13 minute read
Sistem Ketertelusuran & Autentikasi Pangan
Oleh Winiati P. Rahayu Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB University
Sistem ketertelusuran dikembangkan untuk mencegah kejahatan pangan, dan untuk membantu pelaksanaan penarikan produk saat diperlukan, agar dapat terlaksana secara efektif. Sistem autentikasi memberikan jaminan kepada konsumen mendapatkan pangan sesuai dengan yang tertera pada label. Penggunaan sistem ini selain untuk mencegah dan mengatasi isu keamanan pangan, juga digunakan sebagai alat bantu mengembangkan standar pangan.
Advertisement
Perhatian terhadap kualitas dan keamanan pangan masyarakat dalam negeri maupun global semakin meningkat akhir-akhir ini. Sebagian besar konsumen lebih memerhatikan proses pengolahan pangan from farm to table. Mereka memerhatikan proses yang terjadi mulai dari kualitas dan keamanan bahan baku sampai pangan tersebut siap dikonsumsi. Dengan demikian, hal ini mendorong produsen untuk dapat lebih memerhatikan proses pengolahan pangannya. Masalah keamanan pangan yang mungkin terjadi dapat diantisipasi dengan penerapan higiene sanitasi, good manufacturing process (GMP) hingga HACCP system. Selain itu, sistem traceability (ketertelusuran) dan authentication (autentikasi) pangan juga dikembangkan.
Food traceability adalah suatu metode untuk menelusuri saat pangan diolah sepanjang rantai pangan dari bahan baku hingga siap konsumsi. Penelusuran pangan membantu menemukan akar dan besaran permasalahan dari suatu potensi masalah. Food authentication adalah metode untuk memberikan jaminan kepada konsumen untuk memperoleh haknya sesuai dengan komposisi yang tertera pada label. Hal ini diperlukan karena tidak jarang ada penyimpangan yang disebabkan karena kejahatan pangan (food fraud). Era globalisasi ikut mendorong berkembangnya peluang ekonomi, namun bagi sebagian pelaku kejahatan, juga merupakan peluang untuk memperoleh keuntungan yang setinggitingginya dengan melakukan pemalsuan pangan.
Perkembangan dari sistem ketertelusuran dan autentikasi ini dapat diikuti sejak tahun 1994 saat ISO mendefinisikan mengenai istilah traceability (ISO 8402). Selanjutnya tahun 2002 The Food Safety Agency (FSA) menambahkan karakteristiknya, dan unit-unit yang dijadikan titik kritis yang harus tercatat dengan baik. Tahun 2004 CODEX memperbarui definisi traceability, dan tahun 2005 ISO melalui ISO 9000, mengemukakan definisi baru dan perkuatan aplikasinya ke depan. Di sisi lain, Danezis et al. (2016) mengembangkan definisi authentication yaitu suatu metode untuk penjaminan sesuai label yang diberikan, penambahan informasi asal bahan, dan metode proses yang diterapkan.
Sistem untuk penelusuran
Dalam ketertelusuran, dikenal istilah tracking dan tracing. Tracking adalah kegiatan penelusuran ke arah hilir, sedangkan tracing adalah kegiatan penelusuran ke arah hulu. Ketertelusuran adalah suatu mekanisme kegiatan yang meliputi identikasi unit-unit proses sebagai titik kritis untuk melakukan pengamatan, hubungan (link), pencatatan informasi dan pengumpulan dan penyimpanan informasi serta verifikasinya.
Publikasi yang dikeluarkan FAO pada tahun 2017 berupa pedoman yang memuat prinsip dan implementasi ketertelusuran mulai dari tingkat petani, pemasok, jasa pangan, dan seterusnya hingga pangan siap konsumsi. Pada pedoman tersebut termuat contoh implementasi yang meliputi hal-hal yang perlu disiapkan, cara melakukan proses ketertelusuran, hingga teknologi yang digunakan. Pada prinsipnya pelaku dapat mengidentifikasi unit-unit pengamatan kritis untuk menjadi pusat perhatian, memberinya identitas yang jelas, dan menerapkan metode yang sesuai.
Sebagai contoh misalnya perusahaan repacker harus tahu betul identitas dan karakter pemasok yang artinya
semua informasi one step back dikuasai. Demikian juga sebaliknya pemasok harus memahami dengan baik semua informasi dari repacker-nya (one step forward). Contoh lainnya adalah pada industri grower baik berbahan hewani maupun nabati. Data umum dan spesifik dapat dikumpulkan seperti nama perusahaan, waktu menerima pupuk atau obat hewan, dan lain sebagainya. Selain itu juga informasi mengenai identitas dan karakteristik pasar yang akan dituju, yang meliputi pasar lokal maupun untuk tujuan ekspor.
Media untuk merekam semua informasi dan cara perekamannya juga harus jelas, walaupun untuk sebagian pelaku usaha masih dimungkinkan untuk melakukannya secara tradisional. Perekaman secara modern dapat dilakukan secara elektronik dan penyimpanan data dilakukan secara real time. Ketersediaan database elektronik yang baik akan memudahkan proses ketertelusuran saat diperlukan. Seiring dengan teknologi yang berkembang, maka metode modern juga berkembang. Penggunaan kode batang maupun penggunaan internet of things (IoT) yang memberikan data secara real time memudahkan proses identifikasi.
Sebagai contoh, tag yang dicantumkan pada sapi, akan memberikan informasi secara real time dengan GPS yang merekam lokasi tempat makan sapi, jenis rumput yang dimakan, berat sapi,
konversi ransum yang dikonsumsi dan sebagainya. Semua label pada produk juga harus jelas karena konsumen berhak tahu mengenai segala sesuatunya dalam produk tersebut. Pada saat terjadi recall, posisi produk dapat masih berada di jalur distribusi atau sudah berada di tangan konsumen. Pada saat produk sudah berada di tangan konsumen, maka peran konsumen pada proses recall sangat besar. Lain halnya bila proses recall masih di jalur distribusi maka peran industri yang lebih besar. Kesemua proses recall tersebut terkoordinasi dengan lembaga pengawas pemerintah.
Penyimpanan data-data tersebut dapat menggunakan sistem blockchain. Pada penyimpanan sistem konvensional hanya menggunakan satu server sehingga mudah dijebol ataupun dimanipulasi, namun hal ini dapat dihindari dengan sistem blockchain yang setiap servernya terhubung satu dengan lain dan datanya dapat diambil secara real time, sehingga lebih terjaga keamanannya.
Autentikasi pangan
Pemalsuan pangan terjadi karena ada kasus substitusi (substitution), memberi tambahan yang salah (unapproved enhancements), menutupi kekurangan pangan (concealment), pelabelan yang salah (mislabeling), pengenceran (dilution), pemalsuan (counterfeiting), dan penyelundupan (grey market). Beberapa kasus yang mendapat perhatian dunia contohnya adalah pemalsuan minyak zaitun, pemalsuan identitas ikan, dan pangan organik, penyalahgunaan melamin pada susu, penyamaran identitas biji-bijan (beras brasmanti, GMO), penambahan gula pada madu, identitas jenis dan asal kopi atau teh, rempah-rempah, wine dan jus buah.
Indikator untuk mengenali hal hal tersebut secara modern dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara pertama adalah dengan indikator kandungan logam dari suatu area perkebunan yang identik dengan hasil panen daerah tersebut. Kedua dengan metabolomik fingerprint, yang dapat melacak identitas hasil metabolisme parsial atau keseluruhan yang dapat dianalisis dengan alat nuclear magnetic resonance (NMR), mass spectrometry (MS), gas chromatography mass spectrometry (GC–MS), liquid chromatography mass spectrometry (LC–MS), ultra performance liquid chromatography (UPLC), QTOFMS, Orbitrap-based technologies, HighResolution MS (HRMS), vibrational spectroscopic techniques (near-infrared/ NIR, mid-infrared/MIR), dan Raman.
Ketiga dengan microbial fingerprint
yang akan membaca jenis mikroba maupun hasil fermentasi yang dihasilkan berdasarkan material genetiknya menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) baik bersifat standar ataupun yang real time. Terakhir adalah dengan teknik evaluasi sensori. Teknik ini berkembang pesat akhir-akhir ini terutama dengan penggunaan panelis ahli yang mempunyai kemampuan sangat spesifik terhadap suatu sifat sensori. Sebagai contoh, seorang panelis ahli kopi mampu mengenai asal dan varietas kopi berdasarkan aromanya dan kemampuannya tersebut dapat diverifikasi dengan instrumen GC-MS melalui inose.
Peluang dan tantangan
Rantai pangan global menuntut pemenuhan data, dan tantangan terbesar dari proses ketertelusuran adalah penyimpanan data yang bersifat multidimensi. Tanpa adanya kelengkapan dan kemudahan mendapatkan data suatu bahan baku, proses maupun produk, maka proses ketertelusuran tidak mudah dilakukan. Pengembangan teknik informatika yang akan mendorong kemudahan proses ketertelusuranseperti penggunaan IoT, big data, machine learning, dan sejenisnya perlu terus dikembangkan. Selain itu, dukungan regulasi pemerintah untuk hal ini sangat diperlukan.
Proses autentikasi membutuhkan dukungan gabungan ilmu seperti ilmu biologi/mikrobiologi, kimia, informatika, matematika, statistika, pertanian dan tentunya teknologi pangan. Saat ini penggunaan instrumen mass spectrometry dan peralatan berbasis molekuler dianggap memadai dan banyak digunakan oleh para peneliti. SDM yang canggih yang dapat mengoperasikan semua instrumen tersebut dan menginterpretasikan hasilnya sangat diperlukan untuk dapat dilakukan proses autentikasi dengan baik.
Referensi:
Danezis, G. P., Tsagkaris, A. S., Camin, F., Brusic, V., & Georgiou, C. A. (2016). Food authentication:
Techniques, trends & emerging approaches. TrAC
Trends in Analytical Chemistry, 85, 123-132. FAO. (2017). Food Traceability Guidance. Food And
Agriculture Organization of The United Nations:
Santiago Foegeding, E. A. (2018). Food authentication in the 21st century: The power of analytical methods combined with big data analysis. Journal of food science, 83(5), 1189-1189. Syafitri, Y., Rahayu, W,P. (2020). Teknik Ketertelusuran dalam Upaya Menjamin Keamanan dan Kehalalan
Daging. Foodreview Indonesia 15(1): 54-58, Sharma SK, Singh V. (2020). Applications of blockchain technology in the food industry. [8 May 2020]. https://www.newfoodmagazine.com/article/110116/ blockchain/ (accessed on 25 Oct 2020) Tracy R. (2017). Food safety traceability challenges:
Improving recordkeeping & reducing lag time. [1 Sep 2017]. https://www.ishn.com/articles/107192-foodsafety-traceability-challenges (accessed on 25 Oct 2020)
Alergen Pangan:
Pengendalian dan Pencegahan
Oleh Puspo Edi Giriwono Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian & SEAFAST Center LPPM, IPB University
Alergi pangan beserta beberapa gangguan kesehatan akibat konsumsi pangan (hipersensitivitas) menyebabkan dampak yang signifikan dengan risiko kesehatan yang tinggi.
Alergi pangan terjadi akibat reaksi sistem kekebalan tubuh individu tersebut (antibodi IgE) dengan protein pangan tertentu yang telah dikonsumsinya, sehingga memunculkan berbagai gejala dengan variasi tingkat keparahan. Gejala yang muncul dapat berupa pembengkakan bibir, kulit yang memerah dan gatal-gatal, mata dan hidung berair, gangguan dan kehilangan kendali saluran pencernaan, hingga penurunan tekanan darah yang tajam menyebabkan koma dan anafilaksis, sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dengan demikian, risiko gangguan kesehatan yang tinggi tersebut telah menjadi kekhawatiran yang sangat mendesak di berbagai negara di dunia, yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan menghasilkan beban kesehatan masyarakat yang tinggi. Sebagai upaya, pemerintahan di berbagai negara dan wilayah dagang telah mengatur dan memitigasi risiko alergi pangan melalui regulasi pencantuman label pada produk pangan, mulai dengan negara barat (AS, Uni Eropa, Australia, Jepang) pada awal tahun 2000-an. Kini, sudah terdapat lebih dari 20 negara di seluruh dunia yang mengakomodir kekhawatiran dan risiko yang tinggi akibat alergi pangan sehingga menetapkan regulasi pelabelan alergen pangan, termasuk Indonesia melalui PerKa BPOM no. 31 tahun 2018.
Kategori utama alergen pangan menurut Codex Alimetarius Commission (CAC) terbagi menjadi delapan yaitu: serealia mengandung gluten (gandum), telur, ikan, krustase (kerang, udang), kacang tanah (peanut), kacang pohon (tree nuts), kedelai, dan susu. Regulasi pelabelan oleh BPOM juga mengakomodir delapan kelompok alergen utama tersebut, ditambah dengan sulfit (> 10 ppm).
Keberadaan alergen pangan tak terduga
Alergen pangan dapat ditemukan pada produk pangan secara tidak terduga akibat berbagai cara dan kejadian. Berbagai ingridien dan produk pangan dapat dideskripsikan dan diterangkan secara teknis, menggunakan terminologi teknis atau nama dagang lainnya, yang terkadang tidak membantu menjelaskan ada atau tidaknya alergen pangan di dalamnya. Sebagai contoh adalah hydrolysed vegetable protein (HVP), yang umumnya dihasilkan dari kedelai (alergen), di mana secara sepintas “HVP” tidak berasosiasi dengan alergen pangan.
Berbagai alergen pangan dapat dan telah digunakan sebagai bagian dari ingridien untuk produksi bahan lainnya, seperti substrat untuk pertumbuhan khamir, bakteri asam laktat, ataupun digunakan sebagai enzim. Munculnya alergen ke dalam ingridien ataupun produk pangan secara tak terduga dapat pula terjadi sebagai residu akibat kontak/kontaminasi silang secara tidak disengaja ataupun tidak disadari dari bahan/ingridien lainnya, ikutan (carry over) dari proses atau tahapan lain, penggunaan lini dan fasilitas produksi bersama, ataupun pembersihan peralatan yang tidak memadai. Upaya untuk mengidentifikasi atau mengendalikan keberadaan alergen di dalam produk pangan dan ingridien yang akan digunakan bisa jadi rumit. Memerlukan dan melibatkan komunikasi serta klarifikasi yang jelas dengan pemasok hingga sub-pemasok. Terlebih jika terdapat pergantian atau perubahan pemasok, perubahan proses produksi dan bahan baku dari pemasok dan sebagainya. Ditambah dengan faktor pengendalian internal dalam perusahaan yang meliputi semua unsur yang terlibat dalam proses produksi, pengemasan hingga peredaran produk akhir; maka semua upaya identifikasi dan pencegahan keberadaan alergen dalam produk yang dihasilkan menjadi tantangan yang kompleks.
Upaya ini dapat ditempuh dengan pendekatan kajian atau manajemen
risiko terkait keberadaan alergen di dalam produk, dengan cara memastikan pengendalian dan identifikasi alergen yang diketahui serta menyertakan kemungkinan munculnya alergen yang tidak diduga beserta cara mitigasinya. Keberhasilan mengatasi semua kemungkinan risiko dan mencegahnya terjadi menjadi penting untuk mematuhi regulasi pelabelan yang berlaku, menghindari terjadinya penarikan kembali (recall), hingga menjamin keamanan dan keselamatan konsumen yang hipersensitif/memiliki alergi pangan.
Peran ladang pertanian dalam munculnya alergen tak terduga
Penerapan pengendalian alergen mulai dari ladang sebagai bagian dari Good Agricultural Practice (GAP) perlu memerhatikan terjadinya praktik budidaya atau penanaman yang berdekatan antar komoditas, penggunaan ladang yang sama (tumpang sari), tumpang gilir, penggunaan peralatan dan fasilitas yang sama untuk pemanenan, pengangkutan dan penyimpanan, serta aspek lainnya yang memungkinkan terjadinya pencampuran komoditas alergen dengan lainnya.
Praktik yang terjadi di ladang tersebut menjadi permulaan munculnya keberadaan alergen yang tidak diduga pada bahan atau komoditas yang akan digunakan. Tidak jarang munculnya keberadaan alergen kedelai pada bahan baku komoditas jagung dan turunannya dikarenakan tidak adanya penyekatan atau pemisahan fasilitas dan peralatan untuk penyimpanan, pengangkut atau pengeringan antara kedua komoditas tersebut.
Langkah sortasi, skrining, dan pembersihan dapat membantu untuk mengurangi residu alergen pada bahan yang diinginkan, namun tidak menjamin menghilangkan 100%. Sehingga deteksi
dan identifikasi alergen yang ada pada bahan masuk menjadi penting untuk menjamin pengendalian alergen dalam proses produksi selanjutnya.
Beberapa pendekatan yang dapat ditempuh untuk menurunkan peluang dan risiko terjadinya kontaminasi alergen pada komoditas di ladang terdapat pada publikasi terbaru dari CAC (CXC 80-2020) mengenai Code of Practice untuk manajemen alergen pangan. Beberapa contoh pengendalian yang dapat dilakukan termasuk: • Program pelatihan dan edukasi petani dalam riwayat penggunaan dan pencucian (dan pencatatannya) peralatan/sarana untuk panen, pengeringan, penggilingan dan sebagainya. • Program pelatihan dan edukasi petani dan produsen primer terkait pemisahan dan pencegahan pencampuran/kontaminasi antar komoditas. Hal ini menjadi sangat penting untuk komoditas yang berbentuk butiran (terlebih jika
butiran tidak utuh, pecahan, dan lainnya) yang sangat mudah untuk tercampur dan terbawa. Pelatihan dan edukasi meliputi penyekatan, penggunaan ulang karung atau wadah lainnya, pemberian label atau penanda lainnya yang jelas dan sebagainya. • Program pelatihan dan edukasi penyedia transportasi untuk mengatur dan mencegah tercampurnya komoditas dengan alergen. Aspek pembersihan dan pemeriksaan moda transportasi dari komoditas alergen sebelum pengangkutan komoditas lainnya menjadi penting untuk meminimalisir komungkinan kontak silang dan ikutan (carryover).
Demikian juga untuk pengaturan penggunaan dan penggunaan ulang penyekat/kemasan pada saat transportasi beberapa komoditas secara bersamaan, termasuk prosedur yang perlu dilakukan pada saat terjadinya kerusakan kemasan (spillage).
Food fraud dan alergen tak terduga
Keberadaan alergen yang tidak diketahui dan dengan sengaja ditambahkan ke dalam pangan ataupun ingridien untuk tujuan substitusi, adulterasi, ataupun keuntungan ekonomi terus meningkat dan telah menjadi masalah secara global. Praktik demikian yang juga dikenal dengan food fraud, berulang merugikan usaha dan konsumen secara ekonomis, namun dengan terdapatnya alergen di dalam matriks pangan ataupun ingridien, kerugian yang ditimbulkan
sangat meningkat dengan tambahan unsur risiko gangguan kesehatan yang signifikan, hingga kematian dari anafilaksis.
Rantai pasok yang kompleks dan berskala global, seringkali tidak menerapkan atau tidak memungkinkan ketertelusuran yang menghasilkan tantangan besar untuk mengatasi food fraud melalui strategi keamanan pangan saat ini. Dengan berbagai aspek kerugian yang muncul akibat food fraud, semua pihak terutama produsen memerlukan berbagai langkah untuk mencegah dan mengamankan produksi dari risiko tersebut. Di sini, penerapan kajian atau manajemen risiko oleh produsen produk pangan menjadi salah satu langkah yang esensial untuk mencegah food fraud dengan risiko terkandungnya alergen yang tidak diketahui dan dapat menyebabkan penarikan kembali (recall) hingga gangguan kesehatan konsumen.
Beberapa contoh alergen yang muncul dan erat berkaitan dengan praktik food fraud adalah pencampuran pati (dapat mengandung gluten) ke dalam kopi, atau limbah seperti kulit kacang tanah dicampur ke dalam rempah. Beberapa contoh praktik food fraud beserta alergen yang terdeteksi dapat dilihat pada Tabel 1.
Table 1. Beberapa contoh praktik food fraud dengan alergen yang terkait
Adulteran Keterangan
Pati serealia dicampurkan ke dalam rempah
Pencampuran kulit (atau produk samping/limbah) kacang tanah/kacangkacangan ke dalam rempah
Sirup jagung ditambahkan ke dalam madu Beberapa rempah seperti kunyit, jahe dan paprika bubuk dilaporkan dicampur dengan pati dari singkong, gandum (gluten) atau serealia lainya, untuk menjaga/mengatur warna, meningkatkan volume, densitas dan parameter menguntungkan (secara finansial) lainnya. Deteksi penambahan dan pencampuran tepung pati pada rempah susah dilakukan secara cepat tanpa analisis khusus. Hal ini menjadi kompleks dikarenakan regulasi beberapa negara mengizinkan penambahan atau pencampuran pati ke dalam rempah, sehingga deteksi adulterasi menjadi rumit. Adulterasi bubuk rempah terus menjadi masalah yang disebabkan oleh rantai pasok berskala global dan kompleks, memungkinkan dan memudahkan adulteran bercampur dengan rempah. Sebagai contoh adalah penarikan kembali secara besar-besaran yang terjadi di Kanada dan AS pada tahun 2014 akibat terdeteksinya alergen kacang tanah dan kacang almond pada jintan (putih) bubuk.
Masalah food fraud tersebut muncul karena secara penampakan dan warna, kulit atau cangkang kacang yang sudah digiling menjadi bubuk sangat menyerupai rempah. Beberapa rempah bubuk lainnya yang menjadi sasaran untuk adulterasi dan menyebabkan recall termasuk kayu manis dan paprika. Madu seringkali mengalami adulterasi dengan pencampuran sirup dari jagung. Sirup yang dihasilkan dari jagung tidak tergolong sebagai alergen, namun sirup lainnya yang juga digunakan sebagai adulteran dapat berasal dari gandum (gluten).