Edisi 11/2015
Punya pertanyaan terkait permasalahan agama? Kirim pertanyaanmu via sms ke nomor 085727085887
Sholat Isya Jelang Subuh Pertanyaan: Assalamu'alaikum ustadz. Pernah suatu kali sehabis shalat maghrib, karena saking capeknya, saya tidur. Ternyata saya tidur sampai jam setengah empat pagi. Kebetulan saya belum shalat isya, jadi saya salat isya sesaat setelah bangun. Suatu kali saya menceritakan kejadian ini pada seseorang dan dia mengatakan bahwa shalat isya saya percuma karena sudah menjelang subuh. Saya pikir batas waktu shalat isya jam segitu masih sempat. Menurut ustad bagaimana ya? Nuwun.. (Contrue, Sleman) Jawaban: Wa'alaikumsalam. Waktu shalat Isya' dimulai sejak hilangnya mega merah di ufuk barat atau kira-kira pukul 19.00 WIB. Sedangkan ulama berbeda pendapat mengenai akhir waktu shalat Isya': 1) Menurut Umar bin Khathab dan Abu Hurayrah berdasarkan hadits Abu Musa dan Ibnu Abbas, bahwa akhir waktu Isya' adalah 1/3 malam; 2) Menurut Al-Tsauri, Ibnu Hazm, dan Ishaq, bahwa akhir waktu Isya' adalah 1/2 malam (nisfu layl) berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Ash dan Abu Said al-Khudri; 3) Menurut mayoritas ulama, akhirnya waktu Isya adalah terbitnya fajar berdasarkan hadits riwayat Abu Qatadah. Selain itu perlu diketahui bahwa di kalangan madzhab 4 terjadi perbedaan pendapat mengenai waktu dibebaskannya melaksakan shalat Isya' (waqtul ikhtiyar) dan waktu darurat shalat Isya' (waqtu dharurat). Menurut madzhab Malikiyah dan Hanbaliyah, sengaja mengakhirkan shalat Isya' setelah waktu 1/3 malam apabila tanpa udzur seperti ketiduran hukumnya adalah haram meskipun shalatnya dikategorikan shalat pada waktunya (ada'). Menurut Hanafiyah, sengaja mengakhirkan shalat Isya' hingga 1/3 malam tanpa kendala seperti ketiduran hukumnya makruh. Menurut Syafi'iyah, shalat Isya' utamanya dilakukan pada awal waktu. Namun boleh dilakukan hingga menjelang terbitnya fajar. Dalam kasus di atas, shalat Isya' dilakukan pada pukul 03.30 karena ketiduran, maka hukum shalatnya sah, tidak percuma, tidak haram maupun makruh, dan dikategorikan shalat pada waktunya (ada') menurut mayoritas ulama.
4
Buletin SANTRI Edisi 11 Jum’at, 01 Mei 2015
Donasi buletin Santri dapat dikirim melalui:
“
“
Islam itu ajaran yang baik, membawa kedamaian dan keselamatan. Apabila terjadi keburukan, atau banyaknya kekerasan yang terjadi di Arab misalnya, jangan disalahkan agamanya, akan tetapi pribadi atau oknumnya tersebutlah yang bermasalah
Bank BRI Syariah No. Rekening 102 040 1617 a/n Sarjoko
Keberislaman di Arab Saudi Oleh Irza A. Syaddad* eberapa hari yang lalu (14/4/2015), di Arab Saudi, tepatnya di Madinah, terjadi pelaksanaan eksekusi mati oleh Zainab, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Madura. Zainab menjadi tersangka atas kasus pembunuhan istri majikannya yang bernama Noura al-Morobei pada 1999. Lebih dari 15 tahun, Zainab menunggu hasil hukuman qishos-nya tersebut—dibebaskan atau tetap dihukum—karena menunggu ahli waris korban hingga baligh (dewasa). Tidak berselang lama, pada hari Kamis (16/4/2015), Kerajaan Arab Saudi kembali mengguncang masyarakat Indonesia, dengan pelaksanaan hukuman mati bagi Karni. Karni
adalah TKW asal Brebes yang menjadi terpidana kasus pembunuhan Tala al-Syihri, anak majikannya, pada 26 September 2012. Karena keluarga korban menolak permohonan maaf dari keluarga Karni dan juga pemerintah Indonesia, maka eksekusi Karni tetap dilaksanakan. Selain peristiwa Zainab dan Karni, ada peristiwa lain yang berkenaan dengan Warga Negara Indonesia (WNI) yang hidup di Arab Saudi. Dalam suatu perjalanan pulang dari Madinah (27/3/2015), saya bertemu dengan sekelompok Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di terminal bus Riyadh. Awalnya saya mengira mereka baru datang dari bandara Riyadh,
Buletin SANTRI Edisi 11 Jum’at, 01 Mei 2015
1
untuk kemudian menuju tempat kerja mereka. Tapi ternyata dugaan saya salah. Kedatangan mereka ke Riyadh adalah untuk mengadu ke Kedutaan Besar (Kedubes) Indonesia, terkait pemukulan yang dilakukan oleh majikan. Walaupun yang menjadi korban “hanya” dua orang, namun solidaritas mereka diacungi jempol. Sekitar 24 orang tersebut kompak untuk mogok dari pekerjaannya. Selain pemukulan, alasan lain yang mendasari mereka pergi ke Kedubes adalah gaji yang tidak sesuai dengan perjanjian dan majikan sering nunggak dalam memberikan gaji. Dari pemaparan realitas ini, muncul beberapa pertanyaan yang mengusik oleh saya: Mengapa Arab Saudi yang notabene sistem pemerintahnya berlandaskan pada hukum Islam, namun sering terjadi tindak kekerasan terhadap para TKI? Padahal, di dalam sebuah hadis yang saya pahami, dijelaskan dalam Sunan Ibn Majah, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya” (Ibn Majah: 2434). Di sini ada kontradiksi, dalam setiap kesempatan para ulamanya selalu menekankan untuk melakukan sunnah Nabi—sampai-sampai ada istilah ahli bid’ah yang disematkan kepada seseorang yang melakukan ibadah dan perbuatan yang tidak dilakukan oleh Nabi—akan tetapi, mengapa mereka mengabaikan hadis yang dekat dengan kehidupan mereka itu? Di sinilah saya timbul pertanyaan. Islam Arab Saudi Sebelum memulai pembahasan Islam Arab Saudi, ada baiknya kita kaji dulu term ‘Islam Arab’ dewasa ini. Sejauh yang saya tahu, ‘Islam Arab muncul ketika di Timur Tengah sering terjadi penyerangan dan kekerasan yang mengatasnamakan Islam: Boko Haram, Islamic State of Iraq-Syiria (ISIS) dan al-Houthi,
Buletin SANTRI Edisi 11 Jum’at, 01 Mei 2015
yang baru-baru ini di Yaman. Kemudian, dalam rangka “menandingi genre” Islam tersebut, beberapa tokoh di Indonesia kemudian “memunculkan” istilah ‘Islam Nusantara’, Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin. Dengan demikian, asumsi awal yang diterima oleh pembaca adalah: ‘Islam Arab’ yaitu Islam yang mengusung kekerasan sebagai solusi dari setiap persoalan, dan ‘Islam Indonesia’ berkebalikan darinya, yaitu berlandaskan pada asas perdamaian (salam). Akan tetapi, ada persoalan di sini. Terlalu gegabah dan tergesa-gesa jika frasa yang begitu luas ini disematkan pada perkara yang sifatnya partikular. Terlalu mengeneralisir. Atau, kalaupun memang terjadi secara luas, hal itu tidak dapat digunakan dasar untuk menetapkan “sebuah kebenaran” bahwa watak Islam di Arab Saudi adalah keras. Demikian halnya ‘Islam Nusantara’ yang belakangan ini marak dipakai oleh berbagai kalangan. Untuk memudahkannya, saya akan membedahnya melalui beberapa contoh sebagaimana yang saya alami disini. Keluhan mengenai ketidakadilan dan kekerasan yang menimpa para TKI memang sering mengemuka di berbagai media. Walaupun demikian, dalam beberapa kesempatan, saya juga bertemu dengan TKI yang amat dihargai oleh majikannya. Misalnya ketika ziarah di Masjid Nabawi, saya bertemu dengan seorang ibu yang berasal dari Jawa Barat. Beliau telah bekerja di Madinah selama kurang lebih 5-7 tahun. Dengan raut wajah ceria, sembari menyiapkan roti dan teh hangat secara cuma-cuma untuk kami. Beliau pun menceritakan kebaikan-kebaikan majikannya: sering diajak umrah; juga sesekali berhaji bersama keluarga majikannya; dan pada harihari tertentu—seperti hari itu—majikannya memberikan aneka makanan, baik berupa roti, kurma dan minuman kepada jemaah yang
berkunjung ke Masjid Nabawi. Selain ibu tersebut, saya juga beberapa kali bertemu dengan TKI yang dihargai oleh majikannya. Kemudian, dalam perjalanan pulang dari Madinah, saya menemukan peristiwa yang unik. Sebagaimana yang tersiar di luar, bahwa Arab Saudi adalah negara yang tidak ramah pada perempuan. Akan tetapi, pada saat tersebut, saya menemukan hal yang berbeda. Perempuan di sini, baik Su’udiyyah (Pribumi Arab) maupun ajnabiyyah (NonArab), terkhusus dalam bepergian dengan kendaraan umum, mereka ditempatkan di bagian depan. Dan walaupun tidak terdapat perempuan yang naik, bangku depan masih tetap dikosongkan. Ada juga cerita lain dari TKI yang bekerja sebagai supir. Berdasar penuturannya, jika dua mobil kecelakaan, dan di salah satu mobil terdapat penumpang perempuan, maka yang menjadi tersangka adalah pengemudi mobil yang lain. Kendati demikian, kita tidak bisa langsung menarik sebuah kesimpulan, bahwa keberIslaman di Arab Saudi nampak keras, apalagi dengan dibuktikan mazhab fiqh yang diambil oleh mayoritas orang Arab: mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam melakukan pembacaan teks sumber hukum pun, mereka juga lebih condong ke arah literal, bukan kontekstual. Akan tetapi, wajah tersebut tidak dapat begitu saja menafikan wajah lain, yaitu wajah moderat dan inklusif. Lebih jauh lagi, term ‘Islam Timur Tengah’ yang selama ini mendapat stigma negatif pun, tak semuanya bersikap demikian. Kita bisa melihatnya dari undang-undang dan karya yang mereka ciptakan: buku, film, dan karya sastra (Clemens Recker: 2010). Sebagai penutup, saya akan menyampaikan “ambiguitas” hukum Islam di
Arab Saudi. Kita ketahui, sebagian besar pembacaan ulama Arab Saudi adalah literal (berdasarkan teks dan tidak mau melihat realitas atau konteks yang tengah terjadi). Salah satu contoh hasil ijtihad mereka adalah haramnya bercampur-baur (ikhtilath) dengan lawan jenis. Akan tetapi, pada faktanya, peraturan seperti ini tidak berlaku di area Makkah, tepatnya di Masjidil Haram. Di sana, kita akan menemukan lautan manusia yang tak tersekat. Laki-laki maupun perempuan membaur menjadi satu. Baik ketika thawaf, sa’i, hingga salat berjamaah. Pemandangan seperti ini tidak akan kita temui di dalam Masjid Nabawi—bukan pada pelatarannya—yang membuat hijab antara jama’ah laki-laki dan perempuan. Di dalam sebuah diskusi dengan seorang teman, komentarnya mengenai fenomena tersebut, di balik wajah Arab Saudi yang fundamental, keras, terlihat garang, ternyata tersembunyi wajah lain yang luwes dan ramah. Bukan Islam marah. Mereka juga menghormati manusia, santun dalam berikap, dan pada hemat saya; itulah wajah Islam yang sebenarnya. Sehingga saya menarik sebuah kesimpulan, bahwa Islam itu ajaran yang baik, membawa kedamaian dan keselamatan. Apabila terjadi keburukan, atau banyaknya kekerasan yang terjadi di Arab misalnya, jangan disalahkan agamanya, akan tetapi pribadi atau oknumnya tersebutlah yang bermasalah. Wallahhu a’lam. *Penulis adalah seorang santri yang kini sedang menuntut ilmu di Riyadh, Arab Saudi.
Buletin santri diterbitkan oleh Jaringan GUSDURian Yogyakarta Pemimpin Redaksi Sarjoko Sekretaris Redaksi Rifki Fairuz Redaktur Khotim, Sholikin, Autad, Laela, Agung Sirkualsi Atqiya’, Abu Harris, Mukhibullah, Anita, Gati, Ahmad, Zein, Ubaid, Website santrigusdur.com Hotline: 085727085887 Email: buletin.santri@gmail.com
Buletin SANTRI Edisi 11 Jum’at, 01 Mei 2015
untuk kemudian menuju tempat kerja mereka. Tapi ternyata dugaan saya salah. Kedatangan mereka ke Riyadh adalah untuk mengadu ke Kedutaan Besar (Kedubes) Indonesia, terkait pemukulan yang dilakukan oleh majikan. Walaupun yang menjadi korban “hanya” dua orang, namun solidaritas mereka diacungi jempol. Sekitar 24 orang tersebut kompak untuk mogok dari pekerjaannya. Selain pemukulan, alasan lain yang mendasari mereka pergi ke Kedubes adalah gaji yang tidak sesuai dengan perjanjian dan majikan sering nunggak dalam memberikan gaji. Dari pemaparan realitas ini, muncul beberapa pertanyaan yang mengusik oleh saya: Mengapa Arab Saudi yang notabene sistem pemerintahnya berlandaskan pada hukum Islam, namun sering terjadi tindak kekerasan terhadap para TKI? Padahal, di dalam sebuah hadis yang saya pahami, dijelaskan dalam Sunan Ibn Majah, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya” (Ibn Majah: 2434). Di sini ada kontradiksi, dalam setiap kesempatan para ulamanya selalu menekankan untuk melakukan sunnah Nabi—sampai-sampai ada istilah ahli bid’ah yang disematkan kepada seseorang yang melakukan ibadah dan perbuatan yang tidak dilakukan oleh Nabi—akan tetapi, mengapa mereka mengabaikan hadis yang dekat dengan kehidupan mereka itu? Di sinilah saya timbul pertanyaan. Islam Arab Saudi Sebelum memulai pembahasan Islam Arab Saudi, ada baiknya kita kaji dulu term ‘Islam Arab’ dewasa ini. Sejauh yang saya tahu, ‘Islam Arab muncul ketika di Timur Tengah sering terjadi penyerangan dan kekerasan yang mengatasnamakan Islam: Boko Haram, Islamic State of Iraq-Syiria (ISIS) dan al-Houthi,
Buletin SANTRI Edisi 11 Jum’at, 01 Mei 2015
yang baru-baru ini di Yaman. Kemudian, dalam rangka “menandingi genre” Islam tersebut, beberapa tokoh di Indonesia kemudian “memunculkan” istilah ‘Islam Nusantara’, Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin. Dengan demikian, asumsi awal yang diterima oleh pembaca adalah: ‘Islam Arab’ yaitu Islam yang mengusung kekerasan sebagai solusi dari setiap persoalan, dan ‘Islam Indonesia’ berkebalikan darinya, yaitu berlandaskan pada asas perdamaian (salam). Akan tetapi, ada persoalan di sini. Terlalu gegabah dan tergesa-gesa jika frasa yang begitu luas ini disematkan pada perkara yang sifatnya partikular. Terlalu mengeneralisir. Atau, kalaupun memang terjadi secara luas, hal itu tidak dapat digunakan dasar untuk menetapkan “sebuah kebenaran” bahwa watak Islam di Arab Saudi adalah keras. Demikian halnya ‘Islam Nusantara’ yang belakangan ini marak dipakai oleh berbagai kalangan. Untuk memudahkannya, saya akan membedahnya melalui beberapa contoh sebagaimana yang saya alami disini. Keluhan mengenai ketidakadilan dan kekerasan yang menimpa para TKI memang sering mengemuka di berbagai media. Walaupun demikian, dalam beberapa kesempatan, saya juga bertemu dengan TKI yang amat dihargai oleh majikannya. Misalnya ketika ziarah di Masjid Nabawi, saya bertemu dengan seorang ibu yang berasal dari Jawa Barat. Beliau telah bekerja di Madinah selama kurang lebih 5-7 tahun. Dengan raut wajah ceria, sembari menyiapkan roti dan teh hangat secara cuma-cuma untuk kami. Beliau pun menceritakan kebaikan-kebaikan majikannya: sering diajak umrah; juga sesekali berhaji bersama keluarga majikannya; dan pada harihari tertentu—seperti hari itu—majikannya memberikan aneka makanan, baik berupa roti, kurma dan minuman kepada jemaah yang
berkunjung ke Masjid Nabawi. Selain ibu tersebut, saya juga beberapa kali bertemu dengan TKI yang dihargai oleh majikannya. Kemudian, dalam perjalanan pulang dari Madinah, saya menemukan peristiwa yang unik. Sebagaimana yang tersiar di luar, bahwa Arab Saudi adalah negara yang tidak ramah pada perempuan. Akan tetapi, pada saat tersebut, saya menemukan hal yang berbeda. Perempuan di sini, baik Su’udiyyah (Pribumi Arab) maupun ajnabiyyah (NonArab), terkhusus dalam bepergian dengan kendaraan umum, mereka ditempatkan di bagian depan. Dan walaupun tidak terdapat perempuan yang naik, bangku depan masih tetap dikosongkan. Ada juga cerita lain dari TKI yang bekerja sebagai supir. Berdasar penuturannya, jika dua mobil kecelakaan, dan di salah satu mobil terdapat penumpang perempuan, maka yang menjadi tersangka adalah pengemudi mobil yang lain. Kendati demikian, kita tidak bisa langsung menarik sebuah kesimpulan, bahwa keberIslaman di Arab Saudi nampak keras, apalagi dengan dibuktikan mazhab fiqh yang diambil oleh mayoritas orang Arab: mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam melakukan pembacaan teks sumber hukum pun, mereka juga lebih condong ke arah literal, bukan kontekstual. Akan tetapi, wajah tersebut tidak dapat begitu saja menafikan wajah lain, yaitu wajah moderat dan inklusif. Lebih jauh lagi, term ‘Islam Timur Tengah’ yang selama ini mendapat stigma negatif pun, tak semuanya bersikap demikian. Kita bisa melihatnya dari undang-undang dan karya yang mereka ciptakan: buku, film, dan karya sastra (Clemens Recker: 2010). Sebagai penutup, saya akan menyampaikan “ambiguitas” hukum Islam di
Arab Saudi. Kita ketahui, sebagian besar pembacaan ulama Arab Saudi adalah literal (berdasarkan teks dan tidak mau melihat realitas atau konteks yang tengah terjadi). Salah satu contoh hasil ijtihad mereka adalah haramnya bercampur-baur (ikhtilath) dengan lawan jenis. Akan tetapi, pada faktanya, peraturan seperti ini tidak berlaku di area Makkah, tepatnya di Masjidil Haram. Di sana, kita akan menemukan lautan manusia yang tak tersekat. Laki-laki maupun perempuan membaur menjadi satu. Baik ketika thawaf, sa’i, hingga salat berjamaah. Pemandangan seperti ini tidak akan kita temui di dalam Masjid Nabawi—bukan pada pelatarannya—yang membuat hijab antara jama’ah laki-laki dan perempuan. Di dalam sebuah diskusi dengan seorang teman, komentarnya mengenai fenomena tersebut, di balik wajah Arab Saudi yang fundamental, keras, terlihat garang, ternyata tersembunyi wajah lain yang luwes dan ramah. Bukan Islam marah. Mereka juga menghormati manusia, santun dalam berikap, dan pada hemat saya; itulah wajah Islam yang sebenarnya. Sehingga saya menarik sebuah kesimpulan, bahwa Islam itu ajaran yang baik, membawa kedamaian dan keselamatan. Apabila terjadi keburukan, atau banyaknya kekerasan yang terjadi di Arab misalnya, jangan disalahkan agamanya, akan tetapi pribadi atau oknumnya tersebutlah yang bermasalah. Wallahhu a’lam. *Penulis adalah seorang santri yang kini sedang menuntut ilmu di Riyadh, Arab Saudi.
Buletin santri diterbitkan oleh Jaringan GUSDURian Yogyakarta Pemimpin Redaksi Sarjoko Sekretaris Redaksi Rifki Fairuz Redaktur Khotim, Sholikin, Autad, Laela, Agung Sirkualsi Atqiya’, Abu Harris, Mukhibullah, Anita, Gati, Ahmad, Zein, Ubaid, Website santrigusdur.com Hotline: 085727085887 Email: buletin.santri@gmail.com
Buletin SANTRI Edisi 11 Jum’at, 01 Mei 2015
Edisi 11/2015
Punya pertanyaan terkait permasalahan agama? Kirim pertanyaanmu via sms ke nomor 085727085887
Sholat Isya Jelang Subuh Pertanyaan: Assalamu'alaikum ustadz. Pernah suatu kali sehabis shalat maghrib, karena saking capeknya, saya tidur. Ternyata saya tidur sampai jam setengah empat pagi. Kebetulan saya belum shalat isya, jadi saya salat isya sesaat setelah bangun. Suatu kali saya menceritakan kejadian ini pada seseorang dan dia mengatakan bahwa shalat isya saya percuma karena sudah menjelang subuh. Saya pikir batas waktu shalat isya jam segitu masih sempat. Menurut ustad bagaimana ya? Nuwun.. (Contrue, Sleman) Jawaban: Wa'alaikumsalam. Waktu shalat Isya' dimulai sejak hilangnya mega merah di ufuk barat atau kira-kira pukul 19.00 WIB. Sedangkan ulama berbeda pendapat mengenai akhir waktu shalat Isya': 1) Menurut Umar bin Khathab dan Abu Hurayrah berdasarkan hadits Abu Musa dan Ibnu Abbas, bahwa akhir waktu Isya' adalah 1/3 malam; 2) Menurut Al-Tsauri, Ibnu Hazm, dan Ishaq, bahwa akhir waktu Isya' adalah 1/2 malam (nisfu layl) berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Ash dan Abu Said al-Khudri; 3) Menurut mayoritas ulama, akhirnya waktu Isya adalah terbitnya fajar berdasarkan hadits riwayat Abu Qatadah. Selain itu perlu diketahui bahwa di kalangan madzhab 4 terjadi perbedaan pendapat mengenai waktu dibebaskannya melaksakan shalat Isya' (waqtul ikhtiyar) dan waktu darurat shalat Isya' (waqtu dharurat). Menurut madzhab Malikiyah dan Hanbaliyah, sengaja mengakhirkan shalat Isya' setelah waktu 1/3 malam apabila tanpa udzur seperti ketiduran hukumnya adalah haram meskipun shalatnya dikategorikan shalat pada waktunya (ada'). Menurut Hanafiyah, sengaja mengakhirkan shalat Isya' hingga 1/3 malam tanpa kendala seperti ketiduran hukumnya makruh. Menurut Syafi'iyah, shalat Isya' utamanya dilakukan pada awal waktu. Namun boleh dilakukan hingga menjelang terbitnya fajar. Dalam kasus di atas, shalat Isya' dilakukan pada pukul 03.30 karena ketiduran, maka hukum shalatnya sah, tidak percuma, tidak haram maupun makruh, dan dikategorikan shalat pada waktunya (ada') menurut mayoritas ulama.
4
Buletin SANTRI Edisi 11 Jum’at, 01 Mei 2015
Donasi buletin Santri dapat dikirim melalui:
“
“
Islam itu ajaran yang baik, membawa kedamaian dan keselamatan. Apabila terjadi keburukan, atau banyaknya kekerasan yang terjadi di Arab misalnya, jangan disalahkan agamanya, akan tetapi pribadi atau oknumnya tersebutlah yang bermasalah
Bank BRI Syariah No. Rekening 102 040 1617 a/n Sarjoko
Keberislaman di Arab Saudi Oleh Irza A. Syaddad* eberapa hari yang lalu (14/4/2015), di Arab Saudi, tepatnya di Madinah, terjadi pelaksanaan eksekusi mati oleh Zainab, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Madura. Zainab menjadi tersangka atas kasus pembunuhan istri majikannya yang bernama Noura al-Morobei pada 1999. Lebih dari 15 tahun, Zainab menunggu hasil hukuman qishos-nya tersebut—dibebaskan atau tetap dihukum—karena menunggu ahli waris korban hingga baligh (dewasa). Tidak berselang lama, pada hari Kamis (16/4/2015), Kerajaan Arab Saudi kembali mengguncang masyarakat Indonesia, dengan pelaksanaan hukuman mati bagi Karni. Karni
adalah TKW asal Brebes yang menjadi terpidana kasus pembunuhan Tala al-Syihri, anak majikannya, pada 26 September 2012. Karena keluarga korban menolak permohonan maaf dari keluarga Karni dan juga pemerintah Indonesia, maka eksekusi Karni tetap dilaksanakan. Selain peristiwa Zainab dan Karni, ada peristiwa lain yang berkenaan dengan Warga Negara Indonesia (WNI) yang hidup di Arab Saudi. Dalam suatu perjalanan pulang dari Madinah (27/3/2015), saya bertemu dengan sekelompok Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di terminal bus Riyadh. Awalnya saya mengira mereka baru datang dari bandara Riyadh,
Buletin SANTRI Edisi 11 Jum’at, 01 Mei 2015
1