MAJELIS LUHUR KEPERCAYAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN TANTANGAN INKLUSI DUA ARAH
“Kepercayaan: Sumarah/Majelis Eklasing Budi Murko”. Format ini dianggap setara dengan format informasi agama yang ada dalam Kartu Tanda Penduduk saat ini. (Narasumber 9, dalam Focus Group Discussion Center for Religious and Cross Cultural Studies dan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia Yogyakarta, 11 November 2018).
II. Kelompok Penghayat “beragama” Kategori kedua yang mengemuka dalam diskursus mengenai identitas di KTP adalah kelompok penghayat “beragama” yang memandang tidak perlu mengganti identitas mereka menjadi penghayat kepercayaan. Pendapat ini dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah karena merasa bahwa sentral dalam laku penghayat bukan terletak pada identitas administratif yang dimiliki, tetapi lebih kepada perilaku. Terlebih lagi, kelompok ini beranggapan bahwa agama yang mereka anut adalah bagian yang harus bersinergi dengan kepercayaan mereka sehingga mereka dapat mencapai trance melalui dua hal tersebut (Narasumber 3, dalam Focus Group Discussion Center for Religious and Cross Cultural Studies dan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia Yogyakarta, 11 November 2018). Alasan lain terkait keengganan mengganti agama dengan kepercayaan berkaitan dengan posisi sosial mereka di masyarakat. Kelompok penghayat beragama berpendapat bahwa dengan mencantumkan agama, mereka lebih mudah mendapatkan akses ke berbagai sektor, termasuk di ranah pekerjaan. Seperti yang diungkapkan oleh narasumber 8 yang enggan berganti KTP. Menurut mereka, banyak kekhawatiran yang mengemuka mengenai perubahan agama di Kartu Tanda Penduduk tersebut. Bentuk kekhawatiran yang paling lumrah adalah kekhawatiran dikucilkan dari pergaulan sosial. Hal
54