Pengaruh Service Performance Terhadap Nilai Institusi dan Kepuasan Mahasiswa

Page 1

PENGARUH SERVICE PERFORMANCE TERHADAP NILAI INSTITUSI DAN KEPUASAN MAHASISWA (STUDI PADA STIPAR TRIATMA JAYA) Saortua Marbun, I Nengah Suardhika Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma Mulya Abstract: The purposes of this study are to examine and analyze the effect of service performance to the value of the institution and student’s satisfaction. The research problem is "What service performance affect the value of the institution and student’s satisfaction?" Data collected by distributing questionnaires to 66 students of the Diploma III & IV at STIPAR Triatma Jaya. The results prove that the service performance has a significant direct effect on the value of the institution; path coefisient shows 0.761 with T-statistic = 12.390 (T-statistic > 1.96). The service performance has a significant direct effect on student’s satisfaction; path coefficient shows 0.535 with T-statistic = 2.468 (T-statistic > 1.96). Similarly, the value of the institution has a significant direct effect on student’s satisfaction; path coefficient shows 0.264 with T-statistic = 1.444 (T-statistic < 1.96). While service performance significantly affects indirectly to satisfaction mediated by institutional values. However, the role of institutional values are partial mediation. Comparring 0.520 : 0.208 with total effect 0.728. Thus when service performance is enhanced, the value of the institution and student satisfaction will increase. Therefore, managers should not rely on the value of institutions such as the achievements and success stories of alumni, but instead seek to improve service performance to make the upcoming graduates as graduates who are competitive. Keywords: service performance, value, satisfaction PENDAHULUAN Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan penduduknya. Oleh sebab itu pendidikan yang berkualitas diperlukan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkompeten dan mampu bersaing. Lembaga pendidikan berperan sangat penting dalam memajukan suatu generasi dan bangsa. Demikian pula dengan STIPAR Triatma Jaya, sebagai perguruan tinggi penyelenggara pendidikan dalam bidang perhotelan dan pariwisata. Seiring dengan perkembangannya, lembaga ini terus dituntut untuk membenahi dan meningkatkan kinerja pelayanannya, sehingga dapat memenuhi standar,

kebutuhan dan harapan masyarakat dan para peserta didiknya. Para alumni yang telah berhasil memasuki dunia industri perlu dipertahankan melalui service performance yang berkualitas dalam proses akademik secara terus-menerus. Mahasiswa adalah pihak yang menerima secara langsung segala bentuk pelayanan dari sebuah perguruan tinggi. Begitu pula dengan mahasiswa di STIPAR Triatma Jaya telah menerima segala bentuk pelayanan pendidikan dan terlibat sebagai partisipator sudah tentu seluruh aktifitas dalam proses belajar dan mengajar akan mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan keterampilan mereka. Pengaruh dari pengalaman tersebut mencakup

52


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

pengalaman-pengalaman baru sebagai hasil proses belajar yang pada akhirnya mampu memenuhi harapan dan kebutuhan mereka. Dalam hal inilah, kepuasan mahasiswa menjadi salah satu indikator atau alat pengukur kinerja pelayanan atau service performance dari sebuah perguruan tinggi.

2.Pengaruh langsung service performance terhadap kepuasan mahasiswa. 3.Pengaruh langsung nilai institusi terhadap kepuasan mahasiswa. 4.Pengaruh tak langsung service performance terhadap kepuasan mahasiswa melalui mediasi nilai institusi.

A.RUMUSAN MASALAH Penelitian ini akan menguji dan menganalisa hubungan service performance, nilai institusi dan kepuasan mahasiswa. Respon mahasiswa selaku pelanggan, baik respon service performance negatif maupun service performance positif akan membantu dalam mengenali area pelayanan yang perlu dipertahankan maupun area pelayanan yang memerlukan pembenahan. Berdasarkan permasalahan di atas maka dapat diuraikan rumusan masalah sebagai berikut: 1.Apakah service performance berpengaruh langsung terhadap nilai institusi? 2.Apakah service performance berpengaruh langsung terhadap kepuasan mahasiswa? 3.Apakah nilai institusi berpengaruh langsung terhadap kepuasan mahasiswa? 4.Apakah service performance berpengaruh tak langsung terhadap kepuasan mahasiswa melalui mediasi nilai institusi?

C.MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi empiris dalam bidang ilmu manajemen khususnya manajemen pemasaran jasa. Secara khusus penelitian ini berkaitan dengan nilai institusi dan kepuasan mahasiswa yang dipengaruhi baik secara simultan maupun secara parsial oleh service performance yang terdiri dari 5 dimensi, yaitu bukti fisik (physical evidence), daya tanggap (responsiveness), kehandalan (reliability), jaminan (assurance) dan empati (emphaty). Manfaat teoritis lain yang dapat dipetik dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan informasi lebih lanjut bagi para peneliti dalam bidang manajemen pemasaran khususnya kajian mengenai hubungan service performance dengan nilai institusi dan kepuasan konsumen di perguruan tinggi. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengelola STIPAR Triatma Jaya berupa informasi tentang cara atau metode untuk meningkatkan nilai institusi dan kepuasan mahasiswa. Demikian halnya dengan Pengurus Yayasan Triatma Surya Jaya, diharapkan memperoleh informasi tentang pentingnya service performance yang terdiri dari 5 dimensi, yaitu bukti fisik (physical evidence), daya tanggap (responsiveness),

B.TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian adalah untuk menguji dan menganalisis: 1.Pengaruh langsung service performance terhadap nilai institusi.

53


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

kehandalan (reliability), jaminan (assurance) dan empati (emphaty) dalam upaya mempertahankan eksistensi institusi serta memacu laju pencapaian visi dan misi lembaga. KAJIAN PUSTAKA A.Service Performance Menurut Cronin & Taylor (1992) service performance adalah alat ukur dari kualitas jasa berdasarkan performance saja. Cronin & Taylor (1992) menambahkan bahwa karena alat ukur kualitas jasa hanya didasarkan pada performance yakni kinerja personil perusahaan maupun semua fasilitas yang digunakan, maka perlu diperhatikan proses penyampaian jasa kepada pelanggan agar kualitas jasa sesuai dengan maksud perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa dalam service performance terkandung suatu proses untuk menyampaikan jasa pada pelanggan, sehingga berdasarkan konteks pelayanan pendidikan, maka service performance membutuhkan personil dan fasilitas dalam upaya proses penyampaian pelayanan. Terjadinya interaksi antara pelanggan dan penyedia jasa dimana pelanggan mencari informasi pada saat melakukan interaksi dengan penyedia jasa yaitu melakukan evaluasi terhadap kemurnian jasa yang diberikan. Prinsipnya adalah bahwa para pelanggan menilai suatu kegiatan operasional dari bagian yang terlihat dan dimengerti oleh pelanggan saja ketika proses Moment of Truth terjadi (Zeithaml & Bitner, 2000; Francis, Muzaffer, dan Vincent, 2000). Service performance harus menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap industri jasa agar dapat menampilkan Moment of Truth yang baik di benak para pelanggan demi

mencapai corporate image yang sempurna. Menurut Carlson (2004) performance (kinerja) adalah sebuah kejadian maupun bagian dari proses produksi, karena even bisa terjadi akibat adanya manusia yang melakukan proses tersebut, dan proses produksi merupakan salah satu bagian dalam performance untuk menggenapi tujuan perusahaan. Dengan kata lain semua kegiatan manusia bisa disebut dengan performance dan performance menjadi berkualitas ketika manusia berpikir sebelum bertindak. Firdaus melakukan uji empiris sebuah alat ukur service performance pada sektor pendidikan tinggi, yang diberi nama “HEdPERF� (Higher Education PERFormance) yang diharapkan dapat menangkap determinan-determinan dari kualitas pelayanan (service quality) pada sektor pendidikan tinggi. Dalam risetnya Firdaus membandingkan Hasil Uji SERVQUAL, SERVPERF dengan HEdPERF. HEdPERF dirancang dengan menggunakan lima aspek yang terdiri dari aspek nonakademik (Non-academic aspects), aspek akademik (Academic aspects), reputasi (Reputation), akses (Access), isu-isu program (Programme issues). Penelitian ini menemukan bahwa HEdPERF lebih efektif dalam mengukur service performance di sektor perguruan tinggi. Ditambahkannya bahwa dari kelima aspek skala tersebut, dimensi akses adalah determinan yang paling penting dari kualitas pelayanan pada sektor perguruan tinggi. Dengan kata lain, para mahasiswa menganggap bahwa akses menjadi lebih penting daripada dimensidimensi lainnya dalam menentukan

54


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

service performance yang mereka terima. Dimensi akses ini sebagai dimensi HEdPERF mencapai signifikansi positif dalam kaitannya dengan elemen seperti mudah didekati, kemudahan dan ketersediaan kontak baik dengan para staf akademisi dan staf nonakademisi (Firdaus, 2004). Oleh karena itu, Firdaus memberikan usulan teori agar perguruan tinggi lebih memusatkan upaya mereka pada dimensi determinan yang dianggap paling penting daripada memfokuskan energi pada sejumlah atribut yang lain (Firdaus, 2006). Archambault (2008) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara service quality, kepuasan/satisfaction, dan retensi mahasiswa. Penelitiannya membuktikan bahwa kepuasan mahasiswa memiliki pengaruh yang positif terhadap retensi mahasiswa. Archambault (2008) tidak melibatkan variabel nilai sebagai salah satu aspek yang penting dalam mengukur kepuasan. Hidayat (2009) sebuah model terintegrasi yang berisi hubungan antara kualitas layanan, kualitas produk dan nilai bagi nasabah dengan kepuasan dan loyalitas nasabah. Hidayat (2009) menggunakan model terintegrasi antara kualitas layanan, kualitas produk dan nilai bagi nasabah dengan kepuasan dan loyalitas nasabah. Variabel nilai bagi nasabah menunjukkan adanya pengaruh yang paling kuat dan dominan terhadap loyalitas nasabah jika dibandingkan dengan variabel kualitas layanan, kualitas produk dan kepuasan nasabah. Menurut Hidayat (2009) nilai yang didapat nasabah dapat secara langsung maupun tidak langsung diantarai oleh kepuasan

nasabah berpengaruh terhadap loyalitas nasabah. Mulyana dan Sufiyanor (2009) menggunakan tiga variabel yang terdiri dari service performance, kepuasan dan loyalitas pelanggan, ditemukan bahwa kepuasan memiliki peran penting sebagai variabel moderasi dimana pengaruh service performance akan semakin kuat terhadap loyalitas pelanggan apabila pelanggan juga merasakan kepuasan. Penelitian ini akan menganalisa hubungan variabel kinerja pelayanan (service performance), nilai institusi dan kepuasan mahasiswa, dengan variabel nilai institusi berperan sebagai mediator. Service performance dioperasionalkan menurut model SERVQUAL (Parasuraman, et al. 1988) dengan kelima dimensinya; akan tetapi tidak menggunakan skala persepsi-harapan (Dharmayanti, 2006). B.Dimensi Kualitas Pelayanan Menurut Garfin (1998) dalam Lovelock (1994) ada delapan dimensi kualitas, Peppard & Rowland (1995), dimensi tersebut terdiri dari (1) Kinerja (performance) karakteristik operasi pokok dari suatu produk, (2) Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), (3) Kehandalan (reliability), kecil kemungkinan akan mengalami kerusakan atau gagal dalam penggunaan, (4) Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), karakteristik desain dan operasi memenuhi standarstandar yang telah ditetapkan sebelumnya, (5) Daya tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama suatu produk dapat terus digunakan, termasuk umur teknis maupun umur ekonomis, (6) Serviceability, berkaitan dengan

55


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

penggunaan, keunggulan, kompetensi, produk dan selama proses penjualan hingga purna jual, (7) Estetika yaitu daya tarik produk terhadap panca indera, (8) Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), yaitu citra dan reputasi produk serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya. Parasuraman, et. al. (1988) mengidentifikasi sepuluh faktor utama yang menentukan kualitas jasa, meliputi (1) Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). (2) Responsiveness, adalah kemauan, kesiapan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan, (3), Competence, artinya setiap orang dalam suatu perusahaan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu, (4) Access, maksudnya mudah dihubungi dan mudah ditemui, lokasi fasilitas jasa mudah dijangkau, proses pemberian jasa berlangsung dengan cepat, tersedianya ruang tunggu yang nyaman, saluran komunikasi yang digunakan oleh perusahaan mudah dihubungi, (5) Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, menunjukkan perhatian dan keramahandalam memberikan layanan, (6) Communication, memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat dipahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan, (7) Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya, (8) Security, yaitu aman dari bahaya, risiko atau keragu-raguan, meliputi keamanan fisik, finansial dan kerahasiaan, (9) Understanding, yaitu usaha memahami keluhan pelanggan, (10) Tangibles, bukti

fisik dari jasa, yaitu dapat berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, representasi fisik dan jasa. Menurut Cronnoos dalam Evardsson et al. (1994) dimensi yang digunakan konsumen dalam menilai kualitas jasa terdiri dari enam kriteria pokok, yaitu (1) Outcome related, di mana pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa (service provider), karyawan, sistem operasional, dan sumberdaya fisik, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara profesional, (2) Attitud and Behavior, pelanggan merasa bahwa karyawan perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka dan berusaha membantu dalam memecahkan masalah mereka secara spontan dan senang hati, (3) Acsessability and flexibility, pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, karyawan dan sistem operasionalnya, dirancang dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat melakukan akses dengan mudah., (4) Reliability and trust worth, pelanggan memahami bahwa apapun yang terjadi, mereka bisa mempercayakan segera sesuatunya kepada penyedia jasa, (5) Recovery, pelanggan menyadari bahwa bila ada kesalahan atau bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat, (6) Reputation and credibility, pelanggan meyakini bahwa operasi dan penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya. Lehtinen (1999) mengemukakan dua dimensi kualitas jasa, yaitu process

56


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

quality (yang dievaluasi pelanggan selama jasa diberikan) dan physical quality (berhubungan dengan produk dan pendukungnya); inter active quality (berkaitan dengan hubungan antara pelanggan dan perusahaan. Gronroos (2000) memaparkan kembali tiga dimensi kualitas jasa lainnya yang hampir serupa yaitu technical quality (berkaitan dengan apa yang diterima pelanggan); functional quality (berhubungan dengan bagaimana cara jasa diberikan dan corporate quality (berhubungan citra perusahaan). Para peneliti di atas memfokuskan terhadap penilaian kualitas jasa dan aspek output, proses dan citra (result and process oriented). Berbeda dengan Gummesson (1990), memfokuskan pada sumber-sumber kualitas belaka. Pendekatannya bersifat process customer and oriented. Terdapat empat sumber kualitas untuk menentukan kualitas jasa, yang dikemukakan yaitu (1) Design quality, kualitas jasa ditentukan pada saat pertama jasa didesain untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, (2) Production quality, kualitas jasa ditentukan oleh kerjasama bagian manufaktur dan pemasaran, (3) Delivery quality, kualitas jasa dapat ditentukan oleh janji perusahaan kepada pelanggan, (4) Relations quality, kualitas jasa ditentukan oleh hubungan profesional dan sosial antara perusahaan dengan stakeholder (pelanggan, pemasok, agen, karyawan dan pemerintah). Pendapat lain dikemukakan oleh Johnston & Silvestro (1996) yang telah mengidentifikasi lima belas dimensi kualitas jasa yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) Hygiene factors, faktor-faktor yang diharapkan pelanggan, ada atau

tidaknya pemberian faktor ini akan menimbulkan rasa tidak puas, (2) Enhancing factors, faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan pelanggan, ada atau tidak adanya pemberian faktor ini tidak menyebabkan pelanggan tidak puas, (3) Dual-threshold factors, faktorfaktor bila tidak ada atau tidak tepat penyampaiannya akan membuat pelanggan tidak puas dan sebaliknya bilamana penyampaiannya tepat akan menyebabkan pelanggan akan puas. C.Model Pengukuran Kualitas Pelayanan Parasuraman et al. (1988), Zeithaml & Bitner (1998), mengemukakan sepuluh dimensi kualitas pelayanan yang kemudian dirangkum menjadi lima dimensi saja. Kelima dimensi tersebut juga menjadi model SERVQUAL Parasuraman yang menyatakan bahwa kualitas pelayanan dianggap merupakan jurang antara tingkat pelayanan yang dirasakan dan harapan dari para konsumen. Dengan demikian diusulkan lima dimensi yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan. Pendekatan kualitas pelayanan (Parasuraman et al., 1988; Walker, 1992), standar pelayanan meliputi dimensi-dimensi: 1.Reliability, kehandalan dalam melaksanakan pelayanan yang dijanjikan, konsistensi, dan ketepatan. 2.Responsiveness, ketanggapan dan, kesediaan untuk membantu dan menyediakan pelayanan yang dijanjikan. 3.Assurance of integrity, pengetahuan dan perilaku karyawan serta kemampuan untuk menginspirasikan kepercayaan dan keyakinan.

57


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

4.Emphaty menunjukkan perhatian individu dari perusahaan kepada pelanggannya, 5.Tangibles, bukti fisik, sarana dan prasarana (sarana komunikasi, sarana pengolah data, fasilitas fisik, perlengkapan, karyawan). Dalam model SERVQUAL PZB, diindentifikasi lima dimensi gap (kesenjangan) yang menyebabkan kegagalan dalam penyampaian jasa. Kelima gap tersebut adalah: (1) Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen. Kenyataan menunjukkan bahwa pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau memahami apa yang diinginkan para pelanggan secara tepat. Hal ini mengakibatkan manajemen tidak mengetahui bagaimana suatu jasa seharusnya didesain dan jasa-jasa pendukung apa saja yang diinginkan konsumen. Suatu misal dalam pengelolaan katering mungkin mengira para pelanggannya lebih mengutamakan ketepatan waktu pengantaran makanan, akan tetapi kenyataaannya lebih menginginkan pada variasi menu yang disajikan, (2) Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa. Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun suatu standard kinerja tertentu yang jelas. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumberdaya atau karena adanya kelebihan permintaan.. Sebagai contoh misalnya manajemen sebuah bank meminta jasa. Meminta para stafnya agar memberikan pelayanan secara cepat, tanpa menentukan

standard atau ukuran waktu pelayanan yang dapat dikategorikan cepat. (3) Gap antara spesifikasi kualitas jasa. Terdapat beberapa penyebab terjadinya kesenjangan, misalnya karyawan kurang terlatih, beban kerja melampaui batas, tidak dapat memenuhi standard kinerja yang ditetapkan. Selain itu, kemungkinan karyawan dihadapkan pada standard yang kadangkala saling bertentangan satu sama lain, (4) Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. Seringkali harapan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang akan diberikan oleh perusahaan. Risiko yang dihadapi perusahaan adalah apabila janji yang diberikan ternyata tidak dipenuhi, (5) Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan. Kesenjangan ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja/prestasi perusahaan dengan cara yang berlainan, atau bisa keliru mempersepsikan kualitas jasa. Beberapa pokok yang perlu diperhatikan dalam model SERVQUAL PZB antara lain (a) Identifikasi atribut kunci kualitas jasa dari sudut pandang dari konsumen, (b) Penekanan pada kesenjangan (gap) antara konsumen dan penyedia jasa utamanya pada persepsi dan harapan, (c) Pemahaman tentang implikasi teratasinya kesenjangan yang ada terhadap pengelolaan jasa. Model SERVQUAL PZB meliputi (1) Penilaian pelanggan terhadap kualitas jasa adalah hasil dari perbandingan antara harapan (sebelum menerima jasa) dan hasil yang diterima. Jika harapannya terpenuhi, maka mereka akan puas dan persepsinya positip dan sebaliknya jika tidak terpenuhi, maka mereka akan tidak puas dan

58


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

persepsinya negatif. Sedangkan bila kinerja jasa melebihi harapannya, mereka akan melebihi dari sekedar puas. (2) Penilaian pelanggan pada kualitas jasa dipengaruhi oleh proses penyampaian jasa, (3) Kualitas jasa terdiri dari kualitas dari jasa yang normal dan kualitas dari deviasi jasa yang normal, (4) Bilamana timbul masalah, perusahaan harus meningkatkan kontaknya dengan pelanggan. SERVQUAL telah dikenal luas dan diterapkan dalam berbagai pelayanan, seperti dalam bidang kesehatan, sekolah bisnis, perbankan, rumah sakit, klinik gigi, ritel besar, dry cleaning dan restoran cepat saji. Namun demikian kemungkinan penyamarataan dimensi-dimensi SERVQUAL di seluruh industri jasa yang berbeda masih terus menjadi pertanyaan, selain itu juga diperlukan instrumen yang saling melengkapi untuk mengatur ekspektasi dan persepsi secara terpisah sebagai nilai yang berbeda dianggap tidak tepat dalam hak reliabilitas dan panjangnya kuesioner, Carmen (1990). Walaupun model SERVQUAL telah menerima banyak kritik, model ini terus digunakan dan merupakan model yang paling luas diterapkan guna mengukur kualitas pelayanan. Model SERVQUAL diadopsi untuk banyak industri yang berbeda, seperti penerbangan, perbankan, pusat pelayanan kesehatan, perdagangan eceran dan lain sebagainya. Masalah utama yang berkaitan dengan model SERVQUAL, adanya perkembangan perusahaan, bahwa model tersebut digunakan tanpa kecuali dalam konteks organisasi yang besar seperti Disney World, Dupont, Goodyear, Federal Express dan National Westminster Bank, Macalaran dan

McGowan (1999). Berdasarkan kenyataan ini mereka mempertanyakan apakah model SERVQUAL dapat diterapkan untuk perusahaan kecil, dan apakah instrumen SERVQUAL itu sendiri dan penekanannya pada sistem manajemen yang ramping memberikan pengukuran yang realistis dari kualitas pelayanan bagi pemilik bisnis usaha kecil. D.Model Service performance (SERVPERF) Beberapa kritik telah dilontarkan pada SERVQUAL Parasuraman (1988), sebagai contoh oleh Carman (1990), berpendapat bahwa SERVQUAL bukan alat ukur yang bersifat generik yang dapat diterapkan dalam semua jenis pelayanan dan perlu disesuaikan untuk jenis jasa tertentu. Babakus & Boller (1992) dalam Cronin & Taylor (1992) juga menyatakan bahwa dimensionalitas dari kualitas pelayanan dapat tergantung pada jenis jasa yang sedang diteliti. Dalam analisis empirisnya, ukuran berdasarkan persepsi memiliki korelasi yang lebih tinggi dengan kualitas pelayanan secara keseluruhan dibandingkan dengan SERVQUAL. Temuan tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Cronin & Taylor (1992), Teas (1993) yang mempertanyakan validitas SERVQUAL, dan mengusulkan model alternatif. Berdasarkan kajian literatur, Cronin & Taylor (1992), berpendapat bahwa SERVQUAL terdapat kelemahan yaitu mencampur antara kepuasan dan sikap, dimana kualitas pelayanan dapat dikonsentrasikan sama dengan sikap dan dapat dioperasionalkan dengan model kesesuaian nilai penting (adequacy-

59


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

importance model). Sebagai alternatif solusi untuk kritik tersebut, Cronin & Taylor (1992), mengusulkan agar ukuran kualitas pelayanan yang digunakan cukup berbasis kinerja dan tidak perlu menggunakan espektasi. Cronin & Taylor menguji model yang disebut SERVPERF (Service Performance) di empat industri jasa, yaitu perbankan, pest control, restoran siap saji dan dry cleaning. Skala dalam instrumen dalam SERVPERF adalah bagian persepsi dari instrumen SERVQUAL, telah membuktikan suatu konsep pengukuran yang lebih valid terhadap kualitas pelayanan, karena validitas dan bukti validitas deskriminannya. Wall & Payne (1973) dalam Siu & Ceung (2001) juga menyatakan bahwa terdapat kesulitan ketika ada yang diminta untuk menunjukkan tingkat yang diinginkan (expectation) dari suatu pelayanan dan tingkatan yang ada (perseption) dari pelayanan dimaksud. Barbara & Boller (1992) dalam Siu & Ceung (2001), menemukan bahwa kualitas pelayanan, ketika diukur dalam skala SERVQUAL secara signifikan lebih bersandar pada nilai persepsi dari pada nilai ekspektasi. Cronin & Taylor (1992) memandang bahwa kinerja dari 21 item pada SERVQUAL telah memadai dalam menentukan dominan kualitas pelayanan dan mereka memutuskan untuk menggunakan item performance yang sama untuk menguji instrumen alternatif dari SERVQUAL. Empat model diuji dalam penelitian tersebut, yaitu: (1) SQ = (Performance-Expectation), (2) SQ = Importance, (PerformanceExpectation), (3) SQ =

(Performance)=SERVPERF, (4) SQ = Importance, (Performance). Hasil pengujian menunjukkan model yang ketiga yaitu SQ = (Performance)=SERVPERF memiliki indeks kesesuaian model yang terbaik dan mampu menjelaskan lebih banyak varians. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa instrumen terbaik yang dapat digunakan dalam mengukur kualitas pelayanan adalah berdasarkan kinerja saja, yaitu komponen persepsi dari instrumen SERVQUAL. Karena kualitas pelayanan diukur berdasarkan kinerja jasa dari penyedia jasa, maka instrumen yang mereka usulkan dinamakan SERVPERF (Service Performance). SERVPERF mendapat dukungan dari Lowndes & Dawes (1999) yang melakukan percobaan penelitian dengan metode Mystery Shopping pada pusat perdagangan ritel. Cara ini memberikan sumbangan pada pemantauan kualitas dari pelayanan pelanggan yang ditawarkan, evaluasi staf, dan identifikasi kelemahan dari proses penyerahan jasa. Peneliti melakukan Mysteri Shopping sebanyak dua kali, yaitu tahun 1997 dan 1998, menghasilkan bahwa instrumen SERVPERF yang digunakan dalam penelitiannya menunjukkan hasil yang konsisten. Berdasarkan hasil yang telah dicapai mereka, menyatakan bahwa instrumen SERVPERF dapat diadopsi ke dalam kegiatan mystery shopping. Pembahasan teori Parasuraman et al. (1988), Model SERVQUAL PZB (Parasuraman, Zeithami, Berry), pengukuran kualitas pelayanan menggunakan 5 dimensi (reliability, responsiveness, assurance, empathy dan tangible).

60


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

Sedangkan penelitian Cronin & Taylor (1992), berpendapat bahwa SERVQUAL terdapat kelemahan yaitu mencampur antara kepuasan dan sikap. Cronin & Taylor (1992), mengusulkan agar ukuran kualitas pelayanan yang digunakan cukup berbasis kinerja dan tidak perlu menggunakan ekspektasi yang disebut SERVPERF (Service Performance). Berdasarkan hasil peneltian SERVQUAL Parasuraman et al. (1988) dan penelitian SERVPERF Cronin & Taylor (1992), maka dalam meneliti kinerja pelayanan perguruan tinggi mengacu kepada konsepsi kualitas pelayanan dari Parasuraman et al. yang didasarkan pada 5 dimensi, sedangkan pengukuran kualitas layanan mengikuti Cronin & Taylor (1992) dengan menggunakan service performance (SERVPERF). Ada beberapa cara atau model yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan atau jasa. Namun pada penelitian ini akan dipaparkan dua model yang berkaitan dengan topik penelitian yakni servqual (Parasuraman et al. 1988) dan SERVPERF (Cronin & Taylor, 1992). SERVQUAL atau service quality adalah model yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas pelayanan dengan memperhatikan 5 dimensi pelayanan yang dikembangkan oleh Parasuraman, et. al, Lima dimensi pelayanan adalah sebagai berikut : 1.Bukti fisik atau tangible. Bukti fisik meliputi fasilitas fisik, perlengkapan pegawai sarana komunikasi. 2.Empati atau Emphaty. Empati meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian dan memenuhi kebutuhan konsumen.

3.Kehandalan atau reliability. Kehandalan meliputi kemampuan memberikan pelayanan yang diberikan dengan secara akurat dan memuaskan. 4.Daya tanggap atau responsiveness. Daya tanggap meliputi keinginan para staf untuk membantu para konsumen dalam memberikan pelayanan sehingga dengan cepat menanggapi seluruh keinginan konsumen. 5.Jaminan atau assurance. Jaminan meliputi pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh para staf, bebas dari bahaya resiko atau keraguraguan. Lamb et al., (2001:88) menyatakan bahwa kepuasan konsumen adalah proses seorang pelanggan dalam membuat keputusan membeli, menggunakan dan membuang barang-barang dan jasa yang dibeli serta juga termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian dan penggunaan produk, kepuasan pelanggan merupakan fungsi dari kualitas pelayanan dikurangi harapan pelanggan atau dapat dirumuskan sebagai berikut: Satisfaction = f (Service Quality Expectation) Rumus tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.Kualitas layanan (service quality) kurang dari (<) harapan (expectation). Keadaan seperti ini terjadi apabila kualitas pelayanan yang diberikan perusahaan menurut penilaian konsumen kurang baik, tidak memuaskan dan tidak sesuai dengan harapan. 2.Kualitas layanan (service quality) sama dengan (=) harapan (expectation). Keadaan seperti ini terjadi apabila kuliatas pelayanan

61


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

yang diberikan dinilai oleh konsumen sebagai biasa saja, tidak ada yang istimewa dan dianggap sudah seharusnya. 3.Kualitas layanan (service quality) melebihi (>) harapan (expectation). Keadaan seperti ini ditemukan apabila konsumen merasakan bahwa pelayanan yang diberikan memuaskan dan menyenangkan pelanggan, melebih harapan konsumen. Sementara itu, SERVPERF (service performance) adalah metode yang dikembangkan oleh Cronin & Taylor (1992, 1994). SERVPERF menyatakan bahwa ukuran kualitas pelayanan adalah kinerja dari pelayanan yang diterima oleh konsumen, konsumen hanya dapat menilai kualitas dari suatu pelayanan yang benar-benar mereka rasakan (Dharmayanti, 2006). Model SERVPERF dalam menentukan kualitas pelayanan adalah dengan cara melakukan pengukuran pada service performance saja. Service performance ini dipandang sebagai representasi yang paling baik dari persepsi konsumen mengenai kualitas pelayanan yang diterima dari pemberi layanan. Berbeda dengan Parasuraman dkk., Cronin & Taylor tidak mengikutsertakan harapan atau ekspektasi sebagai faktor yang dapat dianggap sebagai indikator kualitas pelayanan. Menurut Cronin & Taylor, harapan atau ekspektasi pelanggan bukan merupakan bagian dari konsep SERVPERF. Cronin & Taylor menemukan bahwa hasil pengukuran dengan model SERVPERF lebih baik dibandingkan model SERVQUAL. Itulah sebabnya Cronin & Taylor tidak menggunakan variabel ekspektasi dan diganti dengan kinerja (performance) pelayanan. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa dalam metode SERVPERF, pengukuran kualitas pelayanan didasarkan hanya pada service performance saja. Meskipun tidak ada ketentuan atau konsensus yang baku mengenai konsep dan metode pengukuran kualitas pelayanan (Carman, 1990) namun di dalam penelitian ini kualitas pelayanan akan diukur dengan menggunakan model service performance (Cronin & Taylor, 1992). Pada intinya, model ini menganggap bahwa kualitas pelayanan adalah sama dengan kinerja layanan. E.Service dan Pemasaran Jasa Menurut Kotler & Keller (2006) pelayanan adalah segala jenis tindakan atau performa yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lainnya yakni sesuatu yang intangible serta tidak menghasilkan kepemilikan kepada pihak yang ditawari. Pelayanan juga dapat diartikan sebagai suatu “tindakan dari suatu pihak ke pihak lain dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pihak yang lain dalam pembelian produk.� (Sistaningrum (2002). Berdasarkan uraian tersebut maka perusahaan atau lembaga penyedia layanan dalam memasarkan produk atau pelayanannya perlu memperhatikan kualitas atau performa agar mampu tetap eksis dalam menghadapi persaingan serta memenuhi kebutuhan konsumen secara maksimal. Perusahaan harus bersaing dalam memberikan pelayanan kepada konsumen, agar mereka tetap menjadi pelanggan yang setia dan dapat menarik pelanggan baru, dengan memberikan pelayanan yang dapat memuaskan konsumen. Demikian juga dengan lembaga pendidikan perlu

62


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

memperhatikan kinerja pelayanannya. Salah satu faktor penentu keunggulan sebuah perguruan tinggi dalam menghadapi persaingan dengan perguruan tinggi yang lain adalah service performance yang mampu memberikan pelayanan yang prima. Lembaga pendidikan harus dapat memberikan pelayanan yang memuaskan kepada mahasiswa. Berdasarkan uraian tersebut maka kualitas atau service performance adalah salah satu strategi pemasaran. Adapun ciri-ciri umum pelayanan menurut Gronroos adalah sebagai berikut: a.intangible yang artinya bahwa pelayanan tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan; b.heterogen berarti penampakan pelayanan seringkali bervariasi dan tergantung kepada konteks penyedia pelayanan (provider) dan pelanggannya. c.pelayanan tidak dapat diletakkan dalam konteks statis terhadap perubahan jaman; oleh karenanya butuh dites dan dites-ulang tanpa henti, dan d.produksi dari pelayanan merupakan hal yang tak terpisah dari tindak konsumsi (Gronroos, 1990) Sementara itu, menurut Tjiptono (2000) karakteristik pokok pada jasa atau pelayanan yang membedakannya dengan barang. Keempat karakteristik tersebut adalah: 1.Intangible. Jasa berbeda dengan barang. Jika barang merupakan suatu objek, alat atau benda, maka jasa adalah suatu perbuatan, kinerja (performance) atau usaha. Bila barang dapat dimiliki, maka jasa hanya dapat dikonsumsi tetapi tidak dapat dimiliki. Jasa bersifat intangible, artinya tidak dapat

dilihat, dirasa, diraba, dicium atau didengar sebelum dibeli. 2.Inseparability. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa. Keduanya mempengaruhi hasil (outcome) dari jasa tersebut. Dalam hubungan penyedia jasa dan pelanggan ini, efektivitas individu yang menyampaikan jasa (contactpersonel) merupakan unsur penting. 3.Variability. Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan non standardized out-put, artinya variasi bentuk, kualitas dan jenis tergantung pada siapa, kapan dan di mana jasa tersebut dihasilkan. 4.Perishability. Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Kondisi seperti ini tidak akan menjadikan permintaannya konstan. Tetapi kelihatannya permintaan pelanggan akan jasa umumnya santa bervariasi dan dipengaruhi faktor musiman, oleh karena itu perusahaan harus mengevaluasi kapasitasnya guna menyeimbangkan penawaran dan permintaaan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pelayanan adalah setiap tindakan atau perbuatan yang menghasilkan suatu tingkat kepuasan yang dapat ditawarkan untuk dijual, bersifat intangible, inseparable, variable dan perishable. Oleh karena atribut pelayanan tersebut, maka pengukuran maupun evaluasi kualitas pelayanan sangat berbeda dengan pengukuran kualitas suatu produk atau barang. Evaluasi dan analisis kualitas pelayanan dapat dikaitkan dengan seluruh proses pemberian pelayanan (service delivery process) (Cody & Hope, 1999). Proses pemberian layanan tidak dapat dipisahkan dari

63


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

keterlibatan personil atau pegawai yang terlibat dalam pemberian layanan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Goetsh & Davis (Tjiptono, 2002: 51), kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan. Sementara itu menurut Wyckof (Tjiptono, 2002: 59), kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan memenuhi keinginan pelanggan. Dengan demikian, kualitas jasa sangat dipengaruhi oleh kemampuan penyedia jasa dalam upaya memenuhi harapan-harapan pelanggan. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa kepuasan konsumen menjadi tolak ukur dalam meningkatkan dan mempertahankan kualitas dan keunggulan pelayanan terhadap konsumen. Secara umum, kualitas pelayanan dapat dilihat sebagai faktor penting untuk memperoleh laba. Ada dua hal yang dapat menjelaskan kontribusi kualitas pelayanan terhadap laba. Pertama, kualitas pelayanan dianggap sebagai salah satu alat untuk diferensiasi pelayanan dan keunggulan kompetitif yang menarik pelanggan baru dan berkontribusi terhadap market share (Venetis & Ghauri, 2000: 215). Kedua, kualitas pelayanan meningkatkan keinginan pelanggan untuk membeli lagi, membeli lebih, membeli pelayanan yang lainnya, membuat pelanggan tidak sensitif terhadap harga, dan menceritakan kepada orang-orang lainnya mengenai pengalaman yang mereka sukai tentang suatu pelayanan (Venetis & Ghauri, 2000: 215). Menurut Kotler & Keller (2006: 139) menyatakan bahwa kualitas pelayanan adalah merupakan kunci

yang menentukan kepuasan pelanggan. Oleh sebab itu sebagaimana Beckham (dalam Kotler & Keller, 2006: 139) menegaskan bahwa pemasar yang tidak belajar cara meningkatkan, cara menghasilkan, dan memahami seluk beluk pelayanan akan kalah dalam persaingan. Setiap pemasar harus menyadari bahwa tugas utamanya adalah untuk memuaskan pelanggan serta perlu memahami keseluruhan proses pelayanan terhadap pelanggan. F.Kepuasan Konsumen Kotler & Armstrong, (1996), produk jasa berkualitas mempunyai peranan penting untuk membentuk kepuasan pelanggan. Semakin berkualitas produk dan jasa yang diberikan, maka kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan semakin tinggi. Bila kepuasan pelanggan semakin tinggi, maka dapat menimbulkan keuntungan bagi badan usaha tersebut. Pelanggan yang puas akan terus melakukan pembelian pada badan usaha tersebut. Demikian pula sebaliknya jika tanpa ada kepuasan, dapat mengakibatkan pelanggan pindah pada produk lain. Kotler, (1997), Tingkat kepuasan adalah fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan. Dengan demikian, harapan pelanggan melatar belakangi mengapa dua organisasi pada jenis bisnis yang sama dapat dinilai berbeda oleh pelanggannya. Dalam konteks kepuasan pelanggan, umumnya harapan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya. Harapan mereka dibentuk oleh pengalaman pembelian dahulu, komentar teman dan kenalannya serta janji dari perusahaan tersebut. Harapan-harapan pelanggan ini dari

64


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

waktu ke waktu berkembang seiring dengan semakin bertambahnya pengalaman pelanggan. Tjiptono (1997), kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian (disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan bahwa pada persaingan yang semakin ketat ini, semakin banyak produsen yang terlibat dalam pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen sehingga hal ini menyebabkan setiap badan usaha harus menempatkan orientasi pada kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama, antara lain dengan semakin banyaknya badan usaha yang menyatakan komitmen terhadap kepuasan pelanggan. Dari sini dapat diketahui pada saat pelanggan komplain. Hal ini merupakan peluang bagi badan usaha untuk dapat mengetahui kinerja dari badan usaha. Dengan adanya komplain tersebut badan usaha dapat memperbaiki dan meningkatkan layanan sehingga dapat memuaskan konsumen yang belum puas tadi. Biasanya konsumen mempunyai komitmen yang besar pada badan usaha yang menanggapi komplain darinya. G.Pengukuran Kepuasan Tjiptono (2005), kepuasan / ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian/diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaian. Kotler (1995) mengemukakan bahwa �Kepuasan pelanggan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja hasil yang

dirasakan dibanding dengan harapannya�. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen menurut Schanaars (1991), adalah (1) Harapan, telah terbentuk sebelum melakukan pembelian dan dicari konsumen terhadap produk barang ataupun jasa. Harapan dibentuk dan didasarkan oleh faktor-faktor seperti kebutuhan pribadi, pengalaman masa lalu, komunikasi dari mulut ke mulut dari kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan, (2) Kinerja yang dibentuk oleh produk, adalah hasil yang dicapai produk dalam kenyataannya. Dapat dikatakan merupakan persepsi konsumen dalam mengukur hasil yang dicapai oleh suatu produk barang atau jasa, (3) Konfirmasi/diskonfirmasi, merupakan hasil perbandingan antara harapan sebelumnya dari kinerja yang sebenarnya. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur dan memantau kepuasan pelanggan. Kotler (1995) mengemukakan empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu: (1) Sistem keluhan dan saran, media yang dapat digunakan meliputi kotak saran yang diletakkan di tempat strategis, menyediakan kartu komentar, menyediakan saluran komunikasi dan sebagainya, (2) Survey kepuasan pelanggan, dapat dilakukan berbagai cara, yaitu: directly report statisfaction, pengukuran dilakukan secara langsung melalui pertanyaan dengan jawaban sangat puas, puas netral, tidak puas dan sangat tidak puas; Derived Dissactifation, pertanyaan menyangkut besarnya kinerja yang pelanggan rasakan dan besarnya harapan; Problem analisys, pelanggan yang menjadi responden diminta untuk mengungkapkan

65


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan saran-saran untuk melakukan perbaikan; importance performance anlisys, responden diminta untuk meranking berbagai atribut dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap atribut, (3) Ghost shopping, dilaksanakan dengan cara memperkerjakan beberapa orang (ghost shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai pelanggan atau pembeli potensial produk perusahaan dari pesaing, (4) Last customer analisys, perusahaan berusaha menghubungi pelanggan yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok, guna mengambil kebijakan lebih lanjut, untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Irawan (2002 : 253) menyatakan bahwa kepuasan merupakan hasil dari penilaian pelanggan bahwa pelayanan telah memberikan tingkat kenikmatan dimana tingkat pemenuhan ini bisa lebih atau kurang. Sedangkan, Sutedjo (2007 : 3) menyampaikan beberapa hal yang diinginkan pelanggan antara lain : 1.Pelanggan ingin diperlakukan dengan adil dan jujur, dan penuh hormat. 2.Pelanggan ingin lokasi pelayanan yang strategis. 3.Pelanggan ingin pelayanan yang tepat waktu dan efisien. 4.Pelanggan ingin pemecahan yang baik atas persoalan mereka. 5.Pelanggan ingin diperlakukan seperti raja, yang ingin selalu dilayani dan diperhatikan. 6.Pelanggan ingin uang mereka dihargai. 7.Pelanggan hanya menginginkan yang terbaik.

Dari beberapa keinginan pelanggan diatas dapat diambil beberapa indikator yang akan mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diharapkan, karena pada dasarnya apabila keinginan pelanggan terpenuhi maka pelanggan tersebut akan mendapatkan kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan. Oleh karena itu, indikator-indikator dari kepuasan pelanggan pada penelitian ini memfokuskan keinginan dari pelanggan, yaitu : (1) Keadilan pelayanan; (2) Kesigapan dalam layanan; (3) Penanganan keluhan; (4) Perhatian dalam layanan, serta (5) Kesesuaian tarif dan jasa kepada pelanggan. Menurut Kotler “Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya” (Kotler, 1997). Menurut Day (dalam Tse & Wilton) yang dikutip oleh Tjiptono “Kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya”. (Tjiptono, 2000) Menurut Engel yang dikutip oleh Tjiptono “Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberikan hasil (outcome) sama atau melampaui harapan pelanggan”. (Tjiptono, 2004) Sementara itu, Cronin & Taylor (1992) menunjukkan bahwa service quality adalah sebuah anteseden dari consumer satisfaction, yang

66


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi pembelian. Kotler & Keller (2000: 36) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Tingkat kepuasan pelanggan dapat ditentukan berdasarkan pada 5 faktor utama yang perlu diperhatikan oleh sebuah perusahaan (Lupiyadi, 2001: 158) yaitu: 1.Kualitas produk; pelanggan akan merasa puas apabila hasil evaluasi mereka menunjukan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas. 2.Kualitas pelayanan; pelanggan akan merasa puas apabila mereka mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan yang diharapkan. Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah juga layanan purna jual dan layanan keluhan. 3.Faktor emosional; kepuasan seorang pelanggan akan meningkat ketika ia mempunyai keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadapnya bila ia memakai produk yang ia beli. Tidak bisa disangkal, bahwa apabila seseorang menggunakan merk tertentu, ia cenderung menpunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. 4.Harga; produk yang mempunyai kualitas yang sama tetapi mendapatkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggannya. 5.Biaya; pelanggan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas terhadap produk atau tersebut. Yang masuk ke dalam kategori ini misalnya selalu terjaganya ketersediaan suatu produk.

Berdasarkan paparan di atas, telah jelaslah bahwa konsep pengikatan pelanggan meliputi integrasi erat antara faktor kualitas pelayanan, kepercayaan terhadap suatu produk, citra perusahaan, dan kepuasan pelanggan. Ketika integrasi keempat faktor tersebut berhasil diwujudkan dengan baik, maka suatu produk atau merk bakal menjadi market leader. Hubungan kualitas layanan dan nilai untuk kepuasan menurut Bagozzi’s (1992) dan Lazarus (1991) penilaian kualitas layanan dan nilai dapat mengakibatkan kepuasan emotif, yang pada gilirannya mendorong loyalitas (Chenet et al., 1999; Ennew & Binks, 1999; Woodruff, 1997). Urutan sebab akibat kualitas layanan – kepuasan mendapat dukungan dan validasi secara empiris (Brady & Robertson, 2001; Godieb et al., 1994) METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat menjelaskan atau explanatory researh yang melibatkan mahasiswa Program Diploma III dan IV di STIPAR Triatma Jaya yang berjumlah 66 orang. Kuesioner yang dikembalikan 62 unit dan memenuhi syarat 52 unit. Oleh karena populasi kurang dari 100 orang maka seluruh populasi dijadikan sebagai responden. Populasi ini diambil karena para mahasiswa telah mengalami kualitas pelayanan selama 2 sampai 3 tahun. Data dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner dan diolah dengan alat analisa. Penelitian menggunakan tiga variabel: service performance, nilai institusi dan kepuasan mahasiswa. Untuk menguji dan menganalisa maka data diolah dengan menggunakan teknik analisis

67


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

data adalah PLS dengan Program SmartPLS. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini ke tiga variabel laten, yaitu: kinerja pelayanan (service performance) (X), nilai institusi (Y1), dan kepuasan mahasiswa (satisfaction) (Y2) merupakan model pengukuran dengan indikator reflektif, sehingga dalam evaluasi model pengukuran dilakukan dengan memeriksa convergent dan discriminant validity dari indikator untuk mengukur validitas indikator, serta composite reliability yang bertujuan mengevaluasi nilai reliabilitas antara blok indikator dari konstruk yang membentuknya. Pengujian hipotesis dapat dipilah menjadi pengujan pengaruh langsung dan pengujian pengaruh tak langsung atau pengujian variabel mediasi. Berdasarkan olah data ditemukan bahwa seluruh hipotesis dapat dibuktikan dengan nilai positif sebagai berikut: 1.H1a: Service performance berpengaruh langsung secara positif terhadap nilai institusi dengan koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.761 dengan T-statistic = 12.390 (T-statistic > 1.96) 2.H1b: Service performance berpengaruh langsung secara positif terhadap kepuasan mahasiswa dengan koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.535 dengan Tstatistic = 2.468 (T-statistic > 1.96). 3.H2: Nilai institusi berpengaruh langsung secara positif terhadap kepuasan mahasiswa dengan koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0.264 dengan T-statistic = 1.444 (T-statistic < 1.96). 4.H3: Service performance berpengaruh tak langsung terhadap

kepuasan mahasiswa melalui mediasi nilai institusi dapat dibuktikan kebenarannya. Namun demikian, nilai institusi bukan sebagai mediator kunci pada efek tak langsung service performance terhadap kepuasan mahasiswa, karena mediasinya bersifat parsial (partial mediation). Hasil kajian menunjukkan koefisien jalur pada efek langsung service performance terhadap kepuasan mahasiswa lebih besar (0.520) dibandingkan koefisien jalur efek tak langsung melalui mediasi nilai institusi (0.208) dengan total efek sebesar 0.728. Hasil ini memberikan gambaran bahwa secara langsung service performance mampu memberikan dampak yang lebih besar terhadap kepuasan mahasiswa dibandingkan dampak service performance secara tak langsung melalui mediasi nilai institusi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Service performance berpengaruh terhadap nilai institusi. Dengan kata lain, apabila service performance semakin berkualitas maka nilai institusi juga turut meningkat. Service performance berpengaruh terhadap kepuasan mahasiswa. Dengan kata lain, apabila service performance semakin berkualitas maka kepuasan mahasiswa juga turut meningkat. Nilai institusi berpengaruh terhadap kepuasan mahasiswa. Dengan demikian nilai institusi mampu meningkatkan kepuasan mahasiswa. Service performance berpengaruh tak langsung terhadap kepuasan mahasiswa dengan mediasi nilai institusi secara parsial. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai institusi bukan mediator kunci pada hubungan tak langsung antara

68


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

service performance dengan kepuasan mahasiswa. Hal ini berarti bahwa mahasiswa merasa puas terhadap service performance dan kepuasan tersebut tidak bergantung pada nilai institusi. Saran Saran bagi peneliti selanjutnya hendaknya melakukan penelitian yang berbeda baik dari segi variabel, model bahkan dengan obyek penelitian yang berbeda pula. Penelitian sangat memungkinkan untuk dilakukan mengingat banyaknya faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan konsumen. Oleh karena service performance berpengaruh terhadap nilai institusi, maka pengelola hendaknya berfokus pada upaya meningkatkan nilai institusi dengan cara meningkatkan service performance lembaga. Service performance yang semakin baik maka nilai institusi pun akan meningkat. Service performance memegang peranan yang sangat penting dan memiliki pengaruh secara langsung terhadap kepuasan mahasiswa, maka pengelola hendaknya memprioritaskan upayaupaya untuk meningkatkan service performance lembaga dengan memperhatikan kelima dimensinya. Selain dipengaruhi oleh service performance, kepuasan mahasiswa juga dipengaruhi nilai institusi. Oleh karena itu, pengelola diharapkan memberikan perhatian pada upayaupaya untuk menggali peranan penting dari para alumni yang telah berhasil, pentingnya suasana akademik yang komunikatif, serta tersedianya peluang kerja setelah lulus. Peranan alumni misalnya, tidak saja digunakan sebagai

kesaksian atau kisah sukses tetapi juga sebagai sumber umpan balik. Disisi lain, dapat pula disampaikan bahwa nilai institusi perlu terus dipertahankan dan ditingkatkan, agar menjadi sebuah citra atau keunikan institusi. Pengelola diharapkan menitikberatkan segala upaya dan kebijakan-kebijakannya untuk menghantar para lulusan yang akan datang untuk meraih prestasi dan mampu berkompetisi dengan para lulusan dari lembaga lain baik di dalam maupun di luar negeri. Dengan kata lain, pengelola seharusnya tidak cepat merasa puas dan menjadikan keberhasilan para alumninya sebagai daya tarik lembaga melainkan berupaya terus meningkatkan service performance yang berujung pada kepuasan mahasiswa dan meningkatnya daya saing. Keterbatasan penelitian ini terletak pada teori, variabel-variabel maupun obyek penelitian. Pengukuran kualitas pelayanan hanya berdasarkan kinerja saja adalah merupakan teori yang menjadi acuan utama pada penelitian ini. Sementara itu, variabel penelitian dibatasi hanya pada hubungan service performance, nilai institusi, dan kepuasan. DAFTAR PUSTAKA Burch, Edward., H.P.R.J.U. (1995). Exploring Servperf: An Empirical Investigation Of The ImportancePerformance, Service Quality Relationship In The Uniform Rental Industry, (Bopp 1990), 1–13. Carman, J.M. 1990. Consumer Perceptions of Service Quality: An Assesment of

69


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

The Servqual Dimensions dalam Journal of Retailing, Vol. 66, hlm. 33-55. Cody, K. dan Hope, B. 1999. EXSERVQUAL: An Instrument to Measure Service Quality of Extranets dalam Proceedings of the 10th Australasian Conference on Information Systems, Wellington, 1-3 Desember, hlm. 207. Cronin, J Joseph, and Steven A Taylor. “SERVPERF Versus SERVQUAL : Reconciling Performance-Based and Measurement of Service Quality.” Journal of Marketing (1994): 125–132. Cronin, J.Joseph, Michael K Brady, and G.Tomas M Hult. “Assessing the Effects of Quality, Value, and Customer Satisfaction on Consumer Behavioral Intentions in Service Environments.” Journal of Retailing 76.2 (2000): 193–218. Dharmayanti, Diah. “Service Performance Dan Kepuasan Sebagai Moderating Variable Terhadap Loyalitas Nasabah (Studi Pada Nasabah Tabungan Bank Mandiri Cabang Surabaya).” Jurnal Manajemen Pemasaran, Vol. 1, No. 1, April 2006: 35-43 1.1 (2006): 35–43. Douglas, J., McClelland, R., & Davies, J. (2008). The development of a conceptual model of student satisfaction with their experience in higher education. Quality Assurance in Education, 16(1), 19–35.

doi:10.1108/0968488081084 8396 Eagle, L., & Brennan, R. (2007). Are students customers? TQM and marketing perspectives. Quality Assurance in Education, 15(1), 44–60. doi:10.1108/0968488071072 3025 Fazlzadeh, Alireza., Khoshmaram Ali, and Feyzipour Aram. “How Quality, Value, Image, and Satisfaction Create Loyalty at an Iran Telecom.” International Journal of Business and Management 6.8 (2011): p271. Firdaus, Abdullah. “Measuring Service Quality in Higher Education: HEdPERF Versus SERVPERF.” Marketing Intelligence & Planning 24.1 (2006): 31–47. Fogarty, G., Catts, R., & Forlin, C. (2000). Measuring Service Quality with SERVPERF. Journal of Outcome Measurement, 4(1), 425–447. Ghozali, Imam. “Structural Equation Modeling Metode Alternatif Dengan Partial Least Square (PLS)” Edisi 3. Semarang: Undip, 2011. Gronroos, C. 1990. Service Management and Marketing: Managing the Moments of Truth in Service Competition. Lexington, Massachusetts: Lexington Books. Helena, Alves, and Mário Raposo. “Conceptual Model of Student Satisfaction in Higher Education.” Total Quality Management &

70


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

Business Excellence (2007): 571–588.

18.5

Hidayat, Rachmad. “Pengaruh Kualitas Layanan , Kualitas Produk Dan Nilai Nasabah Terhadap Kepuasan Dan Loyalitas Nasabah Bank Mandiri.” Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.11, No. 1, Maret 2009: 59-72 11.1 (2009): 57–72. Hishamuddin, Fitri Abu Hasan., Azleen Ilias, and Rahida Abd Rahman Mohd Zulkeflee Abd Razak. “Service Quality and Student Satisfaction: A Case Study at Private Higher Education Institutions.” International Business Research 1.3 (2008): P163. Jain, S. K., & Gupta, G. (2004). Measuring Service Quality: SERVQUAL vs. SERVPERF Scales. Vikalpa, 29(2), 25– 37. Khan, H., & Matlay, H. (2009). Implementing service excellence in higher education. Education + Training, 51(8/9), 769–780. doi:10.1108/0040091091100 5299 Kotler, Philip, 1994, Manajemen Pemasaran, Penerbit Erlangga, Jakarta. Kotler, Philip dan Gary Armstrong. 1996. Principle of Marketing Seventh Edition. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Kotler, Philip dan Kevin Lane Keller. 2000. Marketing Management edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Prenhallindo.

Lupiyadi. 2001. Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta: Salemba Empat. Lzme,

Archambault. “Measuring Service Performance, Student Satisfaction and Its Impact on Student Retention in Private, Post-Secondary Institutions.” Proceedings of the "EDUCOM 2008 International Conference. Sustainability in Higher Education: Directions for Change, Edith Cowan University, Perth Western Australia, 19-21 November 2008. November (2008): 19– 21.

Manullang, Ida. “Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pelanggan Jasa Penerbangan PT. Garuda…, 2008 USU e-Repository © 2008.” (2008): n. pag. Marianti, Maria Merry. “Pengukuran Kualitas Jasa.” Bina Ekonomi Majalah llmiah Fakultas Ekonomi LJnpar 11 Volume 13, Nomor 2, Agustus 2009 13.2 (2009): 11–20. Mulyana., S. (2009). Analisis Dampak Service Performance Dan Kepuasan Terhadap Loyalitas Pelanggan. Sultan Agung, XLV(119), 73–90. Popescu, M. (2010). Consumers ’ Satisfaction Of Higher Education Services A Problem Of Education In The 21St, 10(2), 267–278. Semuel, Hatane, and Nadya Wijaya. “Service Quality, Perceive Value, Satisfaction, Trust, Dan Loyalty Pada Pt. Kereta Api Indonesia Menurut

71


Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya (S.Marbun, Suardhika, 52- 72) Vol 19,No.1 Edisi Juni 2013

Penilaian Pelanggan Surabaya.” (1942): n. pag.

Conference, Buenos Aires, 28 Juni – 1 Juli, hlm. 215-224.

Sanchez-Fernandez, R., and M. a. Iniesta-Bonillo. “The Concept of Perceived Value: a Systematic Review of the Research.” Marketing Theory 7.4 (2007): 427–451.

Yang, Zhilin, and Robin T. Peterson. “Customer Perceived Value, Satisfaction, and Loyalty: The Role of Switching Costs.” Psychology and Marketing 21.10 (2004): 799–822.

Seth, Nitin, S.G. Deshmukh, and Prem Vrat. “Service Quality Models: a Review.” International Journal of Quality & Reliability Management 22.9 (2005): 913–949. Sufiyanor., Mulyana. “Analisis Dampak Service Performance Dan Kepuasan Terhadap Loyalitas Pelanggan.” Sultan Agung Vol Xlv No. 119 September - Nopember 2009 Xiv.119 (2009): 74–90. Tjiptono, Fandy., 1996, Strategi Bisnis Manajemen, Yogyakarta, Andi Offset. Venetis, K.A. dan Ghauri, P.N. 2000. The Importance of Service Quality on Customer Retention: An Empirical Study of Business Service Relationships dalam Proceedings of the Marketing in a Global Economy

Yonggui Wang, Hing-Po Lo, Yongheng Yang. “An Integrated Framework for Service Quality, Customer Value, Satisfaction: Evidence from China’s Telecommunication Industry.” Information Systems Frontiers. 2December 2004, Volume 6, Issue 4, pp 325-340 6.4 (2004): 325–340. Zhang, Linying, Zhijun Han, and Qun Gao. “Empirical Study on the Student Satisfaction Index in Higher Education.” International Journal of Business and Management 3.9 (2007): 46–51. Zeithaml, Valarie A. “Consumer Perceptions of Price, Quality, and Value: A Means-End Model and Synthesis of Evidence.” Journal of Marketing 52.3 (1988): 2–22

72


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.