4 minute read

II. Kelompok Penghayat “beragama

Next Article
BAB 5. PENUTUP

BAB 5. PENUTUP

“Kepercayaan: Sumarah/Majelis Eklasing Budi Murko”. Format ini dianggap setara dengan format informasi agama yang ada dalam Kartu Tanda Penduduk saat ini. (Narasumber 9, dalam Focus Group Discussion Center for Religious and Cross Cultural Studies dan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia Yogyakarta, 11 November 2018).

II. Kelompok Penghayat “beragama”

Advertisement

Kategori kedua yang mengemuka dalam diskursus mengenai identitas di KTP adalah kelompok penghayat “beragama” yang memandang tidak perlu mengganti identitas mereka menjadi penghayat kepercayaan. Pendapat ini dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah karena merasa bahwa sentral dalam laku penghayat bukan terletak pada identitas administratif yang dimiliki, tetapi lebih kepada perilaku. Terlebih lagi, kelompok ini beranggapan bahwa agama yang mereka anut adalah bagian yang harus bersinergi dengan kepercayaan mereka sehingga mereka dapat mencapai trance melalui dua hal tersebut (Narasumber 3, dalam Focus Group Discussion Center for Religious and Cross Cultural Studies dan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia Yogyakarta, 11 November 2018).

Alasan lain terkait keengganan mengganti agama dengan kepercayaan berkaitan dengan posisi sosial mereka di masyarakat. Kelompok penghayat beragama berpendapat bahwa dengan mencantumkan agama, mereka lebih mudah mendapatkan akses ke berbagai sektor, termasuk di ranah pekerjaan. Seperti yang diungkapkan oleh narasumber 8 yang enggan berganti KTP. Menurut mereka, banyak kekhawatiran yang mengemuka mengenai perubahan agama di Kartu Tanda Penduduk tersebut. Bentuk kekhawatiran yang paling lumrah adalah kekhawatiran dikucilkan dari pergaulan sosial. Hal

ini wajar mengingat stigma negatif tentang kepercayaan masih berkembang luas di masyarakat. (Narasumber 8, dalam Focus Group Discussion Center for Religious and Cross Cultural Studies dan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia Yogyakarta, 11 November 2018).

Kelompok “beragama” juga menganggap bahwa identitas yang dicantumkan dalam KTP tidak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap laku mereka sebagai penghayat. Dengan berafiliasi dengan agama yang diakui oleh pemerintah, mereka merasa lebih nyaman karena dapat menyelaraskan praktek agama dan kepercayaan sehingga bisa mendapatkan ajaran pokok dari kedua jalan tersebut.

Posisi strategis di berbagai instansi membuat kelompok penghayat beragama juga menjadi faktor yang menyebabkan keengganan untuk merubah kolom agama. Seperti yang dirasakan oleh Narasumber 1, posisinya sebagai pengajar di Institute Seni Indonesia Yogyakarta menjadi salah satu alasan dirinya lebih nyaman untuk berafiliasi dengan agama. Narasumber 1 memaknai identitasnya sebagai laku yang bersifat vertikal, hanya dirinya dan sang pencipta yang berhak untuk mengetahuinya. (Narasumber 1, dalam Focus Group Discussion Center for Religious and Cross Cultural Studies dan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia Yogyakarta, 11 November 2018).

Senada dengan Narasumber 1, Narasumber 8 sebagai Presidium Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia Kabupaten Sleman sekaligus sesepuh Paguyuban Ngudi Utomo menyetujui pendapat Narasumber 1. Baginya laku penghayat adalah masalah personal yang patut diyakini secara pribadi. Namun, sebagai penghayat yang baik, perlu mewujudkan keyakinannya tersebut di tataran sosial dengan menunjukkan budi pekerti yang terpuji.

Keengganan Narasumber 8 untuk mengubah identitas agamanya terkait erat dengan pengalaman buruknya dengan institusi pemerintah. Pertanggal 11 Maret 2016, Kantor Kesatuan Bangsa Kabupaten Sleman menerbitkan surat penolakan untuk menerbitakan SKT (Surat Keterangan Terdaftar) bagi Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia Kabupaten Sleman. Penolakan ini tentu saja menjadi salah satu batu sandungan terbesar agar Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia Kabupaten Sleman mendapatkan perlindungan secara hukum sebagai organisasi resmi pemerintah. Keengganan tersebut diperparah pula oleh fakta bahwa surat keputusan tersebut diambil setelah Pemerintah Kabupaten Sleman berkoordinasi dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kabupaten Sleman, Kejaksaan Negeri Kabupaten Sleman, Polres Sleman dan Tim Verifikasi SKT tanpa adanya audiensi secara terbuka dan langsung dengan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia Kabupaten Sleman itu sendiri. Alasan penerbitan surat penolakan tersebut adalah Surat Keterangan Terdaftar hanya berlaku untuk satu aliran kepercayaan, dan penerbitan Surat Keterangan Terdaftar dianggap bisa menimbulkan konflik dengan organisasi masyarakat lain.

Terlihat dengan jelas bahwa peran agama dalam berbagai aspek masih sangat dominan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pelibatan Majelis Ulama Indonesia sebagai salah satu pihak yang menentukan nasib Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia. Selain itu, dengan dalih meminimalisir konflik dengan berbagai ormas agama, terkesan bahwa Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia adalah suatu organisasi yang keberadaannya menjadi intervensi dalam keteraturan publik (publik order). Intervensi terhadap keteraturan publik ini bukan semata-mata karena eksistensi Majelis Luhur Kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa Indonesia, melainkan disebabkan oleh reaksi dari beberapa kelompok yang tidak menerima.

Sebagaimana penghayat kepercayaan “murni”, penghayat “beragama” juga memiliki berbagai kekhawatiran terkait dengan Putusan MK dan Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri. Penghayat beragama melihat pola-pola perpecahan yang terjadi di dalam internal MLKI DIY dimana penghayat murni berusaha mendiskreditkan penghayat beragama. Putusan Mahkamah Konstitusi dan Surat Edaran Kemendagri dianggap sebagai penyebab retaknya kesolidan MLKI secara internal. Mereka beranggapan bahwa sebelum dua putusan tersebut terbit, anggota MLKI memiliki kesolidan yang tidak perlu diragukan.

Kekhawatiran lainnya adalah belum stabilnya posisi penghayat kepercayaan sebagai salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Berbagai kebijakan yang terkait dengan penghayat kepercayaan masih mengalami dinamika yang tidak dapat diprediksi. Menilik jauh ke belakang dimana pada masa awal kemerdekaan Indonesia, penghayat kepercayaan sempat mengalami masa kesetaraan dengan kelompok agama namun kemudian menjadi berkembang kearah negatif dengan adanya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang dengan tegas mendiskreditkan kepercayaan bahkan disertai ancaman pidana dalam penyebarannya. Perjalanan historis yang panjang dan pasang surut yang dialami oleh penghayat kepercayaan membuat kelompok penghayat beragama bersikap skeptis terhadap kebijakan baru tersebut.

Dalam masa pemilihan umum presiden dan wakil presiden makin membuat kecurigaan tersebut semakin besar. Selain karena posisi kepercayaan yang belum sepenuhnya diakui secara utuh, kekhawatiran tersebut diperparah dengan asumsi bahwa pergantian kekuasaan juga akan berpengaruh besar

This article is from: