Edisi 13/2015
Apakah Tuhan Laki-Laki? Pertanyaan: Assalamualaikum. Nyuwun sewu ustadz bade tangklet. saya pernah ditanya murid saya, Di dalam do'a, sering kali kita memanggil Tuhan dengan "Anta". Sedangkan didalam Surat al-Ikhlas, Tuhan menyebutnya dengan "Huwa". Apakah jenis kelamin Tuhan itu cowok ustadz? Mksh atas pencerahannya. Aan, Ta'mir mushola Nurul Iman. 23 th.
Jawaban: Waalaikumsalam. Dalam QS. Al-Syura: 11 diterangkan bahwa tidak ada suatu perkara yang menyamai Allah. Allah juga tidak bisa dikategorikan kepada jenis mudzakkar (maskulin) maupun muannats (feminin). Dalam bahasa Arab, Allah memang sering ditunjuk dengan kata "anta" yang artinya Engkau laki-laki, bukan "anti" yang artinya engkau perempuan. Demikian pula kata ganti/dhamir bagi Allah adalah "huwa" yang artinya Dia laki-laki, bukan "hiya" yang artinya Dia perempuan. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena bahasa Arab sangatlah terbatas sedangkan Allah Maha Tak Terbatas. Bahasa Arab yang terbatas tidak mampu mendeskripsikan sifat Allah secara menyeluruh. Selain itu, aturan mudzakar dan muannats dalam bahasa Arab tidaklah kaku dan saklek. Buktinya ada banyak kata benda yang tidak menunjukkan mudzakar maupun muannats, seperti kata "jabal" (gunung), hajar (batu), dan khasyab (kayu). Dalam bahasa Arab banyak al-muhayid, yakni kata-kata yang tidak menunjukkan mudzakar maupun muannats. Dalam bahasa Inggris juga dikenal istilah "neuter" yakni kata yang tidak menunjukkan maskulin maupun feminin. Namun belakangan ini ada sejumlah aktivis gender yang mempertanyakan ulang kesan bias gender dalam bahasa Arab yang menyebut Allah dengan kata mudzakar dan bukan muannats. Diantaranya adalah seorang aktivis gender bernama Nawal Sa'dawi.
4
Buletin SANTRI Edisi 13 Jum’at, 15 Mei 2015
Tubuh Islam Perlu Istirahat Oleh: Candra Malik*
A s s a l a m u' a l a i k u m w a r a h m a t u l l a h i wabarakatuh. aya menulis ini dalam perjalanan dari Bandung menuju Cirebon untuk memenuhi undangan Mbah Din menghadiri Haul Buntet Pesantren, Sabtu 4 April 2015. Pun saya menulis ini setelah sehari sebelumnya bercakap-cakap via pesan pendek dengan Prof K.H. Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand. Ia paparkan kesedihannya tentang keadaan umat Islam hari-hari ini. Semakin banyak yang menggugat: Islam tapi tidak Islami. Islam seakan-akan kehilangan ruh
S
rahmatan lil 'alamin. Siapa bilang Islam kehilangan ruh? Ruh tidak melenyap, tidak pula menguap. Ruh beda dengan tubuh yang memang bisa letih, terluka, sakit, menua, dan mati. Raga mengalami dikunyahkunyah oleh bumi hingga remuk dagingnya dan tinggal tulang-belulang belaka di tanah kubur. Tidak demikian halnya dengan ruh. Ia memang bukan baru, bukan pula terbarukan. Ruh itu siratan keabadian Cahaya Maha Cahaya yang tak lekang. Yang menghilang itu tubuh. Dan, jika dalam hal ini adalah Islam, maka yang Buletin SANTRI Edisi 13 Jum’at, 15 Mei 2015
1
menghilang adalah tubuh Islam. Tapi, menghilang pun sesungguhnya bukan pilihan diksi yang tepat. Jika yang dimaksud adalah hilang kontak, nah, iya. Tidak usah terlalu muluk, dalam hal saling berpapasan saja kini semakin jarang ditemukan sesama Muslim yang saling sapa—apalagi saling menebar ucapan “Assalamu'alaikum.” Lewat ya lewat saja. Bahkan tidak pakai permisi. Kita punya masalah besar dalam berkomunikasi sesama Muslim. Orang Islam zaman sekarang sibuk mengurusi amalan. Banyak pula yang mengurusi ramalan. Sampai-sampai lupa merawat tradisi kebaikan yang paling sederhana: uluk-salam. Padahal, segala sesuatu itu diatur sedemikian rupa agar harmonis dan dinamis. Ya, memang amal yang kelak pertama ditanyakan, dan amal yang pertama ditanyakan itu adalah shalat. Tapi, saya meyakini bahwa ibarat membaca buku, amal bukan bab pertama buku hidup. Sebelum amal, yang lebih awal adalah ilmu. Sebelum ilmu, yang lebih awal lagi adalah adab atau tatakrama. Sebelum adab atau tatakrama, yang lebih awal lagi—bahkan yang paling awal dan menjadi dasar bagi adab, ilmu, dan amal—ialah akhlak. Dan, tugas utama dari kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak mulia. Perilaku adab, perbuatan ilmu, dan tindakan amal didasari lelaku akhlak. Jika teknologi ibarat persenyawaan antara ilmu dan amal, layak diakui bahwa teknologi memang maju, tapi peradaban ternyata mundur. Jika
Buletin SANTRI Edisi 13 Jum’at, 15 Mei 2015
kesederhanaan adalah pencapaian tertinggi manusia, kini yang terjadi adalah penyederhanaan. Padahal, penyederhanaan berbeda jauh dengan kesederhanaan. Kesederhanaan itu alamiah, penyederhanaan itu ilmiah. Semakin ke sini sekarang harus semakin ilmiah. Tanpa dalil seolah-olah manusia tidak bisa hidup dan bergerak. Padahal, akhlak tidak membutuhkan dalil. Akhlak membutuhkan keterlibatan jiwa raga sepenuhnya, seutuhnya, dan seluruhnya, dalam berserah. Rendah diri di hadapan Allah dan rendah hati di hadapan sesama makhluk Allah. Dan, kesederhanaan diri serta hati itulah prestasi terbesar Muhammad SAW. Ia diangkat ke derajat yang setinggi-tingginya tinggi, bahkan yang lebih tinggi dari yang paling tinggi, justru karena berhasil merendahkan dirinya serendah-rendahnya rendah kepada Allah SWT dan merendahkan hatinya pun sedemikian rupa kepada makhluk Allah. Jelas-jelas ditunjukkan dalam Q.S. Al Isra': 1 bahwa Allah SWT memperjalankan Muhammad SAW dalam Isra' Mi'raj bukan dalam kedudukannya sebagai Nabi, Rasul, atau Pemimpin Umat, melainkan dalam kedudukannya sebagai Hamba Allah. Kenyataan ini sesungguhnya sangat terang memerlihatkan betapa Allah Maha Baik dan setiap diri kita memiliki kesempatan yang sama diperjalankan oleh Allah Yang Maha Suci. Hanya saja, persoalannya adalah mana mau kita menghamba? Mana mau kita menjadi hamba? Kita lebih suka menjadi tuhan. Bermain sebagai tuhan. Mengadili
memberi kesesatan kepada siapa pun dan menghukum sesama makhluk yang Dia Kehendaki dan tak ada yang dengan mengatasnamakan Tuhan. mampu memberi petunjuk setelah Memilih siapa masuk surga, memilah datang kesesatan itu, selain Allah. siapa masuk neraka—padahal ini di dunia. Tubuh Islam sedang sakit. Luka Klasik, memang, mengatakan dalam dan luka luar. Anggota tubuh saling bahwa perbedaan pendapat adalah mengingkari satu sama lain seolah berasal rahmat yang sepatutnya kita syukuri. tidak dari asal-muasal yang sama. Kita Faktanya, perselisihan terjadi di perlu istirahat sejenak. Take a bedmana-mana, sampai-sampai rest. Mengingat Allah dalam menemukan ayat-ayat posisi berbaring dulu saja. yang beraroma Dalam posisi berdiri, kekerasan menjadi “sampai-sampai menemukan ternyata kita suka jauh lebih mudah ayat-ayat yang beraroma menuding-nuding dibanding mencari kekerasan menjadi jauh lebih saudara sendiri. Dalam ayat-ayat tentang mudah dibanding mencari ayatposisi duduk, ternyata kelembutan. ayat tentang kelembutan.” kita suka menggebrak Seolah-olah lembut meja. Perang pun itu lemah. Perang, mengenal gencatan senjata, d a l a m a r t i diplomasi, dan perdamaian. sesungguhnya yakni adu Mari hentikan perang dan mulai fisik sampai mengakibatkan damai. Mulai lagi tradisi kebaikan Islam korban jiwa, seperti api yang menyala yang bijak bestari: uluk-salam. lagi, menyala lagi. Tak lama padam, bara Wassalamu'alaikum warahmatullahi tersambar angin dan menyala lagi. wabarakatuh. Membakar amarah kita. Bandung-Cirebon, 4 April 2015 Dakwah itu mengajak, perang itu memaksa. Dakwah itu menjadi kawan, *Penulis adalah pengarang buku Makrifat perang itu menjadi lawan. Sehebat-hebat Cinta kita, wilayah gerak kita adalah pada proses. Allah yang menentukan hasilnya. Kita yang berdakwah, Allah yang memberi Donasi buletin SANTRI hidayah. Jadi, hidayah bukanlah prestasi dapat dikirim melalui: kita. Allah memberi petunjuk kepada Bank BRI Syariah siapa pun yang Dia Kehendaki dan tak ada No. Rekening 102 040 1617 yang mampu menyesatkannya setelah a/n Sarjoko datang petunjuk itu, selain Allah. Allah
Buletin SANTRI Edisi 13 Jum’at, 15 Mei 2015
menghilang adalah tubuh Islam. Tapi, menghilang pun sesungguhnya bukan pilihan diksi yang tepat. Jika yang dimaksud adalah hilang kontak, nah, iya. Tidak usah terlalu muluk, dalam hal saling berpapasan saja kini semakin jarang ditemukan sesama Muslim yang saling sapa—apalagi saling menebar ucapan “Assalamu'alaikum.” Lewat ya lewat saja. Bahkan tidak pakai permisi. Kita punya masalah besar dalam berkomunikasi sesama Muslim. Orang Islam zaman sekarang sibuk mengurusi amalan. Banyak pula yang mengurusi ramalan. Sampai-sampai lupa merawat tradisi kebaikan yang paling sederhana: uluk-salam. Padahal, segala sesuatu itu diatur sedemikian rupa agar harmonis dan dinamis. Ya, memang amal yang kelak pertama ditanyakan, dan amal yang pertama ditanyakan itu adalah shalat. Tapi, saya meyakini bahwa ibarat membaca buku, amal bukan bab pertama buku hidup. Sebelum amal, yang lebih awal adalah ilmu. Sebelum ilmu, yang lebih awal lagi adalah adab atau tatakrama. Sebelum adab atau tatakrama, yang lebih awal lagi—bahkan yang paling awal dan menjadi dasar bagi adab, ilmu, dan amal—ialah akhlak. Dan, tugas utama dari kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak mulia. Perilaku adab, perbuatan ilmu, dan tindakan amal didasari lelaku akhlak. Jika teknologi ibarat persenyawaan antara ilmu dan amal, layak diakui bahwa teknologi memang maju, tapi peradaban ternyata mundur. Jika
Buletin SANTRI Edisi 13 Jum’at, 15 Mei 2015
kesederhanaan adalah pencapaian tertinggi manusia, kini yang terjadi adalah penyederhanaan. Padahal, penyederhanaan berbeda jauh dengan kesederhanaan. Kesederhanaan itu alamiah, penyederhanaan itu ilmiah. Semakin ke sini sekarang harus semakin ilmiah. Tanpa dalil seolah-olah manusia tidak bisa hidup dan bergerak. Padahal, akhlak tidak membutuhkan dalil. Akhlak membutuhkan keterlibatan jiwa raga sepenuhnya, seutuhnya, dan seluruhnya, dalam berserah. Rendah diri di hadapan Allah dan rendah hati di hadapan sesama makhluk Allah. Dan, kesederhanaan diri serta hati itulah prestasi terbesar Muhammad SAW. Ia diangkat ke derajat yang setinggi-tingginya tinggi, bahkan yang lebih tinggi dari yang paling tinggi, justru karena berhasil merendahkan dirinya serendah-rendahnya rendah kepada Allah SWT dan merendahkan hatinya pun sedemikian rupa kepada makhluk Allah. Jelas-jelas ditunjukkan dalam Q.S. Al Isra': 1 bahwa Allah SWT memperjalankan Muhammad SAW dalam Isra' Mi'raj bukan dalam kedudukannya sebagai Nabi, Rasul, atau Pemimpin Umat, melainkan dalam kedudukannya sebagai Hamba Allah. Kenyataan ini sesungguhnya sangat terang memerlihatkan betapa Allah Maha Baik dan setiap diri kita memiliki kesempatan yang sama diperjalankan oleh Allah Yang Maha Suci. Hanya saja, persoalannya adalah mana mau kita menghamba? Mana mau kita menjadi hamba? Kita lebih suka menjadi tuhan. Bermain sebagai tuhan. Mengadili
memberi kesesatan kepada siapa pun dan menghukum sesama makhluk yang Dia Kehendaki dan tak ada yang dengan mengatasnamakan Tuhan. mampu memberi petunjuk setelah Memilih siapa masuk surga, memilah datang kesesatan itu, selain Allah. siapa masuk neraka—padahal ini di dunia. Tubuh Islam sedang sakit. Luka Klasik, memang, mengatakan dalam dan luka luar. Anggota tubuh saling bahwa perbedaan pendapat adalah mengingkari satu sama lain seolah berasal rahmat yang sepatutnya kita syukuri. tidak dari asal-muasal yang sama. Kita Faktanya, perselisihan terjadi di perlu istirahat sejenak. Take a bedmana-mana, sampai-sampai rest. Mengingat Allah dalam menemukan ayat-ayat posisi berbaring dulu saja. yang beraroma Dalam posisi berdiri, kekerasan menjadi “sampai-sampai menemukan ternyata kita suka jauh lebih mudah ayat-ayat yang beraroma menuding-nuding dibanding mencari kekerasan menjadi jauh lebih saudara sendiri. Dalam ayat-ayat tentang mudah dibanding mencari ayatposisi duduk, ternyata kelembutan. ayat tentang kelembutan.” kita suka menggebrak Seolah-olah lembut meja. Perang pun itu lemah. Perang, mengenal gencatan senjata, d a l a m a r t i diplomasi, dan perdamaian. sesungguhnya yakni adu Mari hentikan perang dan mulai fisik sampai mengakibatkan damai. Mulai lagi tradisi kebaikan Islam korban jiwa, seperti api yang menyala yang bijak bestari: uluk-salam. lagi, menyala lagi. Tak lama padam, bara Wassalamu'alaikum warahmatullahi tersambar angin dan menyala lagi. wabarakatuh. Membakar amarah kita. Bandung-Cirebon, 4 April 2015 Dakwah itu mengajak, perang itu memaksa. Dakwah itu menjadi kawan, *Penulis adalah pengarang buku Makrifat perang itu menjadi lawan. Sehebat-hebat Cinta kita, wilayah gerak kita adalah pada proses. Allah yang menentukan hasilnya. Kita yang berdakwah, Allah yang memberi Donasi buletin SANTRI hidayah. Jadi, hidayah bukanlah prestasi dapat dikirim melalui: kita. Allah memberi petunjuk kepada Bank BRI Syariah siapa pun yang Dia Kehendaki dan tak ada No. Rekening 102 040 1617 yang mampu menyesatkannya setelah a/n Sarjoko datang petunjuk itu, selain Allah. Allah
Buletin SANTRI Edisi 13 Jum’at, 15 Mei 2015
Edisi 13/2015
Apakah Tuhan Laki-Laki? Pertanyaan: Assalamualaikum. Nyuwun sewu ustadz bade tangklet. saya pernah ditanya murid saya, Di dalam do'a, sering kali kita memanggil Tuhan dengan "Anta". Sedangkan didalam Surat al-Ikhlas, Tuhan menyebutnya dengan "Huwa". Apakah jenis kelamin Tuhan itu cowok ustadz? Mksh atas pencerahannya. Aan, Ta'mir mushola Nurul Iman. 23 th.
Jawaban: Waalaikumsalam. Dalam QS. Al-Syura: 11 diterangkan bahwa tidak ada suatu perkara yang menyamai Allah. Allah juga tidak bisa dikategorikan kepada jenis mudzakkar (maskulin) maupun muannats (feminin). Dalam bahasa Arab, Allah memang sering ditunjuk dengan kata "anta" yang artinya Engkau laki-laki, bukan "anti" yang artinya engkau perempuan. Demikian pula kata ganti/dhamir bagi Allah adalah "huwa" yang artinya Dia laki-laki, bukan "hiya" yang artinya Dia perempuan. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena bahasa Arab sangatlah terbatas sedangkan Allah Maha Tak Terbatas. Bahasa Arab yang terbatas tidak mampu mendeskripsikan sifat Allah secara menyeluruh. Selain itu, aturan mudzakar dan muannats dalam bahasa Arab tidaklah kaku dan saklek. Buktinya ada banyak kata benda yang tidak menunjukkan mudzakar maupun muannats, seperti kata "jabal" (gunung), hajar (batu), dan khasyab (kayu). Dalam bahasa Arab banyak al-muhayid, yakni kata-kata yang tidak menunjukkan mudzakar maupun muannats. Dalam bahasa Inggris juga dikenal istilah "neuter" yakni kata yang tidak menunjukkan maskulin maupun feminin. Namun belakangan ini ada sejumlah aktivis gender yang mempertanyakan ulang kesan bias gender dalam bahasa Arab yang menyebut Allah dengan kata mudzakar dan bukan muannats. Diantaranya adalah seorang aktivis gender bernama Nawal Sa'dawi.
4
Buletin SANTRI Edisi 13 Jum’at, 15 Mei 2015
Tubuh Islam Perlu Istirahat Oleh: Candra Malik*
A s s a l a m u' a l a i k u m w a r a h m a t u l l a h i wabarakatuh. aya menulis ini dalam perjalanan dari Bandung menuju Cirebon untuk memenuhi undangan Mbah Din menghadiri Haul Buntet Pesantren, Sabtu 4 April 2015. Pun saya menulis ini setelah sehari sebelumnya bercakap-cakap via pesan pendek dengan Prof K.H. Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand. Ia paparkan kesedihannya tentang keadaan umat Islam hari-hari ini. Semakin banyak yang menggugat: Islam tapi tidak Islami. Islam seakan-akan kehilangan ruh
S
rahmatan lil 'alamin. Siapa bilang Islam kehilangan ruh? Ruh tidak melenyap, tidak pula menguap. Ruh beda dengan tubuh yang memang bisa letih, terluka, sakit, menua, dan mati. Raga mengalami dikunyahkunyah oleh bumi hingga remuk dagingnya dan tinggal tulang-belulang belaka di tanah kubur. Tidak demikian halnya dengan ruh. Ia memang bukan baru, bukan pula terbarukan. Ruh itu siratan keabadian Cahaya Maha Cahaya yang tak lekang. Yang menghilang itu tubuh. Dan, jika dalam hal ini adalah Islam, maka yang Buletin SANTRI Edisi 13 Jum’at, 15 Mei 2015
1