Kelompok spp 1

Page 1

Bingkai Perempuan Perjalanan Meraih Sukses Melalui Program SPP


Bergelut dalam Lumpur Perempuan Pencetak Bata dari kecamatan Pinggir


Ia

seolah tak ingin meratapi nasib, sejak sang suami harus berhenti bekerja karena ketidak mampuan secara fisik. Penyakit stroke ringan suaminya membuat ia harus banting stir ikut menakhodai kapal yang tak ingin karam. Dari Padang Pariaman, mereka pun nekat berhijrah ke kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis. Sisa tabungan mereka kuras untuk membeli tanah di kecamatan pinggir yang pada masa itu belum mahal karena masih semak belukar. Dengan pekarangan yang luas dan tanah liat yang dimiliki di pekarangan, maka Elmawati membuat batu bata sebagai mata pencaharian. Tenaga dan alat cetak sederhana adalah modalnya selama ini. Tentu saja tak banyak yang bisa dihasilkannya. Apa lagi ia lebih banyak bekerja sendiri. Sesekali ada beberapa orang upahan, namun ia pun tak cukup modal untuk membayarnya. Maklum, batu bata yang sudah dicetak, tentunya tidak bisa langsung dijual. Ada beberapa proses yang harus dilalui, yakni pengeringan hingga pembakaran. Dan untuk memulai pembakaran dibutuhkan batu bata yang sudah siap cetak dalam jumlah yang banyak Hingga akhirnya Elmawati bertemu dengan kelompok yang terdiri dari para ibu-ibu untuk mendapatkan pinjaman. Waktu itu, Irna meminjam dana 2 juta untuk persiapan upah kerja sebelum batu bata siap diorder. Produksi batu bata yang dibuat Elmawati masih dengan cara pembuatan manual. Seiring dengan perjalanan waktu, permintaan terhadap batu bata juga meningkat. Namun bagi Imah ia cukup kewalahan dengan tenaga kerja yang bisa membantunya, apa lagi pekerjaan membuat batu bata ini tidaklah gampang, membutuhkan tenaga. Elmawati akhirnya mengajukan pinjaman lagi ke UPK melalui kelompoknya. Imah meminjam sebanyak Rp 10 juta. Dari pinjaman tersebut, akhirnya Imah bisa memiliki mesin pembuat batu bata, sehingga produksi semakin meningkat dan tidak kewalahan lagi terhadap tenaga kerja karena pekerjaan sudah semakin ringat berkat adanya mesin tersebut. “alhamdulilah, usaha ini bisa berjalan dengan lancer. Saya tidak kesulitan lagi mengembangkan usaha. Apalagi meminjam di UPK tidak membutuhkan persyaratan. Cukup kepercayaan pada kelompok, apalagi kelompok kami tidak pernah menunggak.� Ujar Elmawati Sekarang Elmawati tak hanya bermimpi menyekolahkan anaknya, ia bahkan sudah menguliahkan anaknya dari usaha ini .

Tangan tangan halus itu bergelut dengan lumpur. Pundak itu pun kini mulai berotot oleh kerja keras dan semangat yang keras. Mereka tak berhenti berusaha demi penghidupan yang bisa membangkitkan. Program SPP mewujudkan mimpi mereka dengan peluang mengembangka usaha. Ernawati, sang pembuat Batu Bata dari kecamatan Pinggir, anggota kelompok SPP


Terasi Riau Ke Negeri Jiran


Sering kali, kisah masyarakat pesisir menjadi kisah pilu yang menjadi gambaran masyarakat yang tinggal di daerah perairan, tinggal dibibir pantai, miskin dan bodoh alias tidak bersekolah. Tetapi tidak buat Ira, perempuan tangguh dari Desa Gobang di kecamatan pulau Merbau, kepulauan Meranti ,Riau. Ira adalah salah satu perempuan yang ikut bergabung di kelompok SPP (Simpan pinjam perempuan). Penghasilan suami yang tidak menentu, tergantung dengan kondisi alam, ombak, angin dan cuaca. Memang suami Ira adalah Nelayan yang menggantungkan hidup dari mencari ikan. Terkadang pendapatannya dari melaut bisa mendapatkan ikan yang banyak dan dijual menghasilkan uang untuk kehidupan seharihari, tetapi sering juga, setelah melaut berhari-hari ikan hanya diperoleh sekedar untuk makan. Tidak mau berpangku tangan ,Ira yang agak sulit menggunakan bahasa Indonesia, bertutur lugu dalam bahasa kampong dengan sepetah dua patah kata. Tetapi terlihat kebanggaannya menjadi istri yang tidak berpangku tangan hanya menunggu pendapatan suami. Awalnya Ira memanfaatkan ikan dan udang kecil hasil tangkapan para suami nelayan yang awalnya tidak laku dijual dipasaran. Ikan dan udang kecil itu dibayar Ira sekedarnya, dan Ira pun mengolahnya, merebusnya. Ikan ikan berukuran agak besar dijemur dan dikeringkan Ira, kemudian udang-udang kecil (ebi) digiling halus dan dicetak padat. Alat cetaknya pun sederhana, tutup toples. Ternyata usaha pembuatan belacan sebagai penyedap masakan itu diminati warga kampong. Kemudian, karena peminatnya terus bertambah, Ira pun menambah jumlah produksi, sampai akhirnya ada pemasok yang mengambil Terasi Ira perminggu seribu keeping. Dengan harga penjualan Rp 500,- artinya setiap minggu Ira mengelola uang sebesar RP 500.000 “ Terasi kami juga dibawa ke Malaysia.� Ujar Ira Bangga Ira pun kini menjadi pengusaha kecil-kecilan yang membanggakan, tak hanya berpangku tangan menunggu saatnya matahari terbenam dan saat-saat suami pulang melaut. Ia sudah mempekerjakan keluarganya mengelola belacan. Sehingga Ira tak ragu dengan masa depan keluargannya, jika alam sedang tak bersahabat, ia masih bisa menanti ikan-ikan kecil dan udang kecil, untuk siap diolah, walau keuntungan kecil tapi ia tetap bisa mengepulkan asap dapur dan menyekolahkan anaknya. “Untung ada pinjaman dari SPP, syaratnya gampang, tidak harus menggunakan agunan� Ujar Ira lagi

Kisah pertarungan hidup kelompok perempuan


Aroma Kehidupan pada Bibit Jeruk Aroma Jeruk mulai terasa saat memasuki Desa Gobah di Kecamatan Tambang kabupaten Kampar. Di kanan kiri badan jalan akan terlihat kebun-kebun jeruk milik masyarakat yang masih seumuran 1 bulan dengan ketinggian sebatas kaki. Beberapa kaum ibu terlihat membersihkan lahannya serta menjaga kondisi air, baik pagi hari maupun sore. Tidak terlihat ada lahan kosong apa lagi lahan tidur di sana, semua termanfaatkan dengan baik.

Usaha Kelompok Permata Bunda, Tambang, Kampar

Tidak sedikit dari mereka yang kini sudah mendaftarkan diri untuk naik haji dari keuntungannya.


Desa Gobah memang desa yang dikenal sebagai wilayah pembibitan pohon jeruk. Tak heran bila sebahagian besar masyarakatnya memiliki usaha pembibitan pohon jeruk. Bibit pohon jeruk ini biasanya di drop ke Sumatera barat. Untuk satu pembibitan mereka menjualnya dengan harga Rp 3000 s/d Rp 5000. Dalam satu kapling pembibitan jeruk ini bisa menghasilkan 5000 pohon, bisa dibayangkan hasil pembibitan pohon jeruk ini saja mereka bisa menghasilkan sekitar Rp 15 juta sampai Rp 25 juta. Umumnya, usaha pembibitan ini merupakan usaha para kaum perempuan. Ini terlihat dari data kelompok Simpan Pinjam Perempuan Permata Bunda. Umumnya usaha kelompok perempuan yang meminjam melalui program SPP di Unit Pengelola Kegiatan (UPK) kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Riau. “Ada sekitar enam puluh anggota kelompok permata bunda yang meminjam modal usaha untuk pembibitan pohon jeruk.� Ujar Nazpariany, ketua kelompok SPP Permata Bunda. Prospek usaha pembibitan pohon jeruk ini diyakini masyarakat memiliki prospek yang cukup baik, apa lagi sekarang ini desa gobang sudah dikenal sebagai desa sentra pembibitan pohon jeruk. “Usaha ini cukup menjanjikan, bahkan dari keuntungan itu ada anggotanya yang mendaftarkan diri untuk berangkat haji.� Ujar Nazpariani.

Membangun Kelompok karena kepercayaan dalam mengelola Usaha bersama. Kini Jumlah kelompok sudah ada 100 Orang

Kelompok Permata Bunda, menata kelompok perempuan yang mandiri Kelompok permata Bunda adalah kelompok SPP terbesar di Desa Gobah. Kelompok ini adalah kelompok perempuan yang perjalanannya terbentuknya tidak terlepas dari perjalanan program PNPM Mandiri Perdesaan. Kelompok ini mulai terbentuk di tahun 2008 dengan anggota kelompok sebanyak 10 Orang, yang sebelumnya tergabung dalam kelompok perwiritan. Kelompok ini berorientasi untuk mengembangkan usaha anggotanya sehingga mereka bisa mengakses pinjaman kepada UPK. Kelompok ini terbilang cukup maju, tidak hanya dalam mengembangkan usaha produktif, tetapi kelompok ini juga memiliki kegiatan bersama dalam penguatan dan pembinaan terhadap perempuan. Tak heran, dalam perjalanan waktu melihat geliat positif yang dilakukan kelompok ini, mulai banyak perempuan di desa Gobah ikut bergabung. Hingga akhirnya, kelompok SPP Permata Bunda memiliki kelompok-kelompok kecil lain, dengan sebutan kelompok Permata Bunda A,B,C,D dan E, hingga berjumlah 100 lebih anggota. Bahkan, kelompok Permata Bunda juga memiliki usaha bersama penanaman bibit pohon jeruk, disamping anggotanya juga

memiliki usaha sendiri sendiri.


Jamur Tiram dari Desa Buluh Nipis, Kampar

Membangkitkan semangat kaum perempuan untuk membuka usaha adalah cita-cita kelompok Muslimah, sebuah kelompok binaan UPK Siak Hulu, Kab, Kampar, Riau


Tak ingin berpangku tangan berharap dari hasil ladang karet dan nelayan para suami, tekat itu pun begitu kuat di sampaikan oleh kaum ibu yang terdiri beberapa dusun dan kebetulan dari kelompok wirit yasin. Program PNPM Mandiri Perdesaan pengganti SPP diminta oleh mereka untuk membuka usaha Jamur Tiram. Semangat ini didorong oleh pengalaman Ibu Lasmi yang pulang kampung dari perantauannya di Jawa Barat. Ia yang selama ini berbisnis Jamur Tiram di Jawa Barat ingin mengajak ibu-ibu di desanya agar bisa menjadi warga yang mandiri. Karena tekat besar itulah, Kepala Desa H.Rusli ikut bersemangat merekomendasikan usulan ibu-ibu itu kepada UPK. Hasilnya tentu saja membahagiakan para ibuibu. Ibu Hidayah adalah ketua kelompok ini. Mereka membagi tugas kerja menjadi 7 kelompok sesuai hari kerja, masing -masing kelompok sekitar 4 atau 5 orang yang bertugas pagi dan sore hari untuk menyiram pohon jamur tiram tersebut dan sekaligus memanennya. Hasilnya panennya mereka jual ke pasar dan sebagiannya sudah dinikmati oleh anggota kelompok. “Dari hasil panen kami selama 3 bulan ini sudah tersimpan empat juta rupiah.” Ujar Ibu Saridah sang Bendahara. “Uang simpanan hasil penjualan Jamur Tiram itu rencananya akan kami gunakan untuk mengembangkan usaha ini. “ Tambah Ibu Hidayah “Tapi kami terkendala dengan pemasaran.” Ujarnya lagi sepertinya mulai tidak bersemangat. Tetapi kehadiran fasilitator Kabupaten dan Kecamatan hari itu kembali memberikan semangat baru bagi mereka setelah diberikan masukan pengelolaan usaha. Upaya-upaya untuk melakukan pemasaran ke luar desa, termasuk juga menjalin kerjasama dengan Restaurant atau Hotel di Pekanbaru. Dan pertimbangannya, kalau sudah kerjasama dengan restaurant atau hotel harus ditingkatkan jumlah produksinya agar penjualan bisa kontinius. “Kalau ingin mengembangkan usaha, ibu-ibu bisa meminjam di UPK” Ujar Murdiati Fasilitator Kabupaten, “tetapi ibu-ibu harus mempertimbangkan pengelolaan keuangannya, hasilnya harus lebih besar dari pengeluaran sehingga bisa membayar cicilan dan ibu-ibu bisa memperoleh keuntungan.” Hari itu, pertemuan antara fasilitator dengan ibu-ibu pengusaha Jamur Tiram seperti melahirkan kembali semangat

baru. Mereka ingin menjadikan kampung mereka menjadi sentra usaha jamur tiram. Bila setiap rumah sudah memiliki kebun jamur tiram, bukan tidak mungkin, para distributorlah yang akan datang sendiri ke kampung mereka. Dan masyarakat desa pun tinggal mengutip hasilnya. Nah ibu… tunggu apa lagi, ibu-ibu di Desa Buluh Nipis telah berbuat, kini giliran anda. Karena mimpi tidak akan melahirkan kehidupannya nyata bila hanya berpangku tangan di rumah


Mendulang rupiah usai pelatihan Menjahit PNPM Mandiri Perdesaan

Tidak ada yang tidak mungkin, dulunya tidak bisa kini menjadi

bisa. Itu yang dirasakan Para ibu-ibu dari desa Sako Marga Sari, kini mereka bisa menghasilkan uang usai pelatihan menjahit dari Program PNPM Mandiri Perdesaanu


Koprasi Perempuan Barokah dari Desa Sako Marga Sari, Kuansing Jalanan tak beraspal sudah mulai dimasuki setelah kuda besi kami berjalan lebih kurang 1 jam 30 menit dengan kecepatan rata-rata 60 km perjam. Sesekali jalanan aspal yang dilalui bolong-bolong, sebahagiannya lagi tanah lembek. Artinya hampir 100 Kilo Meter jarak tempuhnya untuk menuju sebuah desa ekstrans dari ibu kota di Kecamata Logas Tanah Darat. Desa paling ujung itu berbatasan dengan Kabupaten Pelalawan, namanya Desa Sako Marga sari alias desa SMS sebutan keren mereka. Desa ini dulunya terbilang tertinggal, karena jarak tempuh dan medan tempuh yang sulit membuat desa mereka dahulunya sempat terisolir. Meski sekarang, perlahan-lahan mulai ada pembinaan untuk memajukan desa. Hanna adalah salah seorang aktivis perempuan desa, salah seorang pencetus sebuah koperasi perempuan di desa bernama Barokah. Dia dan beberapa orang desa inilah yang pertama kali ingin membangkitkan keterpurukan masyarakat desa. Bukan saja karena persoalan SDM Masyarakatnya yang rata-rata hanya tamatan sekolah dasar, tetapi juga dikarenakan persoalan infrastruktur yang masih sangat minim. Bersyukur mereka program PNPM Mandiri Perdesaan masuk ke desa mereka sehingga ada beberapa pembangunan yang bisa mereka nikmati diantaranya adalah sebuah pembangunan sekolah PAUD. Suatu ketika, desa Sako Marga Sari ini mendapat sanksi tidak mendapat perguliran dana SPP karena imbas penyelewengan UPK di kecamatan Logas Tanah Darat. Sebagai penggantinya, sekelompok ibu-ibu di desa ini pun mendapat pelatihan. Meski tidak bisa mengakses pinjaman, semangat para ib-ibu di desa tersebutpun menjadi begitu bergelora. Selama 1 bulan belajar menjahit, desa ini pun kembali seperti terhipnotis oleh gairah bisnis baru bagi kalangan ibu-ibu yang ikut pelatihan tersebut. Mereka mulai kerajinan menjahit, mulai dari menjahit mukena, baju, seprai, gorden, tudung saji, dan berbagai jenis lainnya. “Wah, Alhamdulillah, buk. Koperasi Barokah semakin bergelora kembali.� Ujar Hanna dengan medok jawanya yang masih kental. Hanna pun bercerita tentang koperasi Barokah yang sudah dirintis mereka. Koprasi ini mereka bentuk tahun 2004 , kemudian mereka mengatasnamakan kelompok meminjam di kelompok SPP tahun 2007. Pertama kali meminjam sebesar sepuluh juta rupiah, dan uang itu dipinjamkan ke anggota kelompok untuk usahanya masing-masing. “Tahun ini kami sudah bisa bagi hasil dari modal sebesar lima belas juta dan dibagikan kepada anggota, yah lumayanlah setiap anggota dapat dua ratus ribu perorangnya.� Ujar Hanna. Koperasi barokah kini sudah memiliki tempat yang merangkap bisnis dan secretariat, persis di depan jalan dekat pasar desa. Di tempat inilah sekelompok perempuan menghabiskan waktu luangnya dengan membuat hal yang bermanfaat, yakni berdiskusi dan juga menjahit tempahan dalam kelompok bersama. Uniknya, koperasi ini menyediakan bahan baku jahitan yang didrop dari pasar. Anggota kelompok yang hendak menjahit bisa mengambil bahan jahitan dan akan membayarnya setelah si penempah membayarnya. Sehingga anggota kelompok tidak usah dipusingkan lagi dengan modal bahan jahitan. Begitulah cara mereka menghidupkan koperasi sehingga koperasi juga mendapatkan keuntungan. Hanna mengaku, meski awalnya sempat kecewa karena tidak bisa mengakses pinjaman kelompok SPP, tetapi pelatihan menjahit yang diberikan kepada ibu-ibu justru memberikan manfaat baru, sehingga ibu ibu mendapat keterampilan baru. Ketrampilan menjahit itu justru bisa mendulang rupiah bagi mereka.


Bertandang ke Sentra Kerupuk di Indragiri Hulu

Ibu Nur Asih adalah salah satu pengusaha kerupuk di desa Pematang Jaya. Ia menjadi anggota SPP untuk mengembangkan usahanya Kini kampung itu telah menjadi sentra kerupuk. Ada belasan anggota SPP yang merupakan pengusaha kerpuk, hingga desa mereka dikenal sebagai sentra kerupuk.


Suara deru mobil hilir mudik menjadi hal rutin setiap harinya di desa Pematang Jaya, kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu di salah satu kabupaten di Provinsi Riau yang sangat terkenal dengan daerah transmigrasi. Wajah-wajah ceria dihiasi senyum merekah menyambut pagi dan siap untuk beraktivitas mengejar materi untuk berbagi kehidupan. Mulai membesarkan anak-anak, menyekolahkannya hingga ke perguruan tinggi, membangun rumah dan lainnya, semua dihadapi mereka dengan optimis. Mereka kini tak hanya berharap dari hasil pertanian, karena industry rumahan yang dikelola oleh para ibu-ibu di desa ini juga cukup menjanjikan.

Anggota SPP dari Desa Pematang Jaya Desa Pematang Jaya, adalah salah satu dari ratusan wilayah eks transmigrasi di provinsi Riau. Daerah transmigrasi dari masyarakat pulau jawa ini dahulunya boleh terbilang cukup memprihatinkan. Meski pemerintah memberikan mereka lahan masing-masing keluarga sebanyak 2 hektar dan tempat tinggal dibangunkan, namun bukan berarti mereka langsung bisa hidup dari hasil bercocok tanam. Maklum, saat itu mereka harus menaklukan lahan hutan gambut, yang tidak begitu gampang ditaklukan dengan sembarangan tanaman. Apalagi kondisi infrastruktur jalan dan fasilitas umum belum terpenuhi. Masa-masa sulit terus mereka lewati pada masa itu, hingga tak jarang dari mereka yang harus kembali ke pulau Jawa, lari dari wilayah Transmigrasi. Sekarang, desa Pematang Jaya tumbuh begitu pesat. Selain lahan pertanian mereka yang ditanam karet, sawit, ubi dan perkebunan lainnya, hal yang membuat geliat kehidupan itu tumbuh adalah adanya peran perempuan dalam kegiatan keekonomian di desa ini. Peran perempuan yang ikut menopang kehidupan keluarga. Hingga Kampung ini dikenal sebagai Kampung sentra pembuatan kerupuk. Di desa ini banyak kegiatan home industry. Mereka umumnya binaan Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dalam program PNPM Mandiri Perdesaan. Kelompok ini sekarang telah menjadi Koperasi Perempuan. Ada pembuat kue anting-anting, roti ketawa dan yang paling banyak adalah pembuatan kerupuk. Menurut Sri, ketua kelompok SPP / koprasi wanita Enggal Maju ada 6 orang anggota kelompoknya yang kini sebagai pengusaha kerupuk. Untuk 1 Orang pengusaha “Untuk memenuhi kehidupan, sekarang masyarakat tidak hanya berharap dari hasil perkebunan yang pendapatannya melihat musim. Sehingga penghasilan dari industry rumahan kerupuk ini begitu diharapkan dan menjadi kebutuhan utama keluarga. Adalah ibu . Nur asih. Ia adalah pengusaha kerupuk rumahan. Perharinya minimal 1 kwuintal atau 100 Kg akan disorder langsung oleh pemasok. Pemasok biasanya langsung datang ke rumah ibu ‌ yang merangkap sebagai pabrik. Untuk usaha kerupuk ini, umumnya mereka tidak menggunakan alat pengolahan seperti yang dilakukan oleh pabrik pada umumnya. Mereka melakukannya dengan cara manual. Sebab cetakan-cetakan yang mereka hasilkan hanyalah potongan – potongan petak yang dipotong dengan pisau atau gunting. Pagi harinya para pekerja membuat adonan terlebih dahulu yang terbuat dari tepung tapioca dan bumbu. Perharinya 100 kg tepung, atau 2 goni atau lebih. Kemudian mencetaknya dengan mengkukus adonan di atas kukusan. Di dapur yang berukuran 5 x 8 meter itu berjejer tungku dan kuali pengkukus yang siap memasak bahan-bahan tersebut. Di dapur itu pula mereka memotong-motongnya untuk kemudian di jemur di atas seng.

Dengan halaman yang luas , potongan adonan yang telah dikukus itu pun siap untuk dijemur. Tentu saja, usaha ini sangat berharap dari matahari untuk mengeringkan bahanbahan tersebut, kalau musim hujan mereka memang cukup kerepotan sebab tidak memiliki alat pengering Usai dikeringkan, biasanya para pekerja akan pulang kembali ke rumahnya masing-masing. Para ibuibu yang membantu pembuatan kerupuk biasanya sudah selesai pada tengah hari. Dan mereka sudah bisa kembali beraktivitas dirumah nya masing-masing. Mereka pun masih sempat mengurusi keluarga mereka, membersihkan rumah, memasak dan mengikuti perwiritan. Untuk upah,Nur asih memberikannya perhari. Untuk pekerjaan dari jam 8 pagi sampai tengah hari upahnya Rp 15.000, sedangkan yang bekerja sampai sore hari Rp 30.000.


Kampung Pemberdayaan di Bunga Raya Siak Suara mesin jahit milik yani dan Penni seolah saling berkejar-kejaran , membangunkan warga dusun Tani Jaya, ikut menyambut pagi. Bergelut dengan ritme aktivitas yang sepertinya tak pernah berhenti, mengambil bagian dari nafas kehidupan dan menumbuh suburkan semangat pagi


Kampung Pemberdayaan di Bunga raya Siak Ada 10 orang penjahit di dusun ini, bersama Yanni dan penni ini mereka membentuk kelompok bersama sebagai penjahit baju. Mereka berbagi kerja, terkadang mengerjakan bersama sama di rumah Yani, tetapi lebih sering mengerjakan sendiri-sendiri di rumah masing-masing agar lebih efektif, bisa bekerja nyambi dengan urusan dapur dan memomong anak-anak mereka. Ada yang khusus bagian tukang potong pola jahitan, bagian jahit pinggir, menjahit baju, pasang kancing dan lainnya. Hari-hari buat mereka diisi dengan aktifitas yang nyaris tanpa henti, lebih-lebih ketika musim lebaran dan memasuki tahun ajaran baru, orderan baju sekolah pun sudah ngantri untuk dijahit. Di seberang rumah tak jauh dari rumah Yani, kesibukan lain tak kalah memburu waktu, ia adalah ibu Dairah. seorang penjual sarapan pagi, mulai dari menjual nasi uduk, lontong, dan lauk pauk serta gorengan. Sejak pagi menjelang subuh dapurnya telah mengepul, bahkan malam sebelumnya, ia telah disibukan meracik bumbu. Ia berjualan tak jauh-jauh, cukup meletakan meja di depan rumahnya saja, tak sampai siang hari, dagangan telah habis untuk dikonsumsi oleh warga sekeliling, bahkan ada juga yang membeli sarapan dari dusun seberang. Selain rasanya, Dairah berani bersaing harga. Tak kalah sibuknya adalah aktivitas yang dilakukan Rostiwi, seorang mantan karyawan sebuah Perusahaan swasta. Pasca pemutusan hubungan kerja, ia tak mau berpangku tangan. Banting stir menjadi pengrajin tape. Meski sebenarnya apa yang ia kerjakan saat ini hanya sebuah kebetulan. Awalnya Rostini hanyalah menjadi agen penjual ubi kayu, tetapi karena saat itu ubi yang telah diorder tak jadi diambil pembeli yang telah memesan, akhirnya Rostiwi pun tak kehilangan akal, ia mengolah ubi kayu itu menjadi tape dan dijualnya ke warung-warung. Alhamdulillah, hasil coba -cobanya itu justru menghasilkan keuntungan 2 kali lipat. Kampung ini boleh dibilang kampung pemberdayaan bagi perempuan di Dusun Tani Jaya, desa Bunga Raya, kecamatan Bunga Raya, kabupatena Siak, Riau. Dari 45 Kepala keluarga, 40 perempuan atau para istri ikut dalam program Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dari PNPM Mandiri Perdesaan . Dari program SPP itulah mereka mulai berani mengembangkan usahanya, bahkan memulai usahanya. Program SPP ini awalnya diperkenalkan oleh ibu Fenny Arfrianti yang kini telah menjadi kader PNPM Mandiri Perdesaan di UNIT Pengelola Kegiatan, dan ia juga sekarang menjadi tim verifikasi SPP. Cukup lama ia mengajak para ibu – ibu untuk ikut membangun usaha produktif agar tidak berpangku tangan menunggu hasil pertanian yang kini mulai menurun produktifitasnya. “Selama ini modal menjadi kendala para ibu-ibu untuk memulai usaha, sehingga saya memperkenalkan SPP kepada ibu ibu melalui perwiritan di dusun.” Ujar Fenny memulai kisahnya. Ibu muda ini memang kader yang cukup getol mengajak ibu-ibu untuk membangun usaha produktif. Tidak saja melalui program PNPM Mandiri perdesaan, program bantuan dari dinas social seperti bantuan peralatan mesin jahit pun berusaha ia tebus agar program itu sampai ke dusunnya dan perempuan bisa berkembang. Fenny sudah mengenalkan program SPP kepada perempuan di dusunnya sejak tahun 2009. Ia membentuk kelompok SPP bersama anggota lainnya bernama Marhatu Solehah 1. Alhamdulillah, pinjaman itu bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha menambah modal usaha. “Saya bisa menambah modal untuk membeli bahan pakaian, saya ambil banyak bahan, kemudian nanti ibu-ibu akan membeli sekaligus menjahitkan bajunya pada saya.” Ujar Yani. Yani mulai meminjam dana SPP sebesar 3 juta, kemudian tahun berikutnya naik menjadi 5 juta, sekarang dia akan menambahkan modal lagi, sebab dia butuh untuk membeli bahan baju sekolah, “mudah-mudahan cepat direalisasikan, karena pinjaman itu sangat bermanfaat, kalau tidak bingung juga mau cari tambahan modal.” Sekarang usaha Yani cukup berkembang, ia bahkan telah membangun ruangan khusus tempat ia menjahit. Tentu saja sebagiannya dari keuntungan usaha menjahit. Ia meminjam dari SPP untuk mengembangkan usahanya. Rostiwi juga demikian, awalnya ia hanya menjual tape 10 kg perhari, sekarang ia sudah mengembangkan usahanya sebanyak 35 kg perhari. Modal pinjaman yang ia dapatkan nanti rencananya untuk stok ubi yang mulai sulit di dapat. “kalo saya, awalnya bingung bu, suntuk. Terus diajak ibu peni untuk buka usaha dari pada bengung-bengung” Ujar ibu Dairah yang masih kental dieleg jawanya dan sedikit latah. Ia memang tidak bisa menghitung keuntungan dari hasil penjualannya, tapi yang pasti ia bisa makan sekeluarga dari hasil usaha jualan sarapan pagi tersebut, dan membayar cicilan SPP. “Saya nggak pernah telat lho bu, membayar cicilan.” Sekarang, warga di dusun Tani jaya tidak lagi hanya menggantungkan hidup dari pertanian. Usaha pertanian ini hanya pas untuk kebutuhan makanan pokok saja. Sedangkan kebutuhan yang dicari para istri cukup membantu memenuhi kebutuhan lain. Apalagi saat sekarang ini, mereka tidak bisa begitu berharap banyak ditengah mahalnya harga pupuk dan bibit.


Ia tak sekedar perempuan biasa, yang mampu membangkitkan ekonomi keluargannya dari keterpurukan akibat krisis moneter kala itu, tetapi ia memiliki keluarbiasaan karena berhasil membangkitkan semangat perempuan lain untuk membuka usaha, dengan kesahajaannya menggunakan caracara sederhana dan mengedepakan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam mengelola keuangan organisasi. 15 Tahun membina kelompok koperasi perempuan Enggal Maju, mampu membina 160 anggota untuk meningkatkan ekonomi dari tangan-tangan perempuan

Koperasi Perempuan Enggal Maju, memberi banyak Inspirasi


R

umah sederhana milik Sri, perempuan berusia 50 tahun itu memang tidaklah luas, namun ia menyisihkan se-

buah ruang tamu untuk dijadikan sebagai kantor kelompok SPP simpan pinjam perempuan. Sejumlah berkasberkas administrasi kelompok lengkap ia tata meski tak serapi sebuah organisasi. Ruangan itu juga dipenuhi oleh foto-foto kegiatan dan penghargaan yang diterima kelompok termasuk penghargaan dari PNPM Mandiri Perdesaan. Deretan foto kegiatan anggota kelompok yang ia bina berjejer di sana. Tidak terasa , 15 tahun ia telah membina kelompok tersebut yang turut pula mewarnai perkembangan desa Pematang Jaya, kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, hingga menjadi kampung sentra industry kelompok pengrajin kerupuk. Sri berawal membina kelompok itu dari sebuah perwiritan, boleh dibilang tanpa sengaja, yakni karena kebutuhan untuk meminjam uang dari UPK (unit Pengelola Keuangan) binaan program PNPM Mandiri Perdesaan. Program ini mengharuskan peminjaman melalui kelompok perempuan. “Waktu itu tahun 1999, nama programnya adalah PPK. Kami meminjam uang lima ratus ribu, nunggunya sampai 2 tahun. Lama tenan” Dialeg jawa itu keluar begitu kental, maklum ia memang suku jawa dan warga transmigrasi dari Solo di tahun 1980-an. Kala itu, kampung ekstrans masih sangat memprihatinkan, lahan yang belum bersahabat untuk bercocok tanam, pembangunan infrastruktur yang minim, jalan lintas yang sulit diakses kendaraan. Dengan membawa anggota perwiritan 5 Orang syarat minimal yang harus dipenuhi, mereka pun meminjam untuk kemudian mengelola uanganya untuk merintis kembali usaha kecil-kecilan setelah usaha warung kelontongnya tumpur akibat krisis moneter. Sri pun banting stir menjadi pedagang kerupuk keliling. “Usaha kecil yang kelihatannya sepele inilah justru yang mampu menopang hidup keluarga kami. Dagang kain dengan modal besar justru tidak bisa berbuat apa-apa.” Ujar Sri seolah mengajarkan pada dirinya untuk tidak sepele dengan usaha kecil-kecilan. Sebagai ketua kelompok, Sri harus mengumpulkan uang setiap bulannya untuk membayar cicilan kepada UPK, tentunya cukup merepotkan dan harus mengeluarkan ongkos. Untuk itu Sri meminta kesepakatan anggota kelompoknya membayar “uang minyak”. “Tapi yah nggak sampai hati juga, toh buk. masak saya cari untung sedang mereka juga susah, malah lebih susah dari saya.”

Berawal dari Semangkuk beras Ini adalah sejarah yang tidak bisa dilupakan Sri, membesarkan organisasi berawal dari semangkuk beras. Yah, untuk membayar cicilan ke kantor UPK yang jaraknya 10 Km, dengan jalanan dari kampung trans menuju ibukota kecamatan bukan medan tempuh jarak yang mudah, tak ada kendaraan umum. Karena tak sampai hati mengutip biaya, akhirnya sri memberikan usulan membayar iuran dengan membayar semangkuk beras, dan usulan tersebut disepakati oleh anggota. Maka sejak itu uang iuran pun dibayar dengan semangkuk beras. mengalihkan uang minyak untuk setoran kredit ke UPK. Berkat kegigihan para ibu-ibu membuka usaha, yang kala itu sri menjual kerupuk sampai akhirnya ia memiliki usaha pembuatan kerupuk, serta rekan-rekannya yang lain usaha kecil-kecilan, kelompok SPP mereka pun dipandang berhasil dan meminjam uang ke UPK pun menjadi gampang. Beberapa warga di kampung mereka juga ingin bergabung, sri pun mempermudah pinjaman kepada teman-temannya yang lain. Pinjaman yang diperuntukan kepada 5 orang yang jumlahnya sudah mulai besar karena kelompok mereka merupakan kelompok yang telah berkembang, dibagikan kepada 10 orang. Sehingga manfaat peminjam lebih banyak. Namun Sri cukup hati-hati agar tidak ada penunggakan. Sri betul-betul membuat pendekatan pribadi agar anggota membayar sesuai dengan jadwal. Sampai akhirnya, kelompok spp enggal maju berkembang, UPK dan fasilitator kabupaten Inhu pun ikut melakukan pembinaan. Melihat jumlah pemanfaat pinjaman yang dikelola ibu Sri ini cukup besar, maka kelompok SPP pun di usulkan menjadi kelompok eksekuting. Kelompok eksekuting ini akan mendapat pinjaman yang lebih besar dan bisa membuat aturan kelompoknya sendiri. “Saat ini saldo kelompok kami sebesar seratus juta, bu. “ Ujar Sri. Kami bisa memberikan pinjaman kepada saudara-saudara kami yang membutuhkan untuk modal usaha maupun pengembangan usaha satu juta sampai lima juta. Bahkan Cuma pinjam lima ratus ribu.” Tetapi sekarang bayar iuran sudah nggak pake semangkuk beras, sebab anggota kelompok sudah 160 orang, yang mengutip beras sudah nggak sanggup lagi. Sehingga mereka membayar iuran sebesar Rp 5.000 perbulan. Kelompok ini tak sekedar menerima keuntungan, tetapi keuntungan kelompok sebagai sisa hasil usaha mereka ini akan kembali diberikan kepada anggota. “SHUnya macam-macam bu, nggak duit, tapi barang. Kadang ada panci, piring dan lainnya.” Sebahagian SHU yang dimiliki kelompok ini juga terkadang diberikan kepada masyarakat kurang mampu, hal ini tergantung keputusan rapat anggota, yang kini sudah berjumlah 160 Orang. Dan Alhamdulillah, sekarang Desa Pematang jaya tidak hanya menjadi desa yang makmur karena pertanian sawit dan karetnya bisa diandalkan, tetapi desa ini juga menjadi desa yang warganya bisa mencari penghidupan dikampung sendiri dengan tumbuhnya perekonomian di sana. Kampung ini dikenal sebagai kampung sentra pembuat kerupuk.


Ketika Mereka Menemukan Asa Lima belas tahun lalu, tentu tak pernah hilang dari ingatan Nasti, saat konflik politik bergejolak di Provinsi Aceh. Ribuan pendatang di Aceh tergusur saat itu dan salah satunya adalah Nasti. Hidup dalam pengungsian di Kota Medan membuat ia frustasi karena ketidaktentuan nasib, berpindahpindah mencari pertolongan dari sanak saudara yang masih tersisa, sempat ke Kabupaten Kisaran di Sumatera Utara, hingga akhirnya mendamparkan diri di Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Di Kecamatan Tambusai Utara, dengan membawa 4 orang anak, air matanya menahan penderitaan hidup masih belum berhenti. Ia nyaris putus asa, membayangkan harta yang terpaksa ditinggal karena terusir dari perantauan oleh sebab politik yang tidak menentu, sedang saat ini ia nyaris tak punya apa-apa. Namun anak-anaknya masih butuh hidup, ia harus tetap bangkit, ditengah keadaan suami sudah tak berdaya. Waktu itu Nasti hanya memiliki uang Rp 50.000 yang tersisa, dalam fikirannya tengah berkecamuk, mau diapakan uang itu untuk mempertahankan hidup yang masih panjang. Entah bagaimana uang itu sebagiannya ia belikan beras dan membeli 2 kg kacang kedelai. Kacang kedelai itu ia olah menjadi tempe, maksud hati tempe itu ia buat untuk lauk, namun ia mencoba menjualnya ke tetangga dan warung. Bermula dari 2 kg kacang kedelai itulah Nasti terbuka fikiran itu untuk terus menjual tempe dari warung ke warung, hingga terus meningkat sampai 5 Kg perhari. Tahun 2009, Nasti mulai mengembangkan usahanya setelah bertemu dengan sebuah kelompok kenanga dari sebuah perwiritan. Kelompok itu mengajukan pinjaman dana ke Unit pengelola Kegiatan kecamatan Tambusai Utara dari PNPM Mandiri Perdesaan. Betapa bahagianya Nasti, pinjaman itu untuk membeli peralatan untuk merebus kedelai dan dandang agar bisa memasak tempe lebih banyak lagi, karena permintaan tempe kian hari kian bertambah. Nasty tak lagi menjajahkan tempe berjalan kaki, ia sudah mulai bersepeda pada waktu itu, hingga akhirnya permintaan tempe pun terus bertambah. Perharinya kini kebutuhan tempe bagi pelanggannya sudah 50 kg. Nasti pun terpaksa meminjam kendaraan sepeda motor untuk bisa menjangkau pembelinya keerbagai desa. Tahun 2014, nasty nekat harus membeli sepeda motor sendiri. “mau dibelikan apa mbah uang pinjaman ini ?” Tanya tim verifikasi dari UPK Kecamatan Tambusai “Mau beli montor” Ujar Si Mbah polos “Wah nggak bisa mbah untuk pembelian konsumtif begitu.” Ujar Ayu tim pendamping local UPK “Yah… wong aku butuhnya untuk beli montor kok.” Ujar si mbah seperti ngotot, “kalau mau namabh tempe, aku tinggal bilang saja sama kedai mbatak itu, tapi aku butuhnya beli montor sama nambah alat. Pelangganku sudah banyak, jauh-jauh” “O... “ Ayu tersipu, dan mengangguk-angguk. “kalau untuk itu boleh mbah.” Sekarang, Nasti sudah dikenal di pelosok desa dengan sebutan si Mbah Tempe. 50 Kg perhari kacang kedelai ia olah menjadi tempe, ditambah lagi dengan tempahan diluar langganannya. Dari usahanya itu Ia bahkan sudah mempekerjakan 4 Orang untuk mengembangkan usahanya. Dan kini mbah tempe itu bersama suaminya yang senantiasa bersama mengembangkan usaha, bahu membahu mulai bisa menapaki hidup dengan tenang.

Mbah Tempe

Emplang si Pulau K

ijang

Pulau Kijang adalah sebutan lain di Kecamatan Reteh, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Wilayah ini masuk dalam kategori ekstrem. Maklum, untuk menuju Kecamatan ini saja kita harus menggunakan jalur air, spead boad kecil atau disebut cucut, yang hanya berpenumpang 12 Orang. Memasuki wilayah ini bisa dua jalur, dari jalur darat dan jalur air. Jalur air dengan perjalanan 1 jam lebih banyak digunakan, baik masuk melalui pelabuhan tembilahan maupun dari kecamatan Keritang. Kerena jalur darat meskipun berbiayan murah, namun malah jarang digunakan karena kondisi jalannya cukup rusak parah. Selain pertanian kelapa dan persawahan, sumber penghasilan masyarakatnya adalah nelayan. Maklum, Kabupaten Indragiri Hilir dikenal dengan negeri seribu Parit, atau anak-anak sungai. Ikan dan udang adalah santapan sedap yang tidak pernah luput dari hidangan mereka. Termasuk di Pulau Kijang Ini. Nah, beragkat dari itulah, masyarakat di daerah penghasil udang ini mulai berkreativitas menambah sumber pendapatan lain. Utamanya para kaum ibu yang selama ini menunggu hasil tangkapan suami atau nelayan lain. Emplang, alias kerupuk asli udang segar adalah jenis usaha yang sangat popular di pulau Kijang Kecamatan Reteh . Salah satunya adalah Ibu Masniah salah seorang anggota Simpan Pinjam Perempuan. Usaha awal yang hanya coba-coba ini untuk sekedar menambah pendapatan justru sekarang menjadi sumber mata pencaharian utama. Bayangkan, ia yang dibantu 3 Orang pekerja sudah bisa berpenghasilan sekitar Rp 6 juta setiap bulannya dari usaha Emplang.. Awalnya Masniah hanya membuat usaha kecil-kecilan, cukup 2 kilogram cukup dengan bekerja seorang diri. Namun melihat mulai berkembang, Masniah pun mengembangkan usahanya. Sekarang ia sudah membesarkan usahanya, ia pun mendapat pinjaman dari Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dari Program PNPM Mandiri Perdesaan. Sudah bergabung dengan Kelompok SPP sejak PNPM Mandiri Perdesaan masuk ke kecamatan Reteh di tahun 2008. Dan sekarang ia sudah bisa membesarkan usahanya. Pinjam itu ia gunakan untuk membeli peralatan seperti kompor gas, Kuali Besar, Toples besar, dandang dan lainnya. “Setiap hari kami menghasilkan sekitar 30 kg Emplang yang sudah siap dipasarkan dan menghasilkan uang satu juta rupiah.” Ibu Masniah tak hanya mendapatkan sumber penghasilan bagi dirinya, tetapi ia juga telah memberikan penghasilan tambahan bagi orang lain. Meski usia sudah berkepala 5, ibu Masniah tidak mau berpangku tangan, usahanya ini membuat semangat paginya tetap bergairah dan siang hari ia masih bisa beraktivitas social seperti perwiritan.


Ketika Mereka Menemukan Asa Usaha Ayam Potong Hidup adalah ujian yang harus diperjuangkan untuk tetap naik pada tingkatan menjadi manusia yang bermartabat. Tidak banyak yang bisa melewati tahapan karena tidak gigih dalam perjuangan, banyak pula yang putus asa dan menyalahkan pada nasib yang tidak berpihak pada diri. Tapi tidak bagi Mardianis, anggota kelompok SPP (Simpan Pinjam Perempuan) dalam program PNPM Mandiri Perdesaan yang tergabung dalam kelompok SPP- Al Mukminin di kelurahan Minas Jaya, kecamatan Minas, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Ia adalah catatan ketangguhan seorang perempuan yang berhasil melewati masa -masa sulit dengan perjuangannya ditengah keterpurukan ekonomi keluarga. Mardianis membuka usaha ayam potong sekitar 4 tahun yang lalu. Kala itu suaminya yang sebelumnya adalah penanggungjawab utama ekonomi keluarga hampir menyerah karena penghasilannya sebagai supir truk mulai seret. Dan kapal dalam biduk rumah tangga mereka pun semakin karam ketika suaminya nyaris tidak bisa apa-apa karena menderita stroke. Mardianis tak bisa lama mendekam dalam kesedihan dan kesusahan, ia harus bangkit dengan kekuatan anak-anaknya yang juga membutuhkan hidup yang layak sebagai anak-anak yang memiliki masa depan. Seorang tetangga berbaik hati membuka jalan baginya untuk usaha dagang ayam potong. Awalnya Mardianis berjualan ayam potong milik tetangganya itu hanya beberapa kilo yang ia jual di pasar. Usaha coba-coba itu ternyata memberikan nafas bagi kehidupan Mardianis. Hingga akhirnya Mardianis mulai ingin usaha sendiri, tapi kendala klise ketiadaan dana menjadi penghalangnya. Sampai ia mendengar ada pinjaman tanpa agunan dari UPK (Unit Pengelola Kegiatan) milik kecamatan Minas. Alhamdulillah, pinjaman modal itu membuka peluang usaha yang kini menjajikan tersebut. Setiap harinya, tak kurang 60 Kg ayam potong yan g diperjual belikan. Untuk keuntungannya sendiri sekitar Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu perharinya. Bila diperhitungkan selama 1 bulan, penghasilan yang diperoleh Mardianis bisa mencapai Rp 5 juta bahkan lebih. “Alhamdulillah, bu. Dari usaha inilah saya bisa menguliahkan anak saya yang paling besar.” Wajah Sumringah Mardianis tak mampu ditutupinya dihadapan fasilitator Kabupaten dan Tim Monitoring PNPM Mandiri Perdesaan RMC 1 Gatot. “Tahun ini saya meminjam dana lima juta rupiah” Pinjaman itu untuk memutar modal usaha. Trik jitu Mardianis dalam menjual ayam potongnya itu, Ia tak hanya menjualkan ayam potong di depan rumahnya, tetapi memberikan service, yakni pesanan bisa langsung diantar ke rumah, pelanggannya ada beberapa rumah makan. Sehingga Mardianis yakin, usahanya ini bisa menghidupi keluarga, asal siap dan berani bertarung.

kit an A u p m ere Itu P d P M NPM P a t Du

Rabu, 23 April 2014 pada saat Tim Audit BPKP Provinsi Riau didampingi Tim Faskab Bengkalis sedang melakukan audit PNPM Mandiri Perdesaan di UPK Kecamatan Bantan, tiba-tiba datang seorang Ibu separoh baya ke Sekretariat UPK Kecamatan Bantan. Setelah bersalaman, beliau langsung menemui Ketua UPK Kec Bantan Erlinawati. Ternyata si ibu adalah Estherlin, Ketua Kelompok SPP Wanita Nelayan dari Suku Akit Desa Selat Baru Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis. Estherlin mengatakan bahwa beliau dapat telepon dari Panitia Temu Duta PNPM Tingkat Nasional untuk berangkat ke Jakarta tanggal 7 Mei 2014, mewakili Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau sebagai Duta PNPM Tingkat Nasional. Saat itu semua pelaku program yang mendengarkan cerita Estherlin mengucapkan selamat “Surat undangan juga sudah diterima tanggal 11 April 2014. Melalui surat tersebut acara Temu Duta PNPM akan dihadiri 100 orang dari seluruh Indonesia, dengan tema BERSAMA PNPM MANDIRI, MASYARAKAT BERDAYA, MANDIRI DAN BERMARTABAT. Kegiatan akan berlangsung selama 3 hari efektif dari tanggal 8 – 10 Mei 2014 bertempat di Lapangan Monas Jakarta.. Esterlin adalah anggota SPP suku akit atau suku asli di Provinsi Riau. Ia adalah ketua kelompok SPP yang dinilai berhasil membina anggota kelompok yang juga suku akit. Kelompok mereka merupakan kelompok yang selalu langganan mendapat IPTW karena tidak pernah menunggak. Di bawah Estherlin, Kelompok SPP Wanita Nelayan ini tercatat sudah 5 tahun sebagai nasabah Dana Bergulir Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Kecamatan Bantan tanpa pernah menunggak. Dana pinjaman khusus Estherlin digunakan untuk usaha kecil-kecilan berupa menjual barang-barang harian dan jual Pulsa. Sementara sang suami, bernama Yeasa alias Atong sebagai nelayan sangat mendukung kegiatan sang isteri. Hasil pantauan Faskab, Estherlin juga sehari-hari sebagai Guru Paud di Dusun Brancah Desa Selat Baru. Beliau juga aktif sebagai Kader PKK, Kader

Posyandu, hadir rapat-rapat desa/Dusun/RT dan penggerak untuk kemajuan perempuan-perempuan Suku Akit.


Ketika Mereka Menemukan Asa Kios SuliyemSuliyem menatap sepeda tuanya yang kini sudah mulai jarang ia pakai. Kini sepeda itu lebih sering terdiam di belakang rumah, atau sesekali dipake anaknya untuk bermain, tak ada lagi cerita ia kelelahan, dungkulnya pegal, atau naik betis karena kelelehan menggoet sepeda saat menjajahkan dagangannya dari pintu ke pintu sebab kini ia sudah memiliki kios tempat berjualan. Suliyem adalah salah seorang anggota kelompok SPP (simpan Pinjam Perempuan) yang awalnya hanya berdagang dengan menggunakan sepeda dan hanya bermodalkan awal sekitar 500,000 yang merupakan dana pinjaman kepada kelompok yang diajukan ke UPK pada tahun 2008. Sekarang Suliyem sudah bisa menyewa kios dipasar desa. Di kiosnya sudah banyak dagangan pakaian lebih lebih lagi mejleang lebaran, pelanggan untuk membeli pakaiannya pun bertambah. Bahkan omzetnya untuk satu kali hari pasar sebesar Rp 2,000,000 lumayan untuk bisa bantu keluarga dirumah, Adanya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan ini membuat beberapa komunitas perempuan mampu menopang kehidupan keluarga mereka, ini yang dirasakan oleh kelompok Kenanga yang berada di pasir Agung, Rokan Hulu. dari 10 anggota yang bergabung dengan kelompok mempuyai aktivitas sebagai pedagang pakaian jadi dipasar desa Pasir Agung dan beberapa dipasar desa yang lain, dan ini sangat dirasakan sekali manfaatnya oleh pemanfaat SPP Dan untuk menjelang lebaran biasanya omzetnya juga naik, disamping bulan awal sekolah, disamping itu juga Anggota dari kelompok ini juga menyedia layanan pembelian secara kredit dengan cara mengangsur setiap minggunya pada hari selasa, akan tetapi pengelolaannya hanya dilakukan secara individu belum terarah kepada peningkatan kapasitas kelompok dikarenakan anggotanya mengelola aneka usaha, dalam tujuan visi kelompok ini akan mencoba mengelola kegiatan semua anggotanya dengan kelompok usaha bersama, tetapi membutuhkan waktu lama,

Sukinem-Dari Keripik

hingga Merangkai B unga Adalah Sukinem dari desa wono Giri, kecamatan Lirik, Indragiri Hulu, nenek dari 5 Orang cucu ini masih kuat wara wiri mengembangkan usahan ya mer angkai bunga yang kini mulai banyak dikenal di kampungnya hingga ke luar kota termasuk pekanbaru dan bukit tinggi Dulu ia

dikenal dengan sebutan nenek su sipembuat keripik, sekarang ia mulai dikenal si pembuat rangkaian bunga. Hasil rangkaian bunganya pun kini mulai banyak diikutkan dalam pameran mewakili desa mereka. Desa punya nama, tapi neneku su meraih keuntungan dari penjualan bunga. “saya senang saja, bisa dapet untung karena bunga saya bisa laku terjual. Bahkan pembelinya adalah bapak Bupati.� Ujar polosnya penuh bangga. Tidak ia kira, hasil rangkaiannya diminati kepala daerah. Memang, bunga rangkaian Nenek su terbilang tidak istimewa, sebab di rangkai dari bunga plastic yang ia beli di pasar. Tetapi Nenek Su merangkainya di akar kayu yang hanya bisa ia dapat dari dalam hutan. Bentuknya melingkar lingkar seperti ular dan di tata seperti pohon, hingga menghasilkan nilai estetika. Harga jualnya pun terbilang tidak mahal jika dijual di pasarandari Rp 400 .000 sampai Rp 600.000. Tentu saja nenek su tidak mengambil akar hutan itu sendiri, ia dibantu oleh suaminya dan adiknya mengambil akar hutan tersebut. Kemudian dibentuk seperti batang pohon dan dihaluskan hingga dipernis. Karena banyaknya pesanan, ia meminta adiknya mencarikan akar hutan tersebut. “Lebaran hingga usai lebaran ini permintaan sudah ada 20 buah. Untung ada pinjaman SPP jadi bisa saya modalkan buat membeli bahan-bahan bunga. Kalau tidak dari mana modal saya, bu.� Uajar nenek Su begitu semangatnya. Ia seperti tidak kenal lelah, pagi-pagi hari ia sudah berkutat di dapur siap mengolah keripik ubi yang ia kelola perharinya sebanyak 25 kilo. Keripik ubi ia hantar ke 4 warung langganannya. Perhari ia bisa dapat untung Rp 80.000. Uang keripik inilah yang ia sisihkan setiap hari untuk mengembalikan pinjaman dari SPP. Managemen sederhana yang ia lakukan ini membuat nenek Su ini menjadi anggota kelompok SPP teladan karena tidak pernah menunggak. Nenek Su mengenal SPP-PNPM mandiri perdesaan ini sudah cukup lama. Pertama kali ia meminjam Rp 2 juta. Ia bisa terus menerus mengembangkan usaha keripiknya hingga semua anak-anaknya bisa menamatkan sekolah. Bahkan ketika suami 2 tahun lalu pension dari pekerjaan, Nenek Su tidak takut, mereka masih tetap bisa melanjutkan hidup berbekal usaha dari kemahiran nenek Su dan kepercayaan UPK memberikan pinjaman.


Ketika Mereka Menemukan Asa Warung Impian Di u sia

Senja

Kisah Ibu Nurinah (67) tahun ini membangunkan kita dari mimpi. Diusia senjanya itu ia tetap mempertahankan hidup dari usaha kemandiriannya. Dan tak pernah lelah. Hingga ia pun bisa mewujutkan impiannya memiliki warung di depan rumah. Kisah ia setidaknya menohong orang-orang muda, yang lebih suka berpangku tangan bahkan menadahkan tangan, tapi Ibu Nur Inah, yang telah tua itu tetap berdiri di atas kakinya sendiri

Waktu itu, keringat disekujur tubuhnya sudah penuh dengan keringat. Ia tetap menggoet sepeda, meski dungkul kakinya sudah terasa lelah. Maklum, usianya sudah hamper memasuki kepala enam. Ia masih merasa belum terlalu tua, demi dorongan hidup tetap mencari nafkah. Usaha dagang kebutuhan hidup memang sudah ia lakoni sejak dahulu iatelah berkeluarga, tapi peningkatan hidup belum menunjukan tanda-tanda. Penghasilannya hanya cukup untuk hidup, ia sulit sekali menambah modal kemudian bisa memiliki warung sendiri dan cukup menjaganya di sana.Sampai akhirnya cita-cita itu terwujut, saat itu ibu Yani sang kader desa menghampirinya dan menyarankan agar ikut dalam kelompok dan meminjam dana SPP. Akhirnya meski awalnya takut-takut, tapi akhirnya cita-cita itu pun terwujut, ibu Nur Inah kini sudah punya warung impiannya. Meski kecil dan sangat sederhana, tetapi warung ibu Nur Inah penduduk desa Bunga Raya kecamatan Bungaraya kabupaten Siak, adalah warung terlengkap di desanya.“Alhamdulillah‌ “ Ibu Nurinah malu-malu menceritakan sejarahnya ia bisa memiliki warung itu. Kini ia tidak lagi bersepeda berkeliling menawarkan dagangannya dari rumah ke rumah. Ia sudah terlalu tua, dungkul ini sudah tak sanggup lagi menggoet sepeda.Sekarang ibu Nur Inah sudah yang ketiga kalinya meminja. Pertama kali ia dapat pinjaman sebesar Rp 3 juta untuk awal memuka arung. Ia membelanjakan semua uang itu untuk memenuhi isi warung. Sekaran.ia sudah meminjam Rp 5 juta, ia pun sudah bisa membeli barang dengan ukuran besar. Misalnya, sekarang ia sudah membeli stok gula 1 goni. Untungnya tentu saja lebih besar disbanding ia hanya membeli gula kiloan.Kini warungnya semakin lengkap, ibu Nur Inah

Usaha tempe Penyambung Hidup PENGRAJIN TEMPE DARI DESA Tangan-tangan itu begitu terampil membentuk tempe pada cetakannya yang terbuat dari papan biasa. Sebuah kerjasama yang baik di dalam keluarga ini pun mengalir seperti tanpa komando. Setiap hari ke hari dan begitu seterusnya, pembagian kerja sudah ada pada tugasnya masing-masing. Si istri sejak pagi sudah merebus tempe d an mencampurnya dengan ragi, ia dibantu oleh suami dan anaknya. Usai itu, sebelum matahari menampakan kesombongan, mereka sudah bergegas pergi ke pasar untuk menjual tempe yang sudah dicetak dan dibungkus semalam. Ada 6 keranjang perharinya atau 25 kg kedelai yang mereka olah dan dijual ke pasar simpang Medan kelayang, Indragiri Hulu, Riau Sepulang dari pasar, sang suami di rumah sudah menyiapkan cetakan tempe dari daun. Nyaris tak punya waktu untuk beristirahat, sang istri sudah duduk pada posisinya siap untuk mencetak tempe. Sesekali anak lelakinya ikut membantu kalau sedang tak kuliah atau aktif sebagai kader pemberdayaan di desa. Begitulah setiap harinya, dagangan tempe ibu Jumiarti sudah habis setiap harinya 6 keranjang atau bila dirupiahkan setiap hari Rp 600.000 uang yang ia peroleh dan ia kelola kembali. Kadangkadang belum sampai siang hari ia sudah pulang karena dagangannya cepat sekali habis. “perharinya 25 kg kedelai yang dibuat jadi tempe. Syukurlah, selalu habis di jual di pasar.� Ujar Jumiarti Selain usaha pembuatan tempe, ibu ini juga membuat tahu yang tidak kalah laresnya. Saying saat kami berkunjung ia tidak sedang membuat. Biasanya bila ada tamu datang, ia tidak sungkan menyertakan hidangan air tahu yang biasa dikonsumsi ibu-ibu khususnya saat hamil. Rasanya tidak jauh berbeda dengan susu kedelai karena berbahan yang sama. Ibu Jumiarti adalah salah seorang anggota kelompok SPP. Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan pinjaman yang bisa menambah modalnya untuk membeli bahan baku tempe yakni kedelai. Modal itulah yang terus menerus ia olah, keuntungannya bisa untuk mengidupi keluarga. Maklum, suaminya sendiri tidak bekerja apa-apa kecuali membantunya mengelola usaha tempe ini. Walau kelihatan sederhana, ibu Jumiarti justru bisa menyekolahkan anak bungsunya hingga selesai kuliah. Walaupun usaha tempe ini cukup menjanjikan, sebab usaha tempenya telah dikenal oleh langganannya, namun ia belum berani meningkatkan produksi, dengan demikian ia bisa menampung tenaga kerja yang lain. Mudah-mudahan kedepannya ibu Jumiarti bisa terfikirkan untuk mengembangkan usaha, sehingga ada peningkatan taraf hidup, anggota SPP (Simpan Pinjam Perempuan) sudah menjadi pengusaha. Yah, semoga !


Galery

Kios SuliyemKel. SPP Kenanga Desa Karya Tunas Jaya Kec. Tempuling INHIL-RIAU Berdiri : 20 Februari 2012

Sabun cair dari kecamatan Reteh- In-

Peyek Tulang Ikan Lele, oleh Kel. SPP Kec. Ujung Batu Rokan Hulu

Pelatihan Sulam pita, anggota kel. SPP dari Kec. Siak Hulu, Kampar Usaha Bakso, anggota kelompok SPP dari Pangkalan Kuras, . Pelalawan

Pembinaan kelompok di kec. Tambusai Utara, Rohul


Galery



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.