23 minute read

FOOD INFO

Tranformasi Digital Industri Pengolahan Susu

Industri pangan menjadi salah satu sektor prioritas yang terdapat dalam peta jalan Making Indonesia 4.0 oleh Kementerian Perindustrian. Industri strategis ini didorong untuk mengurangi impor dan meningkatkan ekspor. Industri pengolahan susu merupakan salah satu sektor penopang kinerja industri pangan meski fakta di lapangan menunjukkan masih perlunya impor beberapa bahan baku dari luar negeri seperti skim milk, whole milk, anhydrous milk fat, butter milk, dan whey. Untuk mengurangi ketergantungan impor baha baku susu ini adalah dengan memperbaiki alur rantai pasok bahan baku susu. Kondisi saat ini yang umum terjadi adalah transaksi antara para peternak dan industri pengolahan susu (IPS) di tempat-tempat penerimaan susu (TPS) masih berlangsung secara manual atau konvensional.

Advertisement

“Transaksi manual tersebut membuat antrian yang panjang dan waktu yang lama sehingga menyebabkan penurunan kualitas susu. Apalagi masih ada TPS yang belum dilengkapi dengan cooling unit,” ungkap Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita dalam Siaran Pers Kemenperin Selasa, 5 April 2022 lalu. Kualitas susu yang tidak memenuhi standar juga dapat menyebabkan harga pembelian susu menjadi tidak maksimal. Oleh karena itu, Kemenperin telah memacubeberapaIPS melakukan rintisan pembinaan dalam penerapan transformasi digital di TPS-TPS dan dihubungkan dengan koperasinya, antara lain di beberapa TPS di bawah Koperasi SAE Pujon Malang (binaan PT Nestle) dan TPS-TPS di bawah KPBS Pengalengan (binaan PT Frisian Flag Indonesia). “TPS di kedua koperasi susu tersebut telah dilengkapi dengan timbangan digital dan peralatan pencatatan data peternak secara digital pula, sehingga proses transaksi setoran susu dapat berjalan lebih cepat dan transparan,” imbuh Agus.

Melalui digitalisasi di TPS dan Koperasi, Menperin optimistis, akan berdampak positif baik bagi peternak maupun IPS. Bagi peternak, diyakini akan mendapatkan harga yang lebih tinggi dari peningkatan kualitas susu yang disetor dan meningkatnya transparansi yang akan meningkatkan trust peternak kepada koperasi atau industri. Di sisi lain, bagi IPS akan mendapatkan bahan baku

susu dengan kualitas yang lebih baik sehingga akan berpengaruh terhadap produk olahan susu yang dihasilkan. “Dari digitalisasi Koperasi dan TPS ini, lebih jauh dapat dimungkinkan untuk dilakukan kajian pemberian input (pakan dan perlakuan) vs output (produktivitas dan kualitas susu) yang dihasilkan, sehingga ke depan diharapkan dapat diketahui jenis dan komposisi pakan yang optimal untuk menghasilkan SSDN dengan produktivitas dan kualitas yang tinggi,” kata Agus.

Guna mengukur kesiapan perusahaan dalam penerapan industri 4.0, Kemenperin telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pengukuran Tingkat Kesiapan Industri dalam Bertransformasi Menuju Industri 4.0. Berdasarkan hasil asesmen terhadap 706 perusahaan dari 11 subsektor industri (industri makanan dan minuman, tekstil, kimia, otomotif, elektronika, dan lain-lain) yang dilakukan oleh PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia dengan menggunakan Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0), diketahui bahwa angka rata-rata INDI 4.0 sebesar 1,9 atau mempunyai kesiapan pada tingkat sedang. Fri-35

INFO GAPMMI

Peluncuran Bimtek Transformasi 4.0 untuk Koperasi dan TPS

• Kementerian Perindustrian menyelenggarakan acara peluncuran

Bimbingan Teknis (Bimtek

Transformasi 4.0 untuk Koperasi dan Tempat Penerimaan Susu (TPS) di Gedung Kementerian

Perindustrian, Jakarta, 5 April 2022, yang diikuti secara luring dan daring dengan jumlah peserta lebih dari 800 yang merupakan perwakilan asosiasi terkait, koperasi susu dan TPS. Melalui digitalisasi di TPS dan Koperasi, Kementerian

Perindustrian optimis bahwa program ini berdampak positif bagi peternak maupun IPS. Bagi peternak, diyakini akan mendapatkan harga yang lebih tinggi dari peningkatan kualitas susu yang disetor dan meningkatnya transparansi yang akan meningkatkan kepercayaan peternak kepada koperasi atau industri. Bagi

IPS akan mendapatkan bahan baku susu dengan kualitas yang lebih baik sehingga akan berpengaruh terhadap produk olahan susu yang dihasilkan.

Dari digitalisasi Koperasi dan TPS dapat dimungkinkan untuk dilakukan

kajian pemberian input (pakan dan perlakuan) vs output (produktivitas dan kualitas susu) yang dihasilkan, sehingga ke depan diharapkan dapat diketahui jenis dan komposisi pakan yang optimal. Rekaman video acara peluncuran dapat disaksikan pada https://youtu.be/cmTvVjOBqfc • Perang Rusia-Ukraina telah berdampak hebat di sektor politik dan keamanan bilateral serta regional Eropa. Namun dampaknya sudah akan terus terasa di tingkat global, regional dan nasional, serta merembet ke berbagai sektor industri.

Berangkat dari hal ini, Universitas

Prasetiya Mulya menyelenggarakan

Webinar Research Talk Series "Konflik

Rusia-Ukraina: Sanksi Ekonomi dan Implikasi Global, Regional dan

Lokal", pada 7 April 2022. Ketua

Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman berkesempatan menjadi salah satu pembicara. Rekaman webinar dapat disaksikan di https://youtu.be/ oqgeSICNZbM • PT SUCOFINDO, bagian dari holding

BUMN Jasa Survei (IDSurvey) bersama dengan PT Rajawali Nusantara

Indonesia (Persero) atau BUMN

Holding Pangan ID FOOD menggelar rangkaian Webinar Friday's Halal Talk dengan tema Sertifikasi Halal dalam

Peningkatan Daya Saing Perusahaan, di Jakarta, 8 April 2022. Hal ini merupakan upaya bersama dalam merealisasikan Indonesia sebagai pusat industri halal pada tahun

Adhi S. Lukman menjadi pembicara dalam Webinar Friday's Halal Talk

2024. Kepala Badan Penyelenggara

Jaminan Produk Halal (BPJPH)

Kementerian Agama Muhammad

Aqil Irham mengatakan bahwa sertifikasi halal memiliki peran besar dalam pertumbuhan industri

Nasional. Indonesia memiliki peran kunci sebagai pemain utama dalam menghasilkan produk halal untuk mencapai cita-cita sebagai pusat industri halal pada 2024. Adhi S.

Lukman, Ketua Umum GAPMMI turut serta diundang untuk menyampaikan paparan mengenai Pertumbuhan Industri Pangan dengan Sertifikasi

Halal. Adhi menyampaikan bahwa sertifikasi halal menjadi keunggulan produk di pasar global. Kenaikan peringkat Indonesia dari sebelumnya naik ke posisi 2 di dunia terhadap produk halal merupakan pencapaian luar biasa. Harapannya agar tahun depan bisa rangking 1, lebih cepat dari target 2024. webinar dapat disaksikan melalui https:// youtu.be/

LhCFBU9gqxw • GAPMMI kembali mengadakan

Webinar Ketenagakerjaan dengan tema ”Menciptakan Harmonisasi

Hubungan Industrial untuk Keberhasilan Bersama Pasca Putusan

MK terhadap UU Cipta Kerja”, di mana mengundang Elly Rosita Silaban,

Presiden Konfederasi Serikat Buruh

Seluruh Indonesia (KSBSI), dan

Yosminaldi, Ketua Umum Asosiasi

Praktisi Human Resources Indonesia (ASPHRI) sebagai narasumber webinar yang diadakan pada 20 April 2022. Webinar mengupas lebih dalam mengenai dampak Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2020 tentang

Cipta Kerja yang diundangkan 5

Oktober 2020 kemudian dinyatakan

Makamah Konstitusi cacat formal dan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan MK Nomor 91/

PUUXVIII/2020. • GAPMMI berkolaborasi dengan

Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal

Pajak menyelenggarakan Sosialisasi

Pelaksanaan UU HPP terkait

Perubahan Ketentuan PPN bersama

Dirjen Pajak, pada 13 April 2022, secara hibrida, untuk luring diadakan di kantor Pusat Ditjen Pajak serta daring melalui zoom yang dihadiri sekitar 350 peserta. Neilmaldrin

Noor, S.E., M.Sc., sebagai Direktur

Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas

Ditjen Pajak, mewakili Dirjen Pajak untuk menyampaikan sambutan.

Sedangkan dari GAPMMI adalah Adhi

S. Lukman, Ketua Umum, serta Johan

Muliawan, Wakil Ketua Umum. Materi sosialisasi pajak dapat diunduh pada https://bit.lyMateriPajak13Apr22.

Fri-27

Harkonas 2022: Memahami Arti Penting Hak dan Kewajiban Konsumen

Konsumen adalah bagian penting dari rantai perdagangan, dan perlu bersinergi saling mendukung dan saling membutuhkan dengan produsen dan pihak terkait perdagangan lainnya. Kendati demikian, seringkali konsumen masih belum memahami apa saja hak dan kewajibannya sebagai konsumen agar dapat lebih memiliki kesadaran dalam mengonsumsi suatu jenis produk tertentu. Menangkap potensi tersebut, dalam peringatan Hari Konsumen Nasional (Harkonas) 2022, Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga menyelenggarakan temu wicara yang bertujuan untuk memasifkan arti pentingnya hak dan kewajiban kepada konsumen.

“Harkonas bertujuan untuk memasifkan arti pentingnya hak dan kewajiban kepada konsumen, mendorong peningkatan daya saing produk yang dihasilkan pelaku usaha dalam negeri, mendorong produksi dan perdagangan barang/jasa berkualitas dan berdaya saing, menempatkan konsumen sebagai agen perubahan penentu kegiatan ekonomi Indonesia, mendorong pemerintah melaksanakan tugas peningkatan perlindungan konsumen, serta mendorong jejaring komunitas perlindungan konsumen,” kata Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, dalam siaran pers Kementerian Perdagangan, 20 April 2022 lalu.

Lebih lanjut, Wamendag menyampaikan bahwa Harkonas yang diperingati setiap 20 April, diharapkan agar konsumen Indonesia semakin sadar akan hak dan kewajibannya untuk menentukan pilihan terbaik serta memiliki nasionalisme tinggi

untuk membeli produk dalam negeri. Konsumen Indonesia merupakan salah satu prioritas yang dilayani dan dilindungi kepentingannya oleh Kemendag. Di samping itu, penduduk Indonesia yang berujumlah 270,2 juta jiwa memiliki peranan penting pada produk domestik bruto (PDB) nasional. Dari total PDB 2021 yang mencapai 16,97 kuadriliun, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga berkontribusi sebesar 54,42% atau mencapai Rp9,24 kuadriliun, yang berarti perekonomian Indonesia masih didominasi oleh komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga.

Menurut Wamendag, Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) Indonesia 2021 sebesar 50,39, yang berada pada level Mampu, dan masih ada dua level lagi di atasnya, yaitu Kritis dan Berdaya. Untuk itu, menjadi kewajiban kita bersama untuk turut serta memberikan literasi dan sosialisasi kepada masyarakat untuk menjamin hak dan kewajibannya. Sehingga, nantinya dapat meningkatkan IKK, yang pada akhirnya menjadikan konsumen berdaya. “Namun, tidak cukup hanya menjadi konsumen cerdas, kita harus cinta dengan produk dalam negeri. Produk dalam negeri tidak kalah dengan produk luar negeri dan kita harus bangga menggunakannya,” pungkasnya. Fri-35

FOODREVIEW INDONESIA

WEBINAR

SAGO:

Emerging Food Ingredients

Pati memiliki kegunaan yang sangat luas di industri pangan. Polimer karbohidrat ini biasa digunakan sebagai bahan untuk pengental, pengemulsi, penstabil buih, pembentuk tekstur gel, pengikat, penstabil minuman, hingga digunakan sebagai ingridien suatu produk pangan. Karena manfaatnya tersebut, pemenuhan kebutuhan akan pati perlu dipastikan agar dapat digunakan secara optimal oleh industri pangan. Indonesia memiliki jenis pati komersial yang berasal dari beberapa jenis komoditas seperti serealia (beras, jagung), ragam umbi (singkong, ubi jalar, ubi garut, ganyong), hingga palma (sagu dan aren).

Dari beberapa jenis tersebut, pati sagu adalah jenis pati komersial yang berasal dari batang pohon palma yang masih sangat sedikit eksplorasinya. Hal ini tidak lain dikarenakan beberapa faktor seperti panjangnya periode pemanenan, terbatasnya metode penanaman dan pemanenan, serta beragamnya kualitas dari pati sagu. Tidak hanya itu, terbatasnya strategi dan kebijakan yang komprehensif juga menjadi salah satu pendorong kurangnya pemanfaatan pati sagu. “Meski demikian, saat ini sudah mulai terlihat upaya untuk mempromosikan dan memanfaatkan sagu lebih luas dengan berbagai pertimbangan potensi pati sagu yang tidak kalah dengan jenis pati lainnya, kata Peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Dr. Ir. Endang Yuli Purwani, M.Si. dalam FoodReview Indonesia Webinar – Sago: Emerging Food Ingredients yang diselenggrakan pada Kamis, 7 April 2022 secara virtual.

Lebih lanjut, Endang juga menuturkan bahwa klasifikasi sagu pada masa lalu

Dr. Ir. Endang Yuli Purwani, M.Si. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian

dapat dilihat dari ada tidaknya duri pada pohon palma, sedangkan saat ini diklasifikasikan menjadi tiga yakni tidak berduri, berduri panjang, dan berduri sedang. Namun demikian, masih belum bisa disimpulkan adanya korelasi yang jelas antara duri dengan bentuk gel yang berbeda pada sagu pati seperti kandungan amilosa pada beras. “Pada beras, sudah dapat dikatakan bahwa jika beras tersebut memiliki amilosa yang tinggi, maka beras akan cenderung pera. Jika amilosa sedang maka akan sedikit pulen dan jika amilosa rendah pasti pulen,” imbuhnya. Dalam bahan pangan, sagu memiliki peran yang cukup banyak. Salah satunya berkontribusi pada penampakan suatu produk pangan seperti pewarna.

Penggunaan sagu, terutama sagu native masih memiliki kendala pada warna yang masih buram. Kendati demikian, saat ini sudah mulai banyak kecenderungan penerimaan pada kenampakan sagu tersebut sehingga tidak lagi menjadi masalah yang berarti. Untuk industri pangan, penggunaan pati ini memang masih memiliki beberapa tantangan karena beberapa hal seperti ancaman adanya ingridien baru, stok yang tidak dapat dipastikan ketersediaannya secara terus-menerus, hingga kekuatan tren konsumen yang sangat dinamis.

Aplikasi sagu

Meski belum semasif penggunaan pati dan tepung lainnya, pati sagu ini juga mulai dan terus dieksplorasi pemanfaatannya untuk industri pangan. Dari berbagai penelitian yang dilakukan, pati sagu alam menunjukkan potensinya sebagai ingridien utama pada beberapa formulasi produk seperti olahan daging, tepung penyalut, bakeri, dan juga pada mi dan pasta.

“Kami mencoba mengembangkan pati sagu ini untuk bisa diaplikasikan pada rentang produk yang lebih luas.

Nelda Hermawan, Head of Commercial, Sago & Edamame PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJ) Ilham Billy Nugraha Food Application Senior Staff, PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJ)

Namun, saat ini kami sudah berhasil melakukan pada beberapa produk seperti olahan daging, termasuk bakso, sosis, nugget dan pada premiks seperti tepung penyalut dan lain sebagainya,” ungkap Head of Commercial, Sago & Edamame, PT Austindo Jaya Tbk (ANJ), Nelda Hermawan. Lebih lanjut, Nelda juga menuturkan bahwa pati sagu alam ini juga memiliki beberapa manfaat fungsional lain seperti bebas gluten sehingga sangat baik untuk konsumen yang memiliki alergi pada protein gluten. Beberapa jenis produk yang dikembangkan dengan klaim bebas gluten ini seperti produk specialty nasi dan mi serta produk-produk baked goods mulai dari pancake mix, roti, kukis, snack bar dan lainnya.

Dengan sifat fungsionalnya yang bebas gluten, membuat pati sagu dapat menjadi salah satu peluang untuk menjawan tren bebas gluten yang saat ini terus meningkat permintaannya. Tidak hanya terkait kualitas produk, Nelda juga menuturkan bahwa ANJ memiliki manajemen lahan dan penggilingan yang telah diatur sedemikian rupa. Dalam manajemen lahan misalnya, telah mengaplikasikan manajemen pemanenan yang selektif dan tidak menggunakan pestisida atau pemupukan. Sedangkan pada manajemen penggilingan, penerapan peralatan untuk industri pati yang modern telah dilakukan sejalan dengan tidak adanya penggunaan pemutih dan termasuk manajemen limbah.

Dalam kesempatan yang sama, Food Application Senior, PT Austindo Jaya Tbk (ANJ), Ilham Billy Nugraha juga menjelaskan perbedaan penggunaan pati sagu alam dibandingkan pada jenis pati lain seperti tapioka dan jagung pada produk bakso. “Dibandingkan dengan menggunakan pati jagung dan tapioka, bakso dengan formula pati sagu memiliki tekstur yang lebih kenyal, padat, dan sedikit porous (rongga) dengan warna yang sedikit cenderung gelap,” kata Ilham. Fri-35

Rancangan Platform Sistem Integritas Pangan di Era Transformasi Digital

Oleh Lilik Sutiarso Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk mencapai 273 juta jiwa lebih (Ditjen Dukcapil, Kemendagri, Desember 2021) dan sekaligus sebagai negara terbanyak penduduknya keempat dunia tentunya tidak bisa lepas dengan pekerjaan rumah tentang sistem pangan nasional.

Tidak hanya terkait bagaimana negara kita menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk yang tinggal di bumi ini, tetapi juga harus dipastikan bahwa pangan yang tersedia dijamin keamanan, dan mutu, serta keasliannya. Kemudian juga, harus benar-benar dijaga tidak adanya pemalsuan pangan yang tentunya dapat memberikan dampak negatif kepada masyarakat yang mengonsumsinya. Sistem pangan nasional harus dibangun dengan pondasi yang kuat dan mengakar pada potensi sumber daya alam lokal, sehingga sistem ini akan menjadi “robust” dan berkelanjutan (sustainable food system). Tentunya hal ini tidak hanya berhenti menjadi sebuah wacana atau slogan saja, atau sebuah teori/konsep yang dijadikan materi perkuliahan di perguruan tinggi. Namun, menjadi kewajiban seluruh elemen yang ada di negara ini untuk mewujudkannya bersama-sama.

Rantai Sistem Pangan

Achmad Suryana (PSEKP, Litbang Pertanian Kementan, 2020) menerjemahkan Sistem Pangan dari definisi yang dipublikasikan oleh FAO (2016) adalah sebagai rute perjalanan suatu produk pangan mulai dari dipanen di lahan produksi sampai di meja makan untuk dikonsumsi. Kemudian, mengacu pada UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, sistem pangan dibangun dari tiga subsistem yaitu, ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), dan pemanfaatan (utilization). Aktivitas yang merupakan bagian dari subsistem ketersediaan, meliputi proses produksi pertanian, distribusi dan perdagangan, baik di dalam maupun luar negeri. Indikator keterjangkauan pangan dapat diukur dari aspek aksesibilitas, alokasi, dan preferensi konsumen terhadap pangan. Sedangkan subsistem pemanfaatan pangan, di dalamnya terdiri dari

beberapa unsur penting seperti: nilai gizi, nilai-nilai sosial budaya masyarakat dan pertimbangan pada keamanan pangan.

Kita mulai melihat dari aspek hulu dalam rantai sistem pangan (food system chain), yaitu profil pertanian Indonesia saat ini. Berdasarkan pada indikator makro ekonomi Indonesia; sektor pertanian menyumbang sekitar 13,28% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, walaupun tercatat turun sebesar 0,42% dibanding tahun sebelumnya (BPS, 2021). Namun demikian, ada kenaikan kontribusi pada sub sektor pertanian tanaman pangan sebesar 2,60% dari kondisi tahun sebelumnya. Dapat diartikan bahwa, proses hilirisasi sektor pertanian sebagai bahan pangan cukup signifikan dibanding dengan sub sektor tanaman lainnya. Ketersediaan bahan baku pertanian untuk industri pangan memberikan jaminan ketersediaan pangan (food availability). Indikasi peningkatan produktivitas di bagian hulu dari sistem pertanian tentunya memberikan rasa aman akan adanya jaminan ketersediaan bahan pangan yang berkelanjutan, tetapi, kondisi ini bukannya tanpa tantangan sama sekali.

FAO (2020) memberikan pesan pada tahun 2050, produktivitas pertanian diproyeksikan akan turun

sebesar 25%, apabila dari sekarang tidak ada upaya dalam melakukan mitigasi dampak perubahan ikilm. Hal ini dapat diartikan bahwa ketahanan sistem pertanian kita belum cukup kuat dengan adanya gangguan eksternal (disturbances). Kita patut memberikan apresiasi kepada para peneliti yang telah banyak mengembangkan teknologi yang berupaya meminimalisasi pengaruh dampak perubahan iklim pada penurunan produktivitas sistem pertanian, salah satunya yang dikenal adalah Climate Smart Agriculture (CSA). Sebuah teknologi yang menggunakan pendekatan terintegrasi untuk mengelola kawasan pertanian yang dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim sehingga dapat menjamin keberlanjutan sistem.

Cerita dari sisi lain terkait dengan kehandalan sistem pertanian Indonesia; sekitar awal tahun 2020, pandemi COVID-19 mulai masuk dan menyerang negara kita, seperti juga dialami oleh negara-negara lainnya di belahan dunia lainnya. Walaupun kondisinya sudah membaik pada saat sekarang ini, namun tentunya belum bisa dikatakan bahwa kita bebas dari ancaman COVID-19 dengan segala bentuk turunannya. Perjalanan pandemi COVID-19 selama dua tahun ini memberikan banyak pelajaran kepada kita bahwa tidak hanya sektor kesehatan masyarakat saja yang terkena dampak langsung, tapi dapat dikatakan multi-sektor yang terkait dalam kehidupan manusia mengalami akibat dari pandemi tersebut. Mendasarkan pada hasil kajian dari Dcode EFC Analysis (2020), rantai sistem pangan dari hulu (sektor pertanian) sampai hilir (sektor pengolahan pangan) justru telah menunjukkan kekuatannya dalam bertahan di tengah masa pandemi COVID-19 menjadi salah satu “the potential winners” dibandingkan dengan sektor lainnya, seperti: pariwisata,

transportasi, layanan jasa keuangan, manufaktur ataupun otomotif.

Komitmen Kementerian Pertanian sebagai salah satu elemen lembaga eksekutif di Indonesia telah merespon positif kondisi yang terjadi selama masa pandemi dan kemudian mencanangkan empat program pembangunan pertanian nasional menjelang Pascapandemi Dcode EFC Analysis 19 (Era New Normal). Dua dari empat program prioritas sangat terkait dengan pembangunan pangan, yaitu; (i) diversifikasi pangan lokal, dan (ii) penguatan cadangan dan sistem logistik pangan. Sedangkan dua program lainnya lebih memperkuat sektor hulu; peningkatan produktivitas pertanian dan pembangunan kawasan food estate melalui pengambangan pertanian modern. Lebih lanjut, mengacu pada Permen. Ristek-Dikti (2019), turunan kebijakan pemerintah terhadap penguatan pangan nasional juga didukung dengan penetapan prioritas pengembangan IPTEKS Nasional melalui penguatan riset di bidang pangan dan pertanian, khususnya fokus pada ketahanan dan kemandirian pangan sampai tahun 2024.

Apabila dikaitkan dengan perkembangan sektor industri pangan, Kementerian Perindustrian dalam merespon kesiapan Indonesia masuk pada Era Revolusi Industri 4.0, berupaya meningkatkan produktivitas dan daya saing industri manufaktur nasional. Ada lima sektor industri prioritas yang dipersiapkan untuk mampu berkompetisi di era saat ini; (i) industri makanan dan minuman, (ii) industri kimia, (iii) industri tekstil dan pakaian jadi, (iv) industri otomotif, dan (v) industri elektronika. Industri makanan dan minuman ini memiliki dampak dan tingkat kelayakan paling tinggi, serta mampu bertahan pada saat pandemi COVID-19 dibandingkan sektor lainnya.

Dari berbagai rujukan yang ada; upaya-upaya dalam mendukung “the future state of food system” yang berkelanjutan di Indonesia; (i) berbasis pengetahuan manusia (human knowledge), (ii) keterlibatan dan dukungan pemangku kepentingan sistem pangan (stakeholders support/ engagement), dan (iii) kebijakan dan regulasi pemerintah (government policy). Kemudian, apabila diturunkan ke dalam program-program nyata, dapat dimisalkan seperti berikut: (i) dukungan penuh terhadap petani, (ii) keterlibatan masyarakat konsumen dalam proses transformasi, (iii) aselerasi (percepatan) peningkatan bisnis start-up menjadi UKM pangan, (iv) pemikiran/berpikir secara sistem pada sistem pangan, (v) transformasi regulasi, (vi) investasi pada pendidikan dan keterampilan SDM, (vii) transfer pengetahuan.

Profil sistem ketahanan pangan

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Undang-Undang No. 18/2012). Mengacu pengertian ketahanan pangan menurut UU Pangan tersebut; secara jelas dapat dipahami bahwa urusan pangan di suatu wilayah pada berbagai tingkatan, mulai keluarga sampai pada kawasan suatu negara sangatlah kompleks dan multi dimensi, saling terkait antar komponen, dan bersifat dinamis terhadap perubahan waktu. Hal ini memperjelas posisi sistem pangan dalam berkehidupan bernegara dapat dikaitkan dengan kedudukan dan ketahanan negara.

Keinginan Indonesia untuk menjadi negara yang berdaulat pangan, tentunya dapat diukur dari kekuatan dan ketahanan sistem pangan dalam negerinya. Sebagai salah satu indikator yang mengukur kekuatan ketahanan pangan kita dapat mengacu pada hasil pengukuran Global Food Security Index (GFSI) tahun 2021. Adapun komponen yang menjadi ukuran dalam penetapan indeks tersebut adalah; (i) keterjangkauan pangan (food affordability), (ii) ketersediaan pangan (food availability), (iii) mutu dan keamanan pangan (quality and safety), dan sumber daya alam dan tingkat ketangguhannya (natural resources and resilience). GFSI memasukkan kategori “Sumber Daya Alam dan Ketahanan” ke dalam indeks utama. Kategori ini menilai keterpaparan suatu negara terhadap dampak perubahan iklim; kerentanannya terhadap risiko sumber daya alam; dan bagaimana negara tersebut beradaptasi dengan risikorisiko tersebut, yang kesemuanya berdampak pada timbulnya kerawanan pangan di suatu negara. Berdasarkan hasil laporan dari The Economist Group (2022),berikut posisi (ranking) Indonesia, urutan ke 69 dari 113 negara.

Posisi ini kurang menguntungkan bagi Indonesia, apabila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, antara lain; Malaysia (39/113), Singapore (15/113), Thailand (51/113), Philippines (64/113), Vietnam (61/113), Myanmar (72/112), dan Laos (91/112). Situasi ini memberikan “warning” kepada Indonesia bahwa perlu adanya arah kebijakan dan program strategi yang jelas pada setiap komponen di atas untuk akselerasi pencapaian status ketahanan pangan dari tingkat “moderate” menjadi “good” atau bahkan “best” performance.

Berdasarkan pada pengamatan beberapa pakar pangan nasional, pandemi COVID-19 memberikan dampak negatif pada beberapa pilar ketahanan pangan; subsistem logistik pangan akibat dari terbatasnya mobilitas baik barang maupun sumber daya manusia. Sistem manajemen rantai pasok pangan (supply chain management) ikut terganggu dalam situasi COVID-19, khususnya pada keterbatasan masyarakat pada akses pangan. Menurut Bayu Krisnamurthi (2020), dalam sistem ketahanan pangan nasional difokuskan pada pilar

konsumsi. Upaya nyata masyarakat dalam mengurangi besarnya “food waste” sebagai salah satu strategi untuk memperkuat ketahanan pangan, data menunjukkan food waste di Indonesia mencapai sekitar 300 kg/ org/tahun, di atas US (277 kg/org/ tahun). McKinsey & Company (2020) melakukan survei terkait dengan perubahan perilaku konsumen dalam membelanjakan pangan untuk konsumsi harian di Indonesia selama masa pandemi COVID-19. Sekitar 69% fokus pada keamanan produk pangan (food product safety), dan 79% masyarakat bersedia menghabiskan waktu yang lebih lama untuk mencermati bagaimana makanan tersebut diproses (food safety).

Transformasi teknologi digital dalam sistem pertanian pangan

Dalam dekade terakhir ini, tepatnya tahun 2011, hampir semua negara di dunia bersiap memasuki era transformasi dalam berbagai sektor; khususnya industri, yang kemudian dikenal Revolusi Industri (RI) 4.0. Transisi menuju RI. 4.0 ditandai secara signifikan dengan proses alih dan aplikasi teknologi digital pada semua lini industri, termasuk di dalamnya industri pangan. Atribut teknologi pada RI 4.0 didominasi dengan pengembangan sistem cerdas yang berbasis pada bentuk interaksi antara human-machine, artificial intelligence (AI) dan machine

BELI FOODREVIEW DI TOKOPEDIA & shopee

*Juga tersedia buku-buku terbitan PT Media Pangan Indonesia

learning. Digitalisasi di sektor pertanian pangan tidak hanya untuk menjamin pada optimalisasi produktivitas sistem, namun juga menjadi perangkat penting dalam memitigasi permasalahanpermasalahan yang menganggu kestabilan dan keberlanjutan sistem pertanian pangan; misalnya; perubahan iklim. Peran teknologi digital sangat signifikan dalam lini sistem pangan, mulai dari hulu sampai hilir. Posisi teknologi ini menjadi “system backbone” yang bertugas dalam mengalirkan data dan informasi pada setiap komponen untuk dirubah menjadi bentuk pengetahuan (knowledge) yang kemudian digunakan dalam proses pengambilan keputusan.

Seperti yang dipresentasikan oleh Jos Verstegen dalam International Symposium yang bertemakan “Connecting Data for Sustainable Food Systems”(2022), transformasi digital dalam “agro-food system” melingkupi 4 area; (i) pengambilan keputusan oleh konsumen ataupun pelaku bisnis, (ii) sistem integritas pangan, (iii) pengambilan keputusan oleh publik, dan (iv) berbagai ilmu dan teknologi yang telah dikembangkan, antara lain; AI, big data analytic, blockchain technology, IoT, cloud computing.

Kesiapan Indonesia dalam memasuki era digitalisasi dapat dilihat dari berbagai atribut teknologi yang ada saat ini dan tingkat aplikasinya. Dengan

mendasarkan pada “Indonesian Digital Report – 2021”; pengguna mobile phone; 125,6% dari total populasi, pengguna internet (73,7%), kemudian masyarakat yang aktif menggunakan media sosial (61,8%). Masih banyak lagi indikator yang menunjukkan bahwa Indonesia siap masuk dalam pembangunan sektor industri berbasis teknologi digital. Secara jelas, arah kebijakan pemerintah terkait dengan transformasi digital di Indonesia difokuskan pada; perluasan akses dan infrastruktur digital, penyusunan peta jalan (roadmap) transformasi digital pada sektor strategis nasional, salah satunya adalah sistem pangan, pembangunan pusat data terintegrasi, peningkatan SDM bertalenta digital, dan regulasi dan pendanaan dalam mendukung transformasi digital.

Pengembangan sektor pangan membutuhkan terobosan strategi dan mekanisme kerja yang inovatif guna meningkatkan efisiensi proses produksi, pangan berkualitas dengan harga terjangkau, memperbaiki daya dukung lingkungan (sustainable environment) dan mensejahterakan petani, melalui penggunaan teknologi digital modern yang lebih efisien dan produktif.

Rancangan sistem integritas pangan nasioanal

Di bagian akhir dari tulisan ini akan dijabarkan bentuk rancangan berupa “cetak biru” atau blue print dari platform sistem integritas pangan di Indonesia yang mampu beradaptasi pada perkembangan teknologi digital. Dengan menyadur dari berbagai referensi, dapat dipahamkan tentang apa yang dimaksud dengan integritas pangan. Beberapa Pengertian tentang “food integrity”: integrity as “the quality of being whole and complete” [Cambridge University Press, 2018]. Adapun maknanya adalah integritas merupakan bentuk kesempurnaan secara menyeluruh dalam dimensi parameter kualitas. Apabila dikaitkan dengan integritas pangan, dapat mengandung makna terbangunnya sistem rantai pasok yang memiliki akurasi tinggi dalam mentransfer informasi material pangan. Dalam sudut pandang sistem informasi; makna integritas ditandai dengan fitur-fitur yang presisi, akurat dan lengkap. Sehingga tentunya hal ini akan mendukung bentuk keputusan yang akuntabel dan transparansi.

Arsitektur sistem integritas pangan ditopang oleh tiga pilar atribut pangan, yaitu; (i) kualitas pangan (food quality), (ii) keamanan pangan (food safety), dan (iii) pertahanan pangan (food defense), untuk menjamin integritas pangan. Sebagai pondasi dari bangunan integritas pangan adalah teknologi yang berhubungan dengan sistem pangan dan sistem penelusuran pangan (food traceability). Agar bangunan ini kokoh, stabil dan berkelanjutan, pondasi paling bawah adalah sebuah sistem penjaminan pangan dan nilai-nilai standar pangan yang dapat diterima oleh berbagai stakeholders pangan. Berangkat dari konsep tersebut, dan pemahaman perilaku masing-masing komponen, maka rancangan platform sistem

integritas pangan nasional dibangun dari enam (6) komponen utama, yaitu; (i) penggunaan teknologi digital yang “berkemanusiaan” dalam sistem rantai pangan, (ii) penyiapan SDM yang kompeten (qualified) dan bertalenta digital, dalam berbagai tingkatan; pengguna, operator, manajer dan perancang sistem pangan, (iii) adanya dukungan infrastruktur teknologi digital, baik berupa hardware dan software dalam pengelolaan sistem rantai pasok pangan, (iv) perluasan kolaborasi dengan sektor industri permesinan pertanian dan pangan untuk menjamin beroperasinya proses produksi pada setiap lini industri pangan, (v) penguatan sistem kelembagaan pangan yang berorientasi pada organisasi pembelajar sehingga dapat menjamin keberlanjutan sistem integritas pangan, dan (vi) penajaman kebijakan dan regulasi pemerintah untuk menjamin sistem pangan nasional, keberpihakan kepada petani dan memberikan pencegahan terhadap adanya praktekpraktek yang membawa dampak negatif (pemalsuan pangan) terhadap integritas pangan; berkualitas, aman dan asli.

Akhirnya, dengan segala keterbatasan yang ada; penelaahan pustaka dan analisis situasi tentang sistem pangan Indonesia saat ini, serta proyeksi ke depannya diselesaikan sampai pada tahapan konseptualisasi rancangan platform sistem integritas pangan nasional. Mudah-mudahan dalam kesempatan berikutnya dapat dilanjutkan dengan penjabaran yang lebih detil dan terinci terkait dengan mekanisme dan desain programprogram yang lebih teknis dalam sistem integritas pangan di era teknologi digital. Sekian dan terima kasih. Semoga dapat memberikan manfaat.

Referensi:

Achmad Suryana, 2020: Memperkokoh Sistem Pangan

Untuk Antisipasi Dampak Pandemi Covid 19. Pusat

Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan

Litbang. Pertanian, Kementerian Pertanian. Anonim, 2012: Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia RI. Jos Verstegen, 2022: Connecting Data for Sustainable

Food Systems. IoP International Sysmposium, Japan. McKinsey & Company, 2020: Survey Report: Food Retail in Indonesia during Covid 19 Pandemic. https:// www.mckinsey.com/industries/retail/our-insights/ survey-food-retail-in-indonesia-during-the-covid-19pandemic. The Economist Group, 2022: The Global Food Security

Index. https://impact.economist.com/sustainability project/food-security-index.

This article is from: