Edisi 6 - Kiai dan Pesantren Indonesia

Page 1

Edisi 06/2015

Makmum Kepada Imam yang Tidak Fasih Pertanyaan: Salam ustadz. Saya galau nih ustadz. Seringkali ketika saya sholat berjamaah, bacaan sang imam itu tidak fasih. Terkadang makhrojnya seringkali salah. Yang seharusnya "dzal" tetapi dibaca "dal", yang seharusnya "jim" dibaca "za'". Itu bagaimana ustadz. Hal itu saya alami kemrin ketika sholat jumat. Khutbah khotibnya bagus tetapi bacaan sholatnya banyak yang salah. Sebenarnya tidak kemarin saja tapi seringkali saya menemui fenomena ini. Bahkan, imam itu sudah punya posisi di desanya, kalau mau diganti tetap aja sungkan dan imam itu tidak sadar diri. Terimakasih ustadz atas jawaban dari kegalauan saya ini. Abdul Karim Sastrawi, 30, Wartawan.

Jawaban: Wa'alaikumsalam. Para ulama berpendapat bahwa seseorang yang bacaan alQurannya bagus (al-qari') tidak boleh makmum di belakangnya imam yang bacaan alQurannya tidak bagus (al-ummi). Jika tetap dilakukan maka shalatnya batal. Namun, para ulama berbeda pendapat dalam hal batasan seseorang disebut al-ummi. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa seseorang yang tidak mampu membaca al-Fatihah disebut alummi. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa al-ummi adalah seseorang yang tak mampu membaca walaupun hanya satu ayat. Sebaliknya, seseorang yg mampu membaca walau hanya satu ayat dikategorikan sebagai al-qari'. Dengan berpijak pada pendapat Abu Hanifah ini, maka orang yang bacaannya bagus boleh bermakmum di belakang imam yg hanya bisa membaca satu ayat saja. Shalatnya sah, menurut Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, lebih utama jika yang yg menjadi imam adalah orang yang paling bagus bacaannya di suatu komunitas masyarakat.

HADIRILAH! Peringatan Haul Ke-76 Almaghfurlah KH. M. Munawwir Bersama: Dr. KH. A. Musthofa Bisri Selasa, 31 Maret 2015 pukul: 19.30 di halaman PP. Almunawwir, Krapyak

4

Buletin SANTRI Edisi 06 Jum’at, 27 Maret 2015

Kiai dan Pesantren Indonesia Oleh: KH. A. Musthofa Bisri

S

eperti mengenai banyak hal yang lain, kalau kita berbicara tentang kiai dan pesantren, kita terpaksa harus membuat katagori pembeda: kiai sekarang atau kiai dulu; pesantren sekarang atau pesantren dulu. Soalnya memang terdapat banyak perbedaan antara kiai sekarang dengan kiai di zaman dulu. Demikian pula dengan pesantren; apalagi sekarang ini banyak pesantren baru yang sama sekali berbeda bahkan sering 'ideologi'nya bertolak belakang dengan pesantren di zaman dulu. Kiai di zaman dulu –biasanya 'pemilik' pesantren—rata-rata adalah

orang yang di samping memiliki ilmu a g a m a l e b i h d a r i ke b a n y a k a n masyarakatnya, memiliki kecintaan yang mendalam kepada tanah air dan umatnya. Para kiai di zaman dulu, membangun pondok pesantren mereka sendiri untuk menampung santrisantrin mereka yang menimba ilmu darinya. Santri-santri mereka, tidak hanya diberi ilmu agama, tetapi dididik untuk mengamalkan ilmu yang mereka dapat. Menurut mereka, iIlmu tidak ada gunanya bila tidak diamalkan. Kitab-kitab kuning yang diajarkan kiai-kiai kepada santri-

Buletin SANTRI Edisi 06 Jum’at, 27 Maret 2015

1


santrinya adalah kitab-kitab yang umumnya merupakan penjabaran dari Kitab suci AlQuran dan Sunnah Rasulullah SAW menurut pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Paham yang mengajarkan Islam rahmatan lil'aalamiin dan sikap hidup tawassuth wal i'tidaal, sikap tengah-tengah dan tidak ekstrem. Para santri juga dididik untuk mencintai tanah air mereka. Hubbul wathan minal iimaan, “Cinta tanah air adalah bagian dari iman”, merupakan slogan di kalangan kiai dan pesantren tempo dulu. Di zaman penjajahan, banyak kiai yang menjadikan pesantrennya sebagai markas perlawanan terhadap penjajah. Banyak kiai yang gugur dan menjadi penghuni penjara pemerintah kolonialis dalam rangka membela tanah air. Dengan berbagai dalil 'kitab kuning', para kiai m e n g o ba r k a n s e m a n g a t r a k y a t melawan penjajah . Fatwa jihad melawan penjajah oleh Kiai Hasyim Asyari Tebuireng Jombang, misalnya, telah mengorbarkan semangat arekarek Jawa Timur untuk melawan Sekutu di Surabaya. Kiai Subki Parakan Te m a n g g u n g d e n g a n b a m b u r u n c i n g n y a y a n g t e r ke n a l i t u , menggembleng mental pejuangpejuang kemerdekaan. Kiai Baidlowi Lasem mengutus beberapa santrinya untuk memata-matai Belanda yang konon mendarat di daerah Sayung. Itu hanyalah sekedar contoh bagaimana para kiai pesantren dulu Buletin SANTRI Edisi 06 Jum’at, 27 Maret 2015

mengajarkan, mendidik, dan mencontohkan sikap patriotisme. Di zaman kebangkitan, para kiai pesantren medirikan organisasi yang mereka namakan Nahdlatul Wathan yang artinya Kebangkitan Tanah air. Maka tidak heran bila beberapa kiai yang –ketahuan-- kemudian diangkat menjadi pahlawan nasional. Bahkan Mohammad Asad Syihab, seorang wartawan Arab yang di zaman revolusi tinggal di Indonesia, di antara buku-bukunya tentang tokoh-tokoh nasional Indonesia yang diterbitkan di Kuwait, menulis buku berjudul Al'Allaamah Mohammad Hasyim Asy'ari Wadli'u Labinati Istiqlaali Indonesia. Te r j e m a h h a r f i a h n y a : M a h a k i a i Mohammad Hasyim Asy'ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia. Para kiai 'model dulu' selalu menanamkan kepada santri-santrinya bahwa mereka adalah orang Indonesia yang beragama Islam; bukan orang Islam yang kebetulan berada di Indonesia. Orang Islam yang kebetulan di Indonesia boleh jadi tidak peduli apapun yang menimpa Indonesia, tapi orang Indonesia yang beragama Islam tidak bisa tidak memikirkan dan berjuang bagi kebaikan Indonesia. Kecuali mungkin orang yang terbalik akalnya. Alhamdulillah, menurut pengamatan saya, minimal para kiai dan pesantren pelanjut generasi sebelumnya masih tetap mempertahankan pemahaman tentang

bisa mengerti. Tapi mereka yang Islam rahmatan lil'aalamiin dan sikap merupakan imam-imam dan ustadzhidup tawassuth wal i'tidaal, sikap ustadz itu masak tidak mengenal tengah-tengah dan tidak ekstrem, serta pemimpin agung panutan umat Islam memiliki rasa keindonesiaan yang tebal Nabi Muhammad SAW yang bassam, seperti kiai dan pesantren di zaman wajahnya tersenyum menyenangkan, dulu. yang bicaranya lembut, yang sikapnya Akhir-akhir ini orang santun, yang penuh kasih sayang, yang dibingungkan dengan munculnya bergaul dengan penuh adab, yang sikap-sikap kasar bahkan bengis dari beramar-makruf dengan baik kalangan yang juga menyebut dan bernahi-munkar tidak diri kaum muslimin. dengan munkar, yang Munculnya ustadz“..para kiai 'model dulu’ berjihad dengan aturan ustadz yang dari raut selalu menanamkan dan etika? muka hingga kepada para santri-santrinya Saya pikir, inilah tindakan dan bahwa mereka adalah yang merupakan ucapannya membuat orang bergidik. Ada orang Indonesia yang beragama tantangan utama kiai jama'ah yang tampak Islam; bukan orang Islam yang dan pesantren saat kebetulan berada ini. Mereka --yang bangga dengan di Indonesia ..” memiliki sanad, mata keangkerannya. Bahkan rantai keIslaman sampai ke ada yang tidak masuk akal: Rasulullah SAW-- dituntut perbuatan merusak yang untuk tampil sebagaimana kiai dan tegas-tegas dilarang oleh kitab suci pesantren dulu untuk mengenalkan Al-Quran justru dianggap jihad atau kerahmatan Islam dan kesantunan serta minimal dianggap amar makruf nahi kasih sayang Nabi Muhammad SAW. munkar. Bahkan ada yang tega Jangan sampai generasi kita dididik meledakkan bom di tengah-tengah oleh mereka yang yang –sadar atau keramaian. Kalau yang melakukan tidak , karena kepentingan atau kekerasan dan pengrusakan itu bukan kebodohan—justru ingin orang Indonesia, mungkin kita bisa mencemarkan nama baik Islam dan mengatakan itu pihak yang iri dan merusak tanah air kita. dengki kepada kita. Tapi kalau itu orang Indonesia sendiri, kita jadi bingung. *Penulis adalah seseorang yang masih Kalau jama'ah yang merupakan belajar sekedar anak-anak-buah, kita masih

Buletin SANTRI Edisi 06 Jum’at, 27 Maret 2015


santrinya adalah kitab-kitab yang umumnya merupakan penjabaran dari Kitab suci AlQuran dan Sunnah Rasulullah SAW menurut pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Paham yang mengajarkan Islam rahmatan lil'aalamiin dan sikap hidup tawassuth wal i'tidaal, sikap tengah-tengah dan tidak ekstrem. Para santri juga dididik untuk mencintai tanah air mereka. Hubbul wathan minal iimaan, “Cinta tanah air adalah bagian dari iman”, merupakan slogan di kalangan kiai dan pesantren tempo dulu. Di zaman penjajahan, banyak kiai yang menjadikan pesantrennya sebagai markas perlawanan terhadap penjajah. Banyak kiai yang gugur dan menjadi penghuni penjara pemerintah kolonialis dalam rangka membela tanah air. Dengan berbagai dalil 'kitab kuning', para kiai m e n g o ba r k a n s e m a n g a t r a k y a t melawan penjajah . Fatwa jihad melawan penjajah oleh Kiai Hasyim Asyari Tebuireng Jombang, misalnya, telah mengorbarkan semangat arekarek Jawa Timur untuk melawan Sekutu di Surabaya. Kiai Subki Parakan Te m a n g g u n g d e n g a n b a m b u r u n c i n g n y a y a n g t e r ke n a l i t u , menggembleng mental pejuangpejuang kemerdekaan. Kiai Baidlowi Lasem mengutus beberapa santrinya untuk memata-matai Belanda yang konon mendarat di daerah Sayung. Itu hanyalah sekedar contoh bagaimana para kiai pesantren dulu Buletin SANTRI Edisi 06 Jum’at, 27 Maret 2015

mengajarkan, mendidik, dan mencontohkan sikap patriotisme. Di zaman kebangkitan, para kiai pesantren medirikan organisasi yang mereka namakan Nahdlatul Wathan yang artinya Kebangkitan Tanah air. Maka tidak heran bila beberapa kiai yang –ketahuan-- kemudian diangkat menjadi pahlawan nasional. Bahkan Mohammad Asad Syihab, seorang wartawan Arab yang di zaman revolusi tinggal di Indonesia, di antara buku-bukunya tentang tokoh-tokoh nasional Indonesia yang diterbitkan di Kuwait, menulis buku berjudul Al'Allaamah Mohammad Hasyim Asy'ari Wadli'u Labinati Istiqlaali Indonesia. Te r j e m a h h a r f i a h n y a : M a h a k i a i Mohammad Hasyim Asy'ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia. Para kiai 'model dulu' selalu menanamkan kepada santri-santrinya bahwa mereka adalah orang Indonesia yang beragama Islam; bukan orang Islam yang kebetulan berada di Indonesia. Orang Islam yang kebetulan di Indonesia boleh jadi tidak peduli apapun yang menimpa Indonesia, tapi orang Indonesia yang beragama Islam tidak bisa tidak memikirkan dan berjuang bagi kebaikan Indonesia. Kecuali mungkin orang yang terbalik akalnya. Alhamdulillah, menurut pengamatan saya, minimal para kiai dan pesantren pelanjut generasi sebelumnya masih tetap mempertahankan pemahaman tentang

bisa mengerti. Tapi mereka yang Islam rahmatan lil'aalamiin dan sikap merupakan imam-imam dan ustadzhidup tawassuth wal i'tidaal, sikap ustadz itu masak tidak mengenal tengah-tengah dan tidak ekstrem, serta pemimpin agung panutan umat Islam memiliki rasa keindonesiaan yang tebal Nabi Muhammad SAW yang bassam, seperti kiai dan pesantren di zaman wajahnya tersenyum menyenangkan, dulu. yang bicaranya lembut, yang sikapnya Akhir-akhir ini orang santun, yang penuh kasih sayang, yang dibingungkan dengan munculnya bergaul dengan penuh adab, yang sikap-sikap kasar bahkan bengis dari beramar-makruf dengan baik kalangan yang juga menyebut dan bernahi-munkar tidak diri kaum muslimin. dengan munkar, yang Munculnya ustadz“..para kiai 'model dulu’ berjihad dengan aturan ustadz yang dari raut selalu menanamkan dan etika? muka hingga kepada para santri-santrinya Saya pikir, inilah tindakan dan bahwa mereka adalah yang merupakan ucapannya membuat orang bergidik. Ada orang Indonesia yang beragama tantangan utama kiai jama'ah yang tampak Islam; bukan orang Islam yang dan pesantren saat kebetulan berada ini. Mereka --yang bangga dengan di Indonesia ..” memiliki sanad, mata keangkerannya. Bahkan rantai keIslaman sampai ke ada yang tidak masuk akal: Rasulullah SAW-- dituntut perbuatan merusak yang untuk tampil sebagaimana kiai dan tegas-tegas dilarang oleh kitab suci pesantren dulu untuk mengenalkan Al-Quran justru dianggap jihad atau kerahmatan Islam dan kesantunan serta minimal dianggap amar makruf nahi kasih sayang Nabi Muhammad SAW. munkar. Bahkan ada yang tega Jangan sampai generasi kita dididik meledakkan bom di tengah-tengah oleh mereka yang yang –sadar atau keramaian. Kalau yang melakukan tidak , karena kepentingan atau kekerasan dan pengrusakan itu bukan kebodohan—justru ingin orang Indonesia, mungkin kita bisa mencemarkan nama baik Islam dan mengatakan itu pihak yang iri dan merusak tanah air kita. dengki kepada kita. Tapi kalau itu orang Indonesia sendiri, kita jadi bingung. *Penulis adalah seseorang yang masih Kalau jama'ah yang merupakan belajar sekedar anak-anak-buah, kita masih

Buletin SANTRI Edisi 06 Jum’at, 27 Maret 2015


Edisi 06/2015

Makmum Kepada Imam yang Tidak Fasih Pertanyaan: Salam ustadz. Saya galau nih ustadz. Seringkali ketika saya sholat berjamaah, bacaan sang imam itu tidak fasih. Terkadang makhrojnya seringkali salah. Yang seharusnya "dzal" tetapi dibaca "dal", yang seharusnya "jim" dibaca "za'". Itu bagaimana ustadz. Hal itu saya alami kemrin ketika sholat jumat. Khutbah khotibnya bagus tetapi bacaan sholatnya banyak yang salah. Sebenarnya tidak kemarin saja tapi seringkali saya menemui fenomena ini. Bahkan, imam itu sudah punya posisi di desanya, kalau mau diganti tetap aja sungkan dan imam itu tidak sadar diri. Terimakasih ustadz atas jawaban dari kegalauan saya ini. Abdul Karim Sastrawi, 30, Wartawan.

Jawaban: Wa'alaikumsalam. Para ulama berpendapat bahwa seseorang yang bacaan alQurannya bagus (al-qari') tidak boleh makmum di belakangnya imam yang bacaan alQurannya tidak bagus (al-ummi). Jika tetap dilakukan maka shalatnya batal. Namun, para ulama berbeda pendapat dalam hal batasan seseorang disebut al-ummi. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa seseorang yang tidak mampu membaca al-Fatihah disebut alummi. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa al-ummi adalah seseorang yang tak mampu membaca walaupun hanya satu ayat. Sebaliknya, seseorang yg mampu membaca walau hanya satu ayat dikategorikan sebagai al-qari'. Dengan berpijak pada pendapat Abu Hanifah ini, maka orang yang bacaannya bagus boleh bermakmum di belakang imam yg hanya bisa membaca satu ayat saja. Shalatnya sah, menurut Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, lebih utama jika yang yg menjadi imam adalah orang yang paling bagus bacaannya di suatu komunitas masyarakat.

HADIRILAH! Peringatan Haul Ke-76 Almaghfurlah KH. M. Munawwir Bersama: Dr. KH. A. Musthofa Bisri Selasa, 31 Maret 2015 pukul: 19.30 di halaman PP. Almunawwir, Krapyak

4

Buletin SANTRI Edisi 06 Jum’at, 27 Maret 2015

Kiai dan Pesantren Indonesia Oleh: KH. A. Musthofa Bisri

S

eperti mengenai banyak hal yang lain, kalau kita berbicara tentang kiai dan pesantren, kita terpaksa harus membuat katagori pembeda: kiai sekarang atau kiai dulu; pesantren sekarang atau pesantren dulu. Soalnya memang terdapat banyak perbedaan antara kiai sekarang dengan kiai di zaman dulu. Demikian pula dengan pesantren; apalagi sekarang ini banyak pesantren baru yang sama sekali berbeda bahkan sering 'ideologi'nya bertolak belakang dengan pesantren di zaman dulu. Kiai di zaman dulu –biasanya 'pemilik' pesantren—rata-rata adalah

orang yang di samping memiliki ilmu a g a m a l e b i h d a r i ke b a n y a k a n masyarakatnya, memiliki kecintaan yang mendalam kepada tanah air dan umatnya. Para kiai di zaman dulu, membangun pondok pesantren mereka sendiri untuk menampung santrisantrin mereka yang menimba ilmu darinya. Santri-santri mereka, tidak hanya diberi ilmu agama, tetapi dididik untuk mengamalkan ilmu yang mereka dapat. Menurut mereka, iIlmu tidak ada gunanya bila tidak diamalkan. Kitab-kitab kuning yang diajarkan kiai-kiai kepada santri-

Buletin SANTRI Edisi 06 Jum’at, 27 Maret 2015

1


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.