KEKAYAAN BAHARI YANG TERPENDAM Potensi Pesisir Menui Kepulauan Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut (PPSDAL) BAKOSURTANAL 2010
1
KEKAYAAN BAHARI YANG TERPENDAM Potensi Pesisir Menui Kepulauan Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah
Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut (PPSDAL) BAKOSURTANAL 2010
KEKAYAAN BAHARI YANG TERPENDAM
Potensi Pesisir Menui Kepulauan Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah
Pusat survei Sumber Daya Alam Laut 2010 Bakosurtanal vi.182 hal; 14,8 x 21 cm Tim Survei Pemetaan Neraca dan Valuasi Ekonomi Terumbu Karang Kab. Morowali, Sulteng Penanggungjawab : Drs. Yudi Siswantoro, M.Si Penanggung Jawab Kegiatan: Dr. Nurwajedi M.Sc Tim Survei Fisik (Laut): • Taufik Hidayatullah, S.Si • Yoniar Hufan Ramadhani, S.Kel • Suzi Mardia Syarif, S.Pi • Donny Lambherto Lisapaly Tim Survei Sosial Ekonomi (Darat) : • Anggoro Cahyo Fitrianto, S.Si • Oscar Hamangku Tim Survei • Mustopa Tim Editor: • Arfi Destianti • Indrawan Miga Design: • Prima Purnamadani
Diterbitkan pertamakali oleh Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut BAKOSURTANAL 2010 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
i
Drs. Yudi Siswantoro M.Si
DAFTAR ISI • •
Kata Pengantar Bab I Pesisir Kabupaten Morowali. Kekayaan yang Masih Terpendam • Bab 2 Potensi Kekayaan Laut di Gugus Menui. Kepulauan • Bab 3 Pulau Menui. Berkarang Indah Menjanjikan Harapan • Bab 4 Sekilas Tentang Survei. Mengukur Kualitas Karang dan Fauna Laut • Bab 5 Pulau Padea Besar. Kisah Terumbu yang Mulai Rusak • Bab 6 Pulau Padea Kecil. Mencari Pola Budidaya Kelautan • Bab 7 Gosong Tordela. Menanti Sentuhan Pemberdayaan • Bab 8 Karang Takabalantang. Karang Bolewang, Karang Bobubu, dan P. Samaringa. Potensi di Pulau-pulau Gosong • Bab 9 Karang Pengajarang. Menanti Perhatian dan Perlindungan • Bab 10 Gosong Masadian. Selamatkan Terumbu Sekarang • Bab 11 Pulau Tiga, Pulau Tengah, dan Pulau Dua • Bab 12 Pulau Bungitindeh. Ekosistem yang Harus Dipertahankan • Bab 13 Pulau Umbele. Kelestarian yang Perlu Diperjuangkan • Bab 14 Pulau Sainoa. Nelayan dan Lestarinya Karang • Bab 15 Tanjung Talowa dan Pulau Kadalupe. Makin ke Darat Makin Terusik • Bab 16 Tanjung Kurisa Tambang, P. Langala, dan Tj, Sakita. Rusak Terumbu Akibat Pengeboman • Bab 17 Tanjung Bungku 1 dan Tanjung Bungku 2. Andai Terumbu Tetap Hidup • Bab 18 Ikhtisar Survei. Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang di Kabupaten Morowali • Bab 19 Potensi Bahari Pesisir Kabuptan Morowali. Pengembangan Wisata dan Ekonomi Kelautan • Bab 20 Neraca Sumberdaya Alam Laut Kabupaten Morowali • Bab 21 Valuasi Nilai Ekonomi Terumbu Karang • Bab 22 Lampiran Tabel Persentase Transek dan Benthic Lifeform Report • Bab 23 Lampiran Jenis Ikan • Daftar Pustaka
i 1 6 10 19 25 35 39 45 54 57 61 63 67 69 73 75 77 81 89 135 153 170 182 188
ii
iii
KATA PENGANTAR Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah yang memiliki terumbu karang yang terletak pada segi tiga karang dunia (Coral Reefs Triangle) dengan keanekaragaman jenis terbanyak di dunia. Dengan semakin banyak tekanan perusakan oleh manusia maupun alam, wilayah ini selayaknya dilindungi dan dipertahankan. Keberadaan ekosistem terumbu karang sangat dibutuhkan, karena nilai ekonomi ekosistem terumbu karang yaitu dapat menahan abrasi dan ombak, dan mendukung habitat perikanan karang sebagai sumber bahan dasar obat-obatan. Pemetaan neraca sumberdaya terumbu karang merupakan suatu metode untuk memperoleh informasi gambaran sebaran cadangan sumberdaya terumbu karang, serta pengurangan maupun penggunaan sumberdaya tersebut. Sehingga diketahui kecenderungannya, apakah sumberdaya itu surplus atau menjadi defisit jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Mengingat pentingnya fungsi ekologis dan ekonomi dari sumberdaya terumbu karang ini, maka penyusunan buku neraca sumberdaya terumbu karang di Kepulauan Kabupaten Morowali ini perlu dilaksanakan mengingat informasi potensinya belum banyak dikenal luas oleh masyarakat lokal maupun internasional.
Tantangan yang dihadapi oleh penentu kebijakan di Kabupaten Morowali adalah bagaimana memberikan nilai yang komprehensif terhadap sumberdaya terumbu karang itu sendiri, sehingga diketahui secara pasti nilai sebenarnya dari sumberdaya ini. Penentuan nilai yang komprehensif ini diantaranya dengan menghitung nilai ekonomi dari sumberdayanya. Buku ini dapat diselesaikan atas dukungan dan kontribusi berbagai pihak. Terimakasih sebesarbesarnya kami ucapkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Morowali dan segenap personil di Bakosurtanal, khususnya di Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut, serta berbagai pihak yang tidak dapat disebut satu persatu. Kami menyadari, buku ini masih menyimpan banyak kekurangan. Saran dan kritik akan kami terima untuk penyempurnaan di kemudian hari.
Cibinong, Oktober 2010 Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Kepala, Dr. Nurwajedi, M.Sc
iv
PETA Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah
BAB 1
PESISIR KABUPATEN
MOROWALI Kekayaan yang Masih Terpendam
I
ndonesia negeri bahari. Lautan nan luas, dengan gugusan pulau-pulau indah di kejauhan. Pesisir pantai berpasir putih nan elok. Warna-warni indah terumbu karang, ikan-ikan berbagai bentuk dan ukuran berenang diantara beragam biota dan fauna laut. Begitu kaya, namun amat terbatas informasi tentang kekayaan laut Indonesia itu. Demikian pula dengan Kabupaten Morowali di Provinsi Sulawesi Tengah, yang baru terbentuk tahun 1999 hasil pemekaran dari Kabupaten Poso. Letak Morowali di pinggiran Teluk Tolo, Teluk Tomori dan perairan Laut Banda, memiliki garis pantai yang panjang serta sejumlah gugus kepulauan yang berpotensi ekonomi.
Persisnya berada di 01031’12’’ – 03046’48’’ Lintang Selatan (LS) dan antara 121002’24’’–123015’36” Bujur Timur (BT). Di utara, berbatasan dengan Kabupaten Banggai dan Kabupaten Poso, di selatan berbatasan dengan provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Di barat dengan Kabupaten Poso, dan di timur dengan Perairan Teluk Tolo dan Teluk Tomori. Ibukota kabupaten Morowali di Kolonodale, kini pindah ke Bungku. Selain pesisir pantainya yang begitu panjang, Morowali pun memiliki wilayah daratan yang luas. Sekitar 15.490,12 km2, terbagi atas 13 kecamatan dengan 239 desa. Terluas kedua di provinsi Sulawesi Tengah setelah Kabupaten Donggala!
Peta Wilayah Pesisir Morowali
2
Sarana transportasi laut dari Kecamatan Menui ke pulau-pulau sekitar
BERMAKNA GEMURUH
M
orowali, nama ini mengambil nama tempat tinggal Suku Wana di sekitar daerah aliran Sungai Bongka dan anakanak sungainya di pedalaman daerah Bungku Utara. Dalam bahasa Wana, Morowali bermakna “gemuruh�. Suku Wana itu merupakan masyarakat asli Sulawesi Tengah, yang kini bermukim di Cagar Alam Morowali. Di Cagar Alam Morowali, dengan luasan sekitar 225.000 hektar, tersimpan berbagai kekayaan flora dan fauna. Fauna yang dilindungi diantaranya anoa, babi rusa, musang cokelat, dan burung maleo. Kawasan ini merupakan wilayah
3
konservasi terluas kedua di Sulawesi Tengah setelah Taman Nasional Lore Lindu di Kabupaten Donggala. Alam Morowali ramah dan kaya. Sekitar 76% penduduk Morowali yang berjumlah sekitar 170 ribu jiwa (2005) hidup dari hasil kebun. Komoditas daerah ini antara lain kelapa, cengkeh, kopi robusta, cokelat, kelapa sawit, jambu mete, pala, dan lada. Selain kebun-kebun rakyat (yang belum tertangani maksimal), ada juga perusahaan besar perkebunan sawit. Di samping itu, bumi Morowali juga mengandung bahan tambang chromit, di Kecamatan Petasia dan Kecamatan Bungku Tengah.
MULAI MEMBANGUN S
ebelum berpisah dari induk Kabupaten Poso, Morowali seolah halaman belakang yang masih sedikit tersentuh gemuruh pembangunan. Jalur transportasi darat, yang menghubungkan kota-kota kecamatan dan kota kabupaten, masih belum memadai. Sarana jalan darat melalui kebun-kebun sawit perusahaan maupun kebun rakyat perlu ditingkatkan. Berkunjung ke antar kota-kota di pesisir terasa jauh ditempuh. Secara umum, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan sarana umum untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat pesisir Kabupaten Morowali masih amat perlu ditingkatkan. Ketika berdiri pada tahun 1999 berdasarkan UU No. 51/Tahun 1999, pemerintah daerah Kabupaten Morowali diprediksi dapat menggali potensi sumber daya alamnya yang besar, di daratan maupun di lautan. Posisi letaknya yang unik di pinggang pulau Sulawesi, menjadikan Kabupaten Morowali sebagai daerah dengan wilayah pesisir yang panjang. Di antara 10 kecamatan hanya Kecamatan Mori Atas dan Lembo yang tidak memiliki garis pantai, sehingga sekitar 80% wilayah Morowali berpotensi untuk perikanan.
Perairan Teluk Tolo dan Teluk Tomori dengan berbatas samudera dalam Laut Banda, menjanjikan potensi perikanan yang amat cerah. Potensi laut yang kaya itu, saat ini belum dapat digarap dan dinikmati sepenuhnya guna mensejahterakan masyarakat Morowali. Aktifitas nelayan di Morowali masih tradisional. Sarana kapal penangkap ikan dan alat tangkap yang ada umumnya sederhana, seperti pancing, bubu, dan jaring angkat. Sedikit sisanya, menggunakan alat tangkap modern seperti jaring insang, pukat cincin, dan pukat kantong. Dengan perahu tanpa motor, jangkauan penangkapan ikan pun terbatas di sekitar Teluk Tolo dan Teluk Tomori. Jenis ikan ekonomis tinggi, seperti kakap, cakalang, dan tuna, tentu saja masih sulit ditangkap. Kebanyakan baru dapat jenis-jenis ikan pelagis yang relatif murah, seperti ikan kembung, teri, dan layang. Masyarakat juga mengembangkan budidaya tambak bandeng, dan rumput laut. Namun, masih secara tradisional. Perdagangan hasil laut merupakan tumpuan mata pencaharian masyarakat. Ikan segar tangkapan maupun olahan ikan asin untuk konsumsi Morowali sendiri. Sebagian di kirim ke luar daerah seperti ke ibukota Palu, atau ke kota propinsi lain seperti Kendari (Sulawesi Tenggara), dan ke Sulawesi Selatan. *
4
BAB 1
Rombongan ikan Aehanthurus sp. di perairan Menui
14
POTENSI KEKAYAAN LAUT Di Gugus Menui Kepulauan
15
BAB 2
POTENSI Di Gugus Menui Kepulauan
Tangkapan ikan dari perairan Gosong Masadian
7
KEKAYAAN LAUT S
ebagai daerah baru, Kabupaten Morowali saat ini sibuk menata diri, salah satunya ingin menggali potensi kelautannya secara berkelanjutan.
Kekayaan laut Morowali yang kaya kini masih terpendam, bahkan terabaikan. Yakni, gugusan pulaupulau di bagian selatan kabupaten Morowali di Teluk Tomori - Laut Banda, yaitu gugusan P. Menui Kepulauan dengan pulau-pulau di sekitarnya, berupa pulau kosong tak berpenghuni maupun pulau karang (gosong), kesemuanya memiliki terumbu karang yang indah tempat hidup beragam fauna laut bernilai ekonomi tinggi. Sebutlah, Pulau Menui, P. Padea Darat (atau Padea Besar), P. Padea Laut (atau Padea Kecil), P. Bungitindeh, P. Umbele, P. Sainoa, P. Samaringa, pulau karang atau Gosong Tordela, Karang Bobubu, Karang Bolewang, Karang Takabalantang, Gosong Pengajarang, Gosong Masadian. Juga ada potensi pesisir seperti Tanjung Bungku, Tanjung Talowa, Tanjung. Talafa, Tanjung Kuraisa, dan Tanjung Sakita. Pulau-pulau dan kawasan pesisir ini menyimpan potensi hasil laut dan wisata bahari yang penting untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Neraca atau analisis perkembangan potensi kelautannya diteliti oleh Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL) Bakosurtanal, pada Juli - Agustus 2010, sebagaimana dituangkan dalam laporan ini.
8
Reef flat di P. Menui dijumpai pada kedalaman 2-4 m. Tutupan karang hidup cukup bagus dengan Acropora (Acropora plifera), Helliopora dengan ikan hias (Chromis hanui) , Pomacentrus sp. dan Pseudanthias bicolor.
LEBIH DEKAT KE KOTA TETANGGA KENDARI
D
ari gugusan pulau itu, Pulau Menui terbilang paling ramai. Maklum, ia merupakan kota Kecamatan Menui. Dari kota Bungku di daratan kabupaten Morowali, tiap hari ada kapal kayu datang, mengangkut orang dan barang, dan pulang membawa hasil ikan. Jarak Bungku - Menui sekitar 90 mil laut, ditempuh sekitar 10-12 jam perjalanan laut.
Namun suratan geografis, P. Menui lebih dekat berhubungan dengan kota Kendari, ibukota propinsi Sulawesi Tenggara, yang merupakan propinsi tetangga. Hal ini disebabkan letak gugus P. Menui kepulauan berada di bagian paling selatan kabupaten Morowali (lihat peta Morowali dan Kendari).
Semua kegiatan perekonomian berupa kebutuhan masyarakat Menui serta penjualan hasil laut seperti ikan konsumsi, ikan hias dan rumput laut berlangsung dengan pedagang di Kota Kendari. Jadinya, warga Kecamatan Menui lebih akrab berinteraksi dengan masyarakat Kendari.
Aktivitas pelayaran dari Kendari ke Menui bolak-balik, jauh lebih lancar ketimbang dari kota Bungku, kota kecamatan yang terdekat dengan Menui. Waktu ke Kendari lebih pendek, biaya lebih murah. Ke Kendari, lebih hemat dan cepat ketimbang ke Bungku.
Kegiatan ekonomi diantara warga Kecamatan Menui dan Kota Kendari itu telah berlangsung lama, bahkan sebelum Morowali terpisah berdiri sendiri menjadi satu kabupaten baru.
Sehari sekali, ada pelayaran regular yang melayari Menui-Kendari. Pelayaran usaha rakyat, dengan kapal penumpang terbuat dari kayu. Sebuah kapal motor (KMP) bobot 70 ton, ukuran panjang 8 meter, lebar 3,5 meter, dapat membawa penumpang sekitar 100 orang sekali jalan, melaju dengan kecepatan 28 knot/jam mencapai Menui sekitar 4-5 jam.
Ikhwal hubungan ekonomi ini tentu sedikit mengganjal bagi Kabupaten Morowali. Potensi hasil perikanan dan rumput laut dari P. Menui kepulauan dan gugusan pulau-pulau di sekitarnya, hampir seluruhnya disalurkan ke Kendari, ibukota provinsi Sulawesi Tenggara. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Morowali belum banyak dinikmati oleh Kabupaten Morowali sebagai induknya, apatah lagi bagi provinsi Sulawesi Tengah.*
Jika dari Kendari bertolak dinihari atau usai subuh, sampai di Menui pagi atau tengah hari. Jum’at hari libur. Masyarakat Menui keturunan Suku Bajo, mayoritas beragama Islam, memanfaatkan hari Jum’at melaksanakan sholat Jum’at. Masyarakat Menui lebih senang berurusan dengan pedagang di Kendari. Lagipula, di ibukota propinsi Sulawesi Tenggara ini, tersedia berbagai kebutuhan masyarakat dengan lebih lengkap dan lebih murah.
10
20
PULAU MENUI Berkarang Indah,
Menjanjikan Harapan
21
BAB 3
PULAU MENUI
Berkarang Indah, Menjanjikan Harapan “Alam sepertinya bekerja sama mempercantik P. Menui. Setiap elemen bahari - terumbu karang, ikan hias, kecerahan air - membentuk kolaborasi nan cantik dan lengkap�.
13
Reef flat di P. Menui dijumpai pada kedalaman 2-4 m. Tutupan karang hidup cukup bagus dengan Acropora bercabang, Acropora tubulate, dan SC (soft coral).
P
ulau Menui terdekat jaraknya dengan daratan Kabupaten Morowali. Pulau berpenghuni sekitar 2.500 orang ini, tak seberapa luas, berkisar 20 km2 (data Statistik 2009 Kabupaten Morowali). Orang-orangnya bersikap ramah dan peduli, dengan senang hati mengantarkan tamu tim survei PSSDAL ke rumah kepala desa, tanpa pamrih. Suasana di pulau siang hari kelihatan aktif lantaran ada kantor kecamatan yang melayani administrasi masyarakat nelayan di Menui dan gugusan pulau sekitarnya. Kegiatan bongkar muat barang dan penumpang di pelabuhan nelayan tak seberapa ramai. Sehari biasanya datang dua kapal. Satu dari Kendari, lainnya kota Bungku di pesisir Kabupaten Morowali. Berbeda dengan di malam hari, penerangan listrik masih terbatas, terasa gelap. Malam-malam di Menui lebih banyak diterangi cahaya bintang. Sebagai nelayan, aktivitas penduduk umumnya memancing dan bertanam rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut, dan pemeliharaan ikan karang dilakukan di pulau lain, seperti Pulau Padea Laut (atau Padea Kecil) yang tak jauh dari Menui, sekitar 30 menit bersampan. Nelayan juga terkadang menangkap ikan besar seperti tuna.
14
Jenis SC (soft coral) dan Sponge memberikan warna yang indah dan saling berasosiasi satu dengan ikan karang.
KEKAYAAN TERUMBU KARANG P
ulau Menui beruntung memiliki pantai berkarang rata (reef flat) yang cukup luas, sampai 150 meter dari garis pantai. Pinggiran pantai ditutupi sedikit jenis lamun (rerumputan laut), setinggi sekitar 30-an cm, yang diikuti pertumbuhan terumbu karang sampai ke tubir (ujung) karang. Untuk mengetahui berbagai jenis terumbu karang, ikan, dan keadaan air laut di perairan Menui, tim survei melakukan pengamatan pada tiga titik. Titik pertama pada S 030 35’27” - E 122010’43”. Lokasi kedua di Desa Ulunipa pada S 03033’16” - E 12208’33”. Terakhir, di Desa Telebino pada S 03037’13” - E 122011’14”. Di bidang karang datar (reef flat) itu, terumbu karang yang hidup di pantai Menui ini dapat dijumpai pada kedalaman 2 meter – 5 meter dengan kemiringan 30 derajat.
16
Aneka terumbu karang di P. Menui dengan jenis Acropora turbulate, soft coral (jenis Sinularia flexibilis, Nephthea Audovin) dan karang biru (Helliopora sp).
Jenis terumbu yang hidup didominasi oleh terumbu karang bercabang (ACB atau Archopora Branching) seperti Acropora histrik dan Acropora nobilis; serta jenis yang tidak bercabang (CB) seperti Seriapotora histrix, Pocillopora darmicornis, Porites nigrescen, dan Palaustrea ramose.
17
Di lokasi itu, pada dinding karang dengan kedalaman 5 meter di bawah permukaan air, dengan pengambilan data LIT, ditemukan kondisi terumbu karang cukup bagus dengan persentase tutupan karang hidup sebesar 52,8% (berdasarkan Soekarno, 1993). Yang dominan di sini terumbu karang jenis Acropora bercabang seperti Acropra Formosa dan Acropora nasuta, jenis non Acropora (seperti Pocillopora sp., Seriatopora hystrix, Porites nigrescen, kemudian ditutupi jenis soft coral, Ascidian, dan sponge.
Selain jenis karang keras, tim juga mengamati keberadaan fauna dan biota yang ada. Fauna lainnya (others fauna) didominasi oleh jenis soft coral (SC) seperti Sarcophyton sp., Dendronephytya, Cladiella sp., Subergorgia mollis, Melithaae sp., dan sponge seperti Lobosimphilia sp., Petrosia sp., dan Ascidian. Bintang laut jenis Protoreaster nodosus dan Linckia sp. juga banyak ditemukan. Di samping hamparan karang mendatar, P. Menui juga ada tebing karang (reef wall). Seperti di lokasi koordinat S 030 35’27” E 122010’43” yang disurvei tim PSSDAL Bakosurtanal.
Dilihat dari keindahan kondisi terumbu mulai dari reef flat hingga reef wall, pada tiga lokasi itu, kualitas terumbu karang di Pulau Menui dapat disebut sangat bagus. Jenis ikan yang dominan ditemukan di perairan karang P. Menui, yakni ikan Pseudanthias bicolor, Chromis ternatensis, Amblyglyphidodon curacao, Ctenochaetus strigatus, Chaetodon kleinii, Chaetodon trifascialis, Chaetodon ulietensis, Zebrasoma scopes, Hemitaurichthys poylepis, Pomacentrus molucensis, Chromis viridis, Amphiprion clarkii ( lihat Lampiran). Jenis yang ada cukup beragam, menambah keindahan fauna di rangkaian karang P. Menui.
18
Kegiatan penelitian terumbu karang
PERUBAHAN ARUS DAN POTENSI WISATA SELAM
P
ada bagian depan perkampungan nelayan P. Menui terdapat beberapa tempat (spot) yang cukup bagus untuk diselami. Di situ ada tebing karang dengan dinding yang menjorok seperti tanjung, sehingga terdapat celah dan lubang sehingga pada kedalaman 20 meter seolah ditemukan dasar, padahal setelah itu reef wall terbentuk kembali. Lokasi ini sangat baik potensinya untuk area objek wisata selam, karenanya masyarakat Menui harus menjaga keaslian dan kelestarian terumbu karang beserta ikan-ikan hiasnya.
Untuk kecerahan perairan mencapai + 12 m dari dalam perairan, yakni artinya jarak mata memandang sesuatu dengan jelas di bawah air diperkirakan mencapai +/_ 12 meter, sehingga biota laut tampak sangat jelas. Dengan tutupan karang yang cukup bagus serta keindahan ragam jenis terumbu karang selaras dengan ikan hias dan ikan konsumsi yang ramai bergerombolan di sekitar terumbu karang, menjadikan karang-karang di P. Menui unik dan patut diselami. Masih dapat kita temui ikan bergerombolan besar seperti rombongan Achanthurus sp.
Namun, untuk keamanan wisata selam, patut diperhatikan kondisi arus di Pulau Menui. Terpengaruh laut lepas perairan Laut Banda yang dalam, arus perairan di Pulau Menui terkadang mengalami perubahan dengan cepat. Derasnya arus bisa terjadi tiba-tiba, namun dalam 30 menit bisa dengan cepat kembali tenang. Topografi Laut Banda dengan kedalaman sekitar 200-300 meter turut mempengaruhi perubahan arus di sana. Kuatnya arus Laut Banda juga turut mempengaruhi bentuk-bentuk terumbu karang di P. Menui. Terumbu karang yang banyak ditemukan di sana merupakan jenis terumbu karang bercabang dan berbentuk kokoh, serta tidak terlalu tinggi. Rombongan ikan Achanthurus sp di P. Menui
20
Ikan Melichthys niger bergerombol
Demikian pula dengan ikan hias Pseudanthias bicolor, Apogon sp, dan kelompok Chromis leucura seperti yang terlihat di atas ini. Mereka hidup saling bergantungan dengan terumbu karang. Karang yang utuh-bagus, ragam ikan pun banyak berdatangan. Para nelayan Menui, berikut jajaran pemda Kecamatan Menui dan pemkab Morowali, patut bersama-sama mengelola potensi terumbu karang ini agar tak rusak akibat ulah orang yang tak bertanggungjawab. Ini aset masyarakat dan Kabupaten Morowali, juga aset nasional, yang perlu kita jaga untuk kelangsungan hidup anak cucu kita kelak.*
21
Rombongan ikan gembung (Restrelliger brachysoma)
Kegiatan persiapan dan penyelaman untuk pengambilan data survei bawah laut
32
SEKILAS TENTANG SURVEI Mengukur Kualitas Karang dan Fauna Laut
33
BAB 4
Kegiatan survei bawah laut mencatat jumlah, bentuk, dan kualitas biota laut yang ada (terumbu karang, ikan, fauna laut).
SEKILAS TENTANG SURVEI Mengukur Kualitas Karang dan Fauna Laut
T
erumbu karang merupakan inti dari keindahan sebuah perairan. Kualitas air amat menentukan kualitas koloni terumbu karang, yang akan mengundang lebih banyak kehadiran ikan-ikan dalam beragam bentuk, jenis, dan keindahannya. Secara umum, terumbu karang yang bagus diindikasikan dengan adanya ikan indikator seperti Chaetodon sp., Henrocus acuminatus, Coradion sp., Forcipiger flavissimus, Chelmon rostratus. Keanekaragaman jenis banyak dan sebaran merata dengan tutupan karang hidup 75% - 100% (English at all, 1994). Sementara untuk terumbu karang yang kurang bagus, dengan indikasi penilaian menurut English at all, 1994, ciri-cirinya adalah bahwa
25
tutupan karang 50% - 0%. Kondisi kurang bagus bisa terjadi karena kerusakan akibat pengeboman, potasium, bleaching/pemutihan karang akibat perubahan suhu. Sebelum mengungkap lebih jauh tentang khasanah karang dan biota bawah laut di gugus P. Menui Kepulauan, perlu dijelaskan cara survei mengukur kualitas terumbu karang berikut biota-biota lautnya yang dilakukan tim peneliti dari PSSDAL Bakosurtanal. Penentuan lokasi pengambilan data di lapangan dilakukan berdasar atas intepretasi citra Landsat 1997 dan ALOS 2007 sebagai pembanding kondisi lama dan baru. Hasil dari citra kemudian di-plot sesuai dengan kriteria terumbu karang yang ada. Untuk pengukuran kualitas hidup terumbu karang, ada dua metode yang digunakan, yaitu: RRI (Rapid Reef Inventory) dan LIT (Line Intercept Transect atau Garis Transek).
METODA RRI (Rapid Reef Inventory)
C
aranya, dengan mengamati tutupan karang hidup, karang mati, karang lunak, alga, lamun, sponge turf algae, DCA (Death Coral Algae atau karang mati yang ditutupi alga), patahan karang (rubble) dan pasir (sand) di suatu lokasi tertentu.
pengamatan ditentukan dengan GPS (Global Positioning Satellite) dan PDF (alat GPS dengan sistem komputer).
Sembari menyelam, tim survei mencatat kondisi karang dan tutupannya dalam radius luasan pengamatan 10 x 10 meter, selama 5-10 menit. Data dicatat dalam format data yang baku.
Semua bentuk pertumbuhan dan jenis karang (species) serta biota lainnya yang berada di bawah garis transek dicatat dengan ketelitian mendekati centimeter. Data kemudian dicatat dengan format tabel dan digunakan sebagai data wakil dari RRI.
Setelah pengamatan pertama, peneliti cepat kembali naik ke kapal untuk segera menuju ke titik berikut. Posisi koordinat titik
Observasi dengan RRI dilakukan pada rataan terumbu (reef flat) dan lereng terumbu (reef slope).
26
Penerapan garis transek saat pengamatan terumbu karang
METODE LIT (Line Intercept Transect)
P
engamatan LIT (Line Intercept Transect/Garis Transek) merupakan hasil wakil dari RRI yang didapatkan di lapangan dengan persentase karang hidup yang lebih baik.
Skema cara meletakkan garis Transek (LIT) di lokasi kerja. Gunakan pita berskala (meteran roll) untuk membuat garis transek sepanjang 10 meter dengan 3 kali ulangan yang diletakkan di kedalaman 5 meter, dengan arah sejajar garis pantai. Semua bentuk pertumbuhan dan jenis karang (species) serta biota lainnya yang berada di bawah garis transek dicatat dengan ketelitian jarak pencatatan mendekati centimeter. Hasil pencatatan dipindahkan ke format tabel. Pencatatan data terumbu karang menggunakan versi AIMS. Analisis persentase tutupan Benthic lifeform menggunakan lifeform software Program berdasarkan UNEP yang berlaku untuk Asean Australia (Rahmat & Yosephine, 2001).
Benthic lifeform adalah program untuk mengolah data terumbu karang (berdasarkan LIPI). Penetapan kualitas suatu karang batu (hard coral) mengacu kriteria Soekarno (1993).
Kegiatan survei bawah laut mencatat jumlah, bentuk, dan kualitas biota laut yang ada (terumbu karang, ikan, fauna laut).
28
KUALITAS TERUMBU KARANG
Dikategorikan perairan dengan terumbu karang beragam, jika hidup lebih 70 species terumbu karang di situ. Untuk dapat menjadi tujuan wisata bahari, minimal ada sekitar 20 spesies.
ualitas karang yang baik akan dipaparkan dalam bentuk besaran persentase. Mengacu pada kriteria Soekarno (1993), ditetapkan bahwa untuk penutupan sebesar 100%-75% dikategorikan sangat baik, 74%-50% kategori baik, 49%-25% rusak, dan di bawah 24%-0% rusak berat.
Kualitas terumbu karang disebut baik jika ada beberapa variasi jenis terumbu karang yang hidup sekaligus. Saat ini, para ahli menggolongkannya dalam 5 kelompok berdasarkan bentuk/ morfologi, sebagai berikut :
K
Menetapkan suatu karang sebagai bagus atau tidak, juga tergantung pada species terumbu karang yang hidup di situ.
29
Karang batu (Hard coral), yaitu Acropora (Acropora Branching/ bercabang (ACB)), Acropora tobulet/karang meja (ACT), Acropra encrusting/merayap (ACE), Acropora submassive/submasif (ACE), dan Acropora digitate/ berjari (ACD).
Non Acropora, yaitu coral branching/karang bercabang (CB), coral massive/karang massif (CM), coral encrusting/karang merayap (CE), coral submassive/karang submasif (CS), coral foliose/karang lembaran (CF), coral mushroom/ karang jamur (CMR), karang api/ millepora (CME) dan karang biru/ Helipora (CHL). Karang mati (Dead Scleractina), yaitu karang mati (CDC), karang mati yang ditutupi alga (DCA). Alga, terdiri atas Alga matra (MA), Alga rumput (TA), Alga coralin (CA), Halimeda (HA), dan kumpulan alga (AA). Fauna lain, seperti soft coral/ karang lunak (SC), Zyanthids (ZO), dan lain-lain (OT). Di samping itu ada kelompok Abiotik, seperti pasir /sand (S), pecahan karang mati /rubble (R), lumpur/silt (SI), celah (WA) dan batuan vulkanis (RCK).
JENIS dan KUALITAS IKAN Jenis ikan yang hidup di sebuah perairan bergantung pada kualitas terumbu karangnya juga. Terumbu karang habitat hidup berbagai jenis ikan. Jika kualitas terumbu karang makin bagus, maka makin banyak ikan yang bisa hidup di situ.
PENGARUH KEJERNIHAN AIR Kualitas air, secara tak langsung, juga berpengaruh terhadap kualitas terumbu karang. Air yang keruh (mengandung lumpur akibat sedimentasi dari daratan melalui sungai) dapat mematikan beberapa terumbu karang. Biasanya, karang yang bercorak, warna dan bentuk indah, amat sensitif pada air keruh. Mereka mati lebih dulu. Hanya karang jenis tertentu saja yang masih sanggup bertahan, yaitu umumnya memiliki bentuk, corak dan warna yang kurang bagus, kurang menarik.
31
Ikan-ikan ini menggunakan terumbu karang sebagai tempat hidup, berkembang biak, hingga mencari makan. Melihat dari kualitas terumbu karang yang sangat bagus, maka bisa dipastikan ikan yang hidup di perairan Pulau Menui beragam jenisnya. Ikan indikator merupakan kelompok ikan yang mengindikasikan kualitas terumbu karang. Salah satu contoh, ikan Kepe-Kepe (Chaetodon ocelicaudus) dari suku Chaetodontidae. Ikan ini terbilang jenis sensitif. Ia hanya bisa hidup di perairan yang jernih dengan terumbu karang yang bagus. Jika kita menemukan banyak ikan KepeKepe di suatu perairan, berarti kondisi air dan terumbu karang di sana masih bagus. Secara sederhana, kelompok ikan yang hidup berkembang biak di perairan terumbu karang dapat dikelompokkan sebagai ikan target,
ikan indikator, dan ikan major. Ikan target yaitu kelompok ikan yang menjadi target nelayan, umumnya ikan untuk pangan dan bernilai ekonomi. Ikan indikator, sepeti dicontohan ikan Kepe-Kepe, adalah kelompok ikan karang yang menjadi indikator kesehatan terumbu karang. Ikan major adalah kelompok ikan karang yang selalu dijumpai di terumbu karang, yang tidak termasuk dalam kedua kategori di atas. Jika sebuah daerah perairan memiliki jenis ikan karang lebih dari 70 spesies, perairan itu sangat bagus, karena hidup di sana ikan yang sangat beragam. Agar dapat menjadi tujuan wisata bahari,
sedikitnya di suatu lokasi memiliki 20-50 jenis ikan. Di Pulau Menui sendiri, karena kualitas terumbu karangnya tergolong baik, ada lebih 50 jenis ikan ditemukan di sana. Sebut saja ikan hias jenis Pseudonthias bicolor, Apogon sp, dan kelompok Chromis leucura. Jenis lainnya seperti Chromis ternatensis, Amblyglyphidodon curacao, Ctenochaetus strigatus, Chaetodon kleinii, Chaetodon trifascialis, Chaetodon ulietensis, Zebrasoma scopes, Hemitaurichthys poylepis, dan lainnya (lihat Lampiran).*
32
Pengambilan terumbu karang
Pulau Padea Besar Kisah Terumbu yang Mulai Rusak
BAB 5
Pulau Padea Besar Kisah Terumbu yang Mulai Rusak “Memprihatinkan, ulah orang tak bertanggung jawab, Mengebom ikan sehingga rusak habitat terumbu. Hanya untungkan diri sendiri, merusak potensi bahari�.
35
Pulau Padea Besar, dengan rumah singgah
D
ari basecamp di P. Menui, rombongan survei naik kapal kayu bermesin TS, kapasitas 12 orang. Tak terlalu jauh, jarak P. Menui ke Padea Besar sekitar 3 mil, dapat ditempuh 45 menit perjalanan laut dengan kecepatan 17 km/jam. Kegiatan survei sebenarnya pertama kali dilakukan di Pulau Padea Besar (disebut juga P. Padea Darat) dan Pulau Padea Kecil (atau P. Padea Laut), dua pulau yang berdekatan. Ini pulau terdekat dengan P. Menui, namun tidak berpenghuni atau kosong. Kedua pulau ini dikunjungi lebih dulu, karena dari hasil citra satelit terlihat tutupan karang yang cukup luas pada P. Padea Besar (Bs) dan Padea Kecil (Kc). Tutupan karangnya
lebih luas dibanding karang di P. Menui. Di samping itu, terdapat lagoon (danau) di tengah P. Padea Besar. Posisi P. Padea Besar (Bs) pada koordinat S 3031’58” dan E 12304’1” E. Luasnya sekitar 40 km2, dihuni sedikit penduduk. Pulau Padea Besar (P. Padea Darat) memiliki daerah tutupan karang yang cukup luas dan laguna di tengahnya. Tutupan karang di pulau ini adalah sekitar 3 meter. Sementara lagunanya memiliki lebar sekitar 500 meter. Di Padea Besar, laguna ini ditutupi pasir halus dan ditumbuhi beberapa jenis lamun (rerumputan laut), seperti Enhalus accoroides, Thalassia hemprichuu, Cymodecea rotundata, dan Halophila ovalis.
36
Terumbu karang yang berada di tubir dengan dinding berbentuk wall kedalaman lebih 200 meter.
KUALITAS TERUMBU KARANG
L
okasi pengambilan data terumbu karang berdasarkan titik poin dari hasil citra satelit diperkirakan ada terumbu karang, dan diterapkan metode RRI dan LIT. Pengambilan data transek LIT dilakukan pada kedalaman 5 meter. Topografi perairan Pulau Padea Kecil (Kc) sama dengan P. Padea Besar (Bs), yaitu memiliki reef flat di kedalaman 1-5 meter. Untuk bagian tubir atau ujung karang berbentuk reef wall kemiringan 900 dengan kedalaman perairan mencapai 200 m. Reef flat atau rataan karang di Pulau Padea memiliki kedalaman 1-5 meter. Kondisi reef flat di sini pun cukup indah. Tim survei menemukan berbagai jenis soft coral, diantaranya jenis Sinularia sp., dan Sarcophyton sp.. Selain itu ditemukan juga beberapa karang Acropora bercabang, tidak bercabang, serta karang berbentuk meja (Acropora Turbulate).
Sayangnya, secara umum berdasarkan hasil RRI dan LIT, kondisi terumbu karang di reef flat P. Padea Besar tergolong rusak. Ini akibat kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan racun ikan, serta penggalian. Terlihat dari banyaknya bentuk bongkahan dan pecahan karang/ turf algae (TA). Terumbu karang ikut mati terkena racun potash. Juga ada kegiatan pengambilan bongkahan karang untuk material bangunan rumah dan dermaga. Kondisi terselamatkan terlihat pada wilayah reef wall atau tebing karang. Pada garis transek (LIT) dengan kedalaman 5 m dengan reef wall termasuk kriteria baik dengan persentase tutupan karang hidup 61,4 %. (Lihat lampiran Tabel 1) Wall merupakan tebing di dalam air sampai kedalaman sekitar 10 meter. Keadaan terumbu karang di wall umumnya terjaga, mungkin lantaran letaknya yang cukup dalam tak terjangkau ledakan. Pengeboman biasanya di terumbu yang tak terlalu dalam.
Juga ada jenis Palauastrea ramose (CB), Porites nigrescens (CB), Pocillopora damicornis (CB), Seriatopora hystrik (CB), Euphylia ancora, Cynarina sp., Pectinia lactuca, dan Montifora foliosa. Ada lokasi di bagian-bagian tertentu, didapatkan tutupan karang masih baik seperti didapatkan dari hasil LIT.
38
ARUS KUAT BERBAHAYA
memegang karang yang kuat sembari tetap mengambil data LIT, berikut memotret dan merekam video bawah air.
eski reef wall di P. Padea Besar masih bagus, tapi perlu kewaspadaan bila ingin menyelaminya. Terpengaruh oleh perairan Laut Banda, arus di Pulau Padea Besar – juga P. Padea Kecil - cukup fluktuatif. Sangat mudah berubah-ubah dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Arus kuat terjadi sekitar 30 menit, lalu berubah kembali tenang saat tim telah selesai mengambil data survei. Perilaku perubahan arus ini patut dicatat. Dari jauh memang kelihatan gelombang arus dari arah Laut Banda, semakin lama semakin dekat ke kapal berubah menjadi berarus kuat dan berbentuk up welling (lingkaran air). Arus seperti ini berbahaya bagi penyelam pemula.
M
Seperti saat memulai penyelaman pertama, tim survei turun ketika arus cukup tenang. Namun begitu turun, terjadi arus kuat, sehingga penyelam harus bertumpu dengan
39
Jenis arus yang harus selalu diperhatikan adalah arus yang
Eksploitasi karang untuk bahan bangunan di P. Padea Besar (Bs).
datang tiba-tiba seperti upwelling di permukaan air. Untuk penyelam di bawah air, harus berpegangan pada karang yang kuat sehingga penyelam tidak terbawa arus. Perubahan arus dari yang kuat ke lemah hanya terjadi sekitar 5 menit. Yang berbahaya adalah arus vertikal. Arus ini bisa tiba-tiba datang dan membawa penyelam semakin dalam atau justru ke atas tanpa bisa dikendalikan. Seorang penyelam pemula, dikhawatirkan tak mampu mengatur bouyensi netral (keseimbangan di dalam air) untuk tetap stabil di posisinya tak terbawa arus.
Perubahan arus yang cepat ini cukup berbahaya. Perpindahan ketinggian dengan cepat – karena terdorong arus – berpengaruh pada tekanan penyelam. Tekanan yang secara cepat berubah mengakibatkan Narcosist atau penumpukan nitrogen dalam darah, resikonya terjadi kelumpuhan pada sendi-sendi tubuh. Pada beberapa kasus, dapat menyebabkan kerusakan paru, bahkan kematian. Penyelaman di daerah wall dan berarus kuat, lebih baik hanya oleh penyelam bersertifikasi advance atau minimal jenjang A2. Penyelam telah mampu mengatur bouyensi netral sehingga bisa mengatur posisi dengan aman.
40
BOM & RACUN POTASH MERUSAK KARANG
U
ntuk gampang mendapat ikan, banyak orang tak bertanggungjawab menggunakan racun ikan (Potash) atau pengeboman. Sedihnya, menurut penuturan penduduk, pelaku peracun ikan dan pemboman di terumbu karang Pulau Padea Besar, bukanlah nelayan dari Morowali, tapi orang dari luar Morowali. Untuk meracun ikan, biasanya digunakan Potash, yakni senyawa cyanida yang berdaya bunuh sangat kuat. Ikan yang terkena racun cyanida akan mabuk, lalu mengambang ke permukaan, dan kemudian mati. Dampak dari racun Potash ini, seluruh ikan yang terkena akan mati, kecil maupun besar. Termasuk terumbu karang yang terkena cyanida, juga ikut mati. Daya bunuh cyanida itu terus menyebar terbawa arus, dan baru hilang jika kadar cyanida-nya melemah. Bayangkan jika penyebaran racunnya sangat luas dan tak terkendali! Adapun perilaku pengeboman ikan pun tak kalah dahsyatnya merusak terumbu karang. Pelaku mengunakan bahan peledak berkekuatan cukup besar.
Kerusakan terumbu karang di P. Padea Besar (Bs) akibat pemboman ikan.
Tujuannya ingin mendapatkan ikan karang, seperti kerapu (Epinephelus sp.), kerapu sunu (Chephalupholis sonneratii), kakap merah (Lutjanus malabaricus), ikan Napoleon Carangoides (bumara) yang bernilai ekonomi tinggi, dengan waktu cepat dan jumlah yang banyak. Ledakan yang keras menghancurkan ‘rumah-rumah’ ikan, yaitu terumbu karang. Di terumbu karang ini ikan berlindung, memijah, bertelur, dan membesarkan anak-anaknya sampai berproduksi kembali. Bom mematikan semua yang hidup di sana – ikan yang besar, ikan-ikan kecil, hingga anak ikan (juvenile), juga terumbu karangnya. Rusaklah kestabilan ekosistem. Mulai dari radius tempat pengeboman, berlanjut ke lingkup lebih luas sesuai daya ledak bom air yang digunakan. Semakin besar kekuatannya, radius terumbu karang yang terpengaruh tekanan ledakan bom semakin besar. Sedihnya, pelaku hanya mengambil ikan-ikan besar yang mati, yang kecil-kecil mati ditinggalkan begitu saja. Kondisi ini diperparah, pecahan karang mati kemudian dibongkar untuk bahan bangunan oleh pelaku perusak karang lainnya. Ketidaksadaran pelaku akan dampak pengeboman serta pengambilan terumbu karang, sungguh merugikan potensi bahari kita. Bayangkan, dalam setahun terumbu karang hanya tumbuh sepanjang 1-2 cm saja. Perlu waktu berpuluh tahun untuk merehabilitasi karang-karang yang rusak. Selama itu pula ikan enggan tinggal dan berkembang. Mengantisipasi keadaan ini, para ahli kelautan menemukan cara baru untuk melakukan rehabilitasi karang. Yaitu, dengan cara menempelkan potongan karang pada media cetakan yang terbuat dari semen. Kejahatan meracuni ikan dan mengembom perairan seperti tak pernah surut, terjadi hampir di seluruh wilayah terumbu karang Indonesia. Pelaku seolah tak memikirkan betapa dampak perbuatannya itu sangat merusak semua yang ada di perairan, semua yang menjadi potensi kekayaan alam bahari yang seharusnya dipelihara agar dapat memberi manfaat besar dalam jangka panjang dan berkelanjutan.
42
Jenis ikan di dominasi jenis ikan hias seperti Chaetodon aurrgaimfrembliii Sargocentron, Pseudanthias Pterois dan Psendanthias bicolor
JENIS IKAN
J
enis ikan yang dominan di P. Padea Besar adalah jenis-jenis ikan major seperti Chaetodon aurrgaimfremblii, Pseudanthias pterois, dan Pseudanthias bicolor. Ikan major adalah kelompok ikan yang selalu dijumpai di terumbu karang yang tak termasuk sebagai ikan target maupun ikan indikator. Fauna lain, seperti kelompok mega benthos ditemukan jenis bintang laut (Linkia sp). Prediksi sementara di daerah terumbu karang tidak ditemukan ikan major yang khas seperti Cardinal sp., yang memiliki kekhasan dan kini langka akibat pengambilan berlebihan. Namun, keberadaannya ditemukan secara tak sengaja. Ketika tim survei berjalan di dermaga P. Padea Besar (Bs), di bawah permukaan air di antara rumput lamun tiba-tiba terlihat ada jenis ikan yang menyerupai jenis ikan endemik di Banggai dikenal dengan ikan banggai CardinalPterapogon kauderni. Saat diamati, ternyata benar itu memang ikan Cardinal-Pterapogon kauderni. Ikan ini kategori dilindungi, masuk daftar merah CITES-IUCN, 2008. Artinya, dilarang mengambilnya dari alam, dan memperjualbelikannya, dapat dikenai sanksi pidana dan perdata. IUCN memberikan status sebagai ikan milik endemik masyarakat Banggai ini sebagai status dilindungi.
Di P. Padea Besar (Bs) penyebaran jenis ikan Cardinal-Pterapogon kauderni dapat dijumpai sekitar lamun yang berdekatan dengan perkampungan dan sekitar dermaga pelabuhan. Temuan ini patut dicatat, bahwa ada penyebaran yang ikan endemik khas Banggai Kepulauan yaitu Cardinal-Pterapogon kauderni yang sampai ke Menui Kepulauan, padahal jaraknya sekitar 80 mil dari pulau yang terdekat dengan Kepulauan Banggai, yaitu P.Poposon. Menurut cerita masyarakat setempat, hal ini mungkin terjadi karena ada nelayan yang membawa ikan tersebut dari Pulau Banggai. Namun karena tidak bermanfaat, ikan tersebut kemudian dibuang ke perairan Pulau Padea dan berkembang biak.
Jenis ikan Cardinal yang endemik di Banggai ada juga di P.Padea Besar (Bs)
44
Pulau Padea Kecil Mencari Pola Budidaya Kelautan
55
BAB 6
Pulau Padea Kecil
Mencari Pola Budidaya Kelautan
Perkampungan nelayan di P. Padea kecil
47
“Jika saja masyarakat sadar akan keindahan perairan. Mereka mencintai alamnya dengan berbudidaya rumput laut dan ikan karang. Di sini, di Pulau Padea Kecil“
N
amanya saja Padea Kecil, ia seolah ‘adik’ dari P. Padea Besar. Letaknya tak jauh, menyeberang 30 menit dari Padea Besar, persisnya ada di koordinat S 030 30’26” dan E 12203’12”. Sedangkan bila bertolak dari P. Menui, jarak yang ditempuh sekitar 2 km. Luasan pulau ini sekitar 4 km2 (statistik Kabupaten Morowali), dan di bawah administrasi kecamatan Menui Kepulauan. Tak seperti P. Padea Besar, pulau ini dihuni oleh beberapa penduduk, aslinya orang Pulau Menui. Mereka membangun rumah-rumah singgah, menancapkan kaki-kaki rumah panggung di atas karang-karang pantai. Di Padea Kecil (kadang disebut P. Padea Laut) ini, mereka berusaha: memancing ikan, bertanam rumput laut, atau mengelola keramba ikan karang (yang ditangkap di sekitar perairan). Ibaratnya, pulau Padea Kecil diperlakukan masyarakat Menui sebagai ‘pulau produksi’. Nelayan Padea Kecil ramah. Ketika tim survei mendekati perahu mereka, mereka mau meluangkan waktu mengantar ke rumah kepala desa di pulau. Rasa kepedulian ini merupakan modal sosial patut dikembangkan bagi kebaikan masyarakat Pulau Padea Kecil.
48
Terumbu karang di P. Padea Kecil (Kc) di reef flat yang didominasi jenis soft coral.
SEBAGIAN TERUMBU KARANG RUSAK
D
ata RRI diambil dengan menyelam pada luasan area karang hidup sepanjang sekitar 50 meter. Kondisi terumbu karang di Padea Kecil tergolong kondisi sedang. Kerusakan terjadi di sana-sini karena pengambilan karang untuk bahan bangunan. Dibandingkan Padea Besar, sebenarnya areal terumbu karang Padea Kecil taklah terlalu luas. Namun, kondisi karangnya masih lebih bagus.
49
Subergorgia mollis, Melithaea sp., Isis hispuris, dan lainnya.
JENIS IKAN
K
ondisi terumbu karang yang masih cukup bagus menyebabkan jenis ikan yang hidup di perairan Padea Kecil masih cukup beragam. Ditemukan sekitar 40 jenis ikan yang hidup di sana. Jenisnya seperti Amblyglyphidodon aureus, Balistoides sp., Cephalopholic argus, Forcifiger flavissimus, Heniochus acuminatus, Melichthys vidua, Odonus niger, Plotosus lineatus, Thalasoma lunare, Zanclus cornotus. (selengkapnya pada lampiran).
Tutupan karang hidup hanya ditemukan pada reef flat pada kedalaman 5 meter, dengan kualitas tergolong sedang. Terumbu karang pada reef flat didominasi jenis soft coral. Adapun Jenis karang keras yang ditemukan kebanyakan berasal dari jenis karang datar (karang meja atau Acropora Tubulet / ACT), Acropora humulis (ACB) yang berbentuk kokoh, beberapa karang non Acropora (seperti CM Porites lutea, Montipora sp., Simphylia sp.), jenis Sponge (seperti Xesthospongia sp., Petrosia sp., Calyspongia sp.), jenis Gorgonia (seperti Subergorgia sp., Acabaria sp., Melithaea sp.). Juga ada karang lunak Soft Coral (seperti Sarcophyton sp., Dendronephytya sp., Cladiella sp.,
KONDISI PERAIRAN
D
i Pulau Padea Kecil ini, arus kuat pengaruh dari Laut Banda juga terjadi. Tim survei menunggu dan mencari lokasi arus tenang dan tidak ada pusaran air (up welling) kecil. Setelah arus kuat lewat, perairan menjadi tenang, dan survei penyelaman dan wawancara penduduk dapat dilakukan. Kedalaman perairan di Kecamatan Menui Kepulauan adalah perairan dalam dengan kedalaman sekitar 200 m dari pinggiran/tubir reef Pada umumnya, topografi pinggiran reef drop, maka dasar perairan membentuk wall yang kecuraman 90 derajat.
50
Terumbu karang di P. Padea Kecil (Kc) di reef flat yang didominasi jenis soft coral.
POTENSI YANG DAPAT DIKEMBANGKAN
D
ilihat dari kondisi terumbu karang dengan tutupan kesehatan masih bagus, dapat dikembangkan untuk ekowisata bahari. Dengan reef flat yang cukup luas -200 meter menuju tubir– terumbu karang masih bagus dengan jenis Acropora nasuta, Stylophora pistillata, Acropora palifera, Mantifora foliosa, dan beberapa karang lunak (SC). Semakin menuju ke tubir karang, kondisi terumbu karang dan ikan karang semakin baik dengan jumlah banyak. Kelompok kima masih bisa kita temukan dengan ukuran sekitar 30 cm seperti Tridacna sp., kerang kapak-kapak (Atrina serrata). Kelompok Gorgonia berbentuk kipas dengan ketinggian mencapai 2 meter pada kedalaman perairan 10-15 meter, umumnya kita temukan pada dinding wall. Jenis ikan yang ada di perairan Morowali masih banyak ikan target atau ikan yang dikonsumi oleh masyarakat kepulauan Menui. Hasil perikanan ikan karang bernilai ekonomis kita saksikan seperti ikan karang kerapu, ikan sunu, ikan kakap. Untuk kelompok ikan pelagis besar, yang tampak saat perjalanan kapal, seperti gerombolan ikan cakalang, kembung, dan julung-julung.
61
BAB 1
Gosong Tordela (juga disebut Karang Tordela), serta Gosong Bolewang, Karang Bobubu dan Karang Takabalantang memiliki pasir yang halus dan reef flat yang luas dengan rumah nelayan di atasnya.
62
GOSONG TORDELA Menanti Sentuhan Pemberdayaan
63
BAB 7
GOSONG Menanti Sentuhan Pemberdayaan
64
TORDELA “Sebuah potensi bahari dengan kesempurnaan indahnya pulau karang yang belum banyak terjamah. Inilah Gosong Tordela�.
P
ernahkah Anda mengenal istilah Gosong? Gosong adalah pulau yang posisi permukaannya ada di bawah air atau belum muncul sebagai daratan. Permukaan daratannya berupa pasir pecahan karang, dengan bebatuan karang di pinggirpinggirnya. Baik saat air laut pasang maupun surut, masih tetap terendam berada di bawah air. Gosong ini sering mengkandaskan perahu atau kapal yang melewati tanpa tahu ada karang di bawahnya. Di perairan lepas Kep. Menui, terdapat beberapa gosong atau pulau karang yang terendam ini. Masyarakat menyebutnya Gosong Tordela, Gosong Bolewang, Karang Bobubu, dan Karang Takabalantang. Selain gosong itu, di perairan Kep. Menui juga ada Pulau Samaringa, sebuah pulau biasa layaknya pulau. Semua gosong dan pulau ini, yang termasuk dalam wilayah adminstrasi Kecamatan P. Menui Kepulauan, merupakan aset bahari yang amat perlu dijaga keelokan terumbu karangnya. Hasil pengamatan atas beberapa gosong itu, diketahui secara umum kondisi tutupan karang masih baik, walau di beberapa lokasi terjadi kerusakan akibat pengeboman ikan (Lampiran Tabel 1).
56
Kondisi terumbu karang di Gosong Tordela pada kedalaman 5-10 m pada reef wall, dengan jenis Gorgonia.
GOSONG TORDELA
B
erangkat dari P. Menui, kita akan sampai ke Gosong Tordela dalam waktu sekitar 90 menit. Jaraknya sekitar 20 km atau 10 mil. Pemandangan yang unik, sejumlah rumah-rumah panggung nelayan berdiri dengan kaki-kaki menancap ke dataran karang. Rumah-rumah ini sejatinya hanya berfungsi sebagai rumah singgah, sesaat para nelayan Menui sedang mencari ikan di sekitar gosong, mereka mampir untuk beristirahat.
66
Diduga, mereka sedang meneliti mengenai beberapa jenis ikan hias di situ. Tampaknya perlu peran aktif Pemkab Morowali maupun tingkat kecamatan Menui untuk menjaga wilayah Gosong Tordela. Jangan sampai potensi alam bahari yang ada malah dimanfaatkan oleh pihak lain.
Dataran permukaan karang yang datar (reef flat) di Gosong Tordela, cukup luas. Gosong Tordela teramati memiliki bagian-bagian terumbu karang yang masih bagus, meski sebagian ada yang rusak terkena bom ikan oleh orang yang tak bertanggungjawab. Rupanya, kehadiran masyarakat nelayan yang singgah dan tinggal sementara, membuat kegiatan pengeboman ini tidak terlalu merajalela. Adanya rumah dan masyarakat nelayan di sana, secara tak langsung membuat enggan pengebom ikan, sehingga kelestarian terumbu karang yang ada di Tordela relatif terselamatkan. Begitu juga, keberadaan ikan konsumsi, serta ikan major (ikan hias) nya pun masih bagus. Menurut cerita nelayan setempat, setahun dua kali ada sebuah kapal asing yang datang. Mereka melakukan kegiatan penyelaman. Yang disayangkan, walau dikawal kapal Angkatan Laut RI, mereka tak melapor, sehingga tak ada data pada pemerintah Kecamatan Menui apa saja yang dilakukan di Gosong Tordela ini.
TERUMBU KARANG MASIH BAGUS
T
im survei menyelam di spot koordinat S 03032’36� dan E 122058’12�. Hasil analisis LIT, menemukan di titik itu tutupan karang hidup didominasi oleh jenis karang bercabang ACB (Acropora sp.), CB (Pocillopora sp.), kelompok soft coral, Hellicopora sp., dan Adcidian. Tutupan terumbu karang di Gosong Tordela, kebanyakan didominasi jenis Acropora bercabang, soft coral (SC), Helliopora dan ikan hias Chromis sp., Pseudamthias bicolor, Apogon sp., pada kedalaman 2 - 4 meter. Walaupun di beberapa titik terdapat karang yang rusak, persentase LIT menunjukkan angka 96%. Artinya, terumbu karang di Gosong Tordela masih dalam kategori sangat baik. Jauh lebih baik dibanding kondisi terumbu karang di pulau sekitarnya. Sebagian besar kondisi karang yang masih sangat bagus terdapat di kedalaman 4 meter.
58
Jenis ikan mayor didominasi jenis Chaetodon unimaculatus, Pomachromis sp, Chromis sp.
IKAN YANG BERGEROMBOL
K
eunikan atau yang khas Gosong Tordela dibanding lokasi lain di P. Menui Kepulauan, yakni ikan hias yang ada terbentuk dalam kelompok-kelompok besar. Saat menyelam, sangat indah kelihatan gerombolan-gerombolan besar ini berseliweran diantara tutupan karang hidup yang masih tinggi. Gerombolan besar ini lantaran kualitas air perairan sangat baik. Salah satu indikator kualitas air, adalah banyak ditemukan ikan Kepe-kepe, yang merupakan jenis ikan dengan kepekaan sangat tinggi terhadap faktor-faktor penurunan kualitas terumbu karang karena polusi dan pencemaran, ataupun penyebab kerusakan lain. Untuk jenis ikan hias sangat didominasi oleh jenis butterflay (Chaetodon sp. dan Achanthurus sp.) yang membentuk kelompok besar dan banyak.
59
Di perairan di Indonesia bagian barat lain – ikan Kepe-kepe yang ditemukan dalam kelompok kecil, 5-10 ekor tiap koloni. Berbeda dengan halnya di Gosong Tordela, ikan Kepe-kepenya bergerombol dalam jumlah besar, sampai 1.000 ekor. Ikan target dan ikan-ikan hias (major) lain di perkarangan Gosong Tordela, yaitu ikan Napoleon, dan didominasi oleh Pomachromis sp., Chromis sp., dan Chaetodon uinimaculatus. Sementara untuk ikan karangnya, terdapat jenis yang cukup banyak. Seperti, Abudefduf sexfasciatus Amblyglyphidodon aureus, Amblyglyphidodon curacao, Amblyglyphidodon leucogaster, Canthigaster valentini, Cetoscarus sordidus, Chaetodon kleinii, Chaetodon unimaculatus, Chaetodon speculum, Chromis margaritifer, Ctenochaetus strigatus, Hemitaurichthys poylepis, Heniochus varius, Odonus niger, Parupeneus bifasciatus, Pomacentrus molucensis, Pseudanthias spp., Pseudantias
squamipinnis, Scarus oviceps, Siganus vulpinus, Stegastes sp., Zebrasoma scopes. (selengkapnya pada Lampiran). Ikan hias maupun ikan karang ini berkoloni besar dan memakan zoo plankton di sekitarnya. Pada titik pengamatan bahwa ada beberapa ikan Chaetodon unimaculatus dan Odunus niger hidup berkoloni besar mencari makan zoo-plankton. Suatu kelebihan Gosong Tordela, kondisi wall-nya masih bagus. Tebing-tebing karang ini kemudian mengundang ikan hidup di sana: banyak ikan kakap dan kerapu. Ikan konsumsi ini berpeluang ekspor.
PERAIRAN NAN INDAH
S
ebuah perairan dikatakan cocok bagi kegiatan snorkeling biasanya hanya dibatasi pada kedalaman 10-20 meter atau diperairan dangkal. Kurang dari 5 meter, atau sebaliknya lebih dari 25 meter kedalaman tidak disarankan untuk wisata selam dan snorkeling, karena sudah termasuk kategori laut dalam, dengan biota laut yang tak seindah di perairan dangkal.
wisata selam dan snorkeling. Hanya saja yang harus diwaspadai saat menyelam di sini adalah kecepatan arus. Perairan Gosong Tordela tergolong arus yang cukup menantang. Haruslah penyelam tingkat mahir yang bisa menyelam di sana. Sebaiknya penyelam harus memperhatikan keselamatan dan keamanan dalam menyelam. Wisata bahari berupa senam atau snorkeling, amat bergantung pada kualitas air, diantaranya kecerahan perairannya. Makin cerah, makin indah tampak taman lautnya. Sebagai informasi, kategori cocok diselami, sebuah perairan harus memiliki nilai kecerahan di atas 75%. Di bawah nilai ini, dalam nilai 25%-75% dianggap toleransi. Tingkat kecerahan di bawah 25%, dianggap buruk, tidak sesuai sebagai tujuan wisata bahari. Gosong Tordela dapat dikatakan memiliki kendahan yang istimewa. Pantas untuk disandingkan dengan Wakatobi dan Bunaken, dua tujuan wisata selam dan snorkeling di Sulawesi Utara yang terkenal. Bahkan Gosong Tordela lebih indah.*
Bila diteliti, kedalaman laut Gosong Tordela berada antara 5-25 meter. Topografi reef flat sedalam 5 meter kemudian pinggiran karang langsung masuk (drop off) ke laut, atau pinggiran lautnya berupa wall. Dengan kedalaman reef flat dan kondisi wall serta ikan yang begitu indah, Gosong Tordela dapat direkomendasikaan untuk
60
KARANG TAKABALANTANG, KARANG BOLEWANG, KARANG BOBUBU, dan P. Samaringa Potensi di Pulau-pulau Gosong
71
BAB 8
KARANG TAKABALANTANG, KARANG BOLEWANG, KARANG BOBUBU, dan P. Samaringa Potensi di Pulau-pulau gosong
K
etiga pulau karang atau gosong ini berada di perairan depan Pulau Padea Besar, dengan letak berdekatan. Jika berangkat dari P. Menui, perjalanan ditempuh selama 45 menit mengunakan kapal motor kayu, kecepatan 27 knot/jam. Tutupan soft coral dan karang bercabang (CB) di Karang Takabalantang di reef flat kedalaman 4 meter.
KARANG TAKABALANTANG T
im survei mendarat pertama di Karang Takabalantang. Gosong yang berada di bawah permukaan laut ini keadaan topografinya, berupa reef flat (dataran karang) berpasir dengan banyak ditumbuhi dan ditutupi rerumputan lamun, yang ke arah pinggir (tubir) gosong terdapat terumbu karang pada kedalaman 4 meter. Bagaimana jenis dan kondisi terumbu karangnya? Spot penelitian di koordinat S 03023’36” dan E 122038’51”. Tutupan karang di sini didominasi oleh soft coral jenis Sarcophyton sp. dan beberapa karang Acropora bercabang (ACB) dan karang berbentuk meja (ACT). Jenis lainnya non acropora (CB jenis Poritesnigrescen, Pocillopora domicornis, Seriatopora hystrik, dan CHL jenis Hellopora sp. Dari pengamatan, tampak pertumbuhan karang dan soft coral saling bersaing, berebut tempat untuk mengisi relung ekologi terumbu karang. Persaingan hidup antara soft coral dan kedua jenis karang lainnya, terjadi sebagaimana halnya suatu persaingan dalam kehidupan nyata. Pada kondisi persaingan ini, soft coral mempunyai kemampuan yang lebih dari pada terumbu karang (Cornish dan DiDonato, 2003). Soft coral jenis Sarcophyton sp, meski
laju pertumbuhan cukup lambat, memiliki tingkat kematian yang rendah serta dapat tumbuh stabil dalam waktu lama. Dari data yang didapat dari RRI -- (Rapid Reef Resource Inventory) adalah metode untuk menginventarisasi terumbu karang secara cepat - diketahui kondisi terumbu karang di Karang Takabalantang ini sudah banyak yang rusak. Banyak ditemui karang yang sudah patah-patah berikut patahannya (rubble). Kondisi kerusakan serupa juga di gosong Karang Bolewang. Maka ikan–ikan di kedua gosong ini jenisnya tak banyak. Jenis ikannya didominasi oleh ikan mayor/hias seperti Ambliglyphidodon caulerpa, Abudefduf vaigiensis, Chromis margaritifer, Pseudonthias spp, Acanthurus sp., Ambliglyphiodon aureus, Pomacentrus moluccensis, dan Odonus Niger.
Rumah nelayan berdiri di atas pasir di Karang Takabalantang
64
65
Kerusakan terumbu karang ditemukan di Karang Bolewang.
66
Ikan Chaetodon unimaculatus mendominasi perairan Karang Takabalantang.
76
KARANG BOBUBU G
osong berikutnya, Karang Bobubu, berada pada posisi S 03029’24” dan E 122059’48”.
Topografi karang ini berbentuk perairan pantai dengan reef flat dari kedalaman 1 m - 5 m dengan ujung gosong (tubir) membentuk kemiringan (reef slope) sekitar 600. Tutupan karang di Karang Bobubu menurut data LIT menunjukkan kategori sangat baik yaitu 79,21%. Pengambilan data dilakukan pada reef flat sejauh 5 meter hampir dekat daerah pinggiran (tubir) karang. Tutupan karang yang sangat baik itu didominasi oleh terumbu karang jenis keras (acropora). Prosentasi tutupan Acropora mencapai 15,65% menurut data RRI. Yakni, jenis karang bercabang (ACB) yaitu Acropora nasuta, Acropora granulose, Acropora nobilis, dan lainnya. Tidak bercabang (Non ACB) jenis Seriatopora hystrik, Pocillopora damicornis, Montipora digitata, Porites nigrescen, dan lainnya. Kemudian dari jenis Coral foliosa (CF) seperti Montipora foliosa, Pavona cactus). Ada jenis Coral massive (CM) seperti Porites lobata, Coeloseries mayeri, Psammocora sp., Goniopora lobata, Favia sp., dan lainnya. Kedalaman perairan Karang Bobubu mencapai 2-5 meter. Itulah sebabnya perairan di sini bukanlah perairan yang cocok
diselami. Lagipula di kedalaman 15 meter banyak ditemukan bongkahan karang dan patahan karang (rubble), pertanda terjadi kerusakan. Sesuai keadaan terumbu karangnya yang masih tergolong baik, maka jenis ikan karangnya pun cukup banyak. Variasi jenisnya pun hampir sama di sepanjang garis pantai di P. Menui Kepulauan. Didominasi jenis ikan seperti Acanthurus sp, Ambliglyphidodon caulerpa, Abudefduf vaigiensis, Chromis margaritifer, Pseudanthia spp, Ambliglyphidodon aureus, Pomacentrus moluccensis, Odomun niger.
Kondisi terumbu karang dan ikan karang di Karang Bobubu.
Soft coral
68
69
Kerusakan terumbu karang pada kedalaman 15 m di Karang Bobubu.
70
Tutupan karang hidup di Karang Bobubu didominasi jenis karang Porites nigrescen dan SC (soft coral).
80
PULAU SAMARINGA
daerah sekitar reef wall-nya sedikit lebih bagus dan lebih terjaga. Sebabnya adalah kedalaman lokasinya melindunginya dari efek pengeboman.
ulau Samaringa ada di perairan lepas dari Pulau Menui, tak jauh dari daratan Sulawesi Tengah.
P
Hasil dari terlindungnya karang yang berlokasi di daerah reef flat membuat perairan di Pulau Samaringa ini kaya akan ikan hias.
Spot pengukuran terumbu karang dilakukan pada S 03022’58” dan E 122048’43”, persisnya di muka depan menara mercu suar.
Keanekaragaman jenisnya dianggap cukup tinggi terutama jenis ikan butterfly (Chaetodon unimaculatus) yang berjumlah ribuan. Jenis lainnya adalah Abudefduf vaigiensis, Chromis margaritifer, Pseudanthias spp, Acanthurus sp, Ambliglyphiodon aureus, Pomacentrius moluccensis, Odomus niger, dan lainnya yang dapat dilihat di lembar lampiran.
Pulau ini memiliki rataan karang seluas 200 meter dari pinggir pantai. Di daerah rataan karang ini, sayangnya kondisi terumbu karang kurang baik akibat pengeboman oleh nelayan guna mencari ikan dengan cara cepat meski merusak lingkungan. Melalui pengamatan RRI, tutupan karang hidup termasuk kategori sedang. Jenis tutupan karangnya didominasi oleh jenis Soft Coral Sarcophyton sp. sp., Dendronephytya, Cladiella sp., Subergorgia mollis, Melithaea sp., dan Isis hippuris. Jenis terumbu karang lainnya adalah jenis Acropora bercabang (ACB), karang meja (ACT), dan Non Acropora. Untuk jenis non acropora yaitu Seriatopora hystrik, Montipora digitata (CB), Porites sp., Goniasterea sp. (CM). Berbicara masalah topografi, Pulau Samaringa memiliki daerah reef flat dengan kedalaman 1-5 meter. Di pinggirannya terdapat tubir yang berbentuk reef wall dengan kemiringan 900. Kondisi karang di
Keanekaragaman terumbu karang saling berasosiasi dengan ikan karang Chaetodon unimaculatus bergerombol besar.
72
73
Ikan karang di P. Samaringa
74
Kerusakan terumbu karang di Karang Pengajarang.
84
KARANG PENGAJARANG Menanti Perhatian dan Perlindungan
85
BAB 9 Kondisi tutupan karang dan jenis soft coral di Karang Pengajarang.
KARANG PENGAJARANG
Menanti Perhatian dan Perlindungan
D
ekat dengan Pulau Samaringa kita akan menemukan Karang Pengajarang. Di peta, gosong ini terletak pada koordinat S 03021’22” dan E 122046’55”.
Lokasi yang rusak, antara lain diamati pada reef flat dan di tubir yang berbentuk slope atau pinggiran reef pada kedalaman 12 meter.
Untuk mengetahui kondisi terumbu karang di gosong ini, dilakukan metode RRI, kemudian dipertegas dengan metode LIT.
Selain dari RRI, hasil juga didapat dari LIT. Metode LIT dilakukan di kedalaman 3-5 meter pada topografi reef flat. Data LIT menunjukkan angka 40,93%, yang berarti kriteria karang di Karang Pengajaran tergolong rusak. Ini disebabkan aksi pengeboman ikan orang-orang yang tak peduli kelestarian bahari di pesisir Morowali.
Hasil pengamatan, dengan metode RRI didapati kondisi karang sebagian rusak. Kerusakan ini diakibatkan oleh pengeboman untuk menangkap ikan. Ditemukan bongkahan karang dan patahan karang (rubble).
77
Panjang garis transek di Karang Pengajarang di kedalaman 4 m.
Jenis karang Acropora bercabang (ACB) dan Acropora tubulate (ACT).
Dari data LIT juga didapat bahwa tutupan karang didominasi oleh jenis Soft Coral yaitu Sinularia sp., non acropora seperti CM yaitu Porites sp. dan Goniastrea sp., CB jenis Montipora sp., Porites sp., dan Seriatophora sp., Acropora bercabang (ACB), serta acropora tubulet/karang meja (ACT). Untuk jenis ikan karangnya didominasi oleh Acanthurus lineatus, Achanthurus spp., Centropyge eibli, Cheilinus undulatus, Chromis margaritifer, Odonus niger, Ctenochaetus strigatus, Parupeneus bifasciatus, Pomacentrus molucensis, Psudantias sp, Pygoplites diachantus, Scolopesis bilineatus, Siganus virgatus, Zebrasoma scopa. (lihat Lampiran).*
78
Kondisi perairan di Gosong Masadian di kedalaman 2-4 meter
GOSONG MASADIAN Selamatkan Terumbu Karang Sekarang
89
BAB 10
GOSONG
MASADIAN
Selamatkan Terumbu Karang Sekarang
S
eperti yang sudah dijelaskan di awal, gosong dipakai untuk menyebut daratan yang pada pasang surut terendah masih berada di bawah air. Begitu juga dengan Gosong Masadian. Pada pasang surut terendah, letak gosong ini berada 1-5 meter di bawah air. Untuk mengetahui kondisi terumbu karang, digunakan metode RRI. Dari hasil pengamatan keliling diketahui bahwa kondisi karang tergolong rusak. Banyak ditemukan patahan karang/rubble.
81
Pengamatan lebih jauh, dengan metode LIT, dilakukan pada lokasi S 030 23’36” E 122038’51”. Dari hasil LIT, didapat bahwa tutupan karang hidupnya meningkat, yaitu tergolong cukup tinggi pada angka 54,8% (Soekarno, 1993). Daerah pengamatan dengan roll meter yang dibentang sepanjang 50 meter didominasi other fauna jenis Soft Coral yaitu Sarcophyton crassocaule. Dan untuk kelompok non acroporanya dari jenis Montipora digitata (CB) dan beberapa sponge.
Tutupan soft coral jenis Sacrophyton crassocaule
Kerusakanterumbu karang di kedalaman 2-5 meter dengan patahan karang.
Aneka jenis ikan yang ada di Gosong Masadian
Beginilah kondisi karang hidup yang rusak akibat pengeboman ikan. Tampak banyak ditemukan bongkahan dan patahan karang. Untuk jenis ikan karang di Gosong Masadian ini jenisnya tidak sebanyak Pulau Menui atau Pulau Samaringa. Walaupun tutupan karangnya masih tergolong baik, namun terumbu karangnya sudah rusak, maka ini mempengaruhi kondisi jumlah dan jenis ikan karang di sana. Jenis ikan karang yang ditemukan hanya dari kelompok Thalasoma lunare, Pomacentrus molucensis, Ambliglyphiododon curacao, Paraglyphiododon melas, Amphiprion ocellaris, Chrysiptera cyanea, Ctenochaetus strigatus, dan Cetosaurus sordidus.* Tutupan soft coral di bawah garis transek
82
Karamba apung di P. Tengah
PULAU TIGA, PULAU TENGAH, dan PULAU DUA Karangnya sudah Hancur
93
BAB 11
PULAU
TIGA,
Nelayan di Pulau Tiga
85
PULAU TENGAH,
dan PULAU DUA Karangnya sudah Hancur
P
ulau Tiga dan Pulau Tengah masuk wilayah administrasi Kecamatan Menui Kepulauan.
Sementara Pulau Dua letaknya dekat P. Masadian, masuk dalam administrasi Kecamatan Bungku Selatan. Ketiga pulau ini berdekatan satu sama lain. Jarak P. Tiga ke P. Tengah ditempuh sekitar 30 menit. Begitu pula dari P. Tengah ke P. Dua, sekitar 30 menit. Pulau-pulau ini dihuni oleh masyarakat nelayan. Ketiganya pun memiliki kemiripan, yaitu topografi perairan dengan rataan karang (reef flat) dari pantai sampai tubir sekitar 100 meter. Kemudian dengan reef slope dengan kedalaman 5 meter dan berpasir. Melalui pengamatan RRI, tutupan karang di tiga pulau ini rata-rata hampir semuanya rusak. Kerusakan yang terjadi diakibatkan karena pengeboman dan pengambilan karang. Yang diambil itu kebanyakan jenis karang bercabang dan beberapa karang yang hidup soliter seperti Tubastrea, Acropora bercabang warna hijau (Karang hijau), dan karang donat. Pengambilan karang untuk dijual sampai sekarang masih dilakukan. Penjualan dilakukan oleh masyarakat lokal, dijual ke kapal-kapal yang datang untuk bertransaksi dilakukan di lokasi pengambilan karang. Menyedihkan, memang. Di ketiga pulau ini keadaan karang hampir sama, yaitu rata-rata hancur. Hanya di titik-titik tertentu, kondisi karang masih terselamatkan. Misal, di area perairan depan kampung nelayan, yang masih terlihat bagus. Luasan yang masih bagus itu pun tidak seberapa, tak lebih dari sepanjang 20 meter. Kemudian ditemukan patahan karang (rubble) dan pasir. *
86
PULAU BUNGITINDEH Ekosistem yang Harus Dipertahankan
97
BAB 12
PULAU
BUNGITINDEH Ekosistem yang Harus Dipertahankan Kondisi perairan di kedalaman 2-4 meter dengan tutupan karang bercabang
98
P
ulau Bungitindeh berada di Kecamatan bungku Selatan, merupakan pulau berpenghuni, meski cuma beberapa keluarga nelayan. Pulau ini berdekatan dengan P. Sainoa. Dari pulau ini cukup dekat ke kota kabupaten di Bungku Selatan, sekitar 50 mil. Topografi perairan berupa rataan karang (reef flat) dengan panjang reef mencapai 500 meter dari pulau. Untuk mendapatkan gambaran kondisi terumbu karangnya, dilakukan pengambilan data pada titik S 0309’6” E 122036’4”, di kedalaman 2-4 meter. Pengamatan dilakukan pada reef yang berbatasan dengan tubir perairan berbentuk slope (kemiringan) pada kedalaman 2 meter. Kondisi karang di sini sudah hancur akibat pengeboman. Keadaan karang hidup yang masih cukup baik, sedikit dapat ditemui pada perairan di depan perkampungan nelayan.
TUTUPAN KARANG MASIH BAIK Meski banyak rusak terkena bom ikan, dari data yang didapat tutupan karang hidup di Pulau Bungitindeh ini termasuk tinggi. Yaitu, 86% (menurut Soekarno 1993). Yang ditemukan, dominan kelompok karang Acropora bercabang ACB (Acropora sp.), Non Acropora ACB (tidak bercabang) seperti Montipora digitata, jenis CM (Porites sp.), jenis CE (Coral Encrusting, seperti Leptoseris scabra, dan CS (Coral Submassive, seperti Porites ischen). Untuk jenis other fauna ditemukan kelompok Soft Coral (Sarcophyton sp.), lainnya jenis SP dan OT seperti kima dan bintang laut.
90
Ikan karang di P. Bungitindeh
JENIS IKAN
K
eanekaragaman jenis ikan karang di P. Bungitindeh tak sebagus di pulau dan gosong ke Kecamatan Menui Kepulauan. Ini lantaran telah terjadi kerusakan terumbu karang hidup yang cukup tinggi.
Walaupun menurut data LIT tutupan karang masih baik, namun terumbu karang hidup yang masih baik itu panjangnya tak melebihi 100 meter. Jadi, ekosistem kehidupan di sana amat terbatas. Jenis ikan karang yang ditemukan antara lain Acanthurus spp, Amblyglyphidodon curacao, Bodianus diana, Chromis viridis, Diploprion bifasciatum, Paraglyphidodon melas, Pomacentrus molucensis, Scolopsis bilineatus, Thalasoma hardwickii, dan Zanclus cornotus. (selebihnya dalam Lampiran).
91
Kondisi perairan di kedalaman 2-4 meter dengan tutupan karang bercabang
Kondisi karang rusak akibat bom dan patahan.
101
Terumbu karang di P. Umbele ditutupi jenis karang bercabang (CB) dan karang massif (CM)
102
PULAU UMBELE
Kelestarian yang Perlu Diperjuangkan
103
BAB 13
PULAU UMBELE Kelestarian yang Perlu Diperjuangkan
95
Ikan karang jenis ikan mayor
P
ulau Umbele termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Bungku Selatan.
Topografi perairannya merupakan reef flat seluas sekitar 200 meter dari garis pantai dengan tubir slope pada kedalaman 5 meter. Pengukuran kualitas terumbu karang dilakukan dengan metode RRI dan LIT. Lokasinya di S 0303’52”- E 122032’15”. Dari pengamatan RRI diketahui, kondisi terumbu karang mengalami kerusakan akibat penangkapan ikan menggunakan bom. Namun dari hasil LIT didapat, pada beberapa spot masih ada beberapa karang yang bagus. Persentase tutupan karang hidup menunjukkan angka 52,1%, yang berarti tergolong kriteria baik (menurut Soekarno, 1993). Terumbu karang yang masih baik ditemukan di sekitar depan perkampungan nelayan. Inilah bukti bahwa keberadaan manusia secara tidak langsung turut melestarikan potensi bahari alam. Secara tidak langsung mereka turut memelihara dan melestarikan terumbu karang yang ada di sekitarnya. Tutupan karang hidup yang ditemukan berasal dari jenis Acropora sebanyak 3,5% seperti jenis Acropora palifera. Kemudian jenis non Acropora 33,5% seperti Acropora bercabang (ACB) jenis Montitara digitata, CM jenis Poprites lutea dan Astreopora sp. Kemudian other faunanya 15,1%, dengan Soft coral 12,5% (lihat Lampiran Tabel 1). Jenis ikan karang di Pulau Umbele tidak terlalu banyak. Didominasi oleh ikan mayor atau ikan hias jenis Amblyglyphidodon curacao, Neopomacentrus sp., Chromis elerai, Chromis caudalis, Pomacentrus, Halichoeres sp., Myripristis sp., Abudefduf septemfasciatus.*
96
Suasana perkampungan nelayan di P. Sainoa
PULAU SAINOA Nelayan dan Lestarinya Terumbu Karang
107
BAB 14
PULAU SAINOA Nelayan dan Lestarinya Terumbu Karang
P
ulau Sainoa terletak dekat dengan Pulau Umbele. Termasuk dalam administrasi Kecamatan Bungku Selatan. Di pulau ini juga terdapat kampung nelayan. Perjalanan dari Pulau Umbele bisa ditempuh menggunakan kapal reguler. Sepanjang perjalanan
99
dari Umbel ke P. Saino, kita dapat melihat kerusakan terumbu karang di dasar perairan akibat pengeboman. Kualitas air di perairan Morowali memang amat jernih, dengan tingkat kecerahan 10-15 meter Namun untuk tingkat kecerahan, pulau ini tergolong bagus. Perairannya terlihat cerah hingga kedalaman 10-15 meter masih tampak jelas apa yang berada di bawah air. Dari lokasi pengamatan yang terletak pada S 0307’21� E 122033’2�, tutupan karang hidup di Pulau Sainoa tergolong cukup tinggi, yaitu prosentase angka LIT sebesar 86%, artinya kriteria sangat baik (Soekarno, 1993). Variasi karang berasal dari kelompok Acropora 2% yaitu jenis
karang bercabang ACB (Acropora sp.), karang meja (ACT, Acropora tubulate). Sisanya didominasi oleh non acropora sekitar 71% yaitu pada jenis Montipora digitata, kelompok CD(Coral Digitate) dengan jenis Pocillopora sp, dan kelompok CM (Coral Massive) jenis Porites lutea dan Goniastrea sp.. Sementara kelompok other fauna umumnya ditemukan terumbu karang jenis Soft Coral. Jenis keragaman ikan di Pulau Sainoa tidak tergolong banyak. Tidak sebanyak keragaman di Pulau Padea, Menui, dan beberapa gosong atau karang lain. Jenis ikan yang ditemukan antara lain Chromis viridis, Chromis ternatensis, Pomacentrus molucesis, Pterois antennata, dan lainnya. (Lebih lengkapnya lihat lampiran). Kondisi terumbu karang digaris transek dengan jenis karang acropora meja (ACT) dan CM
109
101
Keindahan pada karang hidup di garis transek di jumpai karang jenis ACB, CB, CM, dan SC
102
Kondisi terumbu karang yang rusak di Tanjung Talowa
TANJUNG TALOWA dan PULAU KADALUPE
Makin ke Darat Makin Terusik
113
BAB 15
TANJUNG TALOWA dan PULAU KADALUPE Makin ke Darat Makin Terusik
U
sai pengamatan di Pulau Sainoa, tim survei menuju ke Tanjung Talowa untuk menginap. Dari sini, tim berganti kapal, untuk keesokan harinya menuju Pulau Kadalupe. Perairan di Tanjung Talafa ini merupakan daerah mangrove dengan dasar pantai berpasir lumpur.
105
Tanjung Talowa dan P. Kadalupe, merupakan daerah pesisir atau pantai daratan kabupaten Morowali. Pulau Kadalupe merupakan wilayah administratif Kecamatan Bungku Selatan. Kota kecamatan terdekat adalah Bungku Selatan, yang berada di daratan Kabupaten Morowali. Titik pengamatan terumbu karang di perairan pulau Kadalupe ini berada di lokasi S 02053’14”-E 122013’37”, pada kedalaman 4 meter. Lokasi pengamatan ini masuk daerah teluk Tanjung Talafa yang berada di titik S 020048’53”- E 122011’14”. Desa terdekat dengan spot ini adalah Kampung Bete-bete.
Ikan karang didominasi jenis Odunu sniger
Melalui pengamatan RRI di spot P. Kadalupe, ditemukan beberapa titik keadaan terumbu karangnya mengalami kerusakan akibat terkena bom ikan. Patahan karang (rubble) banyak ditemukan di situ . Jenis lainnya adalah Soft Coral jenis Sarcophyton sp. Meski banyak rusak, tim survei juga menemukan ada kelompok terumbu karang jenis CB yang merupakan karang baru, teramati memiliki panjang 10-20 cm dengan usia sekitar 2-3 tahun.
ini kapal kedua yang digunakan tim survei
Lantaran karang rusak, keanekaragaman biota laut di Pulau Kadalupe maupun perairan Tanjung Talowa tak terlalu besar jenisnya (lebih jauh lihat Lampiran).
115
Kondisi karang yang rusak, yang kemudian tumbuh baru, lokasi di Tanjung Kurisa
TANJUNG KURISA TAMBANG, P. LANGALA, dan TANJUNG SAKITA Rusak Terumbu Akibat Pengeboman
117
BAB 16
TANJUNG
KURISA TAMBANG,
P. LANGALA, dan TANJUNG SAKITA Rusak Terumbu Akibat Pengeboman
S
elain Tanjung Talowa, tim survei juga menyambangi Tanjung Kurisa Tambang dan Tanjung Sakita, yang merupakan bagian tanjung (menjorok ke laut) dari daratan pesisir Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Survei juga dilakukan pada terumbu karang di Pulau Langala, tak jauh dari kedua tanjung itu. Ketiga lokasi ini sebagai daerah penghasil bahan tambang nikel, karenanya intensitas penggalian bahan tambang cukup tinggi di wilayah ini.
Lokasi pengambilan data untuk melihat kualitas karang dilakukan di titik S 02047’59”-E 12209’25”. Hasilnya adalah terumbu karang terlihat banyak rusak akibat bom. Padahal titik pengambilan gambar dilakukan pada daerah yang dianggap terumbu karangnya masih baik dan cukup panjang, yaitu sekitar 50-100 meter. Hasil dari pengamatan RRI mengkategorikan tutupan karang dalam kondisi sedang. Didominasi oleh jenis non Acropora bercabang CB yaitu Montipora digitata. Untuk other fauna jenis Soft Coral, sponge dan Kima atau kerang raksasa (Tridacna sp). Kerusakan terumbu karang tentu berpengaruh pada jejaring ekosistem ikan yang ada. Jenis yang diketahui tidak terlalu banyak antara lain Acanthurus leucocheilus, Ctenochaetus strigotus, dan Acanthurus lineatus.
110
Kondisi ikan karang di Tanjung Bungku 1
TANJUNG BUNGKU 1 dan TANJUNG BUNGKU 2 Andai Terumbu Tetap Hidup
121
BAB 17
TANJUNG BUNGKU 1 dan
122
TANJUNG BUNGKU 2 Andai Terumbu Tetap Hidup T
anjung Bungku 1 merupakan tanjung yang berada di dekat Kota Bungku, kota Kabupaten Morowali, tak jauh dari pantai. Terletak pada posisi S 02039’35” dan E 12202’22”.
Berlayar di pesisir Morowali, sepanjang perjalanan kita akan menemui kondisi terumbu karang hampir sama semua, rusak terkena pengeboman. Kondisi berbeda di Tanjung Bungku, saat memasuki wilayah kota Bungku, ditemukan terumbu karang yang masih bagus dalam area yang cukup panjang, sekitar 100 meter. Andai kondisi ini bisa dipertahankan, dan berkembang lebih luas, alangkah baiknya. Pengamatan kualitas terumbu karang dengan metode RRI, menyimpulkan kondisi terumbu karang di spot ini tergolong sedang. Dominan jenis Non Acropora seperti CB (Montipora digitata, seriatopora hystrik, dan Pocillopora sp.), juga ada jenis CM (Porites sp.). Other fauna yang ditemukan berjenis Soft Coral yaitu Sarcophyton sp. Ikan di Tanjung Bungku 1 terbatas jenisnya, kurang bervariasi. Beberapa jenis yang ditemukan antara lain Chaetodon vagabundus, Dascylus trimaculatus, Labroides dimidiatus, Pygoplites diacanthus, Chromis margaririfer, Peudanthias dispar, dan lainnya.
Kondisi terumbu karang dengan jenis CB
114
TANJUNG BUNGKU 2
B
entangan terumbu karang di pesisir kota-kota Kabupaten Morowali, kondisinya memang perlu perhatian serius.
Demikian pula halnya dengan Tanjung Bungku 2, yang terletak di Bungku, tak jauh dari kota Kabupaten Morowali. Spot pengamatan di Tanjung Bungku 2 diambil pada S 02039’33” dan E 12202’22”. Hasil RRI, didapatkan persentase tutupan yang rendah.
115
Kondisi terumbu karang di Tanjung Bungku 2, rusak
Secara keseluruhan, kondisi Tanjung Bungku 2 tak jauh berbeda dengan Tanjung Bungku 1. Baik dalam kualitas karang maupun jenis ikan. Kualitas karang yang rendah itu didominasi oleh karang hidup jenis Non Acropora CB (Montipora digitata, dan Seriatopora sp.). Untuk other founa, ditemukan jenis Soft Coral. Sementara untuk jenis ikannya juga ditemukan tidak terlalu bervariasi. Beberapa diantaranya adalah Pomacentrus molucensis, Odonus niger, Zanclus cornotus, dan lainnya.
116
Kondisi ikan karang jenis Odonus niger dan Zanclus Cornatus
126
127
Ikhtisar Survei KONDISI TERUMBU KARANG dan IKAN KARANG di KABUPATEN MOROWALI
129
BAB 18
Ikhtisar Survei
KONDISI TERUMBU KARANG dan IKAN KARANG di KABUPATEN MOROWALI TERUMBU KARANG
P
engamatan terumbu karang di ketiga kecamatan di pesisir wilayah Kabupaten Morowali, baik berupa pulau maupun gosong/pulau karang, menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang sangat baik dan baik yaitu ada di P. Menui, P. Padea Besar (Bs), P.Padea Kecil (Kc), Gosong Tordela, Gosong Bolewang, Gosong Bobubu, Gosong Takabalantang, P. Samaringa, Gosong Pengajaran, P. Bungitindeh dan P. Sainoa.
Tabel 1. Tutupan Karang Hidup Hasil LIT di Kab. Morowali 2010
121
Pada Tabel 1, dapat dijelaskan tutupan karang hidup didominasi:
Acropora ACB: Acropora nasuta, Acropora tenuis, Acropora nobilis.
Other fauna: a. Soft Coral (seperti
Sarcophyton sp.sp., Dendronephytya, Cladiella sp., Subergorgia mollis, Melithaea sp., Isis hippuris)
Non Acropora: a. CB (jenis Montipora
b.Sponge jenis Haliclona
b. CM (jenis Porites lobata, Porites lutea, Goniopora sp., Favia speciosa, Oulophyllia sp., Goniastrea sp.),
c. Ascidian seperti
digitata, Porites nigrescens, Pocillopora damicornis, Seriatopora hystrix, Stylophora pastillata)
amboinensi, Callyspongia sp., Phylospongia foliascens, Petrosia sp., Xestospongia sp, Acanthella cavernosa, Cinachyra sp., Thalysia vulpine, Phakelia aruensi, Agelas sp.).
Rhopalaea sp,, Didemnum molle, Didemnum gutatum.
c. CE (jenis Montipora danae, Montipora verrucosa, Porites sp.)
d. CMR (jenis Fungia repanda,
d. Marine worm, Polychaeta:
(Spirobranchus gigantens, Sabellidae, Bispira sp. )
Fungia sp, dll)
e. Hydroida :
(Jelatang/Hydroid, Melliopora, Distichopora violacea).
122
Tabel 2. Persentase tutupan Karang Hidup dari Hasil LIT di Kabupaten Morowali, 2010
Presentase ((%) % ) LIT Persenatse LIT 96
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
85
79.21 61.4 58.2 54.8 52.1
an ar aj
Pe G
os
on
g
on os
g
le be Um
ng
M g
P.
ad as
en
ui
ia
n
1
) M G
r sa Be
de Pa
P.
(d
ar
bu bo
ng P.
at
bu
oa in Sa Ka
ra
P.
nd iti
Bu
ng
To
rd
el
a
eh
40.93
P.
G
86
Dilihat Tabel 2 di atas, kondisi terumbu karang dengan persentase tutupan paling tinggi/baik hingga rusak disebut berurutan mulai Gosong Tordela, Karang Bungitindeh, P. Sainoa, Karang Bobubu, P. Padea Besar, P. Menui, Gosong Masadian, P. Umbele, dan Gosong Pangajaran. Untuk kondisi terumbu karang (metode RRI), dijelaskan dalam Tabel 3, yang dikategorikan rusak dan sangat rusak adalah di P. Padea Kecil (Kc), G. Masadian, P. Tengah, P.Tiga, P. Dua, P. Umbele, Tj. Talowa, P. Kandapule, Tj. Talafa, Tanjung Kurisa Tambang, Tanjung Bungku 1 dan Tanjung Bungku 2.
123
Tabel 3. Hasil RRI Pengamatan Terumbu Karang di Kabupaten Morowali, 2010
Melihat temuan data di atas, kondisi terumbu karang dan ikan di Kab. Morowali mengalami penurunan kualitas. Penyebab utamanya, tekanan manusia yang menggunakan bom, racun Potash untuk menangkap ikan, serta pengambilan karang untuk bahan bangunan. Pada saat ini, fenomena alam akibat efek global perubahan suhu, terjadi pemutihan karang atau bleaching di beberapa daerah seperti di perairan Aceh, Tanjung Pinang, P. Seribu, Wakatobi, Kepulauan Banggai dan Bunaken. Saat tim survei melakukan kegiatan penelitian ini di lapangan, pada tanggal 18 s/d 30 Agustus 2010, efek global berupa perubahan suhu sudah dirasakan di mana kamera underwater mengalami pengembunan dalam waktu 20 menit penyelaman. Namun, dampak pemutihan karang (bleaching) pada terumbu karang di lokasi penelitian pesisir Kabupaten Morowali, saat itu belum ada. Suhu di bawah air pada kedalaman 10 meter sekitar 250C, sedangkan suhu di permukaan agak hangat sekitar 280C.
124
Penganmbilan terumbu karang tanpa kontrol di P. Samaringa
134
Bandingkan dengan peristiwa bleaching tahun 2007 di Bengkulu, ketika itu suhu di kedalaman 10 m mencapai 210C, saat penyelaman 15 menit kamera underwater telah mengalami pengembunan, atau pengembunan lebih cepat terjadi. Saat itu terumbu karang di Bengkulu mulai merata mengalami pemutihan karang. Menurut Soekarno 1983, suhu yang paling baik untuk pertumbuhan terumbu karang berkisar 250-300 Celcius, sedangkan Nybakken (1993) menyatakan bahwa terumbu karang masih dapat mentolerir suhu tahunan maksimum sekitar 360C – 400C dan tahunan minimum 180C. Perubahan suhu dapat mempengaruhi tingkah laku makan terumbu karang. Kebanyakan karang kehilangan kemampuaan untuk menangkap makanan pada suhu di atas 33,50C dan di bawah 160C (Supriharyono, 2000). Kondisi yang kritis atau level ambient akan dapat mempengaruhi pertumbuhan bahkan dapat mengakibatkan kematian terumbu karang.
126
IKAN KARANG
T
ingkat variasi kehadiran ikan karang sangat tergantung kondisi terumbu karang di tiap daerah penelitian. Kondisi keberagaman alamiah pada kondisi terumbu karang di beberapa lokasi penelitian masih bagus, yang berdampak keanekaragaman jenis ikan karang masih tinggi. Kondisi terumbu karang mempunyai kapasitas yang besar terhadap relung ekologi dan bentuk interaksi komunitas ikan (PSSDAL, 2008). Hasil pengamatan RRI di perairan Kec. Menui Kepulauan memperlihatkan keanekaragaman jenis yang tinggi pada Gosong Toredela, P. Menui, P. Samaringa, P. Padea Besar (Bs), P. Padea Kecil (Kc), Karang Bobubu, Karang Takabalantang, dan Karang Pengajarang, sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran. Untuk kondisi ikan karang sedikit jenisnya tampak di P. Bungitindeh, P.Umbele, P. Sainoa, P. Masadian, P. Tengah, P.Tiga, P. Dua, Tanjung Talowa, P. Kandalupe, Tj. Talafa, P. Langala, Tj. Kurisa, Tj. Sakita, Tj. Bungku 1, dan Tj Bungku 2.
127
Kondisi ikan karang sangat dipengaruhi kondisi terumbu karang disekelilingnya. Terumbu karang yang di mulai dari P. Menui, P. Padea Besar (Bs), P. Padea Kecil (Kc), Gosong Tordela, Karang Bobubu, P. Samaringa, G. Pengajaran termasuk masih baik dan sedang. Kerusakan yang terjadi di sekelilingnya masih rendah sehingga ikan karang masih banyak dilihat keanekargaman jenisnya. Adapun untuk terumbu karang yang sekelilingnya sudah rusak akibat bom dan tutupan karang rendah kondisi ikan karang keanekaragamanya rendah seperti Gosong Masadian, P. Tengah, P. Satu, P. Dua, P. Bungitindeh, P. Umbele, dan P. Sainoa. Untuk perairan daratan Sulawesi Tengah mulai dari Tanjung Talowa, Tj. Talofa, Tj. Bungku 1, dan Tj. Bungku 2 dengan kondisi terumbu karang sudah rusak akibat pengeboman ikan –walau di beberapa titik kondisi sedang— diketahui keanekaragaman jenis ikan karang tidak banyak. Menurut Nybakken (1992), terumbu karang memberikan kapasitas daya dukung yang besar untuk flora dan fauna yang hidup dan tumbuh, terutama ikan karang. Relung ekologi dan jejaring makanan telah memberikan pemahaman yang baik tentang ekosisitem terumbu karang. Ini menciptakan keanekaragaman jenis biota ikan. Jika fungsi dalam relung ekologi terganggu, sebagian besar ikan akan pergi menghilang dari tempatnya mencari tempat lain yang lebih menyenangkan.
Di perairan Kabupaten Morowali teramati beragam golongan ikan hias bernilai ekonomis dan bernilai estetika tinggi, seperti jenis Pomachantidea (Chaetodontoplus mesoleucus, Centropyge bicolor, Pomachantus xanthometopon); jenis Chaetodontidae (Chaetodon klenii, Chaetodon spp.), jenis Pomacentridae (Amphiprion clarkii, Dascylus trimaculatus, Neopomacentrus spp., Omacentrus molucensis); dan Zanclidae (Zanclus spp.). Jenis ikan hias karang tersebut memiliki warna, bentuk, corak dan gerakan yang menarik dipandang. Semua sisi relung dan celah terumbu karang dihuni ikan beraneka warna dan bentuk yang menarik ini. Hasil penelitian di beberapa lokasi menunjukkan, kondisi terumbu karang yang baik sampai membuat kondisi ikan karang pun menjadi masih bagus. Sebagai contoh, kehadiran individu dan jenis ikan yang tergolong dalam suku Chaetodontidae, Pomacantidae, Pomacentridae, serta Labridae adalah indikator dari status kelayakan suatu perairan sebagai habitat hidup. Dalam hal ini ikan Kepe-kepe dari suku Chaetodontidae memberikan respon yang signifikan atas perubahan kondisi lingkungan (Edrus & Syam, 1998). Jika jumlah jenis dari suku ikan tersebut banyak yang hilang, ini suatu peringatan untuk segera melakukan konservasi dan pengkayaan habitat.
128
BAB 19
138
POTENSI BAHARI PESISIR KABUPATEN MOROWALI PENGEMBANGAN WISATA dan EKONOMI KELAUTAN 139
BAB 19
Bersandar di P. Menui
POTENSI BAHARI PESISIR KABUPATEN MOROWALI PENGEMBANGAN WISATA dan EKONOMI KELAUTAN
B
erhubungan dengan pengembangan potensi wisata di pesisir Kabupaten Morowali, kondisi perairan sebuah pulau atau gugus kepuauan yang layak menjadi daerah wisata tujuan bahari, mesti mempertimbangkan beberapa hal: kualitas perairan, kecepatan arus, kedalaman, dan kecerahan perairan. Kualitas perairan adalah syarat utama. Semakin cerah atau jernih perairannya, makin indah taman laut yang dapat dinikmati. Nilai kecerahan > 75 %, paling sesuai untuk wisata bahari. Kecerahan 25-75% merupakan daerah toleransi. Adapun jika <25% dapat dianggap tidak sesuai. Gugusan pulau di Kecamatan Menui Kepulauan serta Kecamatan Bungku Selatan, dengan kecerahan perairan yang jernih > 75%, sangat cocok dikembangkan sebagai tujuan wisata bahari. Wilayah ini sampai saat belum terkontaminasi atau terkena limbah dan pencemaran, meski beberapa aliran sungai masuk ke laut namun belum memberi dampak merusak. Tutupan terumbu karang hidup merupakan syarat utama dalam ekowisata bahari, sebagai unsur utama nilai estetika dari sebuah taman laut.
Daerah dengan tutupan karang hidup >75% merupakan lokasi yang paling sesuai untuk wisata bahari. Kalau tutupan karang hidup hanya <25%, dapat dikategorikan tak sesuai arena sudah rusak atau tidak indah lagi. Kondisi tutupan terumbu karang di pulau dan gosong Kec. Menui Kepulauan masih bagus dan sedang. Sebaliknya, pada pulau dan gosong di Kec. Bungku Selatan (Gosong Masadian, Pulau Dua, Pulau Tengah, Pulau Tiga, Gosong Pengajarang, Pulau Umbele, Pulau Sainoa); berikutnya daerah pesisir daratan Sulawesi Tengah yaitu Tanjung Talowa, Pulau Kandalupe, Tanjung Talafa, Tanjung Kurisa, Tanjung Bungku 1 dan Tanjung Bungku 2; perlu rehabilitasi terumbu karang dengan transpalantasi dan pembuatan terumbu buatan (artificial reef). Jenis Terumbu Karang, makin tinggi keanekaragaman jenis terumbu karang, semakin tinggi pula nilai keindahan bawah laut dapat dinikmati wisatawan. Perairan yang memiliki terumbu karang >100 jenis kategorikan ke dalam daerah yang sangat beragam (paling sesuai). Untuk terumbu karang 75-100 jenis dikategorikan ke dalam daerah dengan jenis terumbu karang beragam (sesuai).
132
Masyarakat Menui
Dermaga di P. Menui
Toleransi diberikan perairan yang memiliki jenis terumbu karang <20 spesies dikategorikan ke dalam daerah dengan jenis terumbu karang sedikit (tidak sesuai). Sesungguhnya daerah penelitian yang dilakukan bahwa keanekaragaman jenis masih tinggi dan terumbu karang yang rusak maka keanekaragamannya berkurang dan perlu suatu perlindungan dan pengawasan yang lebih ketat sehingga terumbu karang terjaga dan terlindungi. Jenis ikan karang, keragamannya amat menunjang keindahan alam bawah laut. Ini tak bisa terlepas dari kondisi terumbu karang merupakan faktor utama tempat ikan hidup dan berkembang. Lokasi dengan ikan karang >70 jenis dikategorikan daerah sangat beragam (sangat sesuai). Jika terumbu karang sebanyak 50 - 70 jenis, dikategorikan daerah dengan jenis ikan karang beragam (sesuai). Kategori toleransi sebagai wisata bahari diberikan pada daerah yang mempunyai ikan karang 20-50 jenis. Adapun hanya dengan jenis ikan karang < 20 species, maka tergolong daerah dengan jenis ikan karang sedikit (tidak sesuai).
Kecepatan arus berkaitan dengan keamanan para wisatawan dalam melakukan aktivitas di laut. Syarat ideal untuk berenang, bermain air dan lainnya adalah jika arus lautnya relatif lemah. Kecepatan arus maksimal yang bisa ditolerir seorang penyelam maksimal adalah 1 knot atau setara dengan 0,51 m/ detik. Wisata selam dan snorkeling hanya akan dilakukan pada daerah dengan kecepatan arus di bawah 0,51 m/detik. Kedalaman untuk wisata selam atau snorkeling dibatasi pada 10-20 meter. Jika kedalaman terumbu karang mencapai 25 meter atau lebih, lokasi itu tak boleh disarankan sebagai daerah tujuan wisata, dikategorikan laut dalam. Wisata bahari hanya dianjurkan di daerah perairan yang dangkal. Pertumbuhan biota lautnya sendiri biasanya terbatasi hingga kedalaman 25 meter, sejauh cahaya matahari bisa menembus. Sebaliknya, keberadaan terumbu berkisar 5 meter atau kurang, dianggap belum berpotensi sebagai wisata bahari. Namun demikian, hal ini tetap tergantung oleh kondisi biota bawah laut dan wilayah perairan yang dimaksud.*
134
BAB 1
Petani Bungku menghasilkan biji mete sebagai salah satu hasil unggulan pertanian
144
NERACA SUMBERDAYA ALAM LAUT Kabupaten Morowali
145
BAB 20
NERACA SUMBERDAYA ALAM LAUT Kabupaten Morowali
A. NERACA SUMBER DAYA ALAM LAUT Neraca sumber daya alam adalah â&#x20AC;&#x153;Gambaran mengenai cadangan sumber daya alam dan perubahannya, baik dalam satuan fisik maupun dalam nilai moneter [Penjelasan pasal 42 ayat (1) huruf a. UU 32/2009 ttg PPLH]. Sedangkan yang dimaksud dengan â&#x20AC;&#x153;Neraca Sumberdaya Alam Lautâ&#x20AC;? di sini adalah : 1. Informasi yang menggambarkan cadangan sumberdaya alam yang berada di pesisir dan laut, dihitung dari perbedaan dua waktu tertentu baik sebagai akibat dari kehilangan sumberdaya tersebut maupun akibat dari penggunaannya, sehingga dapat diketahui nilai atau hasil akhir dari sumberdaya tersebut apakah memiliki kecenderungan mengarah penambahan sumberdaya (surplus) atau mengarah menuju pengurangan sumberdaya (defisit) jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya. 2. Kondisi awal sumberdaya alam laut dianggap sebagai aktiva, sedangkan kondisi sumberdaya alam laut pada kurun waktu setelahnya, atau sumberdaya yang telah di eksploitasi disebut sebagai pasiva.
137
3. Neraca sumberdaya alam laut ini disusun dan disajikan dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk numerik (angka) yang menggunakan tabel dan dalam bentuk peta (spasial) sesuai dengan skala yang diinginkan. Dengan demikian selain diketahui berapa besar luas/ volume perubahan potensinya, juga diketahui secara pasti di mana sebaran sumberdaya alam tersebut dan seberapa besar perubahan yang terjadi. Gambar 1 BAGAN ALIR PEMETAAN NERACA SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT
B. NERACA TERUMBU KARANG 1. METODE INVENTARISASI DATA 1.1. Pra-pengolahan Citra a. Koreksi Radiometrik dan Geometrik Pada tahap pra-pengolahan, citra penginderaan jauh terlebih dahulu dikoreksi terhadap kesalahan radiometrik dan geometrik untuk semua citra saluran tunggal. Koreksi radiometrik dapat dilakukan menggunakan metode yang paling sederhana, yaitu penyesuaian histogram. Adapun tekniknya, dengan cara mengurangi nilai digital number (piksel) citra asli tiap-tiap saluran tunggal dengan nilai bias yang ada pada tiap-tiap citra tersebut. Sedangkan untuk melakukan koreksi geometrik digunakan proses rektifikasi citra, dengan transformasi (tipe geocoding) polinomial. Akan tetapi untuk memperoleh ketelitian yang lebih baik, dalam spesifikasi teknis survei dan pemetaan ini digunakan GCP sebanyak minimal 10 buah dengan sebaran yang merata di seluruh liputan citra. Dalam proses rektifikasi citra ini digunakan peta acuan sebagai dasar pengambilan titik-titik GCP, menggunakan peta produk Bakosurtanal yaitu Peta Rupa Bumi Indonesia. Selanjutnya, untuk mengembalikan nilai piksel yang mengalami transformasi, digunakan metode interpolasi nearest neighbour.
b. Komposit Warna Sehubungan dengan tema yang dikerjakan dalam survei dan pemetaan ini, maka terlebih dahulu diketahui karekteristik band atau saluran dalam citra yang digunakan untuk survei dan pemetaan tersebut. Secara umum, band yang digunakan untuk indentifikasi ekosistem terumbu karang (terumbu karang dan lamun) adalah band yang bekerja pada panjang gelombang/spektrum merah, hijau, dan biru, yang tersusun dalam komposit warna RGB warna asli (true colour composite). Karena ketiga band tersebut memiliki tingkat penetrasi ke dalam air jernih yang cukup bagus, tetapi memiliki gangguan atmosferik yang cukup besar.
c. Penajaman Citra Teknik penajaman citra sangat perlu dilakukan untuk mempermudah pengambilan training area dalam identifikasi terumbu karang. Teknik yang dilakukan adalah perentangan linier, karena perentangan linear baik untuk mempertajam kenampakan obyek tertentu yang terwakili dalam histogram. Yaitu, dengan melihat distribusi nilai piksel citra asli terlebih dahulu (nilai minimum dan maksimum), kemudian nilai minimum tersebut ditarik ke titik menjadi bernilai nol, dan nilai maksimum ditarik ke titik manjadi bernilai 255. Citra yang digunakan memiliki resolusi radiometrik sebesar 8 bit (0 â&#x20AC;&#x201C; 255). Perentangan linear dapat pula dilakukan secara otomatis dengan memasukkan nilai persentase perentangan (biasanya berkisar antara 1 â&#x20AC;&#x201C; 3 %) pada histogram
138
masing-masing citra asli. Teknik perentangan dilakukan masingmasing terhadap band merah, hijau, dan biru dalam komposisi warna RGB.
1.2. Pengolahan Citra a. Pemilihan Training Area Pada dasarnya, pengolahan citra untuk identifikasi ekosistem terumbu karang adalah menggunakan metode berbasis komputer, akan tetapi masih membutuhkan bimbingan dari interpreter, dalam bentuk pemilihan training area sebanyak 30 region. Dalam melakukan pemilihan training area ini, citra yang digunakan adalah citra true colour composite menggunakan band merah, hijau, dan biru yang telah dipertajam dengan perentangan linier. Penentuan seluruh region tersebut dilakukan pada obyek atau area pada citra yang secara visual dapat diduga atau diidentifikasi sebagai bagian dari ekosistem terumbu karang (terumbu karang, lamun, dan pasir). Dalam hal ini, interpreter selain memiliki dasar pengetahuan interpretasi citra, juga perlu memahami karakteristik terumbu karang, terutama tentang sebarannya.
139
perangkat lunak Microsoft Excel. Metode ini dikembangkan oleh Siregar (1995) yang didasarkan pada persamaan Lyzenga (1978) yaitu â&#x20AC;?Exponential Attenuation Modelâ&#x20AC;?. Formula untuk melakukan transformasi Lyzenga ditampilkan berikut ini. Y = (ln Band1) + (ki/kj*ln Band2), di mana ki/kj = koefisien attenuasi
c. Slicing Area pada Histogram Penajaman obyek menggunakan transformasi Lyzenga tersebut di atas dapat dilakukan berdasarkan lembah pada histogram (density slice). Jadi, dari histogram yang dihasilkan, akan dapat dilihat bukit-bukit pada histogram yang dapat diasumsikan sebagai obyekobyek yang berbeda yang memiliki julat/range nilai piksel yang berbeda-beda. Banyaknya julat atau bukit yang teridentifikasi merupakan jumlah kelas obyek bagian ekosistem terumbu karang, dalam hal ini kelas terumbu karang dikelompokkan menjadi 3 yaitu karang, lamun dan pasir. Sebagai dasar pemilahan obyek, pilih lokasi pada citra yang memiliki keragaman anggota/bagian ekosistem terumbu karang yang cukup variatif.
b. Transformasi Lyzenga
d. Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang
Transformasi Lyzenga mampu memberikan efek penajaman pada obyek perairan dangkal dengan kondisi air cukup jernih. Dari hasil pengambilan training area, dicari ragam (varian) dan peragam (covarian) dari band biru dan band hijau. Perhitungan statistik ini dapat dibantu dengan menggunakan
Klasifikasi ekosistem terumbu karang dimaksudkan untuk mendapatkan kelas bagian terumbu karang agar lebih mudah diubah ke format vektor. Klasifikasi yang digunakan adalah Klasifikasi tak terselia (unsupervised classification) dengan jumlah kelas disesuaikan dengan jumlah
Suasana di Bungku
140
pemilahan kelas obyek pada saat slicing tersebut di atas. Klasifikasi anggota/bagian ekosistem terumbu karang lebih didasarkan pada aspek keruangan dari karakteristik tempat tumbuh terumbu karang tersebut. Selain itu penentuan kelas juga dilihat berdasarkan rona pada citra kombinasi warna (RGB) warna asli dan sebaran sedimen. Secara skematis tahapan pekerjaan inventarisasi data dari citra satelit ini disajikan pada Gambar 4.3. Gambar 2. Bagan alir inventarisasi data dari citra Citra Landsat
Citra ALOS
Pra Pengolahan Citra: - Koreksi Radiometrik & Geometrik - Komposit Warna
Pengolahan Citra: - Training Area - Transformasi Lyzenga - Slicing Area
Konversi ke Format Vektor
Peta Aktiva Ekosistem Terumbu
2. METODE PENYUSUNAN NERACA 2.1. Analisis Sistem Informasi Geografis Peta ekosistem terumbu karang dari hasil interpretasi citra satelit yang terdiri dari peta aktiva dan peta pasiva pada dasarnya masih dalam bentuk format raster. Peta tersebut harus diubah (di-eksport) ke dalam format vektor, yang bisa dilakukan secara langsung dalam software ER Mapper ver. 7.0 maupun dengan menggunakan perangkat lunak ENVI ver. 4.3. Peta neraca sumberdaya terumbu karang diperoleh dari tumpangsusun (overlay) antara peta aktiva dan peta pasiva dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis ArcView ver. 3.3 / Arc GIS 9.3. Hasil overlay tersebut akan memberikan gambaran keadaan awal, perubahan yang terjadi, dan keadaan akhir dari sumberdaya tersebut. Prinsip operasi overlay dalam SIG pada dasarnya adalah menggunakan apliksi Union Geoprocessing yang secara diagram seperti dalam Gambar 4.4. Selain itu, dalam aplikasi Geoprocessing bisa digunakan pula untuk perhitungan luas untuk masingmasing kelas.
Peta Pasiva Ekosistem Terumbu
Kota Bungku: bukota Kab. Morowali
141
+ Input
= Overlay
Output
Aktiva
Pasiva
Klas 1
A2
2
B2
Neraca Spatial
A2
B2
C2
Klas U
1
A2
2
B2
A1 B1
Aktiva
Pasiva
Neraca
Peta Neraca
Area
Aa
Ap
Aa Ap
A
Na
Aa
Bp
Aa Ap
B
Nb
Gambar 3. Overlay antara Peta Aktiva dan Peta Pasiva
2.2. Penyajian Neraca Neraca sumberdaya terumbu karang hasil overlay antara aktiva dan pasiva disajikan dalam bentuk peta (spatial) dan numerik (tabular). Penyajian neraca sumberdaya terumbu karang secara spasial dengan menggunakan peta dasar Lingkungan Pesisir Indonesia skala 1:50.000. Informasi yang disajikan dalam peta neraca mencakup informasi peta dasar dan informasi sebaran ekosistem terumbu karang (kondisi awal, kondisi akhir, dan perubahannya).
Adapun untuk penyajian neraca secara numerik dengan menggunakan tabel disconto, di mana tabel tersebut mencerminkan kolom kondisi awal (aktiva), kolom kondisi akhir (pasiva), dan kolom perubahannya. Dalam hal sumberdaya terumbu karang, perubahan yang terjadi adalah variasi dari setiap kelasnya (karang, pasir, dan lamun).
142
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan neraca ekosistem terumbu karang yang dihitung adalah potensi sumber daya ekosistem terumbu karang yang ada pada suatu wilayah untuk satu periode tertentu. Potensi sumber daya yang ada harus diketahui jumlah, luas, posisi serta sebarannya. Dengan demikian, penyusunan neraca liputan lahan ekosistem terumbu karang dilakukan dengan memanfaatkan data hasil kegiatan inventarisasi yang telah dilakukan minimal pada dua waktu yang berbeda. Waktu yang digunakan untuk penyusunan neraca liputan lahan ekosistem terumbu karang di Kabupaten Morowali menggunakan data hasil inventarisasi ekosistem terumbu karang tahun 1999 yang merupakan data aktiva dan tahun 2010 yang merupakan data pasiva. Aktiva ekosistem terumbu karang di Kabupaten Morowali diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 1999. Hasil interpretasi tersebut disajikan dalam peta aktiva sumberdaya terumbu karang skala 1:50.000 tahun 1999. Peta aktiva ekosistem terumbu karang pada dasarnya menggambarkan kondisi awal ekosistem terumbu karang
yaitu pada tahun 1999, yang menunjukkan adanya tutupan terumbu karang, sebaran dan luasannya. Dari hasil interpretasi diperoleh 3 kelas klasifikasi yaitu kelas tutupan terumbu karang, padang lamun dan tutupan pasir. Hasil inventarisasi dengan menggunakan citra satelit Landsat ETM+ tahun 1999 diperoleh luas tutupan terumbu karang 5.204,67 Ha, luas tutupan padang lamun 15.798,06 Ha dan luas tutupan pasir 14.911,66 Ha. Luas masing-masing kelas dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Luas Ekosistem Terumbu Karang Kab. Morowali Tahun 1999 (Aktiva) AKTIVA
Luas (Ha)
Padang Lamun
15.798,06
Pasir
14.911,66
Terumbu Karang
5.204,67
Prosentase luas ekosistem terumbu karang Kabupaten Morowali dapat dilihat dalam Gambar 4.1 yakni ekosistem tersebut didominasi oleh keberadaan padang lamun sebesar 44% diikuti oleh tutupan pasir sebesar 42%, sedangkan tutupan terumbu karang memiliki prosentase sebesar 14%.
Gambar 4.1 Presentase Luas Ekosistem Karang Kab. Morowali Tahun 1999
14% 44% 42%
143
Padang Lamun Pasir Terumbu karang
Pasiva ekosistem terumbu karang di Kabupaten Morowali diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit ALOS AVNIR 1B tahun 2009 yang kemudian divalidasi dengan hasil survei lapangan pada tahun 2010. Hasil interpretasi tersebut disajikan dalam peta pasiva sumberdaya terumbu karang skala 1:50.000 tahun 2010. Peta pasiva ekosistem terumbu karang pada dasarnya menggambarkan kondisi akhir ekosistem terumbu karang yaitu pada tahun 2010, yang menunjukkan adanya tutupan terumbu karang, sebaran dan luasannya. Hasil inventarisasi dengan menggunakan citra satelit ALOS AVNIR 1B tahun 2009 diperoleh luas tutupan terumbu karang 1.770,49 Ha, luas tutupan padang lamun
20.518,47 Ha dan luas tutupan pasir 13.442,79 Ha. Luas masing-masing kelas dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Luas Ekosistem Terumbu Karang Kab. Morowali Tahun 2010 (Pasiva) PASIVA
Luas (Ha)
Padang Lamun
15.798,06
Pasir
14.911,66
Terumbu Karang
5.204,67
Prosentase luas ekosistem terumbu karang Kabupaten Morowali pada tahun 2010 dapat dilihat dalam Gambar 4.2, tampak didominasi oleh keberadaan padang lamun sebesar 57%, diikuti oleh pasir sebesar 38%, sedangkan tutupan terumbu karang memiliki prosentase sebesar 5%.
Gambar 4.2 Presentase Luas Ekosistem Karang Kab. Morowali Tahun 2010
5% Padang Lamun Pasir
38% 57%
Terumbu karang
144
Keberadaan sumberdaya alam akan berubah seiring dengan adanya pemanfaatan sumberdaya alam tersebut oleh manusia atau adanya faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Dari perolehan data aktiva dan pasiva hasil interpretasi dapat diketahui perubahan-perubahan sumberdaya alam yang ada, apakah mengalami kenaikan atau justru penurunan (degradasi) yang dikenal sebagai neraca sumberdaya alam. Selain itu dari hasil inventarisasi dapat juga diketahui perubahan apa yang terjadi, dari sumberdaya pada aktiva menjadi sumberdaya pada pasiva, hasil inilah yang bisa digunakan sebagai masukan bagi pengambil kebijakan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk pemanfaatan yang berkelanjutan.
Prosentase perubahan ekosistem terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 4.3. Perubahan terbesar adalah perubahan tutupan pasir menjadi padang lamun yaitu sebesar 23 %, diduga karena tidak adanya pemanfaatan padang lamun oleh masyarakat sekitar sehingga pertumbuhan ekosistem tersebut meningkat. Degradasi sumberdaya alam juga terjadi pada ekosistem terumbu karang yaitu sebesar 6,67 %. Terumbu karang yang mengalami kerusakan akan menjadi pecahan karang yang terdeteksi sebagai pasir dalam interpretasi citra satelit oleh karena itu perubahan tutupan yang terjadi adalah perubahan tutupan terumbu karang menjadi pasir.
Gambar 4.3 Presentase Luas Ekosistem Karang Kab. Morowali Tahun 1999-2010 Laut - Pasir
6,67% 4,56% 4,43%
2,61% 0,15%
1,87%
Padang Lamun - Laut Padang Lamun - Padang Lamun Padang Lamun - Pasir
30,69%
15,19%
Pasir - Laut Pasir - Padang Lamun Pasir - Pasir
23,91% 19,75%
9,48%
Pasir - Terumbu Karang Terumbu Karang - Laut Terumbu Karang - Pasir
0,43%
145
Terumbu Karang - Terumbu Karang
Gambar 4.4. Grafik Perubahan Luas Ekosistem Terumbu Karang Kab. Morowali Tahun 1999-2010
Berdasarkan hasil survei dan inventarisasi di Kabupaten Morowali perairan dengan potensi sumberdaya dan potensi wisata yang cukup baik berada di Kecamatan Menui Kepulauan dan Kecamatan Bungku Selatan, karena daerah tersebut memiliki pulaupulau dengan potensi wisata dan sumberdaya terumbu karang yang baik. Neraca Kecamatan Bungku Selatan Dari hasil inventarisasi dengan menggunakan interpretasi citra satelit Landsat ETM+ tahun 1999 dan ALOS AVNIR 1B tahun 2009 serta survei lapangan diperoleh data aktiva dan pasiva di Kecamatan Bungku Selatan sebagai berikut : â&#x20AC;˘ Luas tutupan padang lamun di Kecamatan Bungku Selatan Kabupaten Morowali pada tahun 1999 yaitu seluas 5.524,9 Ha dan mengalami peningkatan luas pada tahun 2010 yaitu seluas 6.869,6 Ha.
Peningkatan luas ini terjadi diduga karena tidak adanya pemanfaatan sumberdaya ini oleh masyarakat sekitar sehingga pertumbuhan lamun sangat baik dan didukung oleh kondisi perairan yang baik untuk tumbuhnya lamun. â&#x20AC;˘ Tutupan pasir pada tahun 1999 adalah seluas 4.095,9 Ha dan mengalami peningkatan pada tahun 2010 yaitu dengan luas 4.421,8 Ha. Walaupun tutupan pasir berkurang karena pertumbuhan lamun yang pesat, peningkatan luas tutupan pasir masih terjadi. Hal ini disebabkan karena perubahan tutupan terumbu karang menjadi pasir cukup tinggi. Kerusakan terumbu karang akan menyebabkan peningkatan tutupan pasir karena pecahan terumbu karang yang terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3) akan menjadi pasir atau pun pecahan terumbu karang (rubble) itu sendiri akan terinventarisasi sebagai pasir.
146
maupun daratan Sulawesi, aktivitas perikanan menjadi sangat tinggi yang terkadang hal ini mengorbankan keberadaan ekosistem perairan seperti terumbu karang. Penggunaan bom yang sangat merusak masih dilakukan masyarakat sekitar, walau pun pendapatan ikan akan meningkat namun menyumbang banyak dalam kerusakan karang yang akan memberikan dampak jangka panjang bagi masyarakat sekitar. Dapat dilihat pada Gambar 3.7 bahwa perubahan tutupan terumbu karang menjadi pasir memiliki nilai prosentase cukup besar yaitu 13,04 % dari prosentase keseluruhan.
â&#x20AC;˘ Luas terumbu karang di Kecamatan Bungku Selatan mengalami penurunan luas yang sangat siginifikan. Pada tahun 1999 luas terumbu karang di kecamatan ini mencapai 2.775,4 Ha. Namun dalam jangka waktu sepuluh tahun yaitu pada tahun 2010 tutupan terumbu karang menjadi seluas 758,8 Ha. Penurunan ini karena adanya kerusakan karang yang disebabkan oleh tingginya aktivitas penangkapan ikan oleh masyarakat sekitar maupun adanya aspek fisika perairan seperti perubahan iklim yang menyebabkan kerusakan karang. Dengan lokasi yang berada dekat dengan pusat permukiman
Tabel 4.3. Perubahan Luas Ekosistem Terumbu Karang Kecamatan Bungku Selatan Tahun 1999-2010 Kelas Tutupan
Th. 1999 (Ha)
Th. 2010 (Ha)
Padang Lamun
5.524,9
6.869,6
Pasir
4.095,9
6.869,6
Terumbu Karang
2.775,4
6.869,6
Gambar 4.5 Presentase Luas Ekosistem Karang Kecamatan Bungku Selatan Tahun 1999
22% 45%
Padang Lamun Pasir
33%
147
Terumbu karang
Gambar 4.6 Presentase Luas Ekosistem Karang Kecamatan Bungku selama tahun 2010 6% Padang Lamun
37%
Pasir
57%
Terumbu karang
Gambar 4.7 Grafik Prosentase Perubahan Luas Karang Kecamatan Bungku Selatan Tahun 1999-2010 5,89% 2,12%
2,98%
Laut - Pasir
1,66%
Padang Lamun - Laut Padang Lamun - Padang Lamun
13,04%
0,10%
34,49% 12,27%
Padang Lamun - Pasir Pasir - Laut Pasir - Padang Lamun Pasir - Pasir Pasir - Terumbu Karang
19,75%
19,75%
Terumbu Karang - Laut Terumbu Karang - Pasir
0,22%
7,48%
Terumbu Karang - Terumbu Karang
Gambar 4.8 Grafik Perubahan Luas Ekosistem Terumbu Karang Kecamatan Bungku Selatan Tahun 1999-2010
148
Neraca Kecamatan Menui Dari hasil data aktiva dan pasiva diketahui beberapa perubahan sebagai berikut : â&#x20AC;˘ Padang lamun mengalami kenaikan dalam jangka waktu sepuluh tahun pada rentang waktu penelitian antara tahun 1999 hingga tahun 2010. Pada tahun 1999, tutupan padang lamun memiliki luas sebesar 8.146,1 Ha sedangkan pada tahun 2010 tutupan padang lamun mencapai 9.133,3 Ha. Seperti yang terjadi pada Kecamatan Bungku Selatan, dengan tidak adanya pemanfaatan tumbuhan lamun oleh masyarakat serta didukung kondisi perairan yang sangat mendukung pertumbuhan lamun maka lamun mengalami pertumbuhan yang baik. Kecamatan Menui memiliki beberapa gosong pasir yaitu berupa timbunan pasir yang muncul di atas permukaan air laut ketika laut mengalami surut dan terendam oleh air ketika pasang. Pasir merupakan substrat yang digunakan oleh lamun untuk tumbuh. Oleh karena itu dengan banyaknya hamparan pasir pada gosong-gosong di Kecamatan Menui Kepulauan maka gosong tersebut menjadi habitat terbaik bagi tumbuhnya lamun hingga menjadi padang lamun yang cukup luas. Dalam gambar xx ditunjukkan perubahan pasir menjadi padang lamun memiliki prosentase yang cukup tinggi sebesar %, ini menunjukkan meningkatnya pertumbuhan lamun pada daerah berpasir di Kecamatan Menui Kepulauan. â&#x20AC;˘ Tutupan pasir berdasarkan hasil inventarisasi mengalami penurunan luas dari tahun 1999 hingga tahun
149
2010. Luas tutupan pasir pada tahun 1999 di kecamatan Menui Kepulauan adalah 7.272,4 Ha dan tutupan pasir menjadi 6.795,5 Ha pada tahun 2010. Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya. Pertumbuhan padang lamun yang cukup pesat akan membuat penurunan luas tutupan pasir di kecamatan Menui Kepulauan. â&#x20AC;˘ Terumbu Karang di Menui Kepulauan memiliki karakteristik yang unik. Pulau â&#x20AC;&#x201C; pulau di Menui Kepulauan memiliki keanekaragaman terumbu karang yang baik dengan tipe habitat terumbu karang berupa fringing reef. Tipe habitat fringing reef berupa hamparan terumbu karang landai (reef flat) yang kemudian akan tumbuh turun ke bawah semakin dalam (reef slope) sesuai dengan geomorfologi pantai di daerah tersebut. Reef slope di pulau-pulau Kecamatan Menui Kepulauan memiliki karakteristik karang dinding yang berarti lereng yang ada sangat curam dan langsung jatuh ke bawah (drop off) sehingga pertumbuhan karang menyerupai dinding. Lokasi perairan yang memiliki karakteristik seperti itu memiliki kekuatan arus laut yang cukup kuat sehingga baik bagi pertumbuhan karang dan memiliki sumberdaya ikan yang bagus. Hal ini dikarenakan perairan dengan arus kuat akan membantu kebersihan terumbu karang dan membantu suplai fitoplankton dan oksigen yang baik bagi pertumbuhan karang dan ikan. Hasil inventarisasi tutupan terumbu karang pada tahun 1999 diketahui ada seluas 1.193 Ha dan mengalami
150
masih baik karena aktivitas pengeboman untuk menangkap ikan sulit dilakukan.
penurunan pada tahun 2010 menjadi 591 Ha. Hal ini dikarenakan ekploitasi perikanan yang berlebih dan adanya aktivitas illegal fishing yang dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan hasil survei pada tahun 2010 ditemukan banyak kerusakan terumbu karang akibat penggunaan bom untuk menangkap ikan. Penggunaan bom akan merusak terumbu karang dengan dampak yang cukup tinggi. Kerusakan terumbu karang yang parah dan penurunan hasil ikan akan terjadi di daerah tersebut.
Inventarisasi terumbu karang dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh memiliki kekurangan dalam melihat sebaran terumbu karang dalam posisi vertikal oleh karena itu hasil interpretasi akan menunjukkan hasil yang kecil untuk luas tutupan terumbu karang. Hasil inventarisasi yang memperlihatkan penurunan yang cukup tajam menunjukkan terjadinya kerusakan terumbu karang pada bagian hamparan karang (reef flat) yang cukup tinggi. Walaupun begitu sebaiknya ekosistem tersebut perlu dijaga kelestariannya sehingga dampak jangka panjang seperti penurunan hasil perikanan dapat dihindari.
Dari hasil survei dengan melakukan penyelaman, banyak terjadi kerusakan terumbu karang pada hamparan reef flat, karena lokasi tersebut sangat mudah dijangkau dan mudah untuk dilakukan pengeboman. Sedangkan pada bagian dinding karang tergolong
Tabel 4.4 Perubahan Luas Ekosistem Terumbu Karang Kecamatan Menui Kepulauan Tahun 1999-2010 Kelas Tutupan
Th. 1999 (Ha)
Th. 2010 (Ha)
Padang Lamun
8.146,1
9.133,3
Pasir
7.272,4
6.795,5
Terumbu Karang
1.193,7
591,1
Gambar 4.9 Grafik Prosentase Luas Ekosistem Karang Kecamatan Menui Kepulauan Tahun 1999
7% 44%
49%
Padang Lamun Pasir Terumbu karang
151
Gambar 4.10 Grafik Prosentase Luas Ekosistem Karang Kecamatan Menui Kepulauan Tahun 2010
4%
Padang Lamun Pasir
41%
55%
Terumbu karang
Gambar 4.11 Grafik Prosentase Luas Ekosistem Karang Kecamatan Menui Kepulauan Tahun 1999-2010 2,61% 1,16% 0,24%
3,24%
Laut - Pasir
2,32% 1,30%
Padang Lamun - Laut Padang Lamun - Padang Lamun Padang Lamun - Pasir
22,66%
34,24%
Pasir - Laut Pasir - Padang Lamun Pasir - Pasir
19,47%
12,36%
Pasir - Terumbu Karang Terumbu Karang - Laut Terumbu Karang - Pasir
0,39%
Terumbu Karang - Terumbu Karang
Gambar 4.12 Grafik Perubahan Luas Ekosistem Terumbu Karang Kecamatan Menui Kepulauan Tahun 1999-2010
152
BAB 1
162
VALUASI NILAI EKONOMI TERUMBU KARANG Kabupaten Morowali
163
BAB 21
Mengolah ikan Gosong Masadian
VALUASI NILAI EKONOMI TERUMBU KARANG Kabupaten Morowali
155
METODE VALUASI EKONOMI 1. Metode Perubahan Produktivitas (Change in Productivity Method) Menghitung nilai ekonomi ekosistem terumbu karang di Kabupaten Morowali salah satunya menggunakan pendekatan produktivitas. Yaitu, melihat pengaruh terhadap produksi akibat adanya intervensi terhadap sumberdaya alam itu sendiri. Pendekatan ini melihat bahwa perubahan kualitas lingkungan akan mempengaruhi produktifitas dan biaya produksi sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi harga dan produksi. Nilai yang sering diukur adalah nilai kegunaan
langsung (direct use value) dari ekstraksi sumberdaya alam. Ekosistem terumbu karang memiliki fungsi sebagai area berpijah (spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground), sebagai input bagi produktivitas hasil tangkapan ikan karang.
a. Pengambilan Sampel Sampel yang diambil adalah yang berhubungan langsung dengan pemanfaatan produksi ekosistem terumbu karang yaitu nelayan ikan karang khususnya nelayan pancing. Metode pengambilan sampel yaitu wawancara langsung dengan responden dengan cara purposive sampling --pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu. Metode ini digunakan untuk menilai manfaat langsung dari ekosistem terumbu karang. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber data, yaitu: a)
b)
Data primer, diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dengan metode wawancara (interview) kepada responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (questionnaire) yang telah disiapkan untuk tujuan penelitian ini. Data sekunder, yaitu data penunjang yang dikumpulkan dari instansi-instansi yang berhubungan dengan materi penelitian (Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda, dsb).
b. Variabel dan Cara Pengukuran Variabel yang diukur adalah luas kawasan ekosistem terumbu karang terbaru yang diperoleh berdasarkan interpretasi citra ALOS tahun 2009. Ekosistem terumbu karang yang berfungsi sebagai area berpijah (spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) sebagai input bagi produktivitas hasil tangkapan ikan. Dalam hal ini maka metode yang digunakan berdasarkan kepada pendekatan hasil produksi ikan (Effect on Production Approach). Secara sederhana rumus yang digunakan pada pendekatan produktivitas adalah sebagai berikut:
CP=C*P di mana : CP: Commodity Price (Rp) C : Commodity (kg) P : Price (Rp/kg) Nilai manfaat langsung (benefit) dari terumbu karang dapat diestimasi dengan mengalikan antara hasil produksi dan harganya.
c. Analisis Data Penilaian masing-masing alternatif untuk penentuan alokasi pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang efisien dilakukan dengan menggunakan:
156
- Cost-Benefit Analysis (CBA), yaitu Net Present Value (NPV) atau nilai manfaat bersih sekarang. - Benefit Cost Ratio (BCR), yaitu perbandingan antara pendapatan dengan biaya yang didiskon untuk masing-masing alternatif pengelolaan. Persamaan yang digunakan adalah berikut: n
NPV = �
t =1
( Bt � Ct ) (1 + r ) t
n
B
t
C t r
t
a.
Bt � Ct t
t
t =1
t t
: Benefit (manfaat) langsung yang diperoleh pada waktu t (Rp) : Cost (biaya) langsung yang dikeluarkan pada waktu t (Rp) : tahun : discount rate
NPV: Net Present Value (nilai manfaat bersih sekarang) BCR: Benefit Cost Ratio (ratio manfaat-biaya) Kriteria penilaian masing-masing alternatif alokasi pemanfaatan sumberdaya layak dan efektif dikembangkan dari segi ekonomi jika NPV > 0 atau bila BCR > 1. Nilai BCR menentukan tingkat efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Tingkat suku bunga (discount rate) yang dipakai adalah 10%, yaitu suku bunga untuk analisis ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya (Fauzi 2004). Jangka waktu analisis adalah limabelas tahun,
157
Merujuk pada Sisca Dewi (2006), estimasi nilai manfaat langsung terumbu karang berdasarkan pendekatan EOP (effect on production) antara lain sebagai berikut.
� ( 1+ r) BCR = C �B � ( 1+ r) t =1 n
di mana:
dengan asumsi bahwa waktu yang diperlukan oleh ekosistem terumbu karang untuk dapat dimanfaatkan kembali dan pemeliharaan alam minimal 15 tahun.
b.
Dalam mengukur nilai per hektar kawasan terumbu karang, nilai didekati dari produksi ikan karang yang merupakan produk dominan dari kawasan terumbu karang. Untuk menduga hubungan antara jumlah produksi ikan karang (Ct) dengan jumlah upaya tangkap (Et) dan luasan kawasan terumbu karang, digunakan formula sebagai berikut: Ct = β0 + β1 Ln(Li,t-1)Et + β2 Ln(Li,t-1)Et2+ β3Ci,t-1 Dari parameter tersebut, diperoleh hasil estimasi tangkapan ikan karang pertahun yang apabila dikalikan dengan harga persatuan volume ikan karang (Pt), maka diperoleh nilai total hasil tangkapan ikan karang. Dengan menggunakan pendekatan ini maka nilai produktivitas per hektar kawasan terumbu karang adalah dengan membagi nilai total hasil tangkapan ikan karang dengan luas kawasan terumbu karang.
2. Hasil dan Pembahasan Nilai Ekonomi Terumbu Karang Valuasi ekonomi perikanan karang meliputi komponen biaya (cost) dan pendapatan (benefit). Biaya yang dimaksud adalah biaya yang dikeluarkan oleh nelayan ikan karang, yang meliputi investasi untuk pembelian kapal dan mesin, biaya perawatan, dan biaya operasional. Sedangkan pendapatan adalah hasil tangkapan ikan karang selama satu tahun. Tangkapan, Karang Bolewang
Biaya dan pendapatan tersebut adalah untuk masing-masing responden, yang bisa dirataratakan untuk seluruh responden. Data jumlah nelayan karang tidak diketahui, maka untuk keperluan ini digunakan estimasi berdasarkan dari jumlah penduduk (Tabel 5 dan 6) 1. Data yang digunakan hanya dari Kecamatan Bungku Selatan dan Menui Kepulauan karena lokasi survei dan pengambilan data Sosek berada di wilayah tersebut yang berdasarkan hasil interpretasi citra satelit memiliki terumbu karang yang lebih banyak dan wilayah yang berupa kepulauan sehingga dimungkinkan memiliki lebih banyak responden nelayan.
158
Pasar pagi, Jual beli hasil Tangkapan
168
Tabel 5. Jumlah Penduduk dan Estimasi Nelayan Karang di Kabupaten Morowali
No
Kecamatan
Jumlah Nelayan
1 2
Bungku Selatan Menui Kepulauan
523 732
Jmlh Nelayan Ikan Karang*) 366 512
Sumber: Kec. Bungku Selatan Dalam Angka dan Kec. Menui Kep. Dalam Angka, 2008 *) Asumsi: 70% dari jumlah nelayan
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui hasil melaut yang meliputi jumlah tangkapan, jumlah hari penangkapan (trip), dan modal yang dikeluarkan. Dari hasil tersebut kemudian dilakukan analisis sehingga didapatkan nilai ekonomi untuk tiap-tiap nelayan yang kemudian di rata-ratakan untuk tiap kecamatan dengan hasil seperti Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Nilai Ekonomi Terumbu Karang Kabupaten Morowali
No
1 2
Nama Kecamatan Bungku Selatan Menui Kepulauan
Luas Karang (Ha)
Nelayan Ikan Pendapatan Karang Rata2 (Rp) (Orang)
Nilai Ekonomi Terumbu Karang (Rp/ Ha/Thn)
2775,39
366
50.429.655
6.650.318
1193,71
512
13.873.988
5.950.744
Sumber: Hasil Perhitungan, 2010
160
Mewawancarai para nelayan
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat diketahui bahwa penghasilan rata-rata nelayan ikan karang (nilai ekonomi ratarata) dalam 1 tahun untuk wilayah Kecamatan Bungku Selatan adalah Rp. 50.429.655,Sedangkan nilai ekonomi terumbu karang berdasarkan pemanfaatan langsung dari hasil perikanan karang diperoleh dengan mengalikan antara pendapatan rata-rata nelayan dengan jumlah nelayan karang kemudian dibagi dengan luas terumbu karang yang ada. Hasil perhitungan nilai ekonomi sebesar Rp. 6.650.318,- /Ha/tahun atau memiliki nilai ekonomi total untuk wilayah Bungku Selatan sebesar Rp. 18.457.253.643,- /tahun. Hasil yang berbeda diperoleh di wilayah lain yaitu Kecamatan Menui Kepulauan yang merupakan wilayah yang jauh dari daratan utama.
161
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat diketahui bahwa penghasilan rata-rata nelayan ikan karang (nilai ekonomi ratarata) dalam 1 tahun untuk wilayah Kecamatan Menui Kepulauan adalah Rp. 13.873.988,- . Hasil nelayan perikanan karang di wiayah ini tidak terlalu besar karena terumbu karang banyak berupa wall, sehingga lebih didominasi oleh laut dalam. Hal ini menyebabkan jumlah ikan karang lebih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah terumbu karang yang berupa dataran (flat). Selain itu, jarak yang jauh antara wilayah Menui Kepulauan dengan daratan utama sebagai tempat penjualan hasil menyebabkan biaya transportasi pengangkutan ikan ke pasar menjadi lebih mahal dibandingkan dengan wilayah Bungku Selatan yang terletak di daratan utama. Biaya transportasi
yang lebih banyak ini menyebabkan pendapatan nelayan menjadi berkurang. Sedangkan nilai ekonomi terumbu karang berdasarkan pemanfaatan langsung dari hasil perikanan karang diperoleh dengan mengalikan antara pendapatan rata-rata nelayan dengan jumlah nelayan karang kemudian dibagi dengan luas terumbu karang yang ada. Hasil perhitungan nilai ekonomi sebesar Rp. 5.950.744,- /Ha/tahun atau memiliki nilai ekonomi total untuk wilayah Menui Kepulauan sebesar Rp. 7.103.481.905,- /tahun. Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa nilai ekonomi terumbu karang dari manfaat langsung berupa perikanan karang di wilayah Bungku Selatan lebih besar bila dibandingkan dengan Menui Kepulauan. Hal ini disebabkan wilayah Bungku
Selatan memiliki luasan terumbu karang yang lebih banyak, selain itu penghasilan nelayan di wilayah ini juga lebih banyak karena tidak adanya biaya tambahan yang besar untuk mengangkut hasil tangkapan ke pasar ikan yang berada di daratan utama. Luas terumbu karang yang besar dengan jumlah nelayan yang lebih sedikit dapat memberikan hasil yang lebih maksimal terhadap penghasilan nelayan bila dibandingkan dengan wilayah Menui Kepulauan. Hal ini disebabkan wilayah Menui Kepulauan memiliki luasan terumbu karang yang lebih sedikit tetapi jumlah nelayan lebih banyak, sehingga terjadi pemanfaatan atau pembagian hasil yang lebih sedikit sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk transportasi dan operasional relatif sama atau lebih besar.
162
BAB BAB221
LAMPIRAN 172
56
28
5
7,5
2
16
12
1
P. Umbele
P. Sainoa
6
27,5
1
0,5
1 5
0,98
8,5
2,06
G. Masadian
10,31
0,98
1
1
CMR
P. Bungitideh
2,68
8,17
%
CF
14,18
10
8,8
CS
Non Acropora
1,03
2,5
21,66
CE
K Bobubu
9,5
14,6
22
CM
G. Pengajaran
13,8
35,2
14,4
CB
2
1,47
ACD
G.Tordela
ACS
6
%
ACE
Acropora
6,3
ACT
P. Padea Darat
ACB
3
CME
CHL
5
DC %
5,5
0,5
33,3
7,6
DCA
Deat Scklearina
13
11,34
0,5
MA
0,5
TA
3
%
CA
Abiotik
8,8
10
43
31,44
16,38
2
1
AA
1,9
0,5
11,13
0,5
22
HA
5
12,5
5
52,8
20,1
29,83
38,3
11,2
SC
7
1
3,71
0,4
4
SP
Other fauna
2,6
9,5
1
1,03
1,96
1
2,1
14
OT
Lampiran: Tabel Presentase Transek
P. Menui
Lokasi
164
%
5,5
3
5,15
6
S
8,5
SI
Abiotik
18,7
2,2
4,4
1
2
R
WA
RCK
86
52,1
86
54,8
40,92
79,23
96
58,2
61,4
LIT
BAB 1
174
BENTHIC LIFEFORM REPORT Reef name Site description Date sampled Collector Remark Visibility Salinity
: : : : : : : : :
P. Pade Darat(Bs) Kec Menui S " E Wall 19 Mei 2010 Suzi Mardia 5 M trans. depth wall 12 M Time : 10:15 AM ARUS KUAT BERUBAH Temp : 30o C
BENTHIC LIFEFORM
CODE NBR
NBR OCCURRENCE
PERCENT COVER
Hard Coral (Acropora)
ACB
Branching
ACT
1
6.00%
Tabulate
ACE
0
0.00%
Encrusting
ACS
0
0.00%
Submassive
ACD
0
0.00%
0
0.00%
Digitatus
Hard Corals (Non-Acropora)
37.40%
Branching
CM
4
14.40%
Massive
CE
6
22.00%
Encrusting
CS
0
0.00%
Submassive
CF
0
0.00%
Foliose
CMR
0
0.00%
Mushroom
CME
1
1.00%
Millepora
CHL
0
0.00%
0
0.00%
0
0.00%
3
7.60%
TA
0
0.00%
Turf
CA
0
0.00%
Corraline
HA
0
0.00%
Halimedae
AA
1
1.00%
6
22.00%
SP
0
0.00%
Sponge
ZO
1
4.00%
Zoanthids
OT
0
0.00%
3
14.00%
R
2
6.00%
Rubble
SI
1
2.00%
Silt
WA
0
0.00%
Water
RCK
0
0.00%
Rock
Rock
0
0.00%
29
100.00%
Dead Scleractinia Dead Coral
DC DCA
(With Algae Covering)
Algae
7.60%
MA Macro
Algae assemblages
Other Fauna Soft corals
Abiotics Sand
23.00%
SC
Others
TOTAL
6.00%
CB
Heliopora
CATEGORY TOTAL
18.00%
S
8.00%
166
BENTHIC LIFEFORM REPORT Reef name Site description Date sampled Collector Remark Visibility Salinity
: : : : : : : : :
P. Menui Kec Menui S E Wall 20 Mei 2010 Suzi Mardia 5 M trans. depth wall 12 M Time : 10:15 AM ARUS KUAT BERUBAH Temp : 30o C
BENTHIC LIFEFORM
CODE NBR
NBR OCCURRENCE
PERCENT COVER
ACT
5
6.30%
Tabulate
ACE
0
0.00%
Encrusting
ACS
0
0.00%
Submassive
ACD
0
0.00%
0
0.00%
Hard Coral (Acropora)
ACB
Branching
Digitatus
Hard Corals (Non-Acropora)
CM
6
13.80%
Massive
CE
12
14.60%
Encrusting
CS
0
0.00%
Submassive
CF
5
8.80%
Foliose
CMR
0
0.00%
Mushroom
CME
1
1.00%
Millepora
CHL
0
0.00%
0
0.00%
2
5.00%
15
33.30%
TA
0
0.00%
Turf
CA
1
0.50%
Corraline
HA
2
3.00%
Halimedae
AA
0
0.00%
0
0.00%
SP
5
11.20%
Sponge
ZO
1
0.40%
Zoanthids
OT
0
0.00%
2
2.10%
Dead Coral
DC DCA
(With Algae Covering)
Algae
38.30%
MA Macro
Algae assemblages
Other Fauna Soft corals
Abiotics
3.50%
SC
Others
167
38.20%
Branching
Dead Scleractinia
TOTAL
6.30%
CB
Heliopora
CATEGORY TOTAL
13.70%
S
0.00%
Sand
R
0
0.00%
Rubble
SI
0
0.00%
Silt
WA
0
0.00%
Water
RCK
0
0.00%
Rock
Rock
0
0.00%
57
100.00%
BENTHIC LIFEFORM REPORT Reef name Site description Date sampled Collector Remark Visibility Salinity
: : : : : : : : :
Karang Tordela Kec Menui S E Wall 22 Mei 2010 Suzi Mardia 5 M trans. depth wall 12 M Time : 7:15 AM ARUS KUAT BERUBAH Temp : 30o C
BENTHIC LIFEFORM
CODE NBR
NBR OCCURRENCE
PERCENT COVER
ACT
2
2.00%
Tabulate
ACE
0
0.00%
Encrusting
ACS
0
0.00%
Submassive
ACD
0
0.00%
0
0.00%
Hard Coral (Acropora)
ACB
Branching
Digitatus
Hard Corals (Non-Acropora)
54.70%
Branching
CM
10
35.20%
Massive
CE
5
9.50%
Encrusting
CS
0
0.00%
Submassive
CF
5
10.00%
Foliose
CMR
0
0.00%
Mushroom
CME
0
0.00%
Millepora
CHL
0
0.00%
0
0.00%
Dead Scleractinia Dead Coral
DC DCA
0.00% 0
0.00%
0
0.00%
TA
1
0.50%
Turf
CA
0
0.00%
Corraline
HA
0
0.00%
Halimedae
AA
1
0.50%
2
2.00%
SP
9
38.30%
Sponge
ZO
0
0.00%
Zoanthids
OT
0
0.00%
1
1.00%
(With Algae Covering)
Algae
MA Macro
Algae assemblages
Other Fauna Soft corals
Abiotics
3.00%
SC
Others
TOTAL
2.00%
CB
Heliopora
CATEGORY TOTAL
39.30%
S
1.00%
Sand
R
0
0.00%
Rubble
SI
1
1.00%
Silt
WA
0
0.00%
Water
RCK
0
0.00%
Rock
Rock
0
0.00%
37
100.00%
168
BENTHIC LIFEFORM REPORT Reef name Site description Date sampled Collector Remark Visibility Salinity
: : : : : : : : :
Karang Bobubu S E Wall 22 Mei 2010 Suzi Mardia 5 M trans. depth wall 12 M Time :12:00 AM 33% Temp : 27o C
BENTHIC LIFEFORM
CODE NBR
NBR OCCURRENCE
PERCENT COVER
ACT
8
14.18%
Tabulate
ACE
0
0.00%
Encrusting
ACS
0
0.00%
Submassive
ACD
0
0.00%
1
1.47%
Hard Coral (Acropora)
ACB
Branching
Digitatus
Hard Corals (Non-Acropora)
CM
16
21.66%
Massive
CE
6
8.17%
Encrusting
CS
0
0.00%
Submassive
CF
1
0.98%
Foliose
CMR
1
0.98%
Mushroom
CME
0
0.00%
Millepora
CHL
0
0.00%
0
0.00%
0
0.00%
0
0.00%
TA
0
0.00%
Turf
CA
0
0.00%
Corraline
HA
0
0.00%
Halimedae
AA
0
0.00%
9
16.38%
SP
9
29.83%
Sponge
ZO
0
0.00%
Zoanthids
OT
0
0.00%
2
1.96%
Dead Coral
DC DCA
(With Algae Covering)
Algae
0.00%
MA Macro
Algae assemblages
Other Fauna Soft corals
Abiotics
16.38%
SC
Others
169
31.78%
Branching
Dead Scleractinia
TOTAL
15.65%
CB
Heliopora
CATEGORY TOTAL
31.78%
S
4.40%
Sand
R
0
0.00%
Rubble
SI
6
4.40%
Silt
WA
0
0.00%
Water
RCK
0
0.00%
Rock
Rock
0
0.00%
59
100.00%
BENTHIC LIFEFORM REPORT Reef name Site description Date sampled Collector Remark Visibility Salinity
: : : : : : : : :
Gosong Pengajaran S E Slopel 23 Mei 2010 Suzi Mardia 5 M trans. depth wall 12 M Time : 08:25 AM 33% Temp : 27o C
BENTHIC LIFEFORM
CODE NBR
NBR OCCURRENCE
PERCENT COVER
Hard Coral (Acropora)
ACB
Branching
ACT
1
1.03%
Tabulate
ACE
0
0.00%
Encrusting
ACS
0
0.00%
Submassive
ACD
0
0.00%
0
0.00%
Digitatus
Hard Corals (Non-Acropora)
15.05%
Branching
CM
2
2.68%
Massive
CE
8
10.31%
Encrusting
CS
0
0.00%
Submassive
CF
2
2.06%
Foliose
CMR
0
0.00%
Mushroom
CME
0
0.00%
Millepora
CHL
0
0.00%
0
0.00%
0
0.00%
0
0.00%
TA
6
11.34%
Turf
CA
0
0.00%
Corraline
HA
0
0.00%
Halimedae
AA
6
11.13%
15
31.44%
SP
10
20.10%
Sponge
ZO
4
3.71%
Zoanthids
OT
0
0.00%
1
1.03%
Dead Scleractinia Dead Coral
DC DCA
(With Algae Covering)
Algae
0.00%
MA Macro
Algae assemblages
Other Fauna Soft corals
Abiotics
53.92%
SC
Others
TOTAL
1.03%
CB
Heliopora
CATEGORY TOTAL
24.85%
S
5.15%
Sand
R
3
5.15%
Rubble
SI
0
0.00%
Silt
WA
0
0.00%
Water
RCK
0
0.00%
Rock
Rock
0
0.00%
58
100.00%
170
BENTHIC LIFEFORM REPORT Reef name Site description Date sampled Collector Remark Visibility Salinity
: : : : : : : : :
Gosong Masadian S E Slopel 23 Mei 2010 Suzi Mardia 5 M trans. depth wall 12 M Time :10:00 AM 33% Temp : 27o C
BENTHIC LIFEFORM
CODE NBR
NBR OCCURRENCE
PERCENT COVER
ACT
0
0.00%
Tabulate
ACE
0
0.00%
Encrusting
ACS
0
0.00%
Submassive
ACD
0
0.00%
0
0.00%
Hard Coral (Acropora)
ACB
Branching
Digitatus
Hard Corals (Non-Acropora)
CM
0
0.00%
Massive
CE
0
0.00%
Encrusting
CS
0
0.00%
Submassive
CF
0
0.00%
Foliose
CMR
0
0.00%
Mushroom
CME
1
1.00%
Millepora
CHL
0
0.00%
0
0.00%
Dead Coral
DC DCA
0.00% 0
0.00%
0
0.00%
TA
0
0.00%
Turf
CA
0
0.00%
Corraline
HA
0
0.00%
Halimedae
AA
0
0.00%
14
43.00%
(With Algae Covering)
Algae
MA Macro
Algae assemblages
Other Fauna
43.00%
SC
53.80%
Soft corals
SP
21
52.80%
Sponge
ZO
0
0.00%
Zoanthids
OT
0
0.00%
1
1.00%
Others
Abiotics
171
1.00%
Branching
Dead Scleractinia
TOTAL
0.00%
CB
Heliopora
CATEGORY TOTAL
S
2.20%
Sand
R
0
0.00%
Rubble
SI
3
2.20%
Silt
WA
0
0.00%
Water
RCK
0
0.00%
Rock
Rock
0
0.00%
40
100.00%
BENTHIC LIFEFORM REPORT Reef name Site description Date sampled Collector Remark Visibility Salinity
: : : : : : : : :
P.BUNGITINDEH S E Slopel 24 Mei 2010 Suzi Mardia 5 M trans. depth wall 12 M Time : 08:20 AM 33% Temp : 27o C
BENTHIC LIFEFORM
CODE NBR
NBR OCCURRENCE
PERCENT COVER
ACT
5
8.50%
Tabulate
ACE
0
0.00%
Encrusting
ACS
0
0.00%
Submassive
ACD
0
0.00%
0
0.00%
Hard Coral (Acropora)
ACB
Branching
Digitatus
Hard Corals (Non-Acropora)
62.00%
Branching
CM
11
27.50%
Massive
CE
5
7.50%
Encrusting
CS
2
5.00%
Submassive
CF
3
16.00%
Foliose
CMR
0
0.00%
Mushroom
CME
1
6.00%
Millepora
CHL
0
0.00%
0
0.00%
Dead Scleractinia Dead Coral
DC DCA
(With Algae Covering)
Algae
0.50% 0
0.00%
1
0.50%
MA
10.50%
Macro
TA
0
0.00%
Turf
CA
0
0.00%
Corraline
HA
0
0.00%
Halimedae
AA
1
0.50%
5
10.00%
Algae assemblages
Other Fauna
SC
15.50%
Soft corals
SP
2
5.00%
Sponge
ZO
1
1.00%
Zoanthids
OT
0
0.00%
5
9.50%
R
2
3.00%
Rubble
SI
0
0.00%
Silt
WA
0
0.00%
Water
RCK
0
0.00%
Rock
Rock
0
0.00%
44
100.00%
Others
Abiotics Sand
TOTAL
8.50%
CB
Heliopora
CATEGORY TOTAL
S
3.00%
172
BENTHIC LIFEFORM REPORT Reef name Site description Date sampled Collector Remark Visibility Salinity
: : : : : : : : :
P.Umbele S E FLATl 24 Mei 2010 Suzi Mardia 5 M trans. depth wall 12 M Time :11:00 AM 33% Temp : 27o C
BENTHIC LIFEFORM
CODE NBR
NBR OCCURRENCE
PERCENT COVER
ACT
1
1.00%
Tabulate
ACE
0
0.00%
Encrusting
ACS
3
2.50%
Submassive
ACD
0
0.00%
0
0.00%
Hard Coral (Acropora)
ACB
Branching
Digitatus
Hard Corals (Non-Acropora)
CM
7
28.00%
Massive
CE
3
5.00%
Encrusting
CS
0
0.00%
Submassive
CF
0
0.00%
Foliose
CMR
0
0.00%
Mushroom
CME
1
0.50%
Millepora
CHL
0
0.00%
0
0.00%
Dead Coral
DC DCA
0.00% 0
0.00%
0
0.00%
TA
9
13.00%
Turf
CA
0
0.00%
Corraline
HA
0
0.00%
Halimedae
AA
1
1.90%
6
8.80%
SP
7
12.50%
Sponge
ZO
0
0.00%
Zoanthids
OT
0
0.00%
3
2.60%
(With Algae Covering)
Algae
MA Macro
Algae assemblages
Other Fauna Soft corals
Abiotics
23.70%
SC
Others
173
33.50%
Branching
Dead Scleractinia
TOTAL
3.50%
CB
Heliopora
CATEGORY TOTAL
15.10%
S
24.20%
Sand
R
1
5.50%
Rubble
SI
5
18.70%
Silt
WA
0
0.00%
Water
RCK
0
0.00%
Rock
Rock
0
0.00%
47
100.00%
BENTHIC LIFEFORM REPORT Reef name Site description Date sampled Collector Remark Visibility Salinity
: : : : : : : : :
P.SAINOA S E FLATl 24 Mei 2010 Suzi Mardia 5 M trans. depth wall 12 M Time :12:00 AM 33% Temp : 27o C
BENTHIC LIFEFORM
CODE NBR
NBR OCCURRENCE
PERCENT COVER
ACT
0
0.00%
Tabulate
ACE
0
0.00%
Encrusting
ACS
0
0.00%
Submassive
ACD
0
0.00%
0
0.00%
Hard Coral (Acropora)
ACB
Branching
Digitatus
Hard Corals (Non-Acropora)
74.00%
Branching
CM
8
56.00%
Massive
CE
0
0.00%
Encrusting
CS
2
2.00%
Submassive
CF
0
0.00%
Foliose
CMR
1
12.00%
Mushroom
CME
1
1.00%
Millepora
CHL
1
3.00%
0
0.00%
Dead Scleractinia Dead Coral
DC DCA
(With Algae Covering)
Algae
5.50% 0
0.00%
3
5.50%
MA
0.00%
Macro
TA
0
0.00%
Turf
CA
0
0.00%
Corraline
HA
0
0.00%
Halimedae
AA
0
0.00%
0
0.00%
Algae assemblages
Other Fauna
SC
12.00%
Soft corals
SP
3
5.00%
Sponge
ZO
2
7.00%
Zoanthids
OT
0
0.00%
0
0.00%
Others
Abiotics
TOTAL
0.00%
CB
Heliopora
CATEGORY TOTAL
S
8.50%
Sand
R
0
0.00%
Rubble
SI
3
8.50%
Silt
WA
0
0.00%
Water
RCK
0
0.00%
Rock
Rock
0
0.00%
24
100.00%
174
BAB 1
Pantai desa Ngapala, P. Manui
184
Lampiran Jenis Ikan di Perairan Laut Kabupaten Morowali, 2010
185
BAB BAB23 1
P. Menui Abudefduf sexfasciatus Acanthurus lineatus Aeoliscus strigatus Amblyglyphidodon leucogaster Amphiprion clarkii Balistapus undulatus Caesio lunaris Cepalopholis urodeta Cetoscarus sordidus Chaetodon kleinii Chaetodon trifasciatus Chromis caudalis Chromis margaritifer Chromis ternatensis Ctenochaetus strigatus Dascylus trimaculatus Halichoeres hortulanus Hemitaurichthys poylepis Heniochus acuminatus Heniochus varius Labroides dimidiatus Lethrinus harak Melichthys niger Melichthys vidua Odonus niger
177
Parachithys forsteri Parupeneus bifasciatus Plectroglyphidodon dickii Pomacentrus molucensis Pseudanthias squamipinnis Pterocaesio tile Scarus ghoban Scarus niger Stegastes sp. Ctenochaetus strigatus Acanthurus lineatus Melichthys vidua Stegastes sp. Labroides dimidiatus Ctenochaetus strigatus Pterocaesio tile
P. Padea Darat (Bs) Balistoides sp. Cephalopholis argus Cetoscarus sordidus Chaetodon kleinii Chaetodon lunula Chaetodon trifasciatus Ctenochaetus
binotatus Ctenochaetus strigatus Forcifiger flavissimus Forcifiger longirostris Hemitaurichthys poylepis Heniochus acuminatus Melichthys niger Melichthys vidua Monotaxis grandoculis Odonus niger Parupeneus barberinus Parupeneus bifasciatus Parupeneus multifasciatus Pomacentrus molucensis Thalasoma lunare Zanclus cornotus Zebrasoma scopas
P. Padea Laut (Kc) Amblyglyphidodon aureus Balistoides sp. Cephalopholis argus Cetoscarus sordidus Chaetodon kleinii
Chaetodon lunula Chaetodon trifasciatus Ctenochaetus binotatus Ctenochaetus strigatus Forcifiger flavissimus Forcifiger longirostris Hemitaurichthys poylepis Heniochus acuminatus Melichthys niger Melichthys vidua Monotaxis grandoculis Odonus niger Parupeneus barberinus Parupeneus bifasciatus Parupeneus multifasciatus Plotosus lineatus Pomacentrus molucensis Pterocaesio tile Thalasoma lunare Zanclus cornotus Zebrasoma scopas
Karang Tordela Abudefduf sexfasciatus Amblyglyphidodon aureus Amblyglyphidodon curacao Amblyglyphidodon leucogaster Canthigaster valentini Cetoscarus sordidus Chaetodon kleinii Chaetodon speculum Chromis margaritifer Ctenochaetus strigatus Hemitaurichthys poylepis Heniochus varius Odonus niger Parupeneus bifasciatus Pomacentrus molucensis Pseudanthias spp. Pseudantias squamipinnis Scarus oviceps Siganus vulpinus Stegastes sp. Zebrasoma scopas
Karang Takabalantang Amblyglyphidodon curacao Amphiprion ocellaris Ctenochaetus strigatus Dascylus trimaculatus Forcipiger longirostris Halichoeres hortulanus Labroides dimidiatus Melichthys vidua Pomacentrus molucensis Scolopsis lineatus Siganus virgatus Zebrasoma scopas
Gosong Masadia Ambliglyphidodon curacao Amphiprion ocellaris Cetoscarus sordidus Chrysiptera cyanea Ctenochaetus strigatus Paraglyphidodon melas Pomacentrus molucensis Thalasoma lunare
178
Karang Bobubu Amphiprion perideraion Amphiprion clarkii Amblyglyphidodon curacao Ambliglyphidodon leucogaster Acanthurus sp. Ctenochaetus strigatus Chaetodon kleinii Chaetodon speculum Chrysiptera rollandi Cheilinus fasciatus Cetoscarus sordidus Dascylus trimaculatus Forcipiger longirostris Halichoeres scapularis Hemigymnus melapterus Heniochus acuminatus Labroides bicolor Paraglyphidodon sp. Pomacentrus molucensis Pseudanthias sp. Plectorhynchus
179
goldmani Plectorhynchus goldmani Siganus vulpinus Scolopsis margaritifer Zebrasoma scopas Siganus virgatus Thalasoma hardwickii
P. Bungitindeh Acanthurus spp. Amblyglyphidodon curacao Bodianus diana Chromis viridis Diploprion bifasciatum Paraglyphidodon melas Pomacentrus molucensis Scolopsis bilineatus Thalasoma hardwickii Zanclus cornotus
Karang Bolewang Acanthurus spp. Amblyglyphidodon curacao Amphiprion clarkii Cetoscarus sordidus Chaetodon kleinii Chromis margaritifer Chromis viridis Ctenochaetus strigatus Halichoeres hortulanus Halichoeres sp. Hemitaurichthys poylepis Labroides dimidiatus Macolor niger Naso vlamingi Odonus niger Paraglyphidodon melas Paraglyphidodon sp. Pseudatias squamipinnis Pseudochromis Scarus niger Scarus spp. Zanclus cornotus Zebrasoma scopas
P. Umbele Acanthurus spp. Amblyglyphidodon curacao Chromis ternatensis Cetoscarus sordidus Chaetodon ocelicaudus Naso sp. Chromis xanthura Myripristis murdjan Pseudanthias squamipinnis Pseudanthias dispar Pomacentrus molucensis Zebrasoma scopas
P. Samaringa Acanthurus spp. Amblyglyphidodon aureus Amphiprion periderarion Aulostoma chinensis Caesio lunaris Chaetodon kleinii Chromis margaritifer Ctenochaetus binotatus Dascylus trimaculatus Hemitaurichthys poylepis Heniochus varius Naso spp. Odonus niger Parupeneus bifasciatus Parupeneus multifasciatus Pomacentrus molucensis Pseudanthias spp. Pseudanthias
squamipinnis Thalasoma lunare Zanclus cornotus Zebrasoma scopas
P. Sainoa Abudefduf sexfasciatus Amblyglyphidodon curacao Chromis viridis Chromis ternatensis Centropyge eibli Labroides dimidiatus Myripristis murdjan Pomacentrus molucensis Paraglyphidodon sp. Pterois antennata Zebrasoma scopas
G Pengajarang Amblyglyphidodon aureus Ambliglyphidodon curacao Ctenochaetus strigatus Chromis caudalis Chaetodon kleinii Chromis viridis Chromis ternatensis Dascylus trimaculatus Pomacentrus molucensis Pomacentrus philipinus Paraglyphidodon melas Scarus sp. Scolopsis bilineatus Siganus vulpinus Scarus bleekeri Thalassoma hardwickii Zanclus cornotus
Tj. Bungku I Acanthurus lineatus Acanthurus spp. Ambliglyphidodon curacao Amphiprion ocellaris Centropyge eibli Cheilinus undulatus Chromis margaritifer Ctenochaetus strigatus Macolor niger Cetoscarus sordidus Chrysiptera cyanea Ctenochaetus strigatus Gosong Masadia Parupeneus bifasciatus Pomacentrus molucensis Pseudantias sp. Pygoplites diachantus Paraglyphidodon melas Pomacentrus molucensis Scolopsis bilineatus Siganus virgatus Thalasoma lunare Zanclus cornotus Zebrasoma scopas
Tj. Bungku 2 Odonus niger Pomacentrus molucensis Zanclus cornotus
180
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Pelatihan Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam. BAPPENASNATURAL RESOURCES MANAGEMENT PROGRAM. Jakarta. Cesar, H., 1996. Economic Analysis Of Indonesian Coral Reefs. World Bank Environment Department Department Paper, Environmentally Sustainable Development Vice Presidency. December 1996. The World Bank. Copper, J.C. 2000. The Application of Nonmarket Valuation Techniques to Agricultural Issues. Fauzi, A. 2000. Persepsi Terhadap Nilai Ekonomi Sumberdaya. Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB – Proyek Pesisir Coastal Resources Center University of Rhode Island. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal. Lyzenga, R.D. 1978. Shallow Water Bathymetri using Combined Lidar and Passiva Multispectral Scanner Data. Int’l. Journal Remote Sensing Vol. 6 No.1. Muller, K. 1999. Diving Indonesia : A Guide to the World’s Greatest Diving. Periplus Edition. Singapore. 332 p. Nilwan, et. al., 2003. Spesifikasi Teknis Neraca Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Bakosurtanal. Cibinong. 41 Hal. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan Oleh M. Eidman, D.G.Bengen, Koesoebiono, M. Hutomo dan S. Sukarjo. Gramedia. Jakarta. 410 Hal.
PKSPL-IPB. 2002. Kajian Metode Neraca Biotik dan Pengembangan Metode Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Laut. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
181
Sisca Dewi, E. 2006. Analisis Ekonomi Manfaat Ekonomi Terumbu Karang di Pulau Ternate Provinsi Maluku Utara. Thesis. Sekolah ascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siregar, V.P. 1995. Pemetaan Terumbu Karang dengan Menggunakan Kombinasi Citra Satelit SPOT-1 Kanal XS1 dan XS2 Aplikasi pada Karang Congkak dan Karang Lebar di Kepulauan Seribu â&#x20AC;&#x201C; Jakarta Utara. Buletin PSP Vol.1 No.1 Tahun 1995. Sukmara, A., A. J. Siahainenia dan C. Rotinsulu. 2001. Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis-Masyarakat dengan Metoda Manta Tow. Proyek Pesisir â&#x20AC;&#x201C; CRMP Indonesia. Jakarta. 48 hal. www.crc.uri.edu Suriadi, et. al., 2003. Spesifikasi Teknis Inventarisasi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Bakosurtanal. Cibinong. 113 Hal. Zaelany, A.A. 2003. Implementasi Strategi Adaptasi Nelayan Bom Ikan dan Dampaknya Terhadap Terumbu Karang: Kasus Pulau Karang, Propinsi Sulawesi Selatan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science.
PUSAT SURVEI SUMBER DAYA ALAM LAUT BAKOSURTANAL