Edisi 3 - Memanusiakan Manusia : Ajaran Kanjeng Nabi

Page 1

Edisi 03/2015

Sholat Subuh Pakai Qunut Pertanyaan: Assalamu'laikum ustadz nanya. Saya sering kali jama'ah subuh berpindah-pindah tempat. Krn saya adl seorang pedagang sayuran di pasar yg harus buka lapak ketika pagi buta. Jadi, saya juga trkdang sholat di jama'ah entah itu masjidnya kelompok mama. Yg saya alami, kadanh saya do'a qunut kadang nggak pake' doa qunut. Bagaimana sholat saya ustad. Krn seringkali saya mengalami kebimbangan. Dan harus bgimna ktk saya sholat yg nggak pake do'a. Qunut, apakah saya hrs sujud sahwi. Terimakasih.

Jawaban: Soal qunut: Islam itu satu. Tetapi pemahaman atas Islam sangatlah banyak. Fikih yang mengatur hukum Islam merupakan hasil dari pemahaman dan penafsiran para ulama terhadap sumber-sumber Islam. Dalam menyikapi masalah doa Qunut, para ulama berbeda pendapat: Pendapat 1) Menurut Imam Syafi'i dan Imam Malik, Qunut pada shalat subuh hukumnya sunnah. Menurut Imam Nawawi, hukumnya sunnah muakkad. Pendapat ini berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah saw senantiasa berdoa qunut hingga akhir hayatnya; Pendapat 2) Menurut Hanafiyah, Hanabilah, Imam Tsauri, dan sejumlah ulama salaf, qunut hukumnya tidak sunah. Mereka bersandar pada sebuah hadits yang menerangkan bahwa awalnya Rasulullah berdoa qunut tetapi pada waktu selanjutnya beliau meninggalkannya. Kata "meninggalkan" (tarakahu) dalam hadits menunjukkan bahwa qunut telah dihapus hukumnya. Perbedaan dalam qunut sebaiknya jangan sampai menimbulkan konflik. Imam Syafi'i telah memberi kita contoh yang arif. Beliau yang berpendapat qunut hukumnya sunnah, suatu hari pernah meninggalkan doa qunut saat shalat subuh yang dilakukan di dekat makam Abu Hanifah yang tidak mensunahkan doa qunut. Tujuan Imam Syafii meninggalkan qunut adalah untuk menghormati Abu Hanifah. Kita boleh meninggalkan doa qunut pada saat berjamaah dengan imam yang tidak berdoa qunut dengan niat menghormatinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi'i. Inilah salah satu contoh toleransi dalam berfikih.

4

Buletin SANTRI Edisi 01 Jum’at, 06 Maret 2015

Memanusiakan Manusia: Ajaran Kanjeng Nabi Oleh Rifqi Rafiq Belakangan ini, saya sering melihat bentangan spanduk di berbagai sudut kota Yogyakarta yang bertuliskan “Syi’ah bukanlah Islam”, “Syi’ah sesat”, “Syi’ah mengancam NKRI”, dan sebagainya. Sebagai orang awam, saya hanya bisa ngelus dada. Umat Islam seperti diaduk-aduk, akibat banyak provokasi yang berisikan kebencian terhadap kelompok lain. Saya prihatin, sebab provokasi spanduk yang terpampang begitu menyolok, bisa menyulut api perseteruan, sebagaimana

yang terjadi di kompleks perumahannya ustadz Arifin Ilham beberapa waktu yang lalu. Yang membuat saya lebih prihatin, di mana bapak polisi atau Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang katanya biasa ikut menjaga stabilitas kerukunan di tengah-tengah kita? Karena spanduk-spanduk yang tersebar itu—kalau dipampang secara umum—biasanya mendapat periijinanan. Kalau ihwal itu diijinkan berarti ketegangan di tengah-tengah

Buletin SANTRI Edisi 03 Jum’at, 06 Maret 2015

1


kita sengaja dipelihara. Begitu su’udzon hasanah saya mengenai hal ini. Dan saya b e r d o’a , s e m o g a k e t e g a n g a n ketegangan seperti ini akan segera usai. Sepertihalnya pepatah orang Jawa, ora elok. Istilah ora, atau kurang elok bukan semata-mata perkara benar atau salah. Bisa jadi benar, hanya saja kurang sedap dipandang. Dulu, sewaktu di pesantren, saya pernah belajar kitab grammar Arab Jurumiyah. Di dalam kitab itu dijelaskan bahwa kalam atau kalimat mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya mempunyai unsur “mufid”, yakni mempunyai faedah, untuk memahamkan, atau memberi informasi bagi orang lain. Dengan demikian, katakalimat yang keluar dari lisan kita tidak benar-benar merdeka dari interaksi kita dengan orang lain. Kata-kata yang keluar dari kita sedikit-banyaknya pasti akan mempengaruhi pikiran, maupun perbuatan orang lain. Sebagai muslim, kita diperintah untuk sangat menjaga sikap dalam ber tutur. Bahkan dalam mbatin prasangka kita terhadap orang lain. Boleh saja kita tidak cocok secara prinsip dengan orang lain, tapi bukan kemudian menggembar-gemborkan ketidaksukaan kita kepada khalayak ramai bahwa kita tidak suka dengan mereka. Kitab suci al-Qur’an sudah mewanti-wanti jangan sampai kita terseret perilaku tidak adil hanya karena

Buletin SANTRI Edisi 01 Jum’at, 06 Maret 2015

tidak suka kepada satu golongan. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS 5 : ayat 9). Dengan sederhana, saya membayangkan tentang statemen, Syi’ah bukan Islam atau Syi’ah mengganggu NKRI, kelompok ini sesat, kelompok ini harus dibasmi dari NKRI. Bagaimanapun kalimat tersebut kemudian mempengaruhi perilaku, pola pikir dan opini masyarakat umum. Pada akhirnya, kita harus bertanggungjawab atas apa yang kita keluarkan dari pernyataan itu kepada publik. Saya jadi teringat dengan nasehat Kiai saya, tentang memaknai ayat ud’uu ilaa sabiili Rabbika bilhikmah, wa mau’idhati hasanah, wa jaadilhum bi al-latii hiya ahsan. Di ayat ini, jika kita cermati, tidak ada maf’ulnya, atau tidak ada objek yang diperintah. Lantas, siapa yang diajak, kalau begitu? Ketika terdapat kata perintah “ajaklah ke jalan Tuhanmu”, maka objeknya tentu adalah “mereka yang tidak di jalan Tuhanmu”. Ketika anda mengajak seseorang untuk naik bus

misalnya, maka anda sudah pasti akan sebagai umatnya Nabi Muhammad mengajak orang yang belum naik bus, SAW harus bisa meniru akhlaknya yang atau yang ada di luar bus. Maka ajakan “memanusiakan manusia”. Sebab, titik di ayat tersebut adalah bagi mereka temu di antara sekian perseteruan di yang kita anggap di luar ‘bus’ Tuhan. tengah-tengah kita tak lain adalah Oleh karenanya, jika memang bahwa kita harus menyadari kalau kita saudara-saudara Syi’ah diasumsikan ini sama-sama manusia. Kita samatidak di jalan Tuhan, maka ajaklah sama umat Islam. Dan dari ajaran mereka dengan hikmah, nasehat yang manapun, saya kira tidak dibenarkan baik, atau debatlah dengan cara dan untuk mengolok manusia lain. Ketika argumen yang baik. Bukan dengan anda tidak ingin dipukul, maka jangan nasehat dan perkataan di sudut-sudut memukul. Ketika saya tidak ingin dicela, j a l a n a n y a n g p r o v o k a“Saya t i f n ajadi n teringat maka saya sebisa mungkin untuk tidak menyakitkan. Dalam mencermati mencela yang lain. dengan nasehat Kiai saya, fenomena tentang Syi’ah ini, tidak perlu Karena ketika melihat sesama tentang memaknai ayat memaksakan aqidah atau apa yang kita Islam berseteru, ada yang yakini kepada mereka.ud’uu Karenailaa sayasabiili bertepuktangan Rabbika di luar sana. Saat umat yakin masing-masing aliran sudah saling mencela dan mengolok-olok, ada bil-hikmah...” demikian fanatik dan memegang teguh yang bilang: “eh, lihat! Itu umat Islam ajaran masing-masing. pada olok-olokan sendiri!” dan tertawa Memanusiakan manusia di luar sana. Kekhawatiran seper ti ini, Dan ketika melihat sesama muslim sepertinya sudah diprediksi oleh saling berseteru, Saya sama sekali tidak Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Di bangga. Karena di situ saya merasa mana menjelang wafatnya beliau, yang sedih. dikhawatirkan olehnya bukanlah keadaan dirinya yang mendekati ajal. Wallahu a’lam bis-shawab. T e t a p i , u m a t n y a ; “ummati..ummati..ummati..” bagaimana Yogyakarta, 28 Februari 2015. nanti kondisi umatku, wahai umatku, umatku. Begitu cerita dalam Sirah Penulis adalah seorang muslim, masih ngangsu kawruh di UGM. Nabawi yang sering saya dengar dan baca. Sebab itu, kalau kita memang mengaku

Buletin SANTRI Edisi 03 Jum’at, 06 Maret 2015


kita sengaja dipelihara. Begitu su’udzon hasanah saya mengenai hal ini. Dan saya b e r d o’a , s e m o g a k e t e g a n g a n ketegangan seperti ini akan segera usai. Sepertihalnya pepatah orang Jawa, ora elok. Istilah ora, atau kurang elok bukan semata-mata perkara benar atau salah. Bisa jadi benar, hanya saja kurang sedap dipandang. Dulu, sewaktu di pesantren, saya pernah belajar kitab grammar Arab Jurumiyah. Di dalam kitab itu dijelaskan bahwa kalam atau kalimat mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya mempunyai unsur “mufid”, yakni mempunyai faedah, untuk memahamkan, atau memberi informasi bagi orang lain. Dengan demikian, katakalimat yang keluar dari lisan kita tidak benar-benar merdeka dari interaksi kita dengan orang lain. Kata-kata yang keluar dari kita sedikit-banyaknya pasti akan mempengaruhi pikiran, maupun perbuatan orang lain. Sebagai muslim, kita diperintah untuk sangat menjaga sikap dalam ber tutur. Bahkan dalam mbatin prasangka kita terhadap orang lain. Boleh saja kita tidak cocok secara prinsip dengan orang lain, tapi bukan kemudian menggembar-gemborkan ketidaksukaan kita kepada khalayak ramai bahwa kita tidak suka dengan mereka. Kitab suci al-Qur’an sudah mewanti-wanti jangan sampai kita terseret perilaku tidak adil hanya karena

Buletin SANTRI Edisi 01 Jum’at, 06 Maret 2015

tidak suka kepada satu golongan. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS 5 : ayat 9). Dengan sederhana, saya membayangkan tentang statemen, Syi’ah bukan Islam atau Syi’ah mengganggu NKRI, kelompok ini sesat, kelompok ini harus dibasmi dari NKRI. Bagaimanapun kalimat tersebut kemudian mempengaruhi perilaku, pola pikir dan opini masyarakat umum. Pada akhirnya, kita harus bertanggungjawab atas apa yang kita keluarkan dari pernyataan itu kepada publik. Saya jadi teringat dengan nasehat Kiai saya, tentang memaknai ayat ud’uu ilaa sabiili Rabbika bilhikmah, wa mau’idhati hasanah, wa jaadilhum bi al-latii hiya ahsan. Di ayat ini, jika kita cermati, tidak ada maf’ulnya, atau tidak ada objek yang diperintah. Lantas, siapa yang diajak, kalau begitu? Ketika terdapat kata perintah “ajaklah ke jalan Tuhanmu”, maka objeknya tentu adalah “mereka yang tidak di jalan Tuhanmu”. Ketika anda mengajak seseorang untuk naik bus

misalnya, maka anda sudah pasti akan sebagai umatnya Nabi Muhammad mengajak orang yang belum naik bus, SAW harus bisa meniru akhlaknya yang atau yang ada di luar bus. Maka ajakan “memanusiakan manusia”. Sebab, titik di ayat tersebut adalah bagi mereka temu di antara sekian perseteruan di yang kita anggap di luar ‘bus’ Tuhan. tengah-tengah kita tak lain adalah Oleh karenanya, jika memang bahwa kita harus menyadari kalau kita saudara-saudara Syi’ah diasumsikan ini sama-sama manusia. Kita samatidak di jalan Tuhan, maka ajaklah sama umat Islam. Dan dari ajaran mereka dengan hikmah, nasehat yang manapun, saya kira tidak dibenarkan baik, atau debatlah dengan cara dan untuk mengolok manusia lain. Ketika argumen yang baik. Bukan dengan anda tidak ingin dipukul, maka jangan nasehat dan perkataan di sudut-sudut memukul. Ketika saya tidak ingin dicela, j a l a n a n y a n g p r o v o k a“Saya t i f n ajadi n teringat maka saya sebisa mungkin untuk tidak menyakitkan. Dalam mencermati mencela yang lain. dengan nasehat Kiai saya, fenomena tentang Syi’ah ini, tidak perlu Karena ketika melihat sesama tentang memaknai ayat memaksakan aqidah atau apa yang kita Islam berseteru, ada yang yakini kepada mereka.ud’uu Karenailaa sayasabiili bertepuktangan Rabbika di luar sana. Saat umat yakin masing-masing aliran sudah saling mencela dan mengolok-olok, ada bil-hikmah...” demikian fanatik dan memegang teguh yang bilang: “eh, lihat! Itu umat Islam ajaran masing-masing. pada olok-olokan sendiri!” dan tertawa Memanusiakan manusia di luar sana. Kekhawatiran seper ti ini, Dan ketika melihat sesama muslim sepertinya sudah diprediksi oleh saling berseteru, Saya sama sekali tidak Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Di bangga. Karena di situ saya merasa mana menjelang wafatnya beliau, yang sedih. dikhawatirkan olehnya bukanlah keadaan dirinya yang mendekati ajal. Wallahu a’lam bis-shawab. T e t a p i , u m a t n y a ; “ummati..ummati..ummati..” bagaimana Yogyakarta, 28 Februari 2015. nanti kondisi umatku, wahai umatku, umatku. Begitu cerita dalam Sirah Penulis adalah seorang muslim, masih ngangsu kawruh di UGM. Nabawi yang sering saya dengar dan baca. Sebab itu, kalau kita memang mengaku

Buletin SANTRI Edisi 03 Jum’at, 06 Maret 2015


Edisi 03/2015

Sholat Subuh Pakai Qunut Pertanyaan: Assalamu'laikum ustadz nanya. Saya sering kali jama'ah subuh berpindah-pindah tempat. Krn saya adl seorang pedagang sayuran di pasar yg harus buka lapak ketika pagi buta. Jadi, saya juga trkdang sholat di jama'ah entah itu masjidnya kelompok mama. Yg saya alami, kadanh saya do'a qunut kadang nggak pake' doa qunut. Bagaimana sholat saya ustad. Krn seringkali saya mengalami kebimbangan. Dan harus bgimna ktk saya sholat yg nggak pake do'a. Qunut, apakah saya hrs sujud sahwi. Terimakasih.

Jawaban: Soal qunut: Islam itu satu. Tetapi pemahaman atas Islam sangatlah banyak. Fikih yang mengatur hukum Islam merupakan hasil dari pemahaman dan penafsiran para ulama terhadap sumber-sumber Islam. Dalam menyikapi masalah doa Qunut, para ulama berbeda pendapat: Pendapat 1) Menurut Imam Syafi'i dan Imam Malik, Qunut pada shalat subuh hukumnya sunnah. Menurut Imam Nawawi, hukumnya sunnah muakkad. Pendapat ini berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah saw senantiasa berdoa qunut hingga akhir hayatnya; Pendapat 2) Menurut Hanafiyah, Hanabilah, Imam Tsauri, dan sejumlah ulama salaf, qunut hukumnya tidak sunah. Mereka bersandar pada sebuah hadits yang menerangkan bahwa awalnya Rasulullah berdoa qunut tetapi pada waktu selanjutnya beliau meninggalkannya. Kata "meninggalkan" (tarakahu) dalam hadits menunjukkan bahwa qunut telah dihapus hukumnya. Perbedaan dalam qunut sebaiknya jangan sampai menimbulkan konflik. Imam Syafi'i telah memberi kita contoh yang arif. Beliau yang berpendapat qunut hukumnya sunnah, suatu hari pernah meninggalkan doa qunut saat shalat subuh yang dilakukan di dekat makam Abu Hanifah yang tidak mensunahkan doa qunut. Tujuan Imam Syafii meninggalkan qunut adalah untuk menghormati Abu Hanifah. Kita boleh meninggalkan doa qunut pada saat berjamaah dengan imam yang tidak berdoa qunut dengan niat menghormatinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi'i. Inilah salah satu contoh toleransi dalam berfikih.

4

Buletin SANTRI Edisi 01 Jum’at, 06 Maret 2015

Memanusiakan Manusia: Ajaran Kanjeng Nabi Oleh Rifqi Rafiq Belakangan ini, saya sering melihat bentangan spanduk di berbagai sudut kota Yogyakarta yang bertuliskan “Syi’ah bukanlah Islam”, “Syi’ah sesat”, “Syi’ah mengancam NKRI”, dan sebagainya. Sebagai orang awam, saya hanya bisa ngelus dada. Umat Islam seperti diaduk-aduk, akibat banyak provokasi yang berisikan kebencian terhadap kelompok lain. Saya prihatin, sebab provokasi spanduk yang terpampang begitu menyolok, bisa menyulut api perseteruan, sebagaimana

yang terjadi di kompleks perumahannya ustadz Arifin Ilham beberapa waktu yang lalu. Yang membuat saya lebih prihatin, di mana bapak polisi atau Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang katanya biasa ikut menjaga stabilitas kerukunan di tengah-tengah kita? Karena spanduk-spanduk yang tersebar itu—kalau dipampang secara umum—biasanya mendapat periijinanan. Kalau ihwal itu diijinkan berarti ketegangan di tengah-tengah

Buletin SANTRI Edisi 03 Jum’at, 06 Maret 2015

1


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.