Buletin Sastra GIE Edisi Agustus 2018

Page 1

Edisi Agustus 2018

Sangkar


TIM REDAKSI

Daftar Isi 01

Dari Redaksi

PELINDUNG Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag. PENASEHAT Drs. Moh. Muslih, M.Pd., Ph.D.

02

Cerpen

PEMBINA Ahmad Khotim Muzakka, M.A PIMPINAN UMUM Rizka Aprilliana

16

20

Esai

Opini

PIMPINAN REDAKSI Arini Sabrina REDAKTUR PELAKSANA Nina Fitriani Nurul Fadlilah A. LAYOUTER Zaenal Mustakim

23

Resensi

25

Puisi

29

Sosok

SAMPUL, ILUSTRASI & KOMIK Kim dan Pras KONTRIBUTOR Nina Fitriani, Yusuf Mantoro, Uswatun Hasanah A. Atra Habibi, Misbakhul Munir, Rizka Aprilliana, Zaenal Mustakim, Indah Kurnianik, Aris Yusuf, Ni’mah Nur, Moe Arsyad, Ikhtaroza S., Azizah, Ana Risqiana, Inet Bean, dan Arini Sabrina. ANGGOTA MAGANG

31

Tips


DARI REDAKSI

Seulas Sapa S

eluas samudra ucap syukur yang tak hentinya kami curahkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, Allah SWT atas segala limpahan rahmat yang tiada putusnya. Sholawat serta salam, tak luput kami hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sang penyelamat umat dari zaman kegelapan. Serta, sejuta ucapan terima kasih kepada sejumlah pihak yang turut andil dalam proses penerbitan buletin ini. Pada buletin edisi Agustus kali ini, LPM Al Mizan mengambil tema “Sangkar”. Dimana bukan hanya anggota Al Mizan saja yang ikut berkontribusi, melainkan juga seluruh mahasiswa IAIN Pekalongan. Tema sangkar sendiri lebih merujuk kepada situasi atau keadaan yang membatasi seseorang untuk bergerak secara leluasa. Entah dibatasi oleh sistem, aturan, ataupun pemikiran yang tertutup.

Dari ribuan mahasiswa IAIN Pekalongan, inilah kami, kumpulan orang pembelajar. Bergulat dengan perkembangan masa, mencoba melawan duri yang kian lama kian keras menusuk-nusuk urat saraf kami. Melawan rasa malas, takut, dan gelisah. Kami bersuara dalam bahasa sastra. Pena kami berbicara meski lidah ini membisu. Dalam goresan tinta, inilah kami, “GIE”. Kumpulan orang-orang idealis yang lantang menampakkan gerakannya sebagai Gerakan Insan Ekspresif. Semoga Allah SWT selalu merestui setiap jejak langkah hamba-hamba-Nya yang dhaif seperti kami.

Pengumuman Redaksi Buletin Sastra GIE menerima tulisan pembaca dalam bentuk puisi, cerpen, esai, resensi, sajak dan bentuk sastra lainnya. Kirim tulisan langsung ke sekretariat LPM AL MIZAN di Jl. Kusuma Bangsa no.9 Graha Mahasiswa lt.2 IAIN Pekalongan atau ke email kotaksurat.almizan@gmail.com atau bisa hubungi Nina (085290205025) atau Arini (085702467888).

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

1


CERPEN

Mimpi Oleh: Nina Fitriani

Illustration : Z.mustakim

Kepakkan sayap mimpi setinggi mungkin, jangan biarkan ia terkurung dalam sangkar. lantas terbanglah bersama keberanian, perjuangan, dan pengorbanan. Hingga kembali menjadi pelita, yang menerangi jalan mimpi selanjutnya. Pendar jingga di ufuk barat sana terlihat begitu menawan, eloknya bahkan dapat mengalihkan seluruh atensi untuk ditatap dengan lekat, menikmatinya hingga hilang dan sisakan temaram. Suara decitan khas terdengar mengalun di setiap kayuhan sepeda, yang kini tengah dikendarai oleh seorang gadis dengan jilbab tosca yang melambai kala angin menerpanya. Wajah pualam gadis itu tersirat kebahagiaan, bibirnya sesekali merekah dengan kayuhan sepeda yang semakin cepat. Gubuk dengan dinding anyaman bambu yang sudah tua dimakan usia, dengan teras tanaman cokra- cakri yang tengah mekar itu menjadi tempat pemberhentian si gadis. Ia menaruh sepeda ontel milik bapaknya di samping gubuk yang memang

2

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

menjadi tempat tinggalnya lantas segera m a s u k . Ta n g a n k a n a n g a d i s i t u menggenggam sebuah kertas, lebih tepatnya koran yang tadi diambilnya dari keranjang sepeda. Masih dengan senyum yang tiada reda, gadis itu berjalan masuk ke rumahnya. “Assalamualaikum,” ujar dia kala kedua kakinya menapak di bibir pintu. “Wa'alaikumsalam. Darimana saja, Nduk? Mau maghrib malah keluyuran. Anak gadis lagi. Nanti kalau ada apa-apa di jalan bagaimana?” jawab sang ibu panjang lebar. “Iya Nduk. Anak gadis kalau pergi keluar, pulangnya jangan sore-sore. Apalagi maghrib,” timpal bapaknya yang kini tengah duduk santai, menikmati teh hangat di atas lincak yang berada di ruang tamu sembari menunggu adzan tiba.


CERPEN “Ini pak, pecinya.” Mbak Inah datang dari kamar bapak, dengan memberikan sebuah peci tua hitam yang ujungnya sudah kuning keemasan saking lamanya tidak diganti. “Brin, itu apa yang kamu bawa?” tanya Mbak Inah, saudara kandung Sabrina sesaat setelah netranya menangkap tangan kanan Sabrina yang tengah menenteng sesuatu. Gadis itu bahkan hampir lupa, bahwa ada kabar bahagia yang akan ia sampaikan pada keluarganya ini. “Brina tadi habis dari kota membeli ini,” ujarnya seraya memamerkan koran yang dibawa gadis itu. “Brina diterima kuliah dengan beasiswa penuh sampai lulus di Jogja, mak, bapak, Mbak Inah.” gadis itu berujar sangat antusias, hingga air mata menetes karena saking bahagianya. Ketiga orang yang diajak bicara malah diam, sang ibu melirik suaminya yang juga tak bersuara. “Kamu tetap disini. Ndak ada kuliah-kuliah apa itu.” Bapak akhirnya berujar, membuat Sabrina menatapnya tidak percaya. Ia kemudian menatap sang ibu, berharap mendapat restu dari beliau. “Benar kata bapakmu, Nduk,” ibunya menimpali. Satu harapan lagi, gadis itu menatap kakaknya, namun hanya gelengan kecil yang diberikan oleh Mbak Inah. “Kenapa?” ia bertanya lirih. Sekuat tenaga menahan air mata yang hampir jatuh di atas pipi putih pualamnya. “Kenapa pak?” tanyanya lagi. “Kamu itu seorang perempuan, Nduk. Sudah, ndak usah kuliah-kuliah. Di rumah saja, bantu ibu sama mbakmu di kebun.” “Tapi Brina mau kuliah, pak. Brina punya banyak mimpi dan ini salah satunya.” Air mata gadis itu masih tertahan, namun tidak dengan nada suaranya yang bergetar.

“Memangnya salah, jika Brina kuliah? Jadi orang yang lebih berguna lagi?” tanyanya masih tidak terima dengan jawaban sang bapak. “Ya, itu salah. Di kampung kita semua anak perempuan membantu ibunya, berkebun atau memasak. Tidak ada yang kuliah, Nduk. Kamu juga harusnya bersyukur, bapak sekolahkan kamu sampai lulus SMA, tidak seperti mbakmu atau anakanak lain yang hanya lulus SD. Sudah, kamu jangan minta-minta lagi apalagi minta kuliah. Kodrat perempuan itu di rumah. Dan itu mutlak menurut bapak,” ujar bapaknya teguh dan tak terbantahkan. “Pak, Brina ingin jadi orang hebat, yang nanti bisa membuat bangga mak, bapak, sama Mbak Inah. Kita juga hidup bukan di jaman Kartini, yang mengungkung kebebasan perempuan. Zaman sudah modern, pak. Kalau bapak selalu memegang tradisi yang kolot ini, bagaimana kita bisa maju?” Mata bapak menyalang, mendengar penuturan anak gadisnya. Sungguh, Sabrina bukannya ingin menggurui sang bapak, namun ia berusaha memberi pemahaman kepada orang terkasihnya itu. “Jadi ini, yang kamu dapatkan selama sekolah?” Sabrina menggeleng cepat, ia tidak ingin membuat bapaknya salah paham. “Bukan, pak. Maksud Brina ....” “Sekali bapak katakan tidak, jawabannya akan tetap sama. Selamanya, bahkan sampai bapak mati pun ....” “Astaugfirullah. Nyebut pak, nyebut.” Ibu Sabrina memegang lengan suaminya itu, menenangkan. “Brin, sudah. Jangan minta yang aneh-aneh. Tarik semua ucapanmu. Nurut sama bapak. Nanti kualat kamu,” ujar Mbak Inah. Sabrina menarik napas dalam, lantas menghembuskannya pelan. Dalam hati ia

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

3


CERPEN sudah bertekad, ini asanya. Dan gerbang untuk menuju asa itu sudah terbuka lebar. Ia hanya perlu melangkah masuk, lantas berjuang di dalamnya. Ia tidak ingin, asa itu lebur hanya karena pemikiran kolot yang sudah terkontruksi sampai sekarang di kehidupan sosial termasuk keluarganya. “Tanpa restu pun, Brina akan tetap berangkat,” ujarnya mantab. Ia menyeret kakinya menuju kamar, tak menghiraukan bapak yang berteriak marah dan ibu serta kakaknya yang berusaha menenangkan. Gadis itu menjatuhkan diri di atas kasur lusuh, menutup mukanya dengan bantal. Ia terisak. Dadanya bergemuruh, luar biasa sakit. “Mak, pak. Brina janji akan membuat kalian bangga dengan keputusan yang Brina ambil. Maaf telah membuat kalian marah dan kecewa,” lirihnya di tengah derai air mata dan isak tangis yang tiada henti. Suara adzan maghrib telah berkumandang, namun tangis gadis itu tak kunjung reda. Ia membuka bantal, mengusap air matanya. Dinginnya udara malam masuk melalui celah dinding anyaman bambu yang sudah tidak lagi rapat, menghunus kulit Sabrina yang mulai dingin karena terpaan angin. Ia bangkit, menuju sumur untuk memenuhi kewajibannya. Barangkali setelah ini, bapaknya berubah pikiran dan memberi restu untuk ia menimba ilmu di kota sana. *** Gemericik air sungai yang mengalir terdengar menyahdukan, kicau burung saling menyahut diantara rerimbunan pohon cengkeh yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. Sudah hampir enam tahun sejak S a b r i n a m e m u t u s k a n u n t u k p e rg i , kampungnya masih tetap sama, indah dan asri. Berbeda sekali dengan suasana kota Jogja yang sempat ia singgahi cukup lama. Sabrina berjalan pelan, menyusuri jalan

4

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

setapak yang nantinya menghubungkan rumah gadis itu. Sesekali senyumnya merekah kala menjumpai orang-orang kampung yang berpapasan dengannya. “Ini Sabrina? Ya Allah nduk, kamu sudah besar, cantik pula. Kapan pulang?” tanya Mak Tik, tetangga sebelah rumahnya. Sabrina tersenyum tipis, ia mencium tangan perempuan yang hampir sebaya dengan ibunya itu takzim. “Kemarin malam sudah sampai kota, Mak Tik. Tapi baru sempat kesini pagipagi,” jawabnya masih dengan senyuman. “Oalah. Itu mak sama bapakmu sudah rindu sekali sama kamu. Setiap sore Mak Tik lihat bapakmu sering merenung di lincak teras rumah, Nduk.” raut wajah Sabrina seketika sendu, rasa bersalah yang amat merayap dalam hatinya. “Iya Mak Tik. Brina langsung pamit ya,” ujarnya kemudian. “Hati-hati, Nduk.” Mak Tik mengamati tetangga yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya itu semakin menjauh, dalam hati ia bersyukur, akhirnya Sabrina pulang setelah beberapa tahun tidak ada kabar tentangnya. Tidak dapat dipungkiri, memori gadis itu masih merekam dengan sangat baik bagaimana kejadian enam tahun silam, saat dirinya tanpa bergeming meninggalkan keluarga untuk pergi merantau menimba ilmu. Di jalan setapak ini, ia samar-samar mendengar tangis ibunya pecah meratapi kepergiannya. “Sudah, mak. Jangan ditangisi. Biar saja pergi,” ujar sang bapak kala itu. Datar. Tanpa ekspresi dan acuh. Mbak Inah terlihat memegangi sang ibu yang hampir luruh, air mata tak kunjung reda jatuh di atas pipinya. “Nduk. Mak minta jaga kesehatanmu di sana.” Hanya itu kalimat yang meluncur pada bibir ibu Sabrina,


CERPEN pertanda bahwa restu itu telah didapat. Gadis itu terpaku dalam langkahnya, ia ingin berbalik, memeluk sang ibu dan mengusap air matanya namun ia urungkan, takut pilihannya untuk pergi akan lenyap. “Iya, bu. Brina janji,” ujarnya lirih. Satu tetes air mata jatuh. Brina mengusapnya asal lantas melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Jarak lima meter dari tempat berpijaknya, Sabrina melihat sesosok perempuan yang begitu ia rindu tengah memilah bulir padi dengan kulitnya dalam nampah. Ia mengamati perempuan itu dalam diam, langkah kakinya mengajak untuk segera menghampiri. “Mak ...,” ujarnya lirih. Perempuan itu berbalik, matanya mengerjap beberapa kali, mengamati seorang gadis berjas putih dengan jilbab biru langit dan tas ransel besar yang berdiri di depannya intens. Nampah yang digenggam itu seketika jatuh, tubuhnya ambruk memeluk sang gadis. “Nduk ....” isakan kecil terdengar nyaring di telinga Sabrina, punggungnya basah. “Kamu tega sama mak,” ujarnya lagi. Sabrina ikut menangis. Kerinduan yang sudah memuncak sampai ubunnya itu akhirnya lepas dipelukan orang terkasihnya, ibu. “Maaf,” cicit gadis itu. Cukup lama mereka berpelukan hingga kemudian Sabrina mengurainya lebih dulu. Ia menatap lekatlekat wajah sang ibu, garis-garis keriput terlihat di setiap sudut wajahnya. Tatapan mata selembut beludru yang begitu Sabrina rindu kini dapat ia lihat lagi, dan itu nyata. “Brina sudah kembali, mak. Seperti kata mak, Brina menjaga kesehatan Brina dengan baik.” Gadis itu tersenyum tipis. Tangan mak terulur menyentuh pipi pualam anak gadisnya itu. “Dasar anak nakal, ndak nurut sama

mak bapak,” ujar ibu Sabrina pura-pura marah, dan lantas tersenyum lebar sembari tertawa bahagia. Dari belakang Mbak Inah datang, terkejut dengan kehadiran adiknya itu. “Brin ....” sapanya, lantas memeluk adik satu-satunya. “Mbak rindu kamu,” aku Mbak Inah tulus. Sabrina mengangguk kecil, memeluk sang kakak sayang. Bagaimanapun, dia lah yang selama ini ada ketika Sabrina sedih. “Bapak dimana, mbak?” tanya Sabrina kemudian, mengurai pelukan. Mbak Inah melirik ke arah ibunya. “Bapakmu sakit, Nduk,” jawab sang ibu. “Sakit? Sekarang dimana mak?” “Di dalam, di kamarmu.” Sabrina lantas bergegas masuk ke kamarnya. Tubuh kurus ringkih ia jumpai tengah berbaring di kasur lusuh gadis itu. Mata mereka beradu, lama. Tatapan sayu nan teduh itu seketika membuat batin Sabrina terisak. Ini seperti bukan bapaknya yang dulu. “Nduk ...,” lirih bapaknya hampir tak terdengar. “Maafin Brina, pak,” ujar gadis itu setelah menjatuhkan dirinya dalam pelukan sang bapak. “Maaf,” ujarnya lagi. Tangis seketika pecah dan Sabrina merasakan punggungnya lagi-lagi basah. Uhuk uhuk. Bapak Sabrina terbatuk, Sabrina mengurai pelukan itu, menatap bapaknya khawatir. “Bapak sudah dibawa ke klinik, bu?” tanya Sabrina seketika kala melihat kondisi bapaknya yang tidak baik-baik saja. “Belum, Nduk. Bapakmu keras kepala, ndak mau dibawa kemana-mana.” Sabrina membuka tas ranselnya, ia mengeluarkan beberapa peralatan dokter yang sengaja ia bawa. Memeriksa tekanan darah, denyut nadi, dan segalanya dengan

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

5


CERPEN saksama. “Bapak sering sesak napas?” tanya Sabrina yang hanya dijawab anggukan kecil. “Sering mengeluh nyeri di dada? Batuk juga? Tenggorokan sakit?” Lagi-lagi anggukan kecil muncul sebagai jawaban. “Bapak gejala sakit asma. Kalau tidak ditangani lebih lanjut, nanti bisa berakibat fatal. Ini Brina akan buatkan obat untuk pencegahan. Dan bapak juga ndak boleh beraktivitas terlalu berat, harus menjaga pola makan, jangan memikirkan hal-hal yang bisa memicu asma kambuh dan ....” “Jadi ini, yang membuat kamu dulu pingin kuliah walau bapak menentangmu habis-habisan?” Bapak Sabrina tiba-tiba memotong ucapan panjang lebar anak gadisnya itu. Sabrina terdiam, tiba-tiba senyum bapak terbit. “Kamu mirip sama Kartini, Nduk,” ujar bapaknya kemudian. Sabrina hampir tidak percaya, sejak kapan bapaknya tau Kartini atau lebih tepatnya mungkin apa saja yang telah dilakukan Kartini hingga bapaknya berujar ia mirip salah satu pahlawan bangsa itu. “Selama kamu pergi, bapak tidur di kamarmu. Dia setiap sore selalu minta Mbak Inah untuk membacakan buku-bukumu termasuk kisah perjalanan Kartini,” timpal sang ibu. Sabrina menatap bapaknya lagi, ia tersenyum. “Iya, ini hasil dari kenakalan Brina yang ndak nurut sama mak bapak,” Brina tertawa kecil yang kemudian disambut tawa lain. “Sekarang anak bapak sudah jadi dokter cantik,” ujar bapaknya bahagia. “Bukan, anak mak juga,” ibu Sabrina tidak terima. “Iya, anak mak sama bapak.” Sabrina mengoreksi, mereka lagi-lagi tertawa kecil, tentu tawa bahagia. Dan sekali lagi, mereka berpelukan, melepas rindu

6

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

untuk kesekian kali. *** Pendar jingga di ufuk barat sana indahnya masih sama, seperti dulu kala Sabrina menemuinya enam tahun silam. Di depan teras rumah, Sabrina masih asik mengajari anak-anak kampungnya untuk membaca, menulis, dan tentu saja bermimpi. Jika setiap pagi hingga siang ia membuka pelayanan kesehatan warga gratis, sorenya ia menjadi guru untuk anak-anak di kampungnya. “Siapa yang punya cita-cita jadi dokter? Atau jadi guru? Atau jadi pilot ....” “Saya bu. Saya mau jadi dokter seperti ibu,” ujar salah satu anak perempuan bersurai sebahu itu dengan semangat. “Iya Nduk, kenapa mau jadi dokter sayang?” tanya Sabrina lembut. “Biar nanti bisa mengobati bapak yang sakit,” jawabnya polos. Sabrina tersenyum, “Kalau mau jadi dokter, belajarnya harus sungguhsungguh, ya,” ujarnya yang disambut anggukan. Begitulah, kadang untuk membuat suatu perubahan, harus ada pengorbanan dan perjuangan yang begitu panjang. Jika saja Sabrina tidak keras kepala dan menuruti kemauan bapak serta mak nya dulu, mungkin paradigma warga kampung dalam hal perempuan yang kewajibannya hanya di rumah akan tetap melekat. Tidak ada anakanak yang berani bermimpi, sebab mimpi mereka terhalang oleh pemikiran kolot tersebut. Dan kini terbukti, Sabrina menjadi jelmaan Kartini dalam kampungnya. Ia berhasil mematahkan sangkar pemikiran yang membunuh mimpi-mimpi anak manusia. Ia menjadi pelita, yang senantiasa menerangi setiap anak-anak di kampungnya yang ingin bermimpi tinggi dan bagaimana cara mewujudkannya.


CERPEN

Terjebak

Penat!

Dalam

Oleh: Yusuf Mantoro

Kala fajar menyapa ditandai oleh bunyi nyaring ayam yang lantang, lalu aku terbangun. Ah, sial. Kulihat jam weker di atas meja kecilku, persis samping dipan. “Aku telat! Udah jam setengah tujuh lewat, sialan!” langsung kubergegas im ustak Z.m menuju kamar mandi,rasmenyikat gigi, lalu : n io Ilust sabunan sampai selesai. Selepas itu, aku terburu-buru memakai baju kemeja flanel, celana jeans dan tak lupa jam tangan mahalku. “Bun, Iid berangkat ngampus dulu,” ujarku sambil kukecup pipi chubby bunda terbaik se-dunia yang aku sayangi itu. “Iid! Sarapan dulu, nanti kamu sakit.” Teriaknya manis terasa kudengar “Ini Iid udah ambil roti bun, udah telat nih. Salim yah. Bye ayah, bunda.” Teriakku sambil meninggalkan mereka di ruang makan dan bergegas menuju garasi. Kunyalakan motor ninja milikku dan langsung kuarahkan menuju kampus di daerah Gunung Putri. *** Yaps, sampai lupa nama aku Iid.. Nama lengkapku Idris al-Husein. Aku sekarang berumur 20 tahun, terus rutinitas aku cuma kuliah, pulang, tidur, ngegame, selalu begitu. Oh ya, aku kuliah di

Universitas Negeri Gunung Putri dan lebih khususnya, aku di jurusan sastra Inggris. Kedengarannya keren, tapi asli, kalau kamu semua ngerasain pasti gak bakal betah masuk jurusan itu. ”Wey Id, lagi ngapain? Serius amat sama smartphone kamu! Aku panggilpanggil juga dari tadi.” Tiba-tiba Faisal menepuk pundakku dan sontak terkaget, lalu kulepaskan earphone di telingaku. “Eh kamu Sal, hehe. Sorry aku gak denger. Ini loh, lihat deh video vlog pertama aku,” ujarku sambil menunjukkan video yang baru kuselesaikan semalam dan kuunggah tadi pagi. “Dasar, iya aku udah liat tadi sama anak-anak pas Bu Wulan nerangin materi. Abis kamu ngeshare link video gituan di grup, ya mending nonton aja lah.” Aku makin merasa besar kepala saat Faisal bicara seperti itu. “Keren kan? Hmm siapa dulu, Iid! Sang creator keren,” sombongku makin menjadi. “Biasa aja kali Id, lagian kamu mimpi ketinggian, sok mau jadi creator. Kuliah dulu yang bener, udah hampir dua minggu ini loh, kamu gak masuk makulnya bu Wulan, kalau semester ini kamu ngulang

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

7


CERPEN gimana, mau?” Aku hanya diam dan purapura memainkan smartphoneku. *** Aku dan Faisal memang sudah berteman lama sejak kami masuk jurusan sastra Inggris Ungri, iya Ungri, singkatan dari mahasiswa sini. Faisal emang yang selalu ngingetin aku dalam hal perkuliahan, bahkan kadang dia yang mengerjakan tugas-tugasku kalau lagi males. “Id, kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Gak pernah masuk kelas, tugas juga gak pernah ngerjain, apa-apa sekarang sibuk sama kamera kamu,” tanya Faisal penasaran sambil makan bakso yang kami pesan saat makan siang. “Aku bosen, Sal. Sumpah aku bosen kuliah, apalagi ya gini-gini aja. Apa kamu gak ngerasain?” Kemudian Faisal hanya terdiam melihatku seperti orang sedang putus asa. “Terus? Kamu mau begini? Kamu bakal kuat buat tutupin kelakuan kamu di kampus sama ayah dan bunda kamu dengan setiap pagi say greeting buat ngampus padahal aslinya kagak?” Aku kesal sebenarnya mendengar perkataan Faisal begitu, namun di sisi lain aku juga menyadarinya dan memang yang dikatakan Faisal benar. *** Tepat pukul tiga sore aku sudah di rumah dan seperti biasa, kutanggalkan perlengka pan kuliahku lalu beralih ke p l a y stati on. Game di PS ku yang biasa aku mainkan a d a l a h soccer ball atau m o r t a l combat dan yang berbau-bau fisik gitu deh. Aku mulai lapar dan aku bangkit dari depan layar PS menuju dapur untuk mencari makanan yang bisa kumakan di kamar. “Mba, Mba Jijah kripik jagung yang

8

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

aku beli kemarin mana ya? Kok di kulkas ndak ada? Mba ....” kemudian Mba Jijah datang terburu-terburu dari kamar belakang sampai lupa menaruh sapu yang dia bawa. “Iya mas Iid, kenapa? Maaf, mba abis bebenah k a m a r belakang, soalny a kata bapa k ada yang m a u makai . ” Aku bingu n g , siapa yang a k a n tinggal di rumahku. “Emang nya siapa mba yang m a u nginep di rumah? K o k sampai ayah yang nyuruh ?” tanyaku penasaran. “Itu mas Iid, adik sepupunya mas Iid, si Husna, anaknya Ibu Emi, adiknya bapak. Katanya sih ada tugas dari kampus gitu dua minggu di daerah deket kampus Ungri tempatnya mas I i d . ” A k u mendengarkan penjelasan mba Jijah, ternyata Husna mau tinggal di sini dan bakal ada kegiatan di daerah sekitar kampusku. “Mas, Mas Iid, kok ngelamun? Hmm ... Mikirin apa hayoo? Hihii,” ledek Mba Jijah dan membuatku seketika buyar dari lamunan. “Eh, kagak. Mba ngagetin aja nih. Mana kripik jagungnya?” ujarku sambil mengambil kripik yang ternyata disimpan di


CERPEN atas lemari oleh mba Jijah, dengan alasan takut dimakan ayah kalau di kulkas. Lalu aku pergi dan kembali dengan sebungkus kripik jagung dari dapur menuju kamar untuk main PS lagi. *** Malam itu seperti biasa, aku, bunda, dan ayah makan malam di ruang makan. Tapi ada sedikit perbedaan, saat itu aku mendapati makanan yang dimasak mba Jijah lebih banyak dan ada piring tambahan di samping meja makan ibu. Instingku mulai berprasangka kalau ini pasti untuk Husna, dan benar saja, Husna datang dari kamar belakang. “Malam tante, om, hehe. Husna boleh duduk?” tanya Husna lembut dan langsung duduk setelah dipersilakan oleh ayah. “Kok udah ada Husna sih bun, yah? Kapan datengnya? Kok Iid gak tahu?” Bunda, ayah dan Husna tertawa kecil seakan-akan meledek pertanyaan yang aku lontarkan. “Malah pada ketawa ih, emang Iid lagi ngelawak,” ujarku bete melihat mereka tertawa “Maaf sayang, maaf. Bunda sama ayah gak sengaja, reflek aja kamu nanya bagitu,” sambung ayah dan Husna dengan mengangguk tanda mengiyakan pernyataan bunda. “Iya Id, maafin aku juga, gak sengaja. Lagian iyalah kamu gak tahu kalau aku udah dateng dari tadi sore. Kamu aja di kamar doang sambil ngegame, pasti volume PS mu buat kamu budeg, sampai dipanggilpanggil Mba Jijah kalau ada aku datang tapi gak denger.” Aku tersenyum malu saat Husna berbicara begitu. Lalu makan malam dilanjutkan seperti biasa, kami juga ngobrolngobrol bareng Husna dan kesibukannya apa sampai harus ke sini selama dua minggu kedepan.

*** Sudah pagi lagi, seperti biasa aku mandi kemudian bergegas siap-siap berangkat ke kampus dan sejenisnya. Tibatiba bunda memanggil dari depan pintu, padahal aku sudah naik motor. “Iid! Tunggu, jangan keluar dulu!” lalu aku berhenti dan menunggu bunda menghampiri ke depan pagar sambil Husna mengikuti di belakangnya. “Ini, tolong kamu antar Husna ke tempat dia mau ngajar, ya. Kamu tidak keberatan kan? Anak bunda yang paling ganteng,” ujar bunda sambil mencubit gemas pipiku, apa lah daya kalau sudah bunda yang meminta aku mah cuma bisa iya saja. Lalu kami berangkat menuju kampus, eh menuju tempat ngajar Husna dulu. “Husna, kamu ngajar buat apa sih? Kok jauh-jauh sampai ke Gunung Putri? Emang gak ada apa, sekolah lain atau tempat ngajar kamu yang lain?” tanyaku. “Hmm gak ada alasan yang sangat besar sebenarnya, Id. Selain ini memang tugas observasiku untuk memenuhi tugas penelitian akhir, mengajar di tempat yang jauh ini aku jadikan alasan untuk melepaskan rutinitasku di kampus, tapi bukan berarti aku benci keseharianku di sana. Sekedar ingin mencari hal baru saja,” jawabannya membuatku makin terpana dan diam tanpa kata. *** Sampailah di tempat observasi Husna, dan aku lihat wajahnya yang berseri seakan menemukan taman hiburan pribadi baginya. Seketika aku terdiam. “Hey Id, ngelamun aja. Mau ikut aku gak? Yuk gabung, toh gak ada mata kuliah kan, hari ini?” ajak Husna memecah lamunanku. Reflek aku menganggukkan kepala dan mengiyakan. Suasana disana membuatku merasa damai, senang melihat

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

9


CERPEN anak-anak kecil yang masih polos di dalam sebuah kelas yang padahal itu hanya gubuk reot dengan papan tulis bekas di pojok dindingnya. Keceriaan anak-anak sekitar pemukiman kumuh ini begitu menusuk hatiku. Mereka dengan keadaan yang serba kekurangan masih bisa bermain ceria, belajar seadanya dan ini mereka lakukan rutin selama Husna menjadi relawan di sini. “Hallo kak, nama kakak siapa? Kenalin, aku Ita, kakak kok diem aja?” sapa anak perempuan cantik kepadaku dan membuatku kaget lalu menjawab pertanyaannya sambil aku merendahkan tubuh agar sejajar dengannya. “Eh, iya Ita, kenapa? Oh, nama kakak Idris ta, hmm panggil aja kak Iid.” Lalu Ita menarik tanganku dan mengajak bermain bersama anak-anak di depan kelas. Tak terasa hariku bersama anak-anak dan Husna berakhir, kami pun pulang dan mengucapkan selamat tinggal kepada anakanak. Saat dalam perjalanan, tiba-tiba Husna bertanya kepadaku tentang rutinitasku di rumah dan kampus. “Id, kamu sekarang berarti udah semester 4 kan, ya?” aku agak bingung dan mengganggukan kepala sebagai isyarat mengiyakan pertanyaan Husna. “Sibuk ngapain nih di kampus? Lancar kan kuliahnya? Hmm soalnya aku dapet cerita dari ayah kamu, kalau kamu akhir-akhir ini jarang masuk kelas,” ujar Husna enteng dan dengan nada penasaran yang membuat aku sontak terkaget. “Kok kamu tau, Na? Apa? Ayah cerita tentang itu, dia tahu dari siapa?” tanyaku heran dan takut kalau ayah tahu tentang hal ini. Aku memang tidak suka dengan rutinitasku di kampus dan merahasiakannya dari bunda dan ayah, karena aku tidak mau membuat mereka kecewa.

10 6

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

“Kamu tidak perlu tau ayahmu dapat informasi bolosmu dari siapa, yang jelas, apa kamu tidak bosan dengan kepalsuanmu selama ini?” jawab Husna ringan menanggapi pertanyaanku. “Kamu boleh bosan dengan rutinitas kuliahmu, kamu boleh punya hobi sebagai pelariannya, tapi rutinitas sebenarnya membuat kamu lebih bisa menjadi manusia yang seutuhnya Id, yakin deh, nanti kamu bakal ngerasain manfaatnya.” Sepanjang jalan menuju rumah, aku hanya terdiam memikirkan perkataan Husna tadi. *** 5 tahun kemudian Kalian yang masih jadi mahasiswa, nikmati prosesnya, jalani dengan sepenuh hati. Yakinlah, kalian akan memetik buat dari kesabaran kalian dalam menjalani rutinitas di kampus ataupun di luar kampus. If we do the best and always be patient in every situation in our life, make sure that will be a perfect memory for us in the future. Salam Mahasiswa! “Kamu lagi ngapain Id? Oh, lagi liat video pas kamu pidato jadi wisudawan terbaik ya? Jahaha, nostalgia ternyata. Yuk, makan siang. Nanti kan kita ada jadwal meeting sama client untuk pembuatan company profil PT. Indah Kreasi cabang USA,” ajak Faisal memecahkan senyumanku saat melihat video wisuda dan jadi wisudawan terbaik saat itu. Gak nyangka sih, aku seorang yang dulu sering bolos makul, sukanya ngegame, bisa jadi wisudawan terbaik. Semua berubah setelah 5 tahun lalu, ketika Husna mengingatkanku akan tanggung jawab sebagai anak ayah dan bunda. Kudapati ayah sakit saat aku pulang dari lokasi observasi Husna. “Id, ayah sudah sakit-sakitan, kamu belajar yang benar, ya. Ayah percaya sama


CERPEN Iid, yang sudah jangan diulangi lagi, ya,� ujar ayah sambil terbatuk, berbaring di atas kasur kamar. Pada saat itu air mataku menetes, aku berjanji akan memulai perubahan untuk lebih baik. Dan ini lah Idris al-Husein yang sekarang, aku bekerja di bagian videograhpy di salah satu production house di Jakarta. Dan ternyata, ilmu sastra Inggrisku di Ungri terpakai kok, karena kebanyakan client di PH tempatku bekerja adalah perusahaan-perusahaan asing yang membutuhkan karya untuk media promosi.

Lanjut aku beranjak dari meja kerja dan pergi bareng Faisal, teman seperjuanganku banget deh pokoknya, “Yuk, Sal. Tapi kali ini kamu yang bayar, ya,� kami jalan pergi sambil tertawa bersama meninggalkan kantor. Dan pada akhirnya aku memang benci rutinitas, rutinitas yang membuat aku menjauh dari tanggung jawabku untuk menjadi anak dan manusia seutuhnya.

Jangan jangan lupa lupa kunjungi kunjungi kami kami lpmalmizan.com

Pengemban Cita Kebenaran dan Keadilan

@lpmalmizan Al Mizan @lpm_almizan Buletin GIE Edisi Agustus 2018 11


CERPEN

Tutur Ibu Oleh: Uswatun Hasanah Ahmad

Semestinya Rena menangis hari itu. Akan lebih lega rasanya kalau melihat ia histeris dan menangis sampai m a t a n y a bengkak, buka n n y a ber d i r i tena ng

bil um at g

sam terseny kepada pelay yan

men guca pkan bela sungkawa padan y a . Bagaimana bisa dia punya lengkungan sabit sempurna di bibir, sementara dihadapannya adalah pembaringan terakhir orang yang berbagi darah dengannya, kakaknya yang teramat ia sayang dan banggakan. Kematian memang sering semenamena mendekap hingga sesak, memisah jiwa dengan raga, memaksa diri lekas enyah dari bumi untuk lalu dilempar ke neraka atau jika beruntung, bisa bahagia di surga. Beberapa bulan lalu Adrian boleh duduk bersama Rena di ruang tengah sambil

12

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

makan keripik singkong dan minum es sirup rasa j e r u k . Dibiarkanny a sang kakak bercerita mengenai kehidupan di pulau seberang, tentang bagaimana dia berhasil membekuk s e k a w a n a n penyelun dup sabu a t a u memba n t u menga j a r a n a k pedalaman di zona perbatasan Indonesia. Lalu Rena akan terkagum-kagum dan bertepuk tangan, memuji betapa hebatnya Adrian. Jika giliran Rena, maka ia akan menceritakan makanan kekinian yang enak, bagaimana kehidupannya di kampus, hingga celoteh ibu yang tak pernah kekurangan topik seti ap harinya. Berbicara ibu, maka wanita yang sudah hampir separuh abad itu, yang berdiri bersandar pada bahu wanita lain seolah dia bisa ambruk kapanpun, wanita itu wajahnya

!

?

?


CERPEN

sudah merah dan basah. Putranya sudah tiada. Anak pohon yang dirawatnya sejak bibit hingga menjulang mencakar langit, tumbang begitu saja. Ibu tak tahu harus menyalahkan siapa, anginkah yang menerpa atau justru dirinya sendiri yang membiarkan sang putra tumbuh tinggi hingga di luar jangkauan penjagaannya. Tanah basah dihadapan mereka sudah bertabur bunga. Doa-doa dipanjatkan, suara isakan mengiring, bendera merah putih terhampar menghalang teriknya siang membakar makam Adrian, segenap penghormatan menjadikan pemakaman hari itu seperti duka besar-besaran seluruh warga. Berita kematian dua orang TNI yang gugur saat bertugas di perbatasan memenuhi headline koran harian dan berita televisi hari itu. “Re, makan dulu.” Budhe duduk di samping Rena sambil membawa piring berisi nasi dan telur dadar. “Ibumu barusan sudah makan dan istirahat, kamu juga harus makan, pasti capek, kan?” “Nanti Rena makan kok Budhe, taruh di situ saja,” ujar Rena. Rumah masih kelihatan ramai. Mereka duduk pada bangku di pekarangan. Sore yang rabun membuat suara hening makin terasa kering. Rena duduk meringkuk dengan tangan mengepal dan berkeringat. Seolah membuat sekat dengan Budhe meski nyatanya tidak. Perempuan itu sedang tenggelam dalam ruang dirinya yang tak bisa ditemukan siapapun. “Menangis saja, Re. Rena mau teriak pun nggak papa. Berat kalo ditahan terus.”Tidak ada jawab. Rena diam dan Budhe bisa mengerti semuanya dari diam yang Rena cipta. Suara krasak-krusuk disusul seruan memanggil Budhe membuat wanita itu beranjak dan menaruh sepiring nasi telur di samping Rena. Sebelum

menjauh, didekapnya Rena sembari dikecupnya kening anak itu. “Budhe tahu Rena kuat. Tapi jangan ditahan, luapkan saja segenap perasaanmu. Lakukan apa yang mau Rena lakukan.” Budhe tersenyum. “Dimakan ya, nanti nanti dingin.” Tubuh ini bukan kandang yang membatasi gerak. Persis seperti yang dikatakan Adrian. Rena merasakan matanya memanas tapi tak bisa menangis. Sebab sesering apapun ia diingatkan, Rena tetap saja jadi narapidana dengan raganya sebagai penjara. Ia terbatas dan dibatasi. Ia tidak pernah mampu mendobrak sekat dan membebaskan diri seperti yang lainnya. Sebagai anak perempuan yang sering menangis dan mengeluh saat kecil dulu, ayah sering mengajari Rena untuk lebih banyak tersenyum dihadapan orang lain. Rena boleh saja marah atau sedih hanya di depan ayah. Itulah kenapa segenap rasa yang Rena tanggung bersembunyi dibalik senyumnya. Adrian menyebut itu sebagai sangkar yang memenjara segenap perasaannya padahal sebetulnya tidak. Wanita yang hari itu tengah berbaring di kamar, hilang kekuatan untuk sekedar memastikan Rena baik-baik saja atau tidak paska ditinggal Adrian, bagi Rena itu adalah sangkar yang sesungguhnya. Pikiran tercela Rena timbul tenggelam bersamaan dengan duka dan tangis yang tertahan. Amarah dan penghakiman seperti sedang ia semayamkan pada satu tuan, jika ia harus menangis dan melolong maka itu adalah dihadapan si tuan, ibunya sendiri. Tetapi semua perasaan itu seperti lenyap ditindih petang dan Rena memutuskan masuk rumah. Pasang mata Rena bersirobok dengan pasang mata ibu yang usai keluar

Buletin GIE Edisi Agustus 2018 13


CERPEN dari kamar. Mereka saling diam. Tapi dalam diam mereka mengerti satu sama lain. Tentang amarah dan duka, kecewa dan penyesalan, lalu tentang kerinduan. “Aku sayang ibu,” ujar Rena. Mendekat untuk memeluk ibu. Alih-alih mengutarakan kalimat penghakiman. Ibu mengusap punggung Rena dan airmatanya jatuh. “Ibu juga sayang. Rena jangan jauh.” “Iya, tidak akan. Rena akan selalu mendengarkan perkataan Ibu.” “Ya sudah, ayo sholat dan tadarus, kita doakan ayah dan saudaramu. Setelah itu kamu bisa istirahat.” “Iya, bu.” Apa yang ibu katakan benar-benar Rena turuti. Ia istirahat usai ibadah, tidak membantah meski sekedar nonton televisi atau membaca buku dulu sebelum tidur. Di kamar yang temaram dan dingin, Rena mengeratkan selimutnya. Menghembuskan napas, meminimalisir sesak yang masih saja mendera, lalu terbuai dalam lelap diiringi nyanyian jangkrik. Perkataan ibu adalah sumber kebenaran. Sekali kau bantah, maka kau akan berdosa dan dijatuhi hukuman. Paling ringan adalah omelan ibu dan paling berat adalah kematian. Bagaimana tidak? Sejauh ini telah ada tiga korban jiwa. Melanggar tutur ibu dan dihukum mati oleh alam. Rena ingat betul saat ia masih SD, ayahnya yang seorang nelayan dikabarkan hilang usai cuaca yang tiba-tiba memburuk. Ibu sudah bilang padanya jangan dulu berlayar meski prediksi cuaca baik. Perasaan ibu adalah alasan tak kasat mata tapi selalu tampak logis untuk diterima. Hingga kini ayah tak ditemukan. Bertahun kemudian kematian merengkuh Aldo, anak kedua dikeluarga

14 Buletin GIE Edisi Agustus 2018

mereka, sebab sakit yang dideritanya. Aldo tak pernah menuruti perkataan ibu untuk tidur yang cukup dan jaga kesehatan saat di kos. Hukuman yang ia tuai dari pelanggaran itu adalah mendekam di rumah sakit hingga meninggal. Lalu kini adalah giliran Adrian. Meski perkataan ibu kala itu sambil lalu namun tetap saja pernah terlontar. Adrian harusnya tak jadi tentara, mending jadi pegawai kantor saja. Rena kira semuanya akan baik-baik saja sebab akhirnya ibu menerima pekerjaan Adrian tapi nyatanya alam tetap memberi hukuman. Barangkali itulah alasan mengapa Rena bertahan di rumah. Seperti kata ibu, Rena tidak boleh jauh. Rena akan jadi perempuan yang ibu harapkan, terbaik versi ibu. Ia ambil jurusan pendidikan agar mewujudkan impian ibu untuknya jadi guru meski ia ingin jadi dokter. Ia harus tampil anggun dan cantik. Ia harus pintar memasak. Ia harus menuruti perkataan ibu. Ibu adalah sangkar yang sesungguhnya. Tuturnya jeruji yang mengurung, diamini segenap alam. Jangan mencoba melewatinya, meski ibarat burung kau sudah gatal ingin bebas kepakkan sayap di langit sana. Kebebasan hanya akan membuatmu jatuh dan didekap alam. Tapi ibu juga adalah rumah. Perkataannya pilar yang membuatnya tetap kokoh. Ia adalah tempat berlindung paling nyaman. Berada bersamanya seperti berada dalam dirinya, di rahim hangat yang tak mau lekas kau tinggalkan sebab tak siap menangis keras-keras. “Kamu terkekang, Re. Menuruti perkataan ibumu memang baik. Tapi bukan seperti ini. Kamu mau-mau saja dijodohkan dengan Irwan? Dia itu duda anak dua! Sadarlah, Re.” Budhe berkata dihadapan Rena menggebu. Anak itu, seperti biasa, hanya


CERPEN duduk diam untuk lalu membalas sambil tersenyum. “Aku yakin pilihan ibu itu yang terbaik, Budhe,” ujar Rena. “Apa-apaan kamu ini! Ibumu itu diberi tanah saja langsung mau menyerahkanmu padanya, kamu itu dijual, tahu kamu? Tolaklah. Toh, kalau kamu luapkan isi hatimu, ibumu pasti akan mengerti.” “Ibu tidak seperti itu, Budhe. Maksud ibu pasti baik. Toh, dia lelaki yang baik.” “Terserahmul a h ! Ya n g p e n t i n g B u d h e s u d a h mengingatkan.” B u d h e beranjak dan Rena k e m b a l i b e rg u m u l dengan diam. Nyatanya, tubuhnya adalah penjara, tempat bersemayam sejuta perasaan yang hanya bisa dipendam sekian lama. Ibunya juga penjara, menjaga pun membatasi, mengurung hanya agar Rena terus terlindung. “Re, terima kasih sudah selalu menuruti ibu,” ujar ibu disuatu malam dengan teh hangat di ruang tengah. “Rena yang berterimakasih, Ibu sudah mau terus membimbing Rena.” Pelukan itu terjalin dan untuk kali pertama Rena meneteskan air matanya. Tidak

tahu kenapa. Mungkin ia sedang bersyukur atau mungkin juga sedang merasa bersalah. “Kelak, Re, kematian harus menemuimu dengan cara yang paling baik. Ibu janji akan memastikannya,” ujar ibu dengan suaranya yang serak. Rena mengangguk saja meski ia tahu, sebaik apapun kematian yang ibu inginkan, kematian tidak pernah bisa bernilai rasa baik. Ibu adalah kehidupan, dari rahimnya Rena muncul usai bergelung nyaman. Ia juga adalah kematian, membawa satu p e r s a t u k e l u a rg a kecilnya menemui ajal, termasuk dirinya sendiri, yang malam itu meregang, dijemput maut dalam pelukan Rena. Tubuh tuanya melemas dan mendingin dalam dekap hangat yang tak kunjung lepas. Tangis Rena memecah hening. Membelah malam yang menggigil. Ia berteriak meski suaranya serak. Setelahnya, di wajah separuh bayanya yang sudah mengeriput di beberapa bagian, terbit senyuman Rena yang retak. Tidak ada lagi sangkar.

Ibu adalah sangkar yang sesungguhnya. Tuturnya jeruji yang mengurung, diamini segenap alam. Tapi ibu juga adalah rumah. Perkataannya pilar yang membuatnya tetap kokoh, tempat berlindung paling nyaman.

Buletin GIE Edisi Agustus 2018 15


ESAI

ILLUSTRATION : Z.MUSTAKIM

Terpenjara Kata-kata Menjadi Manusia Seutuhnya Oleh: Fatoni Prabowo Habibi

Kau harapkan keajaiban datang/ Hadir di pundakmu/ Kau harapkan keajaiban melengkapi khayalmu/ Kau biarkan mimpi tetap mimpi/ Yang melengkapi khayalmu/ Kau terhenyak dan terbangunkan/ Dan harapkan keajaiban datang hadir dipundakmu/ Kini waktu meninggalkanmu// Sepenggal lagu dari band legendaris itu mengingatkan sekali dengan seorang mahasiswa baru, pada beberapa semester lalu (berasa tua yah). Ia dengan berani dan gagah, meskipun perempuan mendaftarkan diri mengikuti pers mahasiswa. Aku tak benarbenar ingat namanya, tapi dari sosoknya bisa ku ingat bertubuh tinggi, cenderung kurus, memakai kacamata dan tentu saja seperti kita kira: fisiknya kurang sempurna. Ada salah satu bagian tangannya yang tak sempurna. Namun, dari sorot matanya aku bisa melihat kegigihannya. Suatu kali ia bilang hendak

16 Buletin GIE Edisi Agustus 2018

mengikuti kegiatan pers mahasiswa yang cenderung memilih lokasi jauh dari kampus. Sepertinya, itu adalah diklat pertama bagi maba. Saat meminta ijin ia masih diperbolehkan ibunya. Namun, saat di bulan November, kegiatan lanjutan digelar. Ia sudah menyampaikan tak bisa mengikuti. Karena tak diperbolehkan, mengingat fisiknya yang tentu menjadi kesulitan tersendiri bila berada di kerumunan dan di kejar oleh waktu. Untuk kegiatan bersih diri utamanya. Seingatku, anak itu juga merupakan anak yang aktif di forum, selalu bertanya dan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya: ingin berkarya. Dari situ, aku merenungi hari ini keadaanku hampir serupa. Kecelakaan hampir merenggut kakiku. Aku tentu saja masih bisa bersyukur


ESAI melihat keadaan ini. Allah masih baik dan Maha Baik dengan mengingatkanku lewat caranya begini. Pada masa silam, teringat juga olehku sosok yang kerap diacuhkan bapaknya. Hingga pada suatu kali, hampir seluruh keluarganya direnggut: nenek, bapak, ibu, adik dan keponakannya. Usia bapaknya 55 dan ibunya 34 kala penyakit TBC merenggut keluarganya di tahun 1950an. Penyakit itu membawanya untuk mempercayai umurnya tak akan panjang, diantara umur bapak ibunya ia pikir, sekitar 40-an. Pola pikir itu membawanya pada kegilaan, menulis sepanjang waktu. Orangorang masa kini bisa jadi menyebutnya 'kerja lembur bagai kuda'. Kenyataan ia akan bersegera mati lebih dini juga membuatnya tak gentar untuk menjalani hidup. Artinya tak ada lagi ketakutan lainnya, kematian saja sudah hampir pasti didepannya. Orang itu tak lain Pram, keluarganya kerap kali memanggil Mas Moek ketimbang Mas Pram. Itu diriwiyatkan Koesalah Toer (Pram, dari dekat sekali: 2006). Pram juga telah menyatakan 'Jika umurmu tak sepanjang umur dunia, sambunglah dengan tulisan'. Fans garis keras Soekarno ini sedari awal sudah dipenjara lewat tulisannya berpihak pada kaum Cina dalam bukunya Hoakiau di Indonesia. Dalam buku itu tertera, rezim Demokrasi Terpimpin memberlakukan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 yang kurang lebih menginstruksikan semua pedagang eceran Cina harus menutup usaha mereka di wilayah pedalaman. Sebetulnya tak jelas apakah itu juga berarti bahwa para keturunan Cina dilarang bermukim di pedesaan. 1962 selepas dari tahanan, dirinya

diminta mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Tri Sakti) sampai kurun waktu 1965. Periode ini menjadi titik mula kemunculan ide-ide liar karya berikutnya: Tetralogi Buru. Masa mengajar itu mahasiswa ia minta mempelajari koran selama setahun lalu mereka membuat naskah kerja. Periode 3 tahun mengajar, dengan mahasiswa sebanyak 30 orang dan menghasilkan 30 naskah. Dari sanalah petunjuk, sumber historis dan bahan bersejarah lainnya, Pram peroleh. Dalam wawancara dengan Tempo, Pram saat di Pulau Buru memang tak membawa serta naskah sekian ratus yang berasal dari mahasiswanya itu. Namun, ingatan masa mudanya yang masih tajam terhadap sesuatu yang menarik terus menempel dalam kepalanya. Masa tahanan Pram kala itu 14 tahun, tak diketahui juga ujungnya kemana dan sampai kapan. Saat ijin menulis belum turun, sebelum pemilu tahun 1971. Pram bercerita, “kami-sekitar 12 orang- dikucilkan dan tak boleh bergaul di antara satu denagn yang lain. Saya bercerita kepada mereka setiap saat apel. Akhirnya cerita itu menyebar ke seluruh kamp konsentrasi yang tak kecil itu. Luas Pulau Buru itu satu setengah kali Pulau Bali sementara kam konsentrasi itu luasnya sepertiga dari Pulau Buru. Pada 1973 saya baru dibebaskan dari pengucilan.� Keadaan genting, memaksa otak Pram untuk menghibur kawan-kawannya. 11 tahanan politik dibunuh, keadaan berubah mencekam. Pram berseloroh sambil mengendurkan ketegangan, “lihat Nyai Ontosoro, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.� Saat 1965, rumahnya disita, bukubukunya baik dalam bentuk siap edar dari

Buletin GIE Edisi Agustus 2018 17


penerbit maupun masih berupa naskah mentah dibakar oleh militer. Dalam penculikan itu juga, Pram dihajar dengan senapan militer. Darah mengucur dan tuli sebelah kiri, menyertainya. Masa-masa penahanan dikenang Pram sebagai masa suram bagi hidupnya. Meski begitu, rasa syukur masih menghinggapi dirinya. Pengasingan menjadi momen dirinya menguji daya tahan tubuh. Meski banyak kawannya mati bergelimpangan, sebab kerja sepanjang hari, tanpa diberi asupan gizi memadai, apalagi istirahat tak cukup panjang. “Kami setiap pagi selalu minum air putih satu botol, untuk kesehatan ginjal,� ujarnya. Bekerja apapun untuk membakar keringat dan sekaligus penyakit keturunan juga diyakini Pram dapat memperpanjang umurnya. Sekalipun memang ada ramalan dari seorang dukun yang mengatakan Pram bakal berusia lebih dari seratus tahun. Ia tak percaya begitu saja tanpa berusaha. 1979 lepas dari Buru, juga menjadi momen Pram menuntut atas ketidakadilan yang diterimanya, terutama mengenai arsip berharga yang ia simpan, buku-buku, aset tanah dan rumah, kepada Soeharto. Namun, kekuasaan lebih kuat dari apapun yang ia duga saat itu. Maka, terbitnya Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) menjadi simbol perlawanan yang ia tularkan pada seluruh generasi sesudahnya. Oleh karenanya, setelah berbagai media memburu Pram untuk menanyakan sikap dia terhadap Orde Baru yang tumbang. Pram hanya berpesan agar ini menjadi pekerjaan rumah anak muda. Dari membuat kongres pemuda nasional sampai solidaritas yang mengakar. Selain itu, seruan Pram untuk berproduksi sedari keluarga untuk menangkal

18

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

korupsi mengemuka. Produksi disini menyebabkan pencarian, penambahan nilai, meningkatkan kualitas terus menerus dan menumbuhkan karakter. Ini belum terjadi di Indonesia. Tanpa pengalaman produksi, jalan pintasnya pasti korupsi. Produksi itu juga bentuk nation. Indonesia menjadi buruk karena factor itu. Birokrasi menjadi sarang korupsi. Padahal, mereka yang berada di jajaran birokrasi itu memegang kendali (administrasi) negara perannya sangat strategis. Pram tidak percaya dengan semua elit politik Indonesia. Juga para intektualnya, yang memilih diam dan menerima fasisme orde baru. Sependek pengetahuan yang aku miliki, barulah Gola Gong dengan Rumah Dunianya yang mengejawantahkan pemikiran Pram itu. Tahun 2017, saat aku bertemu dengannya di TBM Dimurti, Pringrejo. Istrinya, Tias Tatanka menceritakan setiap kali anak-anak mereka menonton televisi, maka keduanya melakukan godaan terhadap anaknya. Mula-mula membuka buku dan berlanjut pada membaca buku dengan lantang untuk memancing anak mereka beralih pada bacaan. Tak cukup disitu, buku-buku juga diletakkan di samping televisi. Kini, anakanak mereka telah berkelana mencari ilmu di negeri yang lain, berkat tempaan keduanya. Kembali pada paragraf pembuka, bila dilihat barangkali sebagian dari kita ada yang mengalami keterbatasan dalam hal fisik. Namun, sesungguhnya itu tak bisa menghentikan langkah kita untuk melakukan sesuatu yang kita yakini benar, misal menulis. Dunia sudah jauh lebih pesat ketimbang generasi sebelum kita, terjadi Perang Dunia sebanyak dua kali, teknologi sudah ada namun belum begitu maju, dan


ESAI perdamaian masih menjadi kendala di berbagai belahan dunia. Kini, setelah era Reformasi tiba, kita mustinya melaksanakan hak-hak kewarganegaraan kita dengan adil, bijaksana, dan tentunya bertanggungjawab. Penggunaan media sosial, minimal, bila kita menemukan kekeliruan, ingatkan, dan ajak berdiskusi. Bila tak mempan, coba ajak diskusi kawan yang satu pemikiran, layakkah demikian? Ujungnya laporkan akun tersebut saja. Bila ingin mudah, kita lawan saja dengan kita menulis status ataupun berkarya dengan hal yang positif, untuk melawan serbuan itu. Bisa juga, kita cukup berkawan dengan tokoh yang

memang layak jadi panutan dan ingin kita kenal. Selebihnya hapus dari daftar pertemanan. Tak berteman di dunia maya bukan berarti komunikasi putus di dunia nyata bukan? Pada akhirnya, Pram tetap mengajak, “Keberanian! Sekali lagi keberanian! Terutama untuk Angkatan Muda keberanian adalah modal pertama. Tanpa keberanian, seperti sering saya sampaikan, kalian akan diperlakukan sebagai ternak belaka: dibohongi, digiring ke sana kemari atau bisa saja digiring ke pembantaian. Keberanian saja yang bisa membuat pribadi menjadi kokoh.�

“Tanpa keberanian, kalian akan diperlakukan sebagai ternak belaka: dibohongi, digiring ke sana kemari atau bisa saja digiring ke pembantaian. keberanian saja yang bisa membuat pribadi menjadi kokoh.�

Buletin GIE Edisi Agustus 2018 19


OPINI

Lika Liku Perjalanan Sastra Indonesia Oleh: Misbakhul Munir

Ketika seseorang membaca sebuah karya sastra, kerap kali tujuannya hanya untuk memenuhi hobi maupun kesenangan semata. Dengan sastra pula, seorang penulis dapat menyampaikan pesan kepada pembaca secara lebih luwes dan indah melalui untaian kata demi kata yang bermakna. Wajar saja, memang itulah tujuan sastra. Namun ketika kita mengingat tempo dulu, sastra bukan hanya untuk kesenagan semata. Sastrawan legenda menggunakan sastra sebagai alat untuk berjuang. Berjuang dengan sastra, itu bisa dikatakan seperti menodongkan pedang bermata dua. Sebuah senjata yang sebenarnya terlalu beresiko bagi penggunanya. Pada kenyataannya, sastra dapat dengan mudah memikat hati seseorang. Maka dari itu, bukan hal yang tidak mungkin seseorang juga dapat terprovokasi karena sastra. Akan tetapi ketika ada yang tidak sepaham (pihak yang kontra), itu bisa saja

20 Buletin GIE Edisi Agustus 2018

terjadi hal yang merepotkan seperti misalnya seorang sastrawan beresiko kehilangan kebebasan atau bahkan nyawanya. Perjuangan dengan sastra, bukti nyatanya seperti yang telah dialami oleh sastrawan legenda yakni Pramoedya Ananta Toer. Pram, sapaan akrabnya merupakan anak sulung dari sembilan bersaudara. Ayahnya bernama Mastoer Imam Badjoeri, seorang guru swasta, dan ibunya bernama Saidah. Ketika masih muda, Pram mengikuti berbagai aktivitas perjuangan melawan penjajah. Beliau ikut serta dalam pelatihan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan bergabung dengan resimen 6 dengan pangkat letnan dua yang menjadikan dirinya ditugaskan di Cikampek seperti dilansir dari laman biografiku.com Pada zaman Orde Lama, Pram menjadi sastrawan terkemuka. Ia sempat dijebloskan ke dalam penjara karena buku-


OPINI bukunya dianggap pro komunis dan menentang rezim Soeharto. Beliau ditahan di penjara Nusakambangan Jawa Tengah dan dibuang ke Pulau Buru sekitar tahun 1965 – 1979. Terkurung dalam sangkar (baca: penjara), tidak membuat langkah perjuangannya terhenti. Bahkan ketika di dalam jeruji besi itu, justru ia lebih banyak menulis buku-buku dan cerpen. Salah satu karya semi fiksi Pram yang sampai saat ini masih ramai diperbincangkan adalah Novel Bumi Manusia. Bahkan baru-baru ini, novel tersebut akan diangkat menjadi film. Selain Pram, sebenarnya masih banyak lagi sastrawan penyuara keadilan. Sebut saja itu Wiji Thukul. Siapa yang tak kenal Wiji Thukul? Wiji Widodo atau yang lebih akrab dipanggil Wiji Thukul merupakan sastrawan korban sistem antidemokrasi pada masanya. Anak sulung dari tiga bersaudara ini lahir di sebuah desa kecil di Solo, pada 26 Agustus 1963. Wiji Thukul lahir dan dibesarkan di lingkungan yang mayoritas penduduknya tukang becak dan kaum buruh. Ia mulai aktif menulis puisi semenjak masih Sekolah Dasar, hanya saja pendidikan formalnya harus kandas pada tingkat SMK karena kendala biaya. Dibesarkan di lingkungan melarat membuatnya tahu betul apa yang dirasakan masyarakat pada masa itu. Ketika kebebasan dikekang, mulut dibungkam, rakyat mendapat teror hanya karena menyuarakan kebenaran. Sangat berbanding terbalik dengan kehidupan penguasa yang bebas. Karena pengalamannya itulah Wiji Thukul bersuara dengan sastra. Tidak seperti sastrawan lain, puisi-puisi ciptaan Wiji Thukul terkesan keras dan kasar. Dengan nada protes juga penuh perlawanan. Ini adalah bukti adanya semangat pembebasan dengan sastra. Puisinya adalah lambang

perlawanan, keberanian dan semangat untuk bebas dalam sangkar (baca: keterkungkungan). Ia kerap kali memimpin massa untuk bersuara. Seperti dalam demonstrasi menentang pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Sariwarna, perusahaan tekstil di Solo. Di tahun 1994, ia juga memimpin aksi perjuangan petani di Ngawi, yang membuatnya terluka parah di mata kanannya. Pada tahun yang sama yakni 1994, ia juga ikut PRD (Partai Rakyat Demokratik), yang masuk kategori partai oposisi bagi pemerintah Orde Baru. Perjuangannya terus berlanjut, hingga akhirnya pada 27 Juli 1998 ia ditetapkan sebagai sebagai orang hilang dan sampai sekarang pun belum ditemukan jasadnya. Lantas, apa kabar sastra sekarang? Sastra sebagai alat perjuangan, apa itu masih relevan di zaman sekarang? Jika berbicara tentang perjuangan sastrawan masa kini, maka justru bisa dikatakan perjuangannya lebih berat dibandingkan zaman dulu. Di masa kini, berjuang dengan sastra mungkin tidak akan sampai kehilangan nyawa, karena yang dilawan bukan politisi. Musuh terberatnya adalah ancaman globalisasi. Hal itu berdampak pada ideologi radikalisme, kapitalisme, kultur barat dengan cepatnya tertanam dalam moral bangsa. Ketika kapitalisme sudah merambah ke sektor sastra, bukan lagi suara keadilan yang terdengar melainkan teriakan keputusasaan sastrawan. Seperti dilansir laman beritasatu.com, “Di zaman dulu, seorang Chairil Anwar itu dikagumi setiap orang. Kalau sekarang siapa? Majalah kesastraan saja sekarang banyak yang mati. Koran-koran yang memuat karya sastra juga sedikit. Orang bikin puisi, setahun-dua tahun lamanya, begitu masuk koran cuma dihargai berapa. Itu buat saya penghinaan. Sekarang

Buletin GIE Edisi Agustus 2018 21


OPINI hak cipta juga kan kurang dilindungi. Belum lagi, buku yang begitu sulit dijual masih dipajakin, kertas, dan lain-lain. Jadi setiap orang yang ingin menerbitkan buku jadi sulit. Dahulu sulitnya karena kita miskin, sekarang kita tidak miskin, tapi dipersulit oleh aturan negara,� ujar sastrawan Radhar Panca Dahana saat ditemui selepas melakukan dialog tentang kebudayaan dengan Ketua DPD, Irman Gusman di Jakarta, Jumat (22/1/2018). Penjajahan moral bangsa tidak bisa dilawan dengan pistol, tetapi bisa dilakukan dengan literasi berupa penyampaian nilai budaya yang baik. Pemerintah sepantasnya turut andil mengenai masalah ini. Setidaknya dengan memberikan ruang gerak yang luas bagi sastrawan. Dibutuhkan dukungan berupa fasilitas maupun infrastruktur yang mudah dalam hal penerbitan karya sastra. Perjuangan sastrawan era dulu, sudah seharusnya dilanjutkan, terutama oleh para generasi muda era sekarang. Seorang pemuda wajib mewarisi tekad dan semangat juang para sastrawan zaman dulu. Seperti

Fajar Merah, yang melanjutkan perjuangan ayahnya (Wiji Thukul) dengan menyanyikan lagu-lagu. Itu ia lakukan untuk kembali menghidupkan kembali ingatan tentang sosok perjuangan sang ayah ketika menyuarakan keadilan. Sedangkan kita, pemuda yang hidup di zaman millenial, alangkah lebih baik jika terus fokus berkarya pada passion kita masing-masing. Meski caranya berbeda, itulah langkah paling mudah memperjuangkan sastra di zaman ini. Menjaga warisan sastra, tentu saja berat ketika dilakukan hanya satu orang saja. Hal ini tentu harus mendapat dukungan dari semua pihak. Selain butuh perhatian lebih dari pemerintah, juga dari kita pun sepatutnya untuk terus mengapresiasi karyakaryanya. Tidak perlu mengadakan aksi demonstrasi, atau hal-hal berat lainnya. Cukup lakukan hal-hal kecil namun bermakna. Contohnya seperti membeli buku-buku original bukan bajakan, membaca dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sajakku adalah kebisuan yang sudah kuhancurkan sehingga aku bisa mengucapkan dan engkau mendengarkan, sajakku melawan kebisuan. -Satu mimpi satu barisan, Wiji Thukul-

22 Buletin GIE Edisi Agustus 2018


RESENSI

Imigran dan Permasalahan Gender yang Belum Usai

Oleh : Rizka Aprilliana

Film yang disutradarai oleh PoChih Leong memang agak berbeda dengan garapan sebelumnya. Jika sebelumnya ia fokus pada tema horor seperti The Darking dan Caben by the Lake yang rilis pada tahun 2000. Melalui film The Jade Pendant seolah ingin mengangkat tema gender. Film yang rilis pada tahun 2017, Po-Chih Leong seolah ingin berbicara tentang kesetaraan gender pada tahun 1800an. Gender sendiri sering diartikan hanya dengan sebatas jenis kelamin. Meskipun tidak sepenuhnya keliru, namun jenis kelamin lebih kepada sesuatu yang hadir secara lahiriah dan alami. Sehingga bisa dikatakan sebagai kodrat manusia secara lahiriah. Sementara gender lebih kepada perbedaan peran, hak, kewajiban kuasa dan kesempatan antara laki-laki dan

perempuan dalam kehidupan dimasyarakat yang tentunya disetiap daerah berbeda. Tergantung letak geografis serta culture yang melekat. Dengan durasi 106 menit, L.P Leong, sang penulis berhasil membawakan pesan kesetaraan gender dengan baik. Tak perlu terlalu lama untuk tahu bagaimana alurnya. Karena L.P Leong mengisahkannya dengan sederhana, sehingga cukup memahamkan. Kisah berawal pada saat Ying-ying, yang diperankan oleh Clara Lee, dijodohkan dengan seseorang yang tidak dicintainya. Perjodohan tersebut terpaksa harus diterima karena permintaan sang ayah yang khawatir akan masa depan Ying-ying. Menganggap bahwa perjodohan bukanlah jalan yang membahagiakan, Ying-ying

Buletin GIE Edisi Agustus 2018 23


RESENSI bersama sahabatnya yaitu Lili pun melarikan diri. Seolah tak tahu arah dan tujuan, Ying-ying dan Lili bertemu dengan seorang pria yang menawarkan pekerjaan. Dengan penuh harap, akhirnya mereka menyetujui sebuah perjanjian. Berawal dari perjanjian itulah Ying-ying dan Lili akhirnya mendarat di California, Amerika Serikat. Seolah tak terpikirkan oleh keduanya, tempat yang dijanjikan ternyata adalah 'neraka' bagi mereka dan menjadi 'surga' bagi para lelaki hidung belang. Wanita beraroma wangi dengan bibir merah menyala menjadi sebuah keharusan. Madame Pong, begitu orang biasa memanggilnya. Adalah majikan sekaligus 'mami' yang mana orang Indonesia biasa menyebut. Percikan perselisihan dimulai ketika Madame Pong ingin mengubah nama Yingying menjadi Poeny. Poeny yang dalam bahasa China berarti 'ratu bunga' dianggap lebih modern ketimbang Ying-ying. Meskipun begitu, Ying-ying tetaplah Ying-ying, gadis desa yang teguh akan pendirian. Ia tak ingin namanya diubah oleh siapapun, meskipun itu akan melambungkan namanya sebagai 'calon pelacur.' Melalui kecerdasan serta ketangkasannya dalam ilmu bela diri, membuat Madame Pong berubah pikiran. Dijadikanlah Ying-ying sebagai tangan kanannya, tapi tidak dengan Lili. Lili yang Judul Film: The Jade Pendant Pemain: Mark Boone Junior, Godfrey Gao, Clara Lee, Russell Wong, Tzi Ma Sutradara: Po-Chih Leong Skenario: Scott Rosenfelt, David Assael, L.P. Leung Produser: Bruce Feirstein, Scott Rosenfelt, Thomas Leong

24

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

diperankan oleh Nina Wu, hanya bisa pasrah dengan keadaan. Utamanya keadaan yang menuntutnya supaya kebal dengan kata-kata sarkasme. Seolah tak cukup sebagai tangan kanan Madame Pong, kisah dilanjutkan dengan munculnya Yu Hing sebagai the big father dalam bisnis prostitusi yang dikelola oleh Madame Pong. Yu Hing yang diperankan oleh Tzi Ma menginginkan Lili sebagai alat pemuasnya. Seperti ada ikatan batin dengan Lili, Ying-ying pun berusaha menggagalkan niat busuk Yu Hing. Alhasil, Ying-ying atau Poeny sendiriah yang menjadi taruhannya. Kurang menarik memang, jika sebuah film tanpa bumbu keromantisan. Tom, seorang pedagang Cup Suey jatuh hati pada Ying-ying. Kisah cinta berawal dari pertemuan singkatnya ketika di pasar. Tom yang diperankan oleh Godfrey Gao berhasil merebut hati Ying-ying setelah ia berhasil membebaskan Ying-ying dari perbudakan. Tom paham betul, jika setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan pasti menginginkan hidup layak sebagaimana umumnya. Mengambil latar pada tahun 1800an, membuat film yang bergenre drama history ini semakin membuat penonton penasaran. Terlebih banyak adegan kungfu yang diperankan oleh pemeran wanita. Seperti misalnya pada saat Madame Pong kecopetan. Ying-ying dengan sigap mengelurkan jurus Kungfunya dan berhasil melumpuhkan Sicopet. Sebagai tokoh utama, Ying-ying berperan sangat apik. Seolah ingin membuktikan bahwa budaya patriarki yang terlanjur mengakar dapat terbantahkan oleh kecerdasannya. Ying-ying berhasil mengangkat derajat kaum China yang selalu dipandang rendah oleh bangsa Amerika.


PUISI

Telah Kau

Genggaman Kekuasaan Oleh: Ana Risqiana

Terpenjara oleh peraturan Tergenggam oleh kekuasaan Tertekan oleh status sosial Serta terealisasi dengan ketidakadilan Burung dalam sangkar itu indah Warna bulunya menarik Suaranya merdu Namun sayang, ia tak terbang bebas Satu kepakan sayap, Ia menghantam sangkarnya Kelaparan jika tak diberi makan Kehausan jika tak diberi minum Kepanasan dan kehujanan Jika tak diteduhkan pemilik Sama halnya boneka cantik Yang hanya mengikuti permainan Tanpa harus menjadi superman Lantas, apa bedanya dengan manusia? Kekuasaan menguasai segalanya Suatu penghalang ke alam bebas, Alam luas yang menyimpan ribuan emas

Tinggalkan

Aku

Oleh: Nur Khikmah Telah kau tinggalkan aku di malam penuh bintang. Hingga bintang-bintang beranjak luruh. Menjadi mendung dan hujan. Tiap rintiknya adalah luka.

Daun-daun terjatuh tanpa perlawanan. Kau bergeming, aku diam. Bersama dengan itu, lenyap pula mimpi-mimpi yang kau bawa. Kini menjelma menjadi mimpi buruk dengan mata terbuka. Ingatan-ingatan menjadi hukuman. Kenangan merayap di remang, menghantui. Lalu waktu tetap berjalan angkuh dengan atau tanpa diriku yang masih bisu. Harapan yang sirna, mimpi yang lenyap, dan aku yang hilang. Terkungkung dalam kamar yang menyerupai penjara atau penjara yang berbentuk kamar. Dan di suatu pagi aku terbangun. Membuka lembaran-lembaran luka. Kupeluk hingga aku kesulitan bernapas. Kukenakan pakaian hitam-hitam. Pertanda berkabung. Kekasih, di manapun kau berada, bersiap-siaplah. Hari ini akan kumakamkan perasaan yang pernah hidup itu. Dan ketika kau baca ini, segalanya telah sirna, menjadi abu. Buletin GIE Edisi Agustus 2018

25


PUISI

Membusuk Dalam Sunyi Oleh : Zaenal Mustakim

Sunyi kini menjadi teman, kala gelap menghiasi langit. Menelan jutaan bintang, Yang menjadikannya terlalu pekat untuk dikenang. Hanya ada bayanganmu, dan imajinasi yang terus mencengkramku tanpa jeda. Menamparku jatuh, di jurang pilu. Menyesatkanku diujung rasa, tanpa jalan tuk kembali. Yang menjadikanku gila, Membusuk dalam kesunyian Tanpa canda tawamu, yang mulai asing kudengar, Bahkan tak bisa kunikmati lagi. Entah akan berakhir seperti apa, kisah ini. Aku akan tetap mencintamu. Mendekapmu dalam bait rindu, Sunyi tanpa nada yang menjadikanya tak ternilai. Aku ingin pergi, hilang bersama gelap. Namun waktu, memaksaku tinggal, Menumbuhkan rasa yang mengerogoti hati Hingga mati, Membusuk, Dan tiada lagi.

26

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

Sangkar Ilusi

Oleh : Indah Kurnianik

Inginku melenggang bebas menuju tak terbatas Tanpa suatu aral yang melintas Adakah hal itu dalam realitas? Mungkin inginku itu tidaklah pantas Aku ingin berenang mengarungi samudera luas Apa daya, ombak selalu membuatku terhempas Aku selalu ingin berkarya dengan imajinasi bebas Namun ada saja aturan yang memberikan batas Sulit ‌ Ini sulit untuk kembali bangkit Anganku hanya bisa menggantung di langit Ragaku kini terkurung dalam kenangan pahit Mimpiku hanya sesuatu yang terbersit Aku hanyalah seseorang yang mempunyai begitu banyak mimpi Namun semua itu hanya terangkum dalam ilusi Yang berada dalam kefanaan abadi Tercecer dalam rongga-rongga fantasi Tentang mimpi-mimpi, Semua bisa saja dicapai Hanya saja mimpi itu terkurung dalam sangkar ilusi Dan semuanya membuat mimpi itu mati


PUISI

TERPENJARA Oleh: Aris Yusuf Mochamad

Belenggu Diri Oleh: Ni'mah Nur Itsnaini

Fenomena sangkar kehidupan Terbelenggu oleh waktu Antara nyata dan semu Aku terpenjara olehnya Kubangun jembatan tuk sebrangi sungai Namun, penuh persimpangan berliku Bagai mimpi yang terlipat dalam takdir Tetap kulalui Apakah diriku terlalu bodoh? Selalu mengharapkan sesuatu jadi nyata? Banyak yang bilang, gapai mimpi setinggi langit Nyatanya mimpiku tak mampu mencapai perkataan itu Sungguh, diriku telah terpenjara dirantai yang berkarat Dapatkah ini kuralat? Berdosakah, jika kudobrak penjara ini? Persimpangan ini telah mengekangku Namun kupasrah, Kuredam amarah Rida kugenggam Mendramatisir setiap keadaan Mencapai tujuan yang sempurna Di dalam, terpenjara Melawan hukum yang ada Dengan usaha dan doa

Dalam diam teriakku, Bercerita dalam alunan sepi tanpa bendu Hanya riuh angin menyentuh kalbu Menyibakkan jiwa penuh belenggu Ingin kubebas berekspresi, Menunjukkan apa yang menjadi kata hati Mengubah dunia mewujudkan sebuah mimpi Tapi sungguh, jiwa ini telah terperangkap oleh sangkar diri Dogma-dogma datang menghinggapi, Menggoyahkan rasa percaya diri Berlomba menumbangkan sebuah potensi Menuju insan kamil yang sejati Skeptis manusia memenuhi jiwa, Terombang ambing dalam gelombang nestapa Terlupa akan adanya Tuhan yang Maha Kuasa Menciptakan kisah harapan tanpa asa

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

27


PUISI

Mahasiswa Oleh : Muhammad Arsyad

Jadi mahasiswa itu repot‌ Setiap hari beraktifitas bagai robot! Mereka selalu khawatir, apalagi saat IP sedang merosot. Demi naikan IP, mereka rela saling serobot.

Jadi mahasiswa itu susah ‌ Kemana-mana selalu resah Tugas dari dosen tiap hari kadang membuat gelisah Suatu saat ingin sekali lepas, tak memikirkan tumpukan tugas Tapi teringat orang tua yang tengah bekerja keras Mereka tak mungkin bisa berkembang, Apalagi yang disampaikan dosen hanya itu terus berulang-ulang

Terkurung

Jadi mahasiswa itu bingung ‌ Mereka sering lakukan aksi, tapi penguasa cukup merespon termenung Mereka disuruh kritis, saat mereka lakukan itu, tak satu pun digubris Sedangkan rakyat butuh mahasiswa yang tak cuma ceriwis Mereka tak hanya dituntut secara akademis Mereka juga harus mampu mewujudkannya secara realistis

Tapi saat mereka lakukan itu ... Mereka riskan ditunggangi kaum politis Jadi mahasiswa harus idealis ‌ Tapi kalau idealis terus, akan jadi orang yang miris Karena bangsa ini rupanya tak lagi butuh seorang yang idealis Jadi, buat apa mahasiswa itu sok idealis? Toh idealis mereka akan luntur, apalagi kalau sudah berhubungan dengan bisnis

Oleh : Ikhtaroza Salamatun

Kaki terikat tak bersendi Hanya sendiri aku di ruang sunyi Sesak nafas dihantam kata-kata penuh gairah Desah raungan terdengar di luar sana Tapi, kutak berdaya Inginku berlari mengejarnya Aku hanyalah secuil manusia yang banyak asa, Namun tiada guna

28

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

Tubuh ini seperti tak memiliki tulang, Yang bebas bergerak sesuka hati Jiwa ini masih diselimuti sunyi, Yang sering menghantui Segudang wacana hanyalah wacana, Karena realitanya aku tak bisa apa-apa. Semangatku rasanya pudar, Buyar dan ambyar. Pikiranku terkurung, bagai burung dalam sangkar Segala mimpi dan asa dirantai tak berarti.


SOSOK

Suharso, Penulis

Bak Siluman Oleh: Azizah Siluman dapat menjelma menjadi dua hal yang berbeda. Ia bisa menjadi hal yang sebenarnya, dan dilain sisi ia juga bisa menjadi hal lain diluar dugaan. Tetapi, dua hal yang berbeda tersebut tak hanya dimiliki oleh siluman. Adalah Suharso, warga asal Wiradesa Kabupaten Pekalongan ini memiliki dua hal yang berbeda dalam kehidupannya. Terkadang ia dapat menjelma menjadi penulis, dan disisi lain ia juga dapat menjadi penjual mie ayam. Suharso atau lebih dikenal dengan nama pena Aveus Har ini lahir di Pekalongan, 20 Januari, empat puluh satu tahun silam. Nama Suharso dan Aveus Har ini memang jauh berbeda. Bahkan, penulis yang akrab disapa Mas Ave ini pun tak tahu apa alasannya ia dinamai seperti itu. Menurutnya, hal tersebut hanya untuk “gaya-gayaan”. Ia juga menuturkan bahwa jika kebanyakan orang menganggap “nama adalah do'a”, baik Suharso maupun Aveus Har sama-sama tak ada maknanya. Namun, ia berharap kebaikan selalu senantisa menyertainya. Ketika Menjelma Menjadi Penulis Nama Aveus Har adalah nama ketika ia sedang menjelma menjadi penulis.

dan tak pernah mengenyam bangku kuliah, ia tak patah semangat untuk berkarya. Hal ini terbukti dari ia yang telah menerbitkan novel sebanyak sepuluh. Pada tahun 2015, ia menerbitkan novel yang berjudul “Sejujurnya Aku”. Novel tersebut telah berhasil menjadi peringkat pertama dalam Lomba Bentang Populer. Novel “Bila Kau Kawin” juga berhasil diterbitkan oleh Laksana, Divapress Group pada tahun 2017. Belum puas dengan novel yang telah diterbitkan, penulis yang dalam candaanya tak mau dipanggil 'pak' ini juga akan kembali menerbitkan novel yang berjudul “Mata Suami Mata Istri”. Tak hanya novel yang Ave tekuni. Karya yang berupa cerpen pun ia tekuni. Bahkan ia mengatakan bahwa ia lebih suka menulis cerpen dibanding menulis novel. Karena menurutnya, menulis cerpen itu tidak secapek menulis novel. Karya cerpennya yang berjudul “Rahim dan Hantu-Hantu” berhasil tembus surat kabar Media Indonesia pada 19 November 2017. Cerpen lainnya yang berjudul “Di Langit, Ayub Melaut” juga tertulis dalam surat kabar Tempo pada 8 April 2017. Ketika ia masih berjualan di Puskesmas Wiradesa, ia mengaku telah lumayan eksis di media sosial setelah sekian

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

29


SOSOK lama mengalami penolakkan berkali-kali. Ia mencatat ada 100-an cerpen yang ia kirim hingga akhirnya majalah-majalah remaja memuat cerpennya. Dalam menciptakan karyanya, Ave tak meluangkan waktunya untuk menulis. Ia menuliskan karya disela-sela kesibukkan dalam berjualan mie ayam. Menurutnya, tak ada alasan untuk meluangkan waktu khusus menulis. Ia lebih memilih memanfaatkan gadget yang serba bisa, seperti menulis dan bermain media sosial. “Hari gini masih nunggu waktu khusus buat kreatif? Macam di jaman batu aja ah,” ujar Aveus Har. Ketika Menjelma Menjadi Pedagang Suharso adalah nama asli sekaligus nama ketika ia sedang berjualan mie ayam. Ia merintis karir dagangannya sejak bujangan. Karena ia tak betah menjadi karyawan dan selalu ada konflik, ia berinisiatif untuk membuka usaha mie ayam bersama ibunya. Ia membuka dagangannya di sebelah utara bekas Mall Sri Ratu. Warung mie ayamnya tersebut dinamai “Mie Ayam Mas Harso”, namun sekarang beralih nama yaitu “Mie Ayam Bu Harso”. Saat itu, disela-seala jualannya, ia menuliskan karya dengan pena dan buku tulis. Setelah itu, ia salin dengan mesin ketik yang ia pinjam setiap malam minggu. Pada saat itu pula, ia berpikir bahwa ia harus mandiri dan tak melulu bergantung pada ibunya. Lalu, ia berinisatif untuk membuka usahanya di trotoar jalan raya, tepatnya di depan Puskesmas Wiradesa sampai ia menikah dan mempunyai dua orang anak, yaitu seorang putra yang bernama Novel Mahardika dan putrinya yang bernama Gita Aurellia. Namun, karena di tempat tersebut akan dibangun lampu merah, mau tidak mau akhirnya tempat usahanya pindah ke kios yang ia kontrak selama dua tahun.

30

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

Beruntung, sebelum pindah ke kios tersebut, Suharso alias Aveus Har memenangi Juara I lomba menulis novel yang bertema “Perempuan Dalam Cerita” dan memperoleh hadiah uang senilai 6 juta rupiah yang ia gunakan untuk membiayai kontrakan kiosnya tersebut. Suharso kembali bercerita mengenai kepindahan usahanya dari kios kontrakan tersebut. Ia tak bisa memperpanjang penyewaanya dikarenakan sang pemilik kios akan menggunakannya. Kemudian ia bersama sang istri mengajukan pinjaman ke bank untuk KPR (Kredit Pemilikan Rumah) guna membiayai sebuah rumah yang lokasinya strategis dan nantinya akan ia tambahkan biayanya dengan uang tabungan senilai setengah dari harga rumah. Namun, tiga bulan kemudian pihak bank belum menyetujui ajuan pinjaman mereka. Beruntung, Suharso merasa dibantu oleh Tuhan melalui televisi. Ia diwawancarai oleh progam Berita Pagi Metro TV, Liputan 6 Siang SCTV, dan tamu di acara Hitam Putih Trans 7. Kemudian Suharso kembali menelepon pihak bank dan pihak bankpun menontonnya di televisi hingga akhirnya ajuannya diterima. Kini, lokasinya pindah di dekat SMA Negeri 1 Wiradesa dan dapat di cari melalui google maps dengan kata kunci “Mie Ayam Lezat Mas Harso”. Dari kedua hal tersebut ia tak bisa memilih antara menulis dan berdagang. Menurutnya, jika menulis adalah hobi sedangkan berjualan mie ayam adalah pekerjannya. Ada saatnya ngerjain hobi, ada saatnya pula kerja. Saat ini, ia sedang asyik dengan dengan dunia sastra dan berjualan. Walaupun usianya tak muda lagi, namun ia masih tetap bersemangat untuk mewujudkan impiannya yaitu memiliki Kafe Sastra.


oleh : Arini Sabrina

KEPO! Sering orang mendengar istilah yang terkadang orang hanya ikut-ikutan saja tanpa paham arti yang sebenarnya. Tak jarang istilah-istilah tersebut justru sangat dekat dengan kehidupan kita. Diantaranya ialah kata KEPO. KEPO merupakan penggambaran seseorang yang serba ingin tahu atas segala hal. KEPO sebenarnya sebuah akronim yang diambil dari bahasa Inggris yaitu Knowing Every Particular Object. KEPO identik dengan seseorang yang ingin tahu secara detail urusan orang lain yang memang sebenarnya bukan urusannya. Namun KEPO bagi mahasiswa Ilmu Alquran Tafsir (IAT) IAIN Pekalongan ini berbeda. Adalah Zamrodin namanya. Mahasiswa asal Pekalongan ini justru bisa dikatakan multitalent berkat dirinya yang selalu KEPO. Menurutnya dengan KEPO kita bisa mengetahui dan bisa melakukan segala hal. Zamrodin ialah mahasiswa berprestasi yang selalu mengharumkan kampus tercinta IAIN Pekalongan. Kepiawaiannya dalam membuat kaligrafi tidak patut dipertanyakan lagi. Berawal saat duduk di kelas 4 tingkat Sekolah Dasar, Zamrodin mulai dipertemukan dengan kaligrafi melalui lomba-lomba

TIPS

Kunci Awal Jadi Multitalent ILUSTRASION : Z.MUSTAKIM

event porseni. Hingga ketika memasuki Madrasah Tsanawiyah (sekolah setingkat SMP), disitulah Zamrodin mulai mengenal dan menyukai kaligrafi. Hampir sekitar 20 kali dari 30 perlombaan yang diikuti, mahasiswa IAT ini menyabet juara dalam event lomba kaligrafi baik dari tingkat kecamatan, kota, karesidenan, eks karesidenan, provinsi, tingkat jawa madura hingga nasional. Prestasi yang baru-baru ini ia raih ialah juara I lomba cabang kaligrafi naskhi dan juara II lomba cabang kaligrafi dekorasi. Kedua juara tersebut ia sabet sekaligus dalam satu event lomba IPPBMM (Invitasi Pekan Pengembangan Bakat dan Minat Mahasiswa) di IAIN Purwokerto bulan Mei lalu. Namun tak hanya piawai dalam bidang kaligrafi, mahasiswa angkatan tahun 2015 ini mengaku bahwa dirinya tidak hanya bergelut di dunia kaligrafi saja. Sampai saat ini sepertinya saya lebih banyak tampil hadroh di berbagai tempat dengan grup saya daripada kaligrafi. “Kegiatan sholawatan dengan alunan musik rebana ini sebenarnya bertolakbelakang dengan kaligrafi karena tangan seorang kaligrafer itu harus lentur, lembut dan tidak keras,� ungkap Zamrodin

Buletin GIE Edisi Agustus 2018

31


TIPS (25/6). “Sedangkan pemain rebana, tangan adalah faktor dalam memainkan rebana. Secara otomatis tangan menjadi kaku, keras bahkan kalo dalam bahasa jawa bisa disebut kapalen,� imbuhnya. Tak hanya menjadi seorang kaligrafer, saat ini Zamrodin juga merupakan seorang vokalis dalam grup rebana yang tentu juga bisa memainkan rebananya. Menurutnya, tangan seorang kaligrafer tak selamanya hanya untuk menulis dan menulis saja. Tangan kaligrafer harus multifungsi seperti bisa menulis, memasak, angkat beban berat dan yang lainnya, yang ketika dibutuhkan orang lain kita bisa membantu. Lantas, bagaimana agar kita juga bisa berprestasi, multitalent, dan tentunya bisa membatu orang yang membutuhkan bantuan kita? Ada beberapa tips yang tim Al Mizan rangkum saat menemui mahasiswa IAT ini. Tentunya tips di bawah ini patut menjadi bahan rujukan temanteman agar bisa menjadi orang yang membanggakan seperti Zamrodin. Pertama, KEPO. Ya, seperti yang disebutkan diawal pembahasan, KEPO yang berarti ingin tahu menjadi kunci utama Zamrodin. Zamrodin memiliki rasa

penasaran yang cukup tinggi. Segala hal yang belum diketahui dan belum bisa dilakukan, Zamrodin selalu berusaha mengetahuinya. Kedua, Suka. KEPO pun ternyata tidka cukup. Hanya saja KEPO merupakan awal langkah untuk kemudian menjadikannya tahu hingga akhirnya suka. Ketiga, harus punya tekad dan semangat yang besar. Tekad ini tidak kalah pentingnya. Selain diawali dengan KEPO dan suka, kita juga harus memiliki tekad alias niat yang bulat bahwa kita ingin bisa melakukan ini dan itu. Innamal a'malu binniat, segala sesuatu harus diawali dengan niat. Selanjutnya, PD alias Percaya Diri. Zamrodin yang mengaku kalau dirinya itu selalu memaksakan diri agar selalu PD. Karena percuma saja jika memiliki bakat tetapi tidak disertai PD, maka kemungkinan kecil bakat tersebut tidak pernah terekspos. Dari lubuk hatinya mempunyai sejuta katakata bahwa “aku pasti bisa melakukan ini dan itu!�. Begitulah kaligrafer muda ini memotivasi dirinya sendiri. Walaupun diakui memang tidak segampang membalikkan telapak tangan, namun setelah PD maka dilanjutkan dengan tips yang terakhir yaitu usaha, latihan dan tentunya berdo'a dengan sungguh-sungguh.

Kebahagiaan Tertinggi Manusia Adalah Pembebasan Dari Rasa Takut. WALTHER RATHENAU

32 Buletin GIE Edisi Agustus 2018



Jangan MEMBUSUK b I a r k a n

TeruslahA Otakmu Berfikir g Mampu Memecahkan a r

Ia

Keraguanmu!


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.