memiliki persentase penduduk urban lebih dari 75 persen. Di wilayah Asia Tenggara, negara dengan persentase penduduk urban lebih dari 75 persen adalah Singapura dan Brunei Darussalam. Indonesia pada tahun 2010 memiliki tingkat urbanisasi sebesar 44 persen, cukup jauh dibawah Malaysia yang telah mencapai 72 persen. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat urbanisasi adalah migrasi penduduk dari perdesaan ke perkotaan atau disingkat migrasi desa-kota. Menurut Todaro, migrasi desa-kota didorong oleh berbagai pertimbangan ekonomi yang rasional dan yang langsung berkaitan dengan keuntungan atau manfaat dan biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri. Migrasi desa-kota berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dengan desa. Pendapatan yang dimaksud bukanlah penghasilan yang actual melainkan penghasilan yang diharapkan (Todaro dan Smith, 2006). Burian dan Voženílek (2012) serta Kok dan Kovacs (1998) menyebutkan teori Van den Berg mengenai perkembangan daerah urban dimana ada empat tahapan
3
urbanisasi yaitu (i) urbanisasi (pertumbuhan yang cepat di pusat kota karena percepatan industrialisasi), (ii) suburbanisasi (pertumbuhan di sekeliling perkotaan karena dominasi di sektor ekonomi jasa), (ii) deurbanisasi (pertumbuhan daerah perdesaan karena tingginya apresiasi terhadap lingkungan dan teknologi informasi yang baru) dan (iv) reurbanisasi (perpindahan “kembali ke kota” karena perubahan gaya hidup). Tahapan-tahapan ini ditandai dengan perubahan proporsi penduduk yang tinggal di kota dan pinggiran kota yang disebabkan oleh perbedaan arah pergerakan penduduk. Selama tahap pembangunan perkotaan, bersamaan dengan perubahan alokasi penduduk, ada perubahan dalam tata letak dan pemanfaatan ruang di dalam perkotaan. Van den Berg menggambarkan suburbanisasi sebagai tahap perkembangan kedua dari sebuah kota di mana penduduk bergerak menuju pinggiran kota. Proses ini menuntut tersedianya ruang yang lebih besar di pinggiran kota. Wilayah kota secara spasial mengalami penyebaran ke wilayah-wilayah sekitarnya. Terjadi perpindahan penduduk dari pusat kota ke wilayah pinggiran kota. Perpindahan penduduk ini sangat dipengaruhi oleh standar pembangunan perumahan dan sarana lalu lintas (Burian dan Voženílek, 2012). Suburbanisasi diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan juga kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk kegiatan industri (Rustiadi dan Panuju,
1999) atau penyebaran penduduk dan pekerjaan ke wilayah pinggiran kota (Kopecky dan Suen, 2004). Terbentuknya kawasan-kawasan industri akan diikuti oleh pergerakan tenaga kerja ke daerah-daerah suburban. OuĹ™ednĂÄ?ek et al. (dalam Burian dan VoĹženĂlek, 2012) menyebutkan ada dua bentuk suburbanisasi yang biasanya dibedakan dari sisi perumahan dan komersial. Yang pertama menjelaskan pemusatan yang terjadi di pinggiran kota dengan dengan pembangunan perumahan-perumahan (pembangunan kota-kota satelit). Suburbanisasi secara komersial mencakup pertumbuhan pusat perdagangan, manufaktur, gudang dan kegiatan logistik. Proses suburbanisasi menimbulkan perpindahan kegiatan industri ke daerah-daerah pinggiran dan menciptakan wilayah pemukiman yang lebih menarik. Ditambah dengan dibangunnya infrastruktur jalan yang baru dan aksesibilitas dari pusat kota ke pinggiran kota lebih ditingkatkan. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan mobilitas tenaga kerja dan individu yang bepergian ulang-alik ke pusat kota. Bayoh et.al (2002) mengklasifikasikan penyebab suburbanisasi di kota-kota besar menjadi: (1) factor karakteristik rumah tangga individu yang menyebabkan migrasi keluar, misalnya perubahan pendapatan dan struktur keluarga, dan (2) faktor yang terkait dengan kota-kota dan pinggiran kota yang mendorong rumah tangga keluar dari kota dan menarik mereka ke pinggiran kota, misalnya tingkat kejahatan yang lebih tinggi dan kualitas sekolah yang lebih rendah cenderung mendorong penduduk untuk keluar dari kota-kota utama, sementara lingkungan
lebih homogen, ketersediaan layanan yang lebih baik, dan tersedianya perumahan-perumahan baru cenderung akan menarik penduduk ke wilayah pinggiran kota atau suburban. Sebagai contoh adalah proses suburbanisasi yang terjadi di Jakarta terhadap wilayah sekitarnya. Proses suburbanisasi yang terjadi di wilayah sekitar Jakarta melalui beberapa tahapan. Dalam penelitiannya mengenai distribusi spasial penduduk yang terkait dengan proses suburbanisasi, dengan studi kasus di Kabupaten Bekasi, Rustiadi et.al (1999) mengemukakan bahwa ada tiga tahapan dalam proses suburbanisasi di Kabupaten Bekasi: (1) pra-suburbanisasi (hingga tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama (awal 1980-an), dan (3) suburbanisasi tahap kedua (mulai 1990-an).
4
T e o r i P e r ko t a a n d a n Suburbanisasi Urban Life Cycle Teori Urban Life Cycle oleh Van Den Berg. Teori ini mengatakan bahwa ada empat tahapan urbanisasi yaitu urbanisasi, suburbanisasi, deurbanisasi dan reurbanisasi (Burian dan VoĹženĂlek, 2012). Van Den Berg membangun kerangka teorinya dari tingkat mikro melalui analisis fungsi perilaku individu perkotaan. Van den Berg berasumsi bahwa pelaku perkotaan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka (bukan utilitas atau kekayaan). Daya tarik lokasi perumahan atau lokasi bisnis tergantung pada ukuran dan kualitas dari unsur-unsur kesejahteraan yang ditawarkan.
Faktor-faktor tersebut menunjukkan fakta bahwa orang tidak selalu bergantung pada unsur kesejahteraan lokal saja. Tersedianya unsur kesejahteraan di lokasi yang sesuai secara keseluruhan dan relevan mempengaruhi perilaku spasial mereka. Singkatnya, perubahan dalam perilaku para aktor urban menyebabkan terjadinya perubahan perkotaan. Dalam model Van den Berg, perubahan perilaku spasial pelaku perkotaan disebabkan oleh perkembangan (ekonomi, sosial, politik, teknologi, demografi) yang mendasar, yang mempengaruhi mobilitas, preferensi dan tingkat aspirasi para pelaku (Braun, 2008).
5
Evolusi Alami (Natural Evolution Theory) Teori natural evolution menekankan pada jarak dari tempat tinggal ke pusat kerja, efek pendapatan riil yang meningkat dari waktu ke waktu, permintaan perumahan dan lahan baru, serta persediaan perumahan yang beragam. Pertimbangan penting lainnya dalam teori ini adalah biaya transportasi, inovasi transportasi dalam perkotaan dan perubahan waktu sebagai perbandingan keuntungan dari berbagai kelompok pendapatan dalam bepergian jarak jauh untuk bekerja, tidak salah apabila teori ini termasuk teori yang disukai oleh ahli perkotaan dan ahli trnasportasi (Mieszkowski dan Mills, 1993). Ketika lapangan pekerjaan terkonsentrasi di pusat kota, pembangunan perumahan penduduk bergerak dari dalam kemudian semakin keluar.
Market Failure Teori ini menjelaskan mengenai kegagalan pasar yang mendorong penyebaran penduduk ke wilayah suburban. Kegagalan pasar mencakup tiga hal yaitu pengabaian terhadap nilai sosial dari ruang terbuka, pengabaian biaya sosial dari penggunaan kendaraan bermotor dan kegagalan dalam penghitungan biaya rata-rata dari infrastruktur milik umum (Byun dan Esparza, 2005). Berdasarkan nilai sosial lahan pertanian atau pedesaan di wilayah pinggiran perkotaan serta rata-rata biaya infrastruktur public maka dimungkinkan untuk menurunkan biaya pembangunan di pinggiran kota. Selain, biaya sosial sebagai efek eksternalisasi kendaraan bermotor juga memberikan kontribusi untuk membuat hidup di pinggiran kota relatif murah. Alasan ini mendorong penyebaran penduduk ke daerah pinggiran kota (suburban).
Urban Cycle Life
Faktor - Persepsi umum terhadap ukuran kualitas unsur kesejahteraan yang ditawarkan
Natural Evolution
Faktor - Naiknya Pendapatan - Kebutuhan akan pemukiman - Inovasi transportasi - Kebijakan Pemerintah: pajak, pembangunan jalan tol, subsidi kendaraan - Pembangunan pemukiman di area suburban oleh Swasta
Biaya kepemilikan rumah yang relatif rendah di area suburban
Asumsi: - Mengabaikan Nilai Sosial dari Ruang Terbuka - Mengabaikan Biaya Kepemilikan Mobil - Pembiayaan rata-ata Infrastruktur
Biaya pengembangan infrastruktur yang murah ke area suburban
Market Failure
Suburbanization Sprawl
Diagram Keterkaitan Teori terhadap Suburban Sprawl Sumber: Olah Data Penulis
6
S u b u r b a n i s a s i da n Alih Fungsi Lahan Penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis. Perubahan guna lahan terjadi seiring dengan perubahan dan dinamika aktivitas manusia. Dengan demikian masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995). Turner et al. (1995) menyatakan bahwa penggunaan lahan berperan dalam menggambarkan fungsi biofisik di bumi serta terkait dengan aktifitas ekonomi manusia dalam pengelolaannya. Dinamika alih fungsi lahan dapat terjadi pada segala bentuk pemanfaatan lahan, di wilayah perkotaan ataupun pedesaan. Deng et al. (2009) menyataan bahwa perubahan lahan di perkotaan dipicu oleh proses urbanisasi yang cepat untuk penyediaan pemukiman dan kawasan industri. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rustiadi dan Panuju (2002) menunjukan bahwa perubahan lahan di Indonesia dipengaruhi oleh urbanisasi, karena terdapat keterkaitan antara proses urbanisasi dengan perkembangan wilayah urban yang tidak teratur. Semakin padatnya penduduk perkotaan menyebabkan ruang lahan yang tersedia semakin sempit sehingga mendorong pengembangan wilayah perkotaan bergerak ke arah pinggiran kota yang memiliki ruang lahan lebih luas. Karena keterbatasan lahan di kota menyebabkan peningkatan pembangunan perumahan di daerah suburban untuk menyediakan kebutuhan akan perumahan. Di samping pengembangan wilayah pemukiman penduduk, wilayah suburban juga menjadi sasaran pengembangan kawasan industri melalui pembangunan pabrik-pabrik, sehingga mendorong perpindahan tenaga kerja di perkotaan ke wilayah-wilayah suburban. Dengan dukungan sarana dan prasarana transportasi yang memadai seperti jalan raya, rel kereta api, kendaraan umum dan lain sebagainya, akan memberikan kemudahan bagi penduduk yang tinggal di daerah suburban dan juga pelaku usaha untuk mengakses pusat kota yang merupakan pusat aktivitas ekonomi. Sebagai contoh, Kabupaten Bekasi. Anjani, V (2010) menemukan bahwa dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan besar-besaran pada penggunaan lahan tanaman pertanian basah di Kabupaten Bekasi. Secara
8
keseluruhan perubahan penggunaan lahan untuk pertanian di kabupaten bekasi adalah sebesar 2,1% per tahun dengan penurunan sebesar 7168,93 ha per tahun. Hal ini mengindikasikan fenomena terjadinya sub-urbanisasi di Kabupaten Bekasi. Dan berdasarkan data dari BPS, Kabupaten Bekasi mengalami pertambahan penduduk sekitar 4,7% atau 147.200 jiwa yang menjadikan Kabupaten Bekasi menjadi daerah dengan pertumbuhan penduduk tertinggi di Jawa Barat yang seakan mengamini bahwa terdapat keterkaitan antara urbanisasi dengan alih fungsi lahan. Perubahan penggunaan lahan akan berdampak pada perubahan aktivitas manusia (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995) maka apabila perubahan lahan di Kabupaten Bekasi di bandingkan dengan perubahan sektor mata pencaharian penduduk Kabupaten Bekasi, akan ditemukan bahwa pada tahun 1999, 152.807 orang (21,34%) bekerja pada sektor pertanian, 175.493 orang (24,51%) bekerja pada sektor industri, 188.064 orang (16,49%) dan 117.945 orang (16,47%) bekerja pada sektor perdagangan dan jasa. Sedangkan 15 tahun kemudian, yaitu pada tahun 2014 pekerja di sektor pertanian menurun drastis menjadi 135.352 orang (8,09%) sedangkan untuk sektor lainnya melonjak tajam, seperti sektor industri yang mengalami kenaikan tertinggi menjadi 468.883 orang (40,82%), dan untuk sektor perdagangan dan jasa menjadi 295.039 orang (22,25%) dan 209.166 (14,71%).
D a m pa k S u b u r b a n i s a s i t e r h a da p L i n g k u n ga n Frumkin (2002) menjelaskan setidaknya ada beberapa aspek suburbanisasi yang berdampak terhadap lingkungan seperti semakin tingginya intensitas penggunaan kendaraan bermotor dan alih fungsi lahan. Dengan tinggal di daerah suburban, maka waktu tempuh kendaraan mereka ke pusat kota menjadi lebih lama daripada mereka yang tinggal di pusat kota (Kahn, 2000) sehingga emisi gas kendaraan yang terbuang menjadi lebih banyak. Selain itu, jarak yang cukup jauh dengan pusat kota, membuat konsumsi bahan bakar meningkat yang mengakibatkan polusi udara dari gas karbondioksida meningkat yang berkontribusi dalam pemanasan global. Suburbanisasi juga meningkatkan konsumsi akan energi yang paling menonjol adalah pembangunan jalan raya yang menghubungkan daerah suburban sebagai sarana lalu-lintas bagi kendaraan bermotor. Struktur masyarakat yang luas di daerah suburban yang dihubungkan oleh jalan raya tersebut akan meningkatkan konsumsi energi (Lovaas, 2004). Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi yang cepat di daerah suburban juga menyebabkan peningkatan konsumsi lahan. Seperti yang terjadi di daerah-daerah suburban sekitar Jakarta. Dimana hal ini menyebabkan Over Carrying capacity dan berimplikasi pada meluasnya area banjir di wilayah Jabodetabek.
Gambar 1. Peta Sebaran Banjir di Jabodetabek. Berdasarkan Data PODES 2000-2011
10
Da f ta r P u s ta k a
Anjani, V. (2010). Dinamika Penggunaan Lahan dan Penataan Ruang Kabupaten Bekasi [skripsi]. Bogor: Program studi manajemen sumberdaya lahan, Departemen Ilmu Tanah Dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Kabupaten Bekasi dalam Angka. Kabupaten Bekasi Bayoh, Isaac, Elena G. Irwin, and Timothy Haab. 2002. Flight from Blight vs. Natural Evolution: Determinants of Household Residential Location Choice and Suburbanization. Paper prepared for the 2002 American Agricultural Economics Association Meeting Long Beach, CA, July 28-31, 2002 Burian, Jaroslav and Vít Voženílek. 2012. Identification and Analysis of Urbanization and Suburbanization in Olomouc Region - Possibilities of GIS Analytical Tools, Advances in Spatial Planning, Dr Jaroslav Burian (Ed.). In Tech Byun, Pillsung and Adrian X. Esparza. 2005. A Revisionist Model of Suburbanization and Sprawl The Role of Political Fragmentation, Growth Control, and Spillovers. Journal of Planning Education and Research 24:252—264.
Kok, Herman and Zoltfin Kovfics. 1998. The Process Of Suburbanization In The Agglomeration Of Budapest [Paper First Received, September 1998; In Final Form, October 1998] Lovaas, Deron. 2004. Suburbanization and Energy. Encyclopedia of Energy, Vol. 5. : 765-776 Manjunatha S dan Anilkumar B. Kote. 2012. Urbanization And Its Impacts On The Sub-Urbs Of Bangalore City. Int J Cur Res Rev, Nov 2012 / Vol 04 Mieszkowski, Peter and Edwis S. Mills. 1993. The Cause of Metropolitas Suburbanization. Journal of Economic Perspectives, Volume 7 Number 3, Summer 1993: 135-147 Rustiadi, Ernan and Dyah Retno Panuju. 2002. “Spatial Pattern of Suburbanization and Land Use Change Process: Case Study in Jakarta Suburb” in Land Use Changes in Comparative Perspective edited by Himiyama et.al. USA: Science Publisher Inc.
Saefulhakim, R. S. and Nasoetion, L.I. 1995. Rural Land Use Management for Economic Development. Laboratory of Land Resources Development Planning. Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. Bogor.
Evers, Hans-Dieter. 1975. Urbanization and Urban Conflict in South East Asia. Asian Survey, Volume 15, Issue 9 (Sept. 1975), 775-785 Frumkin, Howard. 2002. Urban Sprawl and Public Health. Public Health Report, May-June 2002, Volume 117: 201-217 Kahn, Matthew E. 2000 The Environmental Impact of Suburbanization. Journal of Policy Analysis and Management, Vol. 19, No. 4, 569–586 (2000) Karen A. Kopecky and Richard M. H. Suen. 2009. A Quantitative Analysis of Suburbanization and the Diffusion of the Automobile. MPRA Paper No. 13258, posted 9. February 2009
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan. Diterjemahkan oleh Drs Haris Munandar, MA dan Puji AL, SE dari Buku Economic Development Ninth Edition. Jakarta: Erlangga Turner II. B. L, Skole. D, Sanderson S, Fischer. G., Fresco. L. and Leemans, R. 1995. Land Use and Land Cover Change : Science/Research Plan. IGBPReport No. 35/HDP Report No. 7. Stockholm and Geneva