Pembangunan Manusia Inklusif Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

Page 1


Kata Pengantar Upaya pembangunan akan selalu menghadapi tantangan inklusivitas. Dalam implementasi sebuah program pembangunan manusia misalnya, akan selalu menyisakan mereka yang sebenarnya berhak menerima manfaat, namun tidak tercakup di lapangan. Penyebabnya tentunya karena berbagai macam faktor, baik dari sisi ketercakupan pendataan, bahkan hingga marginalisasi aktif baik dari masyarakat setempat maupun aparatur. Ini adalah tantangan yang wajib dijawab. Sebuah tantangan yang bukan hanya menjadi tugas pemerintah, namun merupakan tugas bersama dalam sebuah kolaborasi lintas pelaku. Buku ini merupakan sebuah catatan atas upaya pembangunan manusia yang inklusif melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat. Didalamnya terdapat kesaksian-kesaksian atas proses perubahan menuju citacita Revolusi Mental yang berasal langsung dari lapangan. Semoga buku ini bermanfaat untuk menambah wawasan, Bapak/Ibu/Saudara. Selamat membaca!

Deputi Koordinasi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Desa dan Kawasan.

Nyoman Shuida

1


Daftar Isi Bab 1. Menggagas Inklusi Sosial Pemberdayaan Masyarakat Menuju Gerakan Inklusi Sosial

Bab 2. Pembangunan Manusia Inklusif dan Gerakan Revolusi Mental Gerakan Indonesia Melayani Gerakan Indonesia Tertib Gerakan Indonesia Mandiri Gerakan Indonesia Bersatu

Bab 3. Cerita Perubahan Signifikan

Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) Aceh Utara, Aceh Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Tangerang, Banten Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) Banjarmasin, Kalimantan Selatan Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) Mataram, Nusa Tenggara Barat Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Palembang, Sumatera Selatan Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Nahdatul Ulama Mataram, Nusa Tenggara Barat

Bab 4. Penutup

3 3

9

12 13 14 15

16 16 19 21 23 26 29

33

2


1 Menggagas Inklusi Sosial Pemberdayaan Masyarakat Menuju Gerakan Inklusi Sosial Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu upaya yang terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai program dengan pendekatan yang berbeda telah dilakukan dalam upaya untuk menurunkan jumlah penduduk miskin. Walaupun dalam satu dekade, jumlah penduduk miskin terus menunjukkan penurunan, namun masih terdapat beberapa kelompok miskin dan marjinal yang belum tersentuh dengan program pembangunan atau mendapatkan layanan dasar. Misalnya kelompok masyarakat adat dan kelompok difabel. 3


Belum meratanya akses layanan dasar dan keterlibatan kelompok marjinal untuk berpartisipasi dalam pembangunan disebabkan oleh berbagai aspek sebagai berikut : a.

Dinamika politik dan pergantian rezim pemerintahan di Indonesia yang mempengaruhi keberlanjutan dari program pembangunan.

b.

Paradigma program penanggulangan kemiskinan yang belum menempatkan kelompok miskin sebagai subjek pembangunan. Sehingga menyebabkan masyarakat miskin kurang memiliki kemandirian untuk keluar dari perangkap kemiskinan.

c.

Pendekatan pembangunan yang seragam dan belum memperhatikan kebutuhan kelompok miskin dan marjinal yang cukup beragam.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan secara intensif dalam satu dekade terakhir adalah menggunakan pendekatan pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan memiliki keunggulan dibandingkan dengan pendekatan lainnya, terutama pada aspek memberdayakan kelompok miskin sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Selain itu, pemerintah lebih banyak berperan untuk memfasilitasi dan mengawal proses perubahan yang diinginkan oleh masyarakat. Kegiatan pemberdayaan pada kelompok miskin yang pertama kali dilakukan oleh pemerintah adalah melalui Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program IDT sebenarnya merupakan 4


koreksi terhadap karakter pendekatan program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan sebelumnya oleh pemerintah yang bersifat karitatif. Setidaknya ada dua pertimbangan yang mendasari pelaksanaan Program IDT yaitu : a.

Memberikan kepercayaan kepada rakyat untuk dapat mengelola dana yang dititipkan kepada mereka untuk digunakan sesuai dengan keinginannya. Jumlah dana yang diberikan oleh pemerintah untuk dikelola masyarakat miskin secara berkelompok sebesar Rp. 20.000.000 pada 18.321 desa tertinggal di Indonesia.

b.

Mengurangi campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan program yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Pengalaman menunjukkan semakin banyak campur tangan pemeritah akan memperpanjang rantai birokrasi yang berujung pada peningkatan biaya pembangunan. Selain itu, meningkatnya campur tangan pemerintah dalam suatu program, terkadang kurang memberikan ruang untuk menumbuhkan kreatifitas masyarakat, serta kurangnya rasa kepemilikan terhadap program penanggulangan kemiskinan.

Inpres Desa Tertinggal tersebut merupakan tonggak sejarah dimana untuk pertama kali Pemerintah/negara memberikan kepercayaan kepada rakyatnya untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program

5


yang disusun oleh masyarakat sendiri. Pemberdayaan masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut1 : a)

Meningkatkan potensi atau daya yang ada di masyarakat untuk bisa bersaing dengan kelompok yang lebih maju dalam aturan dan lingkungan yang lebih adil. Masyarakat pasti memiliki daya atau kemampuan karena apabila masyarakat sudah tidak memiliki daya, maka masyarakat itu sudah lama musnah karena kalah dalam seleksi alam dan persaingan dalam memperebutkan sumber daya dengan kelompok lainnya;

b) Pemerintah harus berpihak kepada kelompok yang paling lemah, agar kelompok ini mampu bertahan di dalam persaingan memperebutkan sumber daya dengan kelompok-kelompok yang lebih mampu atau lebih kuat; c)

Pemerintah harus menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif agar persaingan dalam memperebutkan sumber daya berlaku dengan adil dan menumbuhkembangkan kemitraan dan sinergi di antara kelompok, sehingga yang lemah dapat terangkat oleh kelompok yang lebih mampu.

Pada era 1990-2000, pendekatan Program IDT kemudian diperluas pada program lain yang dimiliki pemerintah seperti Program Pembangunan Sarana & Prasarana Dasar Pedesaan, Program Pengembangan Kecamatan, serta Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan. Pada 1

Ginandjar Kartasasmita et.al, Bappenas, 1992

6


kontek ini, Intervensi program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah sudah mulai memperhatikan karakteristik kewilayahan (desa dan kota), mengoptimalkan peran kelompok masyarakat sebagai salah satu ciri khas budaya indonesia yaitu gotong royong, serta mengoptimalkan pemanfaatan tenaga pendamping/ fasilitator ditingkat masyarakat. Walaupun program penanggulangan kemiskinan ditingkat pedesaan dan perkotaan cukup berhasil dalam meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana dasar dan menurunkan jumlah penduduk miskin, namun belum dapat menjawab beberapa karakteristik persoalan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya dalam peningkatan layanan kesehatan maupun dalam pengembangan penghidupan masyarakat. Pada kontek itu, pada tahun 2007 kemudian diinisasi program nasional pemberdayaan masyarakat yang tidak hanya berorientasi pada pembangunan infrastruktur semata, akan tetapi juga mulai memperhatikan pembangunan manusia, pengembangan sektor, serta secara khusus mulai memberdayakan kelompok perempuan. Bahkan 25% dari dana bantuan digunakan untuk mendorong kegiatan usaha ekonomi produktif dikelola oleh perempuan. Walaupun implementasi program nasional pemberdayaan masyarakat menuai kesuksesan dalam perbaikan infrastruktur dasar dan penurunan jumlah penduduk miskin, namun masih menyisakan sejumlah persoalan yang terkait dengan kelompok rentan dan marjinal yang 7


belum dapat mengakses layanan dasar, karena berbagai sebab. Misalnya karena mengalami penolakan dari kelompok masyarakat, mendapatkan stigma, atau berada pada daerah yang terisolir. Pada kontek itu, kebutuhan untuk mendorong inklusi sosial menjadi suatu kebutuhan untuk menjangkau kelompok rentan dan marjinal yang sulit dalam mengakses layanan dasar dan program pembangunan. Pada tahun 2011, pemerintah mulai menginisiasi program inklusi sosial yang saat ini dikenal sebagai Program Peduli yang menyasar pada sejumlah kelompok target seperti kelompok difabel, masyarakat adat, perempuan dan anak, maupun sejumlah kelompok minoritas lainnya. Program Peduli memiliki tujuan untuk mengembalikan harkat dan martabat dari kelompok marjinal serta untuk mencegah mereka dari perlakuan yang tidak adil ditingkat masyarakat ataupun pemerintah untuk berpartisipasi dalam pembangunan ataupun dalam mengakses layanan dasar. Upaya ini sejalan dengan visi nawacita yang dimiliki oleh pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yaitu menghadirkan kembali negara untuk melindungi senegap bangsa Indonesia dan memberikan rasa aman bagi seluruh warga negara, serta gerakan revolusi mental yaitu gerakan Indonesia Melayani dan Indonesia Bersatu yang mengedepankan peran pemerintah dalam pelayanan tanpa membeda-bedakan seseorang berdasarkan suku, agama, maupun ras, serta memperteguh kebhinekaan sebagai kekayaan sebuah bangsa. Di masa yang akan datang, pemerintah dapat mendorong paradigma 8


pembangunan yang inklusif, khususnya pada gerakan inklusi sosial yang mencakup beberapa aspek sebagai berikut : a.

b.

c.

Memberikan kesempatan kepada kelompok marjinal untuk dapat berperan dan terlibat dalam pembangunan. Khususnya dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Menggunakan potensi yang dimiliki oleh kelompok marjinal melalui proses pendampingan dan pemberdayaan yang memungkinkannya untuk berpartisipasi dalam pembangunan secara setara dan berkeadilan. Memastikan agar aparatur negara dan kelompok masyarakat dapat menjamin dan menumbuhkan lingkungan yang kondusif dan tidak diskriminatif, sehingga memungkinkan kelompok marjinal untuk dapat mengakses haknya sebagai warga negara.

9


2 Pembangunan Manusia Gerakan Revolusi Mental

Inklusi

dan

Gerakan Revolusi Mental adalah gerakan nasional yang dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai respons terhadap kondisi bangsa terkini, dimana terjadi perubahan-perubahan institusional, namun belum menyentuh perubahan paradigma, budaya, maupun perilaku untuk memastikan perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Hingga hari ini, kita masih dihadapkan pada berbagai persoalan terkait dengan perilaku koruptif, intoleransi, diskriminasi, serta perilaku pelanggaran hukum. Dalam konteks tersebut, maka diperlukan suatu gerakan nasional untuk melakukan revolusi terhadap karakter bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

10


Penggunaan istilah revolusi sendiri dalam gerakan revolusi mental ini bermaksud untuk mendasarkan diri pada upaya membangun terobosan penyelesaian persoalan negara dan bangsa. Oleh sebab itu, gerakan revolusi mental tidak hanya berlaku bagi birokrasi dan aparatur sipil negara ditingkat pusat dan daerah, namun juga berlaku bagi seluruh pemangku kepentingan. Presiden Joko Widodo dalam tulisannya pada Harian Kompas menyebutkan bahwa; “Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas tuntasnya segala praktik praktik buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak era Orde Baru hingga saat ini. Revolusi mental berbeda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun usaha ini tetap memerlukan dukungan moril, spiritual, serta komitmen dalam diri seorang pemimpin, dan selayaknya setiap revolusi diperlukan pengorbanan oleh masyarakat. Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum.� Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental adalah landasan kebijakan gerakan revolusi mental ini, yang menetapkan 5 agenda beserta fokus perubahan ditingkat nasional dan daerah. Kelima agenda perubahan yang ditetapkan 11


tersebut adalah Gerakan Indonesia melayani; Indonesia Bersih; Indonesia Tertib; Indonesia Mandiri; serta Indonesia Bersatu. Program Peduli yang telah berjalan sangat selaras dengan spirit revolusi mental tersebut, khususnya terkait dengan kepentingan kelompok marjinal yang mengalami eksklusi sosial. Program Peduli menggunakan pendekatan inklusi dengan mendorong proses menjalin hubungan kesetiakawanan dalam masyarakat, yang tidak hanya melibatkan kelompok marjinal saja, namun juga masyarakat luas dan para pihak. Pendekatan inklusi sosial berupaya membangun hubungan sosial harmonis berdasarkan nilai-nilai kesetaraan, partisipatif, multikultural, kewarganegaraan, non deskriminatif dan non eksploitatif. Dalam konteks gerakan revolusi mental, setidaknya ada 4 agenda revolusi mental terkait dengan pelaksanaan Program Peduli tersebut, yaitu agenda Indonesia Melayani; Indonesia Tertib; Indonesia Mandiri; serta Indonesia Bersatu. Gerakan Indonesia Melayani. Sinergi Program Peduli dengan Agenda Indonesia Melayani terlihat dari upaya berbagai mitra di tingkat daerah dalam mendorong penyediaan dan akses pelayanan publik yang responsif kebutuhan kelompok marjinal. Misalnya layanan pengurusan administrasi kependudukan, layanan kesehatan, maupun layanan pendidikan. Selama ini, komunitas marjinal kurang mendapatkan atau tidak dapat mengakakses pelayanan publik karena berbagai sebab, terutama karena isolasi 12


geografis, agama dan kepercayaan yang berbeda, maupun akibat perlakuan deskriminatif. Saat ini, pemerintah daerah mitra Program Peduli telah memfasilitasi proses perekaman data maupun penerbitan dokumen kependudukan bagi kelompok marjinal. Selain itu, beberapa pemerintah daerah juga menyediakan layanan publik pada kelompok marjinal yang sulit dijangkau akibat isolasi geografis, seperti halnya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sigi yang membangun sekolah SMA pada komunitas adat Topo Uma di dataran tinggi Pipikoro. Gerakan Indonesia Tertib Ada dua fokus gerakan Indonesia Tertib yang beririsan dengan implementasi Program Peduli, yaitu tertib administrasi kependudukan dan menumbuhkan lingkungan keluarga, satuan pendidikan, satuan kerja, dan komunitas yang bebas kekerasan. Persoalan yang banyak ditemui pada kelompok marjinal adalah minimnya akses dan kepemilikan dokumen kependudukan. Beberapa komunitas marjinal yang didampingi Program Peduli memiliki kekhususan, sehingga memerlukan respons birokrasi pemerintahan dalam melakukan pelayanan. Misalnya pada orang dengan disabilitas, komunitas masyarakat adat yang belum menetap, maupun komunitas anak yang mengalami kerentanan. Untuk menghadapi hal tersebut, beberapa Pemerintah Daerah membangun unit pelaksana teknis dinas untuk secara khusus memperhatikan kelompok marjinal tersebut. Misalnya; Pertama, UPTD Dinas Sosial Kabupaten Merangin 13


melayani secara khusus pengurusan pelayanan publik, pendataan, dan pembarian bantuan bagi Suku Anak Dalam. Kedua, Pemerintah Desa Sendang Tirto di Kabupaten Sleman membangun akses yang memudahkan kelompok difabel dalam menerima layanan publik. Ketiga, upaya menumbuh kembangkan lingkungan keluarga yang bebas dari kekerasan dengan meningkatkan kapasitas orang tua melalui Pendidikan pengasuhan dalam menangani komunitas anak yang dilacurkan, anak buruh migran, serta anak yang menjalani pidana penjara. Gerakan Indonesia Mandiri Selain pendampingan komunitas marjinal untuk mendapatkan hak-hak kewarganegaraan, Program Peduli juga meningkatkan kapasitas kelompok marjinal, khususnya terkait dengan penghidupan layak dari pemanfaatan potensi dan sumberdaya yang dimiliki. Misalnya kelompok masyarakat adat Baduy dan Bulukumba memanfaatkan sumberdaya hutan untuk berbagai kebutuhan, dan memastikan hutannya tetap lestari. Ada 3 fokus implementasi Program Peduli terkait dengan gerakan Indonesia Mandiri ini yaitu; peningkatan perilaku yang mendorong tercapainya kemandirian bangsa dalam berbagai sektor kehidupan; pengembangan potensi daerah tertinggal; serta peningkatan kapasitas dan kompetensi tenaga kerja. Upaya yang dilakukan adalah melakukan pelatihan dan pengembangan keterampilan kelompok marjinal dan menyediakan kegiatan promosi produk yang dihasilkan oleh kelompok marjinal. Misalnya, 14


Yakkum bersama mitranya di Kabupaten Sumba Barat dan Timur mendorong pengembangan industri rumahan yang mempekerjakan kelompok difabel. Selain itu, Yakkum bekerjasama dengan Dinas Sosial setempat untuk menyusun perencanaan pembangunan yang berpihak pada kelompok difabel, seperti penyediaan bantuan permodalan dan peralatan kerja yang sesuai dengan kelompok difabel. Gerakan Indonesia Bersatu Agenda gerakan Indonesia Bersatu memiliki banyak keterkaitan dengan implementasi Program Peduli. Setidaknya terlihat dari Peningkatan perilaku toleran dan kerukunan inter dan antar umat beragama; Peningkatan perilaku yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kaum minoritas, marjinal, dan berkebutuhan khusus; Peningkatan perilaku kerjasama inter dan antar lembaga, kompenen masyarakat, dan lintas sektor; serta Peningkatan peran lembaga agama, keluarga, media publik dalam persemaian nilai-nilai budi pekerti, toleransi, dan hidup rukun. Toleransi, persatuan, keberagaman, dan kerjasama antar pemangku kepentingan tersebut merupakan spirit penting gerakan Indonesia Bersatu.

15


3 Cerita Perubahan Signifikan Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), Aceh Utara Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) tentang Isbath Nikah menjadi salah satu capaian penting untuk mewujudkan akses layanan publik yang lebih baik dan mendorong inklusi sosial bagi masyarakat korban konflik Aceh, terutama bagi kelompok perempuan. Perjanjian ini ditandatangani pada 8 Mei 2017 yang lalu di Kantor Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, dan ditandatangani bersama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama, Kepala Dinas Syariat Islam, Ketua Mahkamah Syariah, dan Kepala Dinas Registrasi Kependudukan Aceh. Dalam kesempatan tersebut, Zaini Abdullah menyampaikan bahwa kerjasama ini dilakukan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang belum memiliki akta atau buku nikah karena situasi 16


konflik dan bencana tsunami. Empat lembaga yang ikut menandatangani MoU tersebut selanjutnya akan menyediakan layanan dalam bentuk proses sidang Isbath Nikah oleh Mahkamah Syariah, penerbitan buku nikah yang dilakukan oleh Kementerian Agama, dan penerbitan akta kelahiran oleh Dinas Registrasi Kependudukan.

Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) sebagai salah satu CSO pilar HAM dan Restorasi Sosial bekerja bersama dengan jaringan di tingkat provinsi untuk mendorong kebijakan ini. Kebijakan mengenai Isbath Nikah ini, meski ditandatangani di tingkat provinsi, secara otomatis juga akan berlaku di tingkatan Kabupaten/Kotamadya termasuk di Aceh Utara, daerah kerja RPuK untuk program Peduli. Pencapaian ini sejalan dengan fokus kerja RPuK dalam memperkuat kelompok perempuan korban 17


pelanggaran HAM masa lalu, yang salah satunya termasuk membantu perempuan memperoleh akses terhadap administrasi kependudukan (surat nikah). Adapun manfaat langsung dari sidang Isbath Nikah yang disediakan oleh pemerintah Aceh ini baru akan dirasakan paling cepat di tahun depan. Virlian Nurkristi dari Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) berpendapat bahwa meski pengalokasian anggaran di dalam APBD untuk kebijakan ini bisa memakan waktu, adanya kebijakan ini sendiri sudah menjadi suatu capaian penting yang akan menjadi pijakan bagi penyusunan anggaran tersebut.

18


Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Jakarta – Tangerang

Komunitas Cina Benteng merupakan komunitas adat Etnis Tionghoa berada di Kampung Sewan Lebakwangi, Kota Tangerang. Mereka tinggal di wilayah tersebut sejak tahun 1740 setelah tragedi perang di Batavia. Atas kebijakan jajahan mereka diisolasi di daerah yang menyulitkan mereka untuk berasimilasi. Komunitas ini sudah beratusratus tahun menempati lahan disepanjang sungai Cisadane. Sejak tahun 2015, Program Peduli bekerja untuk memingkat akses terhadap layanan publik, terutama untuk perempuan China Benteng, dan meningkatkan penerimaan sosial masyarakat Etnis Tionghoa tradisional. Sebelum Program Peduli masuk ke Kelurahan Mekarsari, ibu-ibu Cina Benteng tidak memiliki aktivitas apapun selain mengurus rumah tangga. Peristiwa bentrokan antara warga dengan Pemerintah Kota Tangerang terkait relokasi paksa warga cina benteng disepanjang sungai 19


cisadane untuk kepentingan pembangunan jalur hijau sungai cisadane pada tahun 2009, membuat mereka khawatir dengan ‘orang baru’ yang masuk ke dalam lingkungannya, situasi ini membuat komunitas sedikit tertutup terhadap orang luar. Sampai Juni 2017, Program Peduli telah berhasil membuka akses dan kemudahan bagi perempuan Cina Benteng dalam memperoleh Adminduk sebanyak 290 berkas (130 Kartu Keluarga, 30 Kartu Identitas, 144 Akta Kelahiran, 2 surat nikah), memperoleh akses kesehatan reproduksi tes iva, akses bantuan sosial dari Pemerintah (Kartu BPJS PBI, bedah rumah, Program Keluarga Harapan), dan akses berbagai pelatihan untuk peningkatan kapasitas dari pemerintah. Perempuan Cina Benteng berhasil membangun kekuatan kolektif untuk mampu menyuarakan kepentingan dan gagasannya. Program Peduli telah berhasil memfasilitasi ibu-ibu Cina Benteng membentuk Koperasi Wanita Pengembang Sumberdaya (KWPS) Lentera Benteng Jaya beranggotakan 260 orang dengan asset Rp 165.849.337,-.

20


Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)- Banjarmasin Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Banjarmasin adalah salah satu organisasi penyandang disabilitas (OPD) yang didampingi oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) dalam kerja-kerja yang mereka lakukan untuk mewujudkan Kota Inklusi melalui Program Peduli. Menurut Umi dari SAPDA, sebelumnya OPD belum pernah berpartisipasi sama sekali dalam perencanaan kota. Namun, setelah ada pendampingan dan peningkatan kapasitas, OPD dapat terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat kecamatan dan kota, bahkan diundang untuk menghadiri Musrenbang di tingkat provinsi.

21


Dalam Musrenbang tingkat Kota, Pak Slamet, Ketua Cabang PPDI Banjarmasin, menyampaikan aspirasi perihal lokasi Puskesmas yang berada di gang-gang kecil yang susah diakses oleh difabel. Berkat partisipasi PPDI dalam Musrenbang ini, Pemerintah Kota Banjarmasin berjanji untuk memindahkan lokasi-lokasi Puskesmas yang sulit diakses difabel pada tahun 2018. Selain terlibat dalam Musrenbang Kota, PPDI juga mulai dilibatkan dalam perencanaan bantuan dari Dinas Sosial untuk program pemberdayaan ekonomi bagi disabilitas tuli yang direncanakan oleh Walikota Banjarmasin. Terkait dengan rencana ini, Dinas Sosial mengadakan pertemuan dengan PPDI untuk meminta data difabel tuli di Kota Banjarmasin dan mendiskusikan konsep program bantuan yang akan dijalankan. Meski bantuan SAPDA dalam pengembangan kapasitas, terutama tentang bagaimana menjalankan organisasi dan melakukan advokasi, dinilai sangat membantu kerja-kerja PPDI, Pak Slamet berharap mereka dapat semakin proaktif dalam melakukan advokasi secara mandiri, dan tidak semata-mata mengandalkan dampingan dari SAPDA. Pak Slamet juga berharap ke depannya tidak hanya ketua dan pengurus PPDI saja yang bisa ikut dalam Musrenbang, tetapi juga anggota-anggota PPDI dan organisasi penyandang disabilitas lainnya di Banjarmasin.

22


Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) – Mataram

Program Peduli 2015-2016 di NTB telah berhasil mendorong terbitnya Surat edaran Gubernur NTB Nomor 400/10/BP3AKB tanggal 18 Januari 2017 tentang perlindungan Anak Buruh Migran. SE ini ditujukan bagi Bupati/Walikota se NTB dan Kepala SKPD/Unit Pelaksana Kerja Pemerintah Provinsi NTB. SE diterbitkan dalam rangka menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak buruh migran dalam mengakses layanan (pendidikan, kesehatan, dan hak sipil serta bantuan social lainnya) dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan non diskriminasi. Tiga hal yang tertera dalam SE tersebut adalah (1) koordinasi untuk membangun sinergi para pihak baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota bersama menuntaskan persoalan anak buruh mingran, memberikan layanan social dasar berupa bantuan siswa miskin (BSM), Kartu Indonesia Pintar (KIP), BPJS Kesehatan/Kartu Indonesia 23


Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), akte kelahiran gratis; (2) Bupati/Walikota membuat dan mengimplementasikan kebijakan, perencanaan penganggaran yang responsive terhadap perlindungan anak buruh migran termasuk terakomodir dalam penggunaan Dana Desa; (3) Meningkatkan dana memperkuat partisipasi masyarakat dan lembaga multipihak lainnya yang peduli anak melalui forum-forum warga dan forum multipihak yang sudah ada secara berjenjang dari tingkat dusun, desa, hingga provinsi. Pengawalan terhadap implementasi Surat Edaran tersebut mulai dilakukan pada Program Phase 2017-2018. Upaya – upaya yang dilakukan oleh mitra pelaksana program peduli (CSO) SANTAI Mataram dalam mengawal proses implementasi Surat Edaran Gubernur NTB adalah:    

  

Memastikan bahwa surat edaran tersebut tersosialisasi dan terimplementasikan sampai ke tingkat pemerintah desa.  Membangun koordinasi mulai dari tingkat Propinsi hingga tingkat desa  Melakukan penguatan pada kader – kader desa untuk terus melakukan advokasi di tingkat desa dalam mendorong alokasi dana desa  Melakukan pendampingan dan assistensi kepada anak, orangtua, pengasuh dan masyarakat dalam gerakan inklusi social bagi seluruh anak buruh migrant. 

Upaya – upaya ini bukan saja dilakukan untuk wilayah dampingan lama program peduli di Lombok Timur akan tetapi juga dalam rangka memperluas wilayah dampingan yang baru di Kabupaten Lombok Tengah. Pemerintah 24


Kabupaten Lombok Tengah merespon baik dan positif terkait implementasi SE ini dan memberikan dukungan atas rencana pelaksanaan program peduli di wilayah ini tepatnya di Desa Jago dan Desa Sukaraja yang mendapat sambutan baik dari pihak kepala desa wilayah tersebut. Selain itu, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan Tokoh agama sangat mendukung kegiatan yang dilakukan dan sudah terpetakan tokoh pemuda dan kader yang akan mendukung gerakan inklusi anak buruh migran di tingkat desa hingga kecamatan.

25


Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) – Palembang Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan yang lebih dikenal sebagai LPKA Pakjo adalah LPKA yang sebelumnya lebih menekankan pada pengawasan dan pengamanan. Berbekal UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) Nomor.11 tahun 2012, LPKA sempat kebingungan dalam melakukan implementasi UU SPPA tersebut. Akirnya pada tahun 2014 bersama dengan PKBI melalui dukungan Program Peduli melakukan perubahan perspektif pada kepala dan seluruh staff LPKA yang mulanya menekankan pada perinsip pengawasan dan pengamanan, berganti menjadi pembinaan dan pendampingan. Hal ini menjadi awal perubahan mendasar yang mendorong pada perubahan-perubahan lainnya di lingkungan LPKA Pakjo yang lebih ramah terhadap anak. “Capaian yang diperoleh LPKA Pakjo saat ini adalah kontribusi berbagai pihak salah satunya adalah PKBI melalui program Peduli” –Endang Lintang Hardiman (Kepala LPKA Pakjo).

26


PKBI melalui Program Peduli mendorong dan memfasilitasi pihak LPKA Pakjo untuk mengajak pihak lain baik itu institusi pemerintah maupun non pemerintah berpartisipasi melalui forum peduli anak yang menjalani pembinaan khusus di LPKA. Melalui forum tersebut telah berhasil dikembangkan pemberian akses layanan, yaitu: Layanan Pendidikan Sekolah Filial (SD, SMP, SMA/SMK) , Pendidikan Alternatif (Las, menjahit, mekanik, dan komputer), Pembinaan minat dan bakat anak, maupun pembinaan keagamaan. “Forum peduli anak memudahkan LPKA untuk berdialog terkait identifikasi kemungkinan program yang dapat dilakukan di LPKA dalam rangka pemenuhan kebutuhan anak� - Fahriyuddin Jusep (Staf LPKA Pakjo). Berbagai perubahan yang terjadi di lingkungan LPKA Pakjo dalam rangka pemenuhan 4 hak dasar anak (hidup layak, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi) yang dilakukan melalui perubahan fasilitas fisik gedung, keterlibatan keluarga, keterlibatan pihak lain (pemerintah dan non pemerintah), petugas yang mulai memiliki perspektif terhadap anak, serta adanya dukungan komunitas dan teman sebaya anak di luar LPKA menjadi pesona dan titik terang di tengah-tengah mandeknya implementasi UU SPPA no.11 tahun 2012. Perjuangan LPKA Pakjo dalam pemenuhan hak dasar anak yang sedang menjalani pembinaan khusus mendapatkan perhatian dari Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan pengentasan Anak – Joko Setiono,Bc IP, SH, MM (Ditjen KUMHAM) dan jajarannya. Kunjungan pun dilakukan oleh Pak Joko dan jajarannya ke LPKA Pakjo, dimana beliau sangat terkesan terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan LPKA. Kesan yang didapatkan ini menjadi

27


dasar beliau untuk merekomendasikan LPKA Pakjo kepada KKP dan PA untuk mendapatkan penghargaan. Pada tanggal 22 Juli 2017, LPKA Pakjo mendapatkan apresiasi dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berupa penghargaan “LPKA terbaik layak anak berbasis budi pekerti dan responsif hak anak�. Penghargaan tersebut diberikan kepada Kepala LPKA Palembang oleh Menteri KPP & PA di Pekan Baru Riau. Penghargaan yang diperoleh oleh LPKA Palembang tersebut, telah menambah semangat perubahan untuk terus melakukan peningkatan dan perbaikan layanan dalam rangka pemenuhan hak dasar anak yang menjalani pembinaan khusus di LPKA. Penghargaan dari KPP dan PA memberikan harapan kepada LPKA yang lain untuk dapat memberikan perhatian dan pelayanan yang terbaik bagi anak melalui kerja sama multi pihak.

28


Lakpesdam Nahdatul Ulama – Mataram Lakpesdam NU adalah sebuah lembaga khusus dari Nahdatul Ulama (NU), lembaga keagamaan terbesar di Indonesia yang terkenal karena upayanya dalam menggiatkan nilai-nilai demokrasi, pluralism dan multiculturalism. Lakpesdam NU melakukan penelitian dan program mengenai transformasi sosial, keadilan dan kemanusiaan, dan telah menjadi mitra Peduli sejak tahun 2010. Upaya Lakpesdam dalam mendorong inklusi sosial yang lebih luas bagi komunitas Ahmadiyah di Lombok dirancang dengan keinginan untuk membangun perdamaian dan memfasilitasi rekonsiliasi merupakan prasyarat bagi perubahan sosial. Di tingkat daerah pemerintah telah mengambil langkahlangkah antisipatif guna mencegah konflik antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Sebagai contoh, untuk mengurangi perlawanan politik dan resiko dituding bersimpati pada kelompok Ahmadiyah, pemerintah kota Mataram menunda pemberian bantuan kepada keluarga penganut Ahmadiyah pada saat mereka pertama tiba di Transito. Lakpesdam bekerja untuk menuntut komitmen lebih dari pemerintah daerah untuk memberikan bantuan dan merealisasikan hak-hak penganut Ahmadiyah. Dengan melakukan dialog melalui pelatihan mengenai hak-hak warganegara dengan penyedia layanan terdepan, Lurah dan Walikota. Di level pemerintah provinsi dengan memberikan informasi 29


mengenai program yang dijalankan dan berusaha untuk membangun dukungan, mengingat adanya pandangan negative dari pemerintah provinsi terhadap jemaat Ahmadiyah. Upaya advokasi ini juga berlanjut ke tingkat nasional. Lakpesdam bekerjasama dengan Kementerian Agama telah melakukan pembahasan mengenai toleransi beragama. Lakpesdam juga bekerja erat dengan komunitas untuk menciptakan ruang interaksi, dialog dan pertukaran sosial. Dengan cara memfasilitasi kegiatan-kegiatan sosial yang membuka ruang bagi keluarga pengikut Ahmdiyah dan warga setempat berkumpul mengerjakan kepentingan bersama dan membangun relasi orang ke orang. Pada tahun 2014 terjadi sebuah terobosan pada saat pemerintah Kota Mataram menyetujui keluarga pengikut Ahmadiyah boleh mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu kependudukan, buku nikah dan akta kelahiran. Seluruh Biaya penerbitan dokumen kependudukan bagi semua pasangan suami istri dan anak-anak di Transito ditanggung oleh pemerintah daerah. “Ini adalah kewajiban kami untuk warga kami,� kata Ibu Baiq Baktiyanti, Lurah Pejanggik. “Ini soal kependudukaan, bukan soal agama,� ditambahkan Ibu Baktiyanti, beliau percaya bahwa masyarakat tidak boleh diabaikan hanya karena agama yang mereka anut. Dengan kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP) ini, komunitas Ahmadiyah kini memiliki hak yang sama terhadap akses layanan dan program perlindungan sosial seperti halnya warga lain.

30


Mengingat kompleksitas dari diskriminasi sosial dan struktural yang dialami oleh komunitas Ahmadiyah di Lombok, besarnya perubahan yang telah dicapai dalam dua tahun terakhir adalah hal yang sangat berkesan. Beberapa faktor kunci yang mendukung perubahan ini antara lain: Kepemimpinan lokal – Tokoh Pemerintah Daerah : Lompatan besar ini dapat terjadi karena adanya komitmen pejabat Kota Mataram yang memperlakukan isu ini sebagai isu kewarganegaraan dan yang berkomitmen dalam menjalankan tanggungjawab mereka untuk memberikan layanan dan melindungi hak-hak semua warga negara. Kepemimpinan Ibu Baiq Baktiyanti yang menunjukkan dedikasinya sebagai seorang pegawai negeri dan komitmennya dalam mendorong nilai-nilai inklusi di antara pegawainya telah menjadi hal yang sangat penting dalam keberhasilan inklusi. Beliau memisahkan isu ini dari isu keagamaan dan berfokus pada kewajiban pemerintah terhadap warganya. Relasi antar kelompok: Lakpesdam mampu mengindetifikasi tokoh-tokoh moderat, tokoh-tokoh ini mampu menggunakan peran mereka dalam masyarakat untuk mendorong inklusi. Fokus pada Kesamaan dan Hak: Dengan menggunakan pendekatan sosial budaya yang berusaha untuk berfokus pada persamaan antar kelompok dan bukan perbedaan antar agama. Lakpesdam dapat menghindari argument filosofis dengan pihak pemerintah daerah dan terus berfokus terhadap kewarganegaraan sebagai isu utama.

31


Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimas Islam mengambil pengalaman Lakpesdam dan Program Peduli untuk dijadikan model penanganan konflik. Model pendekatan humanis yang digunakan di Transito akan di gunakan oleh Kementerian Agama di daerah lain di Indonesia. Resolusi konflik antar umat beragama adalah bidang baru di Ditjen Bimas Islam, dan saat ini sedang mencari model penanganan konflik yang tepat. Setelah selama ini mendapat banyak masukan dari MUI, dan melihat sendiri praktik penanganan konflik di Sampang dan Mataram.

32


4 Penutup Membuka akses sebesar-besarnya pada pembangunan, pelayanan dan pelaksanaan pemberdayaan bagi kelompok-kelompok marjinal tereksklusi menjadi penting untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif. Pendekatan inklusif berupaya membangun hubungan sosial harmonis berdasarkan nilai-nilai kesetaraan, partisipatif, multikultural, kewarganegaraan, non deskriminatif dan non eksploitatif. Dengan pendekatan ini, kelompok-kelompok marjinal mampu menjadi aktor pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan. Pembangunan inklusif sendiri selaras dengan spirit gerakan Revolusi Mental yang dicanangkan Pemerintah, yaitu suatu gerakan nasional berlatar belakang kesadaran 33


untuk mengatasi persoalan-persoalan kebangsaan, seperti maraknya perilaku koruptif, intoleransi, diskriminasi, serta prilaku melanggar hukum. Gerakan revolusi mental adalah gerakan yang tidak hanya bertujuan untuk mengubah tatanan kelembagaan, namun juga tatanan sosial-budaya yang lebih baik. Oleh sebab itu, gerakan revolusi mental meliputi semua elemen bangsa, bukan hanya bagi Aparat Sipil Negara, namun juga masyarakat. Ulasan cerita-cerita perubahan atau praktik baik dalam buku ini menjelaskan bahwa pendekatan inklusif dalam pembangunan dan layanan dasar sepadan dengan tujuan gerakan revolusi mental, misalnya, pertama ; Gerakan Indonesia Melayani dan Gerakan Indonesia Tertib terlaksana dalam praktik baik di Aceh Utara, yaitu Pemerintah Daerah setempat dan Instansi terkait membuka akses seluas-luasnya terhadap perempuan korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan dokumen – dokumen identitas legal (kependudukan dan pernikahan). Selain itu, praktik baik pelaksanaan Gerakan Indonesia Melayani dan Indonesia Tertib juga terlihat di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan, dengan melahirkan kebijakan untuk memastikan pemantapan kelembagaan, mekanisme dan akses pelayanan dan melaksanakan model layanan inklusif berbasis pemberdayaan bagi kelompok marjinal anak yang bermasalah hukum, anak buruh migran dan penyandang disabilitas.

34


Kedua, Gerakan Indonesia Mandiri terlihat dari praktik baik pemberdayaan perempuan-perempuan komunitas cina benteng di Kota Tangerang Provinsi Provinsi Banten melalui gerakan ekonomi koperasi yang di dukung Pemerintah setempat. Pemberdayaan ini telah berhasil mencairkan isolasi sosial dan membangun kemandirian perempuan warga komunitas cina benteng. Ketiga, Gerakan Indonesia Bersatu terlihat dari praktik baik membangun perdamaian pasca konflik di Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat yang menimpa kelompok minoritas Ahmadiyah dengan pendekatan inklusif. Pembelajaran praktik-praktik baik diatas dapat kita petik bahwa pondasi keberhasilan pelaksanaan gerakan revolusi mental bermula dari perubahan paradigma pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan para pihak yang menggunakan nilai-nilai inklusif dalam mengatasi persoalan-persoalan konkrit yang kompleks. Perubahan paradigma tersebut melahirkan gerakan pemberdayaan, kolaborasi multipihak, dan inisiatif kebijakan untuk membangun kelembagaan dan mekanisme inklusif untuk memastikan kelompok-kelompok marjinal terlibat aktif dalam pembangunan. Dalam rangka memperluas skala dampak Gerakan Revolusi Mental ini setidaknya kita merekomendasikan dua hal, yaitu; pertama; koordinasi efektif lintas sektor berbasis pada pengurusan kelompok-kelompok marjinal. Koordinasi ini dibutuhkan untuk mengatasi persoalanpersoalan kelompok marjinal yang pada kenyataannya melingkupi berbagai sektor-sektor Pemerintahan. Kedua, 35


memperkuat kolaborasi multipihak antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Kelompok Masyarakat Sipil sehingga mampu mengatasi persoalan kelompok marjinal yang multi dimensi dan kompleks.

------------------------------------0----------------------------------

36


Penanggungjawab Magdalena – Asisten Deputi Pemberdayaan Masyarakat

Tim Penyusun Sujana Royat Rizki Sisindra Yaury Tetanel Nurul Firmansyah Harliani

37


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.