ADVOKASI INKLUSI SOSIAL: PRAKTIK BAIK ADVOKASI PENGHAYAT MARAPU DI SUMBA, NUSA TENGGARA TIMUR
kolom agama dengan “Sunda Wiwitan”. Bagaimana warga Sunda Wiwitan memperoleh hak kewargnegaraannya, pendekatan informal dapat memahami bagaimana relasi dengan pemerintah dalam situasi tersebut. Jika demikian, apakah kewargaan formal dan informal yang sejatinya berjalan dalam advokasi penghayat kepercayaan, khususnya Marapu, di Indonesia?
Demokrasi Inklusif Penelitian ini mengusulkan konsep demokrasi inklusif sebagai cara untuk memahami advokasi penghayat Marapu di pulau Sumba. Tidak hanya melampaui kedua model analisis, formal dan informal, sebagaimana dijelaskan pada bagian awal, demokrasi inklusif mensyaratkan deliberasi dan differentiated solidarity. Demokrasi deliberatif mengandaikan empat nilai: inklusi, kesetaraan, kemasukakalan, dan bersifat publik. Deliberasi baru bisa terjadi jika di dalamnya ada kesadaran bahwa setiap kebijakan haruslah inklusif. Deliberasi juga mengandaikan kesetaraan di mana berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Setelah semua orang/kelompok masuk arena dan bisa berargumen secara setara, setiap pihak harus bisa menunjukkan kemasuk-akalannya. Kebijakan yang masuk akal adalah jika usulan dibaca, dikritik, dan dievaluasi pihak lain yang tidak sejalan atau berseberangan dengan usulan kita. Deliberasi juga mensyaratkan bahwa kebijakan yang sedang dibicarakan bersifat publik, dapat diakses semua pihak, dan dapat dievaluasi pihak lainnya. Dilihat dari empat nilai di atas, demokrasi di Indonesia problematis. Penghayat Marapu, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, adalah komunitas yang selama bertahun-tahun berada di luar arena kebijakan publik. Mereka juga diperlakukan tak setara sejak rezim Orde Lama, Orde Baru, dan orde reformasi hingga saat ini. Penghayat kepercayaan tidak dilayani setara dengan penganut agama lainnya tanpa argumen yang masuk akal. Penghayat
105