Edisi 14/2015
Tidak Berpuasa Karena Masyaqah Pertanyaan: Salam ustadz. Perkenalkan, saya Bashir. pekerjaan sehari2 saya adl buruh bangunan. Saat di bulan puasa, saya mndptkan job/proyek. terkadang Saya tdk kuat ustad utk puasa, krn haus dan lelah. Dan banyak juga teman2 saya yg tdk mnjlnkn ibdah puasa. Walaupun sdh sahur. Mohon solusinya ustad, krn saya takut siksa kubur. Bashir, 31 tahun.
Jawaban: Wa'alaikumsalam. Dalam QS. Al-Baqarah: 185 diterangkan bahwa Islam sebagai agama yang memudahkan memberikan keringanan kepada musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa. Para ahli ushul fiqh berpendapat bahwa mereka diberi keringanan karena ada unsur kesulitan dan keberatan (masyaqah). Para ahli hukum Islam juga menggarisbawahi bahwa Islam memberikan keringanan bagi hamba Allah yang kesulitan (almasyaqah tajlibu taysir). Berdasarkan alasan hukum di atas dan teori analogi (qiyas), maka tukang bangunan yang merasa keberatan sampai tingkat yang amat menyulitkan (dharurat) diperbolehkan makan dan minum secukupnya kemudian baginya wajib berpuasa di kesempatan yang lain untuk meng-qadha'-nya.
Hadirilah Rutinan Majlis Sholawat Gusdurian Rabu, 27 Mei 2015 pukul: 19.30 WIB di Pendopo Hijau Yayasan LKiS. Jl. Pura No. 203 Surowajan Baru, Banguntapan, Bantul. Terbuka untuk umum. Ajak sanak dan keluarga terdekat.
4
Buletin SANTRI Edisi 14 Jum’at, 22 Mei 2015
Donasi buletin SANTRI dapat dikirim melalui:
Bank BRI Syariah No. Rekening 102 040 1617 a/n Sarjoko
Apa Kabar Islam Indonesia? Oleh: Rahman Mantu*
S
aya pernah mendengar pernyataan menggelitik dari almarhum Gus Dur, mantan presiden RI ke-4. “Kita ini orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam?” Pertanyaan ini sepintas tidak problematik, tetapi apabila kita cermati, termuat dua paradigma yang bertolak belakang dalam mengimplementasikan Islam di bumi nusantara ini. Pernyataan Gus Dur tersebut menggelitik untuk dipahami bersama sebagai refleksi atas identitas keislaman kita. Mengingat sebagian orang Islam Indonesia dewasa ini marak menggunakan identitas
Arab dengan maksud meneguhkan identitas keislamannya. Dalam arti, menjadi seorang Muslim, harus menggunakan identitas Arab atau melebur seperti orang yang ada di Arab; mulai dari cara bicara yang kearabaraban, berpakaian jubah dan bercadar, hingga cara makan dan apa yang dimakan oleh orang Arab pun dijadikan model keislaman. Salahkah? tentu tidak. Menurut saya, itu hak masing-masing individu. Namun yang menjadi soal adalah ketika identitas seperti itu, kemudian dianggap sebagai Islam yang kaffah, Islam yang sempurna. Yang mana Islam itu ya Arab, Buletin SANTRI Edisi 14 Jum’at, 22 Mei 2015
1
dan Arab itu ya Islam. Sementara mereka mengabaikan Islam yang khas Indonesia; berpeci hitam, bersarung, berziarah kubur, memakai batik, memperingati tujuh hari, empat puluh hari, dan seratus hari dari kematian leluhurnya, itu dianggap sebagai Islam kejawen, Islam singkretis, yang sudah tidak murni lagi, sebagaimana Islam yang ada di Arab. Karena simbol, tradisi, dan pakaian yang mereka kenakan dianggap bukan identitas Islam (lagi). Meleburnya mereka dengan budaya atau tradisi setempat pun dianggap sebagai sesuatu yang merusak kemurnian Islam. Islam murni (puritan) dalam pa n d a n g a n m e re k a a d a l a h I s l a m sebagaimana dijalankan Rasulullah SAW selama hidupnya di Arab pada abad ketujuh masehi. Demi menjaga kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di manapun diharuskan meniru dan mengikuti Islam masa rasulullah dengan keseluruhan budaya dan tradisi kearabannya saat itu. Jika Islam model ini yang diikuti, maka yang sesungguhnya terjadi adalah arabisasi, pengaraban dunia. Jika Islam adalah arabisasi, maka Islam tentu bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis (sebab kata Arab adalah konsep politik). Jika Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis, maka tentu bertentangan dengan misi utama Islam yang rahmatan lil alamin, menebarkan cinta kasih kepada seluruh umat manusia dan segala ciptaan tuhan di alam semesta. Kelompok ini tidak bisa membedakan mana Islam yang universal dan abadi, shalih li kulli zaman wa makan, dapat diterapkan dimana dan kapan saja, Buletin SANTRI Edisi 14 Jum’at, 22 April 2015
dengan Arab sebagai ekspresi budaya dan tradisi setempat yang sifatnya temporal, kondisional, dan situasional, yang jelasjelas bukan bagian dari ajaran Islam. Akibatnya dengan mudah mereka mencampuradukkan Islam dengan Arab, menjadikan Arab sebagai prototype ideal keislaman. Dan dengan gampangnya, mereka menuduh yang lain “sesat”, meyimpang, tidak Islami dan sejenisnya kepada kelompok yang berbeda dengan mereka. *** Selain itu, bila disadari, kita yang ada di Indonesia ini tentu akan susah, bahkan tidak mungkin bisa meng-copy paste Islam pada masa Rasulullah, apalagi jika dibenturkan dengan kondisi saat ini. Karena tempat, waktu, dan budayanya yang berbeda. Kebudayaan Arab sendiri—seperti tempat ibadah di Masjidil Haram, tempat lempar jumrah, dan di tempat-tempat yang digunakan untuk ritual haji dan umroh, kini bentuknya telah berubah drastis ketimbang masa rasulullah dulu, karena perkembangan teknologi dan kebutuhan manusia sekarang. Apakah hal itu disebut dengan “sesat”, “menyimpang”, bid`ah, dan keluar dari Islam karena mengubah dan berbeda dengan praktik Islam masa Rasulullah Saw? Sehingga di sini saya ingin merefleksikan dari Islam Arab dan Islam Indonesia. Karena banyak diantara kita yang lalai dengan nilai-nilai keindonesiaan. Tentu, diantara keduanya mempunyai esensi yang sama; Islam. Tetapi di dalam praktiknya, orang Islam Indonesia jauh berbeda dengan Islam yang kearaban. Karena orang Indonesia yang beragama
“Padahal, sesat dan tidak sesat itu urusan Tuhan, tugas kita hanya menjalanka n ibadah dan melakukan kesalehan sosial.”
Islam mereka jauh lebih bisa toleran, menghargai perbedaan, menyadari kalau bangsa Indoensia ini terdiri dari banyaknya suku, ras, dan jenis karakter manusia yang berbeda, beranekaragam. Sehingga orang Indonesia yang beragama Islam seharusnya ia ikut serta menjaga persatuan dan meneguhkan NKRI. Tidak malah menggunakan justifikasi keagamaannya untuk melukai orang lain. Berbeda dengan orang Islam yang (kebetulan) berada di Indonesia. Bisa jadi dia kaku dan saklek dengan keagamaanya. Apatis terhadap realitas sosial. Ia tidak menyadari kalau ia sedang berada di Indonesia, negara yang berdasarkan Undang-undang dan Pancasila. Oleh sebab itu, saya risih manakala melihat ada kelompok berjubah, memekik kalimat takbir, lalu dengan entengnya melakukan kekerasan terhadap orang lain. Apalagi kekerasan yang ia lakukan itu dengan menggunakan dalih agama. Padahal, sesat dan tidak sesat itu urusan Tuhan, tugas kita hanya menjalankan ibadah dan melakukan kesalehan sosial. Nah, apabila diantara kita melihat orang Islam yang suka bertikai dan gemar melakukan labelisasi sesat atau kafir, saya kok mempertanyakan kabar keislamannya itu. Apa benar itu orang Islam? Dengan demikian, dalam hemat saya, Islam Indonesia adalah orang Islam yang membawa nilai-nilai dan ajaran-ajaran universal kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, kerahmatan, kesetaraan dan persaudaraan yang dilandasi wahyu ketuhanan dan tauhid. Ajaran-ajaran dan nilai-nilai ini dapat diterapkan di mana dan kapan saja. Selain ibadah, semuanya dapat dilakukan sesuai dengan budaya setempat. Islam dalam paradigma ini sangat mengapresiasi budaya lokal, tradisi lokal, dan kearifan lokal, bahkan berpendapat bahwa al-`adatu al-muhakkamah (adat/tradisi dapat dijadikan hukum). Sehingga menjadi muslim, tidak harus Arab. Dengan serba budaya lokal sekalipun, seseorang bisa menjadi muslim sejati. Bukan begitu? Wallahhu a'lam. *Penulis adalah Aktivis Muda Gusdurian Sulawesi Utara
Buletin SANTRI Edisi 14 Jum’at, 22 April 2015
dan Arab itu ya Islam. Sementara mereka mengabaikan Islam yang khas Indonesia; berpeci hitam, bersarung, berziarah kubur, memakai batik, memperingati tujuh hari, empat puluh hari, dan seratus hari dari kematian leluhurnya, itu dianggap sebagai Islam kejawen, Islam singkretis, yang sudah tidak murni lagi, sebagaimana Islam yang ada di Arab. Karena simbol, tradisi, dan pakaian yang mereka kenakan dianggap bukan identitas Islam (lagi). Meleburnya mereka dengan budaya atau tradisi setempat pun dianggap sebagai sesuatu yang merusak kemurnian Islam. Islam murni (puritan) dalam pa n d a n g a n m e re k a a d a l a h I s l a m sebagaimana dijalankan Rasulullah SAW selama hidupnya di Arab pada abad ketujuh masehi. Demi menjaga kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di manapun diharuskan meniru dan mengikuti Islam masa rasulullah dengan keseluruhan budaya dan tradisi kearabannya saat itu. Jika Islam model ini yang diikuti, maka yang sesungguhnya terjadi adalah arabisasi, pengaraban dunia. Jika Islam adalah arabisasi, maka Islam tentu bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis (sebab kata Arab adalah konsep politik). Jika Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis, maka tentu bertentangan dengan misi utama Islam yang rahmatan lil alamin, menebarkan cinta kasih kepada seluruh umat manusia dan segala ciptaan tuhan di alam semesta. Kelompok ini tidak bisa membedakan mana Islam yang universal dan abadi, shalih li kulli zaman wa makan, dapat diterapkan dimana dan kapan saja, Buletin SANTRI Edisi 14 Jum’at, 22 April 2015
dengan Arab sebagai ekspresi budaya dan tradisi setempat yang sifatnya temporal, kondisional, dan situasional, yang jelasjelas bukan bagian dari ajaran Islam. Akibatnya dengan mudah mereka mencampuradukkan Islam dengan Arab, menjadikan Arab sebagai prototype ideal keislaman. Dan dengan gampangnya, mereka menuduh yang lain “sesat”, meyimpang, tidak Islami dan sejenisnya kepada kelompok yang berbeda dengan mereka. *** Selain itu, bila disadari, kita yang ada di Indonesia ini tentu akan susah, bahkan tidak mungkin bisa meng-copy paste Islam pada masa Rasulullah, apalagi jika dibenturkan dengan kondisi saat ini. Karena tempat, waktu, dan budayanya yang berbeda. Kebudayaan Arab sendiri—seperti tempat ibadah di Masjidil Haram, tempat lempar jumrah, dan di tempat-tempat yang digunakan untuk ritual haji dan umroh, kini bentuknya telah berubah drastis ketimbang masa rasulullah dulu, karena perkembangan teknologi dan kebutuhan manusia sekarang. Apakah hal itu disebut dengan “sesat”, “menyimpang”, bid`ah, dan keluar dari Islam karena mengubah dan berbeda dengan praktik Islam masa Rasulullah Saw? Sehingga di sini saya ingin merefleksikan dari Islam Arab dan Islam Indonesia. Karena banyak diantara kita yang lalai dengan nilai-nilai keindonesiaan. Tentu, diantara keduanya mempunyai esensi yang sama; Islam. Tetapi di dalam praktiknya, orang Islam Indonesia jauh berbeda dengan Islam yang kearaban. Karena orang Indonesia yang beragama
“Padahal, sesat dan tidak sesat itu urusan Tuhan, tugas kita hanya menjalanka n ibadah dan melakukan kesalehan sosial.”
Islam mereka jauh lebih bisa toleran, menghargai perbedaan, menyadari kalau bangsa Indoensia ini terdiri dari banyaknya suku, ras, dan jenis karakter manusia yang berbeda, beranekaragam. Sehingga orang Indonesia yang beragama Islam seharusnya ia ikut serta menjaga persatuan dan meneguhkan NKRI. Tidak malah menggunakan justifikasi keagamaannya untuk melukai orang lain. Berbeda dengan orang Islam yang (kebetulan) berada di Indonesia. Bisa jadi dia kaku dan saklek dengan keagamaanya. Apatis terhadap realitas sosial. Ia tidak menyadari kalau ia sedang berada di Indonesia, negara yang berdasarkan Undang-undang dan Pancasila. Oleh sebab itu, saya risih manakala melihat ada kelompok berjubah, memekik kalimat takbir, lalu dengan entengnya melakukan kekerasan terhadap orang lain. Apalagi kekerasan yang ia lakukan itu dengan menggunakan dalih agama. Padahal, sesat dan tidak sesat itu urusan Tuhan, tugas kita hanya menjalankan ibadah dan melakukan kesalehan sosial. Nah, apabila diantara kita melihat orang Islam yang suka bertikai dan gemar melakukan labelisasi sesat atau kafir, saya kok mempertanyakan kabar keislamannya itu. Apa benar itu orang Islam? Dengan demikian, dalam hemat saya, Islam Indonesia adalah orang Islam yang membawa nilai-nilai dan ajaran-ajaran universal kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, kerahmatan, kesetaraan dan persaudaraan yang dilandasi wahyu ketuhanan dan tauhid. Ajaran-ajaran dan nilai-nilai ini dapat diterapkan di mana dan kapan saja. Selain ibadah, semuanya dapat dilakukan sesuai dengan budaya setempat. Islam dalam paradigma ini sangat mengapresiasi budaya lokal, tradisi lokal, dan kearifan lokal, bahkan berpendapat bahwa al-`adatu al-muhakkamah (adat/tradisi dapat dijadikan hukum). Sehingga menjadi muslim, tidak harus Arab. Dengan serba budaya lokal sekalipun, seseorang bisa menjadi muslim sejati. Bukan begitu? Wallahhu a'lam. *Penulis adalah Aktivis Muda Gusdurian Sulawesi Utara
Buletin SANTRI Edisi 14 Jum’at, 22 April 2015
Edisi 14/2015
Tidak Berpuasa Karena Masyaqah Pertanyaan: Salam ustadz. Perkenalkan, saya Bashir. pekerjaan sehari2 saya adl buruh bangunan. Saat di bulan puasa, saya mndptkan job/proyek. terkadang Saya tdk kuat ustad utk puasa, krn haus dan lelah. Dan banyak juga teman2 saya yg tdk mnjlnkn ibdah puasa. Walaupun sdh sahur. Mohon solusinya ustad, krn saya takut siksa kubur. Bashir, 31 tahun.
Jawaban: Wa'alaikumsalam. Dalam QS. Al-Baqarah: 185 diterangkan bahwa Islam sebagai agama yang memudahkan memberikan keringanan kepada musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa. Para ahli ushul fiqh berpendapat bahwa mereka diberi keringanan karena ada unsur kesulitan dan keberatan (masyaqah). Para ahli hukum Islam juga menggarisbawahi bahwa Islam memberikan keringanan bagi hamba Allah yang kesulitan (almasyaqah tajlibu taysir). Berdasarkan alasan hukum di atas dan teori analogi (qiyas), maka tukang bangunan yang merasa keberatan sampai tingkat yang amat menyulitkan (dharurat) diperbolehkan makan dan minum secukupnya kemudian baginya wajib berpuasa di kesempatan yang lain untuk meng-qadha'-nya.
Hadirilah Rutinan Majlis Sholawat Gusdurian Rabu, 27 Mei 2015 pukul: 19.30 WIB di Pendopo Hijau Yayasan LKiS. Jl. Pura No. 203 Surowajan Baru, Banguntapan, Bantul. Terbuka untuk umum. Ajak sanak dan keluarga terdekat.
4
Buletin SANTRI Edisi 14 Jum’at, 22 Mei 2015
Donasi buletin SANTRI dapat dikirim melalui:
Bank BRI Syariah No. Rekening 102 040 1617 a/n Sarjoko
Apa Kabar Islam Indonesia? Oleh: Rahman Mantu*
S
aya pernah mendengar pernyataan menggelitik dari almarhum Gus Dur, mantan presiden RI ke-4. “Kita ini orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam?” Pertanyaan ini sepintas tidak problematik, tetapi apabila kita cermati, termuat dua paradigma yang bertolak belakang dalam mengimplementasikan Islam di bumi nusantara ini. Pernyataan Gus Dur tersebut menggelitik untuk dipahami bersama sebagai refleksi atas identitas keislaman kita. Mengingat sebagian orang Islam Indonesia dewasa ini marak menggunakan identitas
Arab dengan maksud meneguhkan identitas keislamannya. Dalam arti, menjadi seorang Muslim, harus menggunakan identitas Arab atau melebur seperti orang yang ada di Arab; mulai dari cara bicara yang kearabaraban, berpakaian jubah dan bercadar, hingga cara makan dan apa yang dimakan oleh orang Arab pun dijadikan model keislaman. Salahkah? tentu tidak. Menurut saya, itu hak masing-masing individu. Namun yang menjadi soal adalah ketika identitas seperti itu, kemudian dianggap sebagai Islam yang kaffah, Islam yang sempurna. Yang mana Islam itu ya Arab, Buletin SANTRI Edisi 14 Jum’at, 22 Mei 2015
1