DIDAKTIKA
Berpikir Kritis dan Merdeka
Edisi No. 47/Th. XXXI/2017 ISSN 0215-7241
REVITALISASI SMK
Menumpas Masalah dengan Masalah EDISI 47Rp20.000,-
LPM DIDAKTIKA
Sapa Redaksi
DIDAKTIKA
Puji Syukur dan terima kasih disampaikan kepada seluruh alam yang telah mendukung terbitnya majalah Didaktika edisi 47. Rasa ingin memberi informasi dan gagasan masih terus diupayakan untuk dilancarkan oleh para penggawa Didaktika. Majalah akan dibuka dengan laporan utama mengenai revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Di mana pemerintah, yang kali ini dipimpin oleh Jokowi mencanangkan pendidikan vokasi yang berdaya serap tinggi terhadap industri. Tapi apa mau dikata, pendidikan vokasi yang berlangsung tak ubahnya tambal sulam dengan banyak aspek yang terlewatkan. Permasalahan yang terjadi di pendidikan vokasi juga memiliki pengaruh dari sistem Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) yang masih kacau. Salah satunya di Universitas Negeri Jakarta. Sebagai LPTK, UNJ menyediakan PPG untuk memproduksi guru yang professional. Namun, lamanya memproduksi guru professional lewat PPG, munculah pelatihan keahlian ganda sebagai jalan pintas. Masih tentang SMK, ada juga pembahasan mengenai gagalnya Link and match yang digadang-gadang akan menjadi solusi mengurangi pengangguran lulusan SMK. Sistem kontrak bagi lulusan SMK masih terus dilakukan. Permaslahan baru dijadikan solusi untuk permasalahan lama. Pada Rubrik Nasional kami mengangkat mengenai sengketa tanah pulau pari dengan PT Bumi Raya. Setelah tahun 1993 diadakan mediasi dengan gubernur Jakarta, PT Bumi Raya kini kembali ke Pulau Pari. 90% tanah di Pulau Pari diklaim sebagai milik mereka. Selain itu, masyarakat setempat banyak mendapatkan intervensi dari satpam dan PLN. Masyarakat setempat tidak boleh memperbaiki dan memperluas rumah. Pada Rubrik Suplemen, kami membahas Sastra Betawi. Bahasan tersebut menyangkut perkembangan sastra betawi di Indonesia dan internasional. Sastra bertawi dianggap dapat meningkatkan intelektual anak betawi untuk membantah bahwa stigma anak betawi tidak intelektual itu salah. Rubrik kampusiana banyak diisi dengan dinamika yang ada di dalam kampus. Mulai dari masa kepemimpinan Djaali sampai Plh Rektor UNJ Intan Ahmad. Permasalah Plagiarisme, KKN, dan sikap represi Djaali. Ada juga mengenai strategi pembenahan yang dilakukan oleh Intan Ahmad pasca Djaali turun dari jabatannya sebagai Rektor UNJ. Selain itu, banyak juga rubrik dan artikel menarik lainnya yang kami sajikan dalam Majalah DIDAKTIKA 47 kali ini. Akhir kata, kami ucapkan selamat membaca kata demi kata dan berdialektika. Kami selalu menerima kritik dan saran dari pembaca, demi meningkatkan kualitias Majalah DIDAKTIKA.
PELINDUNG Wakil Rektor III PEMBIMBING JIMMY Ph. Paad, DEA, DEA dan, Abdul Syukur PEMIMPIN UMUM Latifah SEKRETARIS UMUM Hendrik Yaputra BENDAHARA UMUM Naswati PEMIMPIN REDAKSI Yulia Adiningsih SIRKULASI DAN PEMASARAN Annisa Nurul Hidayah Surya TIM REDAKSI Latifah, Naswati, Yulia Adiningsih, An nisa Nur Istiqomah, Lutfia Harizuandini, Hendrik Yaputra, Uly Mega Septiani, Muhamad Muhtar, Faisal Bachri, Annisa Nurul Hidayah Surya, Rizky Suryana EDITOR Latifah, Lutfia Harizuandini, Yulia Adiningsih ILUSTRASI Muhamad Muhtar, Annisa Nurul Hidayah Surya, Irpan Ripandi INFOGRAFIS Ridwan TATA LETAK Hendrik Yaputra COVER Muhamad Muhtar SEKRETARIAT Gedung G, Lantai 3, Ruang 304, Komplek UNJ, Jalan Rawamangun Muka No. 1 Jakarta Timur 13220 EMAIL lpmdidaktikaunj@gmail.com WEBSITE www.didaktikaunj.com FACEBOOK LPM Didaktika UNJ TWITTER @lpmdidaktika
Berpikir Kritis dan Merdeka
EDISI 47
SURAT PEMBACA
D3 Transportasi, Mau Dibawa Kemana? Keresahan ini bukan hanya saya, sebagai pribadi rasakan. Bukan juga satu angkatan ataupun angkatan 2017. Tepatnya keresahan mahasiswa aktif dan alumnialumni Program studi (Prodi) D3 Transportasi. Betapa tidak, semenjak tahun 2000 berdiri dengan nama D3 Transportasi Laut dan Kepelabuhanan diganti dengan Transportasi. Prodi yang sudah biasa berkutat perihal laut, logistik, kontainer beralih menjadi jalanan, angkutan umum, serta bagaimana merancang jalan dan infrastrukturnya. Tak hanya kami; mahasiswa aktif beserta alumni, dosen pemrakarsa juga merasa kecewa. Pergantian kurikulum, kebijakan Menristekdikti dan berbagai alasan lain yang kami terima atas jawaban dari pertanyaan perihal keresahan kami. Kami bersyukur, hubungan dengan dosen pendiri prodi ini selalu terjaga. Begitu pula dengan Keluarga Besar Transportasi UNJ juga merupakan keluarga yang turun-temurun tetap terjaga keharmonisannya. Mereka peduli dan turut mencari solusi atas permasalahan kami. Tetapi, permasalahan kami bukan hanya tentang mata kuliah. Pekerjaan kami setelah lulus menjadi tanda tanya besar dua angkatan D3 Transportasi. Kami bukan prodi Pendidikan yang lulus mendapat gelar S.Pd., profesi jelas, diterima sebagai guru. Kami adalah Diploma, bagi yang mampu melan-
jutkan juga bingung, jurusan apa paling tepat. Serba tak pasti memang, dan kami takut akan hal itu. Jim Morrison-apabila masih hidup-bakal menertawai kami yang takut akan ketidakpastian. Kami (lebih tepatnya saya) memang pecundang, dan layak disebut demikian. Tetapi bukankah kita kuliah untuk memperbaiki hidup kita kelak? Saya bersyukur, nama prodi berubah menjadi Manajemen Pelabuhan. Saya juga belum menahu akankah pindah fakultas. yang pasti, Transportasi UNJ kembali ke jalan yang seharusnya ditapaki meskipun kebijakan perihal dosen pengajar masih dipertanyakan. Akankah sama seperti dua tahun sebelumnya (tanpa dosen luar biasa)? Sebagai penjelasan, dosen luar biasa adalah pengajar langsung dari dunia kerja di kelas, biaya yang ditanggung universitas pun tak murah untuk mendatangkannya sehingga mulai angkatan kami dosen luar biasa ditiadakan. Munafik apabila dua angkatan Transportasi UNJ tidak merasa iri dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Kami bukanlah anak tiri, tak cocok pula menjadi kelinci percobaan. Kami hanyalah sebagian kecil dari masyarakat yang menempuh jalur mahasiswa untuk memperbaiki hidup kami kelak. Fafa, Fakultas Teknik 2017
Ilusi Solusi Pendidikan Sejak polemik pemberhentian Rektor pada (26/9/17) dan Aksi TUGU Rakyat UNJ (28/9/17), saya merasa bahwa sampai saat ini pun kondisi kampus belum banyak mengalami perubahan yang cukup signifikan bagi mahasiswa UNJ. Intan Ahmad, selaku PLH Rektor UNJ yang ditunjuk langsung oleh Menristekdikti untuk menggantikan posisi rektor, pada masa awal pengembanan tugasnya dianggap memiliki karisma untuk membawa nama UNJ kembali bersinar. Namun, memang agak sedikit disayangkan jika penugasan PLH-Rektor hanya sekadar berupaya pada pembenahan program pascasarjana saja (sebagai upaya pemberangsan tindak plagiat). Namun terlepas dari peliknya ‘reformasi sempit’ yang hanya sebatas pada pergantian struktur atas birokrasi kampus, secara riil memang banyak mahasiswa
LPM DIDAKTIKA
UNJ masih merasakan betapa buruknya fasilitas dasar, yakni; AC sering mati, jumlah tempat duduk di dalam ruang kelas kurang memadai, toilet yang tidak nyaman, parkiran yang semerawut, hingga keterbatasan referensi sebagai akibat dari hilangnya ribuan buku di UPT Perpus. Di samping fasilitas dasar yang kekurangan segala-galanya, kebayakan dari mahasiswa angakatan 2017 juga mengeluhkan tentang penggolongan UKT yang serampangan. Biaya kuliah yang mahal, penggolongan jenis UKT yang serampangan, penyediaan sarana prasarana (sebagai realisasi dari UKT) yang tidak jelas, kian mempertegas bahwasanya komersialisasi pendidikan tinggi di UNJ kian menggerus setiap sendi-sendi kehidupan akademik kampus. Wisnu Adi, Mahasiswa Sejarah 2015
(27) Opini Paradoks Negara Agraris (37) Seni dan Budaya Cireundeu dan Aliran-aliran Kepercayaan (42) Suplemen Betawi Nyastra (48) Tamu Kita Mahfud Ikhwan (52) Cerpen Dor dan Kecepras (60) Kampusiana Pencopotan Rektor dan Sekelumit Masalah UNJ Landasan Usang Menuju UNJ baru
(8) LAPORAN UTAMA Program Revitalisasi SMK yang digagas oleh Jokowi Dodo, bertujuan mengurangi pegangguran. Namun, banyak pertimbangan yang belum matang pada strategi revitaisasi tersebut.
(68) Resensi Melihat Serambi Mekah Pasca Gam Phillauri: Kisah dari Amritzar (72) Puisi Tertipu Babi (73) Kontemplasi Kentut
(21) LIPUTAN KHUSUS Indahnya Pulau Pari mengundang kembali PT. Bumi Raya. Kini terjadi sengketa tanah antara PT. Bumi Raya dan warga Pulau Pari yang menyebabkan banyak tindakan represif dari perusahaan serta pihak keamanan.
EDISI 47
BERANDA
Oleh Maria Ulfa (KMPF)
LPM DIDAKTIKA
Revitalisasi SMK: Menumpas Masalah dengan Masalah
S
ebuah perusahaan tidak semata-mata langsung dibangun. Pemilik usaha perlu membaca peluang pasar jika ingin meraup keuntungan besar. Selain itu, juga harus membaca tantangan yang mungkin akan dihadapi. Ini merupakan motif berjaga-jaga agar persoalan—yang mungkin muncul—dapat diatasi. Indonesia ibarat pemilik perusahaan jasa. Di 2045, negara berkembang ini mengalami bonus demografi. Jumlah angkatan kerja meningkat. Jika tidak diperdayakan, jumlah pengangguran semakin banyak. Terlebih lagi muncul tantangan dengan terbukanya Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Karenanya, timbul persaingan antara tenaga kerja dalam negeri dengan luar negeri. Demi mengatasi tantangan ini, Presiden Joko Widodo berupaya memperbanyak jumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) serta merevitalisasinya. Di 2016, Direktur Pembinaan SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Mustaghfirin Amin bahkan berharap agar SMK lebih mendominasi daripada SMA, yakni 60% berbanding 40%. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Lulusan SMK ini diharapkan menjadi tenaga kerja yang pasarnya lebih luas, serta mampu bersaing dengan tenaga kerja dari luar negeri. Di samping itu, angka pengangguran diharapkan semakin menurun. Selain itu, menanggapi inpres tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggadang program ‘Link and match’ demi menyelaraskan kurikulum sekolah dengan industri. Lulusan SMK nantinya mampu mengisi kebutuhan industri. Akan tetapi, data Badan Pusat Statistik (BPS) di 2016 menjabarkan fakta bahwa SMK merupakan penyumbang pengangguran terbesar di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa inpres Revitalisasi SMK berbanding terbalik dengan realita yang ada. Lalu, terkait dengan link and match, hubungan antara sekolah dengan industri sulit dicapai. Sebab, sistem outsourcing masih berjalan. Di sisi lain, beberapa lulusan SMK sempat protes mengenai keberadaan sistem kontrak. Setelah kontrak habis, mereka terpaksa
mengadu nasib tanpa adanya jaminan dari industri. Berdasarkan keterangan Punky Sumadi, Deputi IV Bappenas, banyak industri yang menolak bekerja sama dengan SMK dan Kemendikbud. Lantas, bagaimana nasib lulusan SMK ini? Bukankah pada akhirnya menanggur juga? Terlebih lagi tidak ada jaminan pekerjaan setelah kontrak habis. Hal krusial lain yang harus diperhatikan dalam merevitalisasi SMK ialah guru dan tenaga pendidik SMK.Berdasarkan data Direktorat Pembinaan SMK, SMK saat ini kekurangan guru produktif (22% dari 300.000-an). Guru produktif yang dimaksud ialah guru mata pelajaran produktif yang harus sudah sertifikasi. Setelah penghapusan akta 4 bagi mantan Lembaga Pendidikan Tenaga Keuruan (LPTK), kini pemerintah mewajibkan sertifikasi melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama satu tahun. Proses ini memakan puluhan tahun jika menunggu sertifikasi guru melalui PPG. Pelatihan Guru Keahlian Ganda merupakan jalan pintasnya. Guru adaptif-normatif dilatih selama satu tahun sehingga dapat mengajar mata pelajaran produktif. Pelatihan ini dilaksanakan di sela-sela waktu mengajar di sekolah. Akibatnya, siswa-siswa akan sering ditinggal gurunya ketika pembelajaran. Sekolah yang tidak mengikuti pelatihan guru tadi merasa sulit mengikat guru honorer produktif. Sebab, secara pendapatan mereka tidak memiliki tunjangan. Ini akan memengaruhi motivasi mengajar mereka. Akan tetapi, mereka dituntut mengajar lebih dari 24 jam per minggu. Persoalan kekurangan guru ini tentu saja akan berdampak bagi siswa. Siswa ini seakan kehilangan sosok untuk diteladani. Maka dari itu, hal ini memengaruhi kompetensi mereka di dunia kerja nanti. Dari pemaparan di atas, rupanya, persoalan yang dihadapi ini justru menimbulkan persoalan lain. Regulasi yang baru tidak diimbangi dengan regulasi yang lain. Lalu, bagaimana nasib Indonesia ke depan sebagai perusahaan jasa?
EDISI 47
LAPORAN UTAMA
Dok.Didaktika LPM DIDAKTIKA
Ananton Kusuma Seta, Staf Ahli Menteri Bidang Inovasi dan Daya Saing.
Dilema Kebijakan Revitalisasi SMK Dalam menangani permasalahan pengangguran tenaga kerja SMK maka pemerintah melakukan Revitalisasi SMK, dengan cara memperbaiki mutu lulusan SMK. Realitanya, masih ada sistem kontrak dan kebanjiran tenaga kerja dari luar negeri.
S
eptember 2016, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2016 untuk merevitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Salah satu yang menjadi masalah SMK mengenai profesional, kompetensi lulusan serta ketersediaan lapangan pekerjaan. “2025 ada 14,2 juta tenaga kerja yang memperebutkan peluang pekerjaan di ASEAN. Kita gak mau kebanjiran tenaga kerja dari luar,” kata Ananton Kusuma Seta selaku Staf Ahli Menteri Bidang Inovasi dan Daya Saing. Revitalisasi SMK ini menjadi solusi dalam menangani bonus demografi 2040. Pasalnya pemerintah ingin menjadikan bonus demografi menjadi keuntungan bagi Indonesia. Berdasarkan visi misi Indonesia 2025, Indonesia ingin menjadi penghasil dan pengekspor ketenagakerjaan terbesar di Asia. Oleh karena itu, pemerintah memfokuskan pada pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM). Ananton menjelaskan pada 2030 Indonesia membutuhkan tenaga ahli sekitar 113 juta, diperkirakan tenaga ahli Indonesia sebanyak 110 juta. Untuk memenuhi kekurangan tenaga ahli maka didatangkan tenaga ahli dari luar negeri. Saat ini banyak pekerja Tiongkok sudah mulai masuk ke Indonesia. Apabila Indonesia tidak siap dengan kondisi tersebut maka akan mengalami kelebihan tenaga kerja domestik. “Dari latar belakang itulah perlunya revitalisasi SMK,” ujarnya. Ia menambahkan ada 219 dari 13.650 SMK yang akan menjadi SMK percontohan. Nantinya 219 SMK ini akan di-upgrade dan update. “Diharapkan di 2019-2020, sekitar 100an SMK naik kelas menjadi rujukan,” kata Ananton. Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai angkatan kerja nasional, Februari 2017
tingkat pengangguran terbuka lulusan SMK berjumlah 1.383.022 jiwa. Meskipun jumlah tersebut turun pada Agustus 2017 namun masih tergolong tinggi berdasarkan pendidikan yang ditamatkan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tamatan Sekolah Dasar (SD) dan belum pernah sekolah. Berdasarkan peta pengembangan revitalisasi SMK, terdapat empat aspek penting yakni, tata kelola lembaga, kualitas pembelajaran, guru dan tenaga pendidik, dan kebekerjaan lulusan. Pada aspek kebekerjaan lulusan SMK, pemerintah memfokuskan pada testing, tranning, dan sertifikasi outputnya akan menghasilkan tenaga kerja yang berkompetensi dan profesional. Program yang ditawarkan untuk meningkatkan kompetensi calon tenaga kerja di antaranya kerjasama industri melalui link and match. Menurut Punky Sumadi selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan, mengatakan belum terjalinnya komunikasi yang baik antara dunia industri dengan pelamar pekerjaan-red lulusan SMK. “Kerapkali Dunia Usaha dan Industri (DUDI) ini tidak memberitahu tenaga yang dibutuhkan sehingga apa yang dihasilkan (sekolah) dengan yang dibutuhkan tidak serasi,” katanya saat ditemui di acara Building The Middle Class: Inclusive Growth in East Asia and Indonesia di Soehanna Hall Energy Building SCBD. Kritik Link and Match Revitalisasi SMK sebagai sebuah solusi mengikis tingkat pengangguran terdidik khususnya di kalangan SMK. Salah satu yang digadang-gadang adalah meningkatkan mutu lulusan SMK dengan link and match. Cara yang ditempuh dengan membagikan industri yang akan bekerjasama dengan pihak SMK. Menurut keterangan Lia Yuniamalia selaku Kepala Sekolah SMKN 10 Bekasi, pihak kementerian memberikan jatah industri yang akan di link and match dengan sekolah kejuruan. Termasuk SMKN 10 Bekasi yang mendapat empat perusahaan, salah satu diantaranya dari PT Mayora. Namun terjadi kendala saat akan menandatangani Memorandum of Understanding (MoU). Pihak perusahaan mengulur waktu dalam memberikan kepastian. Menurut Lia, permasalahan akan timbul apabila program link and match versi revitalisasi SMK hanya menjadi teori saja. Sekadar menyelesaikan tanpa ada regulasi yang jelas. “Link and match akan terjadi apabila pihak perusahaan ikut peduli dengan pendidikan,” EDISI 47
Data Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan yang ditamatkan. Penyumbang pengangguran terbesar lulusan SMU dan SMK.
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Infografik: An nissa Nur Istiqomah
katanya. Apabila bercermin dari sebelum adanya Revitalisasi SMK, sekolah melakukan link and match secara mandiri. Lia menjelaskan, sekolah sudah lebih dulu bekerja sama dengan dua perusahaan yaitu Astra dan Nutrivit. Bentuk link and match yang dilakukan berupa pengadaan lab dan trainning. Dilema Ketenagakerjaan Lulusan SMK Data BPS mengenai keadaan ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2017, Indonesia mengalami penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebanyak 0,11 poin dari tahun lalu akan tetapi jumlah pengangguran bertambah 10 ribu orang. Persentase TPT tertinggi Agustus 2017 masih diraih SMA dan SMK dengan perolehan 8,29% dan 11,41%. Angka tersebut sempat turun pada Februari 2017 namun naik kembali pada Agustus 2017. Lia menuturkan, Permasalahan banyaknya pengangguran bukan pada profesionalitas dan kompetensi tetapi pada sistem kontrak yang diberlakukan. Permasalahan akan terus timbul apabila sistem kontrak masih dijalani. “Permasalahannya bukan pada output lulusan LPM DIDAKTIKA
SMK tetapi sistem kontrak,” katanya. Ia menambahkan, perusahaan memberlakukan sistem kontrak selama setahun lantas seusai kontrak habis nasib pekerja tidak ada kejelasan. Sementara itu banyak pekerja tamatan SMK yang terikat sistem kontrak. Hal ini hanya akan menambah jumlah pengangguran. Lia mengkritik sistem perekrutan perusahaan yang masih menggunakan tenaga SMA. Menurut Lia, SMK bertujuan mencetak tenaga kerja siap pakai, tetapi perusahaan dalam mencari tenaga kerja masih menerima lulusan SMA. Hal ini hanya akan mengakibatkan lowongan pekerjaan SMK diambil oleh anak-anak SMA. “Ini pula yang menyebabkan SMK menjadi penyumbang pengangguran terbanyak,” ujarnya Saat ini Lia mengkhawatirkan akan banyak pekerja tamatan SMK yang kehilangan pekerjaan dikarenakan beberapa perusahaan retail gulung tikar. Sebut saja Lotus dan Matahari Departemen Store. Padahal perusahaan tersebut banyak menyerap tenaga SMK. “Bukan hanya perusahaan retail saja, perusahaan elektronik sekelas Sonny pun gulung tikar, lantas bagaimana nasib
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Infografik: An nissa Nur Istiqomah
buruhnya,?” ungkapnya. Ia juga menambahkan Indonesia sudah memasuki MEA. Artinya persaingan memperebutkan lowong pekerjaan semakin ketat. Bukan lagi lingkup nasional tetapi skalanya sudah internasional. Kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia belum siap lantas mengapa pemerintah siap membuka “kran” untuk tenaga luar. Hal ini menjadi tumpang tindih program Revitalisasi SMK. “Bukankah nanti hanya akan mempertahankan masalah pengangguran,” jelasnya. Corporate Social Responsibility (CSR) Industri memiliki tanggung jawab sosial atau dikenal Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bentuk kegiatan CSR yang sering diadakan oleh industri yaitu kerjasama dengan lembaga sekolah. Kegiatan ini menjadi program pemerintah dalam merevitalisasi SMK. Bentuk dari program tersebut berupa program link and match dengan Dunia Industri (DUDI). Nantinya akan dapat meningkatkan mutu pendidikan diranah SMK. Sejalan dengan pemerintah Reynold Vincent,
Konsultan Okekerja.com berpendapat mesti ada regulasi yang baik antara pemerintah dengan perusahaan untuk meningkatkan mutu lulusan SMK. Salah satu kegiatan yang sudah berjalan yakni CSR. Perusahaan memiliki tanggung jawab untuk membangun dan memberdayakan masyarakat. “Dalam UU no 40 tahun 2007 mengenai kegiatan CSR,” ujar Reynold yang pernah menjabat sebagai senior HRD manager di peusahaan PT. First Wap International. Secara keseluruhan UU No. 40 tahun 2007 menjelaskan mengenai perseroan terbatas (UUPT). Salah satu yang dijelaskan pada UUPT yakni tanggung jawab sosial dan lingkungan, tertuang dalam bab V pasal 77 ayat 1-4 yang berbunyi perseroan memiliki kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam melaksanakan kewajibannya maka perusahaan harus menganggarkan keuangan khusus. Tujuan adanya tanggung jawab sosial dan lingkungan yaitu mewujudkan pembangunan ekonomi yang bedaya guna bagi masyarakat dan lingkungan. Apabila perseroan tidak menjalankannya maka akan dikenakan sanksi menurut ketentuan perundang-undangan. EDISI 47
Meskipun sudah ada UU yang mengatur CSR namun dalam pelaksanaannya tidak seragam. Bentuk Penerapan CSR pada setiap perusahaan berbeda-beda. “Ada pula perusahaan yang bentuk kegiatan CSR-nya memberikan donasi untuk pembangunan jalan dan sembako, “ pendapat Reynold. Sebagai contoh kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan BUMN yakni pemberian beasiswa pendidikan. Berbeda dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Astra Grup melakukan program magang dan bantuan teknis untuk pendidikan. Contoh lain
dari kegiatan CSR yakni yang dijalankan oleh Kawasan Internasional Industry City (KIIC) yang berada di Karawang. Reynold menyebutkan kegiatan CSR yang dilakukan oleh KIIC di Karawang berupa pemberian training, beasiswa pendidikan, dan penyaluran tenaga kerja. Kegiatan ini dikhususkan untuk masyarakat Karawang saja sebab terdapat peraturan dari pemerintah daerah Karawang. “Kegiatan CSR itu semestinya memperdayakan masyarakat sekitar seperti pada dunia pendidikan,” ujarnya
Kode Lapangan Pekerjaan Utama
1. Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan, 7 Transportasi, Pergudangan dan dan Perikanan Komunikasi 2 Pertambangan dan Penggalian 8 Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Perse3 Industri waan, dan Jasa Perusahaan 4 Listrik, Gas, dan Air Minum 9 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 5 Konstruksi 6 Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Akomodasi INFOGRAFIK: AN NISSA NUR I LPM DIDAKTIKA
LAPORAN UTAMA Dok. Istimewa
Koordinasi Kurikulum SMK dengan Industri Sekadar Harapan SMK dan dunia Industri, diperintahkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud), melakukan kerjasama untuk menyelaraskan kurikulum serta meningkatkan kualitas lulusan siswa SMK. Nyatanya, masih ada industri yang enggan bermitra dengan SMK. Waras Kamdi, Ketua Tim Revitalisasi SMK
D
alam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), pemerintah berupaya meningkatkan kualitas tenaga kerja terampil sehingga mampu bersaing dengan anggota negara-negara ASEAN. Terlebih lagi, pada 2010 hingga 2015, diprediksi terjadi kenaikan sekitar 41 % atau 14 juta tenaga terampil yang dibutuhkan di kawasan ASEAN. Indonesia memiliki setengah dari angka tersebut. Pemerintah juga memperkirakan bahwa, di 2025, di Indonesia akan terjadi kenaikan peluang kerja sebanyak 1,9 juta (sekitar 1,3% dari total peluang lapangan kerja). Namun, peluang lapangan kerja tersebut tidak dapat dimanfaatkan bila kualitas tenaga kerja terampil tidak ditingkatkan. Dalam rangka peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia, pada 9 September 2016, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Perintah ini ditujukan kepada 12 kementerian, 34 gubernur, dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan termasuk dalam salah satu kementrian yang memperoleh Inpres. Menindaklanjuti Inpres No. 9 Tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan tindakan penyempurnaan dan penyelarasan kurikulum SMK yang sesuai dengan kebutuhan
dunia industri dan dunia usaha (DUDI). Tindakan ini ditujukan agar kebutuhan SMK maupun dunia industri terpenuhi. Pun demi kelancaran revitalisasi SMK. Ananto Kusuma Seta, Ketua Tim Vokasi Kemendikbud, mengatakan penyesuaian kurikulum dibutuhkan untuk menghadapi perkembangan teknologi. SMK perlu mengetahui teknologi terbaru yang digunakan oleh dunia industri. Sayang, sebagian besar SMK belum memperbarui informasi terkait hal tersebut. Selama ini pendidikan kejuruan dipandang sebagai pencetak tenaga kerja tanpa mempertimbangkan kebutuhan dunia industri. Menurut Ananto, pandangan tersebut perlu diubah yakni mencetak lulusan yang dibutuhkan dunia industri. “Paradigma baru SMK itu menghasilkan lulusan yang dibutuhkan pasar,� katanya, yang juga menjabat sebagai Staf Ahli Kemendikbud Bidang Inovasi dan Daya Saing. Perubahan paradigma tersebut diperlukan agar pola pembelajaran dan kurikulum di sekolah sesuai dengan dunia industri. Demi menyukseskan itu, Kemendikbud membuat program keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match). Konsep ini bertujuan untuk membangun hubungan timbal balik antara dua belah pihak: sekolah sebagai pencetak tenaga kerja dan dunia industri sebagai pengguna tenaga kerja. Melalui naskah perjanjian kerja sama diharapkan program ini dapat terlaksana. EDISI 47
Ket. Rapat Kooedinasi Revitalisasi SMK, dihadiri oleh 219 Kepala SMK.
Berdasarkan Panduan Implementasi Revitalisasi SMK yang ditulis Tim Revitalisasi SMK dari Kemendikbud, alur perbaikan kurikulum dimulai dari sekolah. SMK mengidentifikasi kemampuan peserta didik dan sarana prasarana. Kemudian dunia industri melihat kebutuhan kompetensi industri yang sesuai dengan lulusan siswa SMK. Di sisi lain, pemerintah berupaya mempermudah hubungan keduanya dengan menyediakan Sistem Administrasi Sekolah (SAS) berbasis Sistem Informasi Manajeman (SIM). SIM berfungsi mempermudah pertukaran informasi antara SMK dengan dunia Industri. Baik informasi lama maupun informasi baru dapat diakses melalui website. SIM menyediakan informasi mengenai profil sekolah, sistem administrasi sekolah, kesiswaan, sarana dan prasarana, kegiatan akademik, pengelolaan keuangan, layanan informasi sekolah dan masyarakat, serta informasi bimbingan karier. Melalui sistem ini, dunia industri pun dapat memperoleh informasi mengenai sekolah dan peserta didik. SIM juga memudahkan dunia industri yang berkeinginan kerjasama dengan SMK terkait. Bentuk kerjasama dunia industri dan SMK dapat berupa praktek kerja industri atau magang. Selain program SIM, ada pula hal lain yang dimasukkan di kurikulum, yakni pembelajaran berbasis Teaching Factory. Teori ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kewirausahaan siswa dengan melibatkan mitra industri. Bentuk kerjasama yang dilakukan, LPM DIDAKTIKA
dapat berupa penyediaan fasilitas serta pengajar dari pihak perusahaan untuk mengajarkan peserta didik untuk membuat sebuah produk mereka. Hasil produk yang dibuat oleh peserta didik dapat dikembalikan kepada industry atau dijual. Akan tetapi, perbaikan serta penyelarasan kurikulum tidak dapat terlaksana bila dunia industri tidak berkehendak bekerja sama dengan sekolah. Hal ini dialami SMK Negeri 10 Kota Bekasi. SMK yang pernah bertempat di Sekolah Dasar (SD) Jatiwarna 2 pada 2011 ini menerima penolakan kerjasama dari PT Mayora. Lia Yuni Amalia, Kepala SMK Negeri 10 Bekasi, menjelaskan mulanya pertemuan pihak Mayora dibantu oleh Kementrian Industri. Namun, pada tahap penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU), Mayora menolak. Alasannya, belum menerima surat perintah lanjutan dari pihak Kementrian Industri. “Kenyataanya, mereka bilang, mohon maaf ibu, kita belum dapat perintah dari kementrian,” kata Lia. Lia juga mengeluhkan program penyesuain kurikulum dengan dunia industri yang diinginkan kemendibud. “Gimana mau menyesuaikan? Peralatan praktik saja tidak sama,” keluh Lia. Selain itu, ia berpendapat masih ada diskriminasi pemberian dana infrastrukutur kepada beberapa sekolah. “Misalnya, SMK 1 Bekasi selalu dapat dana karena sudah di kenal,” katanya. Lia membandingkan pendidikan kejuruan di Indonesia dengan Singapura. Singapura selain mendu-
Dok.Didaktika
kung dari segi sarana prasarana, negara ini juga mengurangi mata pelajaran umum. Pengurangan ini bertujuan agar siswa fokus terhadap mata pelajaran yang sesuai dengan bidang keahliannya. Berbeda dengan pendidikan di Singapura. Pendidikan di Indonesia memiliki perbedaan jam mata pelajaran umum yang lebih banyak daripada jam pelajaran keahlian. “Katanya mau revitalisasi, kalau terlalu banyak pelajaran umum anak semakin pusing,” ungkap Lia. Senada dengan Lia, Agus Dudung, Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta (FT UNJ) merasa bahwa jam mata pelajaran umum terlampau besar dibanding mata pelajaran keahlian. Padahal peserta didik SMK membutuhkan pengalaman dilapangan lebih besar untuk meningkatkan kemampuan mereka. Pengalaman itu dapat diperoleh dengan memaksimalkan waktu di lapangan. “Baiknya, siswa SMK dua tahun magang pada perusahaan. Setahun belajar di ruang kelas,” sarannya. Menurut Agus, dunia industri belum memiliki sumbangan yang cukup besar untuk bidang pendidikan. Dia menyarankan kementrian industri serta kementrian pendidikan dan kebudayaan besinergi agar dapat menekan perusahaan untuk berkontribusi dalam dunia pendidikan. Bila kedua kementrian dapat bekerja sama, maka perusahaan tidak akan menolak sekolah untuk menempatkan peserta didik untuk magang. “Industri harus memberi sumbangan. Kalau ga ada, ga usah bikin
industri,” tambahya.
*** Di 4 hingga 6 Desember 2017, Hotel Mega Anggrek, Jakarta Barat, Kemendikbud mengadakan rapat koordinasi Revitalisasi SMK. Rapat ini dihadiri perwakilan 219 SMK dari berbagai provinsi. Pada pembahasan bagian penyelarasan kurikulum, ditemukan masalah mengenai ketiadaan industri di daerah mereka. Padahal Waras Kamdi memaparkan bahwa ada empat potensi utama di Indonesia yang dapat dimanfaatkan yaitu: bidang pertanian, pariwisata, kemaritiman, dan industri kreatif. ”Ini potensi untuk wilayah unggulan Indonesia, mungkin tidak ada saingannya,” tutur Guru besar Universitas Negeri Malang ini. Ia pun menjelaskan bahwa perbaikan kurikulum SMK perlu melihat kondisi lingkungan sekitar. SMK yang dekat dengan kawasan Industri, perlu menguatkan hubungan kerjasama sehingga kebutuhan perusahaan terpenuhi. Oleh karena itu, Waras menyarankan tujuan pembuatan kurikulum harus mendukung siswa untuk berinovasi. Mereka diharapkan mampu membentuk produk unggulan dengan melihat peluang potensi daerah. Misalnya, di bidang pertanian, siswa dapat meningkatkan produk pertanian agar memiliki nilai lebih. Apabila produk buatan siswa mampu bersaing, produk ini akan memperoleh sertifikasi. Hendrik Yaputra EDISI 47
LAPORAN UTAMA
Belum Sertifikasi, Guru Produktif SMK Ditambal Sulam
LPM DIDAKTIKA
Satu dari lima hal yang harus direvitalisi demi kelancaran Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ialah kualifikasi guru produktif dan tenaga pendidik. Akan tetapi, proses ini puluhan tahun jika menunggu sertifikasi guru melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Pelatihan Guru Keahlian Ganda meupakan jalan pintasnya. Hal tersebut dapat berdampak pada siswa.
P
residen Joko Widodo mengeluaran instruksi tentang Revitalisasi SMK yang termaktub dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2016. Instruksi ini muncul dengan mempertimbangan empat hal, di antaranya: globalisasi, kompetisi tenaga kerja Indonesia dengan asing, kemunculan generasi milenial, dan revolusi industri keempat. Dalam hal ini, ada lima hal yang harus direvitalisasi SMK. Salah satunya yakni kualifikasi guru produktif dan tenaga pendidik. Guru produktif atau guru kelompok mata pelajaran produktif (pelajaran khusus sesuai jurusan, seperti mengelas dan pemrograman) yang dimaksud merupakan guru bersertifikat yang mengajar sesuai keahliannya. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru dianggap profesional bila memiliki sertifikat pendidik. Maka dari itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) bekerja sama dalam meningkatkan profesionalitas guru. Keduanya berkoordinasi dalam program PPG. Selain itu, Kemendibud melalui Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) juga membuat program Pelatihan Guru Keahlian Ganda. Melalui program ini, guru normatif dan adaptif—guru mata pelajaran non kejuruan, seperti matematika dan bahasa inggris—mengikuti pelatihan selama setahun sehingga dapat mengajar mata pelajaran produktif. PPG Mengenai revitalisasi ini, Profesor Waras selaku Koordinator Tim Revitalisasi Kemendikbud menyatakan bahwa guru produktif harus diutamakan dan wajib melakukan sertifikasi melalui PPG. Upaya ini dijalankan di bawah naungan keEDISI 47
mendikbud yang juga bekerja sama dengan pendidikan tinggi (dikti). Sebab, dikti yang berwenang mengeluarkan sertifikat mendidik melalui mantan Lembaga Pendidikan Lembaga Keguruan (LPTK) yang ditunjuk oleh kemenristekdikti. Contohnya, Universitas Negeri Jakarta (UNJ). PPG ini dibagi menjadi dua program yakni prajabatan (untuk calon guru) dan dalam jabatan (untuk guru yang belum sertifikasi). PPG ini mendapat subsidi dari pemerintah. Dari yang sebelumnya Rp10juta per semester menjadi Rp7,5juta. PPG prajabatan—terbuka bagi lulusan nonpendidikan dan pendidikan—berlangsung selama satu tahun. Satu semester untuk kegiatan lokakarya (workshop) dan selanjutnya dilanjutkan dengan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di sekolah, juga di perusahaan industri. “Calon guru ini dicemplungkan ke sana (sekolah dan industri) untuk berlatih. Mulai dari merencanakan hingga melaksanakan pendidikan. Biar ada pengalaman,” ujar Waras Kamdi setelah Rapat Koordinasi Revitalisasi SMK pada 4—6 Desember 2017 di Hotel Mega Anggrek, Jakarta Barat. Sedangkan, PPG dalam jabatan berlangsung selama empat bulan. Serangkaian kegiatannya pun sama dengan PPG prajabatan. Hanya saja PPL-nya dikurangi. “Untuk merevitalisasi tadi, tidak seperti membalik tangan. Sebab, butuh melalui beberapa tahapan,” aku Ananto Kusuma, Staf Ahli Mendikbud Bidang Inovasi dan Daya Saing sekaligus Koordiantor Tim Vokasi Kemendikbud. Menurutnya, sampai saat ini pendidikan tinggi belum mampu memproduksi guru profesional. Proses memproduksi guru ini butuh waktu empat sampai lima tahun. Ditambah lagi, keuangan negara yang terbatas. PPG di UNJ Tahun ini, kemenristekdikti menunjuk UNJ
“Calon guru ini dicemplungkan ke sana (sekolah dan industri) untuk berlatih. Mulai dari merencanakan hingga melaksanakan pendidikan. Biar ada pengalaman,” ujar Prof. Waras LPM DIDAKTIKA
agar membuka dua program studi (prodi) untuk PPG prajabatan, yakni Prodi Pendidikan Teknik Elektro dan Prodi Pendidikan Teknik Elektronika. Pun PPG dalam jabatan, sesuai rujukan kemendikbud, yakni Prodi Pendidikan Teknik Mesin dan Pendidikan Teknik Elektronika. Pembukaan prodi untuk PPG di UNJ ini merupakan salah satu upaya merevitalisasi SMK. Berikut data jumlah peserta PPG di UNJ (khusus kejuruan):
Prajabatan Elektronika: 20 Orang Elektro : 13 Orang
Dalam Jabatan Mesin : 16 Orang Elektronika : 20 Orang
“Peserta PPG di UNJ itu berasal dari universitas lain. Ada hampir seribu peserta. Di seluruh Indonesia, ada sekitar lima ribu peserta,” ujar Khaerudin, Koordinator Pusat Sertifikasi dan Pendidikan Profesi. Menurut keterangan Koordinator Prodi Pendidikan Tekni Mesin UNJ Kholil, hasil riset dari prodi pada 2014—2015 menunjukkan bahwa mahasiswa yang berkeinginan menjadi guru sekitar 40% dari keseluruhan mahasiswa. Sisanya bekerja di perusahaan. “Jadi, alumni kita itu banyaknya kerja di perusahaan atau industri,” tambahnya. Jalan Pintas “SMK kekurangan guru produktif,” tutur Ananto. Berdasarkan data Direktorat Pembinaan SMK 2017, dari sekitar 300.000 guru yang tersebar di 13.650 SMK, hanya 22% yang merupakan guru produktif. Sisanya merupakan guru normatif dan adaptif. Diperkirakan akan ada 850 ribu siswa SMK hingga 2020. Peningkatan jumlah siswa ini harus diikuti dengan peningkatan kompetensi guru. Guru yang kompeten ini akan lulus kualifikasi bila telah sertifikasi melalui PPG. Akan tetapi, hal itu memakan waktu lama. “Butuh 20 tahun lebih untuk mendapat sekitar 91 ribu guru produktif jika menunggu proses PPG,” tutur Prof. Waras. Pelatihan Guru Keahlian Ganda merupakan jalan pintas demi kelancaran revitalisasi SMK. Hal itu berdasarkan pertimbangan inpres yang diberlakukan sejak akhir 2016. Guru normatif dan adaptif dididik untuk me-
miliki keahlian setara guru produktif. “Misalnya, guru biologi dilatih menjadi guru pertanian,” tutur Ananto. Setelah pelatihan selama satu tahun, kemudian guru tersebut mengikuti tes kompetensi. Jika lulus, guru ini mendapat sertifikat. Kemudian diperkenankan mengajar pertanian. Nantinya, guru-guru ini mengikuti pelatihan tersebut di sela-sela waktu mengajar. Berbeda dengan PPG yang memiliki waktu khusus untuk mengampu studi. Menurut Prof. Waras, program ini memang tidak ideal. Akan tetapi, mesti ditempuh daripada tidak sama sekali. Masalah dari Masalah Sejak 2014, Akta-4 dihapuskan untuk lulusan mantan LPTK. Kemudian, mahasiswa yang baru lulus harus mengikuti PPG selama satu tahun demi sertifikasi. Kepala Sekolah SMKN 1 Bekasi Lia Yuni Amalia menyayangkan hal ini. Menurutnya, ini salah satu hal yang membuat mahasiwa enggan menjadi guru. Terlebih lagi mahasiswa harus membayar mahal. “(Mahasiswa) Setelah lulus inginnya langsung kerja,”ujarnya. Ia sepakat mengenai persoalan kurangnya guru produktif. Di sekolahnya, ada empat guru produktif. Hanya satu guru yang sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)—tentunya sudah melakukan sertifikasi. Padahal guru-guru produktif tersebut dituntut mengajar sepuluh kelas. Mereka bisa mengajar hingga 56 jam per minggu. “Bagaimana caranya mau mengikat orang 40 jam kalau guru tidak diangkat menjadi PNS?” tanyanya. Menurutnya, jika sudah PNS, setidaknya guru honorer pengampu mata pelajaran produktif memiliki motivasi untuk mengajar, sebab mendapat tunjangan. Jika membandingkan guru yang sudah disertifikasi dengan yang belum, guru yang sudah disertifikasi saja mengajar minimal 24 jam per minggu. Ia menambahkan bahwa sekolahnya hanya memaksimalkan guru produktif yang ada. Masalah ini, menurutnya, kemungkinan akan berdampak pada kompetensi siswa di dunia kerja nanti. “Guru produktifnya saja kurang, bagaimana mau kompeten anak sekarang?” katanya. Ia juga bercerita soal beberapa kawan di Jakarta yang dialihkan ke Sekolah Dasar (SD). Ada banyak alumni-alumni Prodi Teknik Mesin di sana. Mereka harus mengambil Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) selama dua tahun. Hal itu ditempuh demi mendapat Surat Keputusan (SK). “Kenapa mereka ti-
Sejak 2014, Akta-4 dihapuskan untuk lulusan mantan LPTK. Kemudian, mahasiswa yang baru lulus harus mengikuti PPG selama satu tahun demi sertifikasi. Kepala Sekolah SMKN 1 Bekasi Lia Yuni Amalia menyayangkan hal ini. Menurutnya, ini salah satu hal yang membuat mahasiwa enggan menjadi guru. dak langsung disalurkan saja ke SMK? Malah sekarang digembor-gemborkan butuh guru teknik (produktif),” tuturnya heran. Lia juga menyinggung soal gaji guru tidak tetap atau honorer. Pemerintah Jawa Barat bersedia menggaji guru honorer Rp85.000,- per jam. Akan tetapi, dengan batas maksimal 24 jam. Padahal umumnya guru produktif mengajar lebih dari 24 jam. “Selebihnya dibayar sekolah,” tambahnya. Beruntung, sekolah ini memiliki uang dari komite dan uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Terkait peningkatan kualitas guru, hampir seluruh SMK di Bekasi menolak ikut pelatihan guru keahlian ganda. “Sebab mereka (guru-guru) lihat real-ya menjadi guru profuktif itu seperti apa,” ujar Lia. Menurutnya, guru normatif-adaptif tidak mungkin mampu mengajar mata pelajaran produktif dengan hanya berlatih satu tahun. Di sisi lain, program pelatihan guru dari P4TK tersebut, perlu menyeleksi sekolah-sekolah pendaftar melalui online. Sebab, dana pemerintah terbatas. Maka dari itu, tidak semua sekolah terakomodasi. SMKN 10 Bekasi tidak tinggal diam. Para guru juga turut serta dalam pelatihan keahlian. Bahkan sebelum program pelatihan guru tadi didengungkan pemerintah. Konsekuensinya, guru ini meninggalkan kegiatan pembelajaran di kelas. “Kalau gurunya sedikit, kasihan murid ditinggalkan,” ujar Lia. Tak hanya itu, demi menambal kekurangan jumlah guru produktif, ia juga berupaya berkoordinasi dengan sekolah lain. Contohnya, di SMKN A lebih banyak guru produktifnya dari SMK ini. “Saya minta bantuan ke SMK 1 agar guru produktif mengajar di SMK ini,” ujar Lia. Lutfia Harizuandini EDISI 47
LIPUTAN KHUSUS
Dok. Didaktika
K
Tergiur Wisata Pulau Pari
apal Satria Expres menepi di dermaga Pulau Pari pada pukul sepuluh. Terlihat beberapa warga antusias menyambut penumpang. Mereka merupakan pemandu wisata. Ada dua jenis pemandu wisata. Pertama yang sudah menjajakan dalam bentuk paket. Paket tersebut biasanya berupa penginapan, makan, hingga wisata air seperti masuk pantai dan meLPM DIDAKTIKA
nyelam. Sedangkan yang kedua mengincar tamu yang reguler, yaitu tamu yang belum memilih paket. Pemandu wisata yang sudah memiliki wisatawan, mendaftar mereka dan mengelompokan di dermaga. Sedangkan pemandu tamu reguler menawarkan jasa mereka pada wisatawan yang terlihat datang sendiri. Pulau Pari mulai menjadi destinasi wisata sejak dibukanya Pantai Pasir Perawan pada 2010. Setelah itu menyusul Pantai Bintang dan Pantai Kresek pada 2012. Sayangnya, Pantai Kresek tidak terkelola dengan baik hingga terbengkalai dengan banyak sampah di bibir
hun ini. Setelah itu, kebanyakan dari laki-laki di pulau ini menyebrang ke pulau tengah untuk bekerja sebagai kuli. Saat itu memang sedang berlangsung reklamasi di pulau tersebut. Pariwisata, Satu-satunya Andalan Dapur Warga Pulau Pari memiliki luas 43,2 hektar yang dihuni sekitar 329 kepala keluarga dengan 1.218 jiwa. Terdapat satu rukun warga yang mengepalai empat rukun tetangga. Mayoritas penduduk mengandalkan dapur mereka pada sektor pariwisata. Salah satunya Buyung. Bila sedang ramai, Buyung bisa memandu seratus lebih wisatawan. Biasanya rombongan perusahaan atau keluarga. “Paling sepi ya dua puluhan orang,” tambahnya. Buyung bercerita, semakin banyak jumlah orang dalam rombongan, harganya menjadi semakin murah. “Misal, kalau empat orang kena Rp 580.000. Kalau lebih dari 50 orang cukup Rp 300.000.” Fasilitas yang diberikan dalam paket tersebut berupa tiket pergi pulang kapal yang bertolak dari Kaliadem. Kemudian tempat tinggal yang terdapat pendingin ruangan berisi dua kamar dan satu ruang tamu. Makan untuk tiga kali yang dihidangkan secara prasmanan. Serta sepeda yang dapat digunakan wisatawan berkeliling selama di Pulau Pari. Adapun paket wisatanya yaitu kapal tradisional menuju tempat snorkeling, peralatan snorkelingnya, hingga kamera bawah laut. “Biasanya di malam terakhir kita akan menyediakan bakar-bakar ikan atau cumicumi,” tambahnya. Buyung mengaku dalam sepekan bisa mendapat penghasilan paling sedikit Rp 1 juta. Meski terlihat besar, nyatanya biaya hidup di Pulau Pari juga tinggi. “Beras paling murah sepuluh ribu per liter di sini,” terangnya. Hal ini dikarenakan kebutuhan sehari-hari dibeli di darat –sebutan untuk Jakarta. Daya tarik paling tinggi untuk Pulau Pari ialah Pantai Pasir Perawan. Tiap pemandu wisata pasti mepantai. nyantumkan kunjungan ke pantai dengan pasir berPetani Rumput Laut Sebelum 1995, warga Pulau Pari banyak ber- warna putih tersebut. Buyung menceritakan mengapa profesi sebagai petani rumput laut. Budidaya rumput pantai tersebut dinamakan Pasir Perawan. “Zaman dulu yang tinggal di sini itu masih selaut oleh warga dibantu oleh penelitian dari LIPI. Bibitnya dibawa dari Bali. Kala itu, rumput laut Pulau Pari dikit. Ada seorang ibu sama anaknya. Sebelum dibuka menjadi primadona. “Banyak orang pulau lain yang ke untuk wisata, kawasan pantai itu masih ada rawa-rawa. Si anak ini bermain ke arah laut. Lalu menghilang hingsini untuk menjadi petani,” ujar Arif. Namun reklamasi yang dilakukan oleh pemerin- ga sekarang,” cerita Buyung. Saat ditanyai kebenarantah terhadap pantai utara Jakarta mematikan kembang nya, ia hanya tertawa. “Ya kalau di tempat wisata pasti biak rumput laut di Pulau Pari. “Kandungan air lautnya ada legendanya. Biar ramai juga pengunjung”. Selain Buyung, ada Arif Budianto. Saat ini ia jadi berubah dan selalu gagal,” jelas pria berusia 45 taEDISI 47
merupakan kepala pengurus Pantai Bintang, salah satu destinasi wisata di Pulau Pari. “Mulai dari anak-anak sampai ibu-ibu, semua dapat uang dari pariwisata,” tuturnya. Ia menjelaskan, para Ibu biasanya mengurus makanan. Memasak di salah satu rumah, yang kemudian diantarkan pada penginapan-penginapan menggunakan gerobak. Sedangkan anak-anak akan sibuk pada minggu siang. Mereka mengambilkan sepeda-sepeda yang disewa wisatawan dan mengembalikan ke pemiliknya. Tak sedikit penginapan yang terdapat di Pulau Pari merupakan rumah warga yang pada akhir pekan sengaja dikosongkan. Mereka biasanya membangun bilik kecil di samping rumah utnuk tempat tinggal sementara. Atau mengungsi di rumah tetangga maupun kerabat. Pantai Bintang memang bukan wisata andalan Pulau Pari. Pemandu wisata mengandalkan Pantai Pasir Perawan sebagai modal. Akan tetapi Arif dan teman-temannya selalu menjaga kebersihan dan menambah fasilitas yang bisa menarik wisatawan untuk datang. Wisatawan hanya perlu membayar tiket sebesar Rp2,500. Menurut Arif, pengelolaan sumbangan tersebut digunakan untuk membangun fasilitas yang bisa memanjakan pengunjung. “Biar bisa berswafoto,” kelakar Arif di depan sebuah tugu bintang. Arif juga membangun beberapa ayunan yang bisa dinikmati secara gratis. Selain itu ada pula penangkaran penyu yang bisa dilihat langsung oleh pengunjung. Letak Pantai Bintang bersebelahan dengan kawasan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah dibangun pada 1976. Satir, ayah dari Arif merupakan salah satu peneliti yang membawa LIPI berdiri di pulau ini. Akan tetapi kini Satir telah pensiun. Beberapa fasilitas yang dimiliki LIPI juga disewakan. Seperti penginapan dan aula. Di ujung LIPI, wisatawan dapat melihat proses matahari terbenam. Dari sini pula terlihat jelas hasil reklamasi Pulau Tengah atau dikenal dengan Pulau H. “Banyak artis yang punya vila di sana. Warga sini yang bekerja menjadi penjaganya,” kisah Arif. “Kalau artisnya datang, penjaganya kirim pesan, siapa yang mau ketemu Ruben Onsu? Jessica Iskandar? Sini nyebrang,” kelakarnya. Rencana Perusahaan Mendirikan Hotel Sebuah plang mengatasnamakan PT Bumi Pari Asri berdiri di antara pemukiman warga. Plang tersebut bertuliskan sertifikat hak milik bernomor 230 disertai LPM DIDAKTIKA
Dok. Didaktika
larangan memasuki, merusak, dan memanfaatkan. Ancaman pidana juga disertai di sana. Pada Januari 2016, PT Bumi Pari Asri mengklaim telah memiliki 90% tanah di Pulau Pari. Perusahaan tersebut juga berencana mendirikan hotel. Pantai-pantai yang terdapat di Pulau Pari, Pantai Pasir Perawan, Pantai Kresek, dan Pantai Bintang menjadi hak kelola perusahaan. Oleh sebab itu Ony Mahardika menjabarkan bahwa ada dua kasus yang terjadi di Pulau Pari, sengketa tanah dan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) ini menjelaskan tiga zona yang berlaku untuk Pulau Pari yaitu 40% pemukiman, 10% LIPI, dan 50% pariwisata. Hal ini telah dipetakan oleh dinas tata ruang provinsi. Sebenarnya keberadaan perusahaan bukan sesuatu yang baru. Sejak 1989, perusahaan mulai membeli tanah warga Pulau Pari secara satu persatu. Namun PT Bumi Pari Asri nampak tarik ulur terhadap tanah mer-
Dok. Didaktika
eka di Pulau Pari. Ony menyebut tarik ulur ini dikarenakan perusahan tersebut belum memiliki izin pengembangan. Akan tetapi keberadaannya makin meresahkan warga tatkala menurunkan Satuan Pengaman (Satpam) pada 2010. Saat ditanyai mengenai lahan milik PT Bumi Pari Asri, Abdul Ghofar tidak menjelaskan secara spesifik. “Lahannya acak,” begitu alasan komandan satpam tersebut. Kendati demikian, bapak dua anak ini tidak mengetahui pasti perusahaan yang merekrutnya. “Kami ini outsourcing,” jelasnya. Ia telah ditugaskan di sana selama satu setengah tahun. Pria asal Jawa Tengah ini hanya tahu PT Bumi Pari Asri terletak di Jalan Gajah Mada, Jakarta. Ia sendiri belum pernah sekalipun ke sana. Pulau Pari terdiri dari empat Rukun Tetangga (RT) yang tergabung dalam satu Rukun Warga (RW). Dalam menghadapi keberadaan perusahaan, terdapat pula pro kontra di kalangan warga. Setidaknya ada dua kubu. RT 01-03 dan sebagian warga RT 04 yang kontra
terhadap perusahaan. Sedangkan Hasani, ketua RT 04 dan sebagian warga lainnya terlihat pro pada perusahaan. Bersama Ujang, salah satu warganya, Hasani mendirikan Koperasi Pari Jaya Bersama. Koperasi ini diharapkan oleh Hasani bisa menyatukan pengelolaan pariwisata di Pulau Pari berupa Pantai Pasir Perawan, Pantai Kresek, dan Pantai Bintang. Hanya saja pada prakteknya, pengelola Pantai Pasir Perawan dan Pantai Bintang menolak untuk bergabung. Maka jadilah Pantai Kresek saja yang dikelola oleh koperasi tersebut. Sayangnya, saat ini Pantai Kresek dalam keadaan tidak terurus. Sampah nampak berserakan di area pantai. Bilik yang dikenali sebagai tempat pembayaran tiket masuk terlihat reot. Hasani menceritakan bahwa ini ada kaitannya dengan penolakan pengelola pantai yang lain. Hasani merasa pengelola dua pantai tersebut dan para pemandu wisata sengaja tidak menyertakan Pantai Kresek sebagai destinasi wisata. Hasani menolak anggapan warga yang mengatakan bahwa koperasi yang telah berbadan hukum itu dibiayai oleh perusahaan. Meski begitu, Hasani menyatakan setuju-setuju saja apabila perusahaan hendak mendirikan hotel. “(Hotel) bisa menjadi pilihan wisatawan,” tuturnya. Ia juga berpendapat, justru keberadaan hotel akan membuat pariwisata Pulau Pari makin ramai. Hal ini secara tegas dibantah oleh Sulaiman, ketua RW. Walaupun masih memiliki hubungan persaudaraan dengan Hasani, bapak dua anak ini sangat keras menolak PT Bumi Pari Asri. “(Hotel) justru mematikan usaha warga. Kalau sudah begitu, warga dapat penghidupan dari mana lagi?” terangnya. Sulaiman sangat yakin bahwa Koperasi Pari Jaya Bersama didirikan oleh perusahaan. “Warga yang mengurus koperasi saja yang bayar sewa ke perusahaan untuk rumah mereka. Tiap perusahaan mau datang, mereka menyambut di dermaga,” jelas bapak dua anak ini. Penolakan terhadap PT Bumi Pari Asri juga terkait upaya perusahaan tersebut untuk menggusur warga dengan mengatasnamakan warga telah menduduki lahan mereka. “Kalau daratan (Jakarta) digusur, masih bisa pindah ke Bogor atau lainnya. Nah kalau warga Pulau digusur? Bisa sih pindah, ke pinggir laut. Kalau air pasang, hanyut dia,” kelakarnya. Latifah EDISI 47
LIPUTAN KHUSUS
Pecah Belah Warga Pulau Pari
P
ermasalahan hak kepemilikan tanah Pulau Pari antara warga dan PT Bumi Pari Asri tidak mencapai titik temu. Kedua belah pihak bersikeras menolak pendapat satu sama lain. PT Bumi Pari Asri (BPA) mengaku memiliki sertifikat tanah seluruh pulau pari, kecuali kawasan tanah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sedangkan, warga pulau pari tidak mengakui menjual sertifikatnya kepada pihak perusahaan. Berdasarkan Data Lembaga Badan Hukum Jakarta, perusahaan ini bergerak pada bidang pertambangan dan pariwisata. Arif Pujianto, pengelola Pantai Pasir Bintang, mengatakan perebutan kepemilikan tanah dimulai pada 1989. Mulanya, warga memberikan sertifikat girik untuk dilakukan pemutihan kepada staff kelurahan Pulau Tidung, bernama Amir. Pulau Pari saat itu belum memiliki kelurahan sendiri. Tanpa menaruh curiga sertifikat girik diberikan tanpa ada bukti penerimaan dari Amir. “Orang zaman dulu kan, nurut pemerintah, polos gitu,” kata pria berumur empat puluh lima tahun ini. Kejanggalan muncul ketika warga tidak lagi membayarkan pajak mereka, “katanya sudah dibayarkan,” tutur Arif. Pada 1993, Gubernur Jakarta mempertemukan warga dengan pihak PT BPA. Pertemuan itu membahas sengketa dua pihak. Kemudian, isu ini mendapat perhatian dari anggota DPRD Komisi A, sehingga menjadikan wilayah Pulau Pari menjadi tiga wilayah, yaitu 50% untuk swasta, 40% pemukiman dan 10% diberikan kepada LIPI. Setelah itu, perusahaan tidak lagi mengawasi pulau hingga 2006. Somasi Terhadap Warga Sejak 2006 PT BPA kembali muncul dengan menghadirkan Satuan Pengaman (Satpam) di Pulau Pari. Satpam ditugaskan mengawasi tanah yang diakui milik PT BPA. PT BPA melarang warga untuk memperbaiki, memperluas serta membangun rumah di wilayah tanah mereka. Warga yang melanggar akan diberikan surat peringatan oleh PT BPA. Arif mengaku pernah mendapat teguran dari satpam sewaktu ingin memperbaiki dapur dan kamar mandinya yang sudah tidak layak. Satpam menyarankLPM DIDAKTIKA
an agar izin dahulu kepada perusahaan melalui RT setempat. Arif menolak hal tersebut. Akhirnya somasi dilayangkan kepada dirinya. Akan tetapi Arif bebas dari tuntutan karena berhasil membuktikan bangunan miliknya berdiri di atas tanah LIPI, di mana sang ayah juga merupakan peneliti LIPI. Lain kasus, Edi Priadi juga mendapat somasi. Edi sudah berusaha meminta izin kepada ketua RT 04, Hasani, hanya saja Hasani enggan memberinya izin. Hasani menganggap bahwa ia tak memiliki hak untuk mengeluarkan izin sebab ia sendiri masih menumpang di tanah perusahaan. Ia meminta Edi izin langsung kepada perusahaan. Birokrasi yang rumit, akhirnya Edi tetap merenovasi rumahnya. Lalu satpam menegur dan menghentikan renovasi. Satpam menawarkan kepada Edi bahwa renovasi dapat diteruskan asal perusahaan dapat membeli rumah dan dua penginapan yang dimiliki Edi. Edi menolak tawaran tersebut.
Dok. Didaktika
Melihat sikap Edi, PT BPA akhirnya menempuh jalur hukum. Posisi Edi sangat lemah dikarenakan ia baru menempati Pulau Pari pada 1999 atau pasca PT BPA masuk. Edi pun harus merasakan penjara selama 4 bulan atas sangkaan pelanggaran pasal 167 ayat (1) KUHP. Ilegal dan Dekat dengan Pejabat Pada 2008, Perusahaan Listrik Negara (PLN) ditugaskan memasang meteran listrik di rumah warga. Ketua RW waktu itu, Ilham Syah memberi selembar kertas berisi surat penyataan warga menyetujui suatu waktu pihak perusahaan mengusir mereka. Warga yang menolak mendapat ancaman tidak dipasangkan meteran listrik. “Kalau gak suka, tidak dipasangi lampu. (Suasananya) penuh tekanan,� kata Arif. Sulaiman, Ketua RW Pulau Pari, membenarkan pernyataan Arif. Namun, Sulaiman mengatakan pihak PLN tidak mengakui surat yang dibuat oleh Ilham. Tanpa ada surat itu, warga Pulau Pari berhak mendapatkan
fasilitis listrik. Hal ini sesuai dengan kebijakan provinsi yakni semua pulau berpenduduk wajib dipasangkan listrik. Warga yang berkeinginan memasang meteran listrik cukup menunjukan KTP, KK serta surat pengantar RT, RW setempat. Pro-Kontra Pulau Pari sebelumnya terdaftar sebagai pemerintahan Kelurahan Pulau Tidung, Kecamatan Pulau Seribu, Kota Jakarta Utara. Pada 1970-an, jumlah penduduk yang kian padat hingga terbentuklah RT dan RW yang termasuk dalam urusan Kelurahan Pulau Tidung. Mulai 1995 terbentuk Kelurahan Pulau Pari. Saat ini, struktur pemerintahan di Pulau Pari terdiri dari empat RT dan satu RW. Ketua RW Pulau Pari, Sulaiman berupaya mempertahankan tanah mereka untuk kehidupan warga seterusnya. Menyoal pembuatan sertifikat tanah, dulu sebagian warga tidak mengerti untuk melakukan itu. Mereka hanya berkenan untuk mengelola tanah tanpa EDISI 47
Dok. Didaktika
mengurus pembuatan bukti tanah. Pada 1960-an ketika UUPA berlaku, penduduk diwajibkan memiliki sertifikat tanah. Warga yang berkeinginan membuat sertifikat harus menghubungi RT terlebih dahulu. “Waktu itu RT belum ada di pulau ini,” kata Sulaiman. Sulaiman pula tidak memiliki keinginan untuk membayar sewa atas tanah miliknya kepada perusahaan. Pembayaran sewa berarti mengakui tanah sebagai milik perusahaan. Sulaiman bahkan menantang perusahaan mengeluarkan bukti surat-surat tanah perusahaan. “Tanah gue diakui, tapi surat-suratnya mana? tidak ada bukti dari perusahaan,” kata Sulaiman. Berbeda dengan sikap Sulaiman, Hasani ketua RT 4, mengakui kepemilikan tanah atas perusahaan. Dia menyayangkan sikap penolakan warga terhadap perusahan, padahal perusahaan sudah memiliki keinginan untuk meningkatkan bidang pariwisata dengan membentuk koperasi. Tak hanya itu, Hasani pula menjelaskan luas tanah yang dimiliki perusahaan. PT BPA memiliki 90% tanah di Pulau Pari, hingga batas pintu masuk daerah LIPI. Bahkan sekolah yang sudah dibangun sejak 1960an, tanahnya diakui milik perusahaan. “Bangunan punya pemerintah, tapi tanahnya punya dia,” tutur Hasani. LPM DIDAKTIKA
Menurut Hasani, dahulu tanah kosong banyak terdapat di Pulau Pari. Namun, pada 1998, mulai banyak pendatang dari Sumatra dan Tanggerang yang menetap untuk menikmati keuntungan usaha budidaya rumput laut. Para pendatang ini, meminta izin RT setempat untuk membangun rumah di tanah kosong. Hasani beranggapan sebagian besar dari para pendatang ini menggunakan tanah milik perusahaan tanpa izin terlebih dahulu. Selain itu, Hasani menilai perilaku penolakan warga terhadap kehadiran perusahaan karena memiliki kepentingan pribadi, terutama Sulaiman ketua RW Pulau Pari. Selama ini, Sulaiman menyerukan mempertahankan tanah warga agar melindungi tanah Matlebar milik kakeknya. Tanah Matlebar termasuk wilayah yang diakui PT BPA. Ketua RW Sulaiman, sebagai pewaris sah tanah Matlebar dianggap mencari dukungan warga agar tanahnya tidak direbut perusahaan. “Kalau punya sendiri, urusin jangan bawa-bawa masyarakat,” kata Hasani. Sulaiman membenarkan pernyataan Hasani. Tetapi usaha mempertahankan kepemilikan tanah Matlebar dilakukan sebelum menjadi ketua RW, tepatnya pada 2016. Ketika menjabat, Sulaiman berusaha mem-
Dok. Didaktika
perjuangkan tanah milik warga. “Kalau saya memperjuangkan tanah ini doang, setahun juga selesai,” kata Sulaiman. Sulaiman menambahkan, pada 2000 surat kuasa tanah Matlebar sudah dipegangnya, sedangkan surat penguasaan tanah Matlebar milik perusahaan dibuktikan pada 2014. “Ada Maladministrasi yang dilakukan perusahaan,” ujar Sulaiman. Forum Peduli Pulau Pari Tindakan PT BPA untuk memecah belah warga menimbulkan kesadaran beberapa warga mendirikan Forum bernama Forum Peduli Pulau Pari (FPPP). Forum yang diketuai oleh Sahrul Hidayat ini bertujuan menyebarluaskan gagasan ‘Tolak Perusahaan’ ke setiap warga. FPPP juga memanfaatkan pertemuan tiap RT yang diadakan dua hingga tiga kali sebulan. Melalui pertemuan tersebut, penyebaran informasi tentang perusahaan juga dilakukan. Hasilnya, perbandingan jumlah warga yang menolak kehadiran perusahaan lebih besar. Selain itu, saat pemilihan RT serta RW, FPPP berhasil memenangkan calon yang mendukung warga. Kecuali Hasani Ketua RT 04. Pertemuan warga juga merumuskan rencana
untuk meningkatkan perekonomian mereka. Semenjak, budidaya rumput laut tidak lagi menguntungkan, bidang pariwisata menjadi andalan. Mereka meyakini pantai dapat digunakan untuk kepentingan bersama. Warga menyumbang modal awal untuk memulainya. “Mereka bantu Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta,” kata Sulaiman. Selain itu, forum ini menetapkan beberapa orang menjadi pengelola pantai. Oleh karena itu, ketika aparat Polres Kepulauan Seribu menangkap enam warga pengelola pantai, Sulaiman mencurigai hal ini ulah kerja sama perusahaan dengan aparat. Pada 11 Maret 2017, mereka ditangkap dengan tuduhan meminta pungutan liar kepada wisatawan di Pantai Pasir Perawan. Sulaiman mengatakan, sebelum penangkapan terjadi, pihak perusahaan menghubungi Ketua Pengelola Pantai Pasir Perawan, Mustagfirin atau yang akrab disapa Boby untuk bekerjasama mengelola Pantai Pasir Perawan. Namun Boby menolak tawaran hal itu. FPPP bersama Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mendampingi Boby dan lima pengurus Pantai Pasir Perawan lainnya selama masa persidangan yang berlangsung di Pengadilan Jakarta Utara. Hendrik Yaputra EDISI 47
OPINI
Paradoks Negara Agraris LPM DIDAKTIKA
Oleh Haris Prabowo*
K
epulauan Seribu selama ini diketahui kerap menjadi destinasi tempat wisata bagi para turis—dari lokal hingga internasional. Ragam pulau dan pantai yang indah itu setidaknya juga bisa menjadi pelarian kecil bagi masyarakat urban DKI Jakarta yang ingin menghilangkan penat dari riuhnya ibukota. Namun siapa sangka, terselip kisah muram dari salah satu pulau yang ada di Kepulauan Seribu. Ekspansi kapital yang melulu memikirkan keuntungan sedang merenggut ruang hidup rakyat Pulau Pari secara perlahan. Mereka yang sudah turun-termurun hidup di pulau tersebut, yang selama ini tak pernah dipermasalahkan ihwal memiliki sertifikat tanah atau tidak, toh, akhirnya pun dipaksa untuk hengkang dari tempat mereka melanjutkan hidup selama ini. Secara tiba-tiba, mulai beberapa tahun terakhir, salah satu perusahaan swasta yang bergerak di sektor pariwisata mengklaim tanah yang ada di Pulau Pari menjadi milik mereka. Dalih kepemilikan sertifikat tanah pun menjadi cara mereka merebut seluruh isi pulau dari rakyat setempat. Itu yang menjadi legitimasi kuat negara hadir justru berseberangan dengan rakyatnya sendiri: menfasilitasi perusahaan dengan masang plang kepemilikan tanah—dilindungi ragam aparatusnya, seperti polisi dan Satpol PP. Tidak bisa tidak, membangun lahan bisnis berbasis di pulau dan pesisir pantai memang menggiurkan. Mulai dari tempat berlibur, hotel-hotel tinggi, hingga lahan pribadi. Karena tak heran jika kita melihat ada peristiwa aneh seperti yang sedang terjadi di Pulau Pari tersebut. Berpuluh-puluh tahun hidup nyaman tanpa gangguan, tiba-tiba diganggu oleh investor dengan mengklaim kepemilikan tanah. Belum lagi kita melihat apa yang terjadi di Tanjung Benoa, Bali, yang proses reklamasinya mengundang protes keras dari seluruh warga Bali karena rentan terhadap kerusakan ekologi dan lingkun-
Ilustrasi oleh Muhamad Muhtar
gan setempat. Kawan-kawan dari Watchdoc dengan rapi mendokumentasikannya dalam Kala Benoa (2015). Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi lebih dari 650 konflik agraria sepanjang tahun 2017 lalu. Seluruh konflik tersebut jika akumulasikan dengan luasan menjadi setengah juta hektare: 520.491,87 Ha. KPA menilai jumlah konflik naik drastis 50 persen dari tahun 2016. Ini menjadi paradoks ketika pemerintahan Joko Widodo kerap mengagungagungnya pembangunan infrastruktur dari barat ke timur Indonesia, namun justru menimbul konflik agraria di daerah-daerah yang dilakukan pembangunan. Belum lagi pembangunan-pembangunan tersebut dilakukan secara sepihak, tanpa mediasi, menggunakan aparatus negara, dan nihil menggunakan cara kemanusiaan—sama seperti kasus Pulau Pari yang sedang terjadi. Ada memori kolektif sosiologis yang kuat ketika kita berbicara masyarakat yang sedari kecil hidup di suatu tempat, besar dan hidup hingga dewasa, namun dipaksa meninggalkan lahan karena syahwat kapital yang terus menggusur. Hal tersebut bisa berpengaruh ke psikologis masyarakat yang tinggal di lokasi tersebut. Para pemangku kekuasaan tentu sebaiknya tak bisa sembarangan mengambil langkah membangun infrastruktur ini-itu, tanpa memikirkan bagaimana dampaknya bagi masyarakat yang ruang hidupnya direnggut, tanpa memikirkan bagaimana keadaan alam sekitar yang rusak karena pabrik dan limbah yang mulai mengganti hutan dan kebun. Saya teringat pada salah satu buku karangan Ernst Friedrich Schumacher, judulnya Kecil itu Indah: Kajian Ekonomi yang Memihak Rakyat Kecil (1973). Ini buku lawas, warna kertasnya sudah menguning, namun saya yakin buku ini layak menjadi pedoman pemerintah dalam menjalankan program-program pembangunan EDISI 47
infrastrukturnya. Melalui buku itu, Schumacher seperti membawa kita untuk memikirkan ulang tujuan utama pembangunan-pembangunan yang digenjot pemerintah. Dengan masifnya pembangunan, namun abai pada manusia dan lingkungan setempat, hal tersebut hanya akan membangkitkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang lebih meluas. Sering kita dengar dalih-dalih dari para pemangku kekuasaan hingga masyarakat kelas menengah yang jauh secara geografis dari masyarakat yang terkena dampak konflik: pembangunan itu kemajuan bangsa, meningkatkan ekonomi masyarakat, hingga mengentaskan kemiskinan. Namun bagaimana mungkin janjijanji tersebut muncul dengan diawali pelanggaran hak asasi manusia terlebih dahulu?
OPINI
Oleh Isma Swastiningrum*
Penghayat Kepercayaan di Lingkaran Bigot
F
anatisme cenderung melahirkan egoisme. Inilah yang dilakukan oleh para bigot. Badut-badut konservatif-fanatis yang telah menjadikan agama roboh. Membangun dagelan dengan banyak episode dan kaum minoritas sebagai bonekanya. Di tangan mereka agama tidak menjadi ajaran damai, tapi teror-teror. Ritus massal menyerang agama lain oleh mereka yang fatal menerjemahkan dogma-dogma kudus. Kaum sok istimewa seolah mereka pemilih sah otoritas Tuhan. Dari mulut bigot agama yang berkuasa, kafir mengkafirkan mendapat legitimasi. Agama berubah menjadi busuk dan hiper-ekslusif. Apalagi ketika jajaran dari jajaran pejabat pemerintah yang tak punya otak pun mendukungnya. Fatwa-fatwa menjadi bungkus yang manis sekaligus alat mobilisasi yang efektif guna menacapai tujuan-tujuan ideologi, ekonomi, dan politik. Senjata hukum yang mampu membungkam apa-apa saja yang “baginya haram”. Kaum itu mengira dengan mengkafirkan orang lain, mengganggu ibadah umat lain, melakukan kekerasan pada agama lain, akan mampu menunjukkan superitosnya dan menjadikan lingkungan lebih baik, sebaliknya mereka menampakkan wajah-wajah primordial jahanam yang kental. Ala Fasis zaman Hitler yang menjadikan ras arya sebagai ras tertinggi. PrakLPM DIDAKTIKA
Meminjam kalimat dari Farid Gaban: jika arahnya keliru, naik sedan Ferrari hanya akan mengantarkan kita lebih cepat masuk ke jurang. Seharusnya pembangunan lebih mengutamakan peradaban manusia yang dimulai dari menghormati manusia dan alam yang hidup di daerah tersebut, hingga menghargai solidaritas sosial yang terbangun di masyarakat. Karena jika pembangunan mengabaikan hal tersebut, yang muncul hanya individualisme dan hilangnya tanggung jawab sosial bagi kehidupan masyarakat yang ada pasca pembangunan itu berlangsung. Dan saat itu pula, konflik agraria tetap berlanjut di negeri agraris. Haris Prabowo, Pemimpin Umum LPM ASPIRASI periode 2016/2017. Mahasiswa Fakultas Hukum, UPN ‘‘Veteran’’ Jakarta. Semester IX. tiknya, hingga ke tingkat keras kepala yang buta. Samuel P. Hantington dalam bukunya Clash of Civilization melihat sejarah perkembangan manusia terbaru, ditandai dengan banyaknya pertarungan dengan berlandaskan agama. Elit-elit agama yang mengeluarkan tafsir-tafsir menjadi motif sikap manusia di ranah global. Teror terbukti menjadi “anak haram agama” lewat berbagai variabelnya. Khususnya di tiga agama samawi: Islam, Kristen, dan Yahudi. Pertemuan itu bisa kita temui puncaknya di Palestina. Apalagi agama sangat menghargai pengorbanan yang sifatnya individu, seperti yang terlihat dalam konsep jihad. Media intoleransi (entah dalam wujud individu atau aparatus pemerintah) setidaknya bisa kita lacak melalui tiga hal: Pertama, melalui sosial dengan menebarkankan kebencian dalam kehidupan sosial dan relasi di masyarakat. Kebencian diakibatkan karena piciknya prasangka dan lemahnya kerangka kognitif kaum itu sendiri. Sehingga kaum intoleran (bigot) melakukan penghilangan hak, eksploitasi, menindas, hingga mengubah jalan hidup kaum subaltern untuk kepentingan mereka. Kedua, melalui hukum yang dibuat. Hukum agama menjadi instrumen obralan para kelompok kepetingan, yang kelompok minoritas sebagai bahan bakarnya. Semisal praktik Perda Syariah yang jumlahnya di Indonesia ada sekitar 151. Menengok data yang telah dihimpun oleh Setara Institute, pelanggaran kebebasan beragama paling tinggi justru banyak terjadi di kota-kota yang menerapkkan Perda Syariah. Selama tahun 2010, Setara Institute mecatat setidaknya ada 216 kasus pelanggaran kebebasan beragama.
Ilustrasi oleh Irpan Ripandi
Ketiga, melalui alat-alat propaganda (media). Amir Saeed menyebut peran media ini sebagai doubleedged-sword. Sebab, selain kaum minoritas dianggap sebagai renik-renik kecil yang ruang medianya terbatas, cenderung diacuhkan, dan isunya kurang laik jika diangkat ke permukaan. Di sisi lain, jikapun isu mereka terangkat di media, yang lebih banyak diangkat lebih banyak kontruksi-konstruksi negatif. Dan yang terangkat di permukaan inilah yang mengkonstruksi realitas masyarakat. Penghayat Kepercayaan Di Indonesia, praktik-praktik intoleransi keagamaan (perilaku bigotry) terjadi pada kelompok penghayat kepercayaan. Ini karena memang hak lahir Indonesia yang multietnis, multireligi, dan dari etnopolitik yang bermacam-macam. Banyak kelompok agama terpinggirkan yang mencoba bertahan dan menampilkan dirinya, seperti pada Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan, Ugamo Bangsa Batak, dan agama leluhur khas Indonesia lainnya. Di dalam Peraturan Pemerintah No. 37/2007 tentang Administrasi Kependudukan Bab I Pasal 1 Poin 18, yang dimaksud penghayat kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sampai tahun 2017, Kemendikbud mendata (seperti dilansir dari Kompas.com), ada 187 kelompok pengayat kepercayaan yang tersebar di 13 provinsi di Indonesia. Lalu pada Selasa, 7 November 2017 menjadi hari yang bersejarah bagi para penghayat kepercayaan di Indonesia setelah perjuangan mereka bertahun-tahun. Pasalnya hak-hak sipil dan politik para penghayat kepercayaan diakui oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK memutuskan, UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan khususnya pasal Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 dinyatakan bertentan-
gan dengan UUD 1945. Kata “agama” di dalam pasal tersebut tidak mengakomodir penghayat kepercayaan dan adanya perlakuan yang berbeda terhadap penghayat kepercayaan urusannya dengan administrasi publik. Mahkamah Konstitusi pun menyatakan, penghayat kepercayaan bisa disebut sebagai agama yang bisa dicantumkan di KTP dan KK tanpa merinci nama aliran penghayat kepercayaan. Mengingat sangat beragamnya aliran kepecayaan di Indonesia. Ketua MK Arief Hidayat yang memimpin putusan tersebut menyatakan, “agama impor kita akui, masa agama leluhur tidak kita akui”. Keputusan dari MK tersebut patut diapresiasi, meski dalam kenyataannya masih ada pihak-pihak yang menghalang-halangi, seperti MUI yang malah menyarankan untuk membuat KTP khusus. Yang tak lain wujud “khusus” itu juga merupakan laku diskriminasi. Sebelum keluarnya keputusan MK tersebut, dalam praktik keagamaan meski aliran penghayat tersebut ada, Departemen Agama hanya mengakui enam agama. Selebihnya, agama yang tak tercantum hanya dianggap sebagai organisasi sosial yang itupun mendaftarnya di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata atau Kemendikbud agar bisa mendapat ijin untuk membangun tempat ibadah atau melakukan praktik religi tertentu. Mereka diakui hanya sebagai manifetasi budaya, tidak sebagai agama. Yang dalam prosesnya pula mengalami kesulitan administratif. Kesulitan lain yang menjadi hak warga negara yang sah dialami golongan minoritas ini. Seperti hakhak dasar mendapat kartu identitas (KTP dengan dasar RUU Administrasi Kependudukan tahun 2006), akta kelahiran, dan akta pernikahan. Dalam lingkup yang lebih luas, kadang juga kesulitan dalam mendaftarkan ke sekolah, mendaftar rekening bank, dan yang paling urgen, terkait mendaftar pekerjaan. Sedangkan wujud kekerasan berupa pembakaran rumah ibadah, pengusiran karena dianggap sesat, tidak diperbolehkannya melakukan ritus-ritus religi, kadang sampai aksi pembunuhan. Sialnya banyak pula pelaku kekerasan terhadap kaum minoritas agama yang tidak diadili. Korbannya pun dibiarkan sakit begitu saja. Antidote Masalah EDISI 47
Brian Morris dalam Religion and Antropology (2016), kepercayaan (lebih sempitnya agama) tidak akan berhenti pada tataran esensi saja, tapi juga mewujud pada budaya dan tradisi masyarakat. Sesuai dengan konteks sosial dan sejarah di mana kepercayaan itu tumbuh dan berkembang. Semisal di Jawa yang notabenenya masih kental dengan unsur Kejawen; suatu eskatologi yang meyakini adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai semesta. Dewa itu mewujud dalam berbagai konsep seperti roh, benda keramat, laku, dan tradisi masyarakat Jawa, seperti yang ditulis Bennedict Anderson dalam Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (1996). Tindakan intoleran sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur dan budaya Indonesia. Tindakan ini tidak hanya memunggungi hak asasi rakyat, tapi juga melecehkan nilai-nilai agama itu sendiri. Tidak menunjukkan keberpihakannya pada yang tertindas. Sebagaimana yang dikecam Roy Murtadho dalam artikelnya di Indoprogress.com berjudul Agama Dunia: Kritik Terhadap Tafsir Agama Anti Massa-Rakyat, bahwa agama yang jauh dari kenyataan sosial masyarakat yang tertindas adalah agama yang menggali lubang kematiannya sendiri. Agama seharusnya tidak memunggungi massa-rakyat, tapi ikut tenggelam bersama massa rakyat. Roy menulis, “Agama ada dalam kerumunan massa-rakyat, dalam jerit protes kaum papa, gelandan-
gan, dan semua manusia yang disisihkan oleh oligarki politik dan ekonomi. Agama hadir dengan telanjang pada pribadi-pribadi yang terbuka, toleran dan berpihak”. Hal-hal seperti itu seperti nampak pada pola-pola yang dilakukan YB Mangunwijaya dengan masyarakat marjinal di Kali Code; Sandyawan Sumardi dengan samarannya menjadi pemulug, petani, buruh, dan gelandangan untuk memolong mereka yang kesusahan; dan Sunan Kalijaga dengan kesenian dan budaya kerakyatannya. Perlu rasanya kita membaca dengan lensa baru untuk menganalisis dan memberikan setidaknya rekomendasi-rekomendasi praktis terhadap silang sengkarut agama yang dipenuhi para bigot ini. Saya hanya ingin menekankan, agama minoritas bukanlah kekaisaran setan. Negara seharusnya bukan melindungi yang “sebagian”, tetapi juga “keseluruhan”. Perlu adanya kehendak umum yang terwujud dalam seuatu kontrak sosial. Kekompakan sosial menjadi elemen yang penting. Dan memang ini menjadi tanggung jawab tak hanya mereka yang beragama, tapi oleh seluruh manusia yang hidup Isma Swastiningrum, pemimpin redaksi LPM Arena periode 2016/2017. Bergiat pula di Keluarga Pecinta Demokrasi dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia Pimkot Yogyakarta. Mottonya: revolusi adalah memulai. Saat ini sibuk menyelesaikan Tugas Akhir Fisikanya.
Oleh DARMANINGTYAS*
Plagiarisme: Cermin Buruk UNJ
M
enteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti), Prof.Dr. M. Nasir memberhentikan Rektor UNJ (Universitas Negeri Jakarta) Prof.Dr. Djaali . Menurut Ketua Tim Independen Dikti, Ali Gufron Mukti, seperti dikutip oleh sejumlah media cetak maupun elektronik, pemecetan tersebut selain karena adanya kasus plagiat yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara non aktif, Nur Alam, juga adanya kejanggalan dalampenyelenggaraan Program Paska Sarjana UNJ. Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) dan Tim Independen menemukan adanya sejumlah kejanggalan dalam penyelanggaraan program paska sarjana, seperti misalnya pemadatan LPM DIDAKTIKA
jadwal kuliah, rasio promotor dengan mahasiswa yang tidak sebanding, dan pemalsuan daftar hadir. Meskipun pemecetakan tersebut mendapatkan perlawanan melalui gugagatan di PTUN, tapi sanksi itu telah mampu membuka borok-borok akademiks yang selama ini terjadi di lingkungan UNJ. Boleh jadi, kasus di UNJ itu bukan satu-satunya, masih banyak kasus serupa terjadi di PTN/PTS kita hanya tidak terdeteksi oleh media massa saja, terutama sejak pengembangan program paska sarjana menjadi orientasi penyelenggaraan pendidikan tinggi (PTN/ PTS). Hampir semua PTN/PTS menempatkan penyelenggaraan program Pasca Sarjana sebagai program yang prestisius, akhirnya hampir semua penyelenggara Perguruan Tinggi (PT) ingin membuka program Pasca Sarjana tanpa melihat kondisi kampus maupun kesiapan sumber daya manusia (SDM) pendukungnya. Pada suatu hari, 15 tahun silam (2002) saya sempat
OPINI
Ilustrasi oleh Annisa Nurul Hidayah Surya kaget ketika ke Madura melihat ada PTS yang membuka program Pasca Sarjana, padahal, di mata saya, PTS tersebut berstatus terlihat. Artinya, saya baru tahu kalua ada nama PTS tersebut setelah melihat langsung kampusnya, sebelumnya tidak pernah terdengar. Saya tidak bisa bayangkan kualitas pendidikan Pasca Sarjana di PTS tersebut. Dan banyak, mungkin bisa mencapai ratusan PTS dengan status terlihat itu yang telah memiliki program Pasca Sarjana. Berdasarkan pengalaman pribadi tersebut, penulis sejak itu dalam banyak kesempatan sudah mengingatkan kepada Pemerintah untuk membatasi pembukaan program Paska Sarjana, terutama di PTS-PTS kecil , yang maaf program S1-nya saja statusnya terlihat. Artinya, orang mengenal kampus tersebut karena secara fisik melihat kampusnya secara langsung, sebelum itu tidak pernah mendengarnya. Adakah quality insurance pada kampus-kampus dengan status terlihat tersebut bila mereka menyelenggarakan Program Pasca Sarjana? Pada suatu hari (9 Oktober 2017) ketika saya di-
undang oleh Kompas TV untuk membahas masalah plagiarism yang terjadi di UNJ dan beberapa PT lainnya, berjumpa dengan Dr. Asep Iwan Iriawan, mantan hakim yang sekarang memilih menjadi dosen. Dia memberikan informasi –real, bukan hoax karena namanya boleh disebut sebagai referensi—bahwa ada seorang guru besar hukum pidana di PTS terkenal di Jakarta yang selalu menjadi promotor (pembimbing disertasi S3) meskipun yang ditulis oleh si mahasiswa masalah hukum perdata. Ada pula yang menginformasikan bahwa ada seorang guru besar yang dalam waktu setahun mampu membimbing disertasi lebih dari 10 mahasiswa S3 dan lebih dari 50 tesis mahasiswa S2. Sebagai orang luar kampus yang sesekali diminta menjadi penguji eksternal atau menjadi pembimbing informal untuk penulisan skripsi, tesis, dan disertasi ; rasanya kemampuan ideal seorang dosen (entah itu guru besar atau doctor saja) untuk membimbing disertasi mahasiswa S3 itu maksimal lima orang dalam satu tahun, sedangkan kemampuan untuk membimbing tesis maksimal 10 orang saja. Lebih dari itu, proses pembimbingannya EDISI 47
dipastikan kurang intensif sehingga ketika mahasiswa melakukan plagiarism pun tidak terdeteksi. Membimbing mahasiswa menulis disertasi menurut saya memerlukan intensitas yang tinggi dibandingkan dengan menulis tesis atau skripsi. Mengapa? Karena kalua sampai ketahuan disertasi itu ternyata merupakan jiplakan (plagiat) dapat berdampak pada pencabutan gelar doctor yang bersangkutan, dan efek pencabutan gelar doctor ini panjang, baik untuk orang yang bersangkutan maupun untuk institusi. Pencopotan gelar doctor itu pernah terjadi pada Ipong S. Azhar (status resminya saat itu sebagai dosen Universitas Sumatra Utara/USU dan mengambil S3 di UGM). Ipong S. Azhar menulis disertasi tentang konflik petani di Jenggawah, Jember, Jawa Timur dan lulus doktor padan tahun 1999. Ternyata disertasi itu adalah hasil plagiat dari skripsi S1 Mohammad Nurhasim di FISIP UNAIR yang juga membahas tema yang sama. Nurhasim sendiri sekarang menjadi peneliti di LIPI. Tindakan plagiat yang dilakukan oleh Ipong S. Azhar itu baru ketahuan setelah disertasinya diterbitkan menjadi buku dengan judul Radikalisme Petani Masa Orde Baru: Kasus Sengketa Tanah Jenggawah. Melalui buku itulah Nurhasim mengetahui kalua disertasi itu jiplak sepenuhnya dari disertasi dia, sehingga dia kemudian berkirim surat ke Senat UGM dengan melampirkan copy skripsinya. Pada saat Ipong S Azhar menulis disertasi, memang belum ada google. Skripsi Nurhasim itu konon diperoleh melalui photo copy Nurhasim sendiri. Tentu saja, Nurshim sendiri tidak curiga karena itu skripsi, sedangkan Ipong mau menulis disertasi, tentu Nurshasim berasumsi akan berbeda hasilnya, tapi ternyata tidak. Atas aduan dan bukti tertulis yang disodorkan oleh Nurshasim, Rapat Senat UGM pada tanggal 25 Maret 2000 yang dipimpin Rektor UGM Prof.Dr. Ichlasul Amal dan dihadiri 102 anggota Senat akhirnya mencabut gelar doktor Ipong S. Azhar. Sejak itu, nama Ipong S. Azhar hilang dari peredaran. Padahal, sebelumnya, sejak pertengahan dekade 1980-an Ipong S. Azhar adalah seorang kolumnis bidang politik yang cukup produktif dan kritis. Sampai sekarang tidak banyak yang tahu di mana jejak yang bersangkutan. UGM sendiri sejak saat itu cukup berhati-hati dalam mengeluarkan gelar doktor. Bukan Isu Baru Plagiarisme di dunia pendidikan tinggi bukan merupakan isu baru. Pada tahun 1992, Ismet Fanany, orang Batusangkar, Padang, Sumatra Barat yang bermukim di Amerika Serikat menerbitkan buku tentang LPM DIDAKTIKA
Dok. Istimewa
Plagiat-plagiat di MIT : Tragedi Akademis di Indonesia. Dalam buku tersebut Ismet Fanany menuduh bahwa disertasi Dr. Yahya Muhaimin di MIT Cambridge, Amerika Serikat (1982) yang berjudul The Politics of Client Businessmen, menjiplak tesis Richard Robinson yang berjudul Capitalism and The Bureaucratic State in Indonesia. Tuduhan Ismet Fanany saat itu cukup menghebohkan dan menjadi topik berita media cetak. Meskipun demikian, nasib Yahya Muhaimin masih beruntung karena pada saat itu belum ada aturan tentang pencopotan gelar doctor pada mereka yang disertasinya dituduh plagiat. Kecuali itu, Yahya Muaimin juga mengakui bahwa disertasinya mengutip pendapat banyak ahli seperti dituduhkan oleh Ismet Fanany, tapi mencantum sumbernya. Dosep di Jurusan Hubungan Internasional FISIP UGM itu justru sempat menduduki jabatan Menteri Pendidikan Nasional pada masa Presiden Abdur-
rahman Wahid (Gus Dur, 20 Oktober 2000 sampai 21 Juli 2001). Pada akhir tahun 1997 seorang dosen FISIP UI, Dr. Amir Santoso batal dikukuhkan sebagai guru besar di UI lantaran karya ilmiahnya yang berupa diktat –sebagai pengganti buku—ditengarai merupakan karya jiplakan dari sejunlah ahli termasuk mahasiswanya. Sejumlah ahli yang karya ilmiahnya dituduhkan dijiplak Amir Santoso, antara lain: Prof.Dr. Sediono Tjondronegoro, Dr. Affan Gaffar (alm.), Dr. Mohtar Mas’oed, Riswanda Imawan (alm.), dan Cornelis Lay, keempat tokoh terakhir berasal dari UGM. Pada saat itu, Amir Santoso merupakan pengamat politik yang sangat popular dan tulisannya tersebar di sejumlah media cetak –saat itu belum ada media online—dan sangat dikenal dekat dengan militer. Namun setelah munculnya kasus tuduhan plagiat itu sosoknya hampir tidak pernah terdengar ke publik lagi, meskipun sekarang telah bergelar
Profesor Doktor (2014), namun tidak mampu menebus cap buruk masa lalu itu. Pada tahun 2004 juga terjadi kasus seorang calon guru besar di Fakultas Psikologi salah satu PTS di Surabayabatal membacakan pidato pengkuhan Guru Besarnya lantaran muncul tuduhan bahwa disertasinya di Fakultas Psikologi UI (1998) merupakan jiplakan dari buku dalam Bahasa Inggris. Saya mengenal baik, orang maupun PTS-nya itu, tapi karena saya googling kasusnya tidak saya temukan, maka tidak bisa menyebutkan identitas orangnya maupun PTS-nya. Tapi yang bersangkutan kemudian keluar dari PTS tersebut dan mendirikan lembaga konsultan psikologi di wilayah Jabodetabek. Kasus plagiarisme yang cukup menghebohkan juga pernah terjadi di Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, Jawa Barat, dilakukan oleh Anak Agung Banyu Perwita (AABP). Ia sebetulnya sosok muda yang cukup cemerlang karena dikukuhkan menjadi Guru Besar (2008) pada usia 41 tahun, dan telah menduduki jabatan sebagai Wakil Rektor Bidang Kerjasama. Ia merupakan salah satu kolumnis di The Jakarta Post. Tuduhan plagiat juga muncul terhadap tulisannya di The Jakarta Post pada tanggal 12 November 2009 yang diberi judul ”RI as a New Middle Power?”. Tulisan tersebut dituduh menyontek tulisan penulis Australia Carl Ungerer berjudul ”The Middle Power Concept in Australian Foreign Policy”. Setelah melalui proses panjang, Unpar akhirnya mencabut gelar profesornya pada 10 Februari 2010. Kasus plagiarisme yang kemudian berujung mundurnya dosen yang bersangkutan dari UGM juga terjadi pada Dr. Anggito Abimanyu, Dosen FE UGM yang saat itu menjadi Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama. Tulisannya yang berjudul “Gagasan Asuransi Bencana” yang dimuat di Harian Kompas, 10 Februari 2014. Tulisan tersebut konon sama dengan tulisan Hotbonar Sinaga yang berjudul “Menggagas Asuransi Bencana” yang juga dimuat oleh Harian Kompas, 21 Juli 2006. Memang banyak pihak yang menengarai bila itu bukan tulisan Anggito Abimanyu sendiri, sejumlah mahasiswa dan koleganya yang tahu integritas Anggito Abimanyu meragukan Anggito melakukan plagiarism, sangat mungkin itu dituliskan oleh asistennya (ghost writer), tapi karena tulisan tersebut atas nama Anggito Abimanyu, maka beban kesalahannya ada pada Dr. Anggito, sehingga kemudian dia memilih mengundurkan diri dari UGM. Rektor UGM Prof.Dr. Pratikno menyetujui pengunEDISI 47
duran diri tersebut. Namun karena kesalahan Anggito tidak sefatal kesalahan yang dilakukan oleh Ipong S. Azhar, maka Anggito tidak kehilangan gelar doktornya dan dia sekarang menjadi pengajar di salah satu PTN terkemuka di Bandung. Hanya saja, sejak itu Anggito tidak lagi menampakkan diri ke publik nasional melalui karya-karya tulisannya. Di luar contoh-contoh yang dituliskan di atas, masih banyak contoh plagiarisme yang terjadi di dunia akademik, seperti di Lampung, Bogor, Jakarta, Yogya, dan Bali dengan tingkat gradasi dan sanksi yang berbeda-beda. Bahkan Dr. Siti Fadilah Supari (Menteri Kesehatan 2004-2009) juga pernah dituduh melakukan plagiat atas makalahnya yang berjudul CholesterolLowering Effect of Soluble Fibre as an adjunct to Low Calories Indonesian Diet in Patients with Hypercholesterolamia yang dipresentasikan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (29/10 2002). Tulisan itu ditengarai mirip dengan karya James W. Anderson yang berjudul Long-term Cholesterol Lowering Effect of Psyllium as An Adjunct to Diet Therapy in The Treatment of Hypercholesterolamia yang dimuat di American Journal of Clinical Nutrition volume 71 tahun 2000. Berkaca pada UNJ Melihat per kasus yang terjadi di sejumlah pendidikan tinggi nasional, baik PTN maupun PTS, maka apa yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sebetulnya tidak terlalu jauh dengan yang terjadi di sejumlah kampus. Hanya saja mungkin di kampus-kampus lain sifatnya perorangan, sedangkan yang terjadi di UNJ mungkin lebih sistematis, karena melibatkan sejumlah pejabat struktural, entah dekanat atau rektorat. Perbedaan lain adalah motivasi melakukan plagiat. Di sejumlah kasus yang disebutkan di atas, motivasi melakukan plagiat adalah keinginan individu untuk mencapai tujuan tertentu, entah itu penyelesaian studi, pencapaian gelar, atau bahkan popularitas dari orangorang yang bersangkutan. Tapi yang terjadi di UNJ tampaknya motivasinya lebih bersifat institusional, bukan individual. Contoh kasus plagiat disertasi yang dilakukan oleh Nur Alam, Gubenur Sulawesi Tenggara saat itu tampaknya bukan bersifat individual, sebab ada nada pembelaan dari Rektor UNJ Prof.Dr. Djaali, apalagi bila betul ditemukannya SK Rektor UNJ, Prof. Dr. Djaali yang membolehkan plagiarism untuk lulusan program diploma hingga doktoral. Di banyak PTN/PTS, pimpinan PTN/PTS akan bersikap tegas dengan memberikan sanksi pada alumni atau civitas akamika yang terbukti melakukan plagiaLPM DIDAKTIKA
risme. Tapi yang terjadi di UNJ justru rektor terkesan melindunginya. Meskipun hasil penelusuran tim independen menemukan bahwa 74,4% disertasi Nur Alam berisi salinan dari pelbagai penyedia jasa arsip skripsi, rector menyatakan tidak menemukan adanya kejanggalan dalam penulisan disertasi tersebut. Baik alasan kedaerahan maupun lainnya, sikap Rektor UNJ Prof. Dr. Djaali yang terkesan melindungi tindakan plagiat Nur Alam itu membuktikan adanya intervensi structural dalam kasus plagiat di UNJ. Rektor sebagai pimpinan tertinggi universitas yang seharusnya menjaga etika akademik –dengan kejujuran sebagai ciri utamanya— justru menciderai etika akademik tersebut dengan tidak bersikap apa adanya. Sama-sama terjadi plagiarisme, tapi di tempat lain diselesaikan dengan menegakkan etika akademik oleh pimpinan universitas, tapi yang terjadi di UNJ justru pimpinan tertinggi itu tidak mengakui adanya plagiarisme. Ini yang membedakan kasus UNJ dengan kasus plagiarisme lainnya. Sangat mungkin sikap Rektor UNJ yang amat permisif terhadap penyimpangan etika akademik itu dipengaruhi oleh banyak faktor: politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Politik dan ekonomi berkaitan erat, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang. Keduanya itu dapat berkelindan menjadi ekonomi politik pimpinan universitas, terutama untuk jangka panjang setelah tidak menjabat sebagai rector lagi. Demikian pula pertimbangan sosial, yaitu menjaga relasi dengan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dirasakan amat penting, baik untuk kepentingan pribadi maupun institusi. Tak bisa dipungkiri bahwa setiap pimpinan institusi pendidikan selalu akan memamerkan prestasi para alumninya. Dengan memperlancar seorang gubernur meraih gelar doktor dari UNJ misalnya, secara politis akan meningkatkan citra UNJ di mata public karena alumni UNJ ternyata mampu menduduki jabatan strategis di negeri ini. Relasi kuasa dan ekonomi itu akan semakin kuat bila dibalut dengan ikatan kultural antara kedua tokoh tersebut. Kasus serupa tidak hanya terjadi dengan Nur Alam saja, tapi sangat mungkin dengan tokoh lainnya. *DARMANINGTYAS, SI UGM. Mendapat gelar ‘‘Professor Doktor’’ dari Universitas Kehidupan Fakultas Karya. Sering menjadi narsum dan menulis di berbagai seminar/diskusi/media massa tentang transportasi dan pendidikan.Selain menulis buku-buku pendidikan, juga menulis buku transportasi, antara lain: Transportasi yang Manusiawi, INSIST Press.
SENI & BUDAYA
Dok. Didaktika
Cireundeu dan Aliran-Aliran Kepercayaan Kain berwarna-warni, merah, putih, kuning, dan hitam terlihat menjuntai di atap bale sarasehan1. Kain-kain tersebut dipasang dari setiap sudut ruangan dan menyatu di tengah-tengah, membalut lampu yang siap menerangi di kala pencahayaan dari sinar matahari mulai meredup. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak memasang kain-kain itu tanpa alasan. Jauh dari sekadar bentuk estetika, kain-kain tersebut mempunyai filosofi. Warna hitam bermakna bumi, Putih adalah air, Kuning berarti angin dan Merah ialah darah. 1
Tempat kumpul dan berkegiatan masyarakat kampung adat
EDISI 47
M
asyararakat adat meyakini bahwa manusia tidak akan terlepas dari keempat elemen tersebut. Keempatnya saling bergantung satu sama lain. Kain-kain itu dipasang untuk mengingatkan masyarakat agar filosofi yang terkandung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemaknaan terhadap kain-kain tersebut pun berkembang. Masyarakat adat menganggap bahwa kain-kain tersebut merupan simbol keharmonisan dan toleransi. Simbol dari kain-kain tersebut bisa diibaratkan perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (sara). “Kita bisa ibaratkan, warna-warna dari kain tersebut merupakan warna kulit dan menunjukan suku-suku yang berbeda tetapi tetap menyatu,” jelas Widi sesepuh Kampung Adat Cireundeu. Ia juga menambahkan bahwa jika keempat warna kain itu disatukan maka akan menjadi warna coklat. Warna tersebut merupakan warna asli masyarakat adat. Menurut Widi atau biasa dipanggil Abah Widi, ada tiga makhluk yang diciptakan ke dunia, yaitu makhluk cicing, makhluk pulang anting dan makhluk eling. Makhluk cicing adalah makhluk yang diam di tempat contohnya seperti tumbuh-tumbahan dan batu. Makhluk pulang anting adalah makhluk yang bisa bergerak seperti hewan. Terakhir, makhluk eling adalah makhluk yang mempunyai kesadaran. Abah Widi menjelaskan bahwa seharusnya manusia termasuk ke dalam makhluk eling. Manusia sebagai makhluk eling adalah makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk yang lain. Selain hidup dan aktif, manusia mempunya rasa kasih sayang dan berbudaya. Manusia harus bisa memaklumi perbedaan. “Manusia harus sepengertian bukan sepengakuan,” ungkapnya. Ia menjelaskan bahwa semua manusia dilahirkan sama, yaitu sebagai manusia. Dalam istilah sundanya dikenal, manusa the sabibit, sabakal, satunggal. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu berharap manusia Indonesia bisa menjadi makhluk eling yang saling mengerti mengenai perbedaan. Mereka berpendapat bahwa toleransi mengenai perbedaan di Indonesia masih kurang terutama masalah perbedaan kepercayaan seperti yang dialami langsung oleh mereka. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu memeluk kepercayaan sunda wiwitan yang sampai sekarang kepercayaan tersebut masih banyak dianggap sesat oleh sebagian besar orang. Masyarakat adat masih merasakan adanya diskriminasi dari negara. Pengisian kolom agama dalam LPM DIDAKTIKA
Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah salah satu bentuk diskriminasi yang mereka dapatkan. Pada kolom tersebut, masyarakat adat tidak bisa mengisi keterangan yang sesungguhnya, yaitu sebagai pemeluk kepercayaan sunda wiwitan. Kolom tersebut hanya memberikan opsi agama-agama yang diakui oleh negara seperti agama Islam, Kristen, Buddha, dan Hindu. Adapun opsi ‘lainnya’ dalam pengisian kolom tersebut hanya diperuntukan oleh Konghucu. Terpaksa, masyarakat pun harus mengisi kolom agama dengan memilih agama dari opsi yang disediakan. Kebanyakan masyarakat memilih agama islam untuk dicantumkan pada kolom agama di dalam KTP. Alasannya mereka memilih agama islam untuk dicantumkan di KTP adalah karena mayoritas masyarakat di sekitar kampung adat memeluk agama islam. Namun, sebagian masyarakat memilih tidak mempunyai KTP karena tidak bisa mengisi kolom agama sesuai dengan apa yang mereka percayai. Selain diskriminasi pada masalah administrasi kependudukan, masyarakan adat juga mendapatkan diskriminasi kepercayaan di sekolah. Masyarakat adat yang masih bersekolah, khususnya yang masih duduk di sekolah dasar (SD) harus mengikuti pelajaran agama lain karena di sekolah mereka tidak ada guru untuk aliran kepercayaan sunda wiwitan atau disebut penghayat. Kepercayaan sunda wiwitan sendiri dibawa oleh Pangeran Madrais dari Cigugur ke Cireundeu. Bagi mereka, tidak ada yang perlu dipermasalahkan mengenai perbedaan kepercayaan. “Memilih kepercayaan itu seperti merokok, beda selera, tapi tetap yang dicari itu sama, asbak,” ungkap Jajat salah satu nonoman Kampung Adat Cireundeu. Menurutnya, semua orang pasti ingin melakukan kebaikan, agama hanyalah salah satu cara untuk meraih kebaikan tersebut. Jajat atau biasa dipanggil Kang Jajat juga menungkapkan bahwa jika negara ingin utuh maka kuncinya adalah saling mengerti. Selain itu yang dipermasalahkan oleh masyarakat adat adalah mereka sudah melaksanakan tugas sebagaimana warga negara Indonesia sehingga tak seharusnya ada diskriminasi. “Kami sudah melakukan kewajiban, yaitu bayar pajak dan lain-lain,” ungkap Kang Jajat. Setitik Harapan bagi Penghayat Kepercayaan Diskriminasi tidak hanya dirasakan oleh penganut kepercayaan sunda wiwitan saja melainkan juga penganut kepercayaan lain. Pada 28 september 2017 beberapa orang dari penganut kepercayaan di luar enam agama yang dianggap sah di Indonesia memberikan
Hasil dari pemantauan komnas perempuan bahwa bentuk diskriminasi yang didapatkan oleh penganut aliran kepercayaan adalah diabaikan dalam administrasi kependudukan seperti dipersulitnya akses pencatatan perceraian, pembuatan akta kelahiran, pencatatan perkawinan, pembuatan kartu keluarga dan pembuatan KTP.
berkas permohonan kepada mahkamah konstitusi untuk menguji ulang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan. Undangundang tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan tersebut diajukan oleh Nggay Mehang Tana penganut kepercayaan dari komunitas Marapu di Sumba Timur, Pagar Demanra Sirait penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara, Arnol Purba penganut kepercayaan Ugami bangsa Batak di Medan dan Carlim penganut kepercayan Sapto Darmo. Permohonan uji materi dicatat dengan nomor perkara 97/ PUU-XIV/2016. Dalam permohonan uji materi tersebut, disebutkan bahwa penganut aliran keperyaan banyak mendapatkan diskriminasi. Hasil dari pemantauan komnas perempuan bahwa bentuk diskriminasi yang didapatkan oleh penganut aliran kepercayaan adalah diabaikan dalam administrasi kependudukan seperti dipersulitnya akses pencatatan perceraian, pembuatan akta kelahiran, pencatatan perkawinan, pembuatan kartu keluarga dan pembuatan KTP. Selain itu juga diskriminasi dirasakan pada akses pekerjaan, pendidikan,
dan melakukan aktivitas atau ritual kepercayaan. Dari berbagai macam diskriminasi yang didapatkan oleh penganut aliran kepercayaan, diskriminasi dalam administrasi kependudukan yang paling banyak didapatkan. Hal ini diakui oleh Tri, salah satu penghayat berkata meskipun kolom agama di KTP tidak harus lagi memilih salah satu agama yang legal di Indonesia (dikosongkan), masalah admininistrasi kependudukan tidaklah selesai sampai di situ. Tri bercerita bahwa akibat dari dikosongkannya kolom agama pada KTP mereka, merembet pada yang lainnya seperti yang ia alami, “Seperti akang nikah, tidak punya akta nikah, begitu.” Ketidakadilan yang dirasakan oleh penganut aliran kepercayaan sepertinnya menemui titik terang, sebabnya, pada 7 november 2017 mahkamah konstitusi melegalkan penghayat untuk mencantumkan kepercayaanya pada kolom agama di KTP. Majelis hukum mengabulkan permohonan dari para pemohon, yaitu dari Enggay dkk setelah uji materi dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016. Keputusan tersebut disambut dengan gembira oleh para penghayat. Tri dan Yana sebagai penghayat mengaku bersyukur mendengar berita tersebut meskipun keputusan tersebut berum direalisasikan. “Kami tinggal menunggu saja sosialisasi selanjutnya dari kementerian dalam negeri dan pemerintah kota,” ujar Tri. Ia juga menambahkan dengan keluarnya putusan tersebut diharapkan agar tidak ada lagi diskriminasi. Belum sampai direalisasikan keputusan tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan ketidaksetujuannya atas keputusan MK dan mengusulkan untuk dibuatkan KTP khusus untuk penghayat. MUI menganggap keputusan MK mencederai umat beragama karena menyamakan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan. Menanggapi usulan MUI tersebut, Yana berpendapat bahwa KTP adalah tanda penduduk yang pastinya harus sama karena masih satu negara. Menurutnya, yang beda itu hanya agamanya saja, setiap orang berhak memilih agama atau kepercayaan masing-masing sehingga pada kolom agama wajar jika berbeda-beda. “Kan yang beda itu hanya identitas agamanya saja, bukan warga negara,” ujarnya. Ia menegaskan sebenarnya yang menjadi masalah bukan diakui atau tidaknya kepercayaan yang mereka anut, namun diskriminasi yang mereka dapat. “Diskriminasi harus dipecahkan bersama,” ucapnya. Yulia Adiningsih EDISI 47
SENI & BUDAYA
Dok. Istimewa
Merdeka Tanpa Nasi
T
erekam oleh sejarah, pada abad 19, masyarakat adat Cireundeu mengalami kerawanan pangan. Kala itu, Belanda datang ke Indonesia bukan hanya untuk merampas rempah-rempah, melainkan juga beras. Beras yang merupakan bahan pokok utama untuk makanan sehari-hari, dimonopoli oleh kolonial Belanda. Semenjak 1918, masyarakat kampung adat Cireundeu berhenti makan nasi karena sulitnya mendapatkan beras pada zaman itu. Penjelasan di atas tentu bukan satu-satunya alasan mengapa masyarakat adat berhenti mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok sehari-hari. Yana atau biasa dipanggil Kang Yana, salah satu nonoman1 masyarakat adat menceritakan bagaimana proses panjang sehingga akhirnya masyarakat adat berhenti total mengonsumsi nasi. Ialah Omoh Asmanah kunci dari semua itu. Omoh Asmanah atau Abu Omoh merupakan perempuan berdarah jawa yang menikah dengan salah satu masyarakat adat Cireundeu yang dihormati. Abu LPM DIDAKTIKA
Omoh mempunyai peran penting sejak kedatangannya ke kampung adat. Ia menjadi paraji atau dukun beranak. Hampir setiap perempuan yang ingin melahirkan, dibantunya. Jumlah paraji saat itu tidaklah banyak. Sehingga, kehadiran sosok Abu Omoh sangat membantu masyarakat kampung adat. Abu omoh merupakan perempuan yang aktif, Ia tidak hanya menjadi paraji. Pada masa penjajahan kolonial Belanda, Abu Omoh sering menyerukan perlawanan terhadap kaum penjajah. “Kalau zaman sekarang mungkin kita bisa bilang Abu Omoh merupakan orator yang baik,� cerita Kang Yana. Akibat seruan perlawanannya, Abu Omoh sempat dipenjara karena dianggap berbahaya bagi Belanda. Setelah dilepaskan dari tahanan Belanda, Abu Omoh kembali ke kampung adat. Kedatangannya membawa ide yang dianggap sebagai salah satu perlawanan. Ide tersebut adalah berhenti memakan nasi. Ia menyerukan kepada semua masyarakat adat untuk berhenti makan nasi. Menurutnya, masyarakat Indonesia tidak akan pernah benar-benar merdeka ‘lahir batin’ jika masih makan nasi. Beras sudah dimonpoli oleh kolonial. Masyarakat adat tidak boleh kalah hanya karena beras dikuasai oleh Belanda. Hal ini yang menyebabkan masyarakat kampung adat harus mencari alternatif lain untuk
makanan pokok. Dengat beberapa pertimbangan seperti kondidsi tanah yang cocok ditanami umbi-umbian, singkong menjadi pilihan utama menggantikan beras. Masyarakat adat mengolah singkong menjadi rasi. Rasi adalah makanan yang menyerupai nasi tetapi terbuat dari singkong. Singkong yang sudah masak diparut menjadi halus lalu diendapkan dalam air kurang lebih selama 3 hari. Setelah itu, singkong yang telah diendapkan, dijemur di bawah sinar mata sampai kering . Seperti membuat nasi dari beras, membuat rasi pun tak beda jauh, singkong yang telah dijemur, selanjutnya ditanak sampai masak. Untuk lauknya sendiri rasi bisa dinikmati dengan berbagai macam lauk yang bisa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Indonesia merdeka, masyarakat adat tetap mengonsumsi rasi bukan nasi. Bukan karena masyrakat ingin merdeka ‘lahir batin’, melainkan mereka juga memercayai prediksi Abu Omoh bahwa pada masa yang akan datang Indonesia akan mengalami krisis pangan. Masyarakat kampung adat memercayai ada kesalahan dalam paradigma orang Indonesia mengenai ‘makan’. Menurut mereka, makan bukan hanya ketika masuknya nasi ke dalam perut, apa pun yang masuk ke dalam perut itu adalah makan. Esensi dari makan adalah menambah tenaga, tidak peduli itu singkong, ubi, jagung, atau makanan lainnya pengganti nasi. Akibat idenya, Abu Omoh dianugerahi penghargaan sebagai ‘pahlawan pangan’ pada 1964. Idenya memengaruhi banyak orang dan dianggap menjadi solusi alternatif ketika krisis pangan benar-benar terjadi. Meskipun pada 1971 Abu Omoh meninggal dunia, idenya tetap ada, bahkan masyarakat adat mempromosikan untuk berhenti makan nasi pada masyarakat di luar kampung adat. Ada pula wejangan dari abu omoh berbunyi : “Teu boga sawah asal boga pare Teu boga pare asal boga beas Teu boga beas asal bisa nyangu Teu nyangu asal dahar Teu dahar asal kuat”2 Filosofi dari kata-kata di atas adalah kesederhanaan , ketercukupan, dan ketulusan serta keihklasan akan takdir dari yang maha kuasa. Masyarakat adat selalu memaksimalkan apa yang ada. Contohnya, singkong yang dijadikan rasi untuk makanan pokok seharihari menggantikan nasi karena kampung adat Cireundeu mempunyai jenis tanah yang cocok untuk ditanami singkong. Masyarakat adat membuat singkong bukan
hanya untuk menjadi rasi, mereka membuat inovasi dalam berbagai bentuk olahan makanan. Mereka membuat eggroll, pastel, lidah kucing, dan dendeng, sistik dengan berbahan dasar singkong. Selain itu, mereka juga memodifikasi makanan khas Jawa barat dengan singkong seperti cireng bawang, kripik, kicipir, opak, simping, dan saroja. Makanan-makanan tersebut banyak disukai oleh masyarakat adat maupun masyarakat luar. Selain karena enak, makan-makanan tersebut juga menawarkan sesuatu yang berbeda di lidah masyarakat luar. Sehingga, masyarakat adat memutuskan membuka usaha kecil dan menengah (ukm) untuk menjual makananmakanan tersebut ke masyarakat luar. Masyarakat adat membentuk tim usaha olahan rasi yang terdiri dari ibu-ibu rumah tangga. Terhitung ada 15 ibu rumah tangga yang aktif dalam UKM tersebut. Pembagian kerja sudah ditetapkan melalui kesepakatan. Setiap hari mereka mulai bekerja setelah pekerjaan rumah masing-masing selesai. UKM tersebut bertempat di rumah Eulis Nurhayati yang juga masih mempunyai turunan darah dari Abu Omoh. Semakin hari masyarakat mulai melebarkan sayap usaha olahan rasi untuk mengirim dagangannya ke luar kota Cimahi seiring dengan permintaannya yang bertambah. Alhasil, perekonomian kampung adat Cireundeu terangkat. Mereka selalu menyumbangkan sebagian penghasilan dari penjualan olahan rasi untuk kegiatan kampung adat. Sehingga, berbagai aktivitas yang dilakukan oleh kampung adat, termasuk peryaan hari-hari penting tidak pernah mati. Masyarakat adat sadar bahwa lahan untuk menanam padi di Indonesia telah berkurang, digantikan oleh bangunan-bangunan yang tinggi. Sedangkan, populasi manusia semakin bertambah. Jika masyarakat Indonesia masih mempunyai paradigma ‘makan adalah makan nasi’, tidak menutup kemungkinan akan terjadi krisis pangan di Indonesia. “Demi makan nasi, Indonesia sampai mengusahakan impor beras dari luar negeri,” ungkap Kang Yana. Ia juga berpendapat bahwa mengimpor beras sama saja Indonesia belum merdeka karena masih bergantung pada negara lain. Yulia Adiningsih Nonoman adalah sebutan untuk anak muda di kampung adat cireundeu 2 Wejangan tersebut mempunyai arti : tidak punya sawah yang penting punya padi, tidak punya padi yang penting punya beras, tidak pu nya beras yang penting bisa membuat nasi, tidak bisa membuat nasi yang penting bisa makan, tidak bisa makan yang penting kuat. 1
EDISI 47
SUPLEMEN
Doc. Didaktika
BETAWI NYASTRA
A
gustus lalu, Komunitas Baca Betawi menyelenggarakan acara yang bertajuk “Betawi Berpuisi Buat Indonesia” dalam rangka memeriahkan Hari Puisi Indonesia. Acara ini bertempat di Gedung Laboratorium Tari dan Musik Karawitan di Balekambang, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur. Rangkaian acara diisi mulai dari pembacaan puisi, situn (puisi-pantun), ngebuleng, sohibul hikayat, tari Betawi, sketsa Betawi, bazaar buku, hingga parade puisi pelajar. Acara ini mengundang seniman dan sastrawan Betawi diantaranya Yahya Andi Saputra, Qubil AJ, Tutur Denes, Fifi Firman Muntaco, JJ. Rizal, dan lainnya. Tak hanya mereka, masyarakat umum juga diperkenanLPM DIDAKTIKA
kan membaca puisi di atas panggung. “Acara ini milik kita semua, bukan hanya orang Betawi aja,” ucap Roni Adi, Ketua Panitia Acara Hari Puisi Indonesia 2017. Tahun ini adalah kali pertama Komunitas Baca Betawi menyelenggarakan acara tersebut. Roni yang juga merupakan salah satu pendiri mengungkapkan tujuan acara ini bersinambungan dengan misi komunitas yaitu menggerakan masyarakat khususnya Betawi untuk giat berliterasi. Selain pembacaan puisi, acara ini juga diisi dengan aksi tulis puisi di kain panjang yang terdapat di sisi kiri panggung. Makna dari aksi tulis puisi ini menurut Rachmad Sadeli, Humas Acara Hari Puisi Indonesia 2017 adalah ingin menyajikan sesuatu yang berbeda dalam acara tersebut. “Kita ingin membuat orang untuk semangat menulis puisi di kain, karena akan kita pajang di museum dan menjadi sebuah kenangan bagi yang menulisnya,” jelasnya.
Sastra Betawi Muhadjir dalam bukunya berjudul Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya menuliskan kesenian Betawi terbagi menjadi dua, yaitu lisan dan tulisan. Kesenian lisan dari Betawi yang paling terkenal hingga hari ini ialah Lenong Betawi. Sebuah seni teater yang dipadankan dengan Gambang Kromong ini terkenal dengan spontanitas dialog antar lakonnya. Selain itu ada pula Ngebuleng, Sahibul Hikayat, Gambang Rancag, dan lainnya. Tidak hanya pada seni pertunjukan saja, Betawi juga memiliki karya sastra yang terus bertahan dari zaman ke zaman. Sastra Betawi menurut Muhadjir yaitu karya sastra yang ditulis dengan tulisan Jawi atau Arab dengan bahasa Melayu dialek Betawi. Dalam kesusastraan Betawi, tentu tak lepas untuk membahas Muhammad Bakir. Ia merupakan sosok penting yang telah menghasilkan 76 judul naskah yang dikumpulkan sejak 1884-1906. Nama pengarang Hikayat Lakon Jaka Sakura dan Hikayat Syekh Abdulkadir Jaelani ini mencuat pada 1980-an. Kala itu Chambert-Loir, peneliti Ecole Francaise d’Extreme-Orient yang mentransliterasikan karya Muhammad Bakir. Melompat ke abad 20, ada Yahya Andi Saputra, sastrawan Betawi yang turut meramaikan acara Berpuisi untuk Indonesia. Bapak satu anak kelahiran 5 Desember 1961 ini telah menulis beberapa buku misalnya kumpulan puisi Gelembung Imaji (2001), Upacara Daur Hidup Adat Betawi (2002), dan Pantun Betawi, Refleksi Dinamika, Sosial-Budaya, dan Sejarah Jawa Barat dalam Pantun Melayu Betawi (2008). Ia juga aktif menulis bersama Ridwan Saidi, Maman S. Mahyana, JJ. Rizal menuliskan buku Ragam Budaya Betawi. Buku tersebut menjadi bahan ajar di sekolah tingkat menengah pertama. Selain aktif menelurkan bacaan, lulusan sejarah Universitas Indonesia ini menuliskan beberapa skenario film dokumenter bertemakan Betawi. Ngelamar Care Betawi, Pergi Haji Care Betawi, Silat Beksi, menjadi sebagian contoh karyanya. Selain Yahya, hadir pula Mamat Nurzaman sang sastrawan Betawi asal condet. Menurutnya puisi Betawi tidak selamanya puisi yang konyol untuk lawakan. Puisi betawi juga bisa menjadi puisi yang serius. Puisi yang serius yaitu puisi yang mengandung makna mendalam, akan tetapi tetap dengan dialek Betawi. Seperti dalam puisi Mamat yang berjudul Bangkit Betawi ada salah satu bait, “kite seri aja ogah. Lu jual gua beli.”
Dok. Didaktika Mamat membacanya sambil bergaya silat Betawi. Mamat menambahkan mengenai mirisnya stigma anak betawi tidak berintelektual. Anak betawi kekinian harus berintelektual. Menurutnya sastra Betawi dapat meningkatkan tingkat intelektual. “Sastra meliputi membaca dan menulis menurut saya cara yang sangat tepat untuk mengembangkan anak Betawi,” tutur Mamat. Padahal, karya sastra Betawi juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Zeffry Alkatiri misalnya. Penyandang gelar doktoral ilmu sejarah UI ini menerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk puisi berjudul Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak (2012). Selain itu pria keturunan Betawi-Arab ini menyabet predikat Buku Sastra Terbaik Pertama dari Yayasan Buku Utama IKAPI untuk buku sajaknya bertajuk Dari Batavia Sampai Jakarta Taman Ismail Marzuki (2000). Sastra Betawi bahkan telah menembus internasional. Dua cerpen karya Chairil Gibran Ramadhan (CGR) masuk dalam antologi pasar internasional yang diterbitkan The Lontar Foundation: Menagarie 5 (ed. Laora Arkeman, 2003) dan I am Woman (ed. John H. McGlynn, 2011). Sastra Betawi kini telah berkembang sebagaimana zaman. Bila karangan Muhammad Bakir berisi tentang pendekar melawan kejahatan, CGR menawarkan kegelisahan masyarakat Betawi di tengah metropolis Jakarta. Hal itu dapat ditemukan di kumpulan cerpen Sebelas Colen di Malam Lebaran: Setangkle Cerita Betawi. Latifah, Uly Mega Septiani, Rizky Suryana EDISI 47
LPM DIDAKTIKA
Oleh Annisa (KMPF)
EDISI 47
KARYA
Dok. Pribadi Tim Batavia
Batavia Team, Nama UNJ dan Identitas Jakarta di Lapangan Aspal Berawal dari anggapan lulusan teknik pendidikan sekadar jadi guru, kemudian menjadi salah satu faktor yang mendorong Hafidz Salafuddin dan Raden Engine Adi Utomo mendirikan Batavia.
B
atavia Team kembali menyabet dua juara sekaligus dalam satu perlombaan pada November 2016. “Terakhir di Surabaya itu juara satu untuk jenis prototype listrik dan juara dua untuk jenis prototype bensin,” ujar Ahmad Fahjri, ketua Batavia team periode 2017-2018 dalam wawancara eksklusif di pendopo Gedung D Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Fahjri bercerita, ia beserta timnya bisa menghabiskan waktu berhari-hari menginap di kampus ketika menjelang lomba untuk persiapan. “Kalau diperlukan seminggu. Ya kita menginap seminggu di sini (kampus), kadang tidurnya di masjid, dimana aja pindah-pindah,” ucapnya. Ia mengungkapkan, sempat kerepotan ketika kampus banjir, karena mobilnya hampir ikut terendam banjir pula. “Untung mobilnya sempat dievakuasi. Padahal besoknya sudah mulai lomba” LPM DIDAKTIKA
tambahnya. Perlombaan otomotif dalam negeri yang sering ditunggu-tunggu Batavia Team adalah perlombaan yang diadakan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Biasanya, Kemenristekdikti bekerja sama dengan kampus-kampus di Indonesia untuk menjadi tuan rumah perlombaan. “Terakhir di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, sama di Universitas Brawijaya (UNBRAW) Malang,” lanjut Fahjri. Tidak hanya aktif dalam perlombaan, Batavia Team juga sering diundang dalam pameran internasional seperti BMW, IMS dan LPDP. Banyak pengalaman menarik yang pernah dialami Fahjri selama di Batavia. Seperti kasus dosen yang melarangnya dan tim ikut lomba karena alasan tidak pernah menang. “Ngapain main lagi sudah tidak
Salah satu anggota Tim Batavia, bersiap untuk mengendarai salah satu mobil buatan Tim Batavia.
Dok. Pribadi Tim Batavia
menang. Taunya dapet juara satu,” kisahnya. Selain itu, pernah ia bersama tim bersikukuh berangkat lomba tanpa persiapan. ”Sampai di sana kita bingung mau ngapain, pas di perlombaan kita tidak buka edoknya. Terus kembali ke hotel dan semuanya nangis,” tambahnya. Ada juga orang Arab yang heran melihat komponen mobil Batavia Team yang masih pakai faber glass tapi body-nya sudah kuat dan ringan. “Padahal mereka sudah pakai bahan karbon, bahan yang paling bagus,” tutur Fahjri. Meskipun Batavia Team mengharumkan nama UNJ, pendanaan Batavia cenderung mengandalkaan sponsor-sponsor dari perusahaan swasta. Fahjri dan tim tidak terlalu berharap pada kampus masalah pendanaan, urusan dengan kampus hanya masalah perijinan. “Kita biasanya kirim proposal langsung ke rektor” terangnya. Prestasi yang telah diraih Batavia Team yaitu, Juara 1 jenis prototype bensin dalam kejuaraan Indonesia Energy Marathon Challenge 2014 di Surabaya. Juara 3 jenis prototype bensin pada kejuaraan Shell Eco-Marathon 2015 di Filipina. Juara 1 jenis protoype listrik dan juara 2 jenis prototype bensin pada perlombaan kontes Mobil Hemat Energi 2016 di Yogyakarta. Kelahiran Batavia Team untuk Lingkungan Batavia Team merupakan komunitas yang bergerak di bidang ototmotif sejak 2013. Didirikan oleh dua mahasisiwa fakultas teknik, program studi pendidikan teknik mesin 2011 yaitu Engine Edi Utomo dan Hafiz Salafudin. Keduanya kini sudah lulus dari UNJ dan mempunyai kesibukan berbeda. Engine Edi Utomo
rencananya akan melanjutkan kuliah S2 di UNJ. Sedangkan Hafiz, kini bekerja di PT JST Indonesia. Filososfi nama Batavia Team terinspirasi dari sejarah Jakarta yang dahulu bernama Batavia. Selain itu, nama-nama untuk produk Batavia Team pun terinspirasi dari nama-nama yang identik dengan Jakarta. “Pokoknya kita ngambil dari nama-nama kesejarahan di Jakarta. Seperti Jiung dan Pitung untuk nama mobil kita,” jelasnya. Dalam rangka mencari alternatif untuk mengatasi kebutuhan bahan bakar minyak bumi, yang ketersediaannya semakin menipis. Akhirnya Batavia Team mendalami otomotif yang memberi solusi terhadap penghematan bahan bakar dan kendaraan ramah lingkungan. Ada dua jenis kendaraan yang diproduksi Batavia Team. Prototype dan urban konsep dengan bahan bakar listrik dan etanol. Sejak tahun 2013 hingga kini sudah ada tujuh kendaraan yang dibuat Batavia Team. Satu mobil biasanya dikerjakan kurang lebih dua puluh orang dan memakan waktu selama satu bulan. Namun pengujian kelayakanya yang biasanya memakan waktu lama, sebab beberapa komponen yang dipasang tidak melulu langsung cocok. “Misalkan waktu diuji komponennya ada yang rapuh,” terang Fahjri. Kini, tersisa tiga kendaraan yang aktif dari empat kendaraan yang layak pakai, sisanya sudah tidak layak pakai, “biasanya body-nya tidak aerodinamis. Jadi diganti, biasanya dimodifikasi,” ungkapnya. Muhammad Muhtar
EDISI 47
KARYA
Annisa Sulistianingsih Surya (Tengah) Dok. Didaktika
Mengukir Prestasi di SEA Games LPM DIDAKTIKA
A
nnisa Sulistianingsih Surya, seorang mahasiswi UNJ Fakultas Ilmu Olahraga mengukir prestasi di ajang Sea Games pada Agustus, 2017. Perasaannya sangat bahagia, mengingat cabang olahraga cricket baru pertama kali diadakan dalam kejuaraan Sea Games. Tahun 2017 ini, Sea Games dilaksanakan di Kuala Lumpur, Malaysia. Adapun pertandingan cricket putri dalam ajang Sea Games 2017 dibagi ke dalam empat sesi. Setiap sesi pertandingan berdurasi tiga jam. Indonesia menurunkan satu tim cricket putri pada Sea Games 2017 dengan nomor T20. Pada 24 sampai 28 agustus 2017, pertandingan cricket putri pun dilaksanakan. Diawali dengan melawan tim cricket Thailand, Indonesia kemudian melawan tim cricket Singapura dan Malaysia. Namun di final, tim cricket putri Indonesia kembali berjuang melawan tim Thailand. Dalam pertandingan tersebut, tim cricket putri Indonesia meraih medali perak dengan perolehan poin 96. Sedangkan medali emas diraih oleh tim cricket putri Thailand dengan capaian 109 poin. Jauh sebelum Sea Games diadakan, Annisa sempat tergabung dalam club boxing kampus. Kemudian, ia beralih kepada cabang olahraga atletik dan bergabung dalam club tersebut. Dalam kejuaraan atletiknya, ia juga sempat mengukir prestasi. Salah satu diantaranya adalah perolehan medali perak saat POMNAS Yogyakarta 2013. Dalam kejuaraan tersebut, ia mengikuti cabang olahraga atletik kategori estafet. Tahun selanjutnya, Annisa kemudian bergabung ke dalam club cricket kampus. Pada saat inilah ia mulai mengenal dunia cricket. Baru saja bulan pertama dilewatinya di club cricket, ia lantas mengikuti kejuaraan Nasional yang dilaksanakan di Bali pada awal tahun. Kejuaraan pertamanya dalam cabang olahraga cricket ini tidak membuahkan hasil. Kekalahan tersebut kemudian membawanya kepada sebuah pelajaran. Ia dan tim cricketnya kemudian memantapkan skill mereka lewat latihan-latihan rutin. PLATDA (Pelatihan Daerah) menjadi tempat dirinya berlatih cricket lebih fokus. Ia telah bergabung dalam tim cricket putri DKI Jakarta. Pada akhir tahun, Annisa, dengan membawa nama provinsi DKI Jakarta akhirnya
mengikuti kejuaraan nasional lagi. Motivasinya kali ini adalah karena ia merasa dirinya belum mengetahui apa-apa. Ia masih membutuhkan pengalaman lewat kejuaraan-kejuaraan cricket. Pada kejuaraan kali ini, ia dan timnya pun berhasil memasuki babak final dan melawan tim dari provinsi Bali. Pada akhirnya, timnya pun berhasil mndapatkan juara dua dalam pertandingan dan meraih medali perak. Sejak kemenangan kejuaraan Nasional tersebut, tim cricket putri dari provinsi DKI Jakarta mulai diperhitungkan. Selanjutnya, Annisa semakin sering mengikuti kejuaraan cricket dan mengukir prestasi pada kejuaraan-kejuaraan tersebut. Menjadi bagian dari tim nasional (TIMNAS) cricket putri pun menjadi pencapaian yang tidak disangka Annisa. Lewat hal ini lah, ia kemudian mengukir namanya di kancah Internasional. Ia sering melakukan sparing dengan timnas cricket negara lain. Korea, India dan Malaysia menjadi saksi atas prestasinya yang sekaligus prestasi Indonesia. �Semoga pemerataan cabang olahraga cricket di Indonesia lebih merata, dan semoga tim cricket Indonesia kedepannya jauh lebih berkompetensi dan lebih baik,� ujar Annisa mengenai harapannya terhadap cricket Indonesia. Annisa Nurul Hidayah Surya
Jauh sebelum Sea Games diadakan, Annisa sempat tergabung dalam club boxing kampus. Kemudian, ia beralih kepada cabang olahraga atletik dan bergabung dalam club tersebut.
EDISI 47
TAMU KITA
Mengubah Dunia Lewat Sastra “Aku menulis apa yang aku tahu dan aku pahami,” ujar Mahfud Ikhwan dalam perbincangan informal setelah diskusi bukunya, Dawuk, berakhir.
M
eski langit mendung dan gerimis menerpa, para peserta diskusi tidak segera pulang. Mereka masih merapat untuk berbincang di tempat duduk melingkar berpayung bersama pria penyuka film dan lagu India ini. Lantas, suasana Sabtu petang, sekitar pukul lima, di depan Kedai Buku Cak Tarno itu masih ramai (28/10). Bahkan setelah adzan maghrib dikumandangkan. Mahfud Ikhwan, lelaki yang kerap disapa “cak” ini, lahir di Lamongan pada 7 Mei 1980. Ia seorang penulis. Karyanya yang terakhir yakni Dawuk: Kisah Kelabu dari Pondok Randu menjuarai Sayembara Novel Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Oleh karenanya, ia datang ke Jakarta demi memenuhi undangan dari Kusala. Sebelumnya di 2014, novel ketiganya Kambing & Hujan juga berhasil menjuarai Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Ia mengaku butuh sekitar tujuh tahun untuk menulis Dawuk. Sejak 2010 ia memikirkan tokoh Mat Dawuk. Akan tetapi, ia disibukkkan menulis projekprojek dan hal lain. Pekerjaannya sebagai buruh haria— yang berangkat pukul tujuh dan pulang pukul lima— juga memperlambat proses penulisannya. Kemudian setelah Kambing & Hujan dipastikan terbit, barulah ia memikirkan kisah Mat Dawuk dengan serius. Di akhir 2014, ia mulai menulis kisah Mat Dawuk di buku tulis bemotif batik. “Aku bertekad menyelesaikan Dawuk dengan tulisan tangan,” kisahnya. Dengan berbekal pulpen dan buku tulis, ia pergi ke warung kopi terdekat untuk menulis. Proses penulisan ini kira-kira selesai di pertengahan 2016 setelah pengetikan ulang. Lingkungan dan ketertarikannya pada film India dan Indonesia tahun 80—90-an turut menginspirasi penulisannya. “Cerita Mat Cete juga mendorong aku menulis Dawuk. Aku suka sekali cerita ini,” ujarnya. Lelaki kelulusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah LPM DIDAKTIKA
Dok. Didaktika Mada (UGM) ini bertutur bahwa kisah dari kawannya—soal suami yang dituduh membunuh istrinya— juga menginspirasi kisah Dawuk. Kata dawuk, dalam bahasa Jawa, mewakili nama bulu kambing yang kelabu. Bila diindonesiakan kata ini berarti kelabu. “Aku gak punya pencitraan lain selain kambing,” candanya mengingat judul karya sebelumnya disisipkan kata kambing: Kambing & Hujan dan Belajar Mencintai Kambing. Menurutnya, kelabu itu tidak melulu soal kehidupan yang suram. Tetapi juga berbicara tentang ketidakjelasan mana yang putih dan mana yang hitam. “Ini menggambarkan hal yang menyeluruh dari isi novel ini,” ujarnya. Tidak ada orang yang benar-benar bersih di cerita Dawuk. Kebaikan dan kejahatan bisa satu tubuh. Contohnya, karakter Pak Iwan yang agamis,
namun jahanam. Baginya, ini sama seperti kebenaran yang tidak hitam-putih. Novel Dawuk ini tidak sekadar mengisahkan roman dua insan, Mat Dauk dan Inayatun, yang dikisahkan oleh tokoh bernama Warto Kemplung. Fokus lain yang ingin ditonjolkan oleh penulis pemuja Putu Wijaya ini ialah kondisi masyarakat desa dalam kisaran urbanisasi. Konteks sosial kisah Dawuk ini rupanya sama dengan kisah di novel sebelumnya, Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009). Ini juga menceritakan masyarakat desa yang terurbankan. Pun terpinggirkan secara ekonomi di daerahnya sehingga harus mengadu nasib ke daerah lain. Maka dari itu, terjadilah migrasi. Kemudian masyarakat mengalami perubahan secara menyeluruh. Situasi seperti ini umumnya terjadi seiring dengan maraknya arus globalisasi. Pengaruh dari luar dengan mudah ditunjukan kepada khalayak. Terlebih dengan adanya media yang turut andil menyokong proses ini. Ini yang kemudian mendorong masyarakat desa bermigrasi ke luar daerah yang dianggap mumpuni sebagai ladang untuk mencari nafkah. “Aku ingin menyampaikan tentang dunia kehidupan buruh migran yang keras,” ujarnya ketika ditanya tentang tujuan menulis Dawuk. Menurutnya, ini tidak hanya soal ekonomi. Itu juga menyoal psikologi dan moral. Sebab, kehidupan masyarakat desa lantas berubah secara menyeluruh ketika urbanisasi terjadi. Meskipun Dawuk berlatarkan pondok santri, kegiatan seperti kumpul kebo dan pembunuhan kerapkali terjadi. Menurut Mahfud, oleh karena daerah ini jauh dari pemerintah pusat dan kerap terabaikan, terjadilah anomi. Norma yang ada sebelumnya berbenturan dengan norma lain. Entah saling berterima atau bertentangan. Kemudian membentuk norma baru. Dalam kasus tertentu, hal yang umumnya dianggap “tidak benar” terinternalisasi masyarakat. Mahfud yang juga tumbuh di lingkungan migran berkisah tentang dampak dari urbanisasi. Seorang anak harus tumbuh sendiri tanpa orang tuanya. Paling tidak, anak ini dititipkan ke tetangganya. Orang tua hanya memastikan supaya uang kebutuhan anaknya cukup. “Itu yang pernah aku gambarkan di Ulid,” tambahnya. Anak-anak atau remaja labil yang sedang dalam proses pendewasaan harus menyelesaikan masalahnya sendiri. “Bayangkan ketika menstruasi pertama perempuan,” katanya. Menurutnya, gambaran soal broken home di
Kelabu itu tidak melulu soal kehidupan yang suram. Tetapi juga berbicara tentang ketidakjelasan mana yang putih dan mana yang hitam Jakarta tahun 90-an, ternyata sudah ada di desa yang mengalami urbanisasi. Suami yang ditinggal istrinya bekerja ke luar daerah berkesempatan melakukan perselingkuhan. Begitu pula sebaliknya. Ditambah lagi, jika keduanya berpisah dan lama tidak berkomunikasi dengan anaknya. Anak-anak bisa terbawa alkoholisme, mendem, ngoplo, dan nge-gank. “Sebagian besar daerah terkena migrasi itu biasanya begitu,” tuturnya. Lelaki yang pernah menggeluti pers mahasiswa selama empat tahun di kampusnya ini sempat berputus asa ketika Ulid tidak diminati banyak pembaca. “Ketika memenangkan sayembara DKJ, aku termotivasi menulis lagi,” ujarnya. Sebab, orang akan mencari tahu tulisannya. Itu membuka gerbang untuk karyanya agar lebih dikenal. Memang, karyanya selama ini tidak lepas dari pedesaan. Meskipun sempat dua tahun tinggal di kota, ia tidak pernah tergerak untuk menulis tentang kota. Ia merasa khawatir jika tulisannya malah membuat dirinya, orang dari desa, terasing. “Bukan berarti aku anti kota,” akunya. Seperti yang dikatakan sebelumnya, ia hanya menulis apa yang ia tahu dan ia pahami. Di samping itu, ia juga mengkritik bahwa selama ini perfilman dan sastra Indonesia itu bukan milik Indonesia, melainkan milik Jakarta. Nyaris semua ceritanya tentang kehidupan di Jakarta. “Meski ada sedikit cerita udik, pada akhirnya orang udik dari desa itu datang ke Jakarta,” kisahnya. Setelah Dawuk, untuk ke depannya, ia mengaku akan vakum dulu. “Nonton film India dan bikin reviewnya lagi di blog, mungkin. Bisa saja gak ngapain-ngapain sambil nongkrong di warung kopi,” akunya dengan penuh canda. Sebelum membuat blog soal film India, ia mengaku me-review banyak film lama. Kendati begitu, film India ternyata memiliki ruang khusus di hatinya. “Aku merasa ada kewajiban moral untuk menulis soal film India,” candanya lagi. Tidak seperti kebanyakan orang yang hanya menilai film India dari luarnya saja dan menganggapnya kampungan. Ia justru melihat kentalnya industri perfilman di India mengangkat isu politik dan sosial. Lutfia Harizuandini EDISI 47
CERPEN
Doc. Istimewa
Doni Ahmadi*
Dor dan Kecepras
Bagi seorang remaja yang hobi menyendiri, Dor sangatlah terganggu dengan hal-hal yang bising, sederhana saja, ia hanya butuh ketenangan.
LPM DIDAKTIKA
M
alam itu (dalam prosesi berpikirnya yang sunyi) ia kembali mengingat-ingat beberapa peristiwa dari masa lalu. Begini, dulu sekali ia dijuluki seorang pandir oleh temannya benama, Kecepras. Setelah bertahun-tahun lamanya, Dor barulah sadar bahwa kawan semasa SD-nya itu ternyata menguasai banyak kosakata asing bagi anak-anak seusianya (dalam asumsinya, ia beranggapan bahwa Kecepras sering membaca KBBI), dan hal yang diyakini Dor adalah, bahwa teman semasa SD-nya itu melakukannya (menghapal yang sedemikian itu) hanya untuk mencela teman-teman lainnya. Kecepras menurutnya adalah orang yang pintar betul dalam persuasi, kemampuan cakapnya nyaris diatas rata-rata, tak heran, semasa SD ia sudah banyak memberi nama samaran kepada temanteman mainnya. Mulai dari Jimron menjadi Bongak, Acup menjadi Beloh, Jokir menjadi Sadak, sampai Dor sendiri disebut Pandir olehnya. Setelah bertahun-tahun lamanya Dor mengetahui arti pandir dalam bahasa Indonesia, Dor pun menggugat Kecepras pada suatu perjumpaan –tepatnya di sebuah warung kopi, tempat mereka berdua janjian untuk bertemu. Maklum saja, Dor tidak terima, apalagi saat ia mengingat-ingat masa silamnya, bahwa Kecepras pernah mencontek PR yang dibuat Dor. Malam itu Kecepras tampak lebih dulu hadir pada tempat yang mereka janjikan, tanpa tedeng alingaling, Dor langsung memberikan pertanyaan yang sudah ia pikirkan masak-masak kepada Kecepras. Saat ditanya, Kecepras tampak heran, Kenapa memang? tanyanya. Aku pikir kaulah yang bodoh, kau saja waktu SD pernah nyontek PR ku, meskipun kau sekarang kuliah di universitas negeri, kupikir aku tak pantas dipanggil pandir, sela Dor. Haha, tawa Kecepras. Kau mengingatkanku tentang kepandiran masa lalumu Dor, tentang mencontek itu, lagipula hanya sekali bukan, itupun saat aku sakit, sudah pesan dulu kopinya, kata Kecepras. *** Bagi seorang anak-anak, hiburan paling megah adalah sekeranjang mainan berbagai bentuk, mulai dari mobil-mobilan, motor-motoran, robot, helicopter, pesawat, tokoh-tokoh kartun maupun superhero. Dunia anak-anak adalah sebuah taman hiburan tanpa keterangan tutup. Dari imajinasi yang suci sampai pola pikir yang ugahari. Begitulah Dor semasa kecil dengan berbagai mainan yang ia miliki, menjadikan gundam sebagai penjaga gawang dan ultraman sebagai penyerang
dalam pertandingan sepakbola khayal yang ia mainkan diatas kasur kapuk yang biasa ia tumpahi dengan liur pada malam-malam larut. Dor bukanlah anak yang terbuka pada hal-hal baru, terlebih ketika ia mulai masuk sekolah. Kecepras adalah teman pertama Dor disekolah, hal itu dikarenakan mereka sama-sama menyukai tokoh Poo dalam serial Teletubies. Maklum saja, kebanyakan dari kawan mereka lebih menyukai menjadi Tingki-wingki sebagai tokoh yang paling tua dan besar. Dan atas dasar kesamaan inilah mereka berteman akrab. Kecepras sering sekali berkunjung kerumah Dor dan mulai bermain bersama, menonton bersama hingga berimajinasi bersama. Masa kecil Dor sesungguhnya tertolong berkat hadirnya Kecepras, karena berkat Kecepras, Dor akhirnya mampu menerima dunia luar dan bermain bersama teman-teman lain seusianya, memainkan permainan yang tak bisa dimaikan Dor secara sendiri, ataupun berdua bersama Kecepras. Yang dimaksud adalah bermain mainan tradisional macam petak umpet, petak jongkok, petak buaya, dan permainan yang dimainkan paling minimal oleh tiga orang. Meskipun demikian, Dor di masa depan tetaplah tidak jauh berubah, ia tetap menjadi penyendiri. Berbeda dengan Dor, Kecepras adalah anak yang dibesarkan dengan buku-buku dan dongeng-dongeng. Sejak kecil ia sudah hafal cerita-cerita Grim bersaudara, cerita-cerita fabel Aesop, hingga cerita anak terkenal berjudul Pangeran Cilik karangan Antonie de Saint-Exupery. Maklum saja, sedari kecil ia tak pernah absen diberi dongeng penghantar tidur dari sang Ibu maupun sang Ayah. Dunia Kecepras adalah dunia dengan berbagai kemungkinan khayalan. Hiburan lain baginya adalah serial kartun di televisi. Tak heran, ia kerap bermain ke rumah Dor yang diisi oleh berbagai mainan yang tak dimiliki Kecepras dirumahnya. *** Rusaknya kebahagiaan sebagai seorang anak adalah saat ia dikenalkan dengan suatu yang sukar, yaitu berpikir. Kecepras adalah seorang anak yang memiliki intelejen diatas rata-rata umur seusianya dan yang paling menonjol adalah kemampuan ia berbahasa, kosakata yang dikuasainya apalagi. Hal itu karena ia suka membaca buku-buku puisi milik kedua orang tuanya, banyak diksi yang ia tidak ketahui dan ia tanyakan kepada sang Ayah maupun Ibu perihal maknanya. Kebiasaan berlogika Kecepras yang sedari kecil inilah yang pada akhirnya menghasilkan sebuah masEDISI 47
terpiece untuknya, hingga ia dijuluki sebagai peramal ataupun penyihir oleh teman-teman sebayanya, terkecuali untuk Dor. Penemuan yang dimaksud ialah tentang ilmu menebak pikiran, Kecepras hanya perlu menanyakan sebuah kalimat ajaib, “Coba pikirkan angka kesukaanmu tanpa perlu menyebutnya,� lalu ia melajutkan dengan menyuruh lawan bicarannya menghitung, Coba ditambah lima, dikurang satu, dan seterusnya dan seterusnya. Hingga secara ajaib Kecepras akan mampu menjawab angka yang dipikirkan lawan bicaranya itu. Bongak adalah korban pertamanya, saking terkagum dengan kehebatannya, Bongak sampai menguji sampai tiga kali percobaan. Kau dari mana tahu aku memilih angka tujuh, sebelas, dan tiga Pras? Kan aku tidak bicara sama sekali, kata Bongak setelah mengikuti tiga kali percobaan dan berhasil dijawab semua oleh Kecepras. Hal inipun menjadi geger di kalangan teman-teman Kecepras. Sayangnya, saat Kecepras menemukan hal gila ini, Dor sedang pergi keluar kota bersama keluarganya. Dan kembali tiga hari pacsa penemuan yang luar biasa itu. Dor terkaget-kaget ketika Kecepras telah dijuluki peramal oleh teman-teman sebayanya, ia tak percaya adanya penyihir berusia muda, yang ia tahu, penyihir adalah seorang wanita tua dengan rambut beruban, \memakai tongkat sebagai senjata atau sapu untuk melarikan diri, penyihir juga tinggal di gua atau gunung pikir Dor. Singkatnya, adalah sebuah keniscayaan bahwa Kecepras adalah seorang peramal maupun penyihir. Dan berbekal analisa singkat itulah Dor menemui Kecepras, dan mempertanyakan kebenaran tentang hal itu. Kecepras yang tengah asik membaca pun dikagetkan dengan ketukan pintu yang menandai kedatangan Dor yang mendadak itu, Kecepras segera meletakan majalah Boboy miliknya dan keluar menemui Dor. Jadi kau mempercayai hal itu? Tanya Kecepras. Tentu saja tidak! jawab Dor. Haha sudah kuduga, kau pastilah lebih cerdas ketimbang Bongak, Beloh, Sadak dan lainnya, jawab Kecepras. Memang apa yang kau lakukan, coba beritahu aku, pinta Dor dan Kecepras pun mengiyakannya. Lalu ia pun memulai dengan kalimat ajaibnya, Coba pikirkan angka kesukaanmu, tanpa perlu menyebutnya. Sudah, kata Dor. Coba ditambah dengan lima, dikurang tiga, lalu ditambah delapan, lalu dikurang angka kesukaanmu, terakhir dikurang sembilan, sudah? tanya Kecepras. Sudah, jawab Dor. Oke,
LPM DIDAKTIKA
jawabannya adalah satu, sela Kecepras. Salah! Jawabannya adalah dua, kata Dor ngotot. Dengan wajah bingung, Kecepras sekonyong-konyong berkata kepada Dor, Dasar pandir!. Dalam logika orang dewasa, penemuan Kecepras itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Namun sebagai seorang anak-anak yang tidak memiliki kemampuan bernalar, hal itu tentulah istimewa. Begini, Kecepras sebetulnya tidak tahu sama sekali berbagai angka yang ada dipikiran teman-temannya, yang ia
lakukan hanyalah membuat angka-angka setelahnya seolah menjadi nyata. Misalnya saja, seorang memikirkan angka satu, selanjutnya Kecepras memberikan orang yang memikirkan angka itu berbagai hitungan, misalnya, ditambah dua, ditambah tiga dikurang satu lalu dikurang angka yang dipikirkan oleh orang itu (yakni angka satu), hasilnya tentu saja adalah empat. Yang perlu dipikirkan Kecepras hanyalah angka-angka yang ia sebutkan, karena angka yang ada dalam pikiran lawan bicaranya itu otomatis hilang saat Kecepras mengatakan ‘Lalu dikurang angka kesukaanmu atau angka yang ada dipikiranmu’ dan angka-angka yang masih ada hanyalah angka-angka yang Kecepras sebutkan setelahnya. ***
Dalam logika orang dewasa, penemuan Kecepras itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Namun sebagai seorang anak-anak yang tidak memiliki kemampuan bernalar, hal itu tentulah istimewa. Begini, Kecepras sebetulnya tidak tahu sama sekali berbagai angka yang ada dipikiran teman-temannya, yang ia lakukan hanyalah membuat angka-angka setelahnya seolah menjadi nyata. Sebagai seorang yang sedikit cerdas, kesalahanku waktu kecil adalah mengatakan dirimu cerdas Dor, untungnya aku langsung memberikanmu nama pandir setelahnya, kata Kecepras sembari meyeruput kopinya. Dasar sial, waktu itu aku memang masih lugu betul, dan kau juga pasti tahu, bahwa aku tidak suka matematika, jawab Dor. Setelah menyesap kopinya Kecepras tiba-tiba saja berkata, Bagaimana kalau cerita masa lalu itu kubuat dalam sebuah cerita pendek, menurutku menarik juga cerita anak-anak, lagipula baru-baru ini kulihat ada lomba menulis cerita anak, mungkin saja berkat cerita polosmu dulu aku bisa menang dan akan mendapat hadiahnya, katanya. Boleh saja, tapi hadiahnya bagi dua ya! Oh iya, memang kenapa dengan cerita biasa yang kau buat sebelumnya Pras? Bukankah ceritamu pernah masuk koran, bagus lagi dan mendapat honor juga, lagipula apakah cerita anak-anak juga tetap memiliki substansi seperti yang kau buat biasanya? tanya Dor. Tergantung interpretasimu saja Dor, kau pikir certita-cerita Grim Bersaudara, Fabel-fabel dan cerita Pangeran cilik itu hanya sebatas hiburan, saat kau sudah menjadi dewasa dan kau baca ulang, mungkin kau akan merasakan pengalaman berbeda, kupikir tidak sesederhana itu, jawab Kecepras. Lah, aku mana tau sastra,
jika tak berteman denganmu mungkin sampai saat ini aku tak pernah membaca yang demikian itu dan menganggapnya hanya sebatas hiburan saja, tapi aneh saja, menurutku itu terkesan tiba-tiba, sela Dor. Memang sih, aku spontan saja, ku pikir sepertinya seru juga untuk out of the box, keluar dari tempurung, terlebih ada lomba yang hadiahnya cukkup besar, kata Kecepras. Terserah kau saja, lalu kira-kira kau akan beri judul apa nantinya? tanya Dor sembari menyeruput kopinya. “Judulnya, Dor Kecepras mungkin, seperti novelnya Tolstoy, Anna Karenina. Haha, jawab Kecepras. Sial, memang kita ini pasangan selingkuh, ganti nama tokohnya saja biar tidak terlalu mainstream, semisal Budi Indra atau Agung Eko, kata Dor. Sial! nama macam apa itu! Haha, kata Kecepras. Lalu mereka berduapun tertawa hingga Dor tak sengaja menumpahkan sedikit kopi ke atas celana Kecepras. Karena kau menumpahkan kopi, kau harus traktir aku Dor, kata Kecepras. Oke, tapi jangan sekali-sekali mengingat dan memanggil aku pandir, mengerti!, kata Dor dan mereka berduapun tertawa. *Doni Ahmadi. Alumni Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta, pegiat sastra dan seni di komunitas Tembok, redaktur bulletin sastra Stomata, serta turut mengurusi rubrik sastra di web zine Jakartabet.net. Beberapa cerpennya telah dimuat media dan termaktub dalam antologi Desas-desus Tentang Kencing Sebarangan (2016).
EDISI 47
LPM DIDAKTIKA
Oleh Nugroho Sejati (KMPF)
EDISI 47
KAMPUSIANA
Dok. Didaktika
Pencopotan Rektor dan Sekelumit Masalah UNJ
B
erawal dari infografis Korupsi Kolusi dan Nepotime (KKN) Rektor Universitas Negeri Jakarta, Djaali yang pertama kali diunggah oleh salah satu akun facebook yaitu Save UNJ pada November 2016. Kemudian, infografis itu tersebar di kalangan dosen dan guru besar lewat media sosial dan pesan singkat seperti grup facebook dan whatsapp pada Januari 2017. Tak lama setelah itu, satu-persatu dosen UNJ mendapatkan panggilan dari kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik yang diajukan oleh Djaali. Dosen-dosen yang mendapatkan panggilan dari kepolisian ialah dosen yang menjadi admin grup di whatsapp, dosen yang mengunggah, menyebarkan lagi dan mengomentari infografis tersebut. Ubeidilah Badrun, salah satu dosen yang LPM DIDAKTIKA
mendapatkan surat panggilan dari kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik, berpendapat bahwa tindakan rektor sangat represif dengan melaporkan dosendosen dan birokrat UNJ. “Ada kemungkinan rektor melakukan hal ini, yaitu untuk membuat shock therapy untuk dosen-dosen kritis,” jelasnya. Sebelumnya memang banyak tindakan-tindakan rektor yang dianggap represif, salah satunya yaitu keputusan pemecatan mantan Ketua BEM UNJ Rony Setiawan. Meskipun pada akhirnya keputusan ini dicabut oleh Rektor. Menanggapi pemanggilan sejumlah dosen dan birokrat kampus, Djaali berpendapat, “Saya hanya melaporkan ada yang memfitnah saya. Saya laporkan lewat pengacara UNJ ke kepolisian ada yang memfitnah. Setelah itu saya tidak tahu – menahu mengenai pang-
gilan-panggilan tersebut. Semua pengacara yang atur,” ujar Djaali. Di tengah banyaknya pemanggilan dosen oleh kepolisian, muncul isu baru di UNJ, yaitu plagiarisme yang ditemukan oleh tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA). Supriadi Rustad, ketua tim EKA, menjelaskan bahwa penyelidikan ini berawal dari kejanggalan yang terjadi pada saat pemberian gelar Doktor pada Nur Alam. Pasalnya, pemberian gelar Doktor tersebut dilakukan tidak sesuai jadwal yaitu lebih awal daripada waktu yang sudah ditetapkan. Tidak lama setelah itu Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu, 5 Juli 2017. Selain itu, muncul juga kejanggalan pada masa kuliah yang ditempuh oleh beberapa pejabat yang berkuliah di Pascasarjana UNJ. Mereka menempuh masa kuliah dengan cepat dan meraih predikat cumlaude. Oleh sebab itu, Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi Direktorat Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, memberikan tugas kepada tim EKA untuk memonitoring UNJ pada 8 September 2016. Berdasarkan Surat Tugas Nomor 1614/C5/Kl/2016 yang dikeluarkan Pada 5 September 2016. Tim EKA mengambil lima sampel disertasi untuk diselidiki. Hasilnya dari kelima disertasi tersebut, lima-limanya terindikasi ada plagiasi. “Kalau di kampus lain diambil sampel 5, paling yang terdeteksi melakukan plagiat itu cuma 1 atau 2. Kalau di UNJ diambil 5 sampel, yang ketahuan juga 5,” ungkap Supriadi Rustad. Disertasi yang dianggap plagiat itu adalah milik adalah Nur Alam (Gubernur Sulawesi Tenggara), Nur Endang Abbas (Kepala Badan Kepegawaian Daerah), Hado Hasina (Kepala Dinas Perhubungan), Muhammad Nasir Andi Baso (Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), dan Sarifuddin Safaa (Asisten I Sekretariat Provinsi Sulawesi Tenggara). Djaali mengelak bahwa ada plagiarisme di Pascasarjana UNJ. Ia membentuk tim pembela untuk membuktikan bahwa tidak ada plagiarisme di UNJ. Tim tersebut anggotanya tidak diketahui dengan jelas dan beberapa kali berganti formasi. Salah satu yang sempat tergabung dalam tim tersebut adalah Wakil Rektor I Muchlis R. Luddin. Ia juga menolak dengan tegas bahwa tuduhan plagiarisme yang dikeluarkan oleh tim EKA adalah tidak benar. Sanggahan Djaali dan tim yang dibuatnya itu
Berikut daftar beberapa nama yang mendapat surat panggilan dari kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik: Achmad Ridwan (Wakil Rektor IV) Jafar ( Admin PKN) Andy Hadiyanto (Wakil Dekan III FIS) Ikhlasiah (Dosen Sosiologi) Irawaty (Dosen PPKN) Muktiningsih (Wakil Dekan I FMIPA) Rien Safrina ( Dosen Seni Musik) Usep Suhud (Dosen di Fakultas Ekonomi) Muhammad Yusro (Dosen Pendidikan Teknik Elektronika) Muchlis Rantoni Luddin (Wakil Rektor I) Riza Wirawan (Wakil Dekan II Fakultas Teknik) Ubedilah Badrun (Dosen Sosiologi) Eko Trirahardjo (Dosen Pendidikan IPS) Abdul Syukur (Dosen Pendidikan Sejarah)
ternyata bersandar pada peraturan mengenai plagiarisme yang ia buat sendiri, yaitu Surat Keputusan Rektor Bernomor 1278 A tentang uji turnitin sebagai syarat kelulusan pada 10 November 2016. “Ada kok SK-nya, maksimal 40%,” ujar Djaali. Selain Djaali dan timnya, Wakil Direktur Pascasarjana UNJ, Burhanuddin Tola, juga membantah adanya plagiarisme di UNJ. Menurutnya plagiarisme itu adalah menjiplak keseluruhan karya milik orang lain tanpa mencantumkan sumber, “kalau masih di bawah 40% atau 40% itu kan tidak semuanya, ya berarti bukan plagiat,” jelasnya. Burhan juga menjelaskan mekanisme dari SK Rektor tentang turnitin. Setiap tesis dan disertasi yang sudah selesai dimasukan ke sebuah aplikasi bernama turnitin untuk mengetahui ada dan tidaknya plagiat dalam karya imiah tersebut. Hasil yang dikeluarkan oleh aplikasi tersebut berupa persenan. Jika hasilnya menunjukan kurang atau pas 40% ada plagiarisme maka karya ilmiah tersebut masih lolos. Menanggapi adanya sanggahan dari UNJ atas hasil yang dikeluarkan oleh tim EKA, Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) membuat tim independen sebagai penengah untuk menyelidiki kembali tuduhan adanya tindakan plagiarisme di Pascasarjana UNJ. Tim tersebut dibuat untuk membandingkan hasil dari tim EKA dan tim pembela yang dibuat oleh Djaali. Selama proses penyelidikan tim Independen di UNJ, dosen-dosen yang dilaporkan oleh Djaali atas tuduhan pencemaran nama baik bergabung dan memEDISI 47
LPM DIDAKTIKA
Mahasiswa Pascasarjana UNJ, membuat spanduk menolak kedatangan PLH Rektor UNJ
Dok. Didaktika
buat sebuah aliansi. Terhitung ada 12 dosen yang tergabung dalam aliansi. Dosen-dosen tersebut mengumpulkan data-data bukti adanya tindakan KKN dan plagiarisme di UNJ. Data-data yang berhasil mereka kumpulkan, selanjutnya mereka bawa untuk dilaporkan ke Ombudsman pada 4 September 2017. Pemanggilan dosen-dosen oleh kepolisian atas pencemaran nama baik yang berlangsung sejak Januari 2017 belum juga selesai. Setelah aliansi dosen melaporkan bukti KKN ke Ombudsman. Menurut Rahmat Hidayat, dosen Prodi Pendidikan Sosiologi pemanggilan dari kepolisian terus bertambah, “kurang lebih tiga puluh dosen mendapatkan surat panggilan dari kepolisian,” terangnya. Pada 25 September, Djaali dibebastugaskan dari jabatannya sebagai rektor UNJ oleh Kemenristekdikti digantikan sementara oleh Pelaksana Tugas Harian (Plh) Rektor Intan Ahmad. Djaali diberhentikan karena tidak menaati PP 53/2010 tentang disiplin PNS, terutama melanggar kewajiban PNS menaati segala ketentuan peraturan (pasal 3 angka 4), serta menyalahgunakan wewenang (pasal 4 angka 1) dan terlibat nepotisme (pasal 4 angka 6). Pelanggaran ini termasuk dalam kategori disiplin tingkat berat. Perlawanan Tiada Henti Pasca Djaali resmi dibebastugaskan oleh Kemenristekdikti sebagai rektor. Ia melalui penasihat hukumnya, Frans Ariatna, akan mengajukan tuntutan balik melalui jalur hukum pada Kemenristekdikti. Alasannya, Djaali tidak menerima keputusan tersebut. Menu-
Daftar Nama Anggota Aliansi Dosen UNJ : Robertus Robet Rakhmat Hidayat Ciek Juliyati Eko Siswono M. Yusro Abdi Rahmat Ubeidilah Badrun Rusfadia Saktiyanti Abdurahman Hamid Budiarti Yuanita Apriliandini Syaifudin
rutnya, keputusan tersebut adalah keputusan sepihak. Frans juga berpendapat bahwa pemecatan Djaali sebagai rektor tidak mempunyai alasan yang kuat. “Tidak jelas kenapa Djaali harus diberhentikan. Apakah karena kasus temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pelanggaran akademik, atau apa?” ujarnya. Pada 28 September 2017 Djaali menggugat Kemeneristekdikti ke PTUN dalam perkara Nomor: 196/G/2017/PTUN terkait SK Pembebasan yang dikeluarkan Kemenristekdikti tentang pemberhentiannya sebagai Rektor UNJ. Pasca dibebastugaskan Djaali menggandeng beberapa anggota Senat untuk menolak keputusan Kemenristekdikti mengenai pemberhentian dia menjadi rektor. “Senat UNJ berada di belakang Djaali,” ungkap Frans. Senin (25/9/2017), Senat UNJ mengirim pernyataan sikap kepada Kemenristekdikti. Dalam surat yang dikirim tertulis bahwa Senat menyatakan untuk mempertahankan kepemimpinan Rektor UNJ Djaali periode 2014–2018 sampai masa jabatannya selesai. Tak henti disitu, pada 5 Oktober 2017, Djaali menyampaikan aspirasi ke Komisi DPR X terkait pemberhentiannya oleh Kemenristekdikti. Kedatangan Djaali diterima dengan baik, namun, Komisi X DPR menjelaskan bahwa DPR tidak memiliki wewenang memecat menteri. Memasuki tahun baru, Djaali mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur untuk melakukan sidang pertamanya pada 8 Januari 2018 dengan nomor perkara 256/G/2017/PTUN.JKT yang dikeluarkan pada 4 Desember 2017. EDISI 47
KAMPUSIANA
Dok. Didaktika
LANDASAN USANG LPM DIDAKTIKA
dalam hal ini yaitu Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Lalu, statuta tersebut disahkan menjadi sebuah peraturan menteri. Penyusunan statuta menyesuaikan kebutuhan dan perkembangan tiap perguruan tinggi. Mengingat hal tersebut, statuta yang dimiliki Uiversitas Negeri Jakarta (UNJ) ketinggalan zaman. Statuta UNJ terakhir disahkan menjadi peraturan menteri yakni pada 2003. Meskipun tidak ada batas periode untuk sebuah statuta perguruan tinggi, akan tetapi melihat kondisi UNJ, statuta tersebut sudah tidak relevan. Jumlah fakultas misalnya. Dalam statuta 2003, fakultas yang terdaftar yaitu Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Fakultas Teknik (FT), Fakulas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), dan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK). Sedangkan saat ini, fakultas yang sudah terdaftar dalam Organisasi dan Tata Kelola (OTK) UNJ menjadi delapan dengan berdirinya Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Pendidikan Psikologi. Sedangkan FIK berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Olahraga (FIO). OTK itu disahkan menjadi Permen Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada Agustus 2016. Peraturan yang tidak relevan lainnya yaitu terkait senat. Pada statuta 2003, pasal 28 menyantumkan bahwa senat diketuai oleh Rektor. Hal ini menjadi tumpang tindih melihat pada pasal 29 yang membahas tugas pokok senat salah satunya yaitu menilai pertanggungjawaban pimpinan UNJ atas pelaksanaan kebijakan yang pernah dititipkan. Makanya tidak mengherankan apabila dalam kasus pemberhentian Djaali sebagai rektor pada September 2017, senat mengeluarkan penyataan sikap untuk mempertahankan Djaali. Sebab saat itu Djaali merangkap jabatan sebagai ketua senat. Padahal dalam OTK 2016 sudah ada penjelasan etiap perguruan tinggi wajib memiliki statuta mengenai pembeda yang jelas antara Senat dan Rektor. dalam pengelolaan dan penyelenggaraan Tri- Senat merupakan organ yang menjalankan fungsi penedharma. Hal ini terdapat dalam Peraturan Men- tapan, pertimbangan, dan pengawasan pelaksanaan teri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 139 kebijakan akademik. Sedangkan Rektor merupakan tahun 2014. Statuta sendiri merupakan peraturan dasar organ yang menjalankan fungsi penetapan kebijakan yang dijadikan landasan penyusunan peraturan dan non-akademik dan pengelolaan kampus. Akan tetapi prosedur operasional perguruan tinggi. kelemahan OTK 2016 tersebut yaitu tidak menjelaskan Statuta disusun oleh masing-masing perguruan tugas-tugas senat lebih rinci dan mengacu pada statuta tinggi yang kemudian diajukan kepada kementerian, yang mau tidak mau ke statuta 2003.
S
EDISI 47
Peraturan yang tidak relevan lainnya yaitu terkait senat. Pada statuta 2003, pasal 28 menyantumkan bahwa senat diketuai oleh Rektor. Hal ini menjadi tumpang tindih melihat pada pasal 29 yang membahas tugas pokok senat salah satunya yaitu menilai pertanggungjawaban pimpinan UNJ atas pelaksanaan kebijakan yang pernah dititipkan.
Di universitas lain, pemisahan lingkup kerja Rektor dan Senat ditegaskan dalam statuta mereka. Universitas Pendidikan Indonesia misalnya. Pada pasal pembahasa senat, yang bisa mengepalai senat adalah perwakilan dosen dengan kriteria yang telah tertulis. Hal tersebut juga terdapat dalam statuta Universitas Diponegoro. Anggota Ex-Officio, yaitu Rektor, Wakil Rektor, Dekan Fakultas, Dekan Sekolah (di UNDIP) dan Pemimpin Unit Pelaksana Pendidikan Pascasarjana atau Pemimpin Unit Pengelola Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (di UPI) dilarang menjadi ketua senat. Di masa kepemimpinan Djaali, perumusan statuta baru sempat direncanakan. “Tapi waktu itu terhambat karena OTK belum jadi,” kata Muchlis Rantoni Luddin. Kemudian, lanjut Wakil Rektor I bidang Akademik tersebut, setelah OTK menjadi Permen nomor 44, UNJ membentuk tim perumus statuta. Tim tersebut diketuai oleh Wakil Rektor IV, Achmad Ridwan. “Tapi masih tim kecil. Rumusannya belum pernah dibawa ke rapat senat,” ujar pria kelahiran Aceh dan besar di Bandung tersebut. Setelah UNJ dipimpin oleh Intan Ahmad sebagai Pelaksana Harian (Plh. Rektor), statuta kembali dirumuskan. Hal ini menjadi poin pembenahan terhadap UNJ yang ditugaskan dari menteri riset, teknologi dan LPM DIDAKTIKA
pendidikan tinggi kepada Intan. Tim peninjauan statuta tersebut diketuai oleh Bedjo Suyanto, Rektor UNJ periode 2004-2009 dan 2010-2014. Sedangkan sekretarisnya adalah Ucu Cahyana, ketua Lembaga Penelitian UNJ. “Sudah sekitar 80%,” tutur Muchlis ketika ditanyai mengenai proses pembuatan. Ditemui di tempat berbeda, Ucu Cahyana menyebutkan tengah meninjau draf statuta dari WR IV. Bicara mengenai target waktu, “selesai Januari 2018,” jawab pria sunda itu. Saat dikonfirmasi pada Intan Ahmad, ia tidak menyebutkan kapan target selesainya statuta. “(penyusunan) statuta tidak boleh terburu-buru, ini akan menjadi jangka panjang,” jelasnya. “Kita harus melihat visi UNJ ini seperti apa, mau dibawa kemana,” lanjutnya yang diwawancarai selepas rapat pimpinan di gedung rektorat. Ia menegaskan bahwa pembuatan statuta bukan hanya sekadar mengejar waktu pemilihan rektor baru UNJ. “Pemilihan rektor memang ada di dalamnya. Tapi statuta lebih besar dari itu.” Pemilihan rektor sendiri harusnya dilaksanakan pada April 2018 mendatang. Akan tetapi hingga hari ini belum ada prosedur yang ditetapkan untuk itu. Selain itu, Intan sedikit memberi penjelasan mengenai visi yang dimaksud. Menurutnya, pendidikan merupakan core business dari UNJ. “Seperti ITB dengan tekniknya, UNJ dengan pendidikan. Kita akan mengarah ke sana,” tutupnya yang langsung meluncur ke Bandung. Latifah
PLH Rektor, Intan Ahmad
Dok. Istimewa
EDISI 47
KAMPUSIANA
Menuju UNJ Baru P
asca pemberhentian Djaali sebagai rektor Universitas Negeri Jakarta (25/9), Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menunjuk Intan Ahmad sebagai pelaksana tugas harian (Plh) Rektor UNJ. Ada dua tugas yang diberikan pada Intan yaitu pertama pembenahan program Pascasarjana doktor, kedua mengawal (dan) mempersiapkan sampai ada rektor baru. Intan membentuk tim yang diketuai oleh Ilza Mayuni untuk membenahi program pascasarjana UNJ. Tim tersebut dibagi menjadi dua yaitu Tim Tata Kelola dan Tim Akademik dan Kemahasiswaan. Tata kelola berada di bawah koordinasi Agus Setyo Budi. Sedangkan akademik dan kemahasiswaan berada di bawah koordinasi Ivan Hanafi. Jumlah keseluruhan anggota tim adalah 24 anggota yang diambil dari setiap fakultas yang ada di UNJ. Salah satu anggota tim perwakilan dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Anggoro Budi Susila menjelaskan program pembenahan pascasarjana yaitu migrasi, pemetaan dosen, penjenamaan dan memperbaiki database mahasiswa Pascasarjana. Strategi pertama adalah migrasi. Migrasi merupakan program S2 terintegrasi dengan fakultas. Dimana dosen yang mengajar Pascasarjana akan diatur oleh masing-masing fakultas. Pascasarjana hanya mengurusi administrasi, dalam urusan akademik fakultas yang memiliki wewenang. Hal ini agar dosen pasca mengajar sesuai dengan keilmuannya. Sebelumnya terdapat dosen pasca mengajar tidak sesuai dengan bidangnya. “biar linear,” ucapnya. Kedua, Pemetaan dosen untuk menghindari adanya plagiarisme. Dalam pemetaan dosen ini akan ada pembatasan dosen menjadi pembimbing. Dosen pembimbing pertama hanya boleh membimbing 10 mahasiswa. Sementara pembimbing kedua masih belum dibatasi. “Kalau dulu kan satu pembimbing itu bisa membimbing sampai ratusan,” jelas Anggoro. Menurutnya, hal itulah yang memicu adanya plagiarisme di UNJ. Ketiga, Penjenamaan UNJ. Penjenamaan adalah LPM DIDAKTIKA
perbaikan nama UNJ. Menurut Anggoro, setelah kasus plagiarisme, UNJ memerlukan penjenamaan karena kasus ini mencoreng nama baik UNJ. Strategi ini dimulai dengan membuat pusat informasi yang ditempatkan di lantai satu gedung Muhammad Hatta. Di sanalah semua informasi terkait dengan Pascasarjana akan didapatkan. Nantinya, pusat informasi itu akan diisi oleh orangorang yang dianggap mengetahui Pascasarjana. Tujuannya agar tidak ada informasi yang salah mengenai Pascasarjana. Keempat, Perbaikan database mahasiswa Pascasarjana. Akan ada sistem yang mendata mahasiswa Pacasarjana agar dapat diketahui siapa aja yang masih aktif dan siapa tidak. Akan ada Drop Out gelombang
Dok. Didaktika
dua setelah 2017 lalu UNJ men-drop out 767 mahasiswa Pascasarjana . Selain strategi di atas, UNJ akan tetap fokus pada masalah publikasi. Ketua Lembaga Penelitian (Lemlit), Ucu Cahyana menjelaskan tentang fungsi lembaganya untuk meningkatkan penelitian dan publikasi dosen.salah satu caranya adalah dengan menaikan jumlah dana penelitian. Cara tersebut dianggap efektif. Selama 3 tahun terakhir, UNJ berhasil meningkatkan jumlah penelitian dan publikasi dosen. Selain itu. Lemlit juga melakukan pendampingan pada dosen dan mahasiswa S3 untuk pembuatan karya ilmiah. Pendampingan dilakukan dari pembuatan proposal, jurnal hingga mengurus Hak Kekayaan
Intelektual (HAKI). Ucu menjelaskan jika arahan Plh Rektor Intan Ahmad untuk meningkatkan publikasi. Berdasarkan rapat pimpinan, dosen yang berhasil mempublikasikan penelitiannya di Scopus akan mendapatkan intensif publikasi sebesar 10 juta. Scopus memiliki peringkat dari Q1,Q2,Q3, dan Q4. Q1 dan Q2, dosen akan mendapatkan intensif 20 juta sedangan Q3 dan Q4 mendapat intensif 15 juta. Langkah ini diambil untuk memotivasi dosen. Targetnya. Lemlit UNJ pada 2016-2020 menjadi induk penelitian, riset unggulan dan peta jalan penelitian dari prodi, fakultas hingga Universitas. Naswati EDISI 47
RESENSI BUKU
Annisa Nur Istiqomah
Judul buku Penulis Penerbit Tahun Terbit Tebal Buku
Melihat Serambi Mekah Pasca GAM
B
anyak cara untuk melihat realitas sekaligus mengkritik suatu pemerintahan, bisa lewat karya sastra, musik, seni, dan jurnalistik. Nampaknya, karya satra menjadi pilihan Arafat Nur dalam menggambarkan kondisi Aceh paska pemberontakan yang terjadi di Aceh kala itu. Arafat sudah membuat sekitar dua belas novel, beberapa diantaranya mendapat penghargaan dari Dewan kesenian jakarta (DKJ). Novel berjudul Tanah Surga Merah adalah salah satu novelnya yang menceritakan tentang pelarian seorang lelaki bernama Muad dari kejaran partai merah. Murad alias Muaz seorang mantan geriliyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sekaligus penggagas berdirinya partai Jingga (partai oposisi dari partai Merah). Pulang ke kampung halaman dengan tenang adalah yang diinginkan Murad. Setelah lima tahun melarikan diri dari Partai Merah. Kerinduan terhadap kampung halaman dan teman-teman seperjuangan, itulah motivasinya untuk memberanikan diri pulang. Ia bahkan mengubah seluruh penampilannya agar tidak diketahui oleh partai Merah. Senang bercampur takut mengantarnya ke terminal Lamlhok, Aceh. Namun sayang, belum ada sehari di Aceh, ia ditemukan dan dikroyok oleh beberapa oknum dari Partai Merah. Karena jenggotnyalah nyaanya terelamatkan. Sebab, oknum Partai Merah terkelabui oleh penampilan barunya. Seusai pengeroyokan itu, ia mengunjungi rumah Abduh, salah satu sahabatnya yang menjadi guru sejarah. Ia menumpang beberapa hari untuk menghindari pengejaran dari Partai Merah. Muad seringkali mendengarkan cerita Abduh mengenai kondisi kebobroLPM DIDAKTIKA
: Tanah Surga Merah : Arafat Nur : Gramedia : Desember 2016 : 312 hlm
kan Aceh saat ini. Hal yang sering ia keluhkan adalah kondisi generasi muda yang lebih menyukai foya-foya dan pacaran ketimbang buku. Bahkan seringkali Abduh menyebut generasi muda Aceh adalah generasi anti buku. “Aku yakin Aceh akan segera berubah dan orang-orangnya menjadi cerdas, apabila pemerintah memberlakukan hukumam tembak mati di tempat bagi siapa saja yang tidak membaca buku.” (hlm 38) Tidak hanya sampai situ, ternyata kebobrokan tersebut dibentuk oleh para penguasa. Bagaimana tidak, kepala daerah menjadi distributor sekaligus pengedar ganja. Lebih parahnya lagi, ganja tersebut diedarkan di sekolah-sekolah bahkan sampai ke Sekolah Dasar (SD) sehingga mereka sudah mengonsumsi ganja dari sejak kecil. Praktek tersebut sudah lama terjadi saat partai Merah mulai menduduki bangku kekuasaan. “Beberapa orang partai merah justru bandar dan agen pengedar ganja dan sabu yang menjualnya pada remaja dengan paket anak sekolah.” (hlm 35) Dalam mempertahankan status quo, partai merah berani menjual agama dalam kampanye pemilihan kepala daerah. Agama menjadi andalan partai merah dalam mendogma masyarakat Aceh untuk memilih mereka. Bahkan, di beberapa kampanye mereka menjuluki partainya sebagai Partai Tuhan. “Bila partai ini kalah, Tuhan akan marah pada rakyat Aceh! ini kesempatan yang diberikan Allah untuk memperbaiki nasib rakyat Aceh yang telah lama dijajah oleh orang-orang yang tak jelas agamanya. Kita bangsa besar di dunia, dan kita harus bisa menolong diri kita sendiri. Jangan terlalu berharap pengakuan
Amerika dan Inggris, mereka orang kafir, mereka tidak mungkin mendukung kita!” (hlm. 146) Tragisnya, masyarakat Aceh hanya dijadikan permainan politik kekuasaan dari partai merah. Sebab masyarakat Aceh yang kurang peduli terhadap masa depan Aceh. Selain itu, penulis juga menggambarkan daerah pelosok dari aceh yaitu Klekklok. Daerah dimana belum banyak warga tersentuh oleh pendidikan dan masih kental dengan hal-hal magis. Seperti pada adegan dimana muad menyamar menjadi Gafar Sabi, seorang tengku yang dikirim oleh pemerintah. Penduduk Klekklok menganggap tengku adalah orang suci yang mesti dikramatkan. Sehingga Gafar alias Murad sering mendapat hak istimewa di sana, bahkan kepala desa menghormati Gafar. “Saat aku terheran-heran dalam kebingungan yang tak menentu, malah ampon meraih dan mencium tanganku.”(hlm. 204) Penduduk di sana sangat tertutup dengan dunia luar. Karena ada rumor beredar, apabila ada penduduk yang keluar dari desa mereka tidak akan kembali hidup-hidup. “Pernah ada beberapa anak yan keluar dari kampung mencari seorang teungku untuk dibawa ke klekklok, tetapi tidak ada yang pernah kembali. Banyak kabar menyebutkan mereka mati di tembak tentara karena di curigai sebagai mata-mata pemberontak. Tidak ada seorang pun yang berani keluar dari kampung.” ( hlm. 214) Tidak banyak anak-anak yang dapat mengakses pendidikan sebab lokasinya diluar desa. Hanya anak kepala desa yang dapat bersekolah itupun hanya sampai kelas lima SD. “Anak-anak disini tidak ada yang sekolah, teuku. Dulu memang ada sekolah dasar di Pungget hanya dua-tiga anak di Klekklok saja yang sanggup pergi kesana.” (hlm 245) Sayangnya dalam novel ini tidak diceritakan kondisi Aceh saat GAM sehingga perlu membaca buku, berita, dan sejenisnya mengenai situasi saat itu. Misalnya, hasil reportase karya Aiyub Syah yang berjudul “ Meliput Konflik Aceh” pada 2002. Aiyub menceritakan ketegangan di aceh saat munculnya GAM. Ia menjelaskan masyarakat aceh hidup dibawah bayang-bayang ketakutan antara dua kubu Tentara Nasional Indonesia
“Aku yakin Aceh akan segera berubah dan orang-orangnya menjadi cerdas, apabila pemerintah memberlakukan hukumam tembak mati di tempat bagi siapa saja yang tidak membaca buku.” (hlm 38)
(TNI) dan GAM. Saat itu pemerintah mengeluarkan kebijakan Daerah Oprasional Militer (DOM), dimana apabila ada masyarakat aceh yang mencurigakan akan ditangkap oleh TNI. Disisi lain warga aceh juga hidup dibawah ketakutan kesewenang-wenangan GAM. Hidup mereka penuh dengan teror, suara peluru itu hal yang sering mereka dengar. Belum lagi diskriminasi yang dilakukan oleh TNI terhadap mereka. Seperti saat mayarakat Aceh melapor pembakaran rumah warga yang dilakukan GAM namun TNI acuh dengan lapuran terebut dan menganggap semua rakyat Aceh adalah GAM. Ketakutan itu mulai menghilang disaat pemerintah dan GAM membuat perjanjian damai. Setelah berdamai, nyatanya masalah belum selesai dan justru membuat masalah baru. Krisis moralitas dan pendidikan yang timbul pasca GAM. Itulah yang digambarkan oleh penulis. Baik sebelum maupun sesudah berdamai tetap saja rakyat aceh menjadi korban. Terlepas dari itu, arafat konsisten dengan alur cerita. Ini membuat cerita menjadi utuh. Cerita ini merupakan hasil reportase penulis yang tertuang dalam bentuk fiksi. Ia mampu merekonstruksi sebagai sebuah cerita yang segar tanpa terkungkung dengan penggambaran realisme. Kemudian dikemas dengan bahasa yang sederhana, lentur dan lugas. EDISI 47
RESENSI FILM
Judul Sutradara Penulis Produksi
: Phillauri : Anshai Lal : Anvita Dutt : Clean Slate Films, Fox STAR Studios Pemain : Anushka Sharma, Diljit Dosanjh, Suraj Sharma, Mehreen Pirzada
Phillauri : Kisah dari Amritsar
Naswati
S
hashi terkejut ketika melihat pria tertidur di tempat tidur yang berada di hadapannya. Dengan menggunakan kekuatannya dia mengangkat tempat tidur itu lalu menjatuhkannya. Kanan nama pria itu pun terbangun. Mereka saling berpandangan lalu berteriak. Kanan panik berlari menjauhi Shashi yang melayang. Shashi adalah hantu. Shashi ingin kembali ke pohon tempat tinggalnya, pohon itu bernama PHillauri. Namun ternyata pohon itu telah ditebang. Kanan menceritakan bahwa ia telah menikahi pohon itu agar terbebas dari kutukan sial. Shashi menyimpulkan jika Kanan otomatis telah menikahinya dengan ia menikahi pohon tempatnya tingga selama ini, karena itulah ia berada di rumah Kanan. Shashi adalah perempuan yang hidup tahun 1919. Dia merupakan adik seorang dokter. Shashi termasuk perempuan yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Ia suka menulis puisi. Diam-diam ia sering mengirim puisi-puisinya ke sebuah surat kabar dengan nama samaran Phillauri. Suatu hari, Shashi kesal karena editor meminta Phillauri untuk menunjukan identitasnya. Shashi bertemu dengan penyanyi bernama Roof Lal yang mengaku jika ia adalah Phillauri. Shashi marah menampar Roof Lal. Menurutnya, pria itu tak pantas mengaku-ngaku sebagai Phillauri. Ia berpendapat lagu yang dinyanyikan LPM DIDAKTIKA
Roof Lal itu buruk tidak ada keindahan didalamnya selaiknya puisi. Roof Lal marah namun ia pun sadar Shashi benar. Ia mencari kembali gitar dan alat tulis untuk menulis lagu baru. Dengan penampilan yang lebih rapi ia menyanyikan lagu barunya. Shashi yang sedang lewat mendengar suaranya. DIam-diam dia tersenyum. Sejak saat itu, Roof Lal akan menemukan sebuah puisi di depan pintu rumahnya. Kemudian paginya dia akan menyanyikan puisi itu. Terus begitu hingga suatu malam dia menemukan Shashi didepan pintu rumahnya. Saat itulah Shashi mengaku jika dialah Phillauri. Hubungan mereka semakin dekat, lalu mereka jatuh cinta. Ternyata saat pertama kali Roof Lal melihat Shashi ia sudah menyukainya. Suatu hari, Shashi meminta Roof Lal untuk menggantikannya sebagai Philauri. Shashi tidak bisa mengungkapkan jati dirinya. Dia meminta Roof Lal pergi ke Amritsar untuk merekam suaranya. Malam itu kakak shashi memergoki mereka berdua. Kakak shashi memukul Roof Lal karean menganggap pria itu menodai adiknya. Roof Lal meminta izin kakak shashi untuk menikahi adiknya. Ia berjanji akan menjadi pria yang pantas untuk Shashi. Makanya Roof Lal pergi ke Amritsar. Beberapa hari kemudian shashi mendapat kiriman uang dari Roof Lal. Itu adalah pembayaran Roof Lal sebagai penyanyi. Kakak Shashi mulai memberi restu karena luluh dengan kesungguhan Roof Lal. Rencananya ketika Roof Lal pulang dari Amritsar dia akan menikahi Shashi. Namun hingga malam Roof Lal Phillauri tak pernah datang. Film yang berdurasi 140 menit ini menggam-
Doc. Istimewa barkan dua kehidupan dari Shashi dan Roof Lal. Juga kehidupan masa kini Kanan dan Anu. Keduanya memiliki kisah cinta yang sama rumitnya. Jika dilihat ada benang merah yang mempertemukan mereka yaitu pernikahan. Shashi menunggu pernikahan dan Kanan yang dipaksa menikah. Dalam film ini Aushka Sharma memerankan Shashi perempuan yang berbakat dan cerdas. Namun dia harus menutupi kemampuannya karena kondisi sosial perempuan India terbatas saat itu. Perempuan tidak boleh mengemukakan pendapatnya. Alasan inilah yang membuatnya menyembunyikan identitasnya. Bisa dibayangkan jika Shashi mengaku jika dia adalah Philauri mungkin masyarakat akan menganggapnya melawan tradisi. Shashi mungkin hanya menjadi satu contoh kehidupan perempuan India saat itu. Shashi beruntung terlahir dari keluarga yang cukup berada. Sehingga Shashi bisa membaca dan menulis. Namun saat itu tentu perempuan dari kalangan bawah tak akan bisa mendapatkannya. Setiap keluarga mengganggap hanya
anak laki-laki yang memerlukan pendidikan. Disisi lain kisah Roof Lal yang diperankan oleh Diljit Dosanjh. Aktor asal Pakistan ini menjadi penyanyi yang suka mabuk-mabukan. Gambaran pemuda India yang buruk. Hal ini membuat kakak Shashi pada awalnya tidak menerimanya sebagai pendamping Shashi. Selain kisah cinta, sutradara Anshai Lal juga mengungkit suatu kejadian kejahatan kemanusiaan di India. Pembantaian Amritsar tahun 1919, dimana pemerintah Inggris menembaki warga sipil yang melakukan protes damai. Meski samar dan tidak terlalu banyak digambarkan karena Lal memfokuskan kisah percintaan Shashi dan Roof Lal. Namun film ini berhasil membangkitkan ingatan itu. Seperti halnya film India lainnya, film ini terdapat tarian dan nyanyian. Lagu dinyanyikan Roof Lal sewaktu rekaman akan mengingatkan kita pada syairsyair zaman dulu. Dengan arti lagu yang sangat bagus. Perpaduannya sangat serasi dengan latar zaman 1900an. EDISI 47
PUISI
Tertipu Babi Seorang anak menggenggam tangannya erat, dalam isap jempol sing empunya panggung di atas mimbar, topeng melekat erat di muka babi bau tak tercium, namun bisa dirasa yang bisa merasa, hanya mereka yang mampu melihat ekor si babi dengan jeli Berkata dirimu, dirinya dan yang lain : “Kita kaya! Tetapi tidur di atas alas empuk saja tidak bisa.” “Kita kaya! Tetapi makan daging dan minum susu saja susah.” “Kita kaya! Tetapi bahkan melangkah di tanah sendiri sulit.” Kelam diam, lantas mendadak menjadi babi betul Matanya memejam, mulutnya hanya terseret menyamping, kupingnya menyempit, dan perutnya membuncit. Ia turun mimbar, sambil rangkul lonte Malam tiba, Si anak, akhirnya tertidur pulas dalam lapar, ranjang kasar juga sempit. ia tidur sampai miskin betulan. terus begitu, sampai Babi menjadi Kala. Jakarta, 10 Agustus 2017
Panji Gozali, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah 2015
LPM DIDAKTIKA
KONTEMPLASI
Ilustrasi oleh Annisa Nurul Hidayah Surya
Kentut
oleh Yulia Adiningsih
EDISI 47
P
esepakbola asal Swedia, Adam Lindin Ljungkvist harus mendapatkan kartu merah karena kentut ketika ia tengah bermainan bola. Ia terpaksa harus keluar dari lapangan dan menerima keputusan wasit. Kejadian tersebut mengundang tawa sekaligus kebingungan dari penonton yang menyaksikannya. Pada umumnya, orang akan melakukan segala cara untuk menahan kentut jika sedang berada di depan umum. Entah itu memutuskan untuk diam, tak banyak bergerak atau menekan lubang pantat agar kentut itu tak keluar. Namun yang terakhir rasanya sulit dipercaya jika dilakukan di depan umum. Naas, jika kentut itu tak bisa lagi ditahan dengan berbagai cara. Tanpa permisi dan tanpa rasa dosa, gas bau itu keluar dari dubur. Manusia bisa apa? Kalau punya cukup nyali mungkin orang akan mengaku kentut dan meminta maaf. Kalau tidak, kentut itu hanya akan menjadi rahasia dirinya dan Tuhan. Beragam kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika seseorang melakukan kentut di depan umum. Pertama, orang-orang yang mencium bau kentut akan menutup hidung, mengumpat (paling tidak di dalam hati). Kemungkinan kedua seseorang akan menanyakan siapa yang kentut, lalu menganggapnya tidak sopan. Kemungkinan ketiga, orang yang mengirup bau akan bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa tetapi menggerutu dalam hati. Kentut sudah sejak lama menjadi urusan privat seseorang. Tabu untuk dilakukan dan diperbincangkan di depan umum. Perbincangan kentut sering kali dikaitkan dengan kejorokan. Jika dibandingkan dengan menguap dan mengupil, kentut masih dianggap kejorokan berat jika dilakukan di depan umum. Begitulah nasib kentut. Kentut juga bisa membentuk citra seseorang. Seorang gadis yang cantik misalnya, kentut di depan umum, gadis tersebut seakan berkurang kadar kecantikannya. Jika dipikir-pikir, mungkin akan sedikit jauh jika masalah kecantikan dikaitkan dengan kentut. Namun realitas yang ada di masyarakat adalah seperti itu. Larangan kentut di ruang publik memang tidak diatur dalam UUD 1945 atau peraturan pemerintah. Namun, banyak individu yang takut melakukannya di ruang
LPM DIDAKTIKA
publik. Alasannya tak jauh-jauh dari nilai-nilai kesopanan yang ada di Indonesia. Sehingga jika individu kentut di ruang publik maka akan mendapatkan sanksi sosial. Jika dikaitkan dengan Emile Durkheim kita dapat menyebut fenomena tersebut sebagai fakta sosial. Bagaimana sesuatu yang ada di luar individu dapat mengendalikan dan memaksa individu untuk melakukan suatu tindakan. Dalam hal ini nilai-nilai dan norma kesopanan tentang kentut adalah sesuatu hal yang memaksa individu untuk tidak kentut di ruang publik. Jika individu itu melakukannya juga, maka akan dianggap menyimpang. Fakta sosial menyebabkan seseorang tidak merasa bebas. Padahal, semua orang normal di dunia pasti pernah kentut. Kentut merupakan sesuatu yang sangat penting. Kentut atau dalam bahasa ilmiahnya flatulensi adalah peristiwa keluarnya gas hasil dari akumulasi gas di dalam perut. Kentut yang berbau dipengaruhi oleh makanan yang masuk ke dalam perut. Bisa juga karena kotoran yang tidak bisa keluar saat bisa buang air besar. Dalam istilah kesehatan, gas bau pada kentut itu disebut hydrogen sulphide. Kentut mempunyai banyak manfaat bagi manusia. Kentut bisa mengurangi kembung, mencegah kanker, menghindari masalah pencernaan dan masih banyak lagi. Itu juga berlaku bagi orang yang hanya menghirup bau kentut. Kentut bukan sekadar buang gas dari dubur saja, melainkan juga kebutuhan. Setiap kentut yang dikeluarkan adalah penting. Menahan kentut tidak baik untuk kesehatan. Meskipun kentut mempunyai banyak manfaat, namun tetap saja menahan kentut di depan umum tetap banyak dilakukan. Konstruksi sosial yang negatif mengenai kentut dan sanksi sosial menyebabkan orang lebih memilih menahan kentut. Konstruksi yang tertanam adalah kesehatan urusan pribadi, sedangkan moral urusan bersama. Hal ini yang banyak menyebabkan orang lebih memilih menomorsatukan nilai-nilai dan norma ketimbang kesehatan serta kebebasan.
EDISI 47
LPM DIDAKTIKA