Edisi 07/2015
Terjemah dalam Shalat Pertanyaan: Assalamu'alaikum Ustadz. Bolehkah kita berdoa memakai bahasa kita (bukan bahasa arab) dalam sholat khususnya pada saat sujud? Fajar. Kulon Progo
Jawaban: Mendirikan shalat dengan bahasa selain Arab hukumnya perlu dipilah-pilah. Shalat dengan terjemah surat al-Fatihah hukumnya tidak sah. Namun, Abu Hanifah berpendapat bahwa membaca al-Fatihah dengan terjemah diperbolehkan khusus bagi orang yang tidak mampu membaca Arab. Adapun selain bacaan al-Fatihah apakah boleh diterjemahkan? Menurut Imam Malik, Imam Ishak, dan sebagian Syafi'iyyah: hukumnya dilarang dan shalatnya batal. Menurut Imam Syafi'i: hukumnya makruh dan shalatnya tdk batal. Imam Zarkasyi, boleh membaca bacaan selain al-Fatihah dengan terjemah bagi orang yang tidak mampu membaca Arab.
“Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukukan sesuatu yang baik untuk semua orang, Orang tidak akan tanya apa agamamu.” -KH. Abdurrahman Wahid
4
Buletin SANTRI Edisi 07 Jum’at, 03 April 2015
Khutbah Jumat dan Interupsi Oleh: Aziz Anwar Fachrudin*
B
olehkan menginterupsi khutbah Jumat? Soalan ini sempat cukup ramai dibicarakan di dunia maya, terutama di jejaring maya Twitter, menyusul adanya 'fatwa'—atau tepatnya hasil Bahtsul Masail (BM)—NU tentang bolehnya menginterupsi khutbah yang 'ngawur', yakni yang menebar kebencian atau, dalam bahasa hasil BM itu, “memuji orang yang tak layak untuk dipuji atau mencaci orang yang sebenarnya tidak layak dicaci.” ' Fatwa' tentang bolehnya
menginterupsi khutbah ini adalah jawaban terhadap penanya yang bertanya perihal khutbah yang sering ia temui, yang “menyampaikan materi yang sangat menyinggung perasaan, misalnya menjelek-jelekkan orang lain dan memusuhi kelompok lain secara terang-terangan.” Ihwal bolehnya menginterupsi khutbah Jumat ini sebenarnya bukan bahasan baru. Pembahasan tentang ini tercatat dalam literatur klasik Islam. Pendapat dalam jawaban BM NU itu b e r s a n d a r pa d a , s e s u a i y a n g
Buletin SANTRI Edisi 07 Jum’at, 03 April 2015
1
diberitakan di laman nu.or.id, pendapat dalam Mazhab Maliki, yang direkam dalam Al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah (I/361) karya Abdurrahman al-Juzairi; kitab yang tergolong mu'tabarah (reliable) dan sering dirujuk oleh setiap yang mengkaji fikih perbandingan mazhab (internal Sunni). Pandangan itu bukan hal baru karena memang pernah ada presedennya dalam sejarah Islam perdana, baik di zaman Nabi maupun zaman Sahabat, dan terekam dalam hadis-hadis sahih. Ada diceritakan dalam Sahih Bukhari (967) dan Muslim (897), misalnya, bahwa saat Nabi sedang berkhutbah, ada seseorang yang menginterupsi seraya meminta Nabi agar berdoa untuk keselamatan kampungnya yang kerontang karena ke m a r a u p a n j a n g . L a l u N a b i mengabulkan interupsi itu. Juga diriwayatkan, Nabi memerintahkan orang yang baru datang untuk salat sunnah tahiyyatul-masjid dulu (Bukhari 888 & Muslim 875). Pada zaman Sahabat, khutbah Umar ibn al-Khattab pernah diinterupsi oleh seorang perempuan yang protes karena mahar pernikahan dimurahkan. Pada zaman Daulah Umawi, beberapa orang menginterupsi khutbah Jenderal al-
Buletin SANTRI Edisi 07 Jum’at, 03 April 2015
Hajjaj ibn Yusuf yang mencaci Ali ibn Abi Thalib. Riwayat-riwayat macam ini bukan khas literatur klasik ala NU saja, bahkan ia juga dikutip dalam fatwa dari ulama 'Salafi'—saya menukil riwayat-riwayat itu dari fatwa di laman resminya Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid. Begitulah, maka terjadi beda pendapat di antara para pakar fikih tentang isu ini. Yang disepakati ialah: yang tak boleh saat khatib berkhutbah adalah perkataan laghwun, yakni hal yang sia-sia dan tak berkaitan dengan kemaslahatan ibadah Jumat. Yang beda kemudian adalah rincian dari apa yang terkategori laghwun atau bukan. Sebagian pendapat menyatakan, boleh memeringatkan khatib yang bacaan al-Qurannya keliru, bahkan menginterupsi khatib yang bicara 'ngawur' seper ti pendapat yang dikutip NU itu. Persoalan ini bisa dimengerti karena memang akhir-akhir ini banyak khutbah yang dipakai untuk menebar benci, kampanye politik, atau fitnah tentang orang atau kelompok tertentu. Ini terjadi terutama khutbah di kota-kota, sebab di desa-desa apa yang dikhutbahkan biasanya sudah dipakemkan, dengan membaca buku/kitab tertentu. Hanya, problemnya kemudian
berbeda pendapat, sebab dengan itu ialah orang-orang khawatir kalau ada banyak pilihan bagi umat. khutbah kok diinterupsi bisa terjadi Itu juga agar umat belajar kekacauan. Menanggapi jawaban BM untuk tak kagetan, sebab banyak yang NU itu, Muhammadiyah cenderung terlanjur terbiasa dengan melarang interupsi, dengan pandangan yang seragam. berdasar pada prinsip fikih Juga, biar umat sadd adz-dzari'ah mempelajari kembali (menutup potensi “Dalam hadits b a g a i m a n a yang menimbulkan yang sering dikutip dalam sebenarnya khutbah tindak mudarat). buku daras fikih Karena itu, dalam bab khutbah Jumat disebutkan, z a m a n N a b i . Misalnya, Nabi itu p a n d a n g a n “Singkat khutbah dan panjang salat Jumatnya lebih Muhammadiyah salat seseorang adalah i n i , k a l a u tanda kedalaman pemahaman panjang ketimbang khutbahnya. Dalam mendapati khutbah atau fikihnya.” hadis yang sering yang 'ngawur' dan dikutip dalam buku daras membuat kuping panas fikih bab khutbah Jumat sebaiknya seorang jamaah disebutkan, “Singkat khutbah dan melakukan mufaraqah atau walk-out panjang salat seseorang adalah tanda saja, lalu ganti salat sendiri. ke d a l a m a n p e m a h a m a n a t a u Di atas segalanya, munculnya fikihnya.” Sementara tradisi sekarang, b e r ba g a i pa n d a n g a n te n t a n g setidaknya di Indonesia, tak jarang khutbah itu perlu agar umat pelanlebih panjang khutbahnya ketimbang pelan menyadari watak fikih: salatnya. Demikian. pluralitas pandangan itu niscaya adanya. Dalam kadar tertentu, *Penulis adalah Santri Nurul Ummah kemajemukan pendapat itu justru Kota Gede Yogyakarta memudahkan umat. Seperti perkataan yang masyhur ternisbat kepada Khalifah Umar ibn Abdil Aziz: “Aku lebih senang bila para ulama
Buletin SANTRI Edisi 07 Jum’at, 03 April 2015
diberitakan di laman nu.or.id, pendapat dalam Mazhab Maliki, yang direkam dalam Al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah (I/361) karya Abdurrahman al-Juzairi; kitab yang tergolong mu'tabarah (reliable) dan sering dirujuk oleh setiap yang mengkaji fikih perbandingan mazhab (internal Sunni). Pandangan itu bukan hal baru karena memang pernah ada presedennya dalam sejarah Islam perdana, baik di zaman Nabi maupun zaman Sahabat, dan terekam dalam hadis-hadis sahih. Ada diceritakan dalam Sahih Bukhari (967) dan Muslim (897), misalnya, bahwa saat Nabi sedang berkhutbah, ada seseorang yang menginterupsi seraya meminta Nabi agar berdoa untuk keselamatan kampungnya yang kerontang karena ke m a r a u p a n j a n g . L a l u N a b i mengabulkan interupsi itu. Juga diriwayatkan, Nabi memerintahkan orang yang baru datang untuk salat sunnah tahiyyatul-masjid dulu (Bukhari 888 & Muslim 875). Pada zaman Sahabat, khutbah Umar ibn al-Khattab pernah diinterupsi oleh seorang perempuan yang protes karena mahar pernikahan dimurahkan. Pada zaman Daulah Umawi, beberapa orang menginterupsi khutbah Jenderal al-
Buletin SANTRI Edisi 07 Jum’at, 03 April 2015
Hajjaj ibn Yusuf yang mencaci Ali ibn Abi Thalib. Riwayat-riwayat macam ini bukan khas literatur klasik ala NU saja, bahkan ia juga dikutip dalam fatwa dari ulama 'Salafi'—saya menukil riwayat-riwayat itu dari fatwa di laman resminya Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid. Begitulah, maka terjadi beda pendapat di antara para pakar fikih tentang isu ini. Yang disepakati ialah: yang tak boleh saat khatib berkhutbah adalah perkataan laghwun, yakni hal yang sia-sia dan tak berkaitan dengan kemaslahatan ibadah Jumat. Yang beda kemudian adalah rincian dari apa yang terkategori laghwun atau bukan. Sebagian pendapat menyatakan, boleh memeringatkan khatib yang bacaan al-Qurannya keliru, bahkan menginterupsi khatib yang bicara 'ngawur' seper ti pendapat yang dikutip NU itu. Persoalan ini bisa dimengerti karena memang akhir-akhir ini banyak khutbah yang dipakai untuk menebar benci, kampanye politik, atau fitnah tentang orang atau kelompok tertentu. Ini terjadi terutama khutbah di kota-kota, sebab di desa-desa apa yang dikhutbahkan biasanya sudah dipakemkan, dengan membaca buku/kitab tertentu. Hanya, problemnya kemudian
berbeda pendapat, sebab dengan itu ialah orang-orang khawatir kalau ada banyak pilihan bagi umat. khutbah kok diinterupsi bisa terjadi Itu juga agar umat belajar kekacauan. Menanggapi jawaban BM untuk tak kagetan, sebab banyak yang NU itu, Muhammadiyah cenderung terlanjur terbiasa dengan melarang interupsi, dengan pandangan yang seragam. berdasar pada prinsip fikih Juga, biar umat sadd adz-dzari'ah mempelajari kembali (menutup potensi “Dalam hadits b a g a i m a n a yang menimbulkan yang sering dikutip dalam sebenarnya khutbah tindak mudarat). buku daras fikih Karena itu, dalam bab khutbah Jumat disebutkan, z a m a n N a b i . Misalnya, Nabi itu p a n d a n g a n “Singkat khutbah dan panjang salat Jumatnya lebih Muhammadiyah salat seseorang adalah i n i , k a l a u tanda kedalaman pemahaman panjang ketimbang khutbahnya. Dalam mendapati khutbah atau fikihnya.” hadis yang sering yang 'ngawur' dan dikutip dalam buku daras membuat kuping panas fikih bab khutbah Jumat sebaiknya seorang jamaah disebutkan, “Singkat khutbah dan melakukan mufaraqah atau walk-out panjang salat seseorang adalah tanda saja, lalu ganti salat sendiri. ke d a l a m a n p e m a h a m a n a t a u Di atas segalanya, munculnya fikihnya.” Sementara tradisi sekarang, b e r ba g a i pa n d a n g a n te n t a n g setidaknya di Indonesia, tak jarang khutbah itu perlu agar umat pelanlebih panjang khutbahnya ketimbang pelan menyadari watak fikih: salatnya. Demikian. pluralitas pandangan itu niscaya adanya. Dalam kadar tertentu, *Penulis adalah Santri Nurul Ummah kemajemukan pendapat itu justru Kota Gede Yogyakarta memudahkan umat. Seperti perkataan yang masyhur ternisbat kepada Khalifah Umar ibn Abdil Aziz: “Aku lebih senang bila para ulama
Buletin SANTRI Edisi 07 Jum’at, 03 April 2015
Edisi 07/2015
Terjemah dalam Shalat Pertanyaan: Assalamu'alaikum Ustadz. Bolehkah kita berdoa memakai bahasa kita (bukan bahasa arab) dalam sholat khususnya pada saat sujud? Fajar. Kulon Progo
Jawaban: Mendirikan shalat dengan bahasa selain Arab hukumnya perlu dipilah-pilah. Shalat dengan terjemah surat al-Fatihah hukumnya tidak sah. Namun, Abu Hanifah berpendapat bahwa membaca al-Fatihah dengan terjemah diperbolehkan khusus bagi orang yang tidak mampu membaca Arab. Adapun selain bacaan al-Fatihah apakah boleh diterjemahkan? Menurut Imam Malik, Imam Ishak, dan sebagian Syafi'iyyah: hukumnya dilarang dan shalatnya batal. Menurut Imam Syafi'i: hukumnya makruh dan shalatnya tdk batal. Imam Zarkasyi, boleh membaca bacaan selain al-Fatihah dengan terjemah bagi orang yang tidak mampu membaca Arab.
“Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukukan sesuatu yang baik untuk semua orang, Orang tidak akan tanya apa agamamu.” -KH. Abdurrahman Wahid
4
Buletin SANTRI Edisi 07 Jum’at, 03 April 2015
Khutbah Jumat dan Interupsi Oleh: Aziz Anwar Fachrudin*
B
olehkan menginterupsi khutbah Jumat? Soalan ini sempat cukup ramai dibicarakan di dunia maya, terutama di jejaring maya Twitter, menyusul adanya 'fatwa'—atau tepatnya hasil Bahtsul Masail (BM)—NU tentang bolehnya menginterupsi khutbah yang 'ngawur', yakni yang menebar kebencian atau, dalam bahasa hasil BM itu, “memuji orang yang tak layak untuk dipuji atau mencaci orang yang sebenarnya tidak layak dicaci.” ' Fatwa' tentang bolehnya
menginterupsi khutbah ini adalah jawaban terhadap penanya yang bertanya perihal khutbah yang sering ia temui, yang “menyampaikan materi yang sangat menyinggung perasaan, misalnya menjelek-jelekkan orang lain dan memusuhi kelompok lain secara terang-terangan.” Ihwal bolehnya menginterupsi khutbah Jumat ini sebenarnya bukan bahasan baru. Pembahasan tentang ini tercatat dalam literatur klasik Islam. Pendapat dalam jawaban BM NU itu b e r s a n d a r pa d a , s e s u a i y a n g
Buletin SANTRI Edisi 07 Jum’at, 03 April 2015
1