Edisi 09/2015
puluh tiga tahun yang lalu (tahun 1980-1983). Selesai makan malam kami pulang dan sama sekali tidak punya pikiran untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan manapun. Meski begitu, saya tetap saja menentang menyebarnya pornografi dan pornoaksi sekaligus tidak setuju jika ia diundangkan. Ini adalah tugas ulama, bagaimana mereka
mampu menyadarkan umatnya agar tidak ter tarik pada hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi. *Penulis adalah Ketua Pembina Yayasan Fahmina dan Ketua Dewan Kebijakan Fahmina Pendiri Perguruan Tinggi Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon,
Wanita Menjadi Imam Sholat Pertanyaan: . Assalamu alaikum, Ustadz..Saya mau tanya bagaimana hukumnya perempuan jadi imam shalat? Dan dalam kondisi apa saja perempuan boleh ngimami? Karena begini Ustad, suami saya muallaf dan sejauh ini bacaan Qur'annya kurang lancar dan fasih. Apa saya boleh mengimami? Terimakasih. Khotimah, Ngaglik Jawaban: Waalaikumsalam. Dalam kitab-kitab fiqh, ulama madzhab 4 sepakat bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki. Lembaga-lembaga fatwa di Timur Tengah dan ulama kontemporer sprti Qardhawi, sayid Thanthawi, Ali Jumah, dan lainnya juga melarangnya. Yang memperbolehkan hanya Jamal al-Bana dalam kitabnya Jawazu Imamatil Mar'ah al-Rijala.
Silahkan berkunjung ke:
Donasi buletin SANTRI dapat dikirim melalui:
Website Islam Ramah
4
Buletin SANTRI Edisi 09 Jum’at, 17 April 2015
Bank BRI Syariah No. Rekening 102 040 1617 a/n Sarjoko
PEREMPUAN MENARI Oleh : Husein Muhammad
B
eberapa hari lalu, saya hadir sebagai pembicara pada sebuah workshop di sebuah Pesantren di Jawa Tengah. Workshop ini membincangkan tentang metodologi Bahtsul Masail (BM) yang selama ini dipraktikkan di kalangan ulama NU. Saya diminta mengkritisi BM dan bagaimana seharusnya metode yang lebih relevan dengan konteks sosial baru. Tema ini menurut sejumlah kiyai di sana penting dikaji kembali, karena meskipun metode Bahtsul Masail yang dihasilkan Munas NU di Lampung tahun 1992 sudah cukup relevan namun belum banyak dipraktikkan. Apalagi pada konteks mutakhir, terlihat kecenderungan sebagian ulama yang berpikiran konservatif bahkan mengarah pa d a w a c a n a f u n d a m e n t a l i s t i k . I n i
sebenarnya satu sikap yang tidak biasa (lazim) dalam NU. Belum lagi soal istilah kitab mu'tabar dan ghair mu'tabar. Sampai hari ini keduanya belum dirumuskan secara lebih jelas dan tegas. Seorang peserta juga mempertanyakan kembali soal kepemimpinan perempuan dan lebih khusus lagi presiden perempuan yang masih menimbulkan kontroversi di kalangan ulama NU. Yang menarik adalah seorang ibu nyai terkemuka yang sudah cukup usia mempertanyakan banyak hal tentang relasi gender yang dinilainya belum adil. Ibu nyai ini mendesak para ulama untuk memikirkan hukum yang adil bagi perempuan. Dan seperti sering saya lakukan, saya mengkritisi banyak hal tentang metode Bahtsul Masail Buletin SANTRI Edisi 09 Jum’at, 17 April 2015
1
dan membela perempuan sambil mengajukan usulan metodologi kontekstual. Pornogarfi dan Pornoaksi Usai berbicara dan beristirahat, seorang kiyai muda menemui dan menanyakan pendapat saya tentang RUU APP yang sempat hingarbingar dibicarakan masyarakat. Setelah menjelaskan sedikit tentang substansi RUU yang masih ambigu dan multitafsir itu, saya kemudian mengemukakan keputusan Muktamar NU tentang masalah hukum “perempuan menari”. “Bagaimana hukum tari-tarian lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai?”, begitu pertanyaan yang diajukan dalam Muktamar I di Surabaya 21 Oktober 1926. Forum Bahtsul Masail pada muktamar NU tersebut dalam jawabannya mengatakan: “Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian hukumnya boleh meskipun dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai selama tidak terdapat gerak kewanita-wanitaan bagi kaum lelaki dan gerak kelelaki-lakian bagi kaum wanita. Bila terdapat gaya-gaya tersebut maka hukumnya haram”. (Baca: Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU himpunan K.H.Aziz Masyhuri, diterbitkan PPRMI dan QultumMedia cet. I 204). Sebagaimana tradisi NU, setiap keputusan selalu merujuk pada kitab-kitab kuning (buku klasik umumnya produk pemikiran abad pertengahan). Maka keputusan di atas juga mengacu pada sejumlah kitab dan pendapat ulama yang ada di dalamnya. Fatwa tersebut dirujuk dari kitab Al-Ittihaf, syarh (komentar) kitab Ihya
Buletin SANTRI Edisi 09 Jum’at, 17 April 2015
Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali. Di dalamnya disebutkan; para ulama berbeda pendapat mengenainya dalam batas antara makruh dan mubah. Di antara ulama yang berpendapat bahwa menari demikian hukumnya makruh adalah Imam Qaffal seorang tokoh mazhab Syafi'i aliran Khurrasani. Tokoh ini dalam beberapa hal tergolong progresif. Sementara ulama yang menghukumi mubah antara lain Imam Haramain, Ibnu 'Imad al Sahrawardi dan Imam Rafi'i. Semuanya adalah para pengikut mazhab Syafi'i aliran Iraqi. Aliran Syafi'i ini secara umum tergolong tradisionalis, meski beberapa di antaranya juga progresif. Imam Haramain, guru Imam Al-Ghazali, mengatakan “Al Ruqash Laisa bi Muharram Fa Innahu Mujarrad Harakaat 'ala istiqamah aw I'wijaj”(menari tidaklah haram karena ia sekedar gerakan-gerakan tubuh yang bisa tegak lurus dan bisa juga lenggak-lenggok). Akan tetapi beliau segera memberi catatan “asal goyangannya tidak banyak-banyak (berlebihan)”. Seperti yang saat ini kita melihat, ada goyang drible yang sungguh ironi. Nah, begitulah para ulama NU menjawab soal hukum menari. Saya tidak tahu apakah keputusan ini masih berlaku untuk hari ini atau sudah “mansukh” (dibatalkan/dianulir) oleh keputusan pada Muktamar berikutnya. Saya juga tidak tahu apakah lenggang-lenggok dan gerakan tubuh perempuan yang lemah-gemulai termasuk dalam katagori erotika dan dengan demikian termasuk pornoaksi? Saya tidak tahu sejauh mana goyangan tersebut tidak dianggap sederhana atau berlebihan. Saya juga tidak tahu apakah
itu, tiba-tiba muncul seorang penari menari seperti itu pada waktu lampau “dinilai” perempuan dengan mengenakan pakaian para ulama, termasuk ulama NU, tidak yang “sangat menarik” dan dengan perut menimbulkan rangsangan dan hanya sekedar y a n g t e r b u k a . Te p u k t a n g a n p u n gerak seni?. menggelegar. Sang penari melenggakBegitulah. Akan tetapi yang lebih lenggokkan tubuhnya yang terbuka itu menarik dari itu adalah pengalaman saya di sambil menyanyi riang dan berjalan-jalan Kairo, Mesir. Tahun 1998 saya diundang mendekati atau mengajak penontonnya ikut mengikuti Konferensi Internasional yang menari. menggelar tema besar Saya dan teman-teman “Kependudukan dan Kesehatan Indonesia berbisik-bisik dan Reproduksi” di sana. “saya tetap saja ke t a w a - ke t a w a ke c i l Konferensi dibuka oleh menentang menyebarnya Syeikh Al-Azhar (Grand pornografi dan pornoaksi sekaligus sambil melirik ke kanan ke kiri, melihat tingkah Syeikh): Sayid Thantawi tidak setuju jika ia diundangkan. atau reaksi ulamadi Universitas Islam Ini adalah tugas ulama, bagaimana ulama al Azhar yang tertua dan terkemuka ; mereka mampu menyadarkan ikut bersama kami. Saya Al Azhar, di kawasan umatnya agar tidak tertarik pada melihat mereka ternyata Nasr City. Ia diikuti oleh hal-hal yang berbau pornografi bersikap biasa-biasa saja puluhan negara Islam yang dan pornoaksi” dan sepertinya menikmati diwakili oleh para ulama dan tarian itu. Orang Mesir para pakar kesehatan terkemuka di menyebutnya “al Ruqash al Syarqiyyah” negaranya masing-masing. Peserta dari (Tarian Timur/Timur Tengah). Tentu saja para Universitas Al Azhar termasuk yang paling ulama al Azhar tersebut tidak banyak. Dari Indonesia hadir 11 orang. mempersoalkannya, karena tarian tersebut Beberapa di antaranya : Masdar F. Mas'udi, Dr. merupakan seni yang sudah lama Muslim Ibrahim (sekarang ketua Majelis membudaya di Mesir dan tidak Permusyawaratan Ulama Aceh Noangroe menimbulkan “bahaya” apa-apa. Sementara Darussalam), Masruha, saya sendiri dan yang saya sendiri sedikit “gemetaran”, lalu keluar. lain. Bukan apa-apa, saya hanya takut dihampiri Pada hari terakhir konferensi, seluruh sang penari dan diajak nari. Jadinya saya peserta diajak panitia makan malam ('Asya) di menikmati tarian itu di luar dan dari balik atas kapal pesiar sambil mengarungi sungai pintu kaca. Saya sendiri sering menyaksikan Nil yang terkenal dan terpanjang di dunia itu. al Ruqash al Syarqiyyah tersebut baik Kami menyantap makan malam sambil melalui televisi maupun langsung pada memandangi indahnya Nil di waktu malam waktu orang Mesir mengadakan hajatan dan diiringi musik Arab modern. Di tengahpernikahan ketika saya berada di Kairo dua tengah kami menyantam makanan yang lezat
Buletin SANTRI Edisi 09 Jum’at, 17 April 2015
dan membela perempuan sambil mengajukan usulan metodologi kontekstual. Pornogarfi dan Pornoaksi Usai berbicara dan beristirahat, seorang kiyai muda menemui dan menanyakan pendapat saya tentang RUU APP yang sempat hingarbingar dibicarakan masyarakat. Setelah menjelaskan sedikit tentang substansi RUU yang masih ambigu dan multitafsir itu, saya kemudian mengemukakan keputusan Muktamar NU tentang masalah hukum “perempuan menari”. “Bagaimana hukum tari-tarian lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai?”, begitu pertanyaan yang diajukan dalam Muktamar I di Surabaya 21 Oktober 1926. Forum Bahtsul Masail pada muktamar NU tersebut dalam jawabannya mengatakan: “Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian hukumnya boleh meskipun dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai selama tidak terdapat gerak kewanita-wanitaan bagi kaum lelaki dan gerak kelelaki-lakian bagi kaum wanita. Bila terdapat gaya-gaya tersebut maka hukumnya haram”. (Baca: Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU himpunan K.H.Aziz Masyhuri, diterbitkan PPRMI dan QultumMedia cet. I 204). Sebagaimana tradisi NU, setiap keputusan selalu merujuk pada kitab-kitab kuning (buku klasik umumnya produk pemikiran abad pertengahan). Maka keputusan di atas juga mengacu pada sejumlah kitab dan pendapat ulama yang ada di dalamnya. Fatwa tersebut dirujuk dari kitab Al-Ittihaf, syarh (komentar) kitab Ihya
Buletin SANTRI Edisi 09 Jum’at, 17 April 2015
Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali. Di dalamnya disebutkan; para ulama berbeda pendapat mengenainya dalam batas antara makruh dan mubah. Di antara ulama yang berpendapat bahwa menari demikian hukumnya makruh adalah Imam Qaffal seorang tokoh mazhab Syafi'i aliran Khurrasani. Tokoh ini dalam beberapa hal tergolong progresif. Sementara ulama yang menghukumi mubah antara lain Imam Haramain, Ibnu 'Imad al Sahrawardi dan Imam Rafi'i. Semuanya adalah para pengikut mazhab Syafi'i aliran Iraqi. Aliran Syafi'i ini secara umum tergolong tradisionalis, meski beberapa di antaranya juga progresif. Imam Haramain, guru Imam Al-Ghazali, mengatakan “Al Ruqash Laisa bi Muharram Fa Innahu Mujarrad Harakaat 'ala istiqamah aw I'wijaj”(menari tidaklah haram karena ia sekedar gerakan-gerakan tubuh yang bisa tegak lurus dan bisa juga lenggak-lenggok). Akan tetapi beliau segera memberi catatan “asal goyangannya tidak banyak-banyak (berlebihan)”. Seperti yang saat ini kita melihat, ada goyang drible yang sungguh ironi. Nah, begitulah para ulama NU menjawab soal hukum menari. Saya tidak tahu apakah keputusan ini masih berlaku untuk hari ini atau sudah “mansukh” (dibatalkan/dianulir) oleh keputusan pada Muktamar berikutnya. Saya juga tidak tahu apakah lenggang-lenggok dan gerakan tubuh perempuan yang lemah-gemulai termasuk dalam katagori erotika dan dengan demikian termasuk pornoaksi? Saya tidak tahu sejauh mana goyangan tersebut tidak dianggap sederhana atau berlebihan. Saya juga tidak tahu apakah
itu, tiba-tiba muncul seorang penari menari seperti itu pada waktu lampau “dinilai” perempuan dengan mengenakan pakaian para ulama, termasuk ulama NU, tidak yang “sangat menarik” dan dengan perut menimbulkan rangsangan dan hanya sekedar y a n g t e r b u k a . Te p u k t a n g a n p u n gerak seni?. menggelegar. Sang penari melenggakBegitulah. Akan tetapi yang lebih lenggokkan tubuhnya yang terbuka itu menarik dari itu adalah pengalaman saya di sambil menyanyi riang dan berjalan-jalan Kairo, Mesir. Tahun 1998 saya diundang mendekati atau mengajak penontonnya ikut mengikuti Konferensi Internasional yang menari. menggelar tema besar Saya dan teman-teman “Kependudukan dan Kesehatan Indonesia berbisik-bisik dan Reproduksi” di sana. “saya tetap saja ke t a w a - ke t a w a ke c i l Konferensi dibuka oleh menentang menyebarnya Syeikh Al-Azhar (Grand pornografi dan pornoaksi sekaligus sambil melirik ke kanan ke kiri, melihat tingkah Syeikh): Sayid Thantawi tidak setuju jika ia diundangkan. atau reaksi ulamadi Universitas Islam Ini adalah tugas ulama, bagaimana ulama al Azhar yang tertua dan terkemuka ; mereka mampu menyadarkan ikut bersama kami. Saya Al Azhar, di kawasan umatnya agar tidak tertarik pada melihat mereka ternyata Nasr City. Ia diikuti oleh hal-hal yang berbau pornografi bersikap biasa-biasa saja puluhan negara Islam yang dan pornoaksi” dan sepertinya menikmati diwakili oleh para ulama dan tarian itu. Orang Mesir para pakar kesehatan terkemuka di menyebutnya “al Ruqash al Syarqiyyah” negaranya masing-masing. Peserta dari (Tarian Timur/Timur Tengah). Tentu saja para Universitas Al Azhar termasuk yang paling ulama al Azhar tersebut tidak banyak. Dari Indonesia hadir 11 orang. mempersoalkannya, karena tarian tersebut Beberapa di antaranya : Masdar F. Mas'udi, Dr. merupakan seni yang sudah lama Muslim Ibrahim (sekarang ketua Majelis membudaya di Mesir dan tidak Permusyawaratan Ulama Aceh Noangroe menimbulkan “bahaya” apa-apa. Sementara Darussalam), Masruha, saya sendiri dan yang saya sendiri sedikit “gemetaran”, lalu keluar. lain. Bukan apa-apa, saya hanya takut dihampiri Pada hari terakhir konferensi, seluruh sang penari dan diajak nari. Jadinya saya peserta diajak panitia makan malam ('Asya) di menikmati tarian itu di luar dan dari balik atas kapal pesiar sambil mengarungi sungai pintu kaca. Saya sendiri sering menyaksikan Nil yang terkenal dan terpanjang di dunia itu. al Ruqash al Syarqiyyah tersebut baik Kami menyantap makan malam sambil melalui televisi maupun langsung pada memandangi indahnya Nil di waktu malam waktu orang Mesir mengadakan hajatan dan diiringi musik Arab modern. Di tengahpernikahan ketika saya berada di Kairo dua tengah kami menyantam makanan yang lezat
Buletin SANTRI Edisi 09 Jum’at, 17 April 2015
Edisi 09/2015
puluh tiga tahun yang lalu (tahun 1980-1983). Selesai makan malam kami pulang dan sama sekali tidak punya pikiran untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan manapun. Meski begitu, saya tetap saja menentang menyebarnya pornografi dan pornoaksi sekaligus tidak setuju jika ia diundangkan. Ini adalah tugas ulama, bagaimana mereka
mampu menyadarkan umatnya agar tidak ter tarik pada hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi. *Penulis adalah Ketua Pembina Yayasan Fahmina dan Ketua Dewan Kebijakan Fahmina Pendiri Perguruan Tinggi Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon,
Wanita Menjadi Imam Sholat Pertanyaan: . Assalamu alaikum, Ustadz..Saya mau tanya bagaimana hukumnya perempuan jadi imam shalat? Dan dalam kondisi apa saja perempuan boleh ngimami? Karena begini Ustad, suami saya muallaf dan sejauh ini bacaan Qur'annya kurang lancar dan fasih. Apa saya boleh mengimami? Terimakasih. Khotimah, Ngaglik Jawaban: Waalaikumsalam. Dalam kitab-kitab fiqh, ulama madzhab 4 sepakat bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki. Lembaga-lembaga fatwa di Timur Tengah dan ulama kontemporer sprti Qardhawi, sayid Thanthawi, Ali Jumah, dan lainnya juga melarangnya. Yang memperbolehkan hanya Jamal al-Bana dalam kitabnya Jawazu Imamatil Mar'ah al-Rijala.
Silahkan berkunjung ke:
Donasi buletin SANTRI dapat dikirim melalui:
Website Islam Ramah
4
Buletin SANTRI Edisi 09 Jum’at, 17 April 2015
Bank BRI Syariah No. Rekening 102 040 1617 a/n Sarjoko
PEREMPUAN MENARI Oleh : Husein Muhammad
B
eberapa hari lalu, saya hadir sebagai pembicara pada sebuah workshop di sebuah Pesantren di Jawa Tengah. Workshop ini membincangkan tentang metodologi Bahtsul Masail (BM) yang selama ini dipraktikkan di kalangan ulama NU. Saya diminta mengkritisi BM dan bagaimana seharusnya metode yang lebih relevan dengan konteks sosial baru. Tema ini menurut sejumlah kiyai di sana penting dikaji kembali, karena meskipun metode Bahtsul Masail yang dihasilkan Munas NU di Lampung tahun 1992 sudah cukup relevan namun belum banyak dipraktikkan. Apalagi pada konteks mutakhir, terlihat kecenderungan sebagian ulama yang berpikiran konservatif bahkan mengarah pa d a w a c a n a f u n d a m e n t a l i s t i k . I n i
sebenarnya satu sikap yang tidak biasa (lazim) dalam NU. Belum lagi soal istilah kitab mu'tabar dan ghair mu'tabar. Sampai hari ini keduanya belum dirumuskan secara lebih jelas dan tegas. Seorang peserta juga mempertanyakan kembali soal kepemimpinan perempuan dan lebih khusus lagi presiden perempuan yang masih menimbulkan kontroversi di kalangan ulama NU. Yang menarik adalah seorang ibu nyai terkemuka yang sudah cukup usia mempertanyakan banyak hal tentang relasi gender yang dinilainya belum adil. Ibu nyai ini mendesak para ulama untuk memikirkan hukum yang adil bagi perempuan. Dan seperti sering saya lakukan, saya mengkritisi banyak hal tentang metode Bahtsul Masail Buletin SANTRI Edisi 09 Jum’at, 17 April 2015
1