Jong Indonesia Edisi IST

Page 1

S

JONG INDONESIA

J

Edisi September 2015

Indonesian Scholar Talks


Pimpinan Redaksi Hafida Fahmiasari

Editor

Amalia Puri Handayani

Kontributor

Abdul Rahman Asriadi Eneng Rahmi Erwin Chandra Christiawan Fathania Queen Genisa Fuji Riang Prastowo Ika Nurzijah Ikhsan Abdusyakur Mita Puspita Sary Muhamad Eka Ari Pramuditya

PPI Belanda-2015


Salam Jong Indonesia!

Inilah edisi terakhir dari Jong Indonesia periode 2014/2015. Indonesian Scholar Talks, ajang pemaparan gagasan cemerlang para pelajar Indonesia di Belanda dikupas tuntas disini. Terima kasih untuk segala partisipasi para anggota PPI Belanda dalam membantu proses Jong Indonesia hingga di ujung tahun ini. Sayonara! Sampai jumpa di Jong Indonesia periode selanjutnya!


Press Release

Berkontribusi Nyata Bersama PPI Belanda lewat Indonesian Scholar Talks Dirilis oleh: Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda (PPI Belanda) Den Haag, 30 Agustus 2015

Sekitar 100 pelajar Indonesia dari berbagai penjuru Belanda turut meramaikan acara Indonesian Scholar Talks (IST) yang diselenggarakan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda (PPI Belanda) dan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Kota Den Haag (PPI Kota Den Haag) bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag (KBRI Den Haag) pada Sabtu, 29 Agustus 2015. Acara yang turut didukung oleh Nuffic Neso Indonesia, BNI Belanda, dan Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Netherlands ini dilaksanakan di International Institute of Social Studies (ISS), Den Haag, Belanda dengan mengangkat tema besar “Kontribusi Nyata untuk Indonesia�. Dalam sambutannya, Sekjen PPI Belanda Hapsari Cinantya Putri menyatakan bahwa ajang ini merupakan sarana untuk memaparkan ide-ide pilihan untuk Indonesia yang dapat diikuti oleh berbagai kalangan di dalam maupun di luar Belanda. Tya juga meyakini bahwa ajang ini merupakan salah satu langkah awal untuk mewujudkan kontribusi nyata untuk Indonesia. Sementara itu, Prof. Ben White mewakili ISS sedikit berbagi cerita dalam suasana yang santai, dimana beliau menceritakan suka duka para pelajar Indonesia yang pertama kali berangkat kuliah ke Belanda. Beberapa nama yang disebutkan adalah RM Pandji Sosrokartono (kakak kandung RA Kartini), Iso Reksohadiprodjo (Profesor Ekonomi Pertanian pertama di UGM), dan Professor S.M.P.Tjondronegoro (Vice-President, Indonesian Academy of Sciences 2008-2013). Acara ini dibuka langsung oleh Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) KBRI Den Haag Ibnu Wahyutomo yang menyambut positif acara ini dan berpesan agar kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan universitas bisa makin ditingkatkan di masa depan. Turut hadir dalam acara ini adalah Dr. Johny Setiawan (Direktur Eksekutif I-4) dan Prof. Yohanes Surya, Ph.D (Pendiri Surya Institute) sebagai keynote speaker. Dalam sesi pertama, Dr. Johny Setiawan membahas sejumlah isu yang dihadapi Indonesia, dimana meskipun memiliki performa makro ekonomi yang bagus namun Indonesia cenderung memiliki Human Development Index (HDI) yang rendah (0,684; peringkat 108 dari 187 negara). Dr. Johny Setiawan menyebut bahwa minimnya dana riset yang dimiliki Indonesia menjadi salah satu penyebab dari hal ini. Dr. Johny pun juga mengatakan bahwa Indonesia dapat menghemat lebih dari 36 miliar dollar AS andaikan mau menginvestasikan 3,7 miliar dollar AS untuk dana riset.


Sementara itu, di sesi kedua Prof. Yohanes Surya menitipkan pesan kepada para penonton untuk pulang ke Indonesia dengan tujuan yang jelas. Beliau juga menyebut bahwa tidak ada kesuksesan yang bisa diraih secara instan karena ketekunan dan kesabaran menjadi kunci keberhasilan. Beliau mencontohkan pengalaman pribadi beliau dimana butuh 14 tahun untuk bisa menjadikan Indonesia meraih emas di Olimpiade Fisika Internasional. Selain itu, Prof. Yohanes Surya juga berpesan bahwa tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat guru dan metode yang benar. Prinsip ini selalu dijadikan dasar beliau dalam mendidik para siswanya sehingga bisa meraih kesuksesan di ajang internasional. Beliau juga mengingatkan berbagai potensi besar yang dimiliki Indonesia mulai dari sumber daya alam hingga sumber daya manusianya, dan ini bisa menjadi langkah awal untuk berkontribusi nyata bagi Indonesia. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan, Ph.D juga turut memberikan tanggapan positif terhadap acara ini. Lewat rekaman video yang khusus dikirimkan untuk PPI Belanda. Beliau menyebut bahwa karakter pembelajar yang mencintai Indonesia tanpa syarat merupakan karakter ideal yang harus dimiliki oleh para pelajar Indonesia. Beliau juga mengatakan bahwa kontribusi yang bisa dilakukan para pelajar Indonesia adalah menyelesaikan masalah yang ada di Indonesia lewat ilmu-ilmu yang telah dipelajar di luar negeri. Di akhir sambutan, beliau berpesan kepada para pelajar Indonesia di luar negeri untuk tidak segera pulang ke Indonesia tapi mengambil pengalaman dan membangun jaringan serta menempa diri di tempat belajar saat ini. Bekerja di luar negeri bukan hanya semata-mata bekerja namun mengambil pengalaman berharga yang ada di negeri tersebut. Beliau juga meminta agar para pelajar yang telah pulang untuk tidak membawa keluh kesah namun membawa optimism untuk maju dan berubah. Selain pemaparan dari kedua keynote speaker, acara ini juga diisi dengan pemaparan ide-ide pilihan oleh 10 presenter terpilih dari 5 bidang keilmuan (Sains & Teknologi, Sains Sosial, Ilmu Hayati & Kesehatan, Humaniora, Politik & Hukum) yang telah diseleksi dari 96 karya yang masuk. Tujuh dari 10 presenter tersebut merupakan pelajar Indonesia yang menjalani studi di Belanda, sementara tiga presenter lainnya adalah pelajar yang studi di Indonesia yang mengirimkan rekaman video presentasinya. Berikut adalah nama-nama presenter yang terpilih: Abdul Rahman (University of Twente) Meningkatkan Kepatuhan Pajak dengan Mekanisme Reward dan Punishment Asriadi (Institut Teknologi Sepuluh November) OpenVoice Project : Konsep, Desain dan Implementasi Komunikasi Nirkabel Bergerak Murah Untuk Daerah Terpencil Berbasis OpenWRT Eneng Rahmi (University of Twente) Ketidaksetaraan Akses Perolehan Air dalam Ekologi Politik dan Hidrososial Erwin Chandra Christiawan (Universitas Airlangga) Transformasi Pemanfaatan Bekatul menjadi Pharmaceutical Hard Capsule Fathania Queen Genisa & Muhamad Eka Ari Pramuditya (Leiden University) Indonesia 2014 – 2019: Visi Poros Maritim Dunia Vis-À-Vis Stabilitas Kawasan dan Kedaulatan Nasional Fuji Riang Prastowo (Radboud University Nijmegen) Online Ethnography : Penggunaan Facebook pada Multi-Sited Fieldwork dalam Penelitian Masyarakat Menyebar (Diaspora) Jawa-Suriname di Belanda Ika Nurzijah (Wageningen University) Kanker Mengancam. Kita Belajar, Kita Cegah dengan Membentuk Herbal Chemopreventive Team “Srikandi” : Tim Edukasi Herbal sebagai Agen Anti Kanker melalui Pencegahan Sendiri yang Rasional di Sinduadi Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Ikhsan Abdusyakur (University of Twente) Belajar dari Mengajar: Pengembangan Profesional Guru melalui “Lesson study” Mita Puspita Sary (Leiden University) Bagaimana masa depan kami? Studi faktor-faktor resiko dan upaya intervensi untuk anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Zaenal Khafidho (Universitas Diponegoro) ASHRETE: Beton Self Compacting Concrete Mutu Tinggi Dari Limbah Flash Sebagai Inovasi Beton Ekonomis dan Ramah Lingkungan


Dokumentasi Indonesian Scholar Talks

Kiri: Pemaparan dari Abdul Rahman Kanan: Keynote speech dari Prof. Ben White

Kiri: Pemaparan dari Eneng Rahmi Kanan: Keynote speech dari Prof. Yohannes Surya


Kiri: Pemaparan dari Fathania Queen Genisa & Muhamad Eka Ari Pramuditya Kanan: Pemaparan dari Fuji Riang Prastowo

Kiri: Pemaparan dari Ikhsan Abdusyakur Kanan: Pemaparan dari Ika Nurzijah

Kiri: Penilaian juri , Dr. Dessy Irawati-Rutten Kanan: Pemaparan dari Mita Puspita Sary


Karya-Karya Indonesian Scholar Talks



Kluster Hukum dan Politik

Meningkatkan Kepatuhan Pajak dengan Mekanisme Reward dan Punishment Oleh: Abdul Rahman Ph.D Student IGS University of Twente LAN - RI

I. PENDAHULUAN Pajak bukanlah sesuatu yang populer di mata masyarakat. Keberadaannya bagaikan duri yang menjadi beban bagi kehidupan, tetapi di satu sisi dicintai oleh pemerintah sebagai penopang hampir 80% keuangan negara. Satu survei kecil pernah dilakukan terhadap mahasiswa-mahasiswa yang bekerja di sektor publik. Hasilnya adalah hampir 99% mahasiswa berfikir tentang hal negatif ketika ditanya pertama kali tentang pajak. Dunia kelam perpajakan yang sarat dengan kolusi, nepotisme, dan korupsi, apalagi dengan kejadian heboh korupsi pajak dengan jumlah fantastis yang melibatkan pegawai pajak seperti Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, sampai mantan dirjen pajak dan ketua BPK, Hadi Poernomo, memberikan wajah negatif perpajakan di tengah masyarakat. Namun pajak tetaplah pajak. Dia menjadi kontribusi wajib dari masyarakat terhadap negara. Sesuai dengan pengertiannya, pajak adalah kontribusi wajib yang dapat dipaksakan dan diatur oleh undang-undang dengan tanpa mengharapkan benefit/kontraprestasi secara langsung dan dipergunakan untuk kegiatan operasional pemerintah dan pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Bila kita renungkan pengertian ini, kita dapat menarik kesimpulan begitu indah dan mulianya fungsi pajak dalam menopang kegiatan pemerintah dalam memberikan pelayanan publik, membiayai pembangunan, dan yang paling penting mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Idealnya, merujuk pada pengertian di atas, masyarakat, sebagai pembayar pajak, dapat menuntut pemerintah apabila fungsi-fungsi yang tersirat dalam definisi pajak tidak dilaksanakan. Karena secara teoritis, perpajakan merupakan bentuk kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Ketika pemerintah membebankan pajak sebagai kewajiban warga negara, maka masyarakatpun menuntut haknya sebagai warga negara. Ketidakseimbangan pada tataran pelaksanaan kontrak sosial, sedikit banyak mempengaruhi kepatuhan masyarakat terhadap pajak. Karena menjadi bagian kewajiban negara, maka pajak menjadi hutang baik di sisi perusahaan maupun individu. Mantan presiden Amerika, Benjamin Fraklin pernah berkelakar, bahwa hanya dua yang pasti dihadapi oleh manusia di dunia ini, yaitu kematian dan pajak. Bagi negara, pajak merupakan sumber pendanaan yang paling mudah diperoleh, cepat, dan jelas hasilnya (Asher dan Level, 2001). Sehingga tidak mengherankan kalau hampir 96% negara-negara di dunia membebankan

pajak kepada warga negaranya. Sisanya 4% adalah negara-negara yang mampu membiayai rakyat sendiri melalui kekayaan alam yang melimpah, terutama minyak dan gas bumi. Keberadaan pajak di mata dunia menjadi sumber pendanaan yang penting untuk menopang sendi-sendi perekonomian negara. Hasil survey yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia berkaitan dengan peranan pajak terhadap perekonomian negara di hasilkan bahwa pajak menjadi pondasi suatu negara, terutama negara-negara berkembang dalam membiayai perekonomiannya untuk bersaing di dunia internasional dan dalam rangka mewujudkan kemandirian bangsa terutama dari hutang luar negeri. Berkaca dari hal ini, tak heran bila negara-negara yang membebankan pajak bagi rakyatnya terus melakukan inovasi-inovasi di bidang perpajakan yang kita kenal dengan reformasi perpajakan. Reformasi perpajakan adalah pembaharuan dan perbaikan di seluruh sendi-sendi perpajakan untuk mencapai sistem perpajakan yang optimal, di mana peningkatan penghasilan pajak, efisiensi, keadilan, kesederhanaan dan kepatuhan secara sukarela tercapai (Alm, 1996). Secara teoritis, perbaikan yang diharapkan dari adanya reformasi perpajakan adalah modernisasi administrasi perpajakan, penyusunan hukum pajak yang transparan dan jelas dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, penegakan hukum, peningkatan kredibilitas pemerintah dengan mengunakan uang pajak untuk kepentingan masyarakat, serta adanya keinginan dan komitmen dari pemerintah dalam memformulasikan dan melaksanakan reformasi perpajakan (Burgess dan Stern, 1993). Pergerakan reformsi perpajakan di dunia, baik itu di negara-negara transisi (Eropa Timur), negara-negara maju, maupun negara-negara berkembang, timbul sebagai akibat adanya reaksi kepercayaan publik terhadap pemerintah pada masa sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, kemudian adanya perkembangan administrasi publik modern, inflasi dan defisit keuangan serta adanya tekanan organisasi internasional seperti IMF dan bank dunia untuk meningkatkan kinerja dan liberalisasi ekonomi dan untuk memperbaiki sistem administrasi pajak (Burgers dan Stern, 1993). Dalam implementasinya, reformasi pajak dilaksanakan sesuai dengan karakteristik masing-masing negara.


Reformasi pajak di Indonesia lahir karena adanya tuntutan masyarakat akan sistem perpajakan yang sederhana dan tingginya kebutuhan keuangan negara untuk pembangunan dan operasional pemerintah. Reformasi pajak sendiri dimulai sejak tahun 1983 dengan adanya perubahan mendasar pada sistem pemungutan pajak, yaitu dari official assessment (penentuan pajak oleh kantor pajak) menjadi self assessment (memberikan kepercayaan wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajaknya). Berikutnya proses reformasi dilanjutkan dengan melakukan serangkaian inovasi di bidang perpajakan. Hasilnya reformasi pajak berhasil meningkatkan penerimaan pajak di Indonesia. Sayangnya, kisah sukses reformasi pajak di Indonesia untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak diikuti oleh keberhasilan dalam kemampuan untuk mengumpulkan pajak. Secara umum, kemampuan suatu negara untuk mengumpulkan pajak ditunjukkan oleh tax rasio atau perbandingan antara penerimaan pajak dan Produk Domestik Bruto (PDB). Tax rasio juga mencerminkan tingkat kepatuhan pajak di suatu negara. Setelah reformasi pajak dilaksanakan dalam tiga dekade, dan banyaknya inovasi yang telah dilakukan pemerintah di bidang pajak, tax ratio Indonesia hanya sekitar 12% hingga tahun 2014. Rasio ini jauh lebih rendah dari standar tax ratio untuk negara-negara berkembang (miskin dan menengah) yatu sekitar 18-25% dan 40% untuk negara-negara maju. Rasio ini juga jauh di bawah standar untuk negara-negara berpenghasilan rendah (negara-negara miskin) yang mencapai 14,3% (World Economic Outlook, 2012). Akibatnya, Indonesia tidak bisa berbuat banyak untuk meningkatkan daya saing melalui pengembangan sumber daya manusia. Hal ini ditunjukkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2013, di mana Indonesia ada di peringkat 121 dari 187, sama dengan Afrika Selatan, pada angka 0,629. Nilai ini jauh di bawah dari indeks rata-rata Asia Timur & Pasifik yaitu 0,683 dan rata-rata dunia yaitu 0,694. Rendahnya jumlah HDI menyebabkan rendahnya daya saing di antara negara-negara maju dan berkembang. Menurut laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2013, Indonesia ada di peringkat 46 di dunia atau hanya peringkat 4 di antara negara-negara ASEAN. Posisi ini hanya lebih baik dari Vietnam (65) dan Filipina (75). Pertanyaannya adalah mengapa kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah setelah serangkaian inovasi dilakukan dan telah menghabiskan banyak uang rakyat? Masalah utama pelaksanaan pajak di Indonesia adalah bukan pada tercapai atau tidaknya penerimaannya pajak tetapi pada penggunaan uang pajak bagi masyarakat (Noorsy, 2012). Idealnya, sistem pajak yang baik adalah sistem yang dapat memaksimalkan penerimaan pajak untuk kesejahteraan sosial (Arimdam Das-Gupta, 2004), namun di Indonesia, alokasi anggaran pemerintah jauh dari keberpihakan kepada kepentingan publik. Berdasarkan alokasi pengeluaran anggaran negara tahun 2010, hanya sekitar 20% dari anggaran yang digunakan untuk biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan masyarakat seperti belanja modal dan bantuan sosial (pendidikan, kesehatan, dll). Sisanya masih didominasi oleh pengeluaran wajib yang meliputi: belanja pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan pembayaran hutang. Ketidakberpihakan alokasi dana pemerintah untuk kepentingan umum diperburuk oleh pejabat pemerintah yang korup. Akibatnya kepercayaan kepada pemerintah rendah dan menyebabkan rendahnya rasio kepatuhan pajak.

II. PEMBAHASAN Berulangnya permasalahan pemerintah terkait dengan kepatuhan pajak melahirkan harapan adanya terobosan baru untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian terkait dengan reformasi perpajakan dan kepatuhan pajak untuk mencari ide-ide kreatif yang mumpuni dan dapat diimplementasikan dalam hal peningkatan kepatuhan perpajakan. Langkah pertama yang penulis lakukan adalah melakukan studi perbandingan terhadap pelaksanaan reformasi pajak di negara-negara transisi (non-demokratis), negara-negara maju, dan negara-negara berkembang. Studi dilakukan dengan melihat reformasi pajak dari sisi faktor-faktor pendorong, harapan-harapan terhadap reformasi, dan elemen-elemen reformasi. Hasilnya adalah terdapat kesamaan dari sisi penyebab seperti adanya inflasi dan defisit anggaran, dan dari sisi harapan seperti kepatuhan pajak dan peningkatan fasilitas publik. Studi ini juga mencatat adanya kesamaan elemen-elemen pajak, di mana ketiganya menaruh perhatian kepada modernisasi sistem administrasi perpajakan, perbaikan sanksi pajak, pelayanan pajak dan moral pajak (motivasi instrinsik untuk membayar pajak) dalam rangka peningkatan kepatuhan pajak. Reformasi perpajakan yang diselenggarakan oleh negara-negara transisi, maju, dan berkembang berhasil meningkatkan nilai tax rasio dalam rentang 18-40%. Merujuk pada hasil studi ini, maka kemudian penulis melakukan perbandingan hasil reformasi pajak di belahan dunia terhadap reformasi pajak di Indonesia. Hasilnya, reformasi pajak di Indonesia juga menaruh perhatian terhadap elemen modernisasi administrasi perpajakan, perbaikan sanksi pajak, perbaikan pelayanan pajak dan moral pajak. Dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, rata-rata 6% dan setelah berbagai inovasi dilakukan pada reformasi pajak tahap pertama dan kedua yang telah menghabiskan banyak uang rakyat (notabene dari pajak), seharusnya tax ratio Indonesia berada pada interval 18-25% (sesuai standar untuk negara-negara miskin dan menengah), kenyataannya, sampai tahun 2014, setelah reformasi berjalan tiga dekade, tax rasio Indonesia hanya 12,2%. Nilai ratio ini jauh di bawah rasio negara-negara ASEAN5 (Thailand, Malaysia, Singapura, Philipina, Vietnam), bahkan standar untuk negara-negara miskin yaitu 14,3%. Oleh karena itu, selanjutnya penulis melakukan penelitian untuk mencari faktor-faktor kunci dalam meningkatkan kepatuhan perpajakan. Penelitian pertama dilakukan dengan menganalisis pengaruh modernisasi sistem administrasi perpajakan, sanksi pajak, pelayanan pajak, dan moral pajak terhadap kepatuhan perpajakan. Kerangka studi disusun berdasarkan teori Planned Behavior dari Azher. Berdasarkan teori ini, kepatuhan seseorang dipengaruhi oleh control believe, behavior belief, dan normative belief. Kerangka studi yang dibangun berdasarkan teori ini adalah:

Gambar 1. Kerangka Studi Pengaruh Modernisasi Administrasi Perpajakan Modern, Sanksi Pajak, Pelayanan Pajak, dan Moral Pajak terhadap Kepatuhan Perpajakan


Berdasarkan teori Azher, maka sanksi pajak merepresentasikan control believe, moral pajak merepresentasikan behavior belief, dan sistem administrasi perpajakan modern dan pelayanan pajak merepresentasikan normative belief. Dengan kerangka studi ini, maka akan dilihat pengaruh secara langsung dan tidak langsung masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Moral pajak dipilih sebagai mediator untuk mengukur pengaruh tidak langsung, karena moral pajak merupakan faktor intrinsik dan faktor terdekat yang mempengaruhi kepatuhan perpajakan. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei terhadap pegawai-pegawai di sektor publik sebagai wajib pajak. Pemilihan pegawai di sektor publik sebagai objek penelitian didasarkan pada 2 alasan. Pertama, penelitian terhadap pengaruh variabel-variabel di atas terhadap kepatuhan pajak wajib pajak di sektor swasta sudah pernah dilakukan dan hasilnya terdapat pengaruh dan kontribusi yang signifikan terhadap kepatuhan perpajakan. Tapi kenyataannya kenyataannya rasio kepatuhan dan tax rasio tetap rendah. Oleh karena itu penelitian kemudian dilakukan kepada objek lainnya yaitu wajib pajak di sektor publik yang terdiri dari PNS pusat dan daerah, TNI, Polri, dan pegawai BUMN/BUMD untuk memberikan hasil yang menyeluruh. Kedua, Indonesia masih menganut paham paternalistik, di mana pemerintah, yang merupakan representasi pegawai-pegawai di sektor publik, merupakan panutan bagi masyarakat dalam menjalankan peraturan, termasuk kewajiban perpajakan. Berdasarkan teori Sosial Learning, perilaku seorang panutan akan mempengaruhi perilaku orang lain. Jadi walaupun jumlahnya sedikit dari total seluruh penduduk Indonesia, perilaku negatif atau positif dari pegawai di sektor publik akan mempengaruhi perilaku masyarakat secara umum. Dengan pemilihan pegawai di sektor publik sebagai responden, diharapkan diperoleh informasi keterkaitan antara peran seorang panutan terhadap kepatuhan perpajakan. Penelitian dilakukan terhadap 400 orang responden, dan hasilnya adalah pelaksanaan sistem administrasi perpajakan modern, sanksi pajak, pelayanan pajak, dan moral pajak memberikan pengaruh kepada kepatuhan perpajakan, namun sayangnya kontribusi atau efeknya sangat kecil. Kontribusi secara simultan/bersama-sama seluruh variable terhadap kepatuhan pajak hanya 15%. Artinya pegawai di sektor pajak belum memberikan contoh atau model yang baik dari sisi pengaruh administrasi perpajakan modern, sanksi pajak, pelayanan pajak dan moral pajak terhadap kepatuhan. Seharusnya sebagai pihak yang paling dekat dengan informasi dan peraturan, keberadaan sistem administasi perpajakan modern, sanksi pajak, pelayanan pajak, dan moral pajak memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku kepatuhan pajak mereka. Karenanya, tak heran perilaku menyimpang seperti kolusi dan korupsi masih tetap terjadi. Studi ini juga mencatat bahwa sanksi pajak dan moral pajak sebagai sebagai variable bebas dengan pengaruh terkecil hal ini karena responden menganggap penegakan hukum tidak berjalan dengan baik dan adanya ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Berdasarkan hasil penelitian ini, kemudian penulis melakukan penelitian lanjutan dengan fokus terhadap sanksi pajak dengan moral pajak dalam rangka meningkatkan kepatuhan perpajakan dengan dimensi-dimensi yang berbeda. Berdasarkan teori Walker, bahwa motivasi itu meningkat karena

dipengaruhi oleh factor internal yaitu pengetahuan, pemahaman terhadap aturan dan harapan, serta factor eksternal yaitu adanya mekanisme reward dan punishment. Berdasarkan teori itu maka disusunlah kerangka penelitian dengan memasukkan reward sebagai salah satu dimensi sanksi pajak dan unsur sanksi sosial sebagai salah satu bentuk punishment selain sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam sanksi pajak. Pengambarannya secara umum sebagai berikut:

Gambar 2. Kerangka Studi Pengaruh Sanksi Pajak terhadap Moral Pajak

Penelitian tahap kedua dilakukan terhadap seluruh wajib pajak pajak penghasilan, baik itu wajib pajak di sektor swasta maupun di sektor publik. Data dikumpulkan melalui survei secara online, re-push game (permainan kepatuhan terhadap reward dan punishment), dan in-depth interview. Hasilnya adalah reward dan punishment menjadi dimensi pembentuk sanksi pajak. Artinya evaluasi terhadap pelaksanaan sanksi pajak dapat dilakukan melalui pelaksanaan reward dan punishment. Begitu pula pada variabel moral pajak. Pengetahuan, pemahaman aturan, dan harapan dapat menjadi dimensi pembentuk moral pajak. Sama seperti penjelasan sebelumnya, maka moral pajak dapat dievaluasi dari tingkat pengetahuan, pemahaman aturan, dan harapan terhadap pajak. Studi ini juga mencatat adanya pengaruh sanksi pajak terhadap moral pajak dengan kontribusi atau efeknya hanya 6,4%. Kecilnya kontribusi karena mekanisme reward dan adanya unsur sanksi sosial dalam sanksi pajak belum dilaksanakan di Indonesia. Berdasarkan re-push game, adanya reward berhasil mengurangi tingkat cheating (kebohongan) dalam pelaporan pajak (SPT pajak). Di sisi yang lain, responden juga menyetujui keberadaan sanksi sosial dalam mekanisme sanksi perpajakan. Bentuk-bentuk reward yang disetujui oleh responden, baik itu finansial maupun non finansial seperti: 1) insentif berupa pengurangan pajak terutang; 2) insentif berupa kompensasi diskon 30% untuk hutang pajak selanjutnya; 3) insentif dalam bentuk pengembalian uang pajak; 4) subsidi untuk mendapatkan perumahan; 5) subsidi untuk asuransi; 6) subsidi untuk pendidikan; 7) hadiah uang untuk wajib pajak berprestasi; 8) hadiah liburan baik ke dalam maupun ke luar negeri; 9) sertifikat penghargaan untuk wajib pajak berprestasi; dan 10) kemudahan dalam memperoleh pelayanan publik seperti dalam memperoleh izin usaha, paspor, izin mendirikan rumah, pinjaman bank dan lainnya. Sedangkan bentuk sanksi sosial yang disetujui oleh responden adalah: 1) melakukan kerja membersihkan area dalam dan luar kantor tempat wajib pajak bekerja; 2) anggota keluarga tidak bisa mendaftar menjadi pengawai negeri atau pegawai di sektor publik; 3) adanya penghukuman dari masyarakat tempat pelanggar tinggal; 4) menampilkan foto-foto terbaru pelanggar pajak; 5) menampilkan wajah pelanggar pajak di televisi, jalan-jalan, termasuk papan-papan pengumuman; 6) menuliskan kata pelanggar pajak di KTP; 7) melarang pelang-


gar pajak menggunakan kendaraan pribadi, kecuali transportasi umum seperti bus, kereta; 8) menampilkan wajah pelanggar pajak secara rutin di media cetak; 9) pengingatan adanya hukuman yang berat dari sisi agama bagi pelanggar di akhirat nanti; 10) melakukan kerja sosial untuk membantu orang di sekitarnya seperti kerja di panti sosial, panti jompo, tanpa diberi upah; 11) melakukan pekerjaan kasar di kantor tempat pelanggar bekerja seperti melayani staf, membersihkan toilet, lantai, dapur; 12) membuat website khusus yang berisi informasi pelanggar-pelanggar pajak; 13) membuat monumen khusus yang berisi nama-nama pelanggar dengan profil lengkapnya; 14) membersihkan seluruh fasilitas publik seperti terminal, lapangan olah raga, pasar dengan memakai baju khusus bertuliskan pelanggar pajak; 15) mengarak pelaku pelanggaran pajak keliling kota; 16) bekerja sosial di kebun-kebun kelapa sawit, kopi; 17) membersihkan sampah dan sungai di kota-kota besar; 18) mempublikasikan aktivitas sosial yang dilakukan pelanggar pajak di media elektronik dan cetak; 19) mencegah anak-anak pelanggar pajak untuk sekolah negeri; 20) memberikan sertifikat khusus pelanggar pajak, dan copy serta databasenya disebar ke seluruh instansi pemerintah dan swasta; dan 21) memberikan ketidakmudahan dalam mendapatkan pelayanan publik, seperti sulit mendapatkan izin usaha, paspor, KTP, dll sampai kewajiban pajaknya dilunasi. III. PENUTUP Reformasi pajak, yang telah dilaksanakan dalam tiga dekade dan melalui serangkaian inovasi-inovasi di bidang pajak yang telah menghabiskan banyak uang rakyat yang datangnya juga dari pajak, ternyata belum mampu meningkatkan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pajak dan belum mampu meningkatkan kepatuhan pajak pajak masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya tax rasio Indonesia yang hanya rata-rata 12% dan rendahnya ratio kepatuhan pajak dengan rata-rata hanya 39% sejak reformasi pajak digulirkan tahun 1983. Artinya sampai sekarang Indonesia telah kehilangan sekitar 60% potensi penerimaan pajak. Oleh karenanya dibutuhkan terobosan baru untuk meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat. Pelaksanaan mekanisme reward dan punishment dalam sistem perpajakan dapat merupakan solusi yang baik untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Mekanisme ini dilaksanakan dengan berpegang pada 3 faktor kunci yaitu 1) adanya keteladanan dari pemerintah, artinya segala upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak harus dimulai dari pemerintah, dalam hal ini pegawai di sektor publik; 2) penegakan hukum yang adil, tanpa diskriminasi, sesuai aturan dan menyampaikan hasilnya kepada publik; 3) menunjukkan kepada masyarakat hasil dari pembayaran pajak, berupa pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik serta melaporkan penggunaan uang pajak kepada publik. Dalam implementasinya, penulis merekomendasikan pemerintah untuk berfokus pada sanksi sosial untuk pelanggar pajak dalam bentuk ketidakmudahan dalam mendapatkan pelayanan publik seperti kesulitan mendapatkan izin usaha, kesulitan dalam pengurusan KTP, SIM, akte kelahiran, kesulitan dalam mendapatkan pinjaman bank, dan lainnya. Pengenaan sanksi administrasi dan sanksi pidana hanya diberlakukan untuk pelanggaran yang mengarah kepada kejahatan yang disengaja dan criminal. Bagi wajib pajak yang patuh diberikan reward berupa kemudahan dalam mendapatkan pelayanan publik seperti kemudahan mendapatkan izin usaha, KTP, SIM, akte, kemudian mendapatkan prioritas untuk pinjaman bank, dan lainnya.

Keberhasilan pelaksanaan mekanisme reward dan punishment dalam perpajakan sangat tergantung pada keseriusan dan komitmen yang kuat dari pemerintah. Hal ini karena dibutuhkan kerjasama dan integrasi data di antara instansi-instansi pemerintah/institusi pelayana publik, termasuk bank. Kemudian komitmen pemerintah untuk memberikan teladan. Artinya semua kebijakan yang menyangkut publik harus dimulai dari pemerintah. DAFTAR REFERENSI [1] Alm, Jackson, and McKee, 1993. The Effects of Communication Among Taxpayers on Compliance [2] Alm, James, 1996. “What is an “optimal tax system.” National Tax Journal 49.1: 117-133 [3] Alm, James; McClelland, Gary H. & Schulze, William D., 1999. “Changing the Sosial Norm of Tax Compliance by Voting”, in Kyklos, Vol. 52, No. 2, pp. 141-171 [4] Asher, Mukul G., and A. S. Level, 2001. “Design of tax systems and corruption.” Conference on Fighting Corruption: Common Challenges and Shared Experiences, Singapore: Konrad Adenauer Stiftung and the Institute of International Affairs [5] Burgess, Robin, and Nicholas Stern, 1993. “Taxation and development.” Journal of economic literature 31.2 : 762-830 Cummings, Ronald G. et al. 2005. Effects of Tax morale on Tax Compliance: Experimental and Survey Evidence. JEL Classification: H20, C90 [6] Das-Gupta, Arindam, 2004. “Implications of Tax Administration for Tax Design: A Tentative Assessment.” Challenges of Tax Reform in a Global Economy Conference. Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Stone Mountain, Georgia [7] Martinez-Vazquez, Jorge, and Robert M. McNab, 1997. “Tax Systems in Transition Economies.” PUBLIK ADMINISTRATION AND PUBLIK POLICY 72: 911-964. [8] World Economic Outlook, 2012. [9] World Economic Forum Report, 2013. [10] World Bank, 2010. The World Bank Annual Report 2010, Year in Review


Kluster Sains dan Teknologi

OpenVoice Project : Konsep, Desain dan Implementasi Komunikasi Nirkabel Bergerak Murah Untuk Daerah Terpencil Berbasis OpenWRT Oleh: Asriadi Institut Teknologi Sepuluh November

I. PENDAHULUAN Telekomunikasi adalah hal yang penting dan esensial dalam kehidupan manusia. Sebagai negara berkembang, ketersediaan akses layanan telekomunikasi akan sangat berpengaruh terhadap pembangunan nasional dalam rangka pemenuhan akses telekomunikasi sesuai UU No.36 tahun 1999 pasal 3 tentang telekomunikasi. Akan tetapi fakta berbicara bahwa masih banyak remote areas yang tidak tersentuh oleh layanan telekomunikasi yang berdampak luas pada bidang lain seperti ekonomi, sosial, sampai pendidikan. Data tahun 2011 dari Kementrian komunikasi dan informasi menyebutkan ada 66.778 pedesaan dan baru sekitar 36 % tersentuh oleh layanan telekomunikasi. Ada banyak tantangan dan kendala yang dihadapi sehingga masih banyaknya daerah terpencil yang belum tersentuh oleh layanan telekomunikasi seperti tingginya biaya pembangunan infrastruktur, medan yang sulit, Persoalan ROI (Return on Investment) yang dihadapi oleh operator selular sampai masalah kelistrikan. Project OpenVoice adalah project yang dilakukan untuk menyediakan layanan akses telekomunikas murah yang dapat digunakan di daerag terpencil sekalipun. Dengan mengombinasikan teknologi VoIP dan wireless mesh-adhoc network kita bisa mendapatkan banyak keuntungan dalam hal fleksibelitas, mobilitas, automatisasi sistem, rendahnya biaya serta kemudahan dalam pengembangan dan implementasi sistem menjadikan OpenVoice menjadi salah satu solusi dalam mengatasi masalah telekomunikasi pada daerah terpencil. Selain itu, penggunaan OpenWRT dan embedded device pada implementasinya membuat desain ini menjadi hemat dalam hal konsumsi listrik. Sistem ini tidak terbatas hanya pada telekomunikasi daerah terpencil namun bisa juga untuk tujuan lain seperti telekomunikasi ad-hoc untuk keperluan militer, search and rescue, e-learning ataupun telekomunikasi setelah bencana. Pada penelitian ini kami akan memaparkan overview, desain OpenVoice prototype dan melakukan pengukuran pada implementasi skala kecil untuk mengetahui kualitas, kemampuan dan kehandalan dari sistem dalam melayani pengguna yang ada. II. OVERVIEW OPEN VOICE PROJECT Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa OpenVoice Project adalah project yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan akses telekomunikasi murah bagi daerah yang membutuhkan. OpenVoice Project menggabungkan beberapa teknologi dalam pengembangan dan implementasinya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

A. Voice Over IP Voice Over IP atau VoIP adalah metode yang dilakukan untuk mengubah sinyal analog seperti suara kita saat menelpon menjadi sinyal digital yang kemudian ditransmisikan melalui internet protokol. VoIP adalah teknologi yang sangat menjanjikan karena implementasi dan pengembangan yang murah[1,2] baik itu bagi individu, perusahaan bahkan untuk keperluan khusus seperti komunikasi militer, search and rescue, komunikasi setelah bencana dan komunikasi pada daerah terpencil. B. JaringanWireless Mesh-Adhoc Jaringan wireless mesh-adhoc adalah kombinasi jaringan wireless mesh dengan adhoc network dan berisi node-node yang tidak hanya mempunyai fungsi sebagai klien ataupun host namun menjadi relay untuk node yang lain untuk multihop transmisi. Selain itu wireless mesh-adhoc mempunyai beberapa keunggulan seperti self healing, self configure self forming, dan scalable.

Gbr 1. Wireless Mesh-Adhoc Menggunakan OLSR

C. Protokolor OLSR OLSR (Optimized Link State Routing) adalah routing protkol yang bersifat proaktif yang biasanya digunakan untuk membangun sebuah jaringan mesh-adhoc. OLSR bekerja menggunakan routing table yang secara regular diupdate untuk menjaga informasi topologi melalui hello paket dan TC paket yang dibroadcast ke tetangga-tetangga nodenya [3]. Dengan demikian rute untuk transmisi data akan selalu tersedia kapanpun data akan dikirim. OLSR sendiri adalah bentuk pengembangan dna optimasi dari protokol link state menggunakan mekanisme multipoint relays untuk mengurangi overhead flooding yang terjadi pada jaringan akibat proses broadcast yang terjadi.


Gbr 2. Mekanisme Flooding a) Link State b) MPR Flooding

D. Open WRT OpenWRT atau Open source wireless routers adalah sistem operasi untuk embedded device dan berbasis kernel linux yang telah dioptimalkan dari sisi fungsi dan ukuran sehingga sangat cocok untuk akses point ataupun router yang memiliki memori terbatas. Dengan sistem operasi ini kita bisa mengubah sebuah router biasa menjadi sebuah linux box yang mempunyai banyak keunggulan jika kita bandingkan degan firmware asli dari router tersebut. Selain itu, OpenWRT memiliki dukungan repositori yang berisi banyak modul dan software yang bisa dimanfaatkan termasuk asterisk dan OLSR yang memungkinkan kita untuk membuat mesh-adhoc box yang berisi VoIP server. Kehandalan dari sistem operasi ini telah teruji dengan dipakainya pada beberapa project besar yang berhubungan dengan telekomunikas pada daerah terpencil seperti Village Telco di dili, Wray Project di inggris , AirJaldi di india, Pebbles Valley Mesh di afrika selatan dan masih banyak lagi. III. PENELITIAN TERKAIT Ada banyak penelitian dan project lain yang dilaksanakan oleh peneliti diseluruh dunia yang mempunyai tujuan utama untuk menyediakan akses internet dan telekomunikasi murah untuk daerah terpencil ataupun daerah pedesaan. Kebanyakan dari penelitian dan project tersebut menggunakan COTS (commercial off the shelf) yang murah dalam implementasinya seperti VillageTelco project [4], Digital Gangetic Plains di Kanpur [10], Wray Project di inggris [5], Fractel Project di India[11], AirJaldi Network di India [6], Pebbles Valley Mesh Network di afrika selatan [7] and the LinkNet wireless network di Zambia [12], Tegola Mesh [11] and Sengerema Mesh Network [10]. Penelitian lain menyangkut optimasi kinerja dari VoIP di jaringan wireless mesh [13], MobiMESH yang menawarkan mobilitas pada mesh network [14]. Penggunaan mobile adhoc network dan wireless mesh untuk komunikasi militer [16,17]. Selain itu adapula survey tentang wireless mesh network[18].

Tabel 1. Daftar project yang bertujuan untuk menyediakan akses telekomunikasi/internet untuk daerah terpencil

IV. DESAIN OPEN VOICE OpenVoice adalah salah satu project yang dilakukan untuk menyediakan akses telekomunikasi murah pada daerah pedesaan ataupun daerah terpencil dan bisa diakses oleh semua orang. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa OpenVoice adalah project yang menggabungkan teknologi VoIP dan mesh network agar akses telekomunikas dapat diakses dimana saja kemudian mengimplementasikannya ke dalam embedded device (router) untuk mendapatkan keuntungan seperti konsumsi daya rendah serta biaya pengembangan yang murah. Pada bagian ini kami akan menjelaskan desain OpenVoice dari komponen sampai dengan desain implementasinya. A. Komponen OpenVoice Prototype Prototype OpenVoice dibuat dengan menggabungkan beberapa komponen hardware dan software diantaranya MR3020, OpenWRT, Asterisk, Protokol OLSR ke dalam satu platform yang telah siap untuk diimplementasikan dengan beberapa skenario. i. MR-3020 AP/Router MR3020 adalah AP/Router yang berukuran tidak lebih kecil dari ukuran kartu kredit namun cukup kuat dengan dilengkapi processor AR7240 Sistem On Chip dengan kecepatan 400 MHz, Spansion S25FL032P flash rom 4MiB, Windbond W9425G6JH SDRAM 32 MiB dan WiFi chipset AR9331 IEEE 802.11n 1x1 2,4 GHz terintegrasi dalam single chip. Tidak hanya itu, router ini hanya memerlukan 5V/1A daya untuk beroperasi dan itu berarti meskipun menggunakan powerbank router ini masih bisa beroperasi dengan baik. Dengan spesifikas ini maka mr3020 sangat cocok untuk digunakan sebagai node dalam penelitian ini.

Gbr.3 MR-3020 AP/Router

ii. Firmware OpenWRT Seperti yang dijelaskan sebelumnya, OpenWRT adalah sistem operasi untuk embedded device dan berbasis kernel linux yang telah dioptimalkan dari sisi fungsi dan ukuran sehingga sangat cocok untuk akses point ataupun router yang memiliki memori terbatas. Dengan firmware ini maka router akan menjadi sebuah linux box yang memiliki banyak fungsi seperti Mobile VoIP server, Mini box penetration test, file sharing, telemetri, robotika, sistem automasi dan masih banyak lainnya. iii. Asterisk Asterisk adalah software yang bersiat opensource yang diproyeksikan untuk menggantikan telepon PABX. Pada prototype ini, asterisk berfungsi sebagai softswitch pengganti fungsi dari MSC dan BSC pada arsitektur GSM konvensional. Asterisk mempunyai banyak fitur yang bisa digunakan seperti voice maul, VoIP teleconference, video call, messaging dan masih banyak lagi. Ukuran kecil dari aplikasi ini memungkinkan un-


tuk menjalankannya pada embedded system yang merupakan platform yang ingin kita gunakan untuk membuat prototype ini. iv. OLSR (Optimized Link State Routing) Seperti yang dibahas sebelumnya, OLSR adalah optimasi dari protokol link state yang biasa digunakan untuk membangun jaringan mesh-adhoc. Pada prototype ini, kami menggunakan OLSRD yang merupakan bentuk implementasi OLSR dengan tujuan untuk mempermudah penggunaannya dan didukung oleh beberapa plugin. B. Desain Prototype Platform OpenVoice Gambar diatas merupakan ilustrasi dari arsitektur dasar dari jaringan GSM yang memiliki 2 komponen utama yakni MSC dan BSC. BSC dan MSC mempunyai fungsi untuk mengarahkan panggilan di internal network atau external network dan menyimpan database pengguna. Ilustrasi pada gambar 5 meunjukkan model topologi dasar yang diimplementaskan pada prototype OpenVoice pada penelitian ini.Fungsi BSC dan MSC digantikan oleh asterisk sebagai soft switch untuk mengarahkan panggilan yang ada dan menyimpan database pengguna ke dalam embedded system (router) yang telah dimodifikas dengan OpenWRT. Dengan metode ini, kita dapat mengarahkan panggilan internal ataupun external dengan teknologi VoIP menggunakan frekuensi 2,4 GHz ISM Band.

C. Gambaran Implementasi OpenVoice

Gbr. 6 Ilustrasi topologi Implementasi OpenVoice

Gambar di atas mengilustrasikan desain dari implementasi dalam rangka penyediaan akses telekomunikas murah pada daerah pedesaan ataupun daerah terpencil. Desain ini adalah pengembangan dari desain dasar yang telah disebutkan sebelumnya. Desain ini mengkombinasikan teknologi VoIP, Mesh-Adhoc network dan embedded device untuk keperluan aktifitas telekomunikasi. Pada implementasi sebenarnya dilapangan, kita bisa menggunakan lebih banyak radio dan NOC (network operation center) untuk menghubungkan beberapa daerah tergantung dengan kondisi geografis masing-masing daerah. D. Hasil Pengukuran Kinerja Pada bagian ini, kami akan menunjukkan hasil dari simulasi OpenVoice dalam menyediakan akses telekomunikasi dalam skala kecil. Simulas ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan prototype ini dalam menyediakan akses telekomunikasi dan menghubungkan user dengan user yang lainnya dalam jaringan tanpa internet ataupun tanpa bantuan dari operator selular. Pada simulasi ini juga menunjukkan parameter QoS (Quality of Service) yang diamati selama pengukuran dilakukan. Simulasi ini dilaksanakan pada 2 gedung (B dan AJ) dari jurusan teknik elektro ITS dengan jumlah node sebanyak 5 dan pengguna sebanyak 6 orang.

Gbr.4 GSM Arsitektur

Pada sisi pengguna, kita dapat menggunakan ponsel dengan sistem operasi android, windows phone ataupun Iphone yang sudah terinstal softsphone bernama zoiper yang bisa didapatkan secara gratis di google play, app store ataupun windows store. Selain itu, hal yang paling penting adalah ponsel yang akan digunakan harus dilengkapi dengan interface Wi-Fi karena interface inilah yang akan menghubungkan VoIP server dengan device yang pengguna miliki.

Gbr.7 Denah Area Simulasi

Pada simulasi kali ini kami menggunakan parameter-parameter dan komponen seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini :

Gbr.5 Arsitektur Dasar OpenVoice

Tabel II. Parameter Simulasi


Simulasi ini dilakukan dengan menggunakan 6 buah ponsel yang terdiri dari 2 huawei, sony, iphone, dan asus yang telah dilengkapi dengan zoiper sebagai softphonenya kemudian melakukan panggilan dan percakapan selama kurang lebih 5 menit. Pengukuran QoS dilakukan menggunakan call quality feature yang sudah tersedia pada softphone. Hasil dari pengukuran dapat diketahui bahwa pengguna dapat melakukan panggilan dan percakapan dengan sesama pengguna yang lainnya dalam jaringan dengan baik. Hasil pengukuran dari simulasi ini juga menunjukkan paket loss dan jitter yang dialami didapatkan oleh masing-masing pengguna terbilang cukup rendah menurut standar yang telah diteatapkan oleh ITU-T. Hal ini mengindikasikan bahwa prototype ini dapat menyediakan akses telekomunikas dengan kondisi yang bagus.

Gbr.9 Mesh Adhoc dengan OLSR

Grafik berikut yang ada selama antara pengguna

menunjukkan kondisi traffik percakapan yang dilakukan diyang terhubung di jaringan.

Gbr.10 Trafik jaringan saat percakapan Tabel 3. Hasil Pengukuran Rata-rata dari 6 pengguna

Selain itu, dari simulasi dan pengukuran yang dilakukan dengan kondisi tidak adanya dukungan dari operator selular serta tidak adanya sumber listrik on grid kita dapat menyimpulkan bahwa prototype OpenVoice dapat diimplementasikan dalam menyediakan akses telekomunikasi murah pada area yang tidak terjangkau oleh operator selular dan idak ada sumber listrik yang memadai seperti pada kondisi setelah bencana, komunikasi pada medan perang atau aktifitas search and rescue.

Selain itu, grafik berikut juga menunjukkan ketahanan prototype ini dalam beroperasi hanya menggunakan solar powerbank dengan daya 10.000 mAh dengan waktu uptime 23 jam 11 menit tanpa sinar matahari. Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa node ini tidak akan pernah berhenti beroperasi sepanjang matahari masih bersinar karena adanya tambahan energy selama 7 jam dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore.

Gbr.11 Waktu Uptime router menggunakan Solar Powerbank

Gbr.8 Diagram alir SIP Protkol

Gambar dibawah menunjukkan dengan digunakanya OLSR protokol dalam sistem maka kita bisa membangun jaringan mesh-adhoc dimana node yang ada saling terhubung satu sama lain dan menjadi relay bagi node yang lain secara otomatis. Dengan desain sistem yang seperti ini, dimanapun kita berada maka kita bisa menggunakan akses telekomunikasi dan melakukan percakapan sepanjang berada pada area coverage.

V. KESIMPULAN Pada Paper ini kami memperkenalkan OpenVoice Project untuk komunikasi nirkabel murah untuk daerah terpencil berbasiskan OpenWRT. Project ini dilaksanakan sebagai solusi untuk akses telekomunikasi daerah terpencil dengan keunggulan biaya implementasi yang murah, kemudahan dalam pengembangan dan perawatannya serta sistem yang fleksibel dan otomatis. Dari pengukuran kinerja yang dilakukan kita dapat menyimpulkan bahwa prototype ini dapat menyediakan akses telekomunikasi pada daerah terpencil ataupun kebutuhan khusus lainnya seperti komunikas darurat setelah bencana, komunikasi militer pada medan tempur, atau aktifitas search and rescue tanpa adanya operator selular dan tidak bergantung pada infrastruktur telekomunikasi dan kelistrikan yang memadai dengan kondisi yang bagus pada paket loss dan jitter yang diterima oleh pengguna. Pada pengukuran selanjutnya kami akan melakukan uji kapasitas, keamanan dan ketahanan dengan node dan pengguna yang banyak pada area yang lebih luas. Selain itu, kami juga akan melakukan perampingan sistem operasi yang digunakan agar mendapatkan hasil yang lebih efisien dan maksimal.


DAFTAR PUSTAKA [1] Seto, Koji, and Tokunbo Ogunfunmi. “Scalable speech coding for IP networks: beyond iLBC.” Audio, Speech, and Language Processing, IEEE Transactions on 21.11 (2013): 2337-2345. [2] Butcher, David, Xiangyang Li, and Jinhua Guo. “Security challenge and defense in VoIP infrastructures.” Systems, Man, and Cybernetics, Part C: Applications and Reviews, IEEE Transactions on 37.6 (2007): 1152-1162. [3] Clausen, Thomas, et al. “Optimized link state routing protocol (OLSR).” (2003). [4] Adeyeye, Michael, and Paul Gardner-Stephen. “The Village Telco project: a reliable and practical wireless mesh telephony infrastructure.” EURASIP Journal on Wireless Communications and Networking 2011.1 (2011): 1-11. [5] Ishmael, Johnathan, et al. “Deploying rural community wireless mesh networks.” Internet Computing, IEEE 12.4 (2008): 22-29. [6] Surana, Sonesh, et al. “Beyond Pilots: Keeping Rural Wireless Networks Alive.” NSDI. Vol. 8. 2008. [7] Johnson, David Lloyd, and Kobus Roux. “Building rural wireless networks: Lessons learnt and future directions.” Proceedings of the 2008 ACM workshop on Wireless networks and systems for developing regions. ACM, 2008. [8] Lenoir, M. “Building a Wireless Mesh Network in Sengerema, Tanzania.” (2008) http://www.iicd.org/articles/launch-of-wireless-internet-in-sengerema-tanzania (accessed by 15 January 2015). [9] Bernardi, Giacomo, Peter Buneman, and Mahesh K. Marina. “Tegola tiered mesh network testbed in rural Scotland.” Proceedings of the 2008 ACM workshop on Wireless networks and systems for developing regions. ACM, 2008. [10] Raman, Bhaskaran, and Kameswari Chebrolu. “Experiences in using WiFi for rural internet in India.” Communications Magazine, IEEE 45.1 (2007): 104-110. [11] Chebrolu, Kameswari, and Bhaskaran Raman. “FRACTEL: a fresh perspective on (rural) mesh networks.” Proceedings of the 2007 workshop on Networked systems for developing regions. ACM, 2007. [12] Matthee, K., et al. “Bringing connectivity to rural zambia using a collaborative approach.” (2007). [13] Ganguly, Samrat, et al. “Performance optimizations for deploying voip services in mesh networks.” Selected Areas in Communications, IEEE Journal on 24.11 (2006): 2147-2158. [14] Capone, Antonio, Stefano Napoli, and Alberto Pollastro. “Mobimesh: An experimental platform for wireless mesh networks with mobility support.” Proc. of ACM QShine 2006 Workshop on” Wireless mesh: moving towards applications”, Waterloo (Canada). 2006. [15] Hafslund, Andreas, et al. “Secure Extension to the OLSR protocol.” Proceedings of the OLSR Interop and Workshop, San Diego. 2004. [16] Plesse, Thierry, et al. “OLSR performance measurement in a military mobile ad hoc network.” Ad Hoc Networks 3.5 (2005): 575-588. [17] Shen, Wei-Liang, et al. “Autonomous Mobile Mesh Networks.” Mobile Computing, IEEE Transactions on 13.2 (2014): 364-376. [18] Ajayi, Ayomide, et al. “A survey of rural Wireless Mesh Network (WMN) deployments.” Wireless and Mobile, 2014 IEEE Asia Pacific Conference on. IEEE, 2014 [19] OpenWRT Firmware, http://www. openwrt.org (accessed by 15 January 2015). [20] Tønnesen, Andreas. “Implementing and extending the optimized link state routing protocol.”

Master’s thesis. University of Oslo, Norway (2004). [21] G.114, ITU-T http://www.itu.int/rec/TREC-G.114/en (accessed by 10 december 2014).


Kluster Ilmu Hayati dan Kesehatan

Ketidaksetaraan Akses Perolehan Air Dalam Ekologi Politik dan Hidrososial Oleh: Eneng Rahmi & Benny Joy Twente Universiteit dan UNPAD I. PENDAHULUAN Air merupakan common pool resource yang dapat dimiliki oleh pemerintah atau komunitas pengguna ataupun tanpa pemilik (Schlager and Ostrom, 1992). Pesaingan dalam memperoleh akses terhadap common pool resource merupakan masalah klasik yang apabila satu pemanfaat mengambil dalam jumlah yang banyak maka pemanfaat lain akan memperoleh jumlah yang sedikit (Ostrom et al., 1994). Dalam penelitian ini jenis air yang dimaksud adalah mata air. Berdasarkan hidrogeologi mata air merupakan salah satu bagian dari air tanah (Harter, 2003). Air tanah merupakan jenis yang mudah dan murah dalam memenuhi kebutuhan (Ostrom et al., 1994). Penguasan air pada umumnya dikuasai oleh negara, sehingga negara berkewajiban untuk mengelola air bagi kepentingan masyarakat. Namun seiring perkembangan hegemony neoliberalisme, maka kepemilikian air kini mengalami transformasi dari negara kepada swasta. Kondisi ini terjadi karena banyaknya negara yang mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan air bagi warganya, salah satunya disebabkan karena rendahnya infrastruktur (Prasad, 2006). Kondisi demikian menjadi peluang bagi World Bank dan Asian Developing Bank, pemerintahan di Global North dan Global South untuk mempromosikan privatisasi air dalam mengatasi permasalahan air (Manahan et al., 2012, Sanim, 2011, Loftus and McDonald, 2001). Dengan demikian maka nilai air bergeser menjadi komoditas (K’Akumu, 2007). Komodifikasi telah menjadikan sektor privat lebih memilih mengutamakan profit daripada penduduk miskin (Bakker, 2000, Prasad, 2006). Kondisi ini terjadi di 17 negara Amerika Latin, Afrika Selatan, Sri Langka, Rusia, China, Laos, India dan Indonesia (Birdsall and Nellis, 2003, Aiyer, 2007, Zamzami and Ardhianie, 2012, Kurniasih, 2008, Cole, 2012). Dalam perkembangannya privatisasi air ini telah menimbulkan konflik sosial dalam bentuk kesenjangan akses dalam perolehan air (Mastoor, 2008). Kesenjangan antara profit swasta dengan masyarakat yang termarginalkan tentunya menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan (Shiva, 1993). Dalam kasus ini pihak perusahan memanfaatkan air dalam jumlah yang banyak, disisi lain penduduk mengalami keangkaan air. Kondisi ini dikenal dengan kelangkaan air yang relatif karena berkaitan dengan ketidaksetaraan akes perolehan air antara pemanfaat air yang kaya dan miskin (Yang et al., 2013). II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengkolaborasikan perspektif ekologi politik dan hydro-sosial. Ekologi politik digunakan untuk mengkorelasikan transformasi siklus hidrososial pada tingkat lokal, regional, dan global dengan hubungan kekuatan sosial, politik, ekonomi dan budaya (Swyngedouw, 2004). Penelitian ini memiliki tujuan untuk mencari faktor-faktor yang menyebab-

kan terjadinya ketidaksetaraan akses perolehan air sehingga mampu memberikan rekomendasi bagi pemangku kebijakan dalam menciptakan kesetaraan terhadap akses air. Adapun metodologi yang akan digunakan adalah metoda campuran (mixed methods). Mixed methods memiliki fokus pada pengumpulan, analisis dan mengubungkan antara data kualitatif dan kuantitatif dalam sebuah penelitian (Tashakkori dan Teddlie, 1998). Adapun jenis Mixed Method yang digunakan adalah concurrent transformative model. Model ini menggunakan dua tipe data yaitu kualitatif dan kuantitaif yang dikumpulkan pada waktu yang bersamaan(Creswell, 2003). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, interview, observasi dan studi pustaka. Responden yang dipilih sebanyak 98 orang, sedangkan informan yang dipilih sebanyak 11 orang yang berasal dari institusi yang terkait. Teknik analisa dilakukan secara kualitatif deskriptif dan analisa triangulasi. III. PEMBAHASAN A. Peran aktor dalam mengintervensi kebijakan publik Faktor politik memberikan banyak pengaruh terhadap ketidaksetaraan akses melalui institusi pada tingkat lokal, nasional dan global. Faktor politik juga menggambarkan adanya hubungan antara aktor dalam sistem politik dan pengelolaan air. Kondisi ini menggambarkan hubungan demokrasi, tata kelola air dan kekuatan sosial (Swyngedouw, 2009). Aktor memiliki peran dalam sistem politik mampu menentukan siapa saja yang memperoleh akses terhadap air dan siapa yang mengatur sumber daya dan komponen lingkungannya (Swyngedouw and Heynen, 2003) Dalam memahami peran aktor dalam konflik ketidaksetaraan akses perolehan air maka perlu diidentifikasi para aktor yang memanfaatkan air (Gambar 1.). Apabila setiap aktor yang memanfaatkan air mampu menjaga proporsinya, maka ketidaksetaraan akses perolehan air tidak akan terjadi. Namun pada kenyataannya, ketidaksetaan akses diterima khususnya oleh warga yang tidak mampu. Hal ini terjadi pula dibeberapa wilayah duna termasih Italia, sehingga Vincenzi menyatakan dalam menjaga ketersediaan air bukanlah harus memfokuskan pada sumber daya tersebut, lebih pada kebijakan politik dan birokrasi (Swyngedouw, 2007). Secara de yure, air di Indonesia dikuasi oleh negara. Dengan demikian apabila seseorang ingin mengambil manfaat air maka diperlukan seuah ijin. Perijinan di Indonesia melibatkan banyak institusi (Gambar 2.). Setiap institusi tersebut memiliki tanggung jawab dalam memanfaatkan air. Setiap institusi memiliki visi misi yang berbeda, dalam hal ini tidak ada visi besar besama dari seluruh institusi pengelola air (Tabel 1).


Gambar 1. Pemanfaat air

Gambar 2. Institusi pengelola air

Tabel 1. Capaian kinerja institusi pengelola air

Walaupun terdapat perbedaan tata cara perolehan ijin, dalam hal ini ijin untuk memanfaatkan air bagi perusahaan atau pelayanan public namun konflik sosial tetap tidak bisa dihindari. Hal ini disebabkan karena lemahnya koordinasi antar institusi lokal sehingga sangat memungkinkan terjadi konflik lingkungan dan sosial karena akses terhadap air tetap terbuka untuk perusahaan dibandingkan masyarakat umum. Demikian pula dengan institusi di tingkat nasional yang lebih membuka peluang investor sehingga perusahaan khususnya air minum dalam kemasan. B. Tekanan pasar dan permodalan Faktor ekonomi memiliki pengaruh terhadap permasalahan lingkungan. Hal ini terlihat ketika pemerintah mengambil keputusan yang lebih mengutamakan nilai ekonomi (Woude, 2013). Dalam padangan hegemoni neoliberal, pengelolaan sumber daya alam tidak terlepas dari mekanisme pasar dan kekuatan uang (Swyngedouw, 1997). Adanya transformasi kepemilikan mata air dari negara mejadi swasta membuat terciptya gesekan sosial. Dalam hal ini pasar dianggap sebagai proses yang menawarkan mekanisme yang optimal untuk sumber daya air yang langka. Sumber daya moneter telah menjadikan masyarakat khususnya yang miskin dan termarginalkan mengalami kesulitan akses dalam perolehan air (Woude, 2013). Masyarakat di wilayah penelitian tergolong pada masayarakt ekonomi lemah (Gambar 3.). Pendapatan diwilayah penelitan 79% dibawah UMR, sehingga dapat dikategorikan sebagai masyarkat miskin. Adapun kelas menengah dalam hal ini kurang lebih memiliki pendapatan setara dengan UMR sebanyak 16%. Dan masyarakat berkecukupan, taua diatas UMR hanya 5% dan merupakan kekayaan turuntemurun. Masyarakat local yang kaya biasanya memiliki pengaruh yang kuat sehingga seringkali memonopoli bisnis dikawasan tersebut atau menjadi pimpinan aparat desa. Hal ini berkaitan dengan jenis pekerjaan (Gambar 4.)

Gambar 3. Tingkat Pendapatan

Gambar 4. Jenis Pekerjaan

Rendahnya kemampuan ekonomi berkolerasi dengan sulitnya memenuhi salah satu hidup . Namun dibalik itu, terdapat masyarakat dari golongan atas yang mengambil keuntungan dari kondisi tersebut yaitu orang yang memiliki askes sosial sehingga akses ekonomi terbuka hanya untuk golonga tertentu. Masyarakat tersebut memiliki akses yang luar sehingga informasi mengenai ketidaksetaraan akses khususnya dalam perolehan air tidak tersuarakan. C. Kepemilikan air Perubahan nilai air, penerapan teknologi dan mekanisme pegelolaan air dapat dinilai sebagai perubahan budaya yang mungkin mampu menyebabkan ketidaksetaran akses air (Smith, 2002). Adanya perubahan nilai air memacu terjadinya perubahan mekanisme pengelolan air. Salah satunya adalah transformasi kepemilikan negara (state property) menjadi barang pribadi atau perusahaan (private property) (Burger and Gochfeld, 1998). Dalam menganalisis transformasi kepemilikan sumber daya air diperlukan kepastian sejarah transformasi kepemilikan air. Kepemilikan air di Indonesia diawali dengan kepemilikan komunitas yang kemudian menjadi milik negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Namun, ketika negara mengijinkan pihak swasta untuk melaksanakan eksploitasi terhadap air, hal ini terlihat sebagai sebuah ketidakkonsistenan dari pihak pemerintah sehingga menciptakan kesenjangan antara swasta dengan masyrakat maupun antar masyarakat itu sendiri. Kesenjangan perolehan air di masyarakat dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6. Gambar 5 menunjukkan ketersediaan air dimasayrakat pada musim penghujan dengan volume air berlimpah namun kualitasnya kurang baik. Namun dimusim kering, masyarakat mulai mengalami kesulitan air dan sebagai substitusinya menggunakan air sungai atau mengharapkan bantuan dari perusahaan dalam bentuk CSR.

Gambar 5. Ketersediaan air

Gambar 6. Sumber air

Namun, perbedaan musin ini tidak berlaku bagi pihak swasta perusahaan pengelola air (AMDK) yang cenderung memiliki volume air yang stabil dan kualitas yang baik untuk produksi. Walaupun demikian pihak swasta telah memberikan kewajibannya dalam bentuk CSR kepada 37% masyarakat (Gambar 6.). Bagi masyarakat yang belum menerima CSR masih menggunakan sumur tradisional atau sungai. Air sungai digunakan oleh saat sumur mengering atau warga tidak memiliki kamar mandi dan jamban pribadi. Kondisi air sungai memiliki kandungan TSS, TDS dan juga terpolusi lahan


persawahan (pupuk dan pestisida). Namun demikian pemerintah daerah masih belum memberikan reaksi atas kondisi tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa ketersediaan air cukup, mengingat kawasan ini memiliki potensi air yang berlimpah. Adapun pada kenyataanya kelimpahan air dengan kualitas yang baik tidak dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Kondisi tersebut menjelaskan jenis pola bagi masyarakat miskin bahwa mereka berada dalam posisi tawar yang rendah bahkan terabaikan (Bakker, 2003). D. Daya Tawar Masyarakat Salah satu cara untuk mengatasi ketidaksetaraan akses maka perlu dilakukan peningkatkan komunikasi untuk menimbulkan partisipasi seluruh tingkat masyarakat. Walaupun demikian, ide tersebut tidaklah mudah, karena rendahnya tingkat pendidikan dari masyarakat dan tingginya rasa hormat pada pimpinan desa (Hadi et al., 2009). Berdasarkan hasil survey, level edukasi dikawasan tersebut dapat dilihat pada gambar 7. Kekuatan sosial yang terdapat di dalam masyarakat adalah kekuatan untuk memberikan akses atau mengontrol air. Penduduk yang kaya biasanya memiliki pengaruh yang kuat sehingga biasanya dijadikan kepala desa. Beberapa kewenangan kepala desa adalah memiliki kekuatan untuk memberikan ijin tetangga dan juga membuat komitmen dengan pihak swasta termasuk mengatur akses air. Adanya kekuatan lokal membuat pihak swasta lebih mudah dalam menguasai air. Kondisi menjadi salah satu jenis dari kekuatan geometris dan aktor sosial yang memberi atau mencegah terhadap akses air (Swyngedouw, 2009). Dengan demikian, baik masyarakat maupun swasta menjadi penentu aliran air dan memiliki tingkatan daya tawar atas air (Robbins, 2004). Monitoring yang dilakukan pemerintah tidak dilakukan dengan langsung pada lokasi namun cukup dengan keterangan perpanjangan tangannya di desa. Dengan demikian maka swasta dengan daya tawar yang tinggi tentunya memiliki kekuatan atas akses yang memadai sehingga mampu memenuhi kepentingan perusahaannya (Cole, 2012). Sedangkan masyarakat mengalami kesulitan akses air dan cenderung terabaikan. Kondisi demikian menyiratkan bahwa akses perolehan air ditentukan oleh pasar dan uang sehingga aliran air tidak lagi terjadi secara alami melainkan mengikuti aliran uang (Woude, 2013).

Gambar 7. Tingkat Pendidikan

Gambar 8. Tingkat Partisipasi

Partisipasi masyarakat dalam masalah perijinan pemanfaatan air sangatlah rendah (Gambar 8). Berdasarkan hasil survey hanya 21% dari masyarakat yang turut berpartisipasi dalam perijinan pemanfaatan air pihak swasta. Kondisi ini berimplikasi terhadap rendahnya aspriasi masyarakat terhadap sebuah pembangunan. Masyarakat cenderung menerima keputusan pemerintah tentang sebuah pembangunan di lingkungan sekitaranya. Dalam hal ini, masyarakat datang untuk menghadiri rencana pembangunan wilayahnya (Musrenbang desa) hanya sebagai pendengar, karena mereka tidak memili-

ki kekuatan dalam memberikan opini. Namun dalam situasi telah terjadi konflik baik lingkungan maupun sosial, barulah pihak pemerintah bersedia mendengarkan opini masyarakat. Salah satu konflik yang terjadi adalah kondisi kelangkaan air yang relatif. Dengan demikian menjadi hal yang wajar dengan rendahnya tingkat pendidikan sehingga tingkat partisipasi pun rendah. Rendahnya partisipasi akan menutupi informasi yang sebenarnya. Salah satu hambatan yang terjadi adalah bantuan dana dari Kementerian Pekerjaan Umum dalam pembuatan perpipaan air minum. Tentunya hal ini berdampak pada ketidaktercapaian MDGs di tahun 2015, karena sangat tidak mungkin untuk menurunkan jumlah penduduk yang tidak memiliki akses dalam waktu yang singkat. IV. PENUTUP Ketidaksetaraan akses terhadap air ini terjadi bukan karena ketidaktersediaan air tetapi lebih pada interaksi politik, sosial, ekonomi dan budaya. Penelitian ini menginformasikan kompleksitas faktor yang menyebabkan ketidaksetaraan akses perolehan air. Faktor politik menunjukan bahwa aktor dapat mengarahkan institusi yang tidak memiliki arah yang jelas dalam hal ini perencanaan pembangunan yang akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Faktor ekonomi menunjukan bahwa penduduk lokal yang kaya dan berkuasa sering kali bersimbiosis dengan perusahaan sehingga menutup kemungkinan masyarakat miskin untuk memperoleh akses terhadap air. Faktor sosial menunjukkan bahwa rendahnya informasi mengenai permasalahan disuatu daerah mengakibatkan konflik sosial terus menerus berlanjut. Fakto budaya lebih ditonjokan pada pemerintah yang relatif tidak konsisten dalam menetapkan kepemilikan air dan pelayanan air. Apabila air menjadi milik negara, seyogianya pemerintah lebih memiliki kekuatan untuk menguasainya sehingga dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat. Dalam rangka mencapai kesetaraan akses terhadap air dalam suatu negara maka diperlukan sebuah aturan yang tegas dan jelas. Hal ini dimulai dengan upaya peningkatan perpipaan bagi warga, peningkatan pendidikan dan pembukaan lapangan pekerjaan. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan redesain sistem kepemilikan sumber daya alam secara terintegrasi.


DAFTAR REFERENSI [1] Asdak, C. 2009. Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai, UGM Press. [2] Bakker, K.J. 2003. A Political Ecology of Water Privatization. Studi in Political Economy 20,24. [3] Bryant, R.L. and Bailey, S. 1997. Third world political ecology, London, Routledge. [4] Burger, J. and Gochfeld, M. 1998. The tragedy of the commons : 30 years later. Environment, 40,4. [5] Cole, S. 2012. A Political Ecology of Water Equity and Tourism A Case Study From Bali. Annals of tourism Research, 39. [6] Creswell, J.W. 2003. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approach, University of Nebraska, Lincoln, SAGE Publisher. [7] Dubrow, J.K. 2008.”Gues Editor’s Introduction : Defining Political Inequality with cross-National Perspective”. International Journal of Sociology, Special Issue : Causes and Consequences of Political Inequality in Cross National Perspective 34,3-9. [8] Hadi, P. Rustiono, D. Iskandar and Pamujiasih, T. 2009. Dampak eksloitasi air minum dalam kemasan (AMDK) terhadap lingkungan hidup dan masyarakat sekitar perusahaan. Agronomika, 06. [9] Harter, T. 2003. Basic Concepts of Groundwater Hydrology. ANR University of California, 8083. [10] Harvey, D. 2004. The ‘New’ Imperialism : Accumulation by dispossession. Socialist register. [11] Loftus, A.J. and McDonald, D.A. 2001. Of Liquid dreams : a political ecology of water privatization in Buenos Aires. Environment and Urbanization 13,22. [12] Manahan, M.A. Dargantes, B. and Bastistel, C. 2012. Of water justice and democracy. [13] Ostrom, E. Gardner, R. And Walker, J. 1994. Rules, Games and Common-pool resources, Michigian University. [14] Pasandaran, E. 2004. Consequences of policy changes on Indonesian irrigation system management. Jurnal Litbang Pertanian, 23. [15] Prasad, N. 2006. Privatization Results : Private Sector Participation in Water Services After 15 Years Development Policy Review, 24,23. [16] Robbins, P. 2004. Political Ecology : A Critical Introduction, Malden, MA Blackwell. [17] Schlager, E. And Ostrom, E. 1992. Property-Rights Regimes and Natural Resources : A Conceptual Analysis. Land economics, 68, 249-262. [18] Smith, L. 2002. The Urban Political Ecology of Water in Cape Town, South Africa, In:Project, M.S. (e.d). [19] Soto, H. 2000. The Mystery of Capital Why Capitalism Triumphs in West and Failed in Everywhere Else. A Black Swan Book. [20] Swyngedouw, E. 1997. Power, nature, and the city. The conquest of water and the political ecology of urbanization in Guayaquil, Ecuador : 1880-1990. Environment and Planning 29. [21] Swyngedouw, E. 2004. Circulation and Metabolisms : (Hybrid) Natures and (Cyborg) Cities. Oxford : School of Geography and the Environment. [22] Swyngedouw, E. 2009. The Political Economy and Political Ecology of the Hydro-Social Cycle. Journal of Contemporary Water Research and Education 4. [23] Swyngedouw, E. and Hynen, N.C. (eds) 2003. Urban Political Ecology, Justice and the Politics of Scale, USA : Blackwell Publishing. [24] Woude, A.V.D. 2013. Inequalities in drinking water access : tiny drops or full fow?. A case study of the hydrosocial cycle in peri-urban Sultanpur, India, Msc, Wageningen University. [25] Yang, H. Bain, R. Bartram, J. Gundry, S. Ped

ley, S. And Wright, J. 2013. Water safety and inequality in access to drinking water between rich and poor households. Environ Sci Technol, 47-1222-30. [26] Zamzami, I and Ardhianie, N. 2013. Emas Biru, Sukabumi, dan Mereka yang Terpinggirkan . Amarta Institute. [27] Zimmerer, K.S. 2006. Cultural ecology : at the interface with the political ecology-the new geographies of environment conservation and globalization. Progress in Human Geography, 30.15.


Kluster Ilmu Hayati dan Kesehatan

Transformasi Pemanfaatan Bekatul menjadi Pharmaceutical Hard Capsule Oleh: Erwin Chandra Christiawan

Mahasiswa S1 Pendidikan Apoteker, Universitas Airlangga Surabaya !. PENDAHULUAN Konsumsi beras penduduk Indonesia telah mencapai 102 kg per kapita atau dua kali lipat dari rata-rata konsumsi beras dunia yang mencapai 60 kg per kapita. Konsumsi beras yang tinggi menyeabkan limbah bekatul yang dihasilkan pun sangat besar (Sulihanti, 2013). Kandungan senyawa kimia dalam bekatul sangat baik bagi tubuh manusia, namun pemanfaatan bekatul di masyarakat saat ini masih kurang. Pengembangan produk olahan bekatul adalah dengan menciptakan varian produk pangan atau obat. Dunia farmasi saat ini berkembang dengan cepat dan kebutuhan akan pembungkus obat juga meningkat. Kapsul digunakan sebagai pembungkus, menutupi rasa dan bau dari isian kapsul, mempercepat penyerapan obat dan mempermudah pengonsumsiannya. Fungsi kapsul selama ini hanya sebatas pelindung obat, namun tidak mengandung nutrisi bagi tubuh, sehingga tidak mendukung fungsi obat. Kapsul obat biasanya terbuat dari gelatin (Bae et al., 2008). Kapsul obat juga bisa dibuat dengan mensubtitusi bahan pembuatan kapsul dengan pati tumbuhan. Bekatul mengandung pati, air, serat, lemak, dan abu (Houston, 1972). Beberapa senyawa dalam bekatul dapat menurunkan tekanan darah (Ardiansyah, 2004). Orizanol mempunyai aktivitas menurunkan kadar koleseterol (Saunder, 2000), dan tokoferol (vitamin E) mampu mencegah hemolisis (kerapuhan) sel darah merah. Dengan kandungan senyawa dalam bekatul yang dapat mendukung fungsi obat, maka kapsul dari bekatul dapat dijadikan subtituen bahan pembuatan kapsul. Pengunaan bekatul dalam indrustri farmasi terutama kapsul juga dapat mengurangi limbah pertanian padi di seluruh dunia. II. TEORI DASAR A. Bekatul Menurut Houston (1972), bekatul adalah hasil samping dari penggilingan padi yang sebenarnya merupakan selaput inti biji padi. Bekatul terdiri atas lapisan pericarp, pelindung biji, nuselus, dan aleuron. Kegiatan penyosohan beras dapat mengikis 7,5% dari bobot beras awal berupa bekatul yang memiliki kadar selulosa dan hemiselulosa yang paling tinggi dibandingkan dengan beras (Nursalim dan Razali, 2007). Bekatul merupakan dedak yang paling halus dengan komponen utamanya adalah endosperm. Bekatul mempunyai beberapa senyawa yang bermanfaat bagi tubuh.

Tabel 1. Komposisi Kimia Bekatul menurut beberapa penelitian

Karbohidrat yang terdapat pada bekatul berupa selulosa, hemiselulosa, dan pati. Kandungan pati yang terdapat dalam bekatul diperoleh dari bagian endosperma yang terbawa pada proses penyosohan (Hargrove, 1994). Kandungan pati tersebut akan meningkat dengan semakin banyaknya tahap penyosohan yang dilakukan (Damayanthi et al., 2007). Selain zat gizi makro, bekatul juga mengandung zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Menurut Houston (1972) bahwa vitamin yang terkandung dalam bekatul antara lain karoten (4,2 μg/g), thiamin (10,1-27,9 μg/g), riboflavin (1,7-3,4 μg/g), niacin (236590 μg/g), piridoksin (10,3-32,1 μg/g), asam pantotenat (27,771,3 μg/g), biotin (0,16-0,60 μg/g), inositol (4,62-9,27 μg/g), kolin (1,28-1,70 μg/g), asam folat (0,5-1,46μg/g), dan vitamin B12 (0,005 μg/g). Bekatul adalah sumber vitamin B kompleks dan tokoferol, tetapi rendah vitamin A (0.9-1.6 ppm) dan vitamin C (220-320 ppm). Sebagian besar vitamin yang ada dalam padi terdapat pada bagian aleuron dan lembaga (Barber, 1980). Bekatul mengandung komponen antioksidan lebih dari 100 jenis, di antaranya gamma oryzanol (2200-3000 ppm), tokoferol (149,2 μg/g), tokotrienol (220-320 ppm), fitosterol (2230-4400 ppm), karotenoid (0,9-1,6 ppm), dan vitamin B (tiamin, 22-31 ppm) (Helal 2005). Tokoferol (vitamin E) berperan sebagai antioksidan dengan mencegah kerusakan dinding sel sehingga mampu mencegah hemolisis (kerapuhan) sel darah merah. Oryzanol merupakan fraksi tidak tersabunkan dari minyak bekatul yang dapat membantu sirkulasi darah dan memicu sekresi hormon (Kahlon et al., 1994). Bekatul mempunyai sifat fungsional penurun kolesterol yang disebut efek hipokolesterolemik. Mekanisme yang mendasari penurunan kolesterol adalah kemampuan serat menyerap lipid pada saluran pencernaan dan peningkatan ekskresi asam empedu (Kahlon et al., 1994). Bekatul juga mampu menurunkan tekanan darah melalui penghambatan kerja enzim Angiotensin I-Converting Enzyme (ACE), suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan darah (Ardiansyah, 2004). B. Kapsul Kapsul merupakan bentuk sediaan obat yang digunakan untuk melindungi isi kapsul. Kegunaan kapsul untuk melindungi obat dari udara luar maupun organisme lain (Guilbert, 1986). Kapsul digolongkan menjadi 2 jenis yaitu kapsul keras (capsul gelatinosae operculatae) dan kapsul lunak (soft capsule). Kapsul keras terdiri dari wadah dan tutup. Cangkang kapsul keras dibuat dari campuran gelatin, glukosa, dan air. Cangkang kapsul bening tak berwarna dan tak berasa. Kapsul harus disimpan pada tempat yang tidak lembab dan disimpan di wadah yang diberi zat pengering. Kapsul dapat diberi warna macammacam agar menarik dan dapat dibedakan dengan kapsul yang mengandung obat yang lain. Kapasitas kapsul dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis ukuran disajikan pada Tabel 2.


Jenis kapsul kedua adalah kapsul lunak (Soft capsule), merupakan kapsul yang tertutup dan berisi obat yang pembuatan dan pengisian obatnya dilakukan dengan alat khusus. Cangkang kapsul lunak dibuat dari gliserin ditambah alkohol polihidris seperti sorbitol untuk melunakan gelatin. Kapsul lunak diperlukan untuk wadah obat cair III. METODE PENELITIAN A. Alat dan bahan Pada penelitian ini digunakan peralatan antara lain gelas ukur, hot plate, magnetic stirrer, gelas kimia, oven, termometer, stopwatch, timbangan analitik, corong, dan cetakan kapsul. Bahan yang digunakan yaitu bekatul, pati singkong, gelatin, gliserol, kitosan cair, dan agar bubuk. B. Persiapan larutan kapsul Disediakan 5 gelas kimia, masing-masing ditambahkan 5 g pati singkong dicampur bekatul dengan variasi 6 g, 7 g, 8 g, 9 g, dan 10 g. Ditambahkan 5 g gelatin dan 4 g agar bubuk, kemudian diaduk hingga homogen, setelah itu dimasukkan gliserol sebanyak 2 gr dan khitosan cair sebanyak 2 mL Campuran tersebut diaduk hingga homogen lalu ditambahkan 100 mL air, diaduk lagi hingga tercampur rata. Campuran dipanaskan pada suhu 50 derajat C menggunakan hot plate sambil diaduk menggunakan magnectic stirrer hingga tergelatinisasi. C. Pembuatan kapsul Cetakan kapsul yang telah steril dimasukan ke dalam larutan kapsul, kemudian cetakan dimasukan ke dalam oven dengan suhu 60 derajat C selama 30 menit. Setelah pengovenan selesai kapsul dilepas dari tabung cetakan.

panaskan hingga suhu 37 Âą 2 derajat C. Campuran diaduk dengan magnectic stirrer secara konstan selama 10 menit. G. Uji berat kering Uji berat kering kapsul bekatul dilakukan berdasarkan kehilangan berat. Sampel kapsul ditimbang terlebih dahulu lalu dioven dengan suhu 105 derajat C selama 3 jam, kemudian hasilnya ditimbang sampai konstan. Berat kering = ((X-Y)/X))*100% X : berat kapsul bekatul sebelum dikeringkan Y : berat kapsul bekatul sesudah dikeringkan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji kelarutan

Keterangan : PS : Pati Singkong BK : Bekatul +++ : Larut sempurna ++ : Larut sebagian + :Tidak larut Hasil uji kelarutan menunjukkan bahwa capsul bekatul larut sempurna dalam waktu 10 menit, tetapi masih terdapat sedikit serpihan kapsul yang tertinggal Tidak terdapat perbedaan kelarutan kapsul dalam air maupun HCl. Kapsul yang mempunyai tingkat kelarutan paling baik yaitu campuran 4 g pati singkong dan 6 g bekatul. Berdasarkan hasil tersebut kapsul akan mudah dicerna oleh lambung. Serat yang terkandung dalam kapsul bekatul akan menyerap kolesterol dalam pembuluh darah serta menurunkan tekanan darah melalui penghambatan kerja enzim angiotensin I-converting enzyme (I-ACE) (Ardiansyah, 2004). B. Uji Berat Kering

D. Uji mekanik Sifat mekanis kapsul bekatul yang diuji adalah kekuatan tarik (ultimate tensile strength), persentase perpanjangan (elongation at break) berdasarkan ASTM-D638. E. Uji ketebalan Ketebalan kapsul diukur dengan menggunakan mikrometer sekrup ditunjukkan pada Gambar 3, dengan tiga kali pengulangan pengukuran spesimen yang memiliki tingkat kesalahan Âą 1 mm (Bae et al., 2008). F. Uji kelarutan Menurut Bae et.al. (2008) uji kelarutan kapsul dilakukan untuk mengetahui apakah sampel kapsul dapat larut pada kondisi netral maupun asam dalam waktu 10 menit. Pertama, kapsul dimasukan ke dalam tabung konikal, lalu ditambahkan 50 mL air yang bersuhu 37 Âą 2 derajat C. Campuran diaduk dengan magnectic stirrer secara konstan selama 10 menit. Kedua, kapsul dimasukan ke dalam tabung konikal, lalu ditambahkan 50 mL HCl 10% yang sudah di-

Keterangan : PS : Pati Singkong BK : Bekatul

Massa kering kapsul bekatul berkisar antara 0,10% to 0,20% (Table 5). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa berat kering kapsul bekatul berbeda satu sama lain. Penambahan bekatul menyebabkan penghilangan air semakin meningkat. Semakin tinggi masssa air yang hilang maka kelembapan kapsul rendah. Forssell et al. (2002) in Bae et. al (2008)


melaporkan bahwa plastik amilum dengan kadar air di bawah 15% merupakan barier oksigen yang baik. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa produk makanan yang tergelatinisasi sebelumnya (seperti mi instan dan lainnya) dengan kadar air di bawah 15% dapat mencegah dari proses retrogradasi (Kim, 2001) dalam Bae et. al (2008). C. Uji Ketebalan

V. PENUTUP A. Kesimpulan Bekatul dapat dijadikan bahan subtituen pembuatan kapsul. Kapsul bekatul mempunyai kandungan kualitas yang baik. Kapsul bekatul dengan kandungan serat dan tokoferol yang tinggi dapat menurunkan kolesterol dan tekanan darah tinggi. Kualitas kapsul terbaik berdasarkan uji kelarutan, uji ketebalan, uji berat kering, dan uji mekanik adalah kapsul dengan komposisi 4 g pati singkong dengan 6 g bekatul. Kapsul bekatul bisa digunakan untuk industri farmasi sebagai bahan pensubstitusi produk dengan bahan dasar gelatin dan protein hewani serta dapat mengurangi limbah pertanian. B. Saran Adapun saran untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukan pengujian pada hewan percobaan lebih lanjut agar dapat segera digunakan oleh manusia dan dilakukan pengujian waktu paruh cangkang kapsul sehingga dapat diketahui seberapa lama bertahannya cangkang kapsul.

Hasil uji Anova menunjukkan bahwa penambahan bekatul mengakibatkan penambahan ketebalan. Makin tinggi kadar bekatul, maka kapsul makin tebal. Hal ini dapat dilihat dari nilai p-value yang lebih kecil dari nilai kesalahan, yaitu 0,05. Ketebalan kapsul akan mempengaruhi elastisitas dan kekakuan kapsul. D. Uji mekanis

Semakin tinggi kadar bekatul, maka semakin tinggi pula kekuatan (Tensile Strength) dan kekakuan (modulus of elasticity) kapsul, namun elastisitas (break strain) rendah. Kapsul yang memiliki elastisitas paling baik adalah campuran (4 g PS + 6 g BK ). Menurut Christiawan (2013), hasil uji mekanis plastik bekatul menunjukkan bahwa secara umum, penambahan bekatul dalam pembuatan bioplastik bekatul meningkatkan kekuatan tetapi menurunkan elastisitas (break strain) dan kekakuan (modulus of elasticity). Kekuatan (Tensile Strength), elastisitas bioplastik bekatul lebih rendah bila dibandingkan dengan plastik pengemas komersial tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa penambahan bekatul sampai 5 g menghasilkan bioplastik yang memiliki kekuatan dan kekakuan paling tinggi tetapi elastisitasnya paling rendah.

C. DAFTAR PUSTAKA [1] Ardiansyah. 2004. Sehat Dengan Mengonsumsi Bekatul. Suara Pembaruan. Jakarta Barber, 1980 dalam Ciptadi. W dan Z. Nasution. 1979. Dedak Padi dan Manfaatnya. Dep. THP. Fatemeta IPB. Bogor. [2] Chrisitiawan, Erwin Ch. 2013. Transformasi Bekatul Menjadi Plastik. LIPI. Jakarta. [3] Damayanthi E, Sofia IR, Madanijah S. 2004. Sifat Fisikokimia dan Daya Terima Tepung Bekatul Padi Awet Sebagai Sumber Serat Makanan. Jurusan Ilmu Pangan, IPB :Bogor [4] Guilbert.1986 dalam Bae, Ho J., Cha, Dong S., Whiteside, William S., Park, Hyun J. 2008. Film and pharmaceutical hard capsule formation properties of mungbean, waterchestnut, and sweet potato starches. Food Chemistry 106 : 96–105. [5] Gilleland, G. M., Turner, J. L., Patton, P. A., & Harrison, M. D. (2001).Modified starch as a replacement for gelatin in soft gel films and capsules. World intellectual Property Organization. International Patent Number, WO 01/91721 A2. [6] Hargrove KL. 1994. Processing and utilization of rice bran in the United States. In: Marshall, XWayne E dan Wadsworth JI (eds). Rice Science and Technology. Marcel Dekker, Inc., New York. [7] Houston, D. F. 1975. dalam Houston, D. F. (ed). Rice: Chemistry and Technology. The American Association of Cereal Chemistry Inc, St. Paul, Minessota. [8] Juliano, B. O. dan D. B. Betchel. 1985 dalam Juliano, B. O. (ed). Rice: Chemistry and Technology. 2nd Ed. The American Association of Cereal Chemistry Inc, St. Paul, Minessota. [9] Kahlon et al. 1994 dalam Ciptadi. W dan Z. Nasution. 1979. Dedak Padi dan Manfaatnya. Dep. THP. Fatemeta IPB. Bogor. [10] Korea Food & Drug Administration (2002). Hard capsule dissolving test.InKorea pharmacopoeia. (8th ed., p. 1505). Seoul, Korea: Yakup Daily. [11] Luh, B. S. 1991. Rice, Production and Utilization. The AVI Publishing Co. Inc. Westport, Connecticut. [12] Nursalim dan Razali 2007 dalam Ciptadi. W dan Z. Nasution. 1979. Dedak Padi dan Manfaatnya. Dep. THP. Fatemeta IPB. Bogor. [13] Saunders, R.M. 1985. Rice bran: Composition And Potential Food Sources. Food Review InternationaL l (3)’465-495. [14] Sri Sulihanti. 2013. Konsumsi Beras Nasional Tertinggi Se-Asia. Kementerian Pertanian. Jakarta.


Kluster Hukum dan Politik

Indonesia 2014 – 2019: Visi Poros Maritim Dunia vis-à -vis Stabilitas Kawasan dan Kedaulatan Nasional

Oleh: Muhamad Eka Ari Pramuditya dan Fathania Queen Genisa Master of Public International Law di Leiden University, Leiden & Kandidat master of International Relations and Diplomacy di Leiden University, Leiden I. PENDAHULUAN Pada saat melakukan kampanye untuk menjadi presiden Republik Indonesia pada bulan Mei 2014 lalu, Joko Widodo (Jokowi), berjanji untuk melaksanakan beberapa hal, yaitu memfokuskan pada penguatan keamanan maritim di Indonesia, memperluas diplomasi regional di wilayah Indo-Pacific, dan menjadikan angkatan laut Indonesia sebagai kekuatan maritim yang dihormati di wilayah Asia Timur. Dalam pidatonya seusai pelantikan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 20 Oktober 2014, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa, “kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk, dan kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagaimana semboyan kita dimasa lalu, bisa kembali�. Sehubungan dengan hal tersebut, Presiden Jokowi memperkenalkan konsep poros maritim dunia sebagai visi Indonesia untuk membangun kembali budaya maritim Indonesia dan menjadi aktor kunci di dua wilayah sentral maritim, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Presiden Jokowi mengatakan bahwa untuk mewujudkan visi poros maritim dunia, diperlukan penjagaan kedaulatan nasional, keamanan maritim, dan keamanan wilayah regional. Namun hingga saat ini, masih banyak masalah dan sengketa yang berkaitan dengan wilayah maritim Indonesia yang berpotensi mengganggu stabilitas dan keamanan regional, contohnya adalah penangkapan ikan liar yang berujung pada penenggelaman beberapa kapal nelayan asing dan sengketa teritorial atas Laut Cina Selatan. Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini akan menganalisa visi Indonesia sebagai poros maritim dunia dalam stabilitas kawasan dan kedaulatan nasional. Bagian pertama akan memberikan informasi tentang konsep visi poros maritim dunia. Selanjutnya, visi poros maritim dunia akan dijelaskan melalui dua teori hubungan internasional yaitu realism dan constructivism. Pada bagian ketiga, akan dibahas tentang stabilitas kawasan dan kedaulatan negara beserta tantangan yang dihadapi. Selanjutnya, bagian keempat akan menjelaskan usulan konsep untuk pencapaian visi poros maritim dunia tersebut. Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan yang merangkum pembahasan yang telah disampaikan. II. KONSEP VISI POROS MARITIM DUNIA Sebelum membahas lebih dalam terkait poros maritim dunia, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari negara maritim. Penting untuk dipahami bahwa hingga saat ini Indonesia belum menjadi negara maritim. Status Indonesia adalah negara kepulauan setelah berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 pada tanggal 16 Novem-

ber 1994. Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan yang diakui oleh 119 Negara di PBB tersebut menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara kepulauan di dunia. Menurut ahli hukum laut Indonesia, Hasjim Djalal, negara maritim dan negara kepulauan merupakan dua hal yang berbeda. Negara maritim adalah negara yang telah mampu memanfaatkan lautnya meskipun negara tersebut bukanlah negara kepulauan dan memiliki wilayah laut yang relatif kecil, namun memiliki kemampuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan peralatan yang cukup untuk mengelola dan memanfaatkan laut tersebut. Berdasarkan definisi tersebut, masih terdapat negara kepulauan yang tidak atau belum menjadi negara maritim karena belum mampu memanfaatkan wilayah lautnya secara maksimal. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya, terdapat beberapa negara yang wilayah lautnya sangat kecil namun sudah mampu memanfaatkan wilayah lautnya secara maksimal, contohnya adalah Singapura. Indonesia saat ini dikategorikan sebagai negara kepulauan yang sedang dalam proses kembali menjadi negara maritim. Dilihat dari sisi historis, pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit Indonesia dianggap sebagai negara maritim karena mampu memanfaatkan wilayah lautnya dan melakukan ekspedisi hingga ke Afrika Timur (Madagaskar) dan ke Pasifik Selatan. Konsep utama dari poros maritim dunia pada dasarnya adalah untuk mengukuhkan identitas maritim dari negara Indonesia. Presiden Jokowi menilai wilayah perairan Indonesia memiliki potensi ekonomi yang tinggi dan merupakan salah satu kekuatan alami Indonesia. Visi poros maritim dunia memiliki lima pilar utama, yaitu (1) membangun kembali budaya maritim Indonesia, karena sebagai negara yang terdiri dari lebih dari 18.000 pulau dan memiliki wilayah laut yang sangat luas yaitu kurang lebih 8 juta km2, masa depan Indonesia akan dipengaruhi salah satunya oleh bagaimana wilayah lautan Indonesia itu dikelola oleh masyarakatnya, (2) menjaga dan mengelola sumber daya laut yang terkonsentrasi pada pengelolaan produk makanan berbasis laut melalui pengembangan industri perikanan serta menempatkan nelayan sebagai pilar utama, (3) memprioritaskan pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas antar pulau dengan cara membangun tol laut dan pelabuhan laut dalam, (4) diplomasi maritim untuk dapat menyelesaikan konflik di wilayah perairan, seperti sengketa perbatasan negara dan penangkapan ikan liar, dan (5) membangun kekuatan pertahan maritim.


III. VISI POROS MARITIM DUNIA DALAM PERSPEKTIF REALISM DAN CONSTRUCTIVISM Setiap negara memiliki kebijakan luar negeri yang bersifat dinamis dalam arti dapat berubah sesuai dengan pemerintahan dan kepentingan dalam negeri pada masa tersebut. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Presiden Jokowi saat ini visi poros maritim dunia menjadi prioritas kepentingan nasional Indonesia sekaligus menjadi prioritas politik luar negeri Indonesia. Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Luar Negeri Indonesia, visi Kementerian Luar Negeri Indonesia adalah “terwujudnya wibawa diplomasi guna memperkuat jati diri bangsa sebagai negara maritim untuk kepentingan rakyat�. Diplomasi Indonesia akan lebih difokuskan untuk mendukung visi poros maritim dunia. Apabila dilihat dari kacamata hubungan internasional, terdapat dua perspektif yang dapat digunakan untuk menjelaskan visi poros maritim dunia, yaitu perspektif realism dan constructivism. Perspektif constructivism masih terbilang cukup muda apabila dibandingkan dengan perspektif realism yang dikenal sebagai teori tertua dalam hubungan internasional. Namun, semenjak tahun 1990an, perdebatan antara realist dan constructivist telah menjadi poros utama dalam bidang hubungan internasional. IV. PERSPEKTIF REALISM Realism dikenal sebagai teori hubungan internasional tertua yang menitikberatkan keamanan negara sebagai prioritas utama untuk memaksimalkan kekuatan pemerintahan suatu negara. Kenneth Waltz, seorang teoritikus realism, menyampaikan dua dasar pemikiran perspektif realism: pertama, bahwa negara adalah pelaku utama dalam politik internasional yang beroperasi dalam sistem anarki. Yang dimaksud dengan sistem anarki adalah absennya kekuasaan yang lebih tinggi atas semua negara sehingga suatu negara dapat bertindak atas keinginannya sendiri. Pemerintah Indonesia dapat dianggap sebagai aktor utama yang berperan dalam membawa kepentingan nasional ke dalam politik internasional. Dengan membawa visi poros maritim dunia ke ranah internasional dan menjadikannya sebagai visi Kementerian Luar Negeri, yang berperan sebagai institusi penyelenggara hubungan dan pelaksana politik luar negeri, hal tersebut menunjukan bahwa pemerintah sebagai aktor utama berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai visi poros maritim dunia. Dasar pemikiran realism yang kedua adalah bahwa tujuan utama dari suatu negara adalah survival atau untuk bertahan hidup, yaitu dengan cara menjaga kedaulatan negara itu sendiri. Apabila dikaitkan dengan dasar pemikiran yang pertama, setiap negara memiliki tujuan yang sama yang didasari oleh persepsi sistem internasional yang bersifat anarki yaitu untuk bertahan hidup. Bagi realist, menjadi negara yang kuat adalah pilihan yang paling tepat untuk memenuhi tujuan utama suatu negara yaitu untuk bertahan hidup. Bila suatu negara dapat menjaga kekuatannya dan negara lain dapat menyadari akan eksistensi dari negara tersebut, realist meyakini bahwa keamanan dan kedaulatan suatu negara akan terjaga. Dalam hal visi poros maritim dunia, menjadi poros berarti Indonesia akan memiliki kemampuan yang lebih dari negara lain dalam konteks kemaritiman dan Indonesia ingin menunjukkan eksistensinya di mata masyarakat internasional dengan tujuan untuk menjaga keamanan dan kedaulatan nasional.

V. PERSPEKTIF CONSTRUCTIVISM Perspektif kedua adalah perspektif constructivism. Para constructivist berpendapat bahwa dunia ini tersusun atas social ideas dan intersubjective understandings yang mana dibentuk dan terbentuk oleh identitas sosial baik secara individu dan kolektif. Salah satu dasar pemikiran dalam perspektif constructivism yang bisa digunakan untuk menjelaskan visi poros maritim dunia adalah constructivism memfokuskan pada ide, norma, identitas dan proses pembelajaran. Lain halnya dengan realism, perspektif constructivism menekankan bahwa bukan sistem anarki yang menentukan tindakan dari suatu negara, melainkan persepsi suatu negara dalam memandang negara lainlah yang mempengaruhi. Constructivism menekankan arti identitas tentang bagaimana suatu negara menilai dirinya sendiri dan menilai negara lain. Setiap negara memiliki identitas yang berbeda dan juga memiliki cara yang berbeda dalam mengidentifikasi negara lain. Menurut constructivist hal tersebut berkaitan dengan faktor sejarah, budaya, politik dan sosial suatu negara. Kaitannya dengan visi menjadi poros maritim dunia adalah visi tersebut merupakan identitas yang dibentuk oleh Indonesia. Dengan membentuk identitas sebagai negara maritim, hal tersebut akan mempengaruhi cara pandang dan perilaku negara lain terhadap Indonesia dalam interaksi internasional. Presiden Jokowi menggunakan kesempatan KTT Asia Timur pada bulan November 2014 lalu untuk memberi gambaran mengenai visi poros maritim dunia dengan menyampaikan: Indonesia menyadari, sebuah transformasi besar sedang terjadi di abad ke-21 ini. Pusat gravitasi geo-ekonomi dan geo-politik dunia sedang bergeser dari Barat ke Asia Timur. Negara-negara Asia sedang bangkit. Dalam dinamika itu, laut akan semakin pentingnya artinya bagi masa depan kita. Jalur laut yang menghubungkan dua samudera strategis -- Samudera Hindia dan Samudera Pasifik -- merupakan jalur penting bagi lalu lintas perdagangan dunia. Indonesia berada tepat ditengah-tengah proses perubahan strategis itu, baik secara geografis, geopolitik, maupun geo-ekonomi.� Dalam pidatonya, Presiden Jokowi memfokuskan pada keadaan yang tengah dihadapi sekarang dan mencoba untuk membentuk ide bersama mengenai pentingnya peran laut di masa yang akan datang, tidak hanya untuk Indonesia namun juga untuk negara lain. Presiden Jokowi mencoba untuk mengajak semua pihak untuk membuka mata bahwa keadaan ini tidak akan hanya dihadapi oleh Indonesia melainkan oleh seluruh negara di Asia Timur. Dari analisa perspektif realism dan constructivism tersebut, masing-masing perspektif memiliki penjelasan yang berkaitan dengan upaya Indonesia dalam mencapai visi poros maritim dunia. Di satu sisi, realism menekankan pentingnya menjaga kedaulatan negara yang memang menjadi prioritas dari kebijakan luar negeri Indonesia, dan di sisi lain constructivism menekankan pengaruh identitas suatu negara dalam sistem internasional. Sudut pandang ini berkaitan dengan visi Kementerian Luar Negeri Indonesia yang ingin menjadikan negara maritim sebagai jati diri bangsa.


VI. STABILITAS KAWASAN DAN KEDAULATAN NASIONAL Bukan suatu hal yang mudah untuk mewujudkan lima pilar utama visi poros maritim dunia mengingat banyaknya tantangan yang ada. Keamanan dan kedaulatan nasional menjadi prioritas utama kebijakan luar negeri Indonesia yang diterapkan Presiden Jokowi. Untuk itu, Presiden Jokowi berusaha menegakkan kedaulatan nasional dari setiap gangguan dan menekankan diplomasi untuk menyelesaikan sengketa batas negara dengan negara-negara tetangga. Hingga saat ini, terdapat beberapa masalah terkait dengan keamanan dan kedaulatan Indonesia. Masalah pertama adalah sengketa tentang garis perbatasan yang belum terselesaikan. Pada Gambar 1 di bawah dapat kita lihat peta sengketa perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, baik darat maupun laut. Gambar ini menunjukan bahwa Indonesia masih rentan terhadap sengketa terkait masalah perbatasan dengan negara tetangga. Penyelesaian sengketa perbatasan merupakan hal sulit dan kompleks, karena tidak hanya membutuhkan kepiawaian dalam berdiplomasi, namun juga melibatkan berbagai disiplin ilmu, mulai hukum internasional, hubungan internasional, geografi, geologi, geodesi, hidrografi, oseanografi, kartografi, navigasi, dan kesejarahan. Selain kompleks, hal tersebut juga berpotensi menggangu kedaulatan nasional dan stabilitas kawasan.

kan ASEAN Declaration of Conduct on South China Sea. Declaration of Conduct (DoC) tersebut akan menjadi suatu kode etik yang harus dipatuhi oleh para pihak, sebagaimana asas pacta sunt servanda yang diatur pada Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT) tahun 1969: perjanjian yang telah disepakati mengikat kepada para pihak dan harus dilakukan dengan itikad baik. VCLT merupakan salah satu acuan yang digunakan untuk mengatur perjanjian internasional. Namun Cina dianggap telah melanggar DoC yang ditandatangani di Phnom Penh, Kamboja, pada tanggal 4 November 2002 dengan melakukan reklamasi Kepulauan Spratly tersebut. Indonesia dapat berperan aktif secara bersama-sama dengan anggota negara ASEAN lainnya untuk terus mengupayakan agar Cina dapat mematuhi DoC yang telah disepakati. Hal tersebut dapat menciptakan kawasan Asia Tenggara yang stabil dan damai. Masalah selanjutnya adalah terkait penangkapan ikan liar di wilayah kelautan Indonesia. Berdasarkan laporan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dapat kita lihat dalam ilustrasi di Gambar 2, pada tahun 2014 terdapat lebih dari 100 kapal asing, termasuk kapal asing dari Cina, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam, yang disita karena tertangkap melakukan penangkapan ikan liar di wilayah laut Indonesia yang menyebabkan Indonesia mengalami kerugian setidaknya 24 miliar US Dollar. Untuk melindungi Indonesia dari penangkapan ikan liar tersebut, Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan untuk menenggelamkan kapal nelayan asing yang memasuki wilayah kelautan Indonesia dan melakukan penangkapan ikan liar. Menurut Presiden Jokowi, Indonesia tidak bisa lagi menoleransi 5.000 kapal nelayan asing yang melakukan penangkapan ikan secara liar di perairan Indonesia setiap harinya, hal tersebut sama saja dengan merendahkan kedaulatan Indonesia.

Gambar 1: Sengketa perbatasan darat dan laut yang belum terselesaikan

Berkaitan dengan masalah sebelumnya, selain harus menjamin keamanan maritim di dalam wilayah yurisdiksinya, Indonesia juga harus mencari solusi atas berbagai permasalahan keamanan maritim kawasan, khususnya wilayah Asia Tenggara, karena permasalahan keamanan maritim tersebut juga akan berimplikasi terhadap Indonesia. Masalah terkait sengketa perbatasan yang masih berlangsung hingga saat ini adalah sengketa Laut Cina Selatan yang melibatkan negara anggota ASEAN (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam) dengan Cina. Walaupun tidak menjadi pihak langsung dalam sengketa tersebut, namun apabila Indonesia ingin mewujudkan visinya sebagai poros maritim dunia, Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN dan sebagai aktor inter pares primus, harus berupaya membantu menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan. Indonesia harus terus berupaya untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara karena tanpa stabilitas politik dan keamanan, aktivitas maritim di Asia Tenggara dan Asia Timur akan terganggu. Sejak tahun 1990, Indonesia menjadi inisiator dan fasilitator untuk pengelolaan konflik Laut Cina Selatan yang sudah muncul sejak tahun 1990. Selanjutnya, pada tahun 2002 pertemuan antara negara-negara anggota ASEAN tersebut menghasil-

Kebijakan untuk menenggelamkan kapal nelayan asing di wilayah perairan Indonesia bukanlah suatu kebijakan yang baru, aturan mengenai tindakan tersebut telah diatur dalam Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang tertulis bahwa “penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.� Namun pemerintah Indonesia harus berhati-hati, tanpa adanya sosialisasi yang cukup, kebijakan penenggelaman kapal asing tersebut dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas regional dan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara pelanggar. Dalam hubungan diplomatik dengan negara lain terkait perlakuan terhadap nelayan, Indonesia memiliki perjanjian bilateral berupa Memorandum of Understanding (MoU) dengan Malaysia yang disepakati di Bali pada tanggal 27 Januari 2012. Pada Pasal 3 poin B MoU tersebut diatur:


- Inspection and request to leave the area shall be conducted promptly towards all fishing boats, except for those using illegal fishing gears, such as explosives, electrical and chemical fishing gears; - Notification on the inspection and request to leave the area shall be reported promptly to Focal Points; and - Conducting an open and direct communication among the maritime law enforcement agencies of the Parties promptly and expeditiously. Namun yang perlu diperhatikan dari MoU ini adalah adanya ketidaksesuaian dengan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Di satu sisi, Undang-Undang Nomor 45 tersebut mengatur tindakan tegas dari penyidik dan/atau pengawas, namun aturan pada MoU dengan Malaysia lebih mengutamakan upaya persuasif. Hal seperti ini harus lebih diperhatikan oleh pemerintah Indonesia dalam hal membuat perjanjian, baik bilateral maupun multilateral, dengan negara lain agar tidak merusak hubungan diplomatik antar negara demi mempertahankan stabilitas regional. VII. KONSEP PENCAPAIAN VISI POROS MARITIM DUNIA Pertanyaan berikutnya adalah konsep apa yang dapat dijalankan untuk dapat merealisasikan visi Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia. Dalam upaya pencapaian visi tersebut, terdapat beberapa usulan konsep dan langkah yang dapat dilakukan oleh Indonesia: A. Memberikan pemahaman terkait visi poros maritim dunia kepada masyarakat Sebelum kita memikirkan lebih jauh terkait konsep pencapaian visi poros maritim dunia, pemerintah harus terlebih dahulu memberikan pemahaman terkait apakah yang dimaksud dengan visi poros maritim dunia itu sendiri. Termasuk di dalamnya adalah: (1) timeline yang diharapkan dalam pencapaian visi poros maritim dunia, (2) apa saja target yang dituju sesuai dengan timeline yang telah disiapkan oleh pemerintah, (3) siapa sajakah instansi pemerintahan dan kementerian yang terlibat dalam visi poros maritim tersebut, (4) demi menghindari terjadinya tumpang-tindih kewenangan antar instansi, harus disosialisasikan secara rinci sejauh manakah wewenang dari masing-masing instansi dan kementerian tersebut. Saran yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah menyediakan suatu website sebagai wadah untuk sarana sosialisasi terkait visi Indonesia sebagai poros maritim dunia kepada masyarakat. Visi ini merupakan visi yang tergolong masih baru sehingga diperlukan riset yang lebih mendalam, dan website ini dapat digunakan sebagai wadah penyaluran hasil riset para akademisi di bidang maritim. Riset-riset ilmiah ini nantinya dapat membantu pemerintah dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal tersebut tentu akan sangat membantu pemerintah mengingat pengguna internet di Indonesia hingga tahun 2015 ini mencapai 139 juta jiwa berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia di Gambar 3.

Gambar 3: Data pengguna internet di Indonesia (1998 – 2015)

Perlunya sosialisasi kepada masyarakat adalah karena visi poros maritim dunia ini bukanlah visi Presiden Jokowi seorang, namun visi bangsa Indonesia secara bersama. Diperlukan kerjasama dari berbagai pihak untuk mewujudkan visi ini. Untuk itu, diperlukan adanya wadah informasi yang memadai untuk semua pihak agar dapat menciptakan pemahaman yang merata bagi masyarakat sehingga masyarakat tergerak untuk terlibat dalam mewujudkan visi Indonesia tersebut. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada wadah resmi yang disiapkan oleh pemerintah Indonesia yang memuat detail terkait visi poros maritim dunia secara komprehensif. Sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat Indonesia tersebut merupakan salah satu bagian dari implementasi public diplomacy. Public diplomacy atau diplomasi publik adalah diplomasi yang menggunakan cara ‘win the hearts and minds of the people’, yaitu cara dengan memberikan sosialisasi masyarakat agar dapat membentuk citra Indonesia yang dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat. Apabila dikaitkan dengan upaya pencapaian visi poros maritim dunia, diplomasi publik dapat membantu dalam menciptakan awareness dari masyarakat sebelum terbentuknya sense of belonging sehingga masyarakat mau terlibat dan berkontribusi untuk mewujudkan visi poros maritim dunia. Target yang dituju untuk tahap awal ini adalah masyarakat Indonesia baik di dalam atau luar negeri, selanjutnya adalah masyarakat negara anggota ASEAN, dan tidak tertutup kemungkinan berlanjut ke area yang lebih besar lagi yaitu masyarakat internasional. Salah satu sarana diplomasi publik adalah dengan menggunakan media website seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Dengan adanya website untuk sosialisasi tersebut diharapkan implementasi diplomasi publik juga akan berjalan dengan maksimal. B. Membenahi masalah penegakan hukum di bidang maritim Selain mempertahankan stabilitas kawasan dan kedaulatan nasional, Indonesia juga masih memiliki masalah dalam penegakan hukum di bidang maritim. Menurut Prof. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional, masih terdapat tumpang tindih kewenangan antar instansi yang berperan di bidang kemaritiman tanpa adanya sinergisitas dan koordinasi satu sama lain. Instansi tersebut antara lain kepolisian, angkatan laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Koordinasi Keamanan Laut, Imigrasi, Bea dan Cukai. Kurangnya sinergisitas antar instansi dapat menyebabkan benturan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut disebabkan setiap instansi pemerintah mengedepankan kepentingan sektornya sehingga peraturan perundang-undangan


mencerminkan ego sektoral dari masing-masing instansi. Untuk itu, Indonesia harus berupaya membenahi sinergisitas dan koordinasi antar instansi dalam bidang kemaritiman demi menjaga penegakan hukum di bidang maritim itu sendiri. C. Memaksimalkan fungsi diplomasi untuk menyelesaikan sengketa perbatasan dengan negara tetangga Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, hingga saat ini Indonesia masih memiliki masalah yang terkait dengan keamanan dan kedaulatan nasional. Pertama, rentan terjadinya sengketa perbatasan dengan negara tetangga sehingga mengancam kedaulatan negara serta stabilitas kawasan. Hingga saat ini, setidaknya Indonesia masih memiliki tiga sengketa perbatasan darat dan tujuh sengketa perbatasan laut sebagaimana yang telah diilustrasikan dalam Gambar 1. Kedua, Indonesia juga harus mencari solusi atas permasalahan keamanan maritim di wilayah Asia Tenggara, karena permasalahan keamanan maritim juga akan berdampak terhadap Indonesia. Dalam lima tahun ke depan, Indonesia harus terus memaksimalkan fungsi diplomasinya untuk mencari solusi menyelesaikan sengketa perbatasan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga demi mempertahankan kedaulatan nasional. Pemerintah juga harus melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk membantu penyelesaian sengketa perbatasan tersebut, termasuk hukum internasional, hubungan internasional, geografi, geologi, geodesi, hidrografi, oseanografi, kartografi, navigasi, dan kesejarahan. Selanjutnya, Indonesia juga harus menjadi pihak yang ikut serta dalam proses penyelesaian sengketa di wilayah Asia Tenggara meskipun Indonesia bukanlah pihak dalam sengketa tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan terus aktif mengupayakan bersama negara anggota ASEAN lainnya agar Cina dapat mematuhi DoC terkait sengketa Laut Cina Selatan yang telah disepakati. Apabila hal tersebut telah dapat dilaksanakan, stabilitas kawasan dan keamanan akan dapat diwujudkan sesuai dengan lima pilar utama visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. VIII. KESIMPULAN Tulisan ini telah menjelaskan konsep dari visi Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia yang menjadi agenda prioritas di masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Selanjutnya, berdasarkan perspektif realism, kedaulatan negara merupakan hal yang penting yang memang menjadi prioritas dari kebijakan luar negeri Indonesia, dan berdasarkan perspektif constructivism, hal yang penting adalah pengaruh identitas suatu negara dalam sistem internasional berkaitan dengan visi Kementerian Luar Negeri Indonesia yang ingin menjadikan negara maritim sebagai jati diri bangsa. Dalam hal stabilitas kawasan dan kedaulatan nasional, masih terdapat sengketa-sengketa yang mengancam stabilitas kawasan dan hubungan diplomatik antar negara sehingga dapat memberikan dampak negatif bagi Indonesia dalam mewujudkan visinya sebagai poros maritim dunia. Berdasarkan analisa tantangan yang dihadapi oleh Indonesia tersebut, tulisan ini menghasilkan tiga usulan konsep untuk mewujudkan visi poros maritim dunia. Yang pertama adalah terkait pentingnya pemberian pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia agar masyarakat mau terlibat dan ikut berkontribusi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, visi ini bukan hanya visi seorang Presiden Jokowi atau kementerian tertentu saja melainkan visi bangsa yang untuk pencapaiannya diperlukan keterlibatan aktif dari berbagai pihak. Kedua adalah pembenahan penegakan hukum di bidang maritim karena masih terdapat tumpang.

tindih kewenangan dan ego sektoral antar instansi yang berperan di bidang kemaritiman. Ketiga, pemerintah harus memaksimalkan fungsi diplomasi untuk mencari solusi sengketa-sengketa terkait perbatasan Indonesia dengan negara tetangga dan sengketa perbatasan di kawasan Asia Tenggara, untuk mewujudkan stabilitas kawasan sesuai dengan lima pilar utama visi Indonesia sebagai poros maritim dunia


Kluster Sains Sosial

Online Ethnography : Penggunaan Facebook pada Multi-Sited Fieldwork dalam Penelitian Masyarakat Menyebar (Diaspora) Jawa-Suriname di Belanda Oleh: Fuji Riang Prastowo Antropolog Diaspora dan Online-Behaviour, Radboud University, Nijmegen

I.PENDAHULUAN Siapa yang tidak kenal Facebook di era sekarang ini ?. Hampir semua orang yang akrab dengan teknologi internet, kemungkinan memiliki akun Facebook dan menggunakannya setiap saat. Hanya sebagian orang saja yang sengaja tidak memilikinya dengan alasan tertentu. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Facebook merupakan social media paling tenar abad ini. Facebook memiliki andil besar sebagai mediasi komunikasi sosial antar manusia melalui dunia maya. Terima kasih kepada Marx Zuckerberg dan rekannya yang telah menciptakan Facebook pada tahun 2004 di California USA, di mana menurut data pada periode Maret 2015, Facebook telah memiliki pengguna aktif setiap bulannya sebanyak 1,44 miliar Facebook users di seluruh dunia (http://newsroom.fb.com/company-info/, 2015). Jika manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan interaksi antar sesama manusia, maka Facebook adalah ‘kebutuhan pokok’ manusia di abad ini. Kemudian apa istimewanya Facebook, hingga sedemikian rupa dalam artikel ini menempatkan Facebook sebagai topik utama yang dapat dikaji secara ilmiah dalam penelitian sosial. Bertolak dari pertanyaan tersebut, tulisan ini merupakan potongan kecil dari hasil penelitian etnografi pada masyarakat menyebar Jawa-Suriname di Belanda dalam rentang waktu Oktober 2014 hingga Juni 2015 yang ditulis dalam bahasa Inggris. Penelitian antropologi yang berjudul “ Tansah Eling Simbah: Never Forget My Roots: A Study of Suriname-Javanese Diasporic People in Nurturing Home Culture in the Netherlands” menggunakan metode ‘multi-sited fieldwork’ yang diperkenalkan oleh George Marcus (1995: 98-102) yakni dengan mengikuti beberapa teknik penelitian lapangan multi-situs, seperti following people (mengikuti orang), following thing (mengikuti benda), following metaphor (mengikuti metafor), following story (mengikuti cerita), dan following life biography (mengikuti biografi). Penelitian ini dapat dikatakan sebagai sebuah ‘peristiwa Facebook’, di mana peneliti mengawali proses dialektika pertama kalinya saat bertemu dengan kawan Facebook-nya yang merupakan orang Jawa-Suriname Belanda ketika mereka sedang plezier (liburan) di Yogyakarta pada tahun 2014. Peristiwa tersebut kemudian dapat disebut sebagai kejadian ‘from online to offline’, atau bahasa tren kalangan anak muda jaman sekarang disebut sebagai peristiwa kopdar (kopi darat), yakni ketika pertemuan tatap muka secara langsung di dunia nyata terjadi setelah saling kenal terlebih dahulu lewat dunia maya. Hubungan sosial seperti ini sekarang sangat lazim terjadi karena Facebook.

Singkat kata, daripada mengutarakan hasil penelitian etnografi pada masyarakat menyebar Jawa-Suriname yang bersifat empiris, tulisan ini bermaksud mengangkat topik yang lebih teoritis, terutama dalam hal dialektika metodologi dalam penelitian sosial. Penempatan Facebook sebagai titik utama analisis adalah upaya tulisan ini merespon perkembangan teknologi yang secara tidak langsung telah mengubah peradaban dan perilaku manusia, serta bagaimana penelitian sosial dapat dijalankan untuk menganalisis perubahan sosial tersebut. II. PEMBAHASAN A. Facebook sebagai metode dan/atau lapangan penelitian Ruben (2012:370) mengemukakan metode multi-sited fieldwork tepat digunakan untuk meneliti diaspora di mana keberadaan anggota masyarakatnya tidak terikat pada satu wilayah tertentu, namun lebih ‘geographically dispersed’ atau menyebar. Etnografi dengan metode multi-sited fieldwork tidak lagi terikat pada diskursus klasik ‘single-site’ atau ketika peneliti dituntut untuk hidup dalam jangka waktu yang lama bersama satu komunitas yang hidup pada satu wilayah saja. Multi-sited fieldwork merupakan gagasan metodologis guna mengkritik metode klasik antropologis single-site, di mana pada era saat ini lebih banyak masyarakat hidupnya menyebar dan tidak terikat hanya pada satu wilayah tertentu (Melhuus, 2010:5). Misalnya, sebagai contoh empiris yang berkaitan dengan studi kasus dalam tulisan ini, pada era sekarang ini susah untuk mendefinisikan ‘single-site’ masyarakat Jawa di Indonesia, karena pada kenyataannya masyarakat Jawa juga dapat ditemukan di luar wilayah yang diklaim sebagai wilayah etnis Jawa bermukim (Banyumas, Jawa Tengah, Jawa Timur, dsb). Diaspora Jawa telah menyebar luas ke luar pulau Jawa hingga luar negeri. Inilah yang kemudian menyebabkan definisi single-site kampung Jawa menjadi buram, karena tidak ada ikatan wilayah yang kuat seperti jaman dahulu kala ketika komunalitas untuk hidup bersama masih di pegang tegah oleh satu komunitas. Selaras dengan perkembangan teknologi, penelitian antropologi dapat terjadi lewat dunia maya yakni melalui mediasi internet. Muir (2004:187) menyatakan gagasan berdasarkan dilema yang ia alami saat melakukan penelitian Aborigin yang menyebar di Australia. Ia mengatakan bahwa ketika seseorang melakukan penelitian etnografi dengan multi-sited fieldwork, maka keberadaan teknologi dan media dapat menjadi komponen utama pengumpulan data; penggunaan teknologi sebagai basis kontak sosial dapat menembus batasan ruang dan waktu. Selama penelitian lapangan, ‘lapangan penelitian’ dalam studi ini justru banyak terjadi di Facebook. Peneliti2 menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar komputer untuk beberapa aktivitas penelitian seperti menjaga hubungan dengan informan,


memperluas jaringan, menyusun jadwal pertemuan, mengumpulkan data sekunder, dan mengikuti perkembangan isu terbaru. Berdasarkan pengalaman di atas, lalu muncul pertanyaan kritis yang menyoroti persoalan metodologis multi-sited fieldwork. Apakah beberapa metode pembuntutan seperti following people, following thing, following metaphor, following story, dan following life biography, dapat juga dilakukan di Facebook ?. Ketika Marcus mencetuskan metode pembuntutan ini tahun 1995, Facebook belum diciptakan. Oleh karena itu metode yang dikemukakan Marcus hanya mengkritik hegemoni penelitian klasik antropologi yang dilakukan hanya di satu lapangan dan masyarakat tertentu (single-site), bukan persoalan media apa yang digunakan selama penelitian. Tulisan ini beragumentasi bahwa lapangan penelitian dalam metode pembuntutan dapat terjadi pula di Facebook. Misalnya, Farquhar (2012:447) menamakannya dengan ‘the cyber-ethnography’ di mana keberadaan Facebook sangat membantu peneliti untuk mempertemukan ‘intersection’ antara real and virtual world. Pengguna Facebook diyakini menampilkan identitasnya secara visual lewat dunia maya, mereka membangun dunianya sendiri yang kemudian disebut sebagai ‘the second life’. Turkle (2011:153) juga menggunakan istilah ‘the second life’ untuk merujuk fenomena internet dan perilaku manusia yang ia teliti dan dijadikannya buku dengan judul ‘alone together’. The second life dapat diterjemahkan bahwa manusia di abad internet sekarang ini mencoba membangun dunia keduanya lewat dunia virtual. Logika ‘alam kedua’ ini dapat terjadi tidak hanya pada Facebook melainkan pada kaum gamer dan blogger. Sherman (2011:36) menyatakan bahwa ‘the term of virtual is something real but not actualized between the abstract and the material or known as ‘liminal state’, sesuatu yang nyata namun tidak teraktualisasi secara fisik. Seperti beberapa literatur di atas, tulisan ini kemudian menyoroti online-ethnography untuk merujuk ‘lapangan penelitian’ yang dapat terjadi lewat mediasi Facebook. Dalam hal ini, peneliti yang menggunakan online-ethnography menggunakan mediasi teknologi internet sebagai jembatan ‘dua dunia’ yang dihadapinya yakni dunia nyata dan dunia maya, untuk memahami konteks dan isu masyarakat yang ditelitinya melalui resonansi identitas pada dunia maya. Peneliti bukan hanya melakukan observasi secara online, melainkan juga dituntut interaksi aktif dengan informan dalam dunia maya. Selama penulisan laporan etnografi, peneliti juga harus mempertimbangan pentingnya ‘etika etnografi’. Penggunaan data Facebook dalam tulisan harus disetujui oleh informan ketika biodata asli mereka ditampilkan dalam teks, apakah informan tersebut bersedia ditampilkan nama aslinya atau lewat nama samaran saja. Etika ini harus dipegang kuat oleh online-etnograf. Seperti dalam tulisan ini, semua penggunaan material Facebook telah disetujui oleh informan sebagai bagian dari keutuhan cerita mereka menyampaikan sejarah hidup sebagai seorang diaspora. Sebagian besar informan seringkali menyampaikan “mas aku ora inter kelingan ceritane kepiyeh, ananging ono neng Facebook-ku, deloko dewe neng Facebooku” (mas, aku lupa cerita lengkapnya, tapi ada (sudah dibuat status) dalam Facebookku, lihat saja di akun Facebook-ku). Bagi masyarat menyebar Jawa-Suriname, Facebook seperti album foto dan catatan harian mereka. Wajar jika kemudian salah satu fitur Facebook dinamakan dengan ‘timeline’.

B. Studi Empiris : Online Ethnography pada Masyarakat Menyebar (Diaspora) Jawa-Suriname di Belanda Penggunaan istilah diaspora telah diulas secara luas oleh sejumlah studi yang telah dilakukan sebelumnya. Cohen (2008:6) mendefinisikan terminologi diaspora berasal dari kata bahasa Yunani yaitu Speiro (menyebar), di mana kelompok manusia dapat dikatakan sebagai diaspora jika memiliki beberapa ciri khas yakni (1) mereka adalah keturunan dari leluhur yang hidup diluar ‘homeland’ (tanah air) etnis atau suku bangsanya, (2) selama tinggal di luar tanah air, mereka tetap melestarikan a collective memory (ingatan komunal) akan mitos dan cerita tanah air yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur, (3) mereka percaya tidak akan sepenuhnya dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat asli host country, (4) cerita leluhur adalah an idealized imagination (imajinasi yang ideal) akan kebudayaan dan cara hidup mereka, (5) mereka percaya bahwa anggota masyarakat diaspora harus terus melestarikan kebudayaan tanah air leluhur mereka, (6) mereka berupaya terus untuk membangun relasi kembali dengan tanah air mereka. Dari karakteristik yang disampaikan Cohen tentang ciri khas masyarakat diaspora, peneliti mengungkapkan kecenderungan umum suatu kelompok manusia dapat dikatakan sebagai diaspora apabila mereka yang tinggal di luar dari tanah airnya, namun masih tetap berupaya membangun imajinasi tanah air tersebut dengan cara melestarikan kebudayaan dan nilai-nilai yang diajarkan oleh leluhur mereka. Pernyataan ini tersemat pula dalam mayoritas literatur yang mengungkapkan pola umum masyarakat diaspora yakni selalu terikat dengan konteks ‘homeland’ (lihat Basu, 2007; Clifford, 1994; Cohen, 2008; Falzon, 2003 Knott, 2010; Levy and Weingrod, 2005; Morawska, 2011; Rozen, 2008; Sheffer, 2010; Tölölyan, 2007). Menurut pendapat Levy dan Weingrod (2005:3) diaspora dan ‘the maintenance of home’ adalah dua istilah yang tidak dapat dipisahkan, di mana ‘home’ disini tidak dimaknai sebagai rumah dalam konteks fisik, melainkan rumah dalam konteks wacana yakni bagaimana masyarakat diaspora memupuk emosi dan membangun imajinasi mereka tentang ‘rumah yang ideal dari leluhur’ di tempat mereka tinggal saat ini. Di manapun diaspora tinggal, konsep ideal rumah adalah berdasarkan cerita leluhur dari tanah air mereka. Beberapa studi dalam bidang sejarah, sosial, dan budaya menyebutkan bahwa orang Jawa merupakan salah satu masyarakat diaspora di bumi ini, sebagai dampak dari ratusan tahun kolonial Hindia Belanda dan era pendudukan Jepang yang sempat terjadi di Nusantara. Allen (2013:6) mendeskripsikan bahwa migrasi orang Jawa ke luar pulau Jawa masif terjadi pada akhir abad ke-19, di mana pada masa itu kondisi di pedesaan pulau Jawa didera persoalan yang pelik. Persoalan tersebut menurut Aonghas (2001:997) seperti ledakan populasi, kemiskinan dan kekurangan lahan bagi buruh pertanian. Mayoritas dari emigran yang meninggalkan pulau Jawa adalah landless peasants atau buruh tani yang tak mempunyai lahan (Blakely, 1998:4). Kini Suriname, sebuah negara kecil di Amerika Selatan yang juga merupakan bekas koloni Belanda, adalah salah satu negara dengan jumlah populasi Jawa diaspora terbesar di dunia. Pasurdi (1995:83) menyebutkan dalam rentang waktu 1890-1939 ada sekitar 31.499 orang Jawa yang tercatat secara administrasi melakukan migrasi dari Dutch East Indies (sekarang disebut Indonesia) ke Dutch West Indies (sekarang disebut Suriname). Pada tahun 2004 menurut


sensus negara Suriname, terdapat 71.879 orang keturunan Jawa yang mendiami Suriname (Hartoyo, 2010: 13) Selanjutnya sejarah berlanjut, sesaat diproklamirkan kemerdekaan negara Suriname pada tahun 1975, terjadi gelombang eksodus besar-besaran sekitar 200.000 orang Suriname yang terdiri dari etnis Hindustani, Negro, Kreol, Cina, dan Jawa melakukan migrasi dari Suriname ke Belanda untuk mempertahankan status kependudukan warga Belanda (Chickrie, 2011:81). Gelombang eksodus masih terjadi kembali pada tahun 1980an ketika terjadi kudeta militer di Suriname yang menyebabkan jumlah penduduk orang Suriname (termasuk keturunan Jawa) berkembang pesat di Belanda (Gowricharn, 2004:615).

Pada tahun 2015 ini, ketika perkembangan teknologi internet semakin pesat, masyarakat menyebar Jawa-Suriname di Belanda turut menggunakan internet sebagai bagian penting hidup mereka guna sambung roso (menyambung rasa) antar masyarakat menyebar dan menyambungkan kembali hubungan mereka dengan tanah air mereka di Jawa. Masyarakat menyebar Jawa-Suriname di Belanda memiliki ‘dunia kedua’ dengan komunitas online yang sangat kuat di Facebook. Sehingga pada bagian ini akan dipaparkan data-data empiris guna mendukung argumen tentang pentingnya penggunaan Facebook dalam metode Multi-sited fieldwork di Online-Etnography. Untuk membedakan pengguna Facebook pada umumnya dengan etnografer yang sedang menggunakan Facebook untuk penelitian etnografi, tulisan ini memformulasikan beberapa modus atau teknik yang dapat dilakukan seorang etnografer yang akan menggunakan Facebook sebagai sebuah metode sekaligus lapangan penelitiannya, yakni dengan (1) From online to offline and vice versa, (2) Going Inside on Virtual Space, (3) Following People, dan (4) Following Issues and Metaphors. Pertama, from online to offline and vice versa adalah teknik yang dilakukan etnografer untuk menghubungkan dua titik pertemuan yakni dunia nyata dan dunia maya. Sebagai contoh peneliti pertama kali mengenal orang Jawa-Suriname dari Belanda melalui Facebook, dan bertemu di dunia nyata pada Februari dan April 2014 dengan Jakiem Asmowidjojo, Kaboel Karso, dan Tine Moestar di Yogyakarta, Indonesia. Semenjak tinggal di Belanda pada Agustus 2014, peneliti mulai mengenal kembali masyarakat menyebar Jawa-Suriname di Belanda. Setelah ‘merasa diterima’ baik oleh komunitas tersebut, peneliti mulai memberanikan diri ‘menggelinding’ lewat snowball sampling guna mengembangkan jaringan yang dimilikinya lewat Facebook. Logika ini juga terjadi sebaliknya, peneliti terlebih dahulu mengenal informan di dunia nyata dan melanjutkan perbincangan di dunia maya. Melalui teknik ‘sok akrab’ (mengakrabkan diri) ini peneliti mampu mengembangkan jaringannya menjadi sangat luas. Belum setahun tinggal di Belanda, peneliti telah mengenal lebih dari 80 orang keturunan Jawa-Suriname di seantero Belanda. Selama penelitian, melalui pertemuan online di Facebook, peneliti merancang pertemuan offline guna mengikuti beragam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat menyebar Jawa Suriname di Belanda seperti Besik Kubur (membersihkan makam), Wayangan, Kabekten, Kenduren, Ver-

jaardag (ulang tahun), dansi-dansi (pesta), dan sebagainya.

Gambar 4 : Bertemu Orang Jawa-Suriname dari belanda di Yogyakarta (Sumber, FB Merapi Merbabu, 2014)

Kedua, Going Inside on Virtual Space adalah mode yang membedakan pengguna umum Facebook dengan etnografer yang menggunakan Facebook. Etnografer yang melakukan penelitian online-ethnography dengan Facebook harus berpartisipasi aktif masuk ke dalam diskusi-diskusi komunitas yang diteliti atau terus menjaga kontak dengan informan di lapangan. Going inside dapat terlihat dari bagaimana orang Jawa-Suriname menerima peneliti benar-benar menjadi bagian dari komunitasnya. Ada terminologi yang secara khusus dicetuskan dalam tulisan ini; peneliti online-ethnography harus memegang teguh dua prinsip utama yakni agar selalu “terlihat dan terlibat”. Terlihat disini dimaknai bahwa peneliti harus terus menjaga frekuensi ‘terlihat’ (melalui akun Facebooknya) seperti dengan memberikan respon menyukai (like), mengomentari (comment), dan menyebarkan (share) pada setiap akun Facebook masyarakat yang ditelitinya. Selain ‘terlihat’, ritme penggunaan Facebook peneliti pun harus disesuaikan dengan gaya penggunaan Facebook masyarakat yang ditelitinya dengan cara ‘terlibat’, yakni peneliti dituntut aktif sebagai pelaku bukan hanya pengamat dalam aktivitas online di Facebook. Misalnya dalam kasus ini, melalui Facebook, peneliti turut aktif mendukung misi Javanese Global Village dengan mengambil ‘peran kecil’ dalam kepanitiaan Jawa-Diaspora sedunia untuk menyiapkan konferensi pertama keturunan Jawa dan budaya Jawa diaspora di Singapura 1-2 Agustus 2015, dan acara puncak di Yogyakarta Indonesia pada 15-16 Agustus 2015. Konferensi ini diikuti oleh 14 delegasi negara dunia diantaranya Jawa Suriname, Jawa Belanda, Jawa Malaysia, Jawa Singapura, Jawa New Caledonia, Jawa Australia, Jawa China, Jawa Swiss, Jawa Mexico, Jawa Indonesia (Jawa Tondano, Jawa Deli, Jawa Lampung), dan sebagainya.


Inilah yang kemudian menyebabkan peneliti mengalami ambivalensi peran, seolah-olah terjerembab kuat dalam ikatan Facebook. Peneliti harus siap meladeni serbuan orang baru Jawa-Suriname yang tiba-tiba mengajukan pertemanan Facebook hanya untuk berkenalan “woalaah iki tole sek jenenge Fuji, mbok tulung digolekke sedulurku neng Njowo” (ternyata ini yang namanya Fuji, tolong mas carikan saudaraku di Jawa)’ ungkap Soekarmin Karmin dari akun Facebooknya. Ibarat kata, peneliti ini seperti nelayan yang sedang memancing di aquarium. Ikan justru datang sendiri tanpa harus bersusah payah memburunya. Semuanya dikarenakan oleh Facebook.

Seperti halnya penelitian antropologi pada umumnya, etnografer memang dituntut untuk ‘going inside’ atau benar-benar masuk ke dalam masyarakat yang ditelitinya. Jika dikaitkan dengan konteks penggunaan Facebook, peneliti harus berusaha terus aktif untuk ‘membuntuti’ informan yang ditelitinya dalam dunia virtual. Dalam konteks penelitian ini, selama ‘proses pembuntutan’ dengan metode multi-sited fieldwork, peneliti justru dikejutkan dengan kejadian yang tak terduga, atau dalam istilah etnografi disebut dengan ‘the notion of serendipity (Sunier dan Verkaaik, 2005). Kejadian tidak terduga yang dimaksud adalah ketika peneliti sama sekali tak mengharapkan bahwa “hampir semua” orang Jawa-Suriname di Belanda yang ditelitinya terkoneksi satu sama lain oleh Facebook. Mereka memiliki ‘dunia lain’ di alam virtual seperti dalam bahasa Jawa disebut dengan, Jagading Facebook (dunia Facebook). Masyarakat menyebar Jawa-Suriname di Belanda merupakan pengguna Facebook yang hiperaktif. Mereka terlibat sebagai moderator sejumlah grup yang berkaitan dengan pelestarian budaya Jawa seperti kuliner, bahasa, gamelan, tarian, dan sebagainya. Terlebih, di tengah penelitian yakni pada Maret 2015, peneliti mengalami kejadian sangat besar yang cukup membuat namanya viral (tersebar luas) di Facebook, yakni ketika perannya dalam mempertemukan kembali satu keluarga Jawa-Suriname yang telah terpisah lama dengan akarnya keluarga di Jawa, diliput oleh sejumlah media di Indonesia (CNN Indonesia, 2015; Yogyakarta Online Tribun News, 2015, dan Koran TribunNews Yogyakarta, 20153). Tersebutlah, keluarga Atmowerdojo yang meninggalkan tanah Jawa sejak 1930 telah kehilangan kontak dengan saudaranya di Jawa. Namun berkat Facebook, peneliti dengan bantuan relasinya mampu mempertemukan kembali keturunan ke-3 sampai ke-4 yang kini menetap di Suriname, Belanda, Swedia, Yogyakarta, dan Qatar. Perpisahan yang terjadi selama 85 tahun, dapat dipertemukan hanya beberapa jam oleh Facebook.

Ketiga, Following people yakni mode untuk mengikuti aktivitas yang dilakukan oleh informan atau calon informan di Facebook. Dalam konteks penelitian ini, mengikuti orang misalnya dapat dilakukan dengan mengikuti status atau foto Facebook yang diunggah informan untuk menunjukkan identitasnya sebagai orang Jawa. Aktualisasi diri adalah kebutuhan dasar manusia. Melalui Facebook, pengguna Facebook dapat mengekspresikan identitasnya melalui bahasa simbol yang ditampilkan secara visual, seperti penggunaan profile picture, status Facebook, upload photo, share videos, dan sebagainya. Misalnya, Jakiem Asmowidjojo yang merupakan pengguna aktif Facebook, selalu memperbaharui status Facebooknya setiap hari dengan isu-isu yang berkenaan dengan isu Jawa. “Ik ben een Javaan maar nog geen echte Javaan” ungkapnya pada laman Facebook tertanggal 31 Mei 2014. Lewat status tersebut, Jakiem ingin mengungkapkan emosinya sebagai orang Jawa tetapi masih harus terus belajar untuk menjadi seorang Jawa sejati, karena ia merasa belum sepenuhnya menjadi orang Jawa. Status-status yang demikian ini cukup mendapatkan respon positif oleh jaringan yang dimiliki pengguna Facebook orang Jawa-Suriname di Belanda. On Facebook, We Face(d) Java !!, adalah ungkapan yang tepat dilontarkan untuk menggambarkan penggunaan Facebook oleh orang Jawa-Suriname di Belanda. Facebook menjadi mediasi pengguna untuk ‘merepresentasikan’ dirinya di hadapan khalayak melalui alam virtual. Seperti yang diungkapkan oleh Bouvier (2012:37) dengan artikelnya yang berjudul ‘how Facebook users select identity category for self-presentation’ menyatakan bahwa Facebook memberikan kesempatan penggunanya untuk menampilkan identitasnya melalui aplikasi visual. Ia menyebutkan bahwa identitas dapat ditampilkan secara personal melalui kombinasi teks dan gambar dalam Facebook. Farquhar (2012:448) juga menyebutkan bagaimana pengguna Facebook dapat menampilkan identitas dirinya melalui cara visual untuk mengkontruksikan ‘identitas yang ideal’ di dunia maya.


Keempat, following issues and metaphor atau dapat diartikan metode mengikuti isu dan metafor yang ditampilkan oleh orang-orang yang merupakan bagian dari masyarakat yang diteliti. Dalam konteks ini, sejak pertama kali mengenal dengan komunitas orang Jawa-Suriname di Facebook, tampilan dan kesan pertama yang didapatkan dari mereka adalah ‘bagaimana mereka nguri-uri, atau melestarikan cerita tentang Simbah (leluhur mereka)’. Seperti misalnya ada yang membuat lagu bertemakan ungkapan rasa terimakasih pada simbah mereka di Facebook, ada pula yang menceritakan kisah penderitaan simbah mereka pada masa-masa awal imigrasi dengan mengupload foto-foto leluhur yang didapat dari arsip nasional Belanda. Dapat dikatakan bahwa nguri-uri cerita simbah adalah elemen penting dalam kebudayaan Jawa-Suriname, misalnya tradisi penggunaan sistem marga dengan garis paternal yang menggunakan nama keluarga dari Simbah yang pertama kali menginjakkan kaki di negeri Suriname (beberapa nama diantaranya seperti Karijodikromo, Karijodinomo, Sastrowidjojo, Kartomedjo, Kidjo, Atmopawiro, Kromopawiro, dan sebagainya), tradisi besik kubur Simbah, kenduren ala Simbah, dan sebagainya. Dalam isu penggunaan Facebook, mereka berusaha menciptakan metafor-metafor ‘cerita simbah’ yang ditampilkan secara visual melalui dunia maya. Melalui cerita simbah, mereka juga ingin mengekpresikan identitas diasporanya.

III. PENUTUP De Kracht van Facebook !’, the power of Facebook atau dapat diartikan kekuatan Facebook adalah ungkapan dari Jakiem (lihat gambar 16) untuk mengutarakan betapa besarnya peran Facebook di tengah masyarakat menyebar Jawa-Suriname di Belanda. Dari pemaparan tulisan singkat ini kemudian dapat disimpulkan bahwa Facebook memang benar-benar memiliki peranan penting yang mampu mengubah peradaban umat manusia (terutama diaspora) dengan memberikan ruang ‘dunia kedua’ di dunia maya untuk berkomunikasi sosial, membangun jaringan komunitas, menjalin persaudaraan global, dan mengaktualisasikan diri. Kesimpulan ini mendukung penelitian-penelitian sebelumnya tentang ‘the second lives’ di dunia maya (lihat Bernal (2010), Bouvier (2012), Farquhar (2012), Jones (2002), Peachey and Mark (2011), Sherman (2011), Turkle (2011)).

Tulisan ini menyimpulkan bahwa Facebook adalah resonansi dari perilaku manusia di dunia nyata. Bagaimana pengguna Facebook menampilkan identitas mereka di dunia maya tergantung dari konteks dan pengalaman yang mereka miliki di dunia nyata. Di era perkembangan pesat teknologi internet saat ini, manusia tidak hanya dapat berbicara dengan mulut yang kemudian menghasilkan suara di dunia nyata, namun mereka seolah-olah dapat berbicara melalui Facebook untuk menghasilkan tulisan atau gambar di dunia maya. Sama halnya dengan berbicara, Facebook memberikan ruang bagi manusia untuk berekspresi apa yang ada dalam pikirannya dan merepresentasikan bagimana identitasnya. Dalam persoalan teoritis dan metodologis, keberadaan Facebook dapat diasosiasikan sebagai metode baru dalam penelitian ‘lapangan’ atau ‘lapangan penelitian baru’ bagi ilmu-ilmu sosial yang mempelajari kehidupan dan perilaku manusia. Penelitian dengan Facebook memang tepat digunakan dalam ilmu sosial guna merespon perubahan peradaban manusia di abad ini. Namun Facebook sebagai lapangan penelitian dan metode tentunya juga memiliki limitasi, yakni terkadang analisis yang dihasilkan terkesan artifisial atau banal dari dunia nyata. Oleh karena itu tetap diperlukan keseimbangan pertemuan lapangan penelitian antara dunia nyata dan dunia maya.


REFERENSI [1] Allen, Pamela. 2013. Diasporic representation-ns of the home culture: case studies from Suriname and New Caledonia. Journal Asian Ethnicity: 1-19. [2] Aonghas, St-Hilaire. 2001. Ethnicity, assimilation and nation in plural Suriname. Ethnic and Racial Studies, 24:6, 9981019. [3] Basu, Paul. 2007. Highland Homecomings Genealogy and heritage tourism in the Scottish diaspora. London: Routledge [4] Bernal, Victoria. 2010. “Diasporas and cyberspace”. In Diaspora: Concepts, Intersections, Identities, edited by Knott, Kim and Sean McLoughlin. 167-171. England: Zed Books [5] Blakely, Allison. 1998. Historical Ties among Suriname, the Netherlands Antilles, Aruba, and The Netherlands. Caribbean Literature from Suriname, The Netherlands Antilles, Aruba, and The Netherlands: A Special Issue (Summer, 1998), Callaloo, Vol. 21, No. 3, 472-478 [6] Bouvier, Gwen. 2012. How Facebook users select identity categories for self presentation, Journal of Multicultural Discourses, 7:1, 37-57 [7] Chickrie, Raymond S. 2011. Muslims in Suriname: Facing Triumphs and Challenges in a Plural Society. Journal of Muslim Minority Affairs, 31:1, 79-99. [8] Clifford, James. 1994. Diasporas. Cultural Anthropology Vol 9. No 3 pp 302-308 [9] Cohen, Robin. 2008. Global Diasporas: An Introduction, Second Edition. London. Routledge [10] Falzon, Mark-Anthony. 2003. ‘Bombay, Our Cultural Heart’: Rethinking the relation between homeland and diaspora, Ethnic and Racial Studies, 26:4, 662-683. [11] Farquhar, Lee. 2012. Performing and interpreting identity through Facebook imagery. Journal of Research into New Media Technologies 19(4) 446-471 [13] Gowricharn, Ruben. 2004. Moral capital in Surinamese transnationalism, Ethnic and Racial Studies, 27:4, 607-621 [14] Hartoyo, Imam. 2010. Bingkai Jawa di Suriname. Jakarta : Kementrian Budaya dan Pariwisata Indonesia [15] Jones, Steven G. 2002. Virtual Culture: Identity and Communication in Cyber-society. London : Sage Publications. [16] Knott, Kim and Sean McLoughlin. 2010. Diaspora: Concepts, Intersections, Identities. England: Zed Books. [17] Levy, André and Alex Weingrod. 2005. Homelands and Diasporas: Holy Lands and Other Places. Stanford: Stanford University Press [18] Marcus, George. 1995. Ethnography in/of the world system: The emergence of multi-sited ethnography. Annual Review of Anthropology, 24 (1): 95-117. [19] Melhuus, Marit, John P Mitchell, and Helena Wulff. 2010. Ethnographic Practice in the Present. New York: Berghan Books [20] Morawska, Ewa. 2011. “‘Diaspora’ diasporas’ representations of their homelands: exploring the polymorphs.” Ethnic and Racial Studies, 34:6: 1029-1048. [21] Muir, S. 2004. “Not quite at home: Field envy and New Age ethnographic dis-ease”. In Anthropologists in the field: Cases in participant observation. Edited by L. Mulcock. 185200. New York: Columbia University Press. [22] Parsudi, Suparlan. 1995. The Javanese in Suriname: Ethnicity in an Ethnically Plural Society. Arizona : Arizona State University Press. [23] Peachey, Anna and Mark Childs. 2011. Reinventing Ourselves: Contemporary Concepts of Identity in Virtual Worlds. London: Springer.

[24] Rozen, Minna. 2008. Homelands and Diasporas: Greeks, Jews and Their Migrations. London. Tauris & Co Ltd [25] Ruben, A. 2012. “Multi-sited fieldwork”. In Ethnographic fieldwork: An anthropological reader, Second Edition. Edited by A. Sluka. 367-373. Oxford : Blackweel Publishing . [26] Sheffer, Gabriel. 2010. Homeland and Diaspora: An Analytical Perspective on Israeli–Jewish Diaspora. Ethnopolitics: Formerly Global Review of Ethnopolitics 9:3-4: 379-399. [27] Sherman, K. M. 2011. “An Imagined Community of Avatars? : A Theoretical Interrogation of Second Life TM as Nation through the Lens of Benedict Anderson’s Imagined Communities”. In Creating Second Lives: Community, Identity and Spatiality as Constructions of the Virtual. Edited by Astrid Ensslin and Eben Muse. New York Routledge: 33-50. [28] Sunier, T. and O. Verkaaik. 2005. Serendipity and the art of fieldwork: Interview with Anton Blok. Etnofoor, 18 (2): 105-123. Tölölyan, Khachig. 2007. The Contemporary Discourse of Diaspora Studies. Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East, Volume 27, Number 3, 2007, pp. 647-655 [29] Turkle, Sherry. 2011. Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. New York, Basic Books


Kluster Ilmu Hayati dan Kesehatan

Kanker Mengancam. Kita Belajar, Kita Cegah dengan Membentuk Herbal Chemopreventive Team “Srikandi” : Tim Edukasi Herbal sebagai Agen Anti Kanker melalui Pencegahan Sendiri yang Rasional di Sinduadi Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Oleh: Anindya Novika, Ika Nurzijah, Khofidoh Kurniasih, Eko Dwi Karno, Ade Azka Surya W Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta & Wageningen University, The Netherlands

I.PENDAHULUAN Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, bahkan di dunia. Lebih dari 10 juta orang di seluruh dunia diperkirakan mengidap penyakit kanker. Saat ini, kanker merupakan pembunuh nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler. Sekitar 12% kematian di seluruh dunia diakibatkan oleh kanker. WHO (World Health Organisation ) memprediksi bahwa jumlah penderita kanker akan meningkat dari 14 juta jiwa di tahun 2012 menjadi 22 juta jiwa pada 20 tahun mendatang (Anonim, 2015). Di Indonesia sendiri, prevalensi tumor/kanker mencapai 4,3 per 1000 orang penduduk. Kanker merupakan penyebab kematian nomor 7 di Indonesia (5,7%) setelah stroke, TB, hipertensi, cedera, perinatal, dan DM (Riskesdas, 2015). Kanker dapat disebabkan baik oleh faktor internal (seperti mutasi genetik, hormone, dan imunitas) maupun faktor eksternal (seperti rokok, makanan, radiasi, dna infeksi mikroorganisme). Hanya sekitar 5% hingga 10% kasus kanker yang disebabkan oleh faktor genetik. Selebihnya, yaitu 90% hingga 95% lainnya disebabkan oleh faktor eksternal / gaya hidup. Faktor gaya hidup yang sangat berpengaruh dalam insidensi dan mortalistas kanker antara lain: kebiasaan merokok, alkohol, pola makan, obesitas, infeksi, polusi, dan radiasi. Pola makan memiliki peran sebesar 30% hingga 35% dalam insidensi kanker, sedangkan kebiasaan merokok sebesar 25% hingga 30% (Anand et al., 2008). Rokok mengandung tidak kurang dari 50 macam karsinogen, misalnya benzopirenediol epoksida (salah satu metabolit tembakau) yang memiliki kaitan etiologis secara langsung dengan kanker paru – paru (Denissenko et al., 1996). Padahal, berdasarkan perkiraan dari FAO, pada tahun 2010 Negara – Negara berkembang seperti Indonesia mengkonsumsi 71% dari tembakau dunia (Anonim, 2008). Di sisi lain, sebagian besar karsinogen yang masuk ke tubuh manusia seperti senyawa nitrat, nitrosamin, pestisida, dan dioksin berasal dari makanan atau zat aditif yang sangaja ditambahkan dalam proses pembuatan makanan. Sebagai contoh, konsumsi daging merah yang berlebihan merupakan faktor risiko dari beberapa kanker yang berkaitan dengan saluran gastrointestinal, kanker colorectal, kanker prostat, kanker kandung kemih, kanker payudara, kanker pankreas, dan kanker mulut (Bingham et al., 2002; McCullough and Giovannucci, 2004). Hal ini karena selama proses memasak daging akan diproduksi senyawa amina heterosiklik yang bersifat karsinogenik. Sedangkan jika daging tersebut dibakar / diasapi akan menimbulkan senyawa karbon berbahaya seperti pirolisat, dan asam amino yang memiliki efek karsinogen kuat (Dosil-Diaz et al., 2007). Selain itu, pemakian zat aditif seperti pengawet nitrit dan pewarna azo dalam jangka panjang dapat menginduksi terjadinya karsinogenesis

(Sasiki et al., 2002). Tidak hanya itu, senyawa bisofenol yang terkandung dalam plastik pengemas makanan dapat bermigrasi ke dalam makanan dan meningkatkan risiko kanker payudara serta kanker prostat (Durando et al., 2007, dan Tang et al., 2006). Faktor penyebab kanker selanjutnya adalah polusi dan radiasi. Sekitar 10% dari total insidensi kanker diinduksi oleh radiasi (Belpomme et al., 2007) baik radiasi ionisasi maupun radiasi non ionisasi; misalnya leukemia, lymphoma, kanker tiroid, kanker kulit, sarcoma, kanker paru – paru dan kanker payudara. Radiasi non ionisasi yang berasala dari sinar matahari merupakan karsinogen bagi manusia. Paparan radiasi ultra violet (UV) merupakan faktor risiko utama dalam beberapa tipe kanker kulit, termasuk karsinoma sel basal, karsinoma sel squamous, dan melanoma. Hal ini diperparah dengan terjadinya penipisan lapisan ozon pada stratosfer yang dapat meningkatkan dosis dan intensitas UV-B dan UV-C sehingga semakin meningkatkan insidensi penyakit kanker (Anand et al., 2008). Berdasarkan data yang diperoleh dari Yayasan Kanker Indonesia (YKI) DIY dan Departemen Kesehatan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi dengan prevalensi tumor dan kanker terbesar di Indonesia. Pada tahun 2007, jumlah penderita kanker di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 9,6 per 1.000 orang. Angka ini jauh lebih tinggi dari prevalensi nasional; yaitu 4,3 per 1.000 orang (Anonim, 2015). Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka diperlukan sebuah upaya untuk mengendalikan faktor risiko terjadinya insidensi dan mortalitas kanker dengan penggunaan agen kemopreventif antikanker yang efektif, mudah diperoleh dan praktis di wilayah Provinsi DI Yogyakarta. Seperti diketahui, Desa Sinduadi Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman merupakan bagian dari Provinsi Daerah Yogyakarta yang merupakan provinsi dengan prevalensi kanker tertinggi di Indonesia. Desa ini terletak sangat dekat dengan pusat kota Yogyakarta yang memiliki sejumlah faktor risiko yang dapat menyebabkan kanker, di antaranya kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji yang berpotensi mengandung karsinogen, polusi udara, radiasi matahari, dan kebiasaan merokok masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat sangat memerlukan edukasi tentang upaya preventif yang dapat mencegah kanker dengan menggunakan agen – agen kemopreventif antikanker yang efektif, mudah didapat dan praktis yaitu dengan bahan – bahan herbal yang bisa diperoleh dengan mudah. Kegiatan edukasi dilakukan melalui proses kaderisasi pembentukan kelompok sadar kanker yang kemudian diberi nama Herbal Chemopreventive Team “Srikandi”.


II. Gambaran Umum Masyarakat Sasaran A. Lokasi Lokasi edukasi herbal chemopreventive ini ini dilakukan di Desa Sinduadi Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah ini terdiri dari 18 padukuhan. Pemilihan lokasi berdasarkan letak daerah yang tak jauh dari pusat kota, sehingga berbagai pencemaran dan polusi sangat rentan terjadi di daerah ini. B. Objek Jumlah penduduk asli yang tinggal di Desa Sinduadi Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berjumlah sekitar 30.000 sampai 35.000 orang dengan mayoritas bermata pencaharian PNS, wiraswasta, dan petani. Dari segi ekonomi, mayoritas masyarakat merupakan golongan menengah ke atas. Lebih dari 90 % masyarakat desa Sinduadi merupakan golongan masyarakat menengah ke atas. Tingkat pendidikan masyarakat Desa sinduadi tinggi, dimana terlihat pada tabel di bawah ini.

Tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi mendorong timbulnya gaya hidup modern yang tidak sehat di masyarakat. Menurut data konsumsi makanan cepat saji (fast food) dan makanan pemicu kanker di Desa Sinduadi sangat tinggi. Hal ini terlihat melalui banyaknya kios makanan cepat saji tinggi kolesterol yang merupakan faktor pemicu timbulnya kanker seperti kanker payudara, kanker kolon, dan kanker prostat. Berikut makanan dan minuman pemicu kanker yang ditemukan di desa Sinduadi.

Tingginya angka insidensi kanker di Yogyakarta turut mempengaruhi insidensi penyakit ini di desa Sinduadi. Yogyakarta sendiri merupakan kota dengan kasus penderita kanker di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan data dari Yayasan Kanker Indonesia (YKI), yang menyebutkan bahwa kasus kanker ada di seluruh Indonesia. Namun, Yogyakarta memiliki jumlah kasus yang tertinggi di bandingkan daerah lainnya. Dalam sehari 40-60 orang melakukan pemeriksaaan kanker di rumah sakit dan hasil menyatakan perkembangan penyakit kanker pada masyarakat Yogyakarta sangat pesat. Jenis kanker yang diderita bermacam-macam, diantaranya kanker payudara dan leher rahim pada perempuan , serta kanker paru dan prostat pada laki-laki. Jumlah penderita kanker yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakara terus meningkat. Selama periode 2008 saja tercatat ada 1.347 pasien kanker , jumlah ini lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Melihat fakta ini, dapat disimpulkan bahwa desa

Sinduadi yang terletak di kabupaten Sleman, Yogyakarta, juga memiliki faktor resiko yang tinggi terhadap kanker. Tingkat pendidikan dan taraf kehidupan masyarakat yang tinggi belum diimbangi dengan pengetahuan masyarakat akan penggunaan herbal kemopreventif dalam mencegah kanker. Padahal melihat tingginya akumulasi dari berbagai faktor resiko penyebab kanker di Desa Sinduadi diperlukan suatu upaya pencegahan yang nyata. Untuk itu diperlukan program edukasi penggunaan dan pengolahan herbal kemopreventif yang telah terbukti dalam mencegah kanker di Desa Sinduadi. Tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi dapat menjadi faktor pendorong dalam keberhasilan program edukasi ini, karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka, kesadaran masyarakat akan kesehatan juga tinggi. Selain itu, di Desa Sinduadi sendiri, sepertiga dari masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani, hal ini dapat menjadi potensi yang dapat dikembangkan dari Desa Sinduadi yaitu melalui pengembangan herbal kemopreventif. III. METODE PENDEKATAN Objek sasaran dari program kreativitas mahasiswa ini adalah masyarakat Desa Sinduadi secara umum dengan melakukan kaderisasi Herbal Chemopreventive Team. Tim ini dibekali dengan materi – materi seputar penyakit kanker (macam, penyebaran, faktor risiko, pencegahan, dan sebagainya), herbal berkhasiat (macam, khasiat, cara penggunaan, efek samping, dan sebagainya). Selanjutnya, Herbal Chemopreventive Team ini bertugas menyampaikan materi program akan disampaikan secara meluas kepada masyarakat Desa Sinduadi. Herbal Chemopreventive Team terdiri dari anggota PKK Desa Sinduadi yang dipilih berdasarkan asal dusun sehingga setiap anggota mewakili dusunnya masing-masing dan bertugas menyampaikan materi kepada masyarakat di dusunnya, mereka inilah yang disebut sebagai “Srikandi” Desa Sinduadi. Penyampaian materi kepada Herbal Chemopreventive Team “Srikandi” Desa Sinduadi dikemas dalam bentuk talkshow interaktif dimana narasumber dalam talkshow ini adalah pihak-pihak yang ahli dan kompeten dalam bidang ilmu kemopreventif kanker dan obat herbal. Untuk lebih menarik minat peserta talkshow kami juga menyuguhkan berbagai demo mengenai obat herbal, cara penggunaannya, pemutaran film, pelatihan kepada peserta mengenai pembuatan produk herbal berkhasiat yang dapat dibuat menjadi makanan olahan yang bisa dikonsumsi, dan pelatihan penelitian kemopreventif kanker sederhana. Berikut alur kaderisasi pelaksanaan PKM-M di Desa Sinduadi.

Gambar 1. Alur Kaderisasi Pelaksanaan Program Edukasi di Desa Sinduadi


Ada pun organisasi Herbal Chemopreventive Team “Srikandi” akan dibentuk dengan susunan sebagai berikut:

perjelas maksud dari talkshow itu sendiri. Pelatihan ini bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat tentang cara penggunaan dan pengolahan tanaman herbal, sehingga dapat memberikan efek pencegahan yang diinginkan. Sebagai puncak acara program edukasi ini, diselenggarakan acara pameran produk makanan dan minuman yang berasal dari tanaman herbal kemopreventif. Dalam pameran produk ini kami akan dibantu oleh kelompok studi CCRC (Cancer Chemoprevention Research Center) Farmasi UGM. CCRC ini merupakan kelompok studi mahasiswa yang berbasis pengembangan agen kemopreventif baik yang berasal dari alam (tumbuhan) maupun dari bahan sintetik melalui riset, pengembangan gagasan dan pengembangan produk.

Gambar 2. Rancangan Struktur organisasi tim herbal kemopreventif “Srikandi”

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan terbentuknya kader Herbal Chemopreventive Team “Srikandi” diharapkan masyarakat Desa Sinduadi memiliki wadah ataupun organisasi tersendiri yang fokus dalam isu-isu terkait penyakit kanker dan pencegahannya. Anggota tim diharapkan menjadi agent of changes di lingkungan keluarga mereka pada khususnya maupun lingkup wilayah Desa Sinduadi pada umumnya. Untuk itu anggota tim dibekali dengan pengetahuan umum mengenai kanker dan kemopreventif kanker dari sumber-sumber terpercaya dan diharapkan dapat diaplikasikan di usai program edukasi. Berikut disajkan alur susunan kepengurusan dalam Herbal Chemopreventive Team “Srikandi”.

Kegiatan edukasi ini dilaksanakan sebagai sebuah program yang berurutan di Kelurahan Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Selama rentang waktu 5 bulan melaksanakan program ini kami bertujuan untuk membentuk suatu Tim Herbal Kemopreventif “Srikandi” yang solid serta mampu menginformasikan mengenai berbagai ilmu mengenai herbal untuk kanker ke masyarakat lain, adapun cara yang kami lakukan untuk mencapainya yaitu dengan melakukan penyuluhan terhadap anggota PKK desa Sinduadi dengan meminta izin kepala desa setempat, sebagai hasilnya diadakan penyuluhan untuk memberikan bekal kepada tim. Diadakan 3 x pertemuan yaitu 2 x pembekalan dan sekali pertemuan untuk pembentukan tim. • Pertemuan ke-1 : Pembekalan mengenai herbal kemopreventif, penyakit kanker serta tanaman obat • Pertemuan ke-2 : Pembentukan Herbal Chemopreventive Team “Srikandi”beserta pengurusnya dan koordinator tiap divisi • Pertemuan ke-3 : Pembekalan mengenai Menopause sebagai program lanjutan setelah terbentuknya tim. Diupayakan pula kerjasama dengan lembaga sosial kemasyarakatan yang fokus menangani kanker, yaitu YKI (Yayasan Kanker Indonesia) cabang Yogyakarta. Selain YKI juga akan dilangsungkan kerjasama dengan CCRC Fakultas Farmasi UGM selaku penyedia info terkait herbal berkhasiat antikanker yang diambil dari berbagai penelitian yang ada. Kedua pihak ini akan melakukan pendampingan terhadap Tim Herbal Kemopreventif “Srikandi” dalam melaksanakan program sehingga bisa mendapatkan sumber informasi yang jelas.

Adapun tahap awal pelaksanaan program berupa pengenalan tentang penyakit kanker. Herbal Chemopreventive Team “Srikandi” dikenalkan mengenai gambaran umum penyakit kanker, penyebab penyakit kanker, dan tingkat insidensi serta bahaya dari penyakit kanker. Setelah memahami betul apa sebenarnya kanker, partisipan dikenalkan pada upaya pengobatan kanker yang saat ini banyak dilakukan. Model penyampaian materi dilakukan dengan format talkshow agar partisipan tidak hanya menjadi pendengar, tetapi dapat pula berperan sebagai pemberi informasi, sehingga akan terjadi proses tukar informasi antara partisipan itu sendiri. Selain penyelenggaraan talkshow interaktif, program ini juga memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang cara penggunaan tanaman herbal untuk mencegah penyakit kanker. Di tengah-tengah talkshow para peserta juga diperlihatkan beberapa film maupun tayangan guna mem-

Untuk mempermudah dalam pendampingan tehadap tim, maka telah dibuat suatu blog interaktif yang berisikan mengenai kinerja tim dan berbagai permasalahan seputar herbal kemopreventif. Di blog ini para anggota tim yang tidak dapat bertemu secara langsung para pihak pendamping dapat menanyakan permasalahan yang mereka hadapi selama melaksanakan program kerja, sehingga tidak terjadi penundaan informasi. Di samping itu, blog ini juga berfungsi sebagai media informasi jika terdapat info penting yang sifatnya mendadak, sehingga tidak dimungkinkan melakukan pertemuan. Alamat blognya yaitu www.kandinesia.blogspot.com (alamat email : kandinesia@gmail.com). Adapun yang masih bertindak sebagai admin adalah pengusul program edukasi akan tetapi untuk ke depan akan diusahakan adminnya berasal dari anggota tim. Keberlanjutan program akan dilaksanakan sebagai pertemuan rutin untuk mengkoordinasi program kerja yang telah dibuat. Adapun metodenya yaitu secara bergantian antara melaksanakan program kerja dan pembekalan tim. Dan untuk dapat mengontrol kerja tim maka, akan diusaha


kan tim dapat turun langsung member informasi ke setiap dukuh dalam satu tim, bukan tiap individu. Dengan adanya kerjasama dengan pihak YKI cabang Yogyakarta dan CCRC Farmasi UGM ini maka diharapkan tim dapat diikutkan dalam program kerja lembaga tersebut. Setiap anggota juga akan diberi modul program edukasi yang dapat berfungsi sebagai informasi dan pedoman untuk melakukan program kerjanya. Materi modul berasal dari materi para pembicara yang kami rangkum dan bukukan. V. KESIMPULAN DAN SARAN Telah berhasil dibentuk Herbal Chemopreventive Team “Srikandi” di Desa Sinduadi, Mlati, Sleman Yogyakarta. Tim beranggotakan 20 orang dan juga sudah dibentuk struktur organisasinya. Tim ini diharapkan mampu bekerja optimal, sehingga dapat berpartisipasi aktif untuk pencegahan penyakit kanker di Yogyakarta, khususnya di Desa Sinduadi. Untuk menjamin keberlanjutan tim ini masih dibutuhkan pendampingan yang intens dari lembaga lain agar tim memiliki pedoman dalam melaksanakan tugas mereka di masyarakat, selain itu diperlukan pula pengenalan Herbal Chemopreventive Team “Srikandi” kepada organisasi masyarakat lain yang menangani kanker maupun obat-obat herbal untuk memperluas jaringan dan meningkatkan pengetahuan mereka mengenai penyakit kanker dan kemopreventif kanker. VI. UCAPAN TERIMAKASIH Program edukasi ini terlaksana berkat dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) 2011 DIKTI (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. VII. DAFTAR PUSTAKA [1] Anand, P., Kunnumakara, A., Sundaram, C., Harikumar, K., Tharakan, S., Lai, O., Sung, B. and Aggarwal, B. (2008). Cancer is a Preventable Disease that Requires Major Lifestyle Changes. Pharm Res, 25(9), pp.2097-2116. [2] Anonim, (2015). [online] Available at: http://www. depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-kanker.pdf [Accessed 18 Jul. 2015]. [3] Belpomme, D., Irigaray, P., Hardell, L., Clapp, R., Montagnier, L., Epstein, S. and Sasco, A. (2007). The multitude and diversity of environmental carcinogens. Environmental Research, 105(3), pp.414-429. [4] Bingham, S., Hughes, R. and Cross, A. (2002). Effect of White Versus Red Meat on Endogenous N-Nitrosation in the Human Colon and Further Evidence of a Dose Response. The Journal of Nutrition, [online] 132(11), pp.3522S-3525S. Available at: http://jn.nutrition. org/content/132/11/3522S.long [Accessed 01 Jul. 2015]. [5] Denissenko, M., Pao, A., Tang, M. and Pfeifer, G. (1996). Preferential Formation of Benzo[a]pyrene Adducts at Lung Cancer Mutational Hotspots in P53. Science, 274(5286), pp.430-432. [6] Dosil-Díaz, O., Ruano-Ravina, A., Gestal-Otero, J. and Barros-Dios, J. (2007). Meat and fish consumption and risk of lung cancer: A case–control study in Galicia, Spain. Cancer Letters, 252(1), pp.115-122. [7] Durando, M., Kass, L., Piva, J., Sonnenschein, C., Soto, A., Luque, E., & Munoz-de-Toro, M. (2007). Prenatal bisphenol A exposure induces preneoplastic lesions in the mammary gland in Wistar rats. Environ Health Persp, 115, 592–598. [8] McCullough, M. and Giovannucci, E. (2004). Diet and cancer prevention.Oncogene, 23(38), pp.6349-6364. Northoff, E. (2015). FAO : Higher world tobacco use ex

pected by 2010 - growth rate slowing down. [online] Fao.org. Available at: http://www.fao.org/english/newsroom/news/2003/26919-en.html [Accessed 18 Jul. 2015]. [9] Riskesdas, (2015). [online] Available at: https:// www.k4health.org/sites/default/files/laporanNasional%20Riskesdas%202007.pdf [Accessed 18 Jul. 2015]. [10] Sasaki, Y., Kawaguchi, S., Kamaya, A., Ohshita, M., Kabasawa, K., Iwama, K., Taniguchi, K. and Tsuda, S. (2002). The comet assay with 8 mouse organs: results with 39 currently used food additives. Mutation Research/Genetic Toxicology and Environmental Mutagenesis, 519(1-2), pp.103-119. [11] Tang W, Liu J. W, Zhao W. M, Wei D. Z, Zhong J. J. Ganoderic acid T from Ganoderma lucidum mycelia induces mitochondria mediated apoptosis in lung cancer cells. Life Sci. 2006;80:205–11.


Kluster Sains Sosial

Belajar dari Mengajar Pengembangan Profesional Guru melalui “Lesson study� Oleh: Ikhsan Abdusyakur Twente University, Enschede

I. PENDAHULUAN Sudah menjadi pemahaman umum bahwa guru adalah ujung tombak pendidikan dan memegang peranan penting dalam pembelajaran siswa, maka tidak bisa dipungkiri bahwa kualitas guru itu vital dan pengembangan profesional guru adalah faktor kunci kemajuan pendidikan (Hiebert, Gallimore, & Stigler, 2013). Banyak penelitian sebelumnya yang juga menunjukkan dengan peningkatkan kualitas dari guru maka akan berdampak pula pada peningkatan kualitas pembelajaran siswa (Rhoton & Stile, 2002). Hingga saat ini sudah banyak dikembangkan model pengembangan profesional guru dengan berbagai macam karakteristiknya. Jika ditinjau dari situasi dan budaya di Indonesia, tentu diperlukan model pengembangan professional guru yang efisien dari sisi biaya dan waktu serta bersifat kolaboratif dengan melibatkan partisipasi banyak guru secara aktif. Bayangkan saja dengan jumlah guru hampir mencapai 2,7 juta (MoEC, 2012) tentu model pengembangan profesional guru secara konvensional seperti seminar dan konferensi akan menghabiskan banyak waktu dan sumber daya, walaupun dengan memaksimalkan jumlah peserta dalam satu seminar (misal hingga 100 orang) tentu akan berdampak pada tidak efektifnya proses pengembangan tersebut dikarenakan guru berperan secara pasif (MoEC, 2012). Lebih jauh lagi, Indonesia juga lekat dengan budaya gotong royong, oleh karena itu pendekatan model pengembangan professional guru yang bersifat kollegial dibandingkan individualis diharapkan dapat menjadi model yang lebih sesuai dengan karakter guru di Indonesia. Jika ditinjau dari kualitas mengajar guru, masih banyak ditemukan metode mengajar guru dalam bentuk satu arah di Indonesia. Dimana guru lebih terfokus pada penyampaian materi dengan ceramah sementara aktifitas siswa lebih banyak hanya mendengarkan. Hal ini dikarenakan banyak guru masih beranggapan bahwa mengajar itu intinya penyampaian materi sementara partisipasi aktif dan pembelajaran bersama (mutual learning) dari siswa masih belum menjadi fokus utama dari pengajaran. Hal ini akan berdampak buruk pada kreatifitas dan kemampuan berpikir kritis siswa, juga lebih jauh lagi guru tidak akan berkembang dikarenakan minimnya umpan balik dari siswa selama pelajaran dengan metode konvensional tersebut. Oleh karena itu diperlukan model pengembangan professional guru yang dapat menstimulus banyak umpan balik kepada guru dan sekaligus melibatkan partisipasi aktif siswa dalam Belajar sehingga proses Belajar mengajar yang bersifat mutual learning dapat terwujud (Liliawati & Hikmat, 2007). Dalam tulisan berwujud tinjauan pustaka ini, penulis berupaya meninjau beberapa model pengembangan profesional guru yang tepat untuk diimplementasikan sesuai dengan situasi, budaya dan kualitas mengajar guru di Indonesia tersebut diatas. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan beberapa model pengembangan professional guru yang bersifat kolab-

oratif diantaranya: Mentoring (Smith, 2002), Content Based Collaborative Inquiry (Bray, Gause-Vega, Goldman, Secules, & Zech, 2000), dan Lesson study (Fernandez & Chockshi, 2002). Namun penulis akan lebih banyak mendalami tentang lesson study sebagai model pengembangan professional guru yang sesuai dengan permasalahan metode mengajar guru di Indonesia. Hal ini dikarenakan metode lesson study tidak hanya melibatkan kolaborasi guru sebagai target pengembangannya tetapi juga melibatkan partisipasi dan pengembangan siswa secara langsung dalam pelaksanaannya (Kennedy, 1999). Selain itu, lesson study pertama kali dikembangkan di negara Asia yaitu Jepang (Takahashi, 2000) dan juga sudah banyak penerapan lesson study yang berhasil di beberapa negara Asia lainnya seperti negara - negaara di Asia Tenggara yaitu Singapura dan Thailand. Oleh karena itu metode lesson study ditinjau sesuai dengan situasi dan budaya negara Asia khususnya Indonesia. Tinjauan pustaka ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, tentang perkembangan dari program pengembangan profesional guru dan model - model pengembangan profesional guru yang bersifat kolaboratif. Selanjutnya, tentang tata cara penerapan lesson study sebagai salah satu model pengembangan professional guru yang sesuai dengan latar belakang tinjauan pustaka. Bagian terakhir sekaligus penutup akan menjelaskan gambaran hasil penerapan lesson study di beberapa negara tetangga Indonesia yaitu Singapura dan Thailand serta impilkasinya terhadap penerapan lesson study di Indonesia kedepannya. II. PEMBAHASAN A. Pengembangan Profesional Guru i. Perkembangan dari program pengembangan profesional guru Pengembangan professional guru merupakan faktor utama dalam peningkatan kemampuan mengajar guru dan juga kualitas pembelajaran siswa (Ball & Cohen, 1999). Menurut Stepanek (2001), beberapa studi telah menunjukkan pengaruh positif dari pengembangan professional guru dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Studi tersebut mempelajari dua variabel yaitu kualitas pembelajaran siswa dan juga kemampuan mengajar guru. Adapun kesimpulan dari studi tersebut menyatakan pengembangan professional guru berhasil mempengaruhi dan memberikan peningkatan pada kedua variabel tersebut. Sebagai tambahan rekomendasi dari studi tersebut, model pengembangan professional guru yang fokus pada peningkatan kemampuan mengajar guru sekaligus melibatkan partisipasi aktif dalam pembelajaran siswa cenderung menghasilkan pengaruh lebih positif dibandingkan program yang terfokus hanya pada kemampuan mengajar guru saja. Sebagai tambahan, Bimran et. Al. (2001) juga mempelajari beberapa sampel guru matematika dan IPA yang berpartisipasi pada program pengembangan professional guru oleh Federal Funds Eisenhower. Studi tersebut bertujuan untuk menentukan karakteristik dan fitur dari pengembangan professional guru yang dapat menghasilkan pengaruh signifikan terhadap kemampuan mengajar guru. Berdasarkan hasil observasi disi-


mpulkan bahwa partisipasi aktif guru dalam program pengembangan professional guru adalah karakteritik atau fitur utama dalam upaya meningkatkan kemampuan mengajar guru. Lebih lanjut lagi, studi tersebut merekomendasikan agar pengembangan professional guru dapat diarahkan ke program yang meliputi praktik langsung di dalam kelas dan bersifat kolaboratif sehingga dapat menstimulus peran aktif para peserta atau guru. Pada akhinya Hiebert et. al. (2003) mengidentifikasi bahwa arah dari pengembangan professional guru beberapa tahun terakhir ini sudah mulai berubah. Guru mulai menyadari bahwa tugas mengajar bukan hanya menjadi tanggung jawab atau beban individual semata tetapi juga menjadi beban yang dapat dibagi bersama guru lainnya. Hal ini memberikan dampak terhadap pengembangan professional guru dimana guru mulai dapat berkolaborasi bersama dalam rangka peningkatan kemampuan mengajar mereka. Kesimpulannya, kolaborasi dalam pengembangan professional guru ini bukanlah sekedar aktifitas evaluasi dan berbagi semata tetapi lebih kepada rasa tanggung jawab untuk berkembang bersama-sama. ii. Model pengembangan professional guru Hingga saat ini telah dikembangkan beberapa model pengembangan professional guru yang menitikberatkan kepada kolaborasi antar guru. Berikut adalah penjelasan dari 3 contoh model pengembangan professional guru tersebut : • Mentoring : Mentoring adalah sebuah metode yang memberikan kesempatan kepada guru untuk belajar dari guru yang lebih berpengalaman. Metode ini dapat membantu guru baru untuk menghadapi tantangan dalam mengajar karena mendapatkan pendampingan langsung dari mentor. Mentoring diterapkan dalam aktifitas mengajar sehari-hari dengan wujud observasi kelas, bimbingan dan pemberian umpan balik oleh mentor. Mentoring dapat meningkatkan kepercayaan diri guru dikarenakan guru dapat belajar melalui pengalaman (Smith, 2000). • Content-based collaborative inquiry (CBCI). Pada CBCI, dibutuhkan seorang fasilitator yang membimbing para guru berdiskusi mengenai hasil belajar dan tingkat pemahaman siswa terhadap suatu mata pelajaran tertentu. Dalam CBCI terdapat 3 langkah, pertama fasilitator menstimulus diskusi dengan memberikan pertanyaan berkaitan dengan hasil belajar kepada guru, lalu para guru mulai mengumpulkan dan menganalisa data yang mereka miliki. Pada akhirnya, mereka melangsungkan diskusi dan analisa terhadap data tersebut sehingga menghasilkan solusi. Solusi ini bertujuan untuk mewujudkan metode mengajar terbaik dengan konten pelajaran yang mendalam serta mampu meningkatkan kemampuan belajar siswa (Bray, Gause-Vega, Goldman, Secules, & Zach, 2000). • Lesson study. Lesson study adalah proses yang berlangsung secara siklus dimana guru berkolaborasi dalam menciptakan, mempelajari, dan memperbaiki metode mengajar mereka. Dalam lesson study, salah satu guru melaksanakan aktivitas mengajar bersama siswa sedangkan para guru lain melakukan observasi terhadap proses tersebut. Setelah kegiatan mengajar selesai, semua guru berkumpul untuk berdiskusi terhadap hasil obserasi tersebut dan berupaya menghasilkan solusi terhadap permasalahan yang muncul dalam kegiatan Belajar mengajar. Solusi yang didapatkan akan diimplementasikan pada kelas dan kelompok siswa yang lain lalu langkah – langkah seperti observasi dan analisa akan kembali terulang (Fernandes & Chokshi, 2002).

Hal ini dapat disimpulkan bahwa lesson study adalah pendekatan yang paling komprehensif jika dibandingkan dengan model pengembangan profesi guru lainnya karena mencakup kolaborasi guru dan partisipasi aktif pembelajaran siswa. B. Lesson study i. Kenapa lesson study? Takahashi (2000) menjelaskan bahwa lesson study memiliki karakteristik yang dapat secara efektif meningkatkan kemampuan mengajar guru melalui pengkajian pembelajaran secara langsung yang bersifat kolaboratif hingga tercipta komunitas belajar bersama para guru yang berkelanjutan. Oleh karena itu, kelebihan dari lesson study adalah menghilangkan beberapa tipikal permasalahan dalam pengembangan professional guru seperti program yang hanya berlangung dalam jangka pendek dan program yang hanya memberikan dampak terhadap individu saja. Lebih lanjut lagi berkaitan dengan peningkatan kualitas belajar siswa, lesson study adalah metode yang dapat disesuaikan dengan situasi dan permasalahan yang dihadapi siswa secara aktual. Hal ini dikarenakan metode lesson study dilakukan di dalam kegiatan belajar mengajar regular sehingga guru yang melakukan observasi dapat menemukan permasalahan mengajar di situasi sesungguhnya dan bukan hanya sekedar data atau evaluasi dari guru yang mengajar. Selain itu pengkajian atau observasi terfokus pada peran aktif dan proses pembelajaran siswa. Sehingga guru dapat merumuskan solusi berdasarkan refleksi aktual dari siswa yang menghadapi permasalahan dalam belajar (Lewis, 2000). Sebagai tambahan, lesson study juga memungkinkan guru – guru yang berpengalaman untuk dapat membagi pengalaman pembelajaran kepada guru lainnya. Dan hal ini dapat dikembangkan oleh para guru lainnya sebagai pembelajaran berbasis riset untuk menemukan solusi atau inovasi terhadap metode mengajar tertentu kedepannya. ii. Bagaimana cara menerapkan lesson study? Lewis (2002) mendefinisikan bahwa lesson study adalah kegiatan bersiklus diawali dengan seorang guru yang merencanakan dan melaksanakan pembelajaran di kelas, lalu para guru lainnya melakukan observasi terhadap pelajaran tersebut. Selanjutnya para guru secara bersama - sama melakukan refleksi berdasarkan hasil observasi untuk menghasilkan solusi atau Inovasi tertentu yang akan diterapkan guru lainnya pada kegiatan belajar mengajar selanjutnya. Pada akhirnya, siklus tersebut berulang kembali. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang tiga tahapan dalam penerapan siklus lesson study : • Plan : Merencanakan kegiatan pembelajaran berdasarkan pengalaman, kajian akademis atau hasil observasi sebelumnya. Perencanaan dititikberatkan pada tujuan atau kompetensi siswa tertentu yang ingin dicapai atau dirubah berlandaskan pembelajaran aktif dan partisipatif. • Do : Melaksanakan pembelajaran yang mengacu pada rencana yang dibuat lalu mengundang guru lainnya untuk melakukan observasi. Observasi dititikberatkan pada partisipasi dan tingkah laku siswa dalam merespon proses pembelajaran di kelas. • See : Melangsungkan diskusi dan refleksi bersama untuk mendengarkan berbagai tanggapan terhadap kegiatan pembelajaran tersebut. Refleksi bersifat apresiatif terhadap guru yang mengajar dan ditikberatkan kepada permasalahan siswa yang muncul dalam kegiatan belajar mengajar.


III. PENUTUP A. Penerapan lesson study di Singapura Penggunaan lesson study di Singapura telah diperkenalkan sejak tahun 2005. Hampir setengah dari total sekolah di Singapura mendapatkan pengenalan lesson study melalui workshop dari tahun 2005 hingga tahun 2010. Oleh karena itu, banyak sekolah sudah mengimplementasikan lesson study dengan berbagai variasi disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi masing – masing ( C. Lim et. al, 2011). Berdasarkan perkembangan pesat tersebut, C. Lim et al (2011) melakukan survey pada tahun 2009 untuk melihat bagaimana penerapan lesson study dapat beradaptasi dengan kondisi sekolah dan bagaimana permasalahan yang di temukan dalam prosesnya.

aktif. Ketiga, berhasilnya penerapan lesson study di berbagai negara tetangga lainnya dapat menjadi landasan berpikir bahwa metode ini juga sesuai dengan budaya Indonesia.

C Lim et. al. (2011) studi menunjukkan bahwa penerapan lesson study berhasil memberikan perubahan signifikan terhadap kemampuan mengajar guru, para guru berhasil menemukan banyak rencana pembelajaran yang menarik dan kreatif, hal ini pun berdampak positif pada keaktifan siswa di kelas yang berujung pada peningkatan kemampuan belajar siswa. Sebagai tambahan, sudah banyak pula terbentuk komunitas belajar guru yang mandiri dan berkelanjutan sebagai dampak dari penerapan lesson study dalam sistem pendidikan di Singapura.

Sebagai penutup, jika para guru di Indonesia masih menaruh dan membebankan tanggung jawab peningkatan kualitas guru hanya kepada pemerintah maka perubahan signifikan terhadap kualitas Pendidikan Indonesia beresiko akan lambat. Padahal, banyak guru disekitar kita yang dapat menjadi Inspirasi belajar dari pengalaman mengajar mereka tanpa perlu menanti seorang ahli yang dikirimkan pemerintah. Oleh karena itu pengembangan professional guru melalui lesson study diharapkan dapat menstimulus para guru Indonesia untuk dapat belajar aktif dan mandiri bahkan dari kegiatan mengajar mereka sendiri.

B. Penerapan lesson study di Thailand Menurut Inpashita (2004), Thailand telah melakukan reformasi sistem pendidikan sejak tahun 1999. Namun semenjak itu belum ada ditemukan perubahan signifikan terhadap kualitas pendidikan dan kualitas mengajar guru hingga pada akhirnya diperkenalkan model pengembangan professional guru yatu lesson study di berbagai sekolah. Pada tahun 2002, Fakultas Pendidikan Khon Khae University melaksanakan penelitian untuk mengetahui bagaimana guru meningkatkan kemampuan mengajarnya melalui lesson study. Sebagai tambahan, penelitian ini juga melihat bagaimana respon siswa terhadap pendekatan baru tersebut. Inpashita (2004) menyimpulkan bahwa implementasi dari lesson study telah memberikan pengaruh luar biasa tidak hanya terhadap peningkatan kemampuan mengajar guru dan kemampuan belajar siswa tetapi juga merubah sistem pendidikan di Thailand dimana lesson study bertransformasi menjadi kebiasaan sehari – sehari dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. C. Implikasi terhadap penerapan lesson study di Indonesia Sebagai kesimpulan, lesson study sebagai model pengembangan professional guru yang paling komprehensif telah berhasil meningkatkan kualitas megajar guru sekaligus meningkatkan partisipasi aktif siswa dikarenakan metode yang diterapkan bersifat aktual dan kolaboratif. Sebagai tambahan, beberapa studi di berbagai negara seperti Jepang, Thailand dan Singapura telah menunjukkan pengaruh positif lesson study yang telah menjelma menjadi model pengembangan professional guru berkelanjutan di dalam sistem Pendidikan mereka. Oleh karena itu, jika ditarik kembali ke situasi dan karakteristik sistem pendidikan di Indonesia. Penerapan lesson study dapat ditinjau sebagai metode yang tepat dan efisien dalam percepatan peningkatan kualitas guru di Indonesia yang masih memprihatinkan (MoEC, 2012). Hal ini dikarenakan pertama, penerapan bersifat kollegial tidak individual sehingga dampak yang diberikan lebih luas. Kedua, adanya partisipasi aktif siswa dalam penerapan lesson study yang dapat merubah metode mengajar guru dari konvensional ke pembelajaran

Langkah – langkah yang dapat diambilpun sederhana. Selain mengandalkan peran pemerintah dalam sosialisasi dan pengenalan metode lesson study. Beberapa kelompok kecil guru dapat berinisiatif mempelajari penerapan lesson study yang sudah banyak berkembang di negara lain. Jika penerapan dari kelompok – kelompok kecil tersebut berhasil, hal ini diharapkan dapat menjadi Inspirasi dan stimulus untuk kelompok guru dan sekolah lain di berbagai penjuru Indonesia untuk menerapkan metode lesson study dalam kurikulum belajar mereka.

DAFTAR PUSTAKA [1] Ball, D. L., & Cohen, D. K. (1999). Developing practices, developing practitioners: Toward a practice-based theory of professional development. In G. Sykes & L. Darling-Hammonds (Eds.), Teaching as the learning profession: Handbook of policy and practice (pp. 30–32). San Francisco, CA: Jossey-Bass. [2] Birman, B., LeFloch, K. C., Klekotka, A., Ludwig, M., Taylor, J., Walters, K., Wayne, A., & Yoon, K. S. (2007). State and local implementation of the No Child Left Behind Act, volume II— Teacher quality under NCLB: Interim report. Washington, D.C.: U.S. Department of Education, Office of Planning, Evaluation and Policy Development, Policy and Program Studies Service [3] Bray, M. H., Gause-Vega, C. L., Goldman, S. R., Secules, T., & Zech, L. K. (2000) Content-based collaborative inquiry: A professional development model for sustaining educational reform.Educational Psychologist. 35(3), 207-217 [4] Christina Lim , Christine Lee , Eisuke Saito & Sharifa Syed Haron (2011) Taking stock of Lesson study as a platform for teacher development in Singapore. Asia-Pacific Journal of Teacher Education, 39(4), 353-365, DOI: 10.1080/1359866X.2011.614683 [5] Fernandez, C., & Chokshi, S. (2002) A practical guide to translating lesson study for a U.S. setting. Phi Delta Kappan. 84(2), 128-134. [6] Hiebert, J., Gallimore, R., & Stigler, J. W. (2003) The new heroes of teaching. Education Week 23(10), 56, 42 http://www.edweek.org/ew/ew_printstory.cfm?slug=10hiebert.h23 . Retrieved November 2003. [7] Inprasitha, M. (2004). Movement of lesson study in Thailand. In Proceedings of ICME-10 – Topic Study Group 2 (pp. 53 - 59). Denmark: IMFUFA, Department of Science, Systems and Models, Roskilde University. [8] Lewis, C., Perry, R., Hurd, J., & O’Connell, M. P. (2006). Lesson study comes to age in North America. Phi Delta Kappan, 88(4), 273–281.


Kluster Sains Sosial

Bagaimana masa depan kami? Studi faktor-faktor resiko dan upaya intervensi untuk anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Oleh: Mita Puspita Sary Leiden University

I. PENDAHULUAN Tingginya angka Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mencapai angka ratusan ribu orang setiap tahunnya menunjukkan bahwa pekerjaan ini menarik minat banyak orang di Indonesia. Menurut BNP2TKI (2015; Amiranti 2015), terdapat 429.872 orang jumlah TKI yang terdaftar pada tahun 2014. TKI yang bekerja di luar negeri umumnya bekerja sebagai pekerja domestik, pegawai perkebunan, pelaut, nelayan, pelayan, supir dan juga buruh bangunan (BNP2TKI, 2015; Amiranti 2015). Negara tujuan TKI pun beragam, seperti Malaysia, Taiwan, Arab Saudi, Singapura, Hongkong, Oman, Uni Emirat Arab, Brunei Darussalam dan juga Amerika Serikat. Pekerjaan sebagai TKI memiliki dampak positif bagi TKI itu sendiri dan juga bagi keluarganya. Tingginya penghasilan yang didapat oleh TKI bisa meningkatkan status sosial ekonomi keluarganya. Selain itu, uang hasil bekerja juga bisa digunakan sebagai investasi untuk pendidikan anak. Tidak sedikit pula banyak TKI yang kesejahteraan ekonominya meningkat setelah pulang ke tanah air sehingga bisa memiliki tanah sendiri di daerahnya masing-masing (Noveria, 2012; Amiranti, 2015). Selain itu, penghasilan TKI juga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan serta memperbaiki kondisi keluarga menjadi lebih baik (Salah, 2008; Karima, 2015). Terlepas dari keuntungan yang didapat jika bekerja sebagai TKI, banyak pula kerugian yang dialami oleh para TKI. Meskipun perlindungan untuk TKI tercantum dalam undang-undang (Pasal 6 dan 7 UU No. 39/2004; Theresia, 2014; Amiranti 2015), perhatian untuk TKI masih sangat kurang. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya angka TKI yang memiliki perlindungan asuransi dengan angka hanya 5% dari total TKI yang bekerja di luar negeri (Widiatmoko, 2004; Amiranti, 2015). Bekerja sebagai TKI juga membutuhkan komitmen yang tinggi karena TKI harus meninggalkan keluarganya dalam jangka waktu yang cukup lama. Salah satu contoh izin tinggal TKI di Hong Kong adalah 2 tahun, di Malaysia 3 tahun dan di Korea Selatan 5 tahun (Amiranti, 2015). Lamanya waktu kerja di luar negeri membawa banyak dampak negatif bagi keluarga yang ditinggalkan, mengingat 58,42% dari TKI sudah menikah dan memiliki keluarga (Karima, 2015). Angka perceraian yang dialami oleh TKI yang bekerja di luar negeri cukup tinggi, hingga mencapai angka 36.260 orang TKI yang bercerai (8.44%) pada tahun 2014 dari total 429.872 orang (BNP2TKI, 2015, Amiranti, 2015). Jauhnya jarak antar suami-istri serta tingginya angka perselingkuhan yang dilakukan suami menjadi penyebab tingginya angka perceraian yang dialami oleh TKI (Jicadmin, 2014; Amiranti 2015). Alasan lain adalah suami merasa kewalahan dalam menagatur rumah tangga tanpa istri (Karima, 2015).

Selain goyahnya hubungan suami dan istri, kepergian TKI dalam jangka waktu yang lama juga merugikan bagi anak yang ditinggalkan. Penelitian yang dilakukan oleh Bakker, ElingsPels, & Reis (2009; Amiranti, 2015) menunjukan anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya untuk bekerja di luar negeri mengalami banyak masalah baik masalah akademis maupun psikologis. Minimnya pengawasan oleh orang tua membuat anak rentan mengalami penyiksaan fisik dan seksual. Depresi, rendahnya rasa percaya diri, tidak mempercayai orang lain, serta sulit konsentrasi di sekolah. Anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya juga sering kali menunjukan masalah perilaku seperti berkelahi dengan teman sebayanya dan juga bolos sekolah. Ada juga beberapa anak yang memilih tidak masuk sekolah karena memiliki kewajiban untuk menjaga adiknya di rumah. Anak-anak yang ditinggal pergi olah orangtuanya yang harus bekerja di luar negeri dalam waktu yang lama membuat anak memiliki tugas tanggung jawab yang lebih banyak dibandingkan dengan anak lainnya. Anak tidak hanya berkewajiban untuk belajar, tetapi juga bertanggung jawab mengurus segala urusan rumah tangga. Banyak anak yang tertekan karena merasa tidak mampu menjalani kedua tanggung jawab itu secara bersamaan. Terlebih lagi, anak tidak memiliki sosok yang bisa menjaga, merawat dan ada ketika anak mengalami masalah. Keadaan yang dialami oleh anak-anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya dalam waktu yang lama ini membuat mereka menggunakan obat-obatan terlarang dengan tujuan untuk menurunkan tingkat stress yang mereka alami (Garza, 2010, Amiranti, 2015). Di Indonesia, terdapat penelitian yang menunjukan bahwa anak dari TKI memiliki masalah psikologis seperti masalah perilaku dan masalah emosional, serta memiliki masalah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan anak yang orangtuanya tidak bekerja sebagai TKI (CHAMPSEA, 2010; Amiranti, 2015). Masalah ini muncul salah satunya dikarenakan kurangnya pengawasan dari orangtuanya sendiri. Anak-anak TKI biasanya dititipkan kepada keluarganya, terutama neneknya. Walaupun anak-anak TKI tinggal dengan neneknya, pengawasan yang dilakukan masih terhitung kurang dan membuat anak bisa digolongkan menjadi anak yang nakal (Rizki, 2014; Amiranti, 2015). Studi yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN; Karima, 2015) menunjukan bahwa anak-anak TKI memiliki resiko penelantaran dalam pengasuhan, pendidikan dan kesehatan. Meninjau dari dampak negatif yang dialami oleh anak-anak TKI dan juga kerentanan mereka untuk berkembang secara maladaptif, artikel ini akan membahas mengenai pengaruh-pengaruh negatif yang akan berdampak pada anak jika ditinggalkan oleh orangtuanya dalam jangka waktu yang lama. Artikel ini akan fokus membahas mekanisme hubungan antara anak yang ditinggalkan orangtuanya dalam jangka waktu yang lama dengan perkembangan yang akan di-


alami anak dengan mengacu kepada penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Saran praktis akan diberikan pada akhir artikel untuk memberikan solusi baik jangka pendek maupun jangka panjang untuk mengatasi masalah ini. II. PEMBAHASAN Fenomena pekerja TKI yang meninggalkan keluarganya bisa disebut juga sebagai bentuk maltreatment kepada anak, jika orangtua setelah meninggalkan anak tidak melakukan pengawasan ataupun tidak menitipkan kepada orang yang benar-benar bisa mengurus anaknya tersebut. Apabila hal yang demikian terjadi, perilaku yang dilakukan oleh orangtua bisa dikategorikan sebagai perilaku neglect. Neglect merupakan keadaan dimana orangtua tidak mampu untuk mengawasi anak dengan baik sehingga bisa melukai anak secara fisik (USDHHS, 2000; Trocme & Wolfe, 2001; Hildyard & Wolfe, 2002). Terdapat dua bentuk neglect, yakni physical neglect dan juga emotional neglect. Physical neglect bisa dikategorikan sebagai suatu keadaan dimana orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan fisiologis anak dan juga membiarkan anak terlibat dalam perilaku kriminalitas serta tidak memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Sedangkan emotional neglect dikategorikan sebagai keadaan dimana orangtua menyebabkan anak memiliki masalah perilaku, kognitif, sosial, emosional dan juga masalah mental (Hildyard & Wolfe, 2002). Perilaku neglect yang dilakukan oleh orangtua sangatlah mempengaruhi perkembangan anak dan juga memiliki dampak negatif pada perilaku, emosional, kognitif dan psikososial anak. Lebih lanjut, anak yang mengalami neglect memiliki masalah kognisi, akademis, dan sosial yang lebih parah dibandingkan dengan anak-anak yang mengalami abusive secara fisik (Hildyard & Wolfe, 2002). Usia anak ketika orangtua melakukan neglect kepada anak akan mempengaruhi tingkat keparahan dari masalah perkembangan yang akan dialami anak. Anak yang sudah terpapar dengan perilaku neglect oleh orangtuanya dalam usia yang muda akan memperbesar kemungkinan anak berkembang menjadi maladaptif (Bolger & Patterson, 2001; Hildyard & Wolfe, 2002). Untuk meninjau lebih lanjut mengenai kerentanan anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya dalam waku yang lama, penjabaran mengenai faktor-faktor resiko yang meningkatan kecenderungan anak berkembang secara adaptif perlu dibahas. Dengan merujuk karakteristik unik anak TKI yakni berpisah dengan orangtuanya dengan jangka waktu yang cukup lama, perpisahan dengan orangtua merupakan salah satu faktor resiko anak yang paling utama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amiranti (2015) sebesar 22.2% dari total partisipan berada pada usia kurang dari 5 tahun ketika ditinggal oleh orangtuanya untuk bekerja dan sebanyak 32.2% berapa pada usia antara 5 dan 10 tahun ketika orangtuanya berangkat ke luar negeri. Seperti penjelasan sebelumnya mengenai perilaku neglect yang dilakukan oleh orang tua, anak yang ditinggal pergi oleh orangtuanya pada usia yang muda akan lebih tinggi kemungkinannya untuk berkembang secara maladaptif. Ketidakhadiran orangtua pada saat anak umur terlampau muda akan memiliki dampak negatif pada perkembangan anak. Ditambah lagi proporsi TKI yang lebih banyak bekerja di luar negeri adalah perempuan (91.2%; Amiranti, 2015) yang juga sebagai ibu di dalam rumah tangganya dimana mereka memiliki tanggung jawab utama dalam mengasuh anak (Sary, 2012). Ini menunjukkan bahwa akan banyak anak yang tidak memiliki ibu dan kehilangan sosok pengasuh utama di dalam

keluarga. Selanjutnya, merujuk kepada tingginya angka perceraian pada TKI yang bekerja di luar negeri menunjukan adanya faktor resiko ketidakharmonisan rumah tangga. Konflik rumah tangga memiliki dampak langsung dan tidak langsung kepada anak. Dampak langsungnya adalah anak bisa mengalami stress, marah, sedih atau mengalami perubahan fisiologis yang berhubungan dengan stress (El-Sheikh & Erath, 2011). Dampak tidak langsungnya adalah ketidakharmonisan rumah tangga mempengaruhi sensitivitas dan pengawasan orangtua kepada anak, dikarenakan orangtua lebih fokus pada masalahnya sendiri, sehingga tidak optimal dalam mengasuh anak. Perilaku yang ditunjukkan oleh orang tua ini tidak saja mempengaruhi faktor psikologis anak, tetapi juga mempangaruhi regulasi fisiologis anak, salah satunya meningkatkan hormon cortisol yang sangat rentan terhadap stress (McGowan et al., 2008). Angka perceraian yang tinggi juga menjadi faktor resiko anak untuk berkembang secara maladaptif. Penelitian yang dilakukan oleh Amato (2010) menunjukan bahwa anak yang orangtuanya bercerai menunjukan prestasi yang lebih rendah, cenderung memiliki masalah internalizing dan externalizing, serta lebih rentan terhadap masalah sosial. Selain ketidakharmonisan rumah tangga, tingkat ekonomi keluarga juga menjadi salah satu faktor resiko, dengan tingkat ekonomi yang rendah akan memperbesar kemungkinan anak terpapar dengan hal-hal negatif, seperti kriminalitas dan kenakalan remaja, dibandingkan dengan anak-anak seusianya yang besar dilingkungan dengan ekonomi menengah (Vanderbilt-Adriance & Shaw, 2008). Penelitian lintas budaya yang dilakukan oleh Mesman, van IJzendoorn, & Bakermans-Kranenburg (2012) menunjukan bahwa kemiskinan merupakan faktor utama yang mempengaruhi sensitivitas orangtua dalam pengasuhan. Mayoritas keluarga TKI adalah keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah. Kondisi ini membuat anak-anak TKI tidak hanya terpapar masalah yang berkaitan dengan tingkat ekonomi yang rendah, tapi juga mengalami masalah yang berhubungan dengan situasi keluarga yang tidak menguntungkan karena orangtua tidak sensitif kepada anaknya. Dalam kasus ini, anak-anak TKI juga tidak mengalami pengasuhan secara langsung dari orangtuanya. Sehingga tidak hanya tidak sensitif, tetapi banyak juga orang tua yang tidak mengawasi dan memperhatikan anaknya karena harus pergi untuk bekerja. Berdasarkan penjelasan diatas, bisa dipahami bahwa anakanak TKI terpapar dengan berbagai resiko yang bisa membuat mereka berkembang secara maladaptif. Kondisi ini membuat anak-anak TKI sangatlah rentan dan bisa menghambat perkembangan mereka secara optimal. Anak yang terapapar dengan berbagai faktor resiko patut mendapat perhatian lebih. Hal ini dikarenakan tingginya resiko akan memperkecil kemungkinan anak untuk bisa berkembang dengan baik, walaupun anak memiliki faktor protektif seperti intelegensi. Intelegensi merupakan salah satu faktor protektif yang bisa melindung anak untuk berkembang secara optimal. Penelitian yang dilakukan oleh Jaffee, Caspi, Moffitt, Polo-Tomas & Taylor (2007), menunjukan bahwa kondisi anak yang terpapar berbagai resiko akan membuat intelegensi sebagai faktor protektif anak tidak akan mampu melindungi anak. Keadaan yang dialami oleh anak-anak TKI ini perlu perhatian khusus. Apabila tidak ada intervensi untuk mereka, kemung


kinan mereka untuk berkembang secara maladaptif akan lebih besar dan juga mereka bisa saja terlibat dalam tindakan kriminal. Belum lagi tingginya angka TKI di Indonesia menunjukan bahwa banyak anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orangtuanya dan juga rentan mengalami masalah. Jika pemerintah tidak melakukan sesuatu dalam membantu anakanak, maupun keluarga dari TKI, cepat atau lambat masalah yang terjadi pada mereka akan menjadi lebih serius dan akan berkembang lebih luas. Lebih lanjut, adanya faktor transmisi antargenerasi ((Juffer, Bakermans-Kranenburg, & van IJzendoorn, 2008) yang membuat anak yang dididik dengan cara tidak optimal atau jika mengambil contoh anak-anak TKI yakni dibesarkan dengan neglect, akan membuat anak ketika besar menganggap bahwa hal yang dilakukan orangtuanya kepadanya adalah hal yang lumrah dan wajar. Ini bisa membuat mereka meneruskan pola pengasuhan yang sama seperti orangtua mereka dahulu. Apabila ini terjadi, akan banyak anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi tidak optimal sehingga bisa menghambat perkembangannya. Maka dari itu, upaya untuk memutus siklus ini perlu dilakukan. Dalam menentukan intervensi yang sesuai bagi anak-anak TKI, perlu dilakukan penelitian lebih jauh mengenai karakteristik anak-anak TKI dan juga konteks lingkungan sekitarnya. Hal ini sangatlah perlu dilakukan agar intervensi yang dilakukan tepat sasaran dan memiliki dampak bagi orang yang diintervensi. Jika merujuk pada karakteristik anak-anak TKI, mereka memiliki kondisi khusus dimana orangtua mereka harus pergi ke luar negeri dalam jangka waktu tertentu. Akan sangat sulit jika solusinya adalah dengan tidak memberangkatkan orangtuanya, karena hal itu bisa jadi meningkatkan angka TKI ilegal yang nantinya bisa menambah masalah baru. Salah satu solusi dan intervensi yang bisa dilakukan adalah pada pengasuh anak selama orangtua pergi. Intervensi untuk meningkatkan sensitivitas dan pengawasan pengasuh diharapkan bisa menurunkan angka masalah psikologis dan akademik pada anak dikarenakan anak mendapat perhatian yang cukup dari pengasuhnya. Bentuk intervensi yang dilakukan kepada pengasuh dalam keluarga yang beresiko sudah pernah dilakukan di beberapa negara maju seperti di Belanda ataupun Amerika Serikat. Bentuk intervensinya pun beragam dan mengutamakan untuk meningkatkan sensitivitas pengasuh dengan cara meningkatkan pemahaman pengasuh mengenai perilaku anak serta membantu pengasuh untuk dapat merespon perilaku anak secara sesuai dan bisa membantu anak untuk berkembang secara maksimal (Juffer, Bakermans-Kranenburg, & van IJzendoorn, 2008). Intervensi untuk meningkatkan sensitivitas salah satunya dilakukan untuk orangtua yang akan melakukan adopsi. Orangtua akan mendapatkan pelatihan secara khusus selama satu tahun dengan cara kunjungan ke rumah secara langsung. Pelatihan ini di subsidi oleh pemerintah dengan biaya yang terjangkau oleh keluarga yang melakukan adopsi (Stichting Adoptievoorzieningen). Bentuk intervensi lain untuk meningkatkan sensitivitas pengasuh juga sedang dikembangkan di Universitas Leiden, yakni VIPP (Video-Feedback Intervention to promote Positive Parenting). Program intervensi ini merupakan salah satu intervensi dengan klasifikasi tertinggi di Belanda (Nederlands Jeugd Instituut). Intervensi ini dapat meningkatkan sensitivitas pengasuh sehingga meningkatkan kedekatan antara anak dengan pengasuhnya (Juffer, Bakermans-Kranenburg, & van IJzen

doorn, 2008). Program ini dikembangkan untuk membantu keluarga-keluarga yang memiliki resiko yang tinggi, seperti keluarga dengan orangtua yang kurang sensitif, keluarga dengan orangtua yang melakukan tindak kekerasan kepada anak, keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah, keluarga minoritas serta keluarga dengan anak adopsi atau keluarga dengan anak asuh (VIPP LeidenAttachmentResearchProgram.eu.). Contoh-contoh intervensi diatas menunjukan bahwa upaya untuk membantu anak-anak yang memiliki resiko tinggi bisa dilakukan. Anak-anak yang beresiko, khususnya anak-anak TKI, dapat dibantu untuk berkembang dengan baik dengan cara memaksimalkan atau meningkatkan sensitivitas pengasuhnya. Intervensi yang dilakukan dengan upaya untuk menurunkan masalah-masalah perilaku, psikologis, emosional, akademis, dan masalah-masalah lainnya. Keberhasilan intervensi pada keluarga yang beresiko tinggi di negara maju memberikan titik terang bahwa anak-anak TKI bisa berkembang secara adaptif. Namun begitu, sangat diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai bentuk intervensi yang sesuai bagi anak-anak TKI. Intervensi yang dilakukan pada keluarga yang beresiko tinggi di negara maju belum tentu bisa dilakukan di Indonesia. Perbedaan budaya, ekonomi serta karakteristik keluarga membuat Indonesia perlu melakukan penelitian terlebih dahulu untuk menentukan intervensi yang tepat bagi anak-anak TKI. Seperti misalnya usia yang tepat untuk mendapatkan intervensi, bentuk pengasuhan yang sesuai, metode intervensi serta hal-hal lain baik secara teoritis maupun praktikal perlu ditinjau lebih jauh. Walaupun masih banyak tugas yang perlu dilakukan untuk mendesain intervensi yang tepat sasaran dan bermanfaat, hal ini bukanlah suatu halangan. Mengingat resiko jangka panjang yang akan terjadi pada anak-anak TKI jika tidak dilakukan intervensi, membuat upaya dalam melakukan penelitian lebih lanjut sangatlah penting dan bermanfaat. Untuk mencapai cita-cita ini, perlu adanya kerjasama yang baik antara masyarakat, universitas dan juga pemerintah. Karena tanpa adanya kerjasama yang baik, akan sangat sulit untuk mengimplementasikan intervensi ini secara nyata. III. PENUTUP Anak-anak TKI memiliki karakteristik khusus dimana mereka ditinggalkan oleh orangtuanya dalam jangka waktu yang cukup lama. Beberapa penelitian menunjukan bahwa anakanak TKI memiliki masalah akademis, psikologis, emosional dan sosial. Faktor-faktor resiko yang dialami oleh anak-anak TKI seperti: perpisahan dengan pengasuh utamanya, tingginya angka orangtua yang bercerai, tingginya frekuensi konflik rumah tangga, kemiskinan, serta transmisi intergenerational; menyebabkan anak-anak TKI sangatlah rentan untuk berkembang secara maladaptif. Upaya untuk membantu anak-anak TKI sangatlah penting dilakukan, mengingat resiko jangka panjang yang mungkin terjadi jika tidak ada penanganan secara serius. Intervensi yang bisa dilakukan salah satunya adalah dengan meningkatkan sensitivitas pengasuh. Hal ini bertujuan agar anak mendapatkan perhatian yang cukup dan juga untuk mengurangi masalah-masalah pada anak yang lebih berat nantinya. Penelitian untuk mengetahui bentuk maupun metode intervensi untuk anak-anak TKI perlu dilakukan agar intervensi yang dilakukan bisa tepat sasaran dan bermanfaat.


DAFTAR REFERENSI [1] Amato, P. R. (2010). Research on divorce: Continuing trends and new developments. Journal of Marriage and Family, 72, 650-666. [2] Amiranti, C. C. (2015). Externalizing behavior pada remaja yang ditinggalkan oleh orangtuanya bekerja sebagai TKI. Skripsi Sarjana. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia [3] De Paul, J., & Guibert, M. (2008). Empathy and child neglect: A theoretical model. Child Abuse & Neglect, 32, 10631071. [4] El-Sheikh, M, & Erath, S. A. (2011). Family conflict, autonomic nervous system functioning, and child adaptation: State of the science and future directons. Development and Psychopathology, 23, 703-721. [5] Hildyard, K. L., & Wolfe, D. A. (2002). Child neglect: Developmental issues and outcomes. Child Abuse & Neglect, 26, 679-695. [6] Jaffee, S. R., Caspi, A., Moffitt, T. E., Polo-Tomas, M., & Taylor, A. (2007). Individual, family, and neighborhood factors distinguish resilient from non-resilient maltreated children: A cumulative stressor model. Child Abuse & Neglect, 31, 231-253. [7] Juffer, F., Bakermans-Kranenburg, M. J., van IJzendoorn, M. H. (2008). Promoting positive parenting. In F. Juffer, M. J. Bakermans-Kranenburg, & M. H. van IJzendoorn (Eds.), Promoting positive parenting: An attachment-based intervention (pp. 1-10). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum. [8] Karima, D. (2015). Perbedaan psychological well-being antara remaja laki-laki dan remaja perempuan yang ditinggal oleh orangtua bekerja di luar negeri sebagai buruh migran. Skripsi Sarjana. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. [9] McGowan, P. O., Sasaki, A., D’Alessio, A. C., Dymov, S., Labonte, B., Szyf, M., . . . Meaney, M. J. (2008). Epigenetic regulation of the glucocorticoid receptor in human brain associates with childhood abuse. Nature Neuroscience, 12(3), 342-348. [10] Mesman, J., van IJzendoorn, M. H., & Bakermans-Kranenburg, M. J. (2012). Unequal in opportunity, equal in process: Parental sensitivity promotes positive child development in ethnic minority families. Child Development Perspectives, 6(3), 239-250. [11] Nederlands Jeugd Instituut. (n.d.). Diunduh dari http:// www.nji.nl/nl/Video-feedback-Intervention-to-Promote-Positive-Parenting-and-Sensitive-Discipline-(VIPP-SD) [12] Sary, M. P. (2012). Perbedaan sikap dan gambaran kesenjangan sikap ayah dan ibu tentang keterlibatan pengasuhan anak oleh ayah pada pasangan yang memiliki bayi 0-12 bulan. Skripsi Sarjana. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Stichting Adoptievoorzieningen. (n.d). Diunduh dari http:// www.adoptie.nl/m/nazorg_consult/mn/5/ [13] Vanderbilt-Adriance, E., & Shaw, D. S. (2008). Conceptualizing and re-evaluating resilience across levels of risk, time and domains of competence. Clin Child Fam Psychol Rev, 11, 30 -58. [14] VIPP LeidenAttachmentResearchProgram.eu. (n.d.). Diunduh dari http://www.leidenattachmentresearchprogram. eu/vipp/en/


Kluster Sains dan Teknologi

ASHRETE: Beton Self Compacting Concrete Mutu Tinggi Dari Limbah Fly Ash Sebagai Inovasi Beton Ekonomis dan Ramah Lingkungan Oleh: Zaenal Khafidho, Malik Maulana, dan Nurmanita Rismaningsih Universitas Diponegoro

I. PENDAHULUAN Industri konstruksi di Indonesia saat ini semakin berkembang, baik dalam hal inovasi metode pelaksanaan, inovasi material, maupun perkembangan ilmu pengetahuan yang berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perbaikan kinerja serta produktivitas di industri konstruksi. Hal ini dapat dilihat dari berkembangnya metode ataupun material-material penyusun konstruksi itu sendiri. Salah satu kebutuhan yang memegang peranan penting dalam bidang industri konstruksi adalah pekerjaan beton. Beton merupakan salah satu bahan gabungan dari suatu material- material pembentuknya. Bahan pembentuk beton secara garis besar dibagi menjadi dua macam yaitu bahan dasar dan bahan tambah. Bahan dasar pembentuk beton adalah semen yang diperlukan sebagai bahan pengikat, agregat halus yang bisa berupa pasir alam atau berupa abu batu sebagai hasil sampingan dari batu pecah dan agregat kasar yang berupa batu yang memiliki banyak variasi ukuran yang tentunya sesuai dengan standar atau berupa batu pecah atau split serta air yang apabila dicampur dengan semen akan mengalami ikatan dan pengerasan dengan diikuti pelepasan panas, sedangkan bahan tambah atau admixture yang dicampur pada saat pembuatan adukan beton digunakan untuk mencapai tujuan tertentu.

segregasi atau bleeding. Beton jenis ini lazim digunakan untuk pekerjaan beton pada bagian struktur yang sulit dijangkau dan dapat menghasilkan struktur dengan kualitas yang baik.

Beton normal pada umumnya menggunakan bahan dasar agregat, semen, dan air. Sedangkan beton yang menggunakan admixture diberi nama yang lebih spesifik sesuai dengan spesifikasinya, seperti beton mutu tinggi atau high strength Concrete, beton mengalir atau Self-compacting Concrete dan lain sebagainya. Adanya macam-macam beton ini dikarenakan kebutuhan konstruksi untuk mutu beton yang lebih baik lagi. Sehingga dalam proposal kami ini mengembangkan beton Self-compacting Concrete Mutu K500 dengan penambahan flyash dan adiktif vishconcrete 1003 untuk mendapatkan mutu beton Self-compacting Concrete yang tinggi dan dengan biaya (cost) yang murah. Sehingga nantinya kalau beton SCC ini diterapkan di dunia industri akan member keuntungan pada pengembang beton SCC ini.

Sedangkan dalam segi mutu Self-compacting Concrete mempunyai banyak keunggulan yaitu dapat mengurangi permeabilitas dari beton sehingga permukaan beton menjadi lebih halus dan homogen. Sedangkan di Indonesia Self-compacting Concrete belum begitu populer, hal ini disebabkan dari segi biaya penggunaan beton tersebut di Indonesia kurang efisien karena biaya pembuatan Self-compacting Concrete, jika di bandingkan dengan biaya tenaga kerja di Indonesia masih jauh lebih murah dengan cara konvensional seperti biasa. Self-compacting Concrete di Indonesia seringkali digunakan khusus untuk kondisi-kondisi tertentu, seperti basement yang membutuhkan beton dengan permeabilitas rendah.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Self Compacting Concrete Menurut Wihardi (2006), Self-compacting Concrete adalh beton yang memiliki sifat kecairan atau fluidity yang tinggi sehingga mampu mengalir dan mengisi ruang-ruang di dalam cetakan tanpa proses pemadatan atau hanya sedikit sekali memerlukan bantuan pemadatan. Sehingga dapat dikatakan beton mengalir atau Self-compacting Concrete adalah suatu jenis beton yang dapat dituang, mengalir dan menjadi padat dengan memanfaatkan berat sendiri, tanpa memerlukan proses pemadatan dengan getaran atau vibrator maupun metode lainnya. Selain itu, beton segar jenis Self-compacting Concrete bersifat kohesif dan dapat dikerjakan tanpa terjadi

B. Keunggulan Self Compacting Concrete Pada saat ini Self-compacting Concrete telah banyak digunakan dalam dunia konstruksi. Banyak keuntungan yang dapat diperoleh yaitu diantaranya dapat menekan biaya, mutu dan waktu pengerjaan kontruksi yang cukup lama. Dengan tidak lagi dibutuhkannya pemadatan, maka dapat mengurangi tenaga kerja dan peralatan yang dibutuhkan, keuntungan lainnya seperti keamanan tenaga kerja dan penghematan waktu dapat ditingkatkan. Keuntungan lain dari beton Self-compacting Concrete dapat dipaparkan sebagai berikut: (1) Mengurangi lamanya konstruksi dan besarnya upah pekerja, (2) Pemadatan dan penggetaran beton yang dimaksudkan untuk memperoleh tingkat kepadatan optimum dapat dieliminir, (3)Mengurangi kebisingan yang mengganggu lingkungan sekitarnya, Meningkatkan kepadatan elemen struktur beton pada 3 bagian yang sulit dijangkau dengan alat pemadat, seperti vibrator, (4) Meningkatkan kualitas struktur beton secara keseluruhan.

C. Flyash Fly ash adalah limbah dari sisa pembakaran batubara, suatu pembangkit listrik tenaga Uap yang menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. Sistem pembakaran batubara umumnya terbagi 2 yakni sistem unggun terfluidakan (fluidized bed system) dan unggun tetap (fixed bed system atau grate system). Disamping itu terdapat system ke-3 yakni spouted bed system atau yang dikenal dengan unggun pancar. Fluidized bed system adalah sistem dimana udara ditiup dari bawah menggunakan blower sehingga benda padat di atasnya berkelakuan mirip fluida. Teknik fluidisasi dalam pembakaran batubara adalah teknik yang paling efisien dalam menghasilkan energi. Pasir atau corundum yang berlaku sebagai medium pemanas dipanaskan terlebih dahulu. Pemanasan biasanya dilakukan dengan minyak bakar. Setelah temperatur


pasir mencapai temperature bakar batubara (300oC) maka diumpankanlah batubara. Sistem ini menghasilkan abu terbang dan abu yang turun di bawah alat. Abu-abu tersebut disebut dengan fly ash dan bottom ash. Teknologi fluidized bed biasanya digunakan di PLTU (Pembangkit Listruk Tenaga Uap). Komposisi fly ash dan bottom ash yang terbentuk dalam perbandingan berat adalah : (80-90%) berbanding (10-20%). III. METODE PENELITIAN

ii. Fly Ash Fly ash atau abu terbang digunakan karena mengandung silika (SiO2) yang cukup tinggi, yang bereaksi terhaap sisa pengikatan antara semen dan air. Fly ash juga digunakan untuk mengurangi pengggunaan semen, sehingga ekonomis dan lebih kuat. Morfologi butiran berbentuk bulat sehingga meningkatkan flow campuran beton. Fly ash yang digunakan berasal dari limbah pembakaran baru bara di PLTU Jepara, kriteria fly ash tipe F dengan karakteristik tertera pada tabel 3.

iii. Agregat Agregat berperan sebagai filler atau pengisi rongga dalam beton, dan membantu dalm pembentukan struktur beton. Pasir yang di gunakan yaitu ex. Merapi dan batu pecah ex. Tayu Jepara. Pengujian analisa material di Laboratorium Bahan Bangunan Teknik Sipil Universitas Diponegoro. Hasil rangkuman analisa pasir ex merapi pada Tabel 4. Dan Agregat kasar Tayu Jepara pada Tabel 5.

IV. MIX DESAIN A. Konsep Mix Desain Beton SCC Konsep beton SCC Mutu K500 sebenarnya sama dengan beton konvensional yaitu dengan metode DOE atau ACI. Pada percobaan pertama dalam pengujian kami menggunakan semen 450 kg menggunakan agregat halus 45%. Tetapi untuk pengujian kedua dengan semen 380 jumlah agregat halus yang digunakan lebih banyak dibandingkan beton konvensional pada umumnya yaitu sekitar 50 % dari volume beton. Selain itu ukuran maksimum agregat kasar yang digunakan harus kurang dari 他 inch agar agregat kasar dapat melewati sela antar tulangan, sehingga pemadatan sendiri beton tersebut dapat tercapai dengan baik tanpa adanya rojokan dan penggetar. Beton SCC harus mempunyai flowability yang bagus tetapi tetap mempertahankan rasio water/cement. Hal itu dapat dicapai dengan menambahkan plasticizer dengan dosis masing-masing produk. B. Pemilihan Material i. Semen Semen merupakan suatu bahan pengikat utama dalam beton. Klinker semen yang bereaksi dengan air membentuk gel CSH yang menjadi bahan pengikat dengan filler dalam beton. Semen yang digunakan adalah semen portland tipe 1 produk Gresik dengan spesifikasi pada tabel 2.


C. Hasil Pengujian 3 Hari Pengujian kuat tekan benda uji silinder Çž 15 cm x 30 cm dilakukan pada saat benda uji berumur 3 hari dan dilakukan menggunakan Universal Testing Machine (UTM). Dari hasil pengujian Beton K500 dengan semen 450 kg di dapatakan 1. Berat ; 13,4 kg 2. Besar Gaya tekan : 73.000kgf 3. Luas Bidang tekan ; 176,625 cm2 4. Besar kuat tekan 3 hari : 73.000/176,625 : 413,3 kg/cm2 = 41,33 Mpa 5. Besar Kuat tekan 28 hari : 41,33 / 0,714 :57,88 Mpa Dari hasil tersebut pada pengujian 3 hari sudah didapatkan hasil kuat tekan 100%. V. RINCIAN BIAYA Estimasi biaya yang di dapatkan untuk K500 dengan semen 380 yaitu sebagai berikut :

Hal ini lebih menghemat biaya Rp.68.262 dibandingkan dengan penggunaan semen 450 kg di K500. Dan apabila dibandingkan dengan harga SCC normal dengan SCC ini menghemat Rp. 348.400 per meter kubiknya. Sehingga dengan beton SCC ini apabila jadi usaha akan menjadi peluang bisnis dan memberi keuntungan bagi pengembang.

VI. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat di ambil dari inovasi ini yaitu : 1. Penggunaan fly ash sebanyak 35% sebagai subtituen dari semen tidak hanya menghemat penggunaan semen tetapi juga meningkatkan kuat tekan dan workability pada pengerjaan beton dikarenakan bentuk dan ukuran fly ash yang lebih halus dan lebih kecil dari semen. 2. Dengan beton SCC ini banyak manfaat yang di dapat yaitu : Mengurangi lamanya konstruksi dan besarnya upah pekerja, Pemadatan dan penggetaran beton yang dimaksudkan untuk memperoleh tingkat kepadatan optimum dapat dieliminir, Mengurangi kebisingan yang mengganggu lingkungan sekitarnya, tidak menggunakan pemadatan seperti vibrator, meningkatkan kualitas beton struktur. 3. Dapat menghemat biaya hingga Rp. 348.400 dari SCC di pasaran tiap meter kubiknya. DAFTAR PUSTAKA [1] ACI Comittee 211. 1993. Guide for Selecting Proportion for High Concrete with Portland Cement and Fly Ash. ACI Journal. [2] Dehn, F., Holschemacher, K. and Weiβe, D., 2000, Self-Compacting Concrete (SCC) Time Development of the Material Properties and the Bond Behaviour, LACER No.5., Leipzig. [3] Ekaputri, Januarti Jaya. 2011. Self Compacting Concrete. Surabaya: ITS Press [4] M. Wihardi Tjaronge dan M. Rusli H.N. 2003. Pembuatan Bantalan Kereta Api dengan Menggunakan Self-compacting Concrete. Prosiding Simposium VI- (FSTPT) Forum Studi Transportasi antar Perguruan tinggi. pp. 1-7. [5] Ozbay, Erdogan. et. al. 2008. Investigating mix proportions of high strength self compacting concrete by using Taguchi method. Killis: Elsevier. [6] Schutter, G. De. 2005. Guidelines for Testing Fresh Self-Compacting Concrete. Berlin: EFCA. Subakti, Aman. 2010. Concrete Mixed Design DOE. Surabaya: ITS Press [7] Subakti, Aman. 2010. Teknologi Beton Praktek I. Surabaya: ITS Press [8] Sugiharto, H. dan Kusuma, G.H., 2001, Penggunaan Fly Ash dan Viscocrete pada [9] Self-Compacting Concrete, Dimensi Teknik Sipil, Vol.3, No.1, Universitas Kristen Petra, Surabaya. [10] Schutter, G. De. 2005. Guidelines for Testing Fresh Self-Compacting Concrete. Berlin: EFCA.



J

Divisi Kajian, Keilmuan, dan Keprofesian 2014/2015


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.