'/+.+* &'0)#0 74#0+ '4&#5
Buku 5
Rekam Jejak Calon Presiden
KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN Suka-duka, kegembiraan dan harapan, serta kecemasan orangorang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan suka-duka, kegembiraan dan harapan, serta kecemasan Gereja (Lihat, Gaudium et Spes 1).
www.gerejamasadepan.org Buku-buku panduan dan SIMULASI dalam edisi ini sudah dapat diunduh melalui website GSC www.gerejamasadepan.org Jika Anda membutuhkan informasi langsung untuk membahas isi dan program GSC , silakan hubungi kontak person di bawah ini: Paul Soetopo (Hp.08119000622) – Email: psoetopo@mac.com Sandiwan Suharto (Hp.08129050912) – Emil: sandiwansuharto@yahoo.com Lidwinus Widarto (Hp. 081510556791) – Email: kreasi.studyclub@yahoo.com Doni Koesoema A. (Hp. 087883472804) - Email: dka@gerejamasadepan.org
2|Pemilu 2014 : Memilih dengan Nurani Cerdas
Kata Pengantar
Pengantar
P
emilihan Legislatif (9 April 2014) telah lewat. Hasilnya telah kita ketahui dengan PDIP sebagai pemenang dengan 18,95% suara. Kemudian diikuti oleh Golkar (14,75%), Gerindra (11,81%) dan Partai Demokrat (10,19%). Partai-partai Islam meneguhkan kedudukannya sebagai partai kelas menengah kecuali PBB yang tidak memenuhi ambang batas Parlemen. Gerindra menunjukkan perkembangan besar. Terdapat partai baru yang memperoleh suara cukup signifikan, yaitu NASDEM dengan perolehan suara 6,72%. Rekor perolehan Nasdem ini sudah diperkirakan, meskipun lebih kecil dari harapan. Itulah gambaran dari partai-partai yang menguasai DPR yang akan bertindak sebagai mitra Pemerintah. Catatan kelam dari Pileg yang lalu adalah maraknya politik uang, kampanye hitam dan kampanye negatif. ‘Serangan fajar’ masih jadi andalan banyak Caleg yang bukan hanya bersaing melawan partai lain tetapi juga antar Caleg dari partai yang sama. Suatu contoh adalah kekalahan Ketua Umum Gerindra yang tidak lolos ke DPR dikalahkan oleh Caleg Gerindra sendiri yang tergolong masih ‘baru’. Kejadian serupa terjadi juga di partai-partai yang lain. Banyak tokoh-tokoh lama terkenal yang tidak lolos ke Senayan karena politik uang. Menjelang Pilpres saat ini, kejadian serupa terjadi lagi, bahkan dalam intensitas yang lebih serius, mungkin disebabkan oleh situasi pemilihan yang langsung masuk final – head to head – Jokowi/Jusuf Kalla versus Prabowo Subiyanto/Hatta Rajasa. Kampanye hitam secara masif digunakan berikut kampanye negatif dan politik uang. Secara terbuka dan bangga Tim Sukses membagikan uang selain kaos dan lainnya. Bahkan salah satu calon mengatakan dengan suara lantang dan tegas “terima saja, karena itu uang rakyat!”. Luar biasa! Menyongsong Pilpres, Kantor Waligereja Indonesia (KWI) tanggal 26 Mei telah mengeluarkan Surat Gembala yang ditujukan kepada umat Katolik agar menjadi Indonesia 100% dan Katolik 100%. Esensinya agar tidak GOLPUT, memilih Calon yang punya Integritas moral dan akhirnya agar setelah selesai PILPRES segala perbedaan dan pertentangan berhenti dan rakyat mendukung siapapun Calon yang akan menang dalam pemilihan. Kita inginkan Pemimpin yang melayani dan yang memperjuangkan nilai-nilai 3|Pemilu 2014 : Memilih dengan Nurani Cerdas
hidup bersama sebagai bangsa sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja (ASG), yaitu “menghormati kehidupan dan martabat manusia, memperjuangkan kebaikan bersama, mendorong dan menghayati semangat solidaritas dan subsidiaritas serta memberi perhatian lebih kepada warganegara yang kurang beruntung�. Buku ini, seperti biasa, memuat tulisan pokok, yaitu tulisan Sdr. Totok Suryaningtyas dari Litbang Kompas tentang Rekam Jejak Perjuangan Calon Presiden sebagai acuan yang berguna dalam kita melakukan pemilihan, Rekam Jejak Partai Pendukung (Doni Koesoema A), Gereja dan Pilpres tulisan Romo YR Edy Purwanto Pr, Sekretaris Eksekutif KWI, Pentingnya Spiritualitas Politik dan Memilih Pemimpin yang Berintegritas Moral tulisan Paul Soetopo, dan Menyimak Surat Gembala KWI oleh Sandiwan Suharto. Fokus pemikiran akan diakhiri dengan tulisan Sdr. Doni Koesoema A tentang tanggungjawab umat untuk membentuk nurani secara bertanggungjawab. Pada rubrik curah gagasan terdapat tulisan Ketua umum ISKA (sdr Muliawan Margadana) yang berjudul Kepemimpinan dan Kejujuran, Presidium WKRI Pusat, Hildegard della Pradipta yang berjudul Membangun Indonesia yang Bermartabat dan Direktur Eksekutif Yayasan Bhumiksara (Royani Lim), Jadilah Mediator, Bukan Makelar. Selain itu, kami muat pula tulisan dari Staf GSC yaitu Bapak Y Soedradjad Djiwandono (Penasihat) yang berjudul Menentukan Pilihan sebagai Pengikut Kristus, Saudara Paul Soetopo (Ketua) dengan judul Memberantas Wabah Korupsi dan Saudara L.Widarto (Staf GSC) yang membahas tentang pembunuhan karakter melalui kampanye hitam, dan Tantangan Pendidikan Capres tulisan Doni Koesoema A, yang mengamati tantangan persoalan pendidikan nasional yang perlu dijawab oleh para Capres/. Mengingat pentingnya Pilpres, - seperti yang kami sampaikan menjelang Pemilihan Legislatif (Pileg) yang lalu - kami muat pula Lembar Simulasi untuk latihan sebelum memutuskan pilihan. Isi Simulasi mengacu kepada Kriteria yang tercantum dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG). Mari kita gunakan hak politik kita secara bertanggungjawab dengan menggunakan hati nurani cerdas memilih Presiden yang benar-bebar berjuang untuk kesejahteraan rakyat seluruhnya, bukan yang mengejar untuk mencapai kepentingan pribadi dan atau kelompoknya. Selamat memilih dan Tuhan memberkati. Salam dalam Kristus, Paul Soetopo Tjokronegoro --------------------------------------------------------------Ketua Gaudium et Spes Community (GSC) 4|Pemilu 2014 : Memilih dengan Nurani Cerdas
Daftar Isi
Kata Pengantar ...................................................................................................... 3 Daftar Isi .................................................................................................................. 5 Presiden Pilihan Umat Pelajari Rekam Jejak Perjuangan Calon Presiden.................................................................. 6 Kenali Rekam Jejak Partai Koalisi Pendukung...................................................................... 13
Fokus Pemikiran Gereja dan Pilpres................ ...................................................................................................15 Menyimak Surat Gembala KWI...............................................................................................17 Pentingnya Spiritualitas Politik..............................................................................................18 Memilih Pemimpin yang Berintegritas Moral.......................................................................21 Membentuk Nurani Warga Negara Bertanggungjawab.....................................................23
Curah Gagasan Menentukan Pilihan sebagai Pengikut Kristus...................................................................29 Memberantas Wabah Korupsi.............................................................................................. 34 Pembunuhan Karakter Lawan Politik Melalui Kampanye Hitam.......................................36 Kepemimpinan dan Kejujuran............................................................................................. 39 Membangun Indonesia yang Bermartabat.......................................................................... 43 Jadilah Mediator, Bukan Makelar......................................................................................... 46 Tantangan Pendidikan Calon Presiden................................................................................ 48 Tentang GSC........................................................................................................................... 52
Sisipan Simulasi: Menakar Kualitas Calon Presiden RI 2014-2019
5|Pemilu 2014 : Memilih dengan Nurani Cerdas
Presiden Pilihan Umat
Pelajari Rekam Jejak Perjuangan Calon Presiden Oleh Toto Suryaningtyas A.*
P
emilu legislatif 9 April 2014 telah menghasilkan komposisi anggota dewan yang baru. Sejumlah nada kesangsian muncul karena wajah anggota DPR mendatang tak membawa banyak harapan. Meski rata-rata semakin berusia muda dan berpendidikan, ada kesangsian terhadap kualitas kenegarawanannya. Tingkat partisipasi pemilu DPR 2014 mencapai 75,11 persen dari sekitar 185,8 juta pemilih atau sekitar 139,5 juta orang. Angka partisipasi memilih ini lebih baik dibandingkan negara demokrasi besar lainnya (Amerika Serikat, India, Brasil). Tabel 1: Profil anggota DPR 1999-2014 berdasarkan komposisi Jenis Kelamin (%) Jenis Kelamin 1999-2004 2004-2009 2009-2014 2014-2019 Laki-laki
91
89,3
82,4
82,3
Perempuan
9
10,7
17,6
17,7
Sumber: Litbang Kompas
Tabel 2: Profil anggota DPR 1999-2014 berdasarkan komposisi Usia (%) Usia 1999-2004 2004-2009 2009-2014 2014-2019 Kurang dari 25 tahun 3,7 0,4 0,7 3,4 25-50 tahun 38,8 49 63,2 58,8 Lebih dari 50 tahun 57,5 50,6 36,1 37,8 Sumber: Litbang Kompas
PDI Perjuangan kembali memenangkan pemilu namun tak sebesar kemenangan pada pemilu legislatif tahun 1999. Sebanyak 10 partai politik lolos mendudukkan kadernya menjadi bagian dari 560 anggota DPR RI. Komposisi anggota dewan dari kalangan Katolik tercatat terus menurun menjadi 3,2 persen atau sekitar 18 orang. Jumlah itu lebih sedikit dari saudara umat Kristen yang mencapai 9,9 persen atau sekitar 56 orang. Mereka kebanyakan berasal dari PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura. Tabel 3: Jumlah Suara Koalisi Pilpres 6|Pemilu 2014 : Memilih dengan Nurani Cerdas
Modal suara Koalisi PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura, PKPI
Gerindra, PPP, PAN, PKS, Golkar, PBB
Persentase Suara Koalisi Suara Nasional : 51.105.832 suara sah (40,9 persen) -PDI-P 18,95 persen, -Nasdem 6,72 persen, -PKB 9,04 persen, -Hanura 5,26 persen -PKPI 0,91 persen Kursi DPR : 207 (37 persen kursi DPR) (PDI-P 109 kursi, Nasdem 35, PKB 47, dan Hanura 16) Suara Nasional : 61.137.746 suara sah (48,93 persen) -Gerindra 11,81 persen, -PPP 6,53 persen, -PKS 6,79 -PAN 7,59 persen -Golkar 14,75 persen -PBB 1,46 persen) Kursi DPR: 292 kursi (52 persen kursi DPR) (Gerindra 73 kursi, PPP 39, PKS 40 PAN 49, Golkar 91)
Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa
Sumber: Litbang Kompas
Dibandingkan komposisi penduduk, komposisi anggota DPR cukup dekat menggambarkan kisaran jumlah pemeluk agama-agama di Indonesia di mana Islam 85 %, Kristen 7 persen, Katolik 3,5 persen, dan selebihnya Hindu, Budha. Tabel 4: komposisi legislator berdasarkan agama (%) Agama 1999-2004 2004-2009 2009-2014 Islam 80,5 83,5 83,8 Kristen Protestan 11,3 10,5 10,4 Kristen Katolik 5,6 3,8 3,7 Hindu 2,2 1,8 1,6 Buddha 0,2 0,4 0,5 Lainnya 0,2 Total 100,2 100 100
2014-2019 82,8 9,9 3,2 1,8 0,7 100
Sumber: Litbang Kompas
Minimnya jumlah umat Katolik di DPR bisa jadi membuat kita pesimistik dengan peran dan eksistensi politik umat Katolik dalam percaturan politik mendatang. Namun benarkah 7|Pemilu 2014 : Memilih dengan Nurani Cerdas
jumlah suara/jumlah orang menjadi penentu utama dari kekuatan politik utama bagi bangsa ini? Sejarah politik bangsa Indonesia menunjukkan, banyak hal yang bisa mengarahkan haluan politik bangsa ini, tidak melulu soal jumlah. Lihat saja kiprah umat Kristen/Katolik di era kemerdekaan, pascakemerdekaan dan Orde Baru, yang sedemikian mewarnai arah politik dan pembangunan nasional. Kepercayaan terhadap eksistensi umat Kristen/Katolik relatif lebih kuat pada masa itu, antara lain terlihat dari tingginya komposisi pejabat dan penyelenggara negara beragama kristiani dibandingkan proporsi dalam populasi. Pemilu April lalu kemenangan kembali direbut partai PDI Perjuangan yang notabene merupakan hasil peleburan partai-partai nasionalis dan Kristen. Dari 26,7 juta suara pemilih PDIP, bisa dipastikan sebagian diantaranya merupakan pemilih non kristiani yang bersimpati atas sikap, pandangan, dan sepak terjang partai ini. Bukan sebuah kebetulan pula bahwa nama Joko Widodo yang saat ini menempati puncak popularitas sebagai calon presiden lahir dari rahim partai semcam PDIP. Pasti ada unsur kemurnian, keberanian, kesungguhan dan totalitas dalam mengabdi kepada masyarakat dan bangsa yang diidentifikasi oleh rakyat. Hal demikian juga terdapat dalam munculnya nama Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden dari partai Gerindra. Joko Widodo dan Prabowo Subianto mempunyai keinginan besar terhadap nasib bangsanya dan dengan gaya masing-masing berusaha menjadi pemimpin nasional dalam pemilu 9 Juli mendatang. Tentang Jokowi, puluhan buku sudah ditulis tentang pribadi ini. Kesederhanaan, kejujuran sekaligus ketegasan yang dibungkus gaya dialog welas asih adalah kata kunci yang kerap muncul dari mantan walikota Solo itu. Jokowi teguh dengan pembelaan terhadap rakyat kecil, perhatian tak putus-putus dan semangat yang berkobar dalam melayani masyarakat. Jika dibandingkan dengan arus utama politisi saat ini kini, apa yang dibawakan Jokowi sangat bersifat minoritas. Namun perjalanan waktu membuktikan, nilai-nilai luhur itu tetap menang melawan raksasa “keserakahan politik� politisi pada umumnya. Kejujuran Jokowi disukai, diimpikan dan direstui oleh rakyat. Perjalanan Prabowo Subianto agak berbeda. Sudah sejak 2008 ketika Gerindra maju di pemilu 2009, mantan komandan Kopassus ini menyentak ranah publik ketika secara terang-terangan bicara tentang ketidakberesan dan ketimpangan dalam masyarakat bangsa Indonesia. Dia menunjuk soal kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan rakyat bawah yang tertinggal pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Indonesia. Umumnya publik mengenal Prabowo sebagai sosok tegas khas TNI dan simbol partai gerindra 8|Pemilu 2014 : Memilih dengan Nurani Cerdas
burung rajawali yang mengepakkan sayap. Penerimaan pada Prabowo mencerminkan kegusaran umum terhadap kondisi ketimpangan ekonomi, citra bangsa yang minor, dan lunturnya ideologi kenegarawanan pemimpin. Penerimaan terhadap sosok kedua pemimpin juga merupakan respon sosiologis publik atas kondisi bangsa yang terombang-ambing setelah 15 tahun perjalanan reformasi. Kedua partai penyokong utama yaitu Gerindra dan PDI Perjuangan bersikap oposisi selama 10 tahun pemerintahan SBY yang sering dinilai bersemangat pro kapitalis. Kedua tokoh, baik Jokowi maupun Prabowo Subianto, terlepas dari latar belakang, gaya dan catatan masing-masing, merupakan dua tokoh dengan komitmen pribadi yang kuat dan sebenarnya merupakan minoritas melawan arus utama penyimpangan dalam publik. Elektabilitas Calon Pasca terbentuknya koalisi parpol pendukung Jokowi-Hatta dan koalisi pendukung Prabowo-Hatta, berbagai isu sensitif seperti soal agama dan personalitas mulai dimainkan. Hal ini karena partai-partai Islam/basis massa Islam seperti PKS, PPP, PAN, PBB bergabung ke kubu Prabowo. Patut dicermati bahwa merapatnya parpol Islam ke Prabowo sebenarnya karena tak banyak pilihan bagi mereka. Berbagai survei membuktikan, tak satupun calon dari partai Islam/basis massa Islam yang “laku� dijual kepada publik pemilih. Elektabilitas nama seperti Hatta Rajasa, Mahfud MD atau Hidayat Nur Wahid, tertinggal jauh dari dua nama besar, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dalam berbagai survei, okupansi dua nama tertinggi seringkali sudah melampaui separuh lebih komposisi pemilih. Tabel 5: Survey elektabilitas calon Survei Capres 8 Maret 2014 2014/Elektabilitas
26 April 2014
9 Mei 2014
Jokowi-JK
32,6%
31,8%
35,42%
Prabowo Hatta
13,8%
19,8%
22,75%
Lainnya
43,7%
18,8%
-
Tidak tahu
9,9%
29,6%
41,80%
Lembaga
Charta Politika
Indikator Politik
Lingkaran Survei
9|Pemilu 2014 : Memilih dengan Nurani Cerdas
Indonesia N
1200
1220
2400
Sampling Error
+/-2,8%
+/- 2,9%
+/-2,0%
Sumber: Litbang Kompas, diolah dari KPU, lembaga survei dan pemberitaan media
Merapatnya parpol Islam ke kubu Prabowo tentu membawa konsekuensi warna politik yang menjadi pembeda antara kubu Prabowo dan Jokowi. Sebagai konsekuensi, mau tak mau kubu Prabowo membuat pembedaan (diferensiasi) melalui identifikasi yang mengakomodasi nuansa Islami, salah satunya dalam konteks kampanye. Mencuatnya isu agama misalnya, harus dilihat dalam konteks diferensiasi politik demi pasar pemilih. Apalagi hasil survei internal masing-masing kubu memperlihatkan hasil yang dinamis. Semakin tertekan elektabilitas kandidat, biasanya makin kencang isu Sara dimainkan. Pola semacam ini pernah kita lihat dalam konteks Pilkada Gubernur DKI 2012. Saat itu Rhoma Irama menyatakan haram hukumnya bagi umat muslim memilih Jokowi karena berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang Kristen. Tabel 6: Anggota Legislatif berdasarkan komposisi pekerjaan (%) Pekerjaan 1999-2004 2004-2009 2009-2014 Berpengalaman Legislatif (DPR/DPRD) 19,9 37,1 34,9 Sektor Swasta 69,9 50,3 56,7 PNS 4,1 4,7 4,2 Pensiunan/Purnawirawan 5,5 4,6 3,6 Lainnya 0,6 3,3 0,6 Tidak ada data Total 100 100 100
2014-2019 40,2 33,9 5,7 2,9 7,5 9,8 100
Sumber: Litbang Kompas
Sejumlah lembaga survei yang merilis hasil penjajakan mereka atas tingkat keterpilihan Jokowi maupun Prabowo menunjukkan komposisi yang berbeda-beda. Namun secara umum hasilnya masih menempatkan Jokowi-Jusuf Kalla unggul atas Prabowo-Hatta Rajasa meski dengan selisih yang biasanya tak terlalu besar, sekitar 5 hingga 15 persen. Salah satu lembaga yang termutakhir merilis hasil survey adalah Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dengan hasil raupan suara bagi Jokowi-JK sebanyak 35,42 persen sementara Prabowo-Hatta 22,75 persen. Komposisi terbesar, 41,80 persen merupakan massa mengambang yang belum menentukan suara. Survei tatap muka nasional LSI
10 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
diselenggarakan awal Mei 2014, sebagai cawapres oleh KPU.
artinya sebelum ada penetapan nama Jusuf Kalla
Besarnya proporsi belum memilih/menentukan pilihan sangat mungkin merupakan cerminan sekitar 24 persen suara yang tidak mencoblos di pemilu DPR ditambah sekitar 18 persen suara pemilih yang benar-benar masih menanti perkembangan (termasuk jika ada “serangan fajar”). Komposisi prediksi perolehan suara semacam ini cenderung berpola sama/tetap sejak Januari 2014. Jumlah suara bagi Jokowi maupun Prabowo sama-sama cenderung turun namun dengan derajat penurunan yang lebih kecil bagi Prabowo. Ini tentunya menguntungkan kubu Prabowo dan menumbuhkan rasa percaya diri untuk bisa memenangi pertarungan meski di atas kertas akan sangat berat. Lazimnya dalam pemilihan bebas, mendongkrak perolehan 10 persen dalam waktu sebulan akan sangat sulit dijalankan. Hal ini karena disadari oleh kedua belah pihak termasuk pengamat dan pelaku politik bahwa wacana ruang publik telah “dipenuhi” oleh nama Jokowi. Sepak terjang capres yang malang melintang blusukan di rakyat bawah itu sukses meraup simpati publik. Sejumlah survei sebelum pencapresan bahkan ada yang sempat memprediksi elektabilitas Jokowi sampai menyentuh angka 65 persen, padahal saat itu ada lebih dari dua calon. Artinya, peluang calon-calon yang lain sudah jelas bakal kalah sebelum bertarung. Sehingga ada yang mengibaratkan, Jokowi “dipasangkan sendal jepit”pun akan tetap menang. Tidak heran saat itu, sejumlah pihak mati-matian menahan Gubernur DKI tersebut untuk tidak maju ke pemilihan presiden. Tabel 7: Anggota Legislatif berdasarkan komposisi tingkat pendidikan (%) Tingkat Pendidikan 1999-2004 2004-2009 2009-2014 SLTP 0,4 SLTA 16,8 12,2 6,2 Diploma/Akademi 7,9 5,1 3 Sarjana 56,3 49,1 49,5 Pascasarjana 18,6 33,6 41,1 Lainnya 0,2 Tidak ada data Total 100 100 100
2014-2019 7,3 0,9 46,4 40,1 5,3 100
Sumber: Litbang Kompas
Keterangan: Jumlah anggota DPR 1999-2004 = 462, 2004-2009 = 550, 2009-2014 = 560, 20142019=560
11 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Data anggota DPR periode 2014-2019 diolah dari biodata data caleg yang diunduh dari laman KPU. Sejumlah caleg tidak mencantumkan biodatanya. Umat di Mata Capres Nilai penting umat Katolik di mata Prabowo maupun Jokowi saat ini tentu saja adalah dari segi di mana (?) suara umat Katolik akan dilabuhkan dalam pemilu. Sejumlah survei menunjukkan, aspirasi umat Kristiani terutama Katolik sebagian besar biasanya mengelompok kepada kandidat yang memiliki kedekatan ideologis (nasionalis, pancasilais, soekarnois) maupun kedekatan kepartaian (PDI Perjuangan). Di sisi lain, suara pemilih muslim cenderung terbelah-belah baik kepada partai nasionalis, islamis, maupun sekularis. Tampaknya ada “harapan terpendam� bagi umat Kristiani melalui kemenangan politik dalam pemilu akan mampu mengatasi berbagai persoalan mendasar seperti diskriminasi sosial, kesulitan beribadah (tempat ibadah) dan ekslusi peran dalam penyelenggaraan negara. Faktanya, sosok Prabowo Subianto sesungguhnya memiliki banyak kerabat (ibu, adik, saudara ipar) yang Kristiani. Demikian pula partai Gerindra memiliki banyak kader Kristiani dan secara mendasar memiliki kedekatan dengan Soekarnoisme. Dengan demikian tak ada alasan secara mudah menganggap koalisi Prabowo tak memiliki basis pluralitas, paling tidak pada lingkaran terdalam, dibandingkan koalisi Jokowi. Prabowo juga pernah menjadi Cawapres Megawati di Pemilu 2009, dan secara pribadi berideologi yang sejajar dengan Soekarnoisme. Oleh karena itu, pengelompokan politik umat berdasarkan sosiologis dan psikologis, meski masih selalu ada, pada dasarnya sudah tidak memadai. Selain tak memiliki alasan rasional yang bersifat evaluatif, landasan memilih dengan dasar agama, etnis, kelas sosial dan kepartaian semata hanya akan menurunkan derajat kualitas demokrasi modern. Bagi umat Katolik, ada baiknya “tidak menaruh semua telur dalam satu keranjang�, baik keranjang kubu Jokowi maupun Prabowo. Kekuatan umat Katolik selayaknya diletakkan pada kemampuan mengidentifikasi sepak terjang dan riwayat perjuangan kandidat selama ini, sehingga dengan demikian lebih rasional, historis dan bersifat personal berdasar suara hati. Dengan modal itu kiranya umat akan makin dewasa, makin disegani kawan maupun lawan dan menjadi panduan bagi haluan kehidupan berbangsa. Selamat menentukan! * Penulis adalah Peneliti Litbang Kompas 12 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Presiden Pilihan Umat
Kenali Rekam Jejak Partai Koalisi Oleh Doni Koesoema A.*
S
elain mengenal rekam jejak Calon Presiden (Capres) dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, mengenali rekam jejak partai koalisi kiranya menjadi kriteria penting agar umat Katolik dapat memilih Capres yang memiliki komitmen moral yang selaras dengan Ajaran Sosial Gereja. Karakter dan kualitas partai-partai pendukung Capres akan memengaruhi bagaimana efektivitas platform pemerintah bila partai Koalisi yang terpilih. Memahami karakter dan kualitas ini menjadi sangat penting karena perbedaan platform bisa menimbulkan konflik kepentingan saat koalisi partai terpilih memegang tampuk kekuasaan. Platform pemerintah seringkali didefinisikan sebagai persamaan visi dan misi dalam mengelola tatanan pemerintahan untuk menyelenggarakan tatanan pemerintahan sesuai dengan misi sebuah bangsa. Sedangkan platform politik seringkali dipahami sebagai garis besar kebijakan, arah, dan visi misi sebuah partai. Ketika sebuah partai mengadakan koalisi untuk menentukan kandidat calon presiden, yang terjadi adalah adanya kemungkinan benturan perbedaan platform. Adanya perbedaan platform politik dalam sebuah koalisi, bisa menyulitkan Presiden terpilih dalam melaksanakan tugas-tugasnya bila ada perbedaan fundamental dalam diri partai pendukung yang menjadi koalisi. Di negara kita, secara politik ada tiga platform partai politik, yaitu Partai Nasionalis, Partai Demokrat, dan Partai berbasis keagamaan. Bila sesama partai nasionalis berkumpul, seperti misalnya parta koalisi ramping Jokowidodo Yusuf Kalla, yang didukung oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Kebangkitan Pembangunan Indonesia (PKPI). Sedangkan koalisi Indonesia Raya, memiliki beberapa partai koalisi yang memiliki platform berbeda. Partai Gerindra pada dasarnya adalah partai Nasionalis. Namun, di dalam koalisi, Gerindra mengambil keputusan untuk berkoalisi dengan partai berbasis 13 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
agama dan nasionalis, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), partai Golongan Karya, yang dulunya adalah mesin birokrasi Orde Baru, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat. Partai Jokowi-Jusuf Kalla, sejak awal mengatakan bahwa koalisi berbasis platform kebangsaan yang sama. Artinya, yang menyatukan mereka adalah visi dan misi yang sama. Bahkan, Jokowi berani sesumbar bahwa di koalisi ramping, tidak dibahas bagi-bagi kursi, melainkan mereka bergabung karena kesamaan visi dan keinginan untuk memajukan bangsa. Sedangkan di Koalisi Indonesia Raya, sejak awal aroma bagi-bagi kekuasaan sudah terlihat dengan adanya wacana pembagian kursi di kalangan partai koalisi. Yang jelas, dibandingkan dengan Koalisi Ramping Jokowi-JK, Koalisi Gerindra bisa menimbulkan masalah bila tidak memiliki platform yang sama. Usaha Gerindra mengelola birokrasi akan terganjal dengan kepentingan elit partai politik yang memiliki platform berbeda. Misalnya, dukungan FPI, aliran organisasi massa garis keras di Indonesia, kepada partai-partai Islam di dalam koalisi Prabowo, bisa menafikan kepemimpinan Prabowo bila ia tidak mampu mengatasi kepentingan kelompok yang membawa platform berbeda dengan platform pemerintahan yang digagas Prabowo. Yang jelas, memperhatikan siapa saja koalisi partai, dan bagaimana reputasi mereka, kiranya menjadi panduan penting bagi umat Katolik dalam menentukan pilihan. Jangan sampai, kita memilih sosok pemimpin yang akhirnya justru menghancurkan kehidupan menggereja, kehidupan masyarakat banyak, karena sejak awal sudah terdapat niatan untuk bagi-bagi kekuasaan karena perbedaan platform politik yang terjadi dalam pemerintahan. * Penulis adalah staf litbang GSC
14 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Fokus Pemikiran
Gereja dan Pilpres Oleh YR. Edy Purwanto Pr.*
P
ada tanggal 9 Juli 2014, bangsa Indonesia akan melaksanakan hajatan besar secara nasional yaitu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (baca: Pilpres). Apa yang sudah dilakukan oleh Gereja Katolik Indonesia untuk mempersiapkan umatnya agar dapat menyambut peristiwa itu dengan penuh tanggungjawab? Satu hal yang pasti adalah bahwa para uskup yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) telah menulis sebuah Surat Gembala menyambut Pilpres 2014 dengan judul: “PILIHLAH SECARA BERTANGGUNGJAWAB, BERLANDASKAN SUARA HATI”. Pesan dalam Surat Gembala KWI tersebut mempunyai kekuatan dengan tiga tiang penyangga utama, yaitu alinea pertama, ketiga, dan ketujuh. Pada alinea pertama umat Katolik diingatkan bahwa Pilpres merupakan momentum yang penting untuk dilibati, sebab merupakan kesempatan untuk memperkokoh bangunan demokrasi demi membangun dan mengembangkan negeri tercinta ini agar menjadi damai dan sejahtera sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Kita perlu ingat bahwa cita-cita (tujuan) negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat adalah [1] melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; [2] memajukan kesejahteraan umum; [3] mencerdaskan kehidupan bangsa; [4] ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi. Pada alinea ketiga Surat Gembala tertulis dorongan para Waligereja kepada umat agar memilih sosok calon yang memiliki integritas moral. Integritas moral itu diselaraskan dengan watak pemimpin yang melayani dan yang memperjuangkan nilai-nilai hidup bersama sebagai bangsa sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja (ASG), yaitu “menghormati kehidupan dan martabat manusia, memperjuangkan kebaikan bersama, mendorong dan menghayati semangat solidaritas dan subsidiaritas serta memberi perhatian lebih kepada warga negara yang kurang beruntung.” Dan secara khusus dalam konteks Indonesia, umat didorong memilih calon pemimpin yang gigih memelihara, mempertahankan dan mengamalkan Pancasila. Sedangkan dalam alinea ketujuh para Waligereja mengajak umat Katolik untuk benar-benar mendukung siapapun yang pada akhirnya terpilih. “Pada akhirnya, marilah kita dukung dan kita berikan loyalitas kita kepada siapa pun yang akan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014 – 2019. 15 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Segala perbedaan pendapat dan pilihan politik, hendaknya berhenti saat Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada bulan Oktober 2014. Kita menempatkan diri sebagai warga negara yang baik, menjadi seratus persen Katolik dan seratus persen Indonesia, karena kita adalah bagian sepenuhnya dari bangsa kita, yang ingin menyatu dalam kegembiraan dan harapan, dalam keprihatinan dan kecemasan bangsa kita (bdk. Gaudium et Spes 1). Terlebih lagi, para Waligereja mendorong agar umat awam Katolik benar-benar menggunakan kesempatan ini sebagai perwujudan tanggungjawabnya sebagai umat beriman yang dipanggil untuk ambil bagian dalam pembaruan tata dunia ini seperti yang diamanatkan oleh Konsili Vatikan II melalui Dekrit tentang Kerasulan Awam. Pada nomor 14 dekrit tersebut dinyatakan sebagai berikut: “Terbukalah gelanggang kerasulan yang tak terduga luasnya di tingkat nasional maupun internasional, terutama bagi kaum awam, untuk mengabdikan diri kepada kebijaksanaan kristiani. Dalam berbakti kepada bangsa dan dalam menunaikan tugas-tugas kewarganegaraan dengan setia, umat katolik hendaknya menyadari kewajibannya untuk memajukan kesejahteraan umum yang sejati. Hendaknya mereka berusaha berpengaruh dengan bobot pandangan mereka, sehingga pemerintahan dijalankan dengan adil, dan hukumhukum selaras dengan tuntutan-tuntutan moral serta menunjang kesejahteraan umum. Hendaknya orang-orang katolik, yang mahir di bidang politik, dan sebagaimana wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum. Sebab dengan jasa-jasa mereka yang pantas dihargai itu mereka dapat mendukung kesejahteraan umum, dan sekaligus merintis jalan bagi Injil.� Dengan bersemangatkan nafas Konsili tersebut, maka kemendesakan (urgensi) keterlibatan awam dalam proses penguatan kehidupan berdemokrasi di Indonesia ini wajib untuk terus diamalkan. Awam Katolik harus siap terlibat tanpa harus setiap saat bertanya kepada hirarki (Uskup dan para imam), tetapi dengan mandiri melakukan pembelajaran dan sekaligus meningkatkan kualitas keterlibatannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Marilah kita bersiap untuk ambil bagian dalam Pilpres mendatang. Semoga partisipasi umat Katolik dimana pun berada semakin juga menjadikan kualitas demokrasi di negeri ini semakin baik. *Penulis adalah Sekretaris Eksekutif KWI
16 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Fokus Pemikiran
Menyimak Surat Gembala KWI Oleh A. Sandiwan Suharto*
M
enyongsong Pilpres tanggal 9 Juli, KWI - forum Para Uskup Katolik Se Indonesia telah mengeluarkan Surat Gembala. Walaupun Surat itu ditujukan kepada umat Katolik, tetapi harapan-harapannya untuk semua orang. Ada 5 poin pokok, yaitu: 1. Umat Katolik agar menjadi orang KATOLIK 100%, artinya melaksanakan perintah Tuhan untuk (a) mengasihi Allah di atas segalanya dan (b) mengasihi sesamanya seperti 'kepada dirinya sendiri'! Disamping itu harus menjadi orang INDONESIA 100%, artinya umat Katolik adalah bagian 'SEPENUHNYA' dari bangsa Indonesia, yang harus menyatu dalam kegembiraan dan harapan, dalam keprihatinan dan kecemasan bangsa kita (bdk. Gaudium et Spes 1). 2. Sebagai Warganegara yang bertanggung-jawab, harus terlibat aktif pada setiap tahap Pilpres, jangan GOLPUT. Memilih secara bertanggungjawab sesuai suara hati nurani karena yang akan dipilih adalah Presiden yang akan memimpin bangsa kedepan menuju ke kesejahteraan umum (bonum commune). 3. Tantangan bangsa kedepan bukan main besarnya, oleh karena itu Presiden harus memenuhi SYARAT UTAMA punya INTEGRITAS MORAL!! Utk itu perlu diketahui rekamjejaknya apakah sungguh2 mempunyai watak pemimpin yang MELAYANI dan memperjuangkan nilai2 seperti menghormati kehidupan dan martabat manusia (HAM), berjuang untuk kepentingan rakyat (bukan mengejar kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya) dan memihak kepada warganegara yang kurang beruntung: yang miskin, lemah, sakit, cacat dan menderita. 4. Menghimbau agar pelaksanaan KAMPANYE berjalan dengan santun dan beretikabermartabat, tidak ada kampanye HITAM (fitnah, dll), tidak membawa isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Agar MEDIA membawakan berita yang damai dan berimbang, mendukung kerukunan dan persaudaraan, mencerdaskan rakyat dan tidak menyesatkan. Sebaliknya menjadi corong kebaikan dan kebenaran. 5. Akhirnya, siapapun yang terpilih sebagai Presiden harus didukung. Kita berikan loyalitas kita. Segala perbedaan dan pertentangan selama kampanye harus berhenti dengan terpilihnya Presiden baru. Kita adalah satu, bangsa *Penulis adalah Sekretaris Executif Gaudium et Spes Community (GSC) 17 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Fokus Pemikiran
Pentingnya Spiritualitas Politik Oleh. Paul Soetopo* -
-
Di tengah-tengah kenyataan praktek bermain-main politik yang salah dan di tengahtengah penumpulan etis yang merebak, seandainya etika politik yang diinspirasikan oleh iman kristiani sungguh-sungguh dijalankan, pelan-pelan cita-cita untuk membangun kesejahteran sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan tercapai (Mgr I.Suharyo). “Tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan yang adil merupakan tugas sentral politik. Negara yang tidak memerintah dengan keadilan adalah gerombolan perampok…Keadilan adalah tujuan dan karena itu juga merupakan tolok ukur segala politik. Politik itu lebih daripada sekedar teknik penataan ruang publik. Asal dan tujuannya adalah keadilan, dan ini bersifat etis” (Deus Caritas Est).
T
ahun 2014 adalah tahun politik. Dalam tahun ini dilakukan pergantian 5 tahunan pimpinan nasional (Presiden dan wakil presiden) dan pergantian wakil rakyat di DPR dan DPD, DPR Propinsi dan DPR Kabupaten/kota. Tanggal 9 April pemilihan anggota legislatif (Pileg) dan tangggal 9 Juli pemilihan presiden (Pilpres). Di samping itu masih ada pemilihan kepala daerah (Pilkada) Gubernur, bupati dan walikota. Agenda politik dipenuhi dengan proses politik hingar bingar berupa kampanye Partai di media elektronik, media cetak, poster dan baliho serta pengerahan masa dan iklan besarbesaran. Berbagai cara dilakukan bukan hanya dengan menyampaikan visi misi yang jelas, tegas, ‘yang realistis dan yang tidak realistis’ tetapi juga dengan kampanye bombastis penuh dengan janji-janji yang tidak masuk akal dan kampanye Negatif termasuk yang berbau SARA (suku, agama,ras,antar golongan) dan kampanye Hitam yang penuh dengan fitnah dan pembunuhan karakter lawan politiknya. Bagi sebagian politisi, politik hanya diartikan sebagai perebutan kekuasaan, asal berkuasa. Akhirnya, semua tindakan dilakukan – termasuk yang haram – “tujuan menghalalkan cara”, tanpa sopan santun, etika dan moral. Kelihatan jelas mana partai yang “menghalalkan segala cara” dan partai yang “menghalakan hanya hal yang halal”. Salah satunya adalah penggunaan ‘Politik Uang” untuk membeli suara. Suara rakyat terutama yang kecil dan miskin dihargai sangat rendah hanya 10, 25, 50 atau 100 ribu rupiah untuk satu suara. Politik uang tersebut dilakukan bukan lagi secara sembunyi-
18 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
sembunyi tetapi sudah terbuka secara vulgar. Bahkan ada pidato salah satu Calon yang ditujukan kepada rakyat “kalau ada yang memberikan uang terima saja, karena uang itu adalah uang rakyat, hasil korupsi”. Politik uang yang semula hanya dilakukan diam-diam menjadi terbuka dan memperoleh ‘legitimasi’-nya. Sangat memalukan! Selain itu dalam kampanye untuk memperoleh kedudukan dan kekuasaan tersebut bahkan terbersit pula tindakan ‘membeli’ partai untuk mendukung Calon dengan uang atau iming-iming kedudukan atau bagi-bagi kursi dari yang ‘tinggi sampai bawah’. Terdapat pula tindakan tidak terpuji dari ‘penguasa’ dengan intimidasi agar memilih salah satu calon demi suatu kekuasaan dan kedudukan. Praktik-praktik ‘machiavelli’-an dijalankan – dengan segala cara ‘halal atau haram’. Teori filosof dan orator Machiavelli yang diterapkan di Italia Utara pada abad 5 diadopsi begitu saja tanpa melihat konteks situasi (darurat) dan kondisinya (negara yang hampir runtuh). Tujuan Machiavelli mungkin benar untuk menyelamatkan Negara yang akan hancur saat itu, tetapi jelas tidak masuk akal dilakukan dalam situasi normal dan damai saat ini. Atau memang saat ini sudah dinilai dalam keadaan darurat untuk melegitimasi tindakan ‘kotor’ semacam itu? Sangat aneh! Tindakan dan tingkah laku politisi terutama dalam waktu 48 bulan terakhir ini memang memprihatinkan. Korupsi yang biasanya dilakukan ‘diam2’ telah menjadi ‘terbuka’ dan ‘vulgar’. Bukan hanya dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok tertentu tetapi melibatkan ‘puluhan’ anggota DPR dan pejabat dari ‘menteri’ sampai ‘pejabat kecil’, bahkan Menteri Agama pun menjadi tersangka KPK. Korupsi juga melibatkan 2 orang Ketua Umum Partai (Partai Demokrat dan Partai Persatuan dan Pembangunan/PPP) dan seorang Presiden partai (Partai Keadilan Sejahtera/PKS). Korupsi berjemaah telah melibatkan penguasa, anggota DPR, dan pengusaha. Hal ini terlihat pada ‘bancaan’ anggaran Negara (APBN) mulai dari proses perencanaan, pembahasan dan pengambilan keputusan, sampai pencairannya. Penegak hukum polisi, jaksa dan hakim juga terlibat korupsi bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi saat ini sedang diadili di pengadilan Tipikor. Benteng terakhir penegakan Konstutusi telah tercemar. Tindakan kekerasan – baik yang berlatar belakang agama atau bukan – semakin marak. Terasa adanya unsur kelambatan atau kekurang-tegasan penegakan hukum. Akibatnya, tindak kekerasan semakin meluas dan semakin ‘kejam’. Penyerbuan kelompok tertentu di Sleman, Yogyakarta beberapa hari yang lalu terhadap pertemuan umat Katolik yang sedang berdoa ‘rosario’ (bulan Mei adalah bulan Rosario) dan menganiaya korban dengan benda-benda keras sampai dengan menyetroom anak kecil sudah diluar batas moral, etika, dan hukum. Pernyataan Gubernur Sultan HB X menyatakan bahwa ‘jalan 19 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
dialog sudah macet. Yang diperlukan sekarang adalah tindakan hukum dan meminta Polisi segera bertindak’. Kejadian-kejadian di atas menimbulkan pertanyaan besar atas peran spiritualitas dalam politik Indonesia. Pengertian spiritualitas lebih dari sekedar semangat tetapi lebih berkaitan dengan Roh Allah pada pengalaman hidup rohani. Ia menyangkut kehadiran Allah yang dialami oleh politisi dalam relasi dengan-Nya. Ia lebih luas dari hanya sekedar urusan perebutan kuasa, tetapi menggambarkan bagaimana penghayatan kehidupan rohani menampakkan relasinya dengan dunia sosial politik (Romo Yan Olla, “Spiritualitas Politik”). Peran Gereja Katolik dalam ‘menyucikan dunia’ terlihat jelas pada Surat Gembala KWI menyongsong pemilihan legislatif (Pileg 4 April) dan pemilihan presiden (Pilpres 9 Juli). Surat2 tersebut telah memberikan pesan moral kepada umat Katolik – bahkan kepada semua orang - bahwa wajib mengikuti secara aktif proses politik dengan menggunakan hati nurani-nya yang cerdas, memilih Calon dengan kriteria yang jelas sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja (ASG), dan mewanti-wanti untuk menghindari politik uang dan kampanye hitam. Inti pokoknya adalah menempatkan ‘manusia’ sebagai sentral kegiatan politik. Politik untuk manusia bukan manusia untuk politik! Banyak orang berpendapat bahwa politik itu kotor. Sesungguhnya yang kotor itu bukan politiknya, tetapi ‘POLITISI’-nya yang tidak mengindahkan norma-norma sopan santun, moral dan etika, serta hukum. Politik seharusnya mencerminkan penerapan spiritualitas yang ditujukan untuk melayani rakyat guna memaksimalkan kesejahteraan masyarakat. Politik adalah tindak melanjutkan karya Allah untuk menyucikan dunia yang ‘kotor’ seperti yang ditampilkan oleh pengalaman Kristus menyucikan dunia dalam mewujudkan keselamatan umat manusia, kepentingan umum (bonum commune). Politik adalah sarana untuk melayani rakyat bagi kepentingan umum. Kesejahteraan umum adalah hukum tertinggi (Salus populi suprema lex). *Penulis adalah Ketua Gaudium et Spes Community (GSC)
20 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Fokus Pemikiran
Memilih Pemimpin yang Berintegritas Moral Oleh Paul Soetopo*
Surat Gembala Kantor Waligereja Indonesia (KWI) menyongsong Pilpres 9 Juli 2014 menegaskan kepada umat agar memilih sosok Calon Presiden yang memiliki Integritas moral. Pemimpin yang mempunyai watak pemimpin yang melayani dan memperjuangkan nilai2 hidup bersama sebagai bangsa sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja (ASG)‌ Indonesia ke depan menghadapi tantangan berat dan multi komplek di berbagai bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan agama. Proses globalisasi semakin mendalam, didukung oleh kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transaksi. Dunia semakin menyatu – dan Indonesia menjadi bagian-nya – akibatnya juga semakin tidak menentu, tidak aman, dan semakin sering mengalami krisis. Interaksi instan antara dalam dan dunia internasional terjadi dengan segala dampak positif dan negatifnya. Kesempatan berkembang bagus tetapi risiko krisis ekonomi dan kerusakan moral juga besar. Masalah dalam negeri tidak lebih ringan. Banyak yang positif seperti kondisi ekonomi makro yang relatif menggembirakan, tetapi masih sangat rawan dan meninggalkan banyak masalah. Masalah utama adalah korupsi yang semakin parah dan berjemaah. Menteri Agama – yang juga Ketua Umum PPP – telah dinyatakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka. Sebelumnya Presiden PKS sudah dinyatakan bersalah melakukan korupsi, sekarang Ketua Umum Partai Demokrat dan seorang Menteri yang berasal dari partai yang sama sedang diadili karena perkara korupsi. Yang paling memprihatinkan adalah Ketua Mahkamah Konstitusi diadili karena menerima suap besar dalam menyelesaikan perkara perselisihan Pilkada. Terlihat jelas berbagai kasus korupsi dilakukan berjemaah yang melibatkan penguasa, pengusaha, anggota DPR dan penegak hukum. Sederetan masalah lainnya juga menghadang yaitu kekerasan yang semakin marak - baik yang berlatar belakang agama atau tidak - kesenjangan yang semakin melebar antara kaya dan miskin, tindak ketidak-adilan yang semakin nyata dan terbuka, di samping masih banyaknya orang miskin, cacat, dan menderita. Masih banyak pemimpin yang tidak jujur, tidak adil, dan rakus (greed). Lebih mementingkan kesejahteraan pribadi atau 21 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
kelompoknya daripada kepentingan umum. Kesejahteraan rakyat hanya impian dan janji2. Itulah sebagian masalah besar yang akan dihadapi oleh Presiden yang akan dilatik tanggal 20 Oktober tahun ini. Penyebab utama berbagai masalah di atas adalah rendahnya moralitas pemimpin, baik personal maupun sosial. Oleh karena itu untuk menyelamatkan Indonesia diperlukan Presiden yang mempunyai INTEGRITAS MORAL yang mencerminkan satunya kata dan perbuatan serta hidup yang dipenuhi oleh penghormatan atas PRINSIP dan NILAI-nilai moral, etika dan hukum. Indonesia memerlukan Pemimpin yang jujur (honest), adil (just) dan benar (truth) dalam kata, perbuatan dan hidupnya. Pemimpin yang berani bertindak (act) bukan yang hanya berwacana menjaga pencitraan. Integritas moral lebih luas dari sekedar kejujuran. Pencuri yang mengakui perbuatannya di depan polisi dinilai jujur (honest) tetapi tetap SALAH secara moral (dan hukum). Kita pilih Presiden yang mempunyai hati nurani dan berjuang untuk untuk kepentingan rakyat…yang punya Integritas Moral. *Penulis adalah Ketua Gaudium et Spes Community (GSC)
Salah satu semangat pelayanan yang dihayati oleh I.J. KASIMO (19001986) adalah pelayanan politik demi kesejahteraan rakyat. MISI Gereja Katolik di Indonesia adalah untuk turut membudayakan manusia Indonesia ke arah kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa. Kepentingan umum, secara sederhana diartikan sebagai kepentingan masyarakat atau orang banyak yang direalisasikan dalam berbagai kegiatan yang berguna atau bertujuan bagi pelayanan masyarakat.
“KATOLIK 100%, INDONESIA 100% “ adalah ungkapan yang sering kita dengar sebagai ungkapan Mgr. Albertus Soegijopranoto SJ (18961963). Ungkapannya tentang Gereja dan Negara adalah seperti ini, “ KITA HARUS MENGASIHI GEREJA, DAN DENGAN DEMIKIAN JUGA MENGASIHI NEGARA, DENGAN SEGENAP HATI”. Ungkapan ini menginspirasi kita agar kita dapat menghayati tugas panggilan kita sebagai warga Gereja yang sekaligus menjadi warga negara Indonesia.
22 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Fokus Pemikiran
Membentuk Nurani Warga Negara Bertanggungjawab Oleh Doni Koesoema A.*
D
i tengah maraknya berbagai macam isu kekerasan yang memecah belah persatuan masyarakat dan merebaknya kampanye hitam menjelang pilpres, umat Katolik di Indonesia diajak untuk kembali menegaskan pilihannya yang tepat berdasarkan suara hati secara bertanggungjawab sebagai warga negara. Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 harus dimaknai sebagai bagian dari pendidikan suara hati sebagai warga negara yang bertanggungjawab. Bagaimana caranya? Sebagai warga negara dan warga Gereja, umat Katolik memiliki dua tradisi besar yang dapat menjadi pedoman bagi keterlibatan mereka dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Pertama, sebagai umat Katolik, mereka mewarisi tradisi agung Gereja Katolik yang sejak awal kelahirannya memiliki misi untuk menjaga kemartabatan dan keluhuran manusia sebagai orang-orang yang telah ditebus oleh Kristus dan mewartakan kabar gembira ini kepada semua bangsa sebagai misi asasi setiap orang Kristiani. Kedua, sebagai warga negara Indonesia, umat Katolik mewarisi tradisi kebangsaan, kebhinekaan, dan semangat juang sama untuk mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang semakin menumbuhkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat. Dua tradisi besar inilah yang selama ini menjadi lingkungan yang menumbuhkan dan mengembangkan tiap umat Katolik agar mereka dapat terlibat secara total, baik sebagai umat Katolik maupun sebagai warga negara Indonesia yang aktif berpolitik. Di tengah berbagai macam persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat kompleks, di mana ancaman terhadap kebhinekaan, melalui perilaku kekerasan, ketidakjujuran dan korupsi telah melahirkan ketidakadilan dan kemiskinan, umat Katolik tetap harus berpegang pada kebenaran ajaran iman. Iman membantu kita dengan lebih jelas memahami kebenaran tentang kehidupan manusia dan kemartabatannya. Karena itu, sebagai umat Katolik, kita memiliki kewajiban untuk membawa kebenaran itu dalam kehidupan politik dan memahaminya dengan mempergunakan akal budi kita. Sebagai seorang yang beriman dan berakal budi, umat Katolik terpanggil untuk membawa 23 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
kebenaran kehidupan politik dalam terang praksis perintah Kristus, yaitu “saling mengasihi satu sama lain� (Yohanes 13,34). Gereja Katolik Indonesia, melalui Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), telah mengeluarkan surat Gembala bagi Umat Katolik dalam rangka Pemilihan Presiden pada 9 Juli 2014 nanti. Tentu, Gereja, yang mencintai seluruh umatnya, apapun pilihan politisnya, sebagai sebuah hirarki, tidak berada dalam kewenangannya untuk memihak kepentingan politik manapun. Gereja memiliki tugas untuk memberikan ajaran moral berdasarkan terang iman kristiani yang akan memandu pilihan mereka dalam kehidupan politik. Sedangkan, umat awam Katolik, yang berkecimpung langsung dalam kehidupan politik hendaknya menjadi contoh (role model) dan tanda tentang kehidupan politik yang bertanggungjawab berdasarkan suara hatinya. Hukum sipil hendaknya mengenali, bahwa Gereja memiliki hak dan tanggungjawab untuk berpartisipasi dalam masyarakat tanpa meninggalkan keyakinan moralnya. Motto Bhineka Tunggal Ika, yang mendasari semangat keragaman bagi bangsa Indonesia, perlulah didukung dan disokong secara terus menerus, ketika kelompok agama dan mereka yang menganut kepercayaan menghayati keyakinannya ini dalam kehidupan publik. Komunitas umat Katolik hendaknya tetap terbuka membangun dialog yang selaras dengan kerangka moral yang menjadi keyakinan Gereja dan memperluas keyakinan ini untuk melayani mereka yang membutuhkan. Dalam Tradisi Gereja Katolik, menjadi warga negara yang bertanggungjawab merupakan sebuah keutamaan dan keterlibatan dalam kehidupan politik merupakan sebuah kewajiban moral. Sebagai umat Katolik, kita harus selalu dipimpin oleh keyakinan moral kita daripada kelekatan kita atau kepentingan partai ataupun kelompok sempit. Dalam kehidupan politik sekarang ini, umat Katolik Indonesia, sebagai kelompok minoritas di tengah mayoritas umat muslim, mungkin merasa diri terasing dan kurang merasa berarti, dan bahkan mungkin merasakan bahwa calon presidan yang diusung partai tidak ada yang dapat mengakomodasi cita-cita dan harapan kita sebagai umat Katolik, terutama dalam perjuangan menjaga kemartabatan manusia. Namun, umat Katolik yang terlibat dalam kehidupan politik, yang bekerja sebagai pegawai negeri dan pelayan rakyat perlu bersikap dan bertindak selaras dengan prinsip moral ajaran Gereja dan semakin terlibat lebih dalam dalam tampuk pemerintahan, bekerja melalui partai dan mengomunikasikan keprihatinan kita kepada pejabat yang terpilih. Jangan sampai ada yang golput dalam rangka menyuarakan kepentingan mereka bila hal itu terkait dengan kepentingan hidup mereka dan kesejahteraan rakyat banyak.
24 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Sebuah etika kehidupan yang konsisten haruslah menjadi pedoman bagi setiap umat Katolik yang terlibat dalam kehidupan politik. Mereka tidak dapat meredusir etika Katolik pada satu atau dua isu, atau memperlakukan semua isu sebagai hal yang secara moral sama, atau malahan sebaliknya meredusir ajaran moral Katolik pada satu atau dua isu. Komitmen ajaran moral Katolik melingkupi usaha kita menjaga setiap kehidupan dan hakhak asasi manusia, dari pembuahan sampai kematian secara natural, dan dalam kewajiban fundamental kita untuk menghormati dan menghargai kemartabatan dan keluhuran manusia sebagai anak-anak Allah. Pemilih Katolik hendaknya memakai ajaran moral Gereja untuk meneliti kehidupan dan posisi para calon presiden dengan mempertimbangkan kinerja, filosofi dan integritas para calon presiden. Adalah penting bagi setiap umat Katolik untuk melihat semua itu mengatasi partai politik, menganalisis secara kritis berbagai macam retorika capres selama masa kampanye, dan memilih pemimpin mereka berdasarkan prinsip-prinsip Kristiani, bukan berdasarkan keterikatan pada partai ataupun kepentingan diri. Adapun tema-tema tentang bagaimana ajaran moral dan sosial Gereja Katolik, bisa dipertimbangkan sebagai kriteria pemilihan calon presiden bisa dilihat dalam lembaran untuk menilai rekam jejak calon presiden, yang dilengkapi dengan 4 kriteria kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. (Lihat lembar simulasi). Secara singkat, prinsip-prinsip ini dapat dipahami sebagai berikut: Prinsip untuk menjaga hak hidup dan kemartabatan manusia sebagai pribadi. Hidup manusia itu suci. Serangan secara langsung pada manusia yang tidak berdosa tidak pernah secara mora dapat dibenarkan. Umat Katolik melindungi kehidupan sejak pembuahan, anti-aborsi, euthanasia, dan menolak embrio manusia untuk uji coba laboratorium. Kejahatan secara intrinsik terkait hal ini harus dilawan. Ajaran ini juga mengajak umat Katolik untuk menolak genosida, penyiksaan, perang yang tidak adil, penggunaan hukuman mati. Umat Katolik diharapkan mencari cara-cara perdamaian, membantu mengentaskan kemiskinan, menolak sukuisme, dan keadaan-keadaan lain yang merendahkan kemartabatan manusia. Umat Katolik terpanggil untuk membangun kehidupan keluarga, komunitas dan berpartisipasi dalam kehidupan publik. Kehidupan keluarga, yang mendasarkan diri pada pernikahan pria dan wanita, merupakan unit fundamental sebuah masyarakat. Keluarga sebagai tempat meneruskan keturunan, pendidikan anak tidak dapat diabaikan atau dihilangkan. Mendukung kekokohan keluarga harus menjadi prioritas bagi kebijakan sosial dan ekonomi. Bagaimana masyarakat kita diorganisasi akan memengaruhi kehidupan dan kesejahteraan individu dan masyarakat. Setiap kelompok dan komunitas 25 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
dalam masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi kesejahteraan individu dan kebaikan bersama.
dalam
mempromosikan
Setiap manusia memiliki hak hidup, sebuah hak fundamental memungkinkan terpenuhinya hak-hak yang lain. Setiap dari kita memiliki kebebasan memeluk keyakinan agama, yang memungkinkan kita bertindak selaras dengan kemartabatan yang telah dianugerahkan Pencipta kepada kita. Demikian juga setiap manusia memiliki hak untuk dapat memperoleh akses yang membuat hidup mereka lebih bermartabat, seperti perumahan, sandan, pangan, papan, pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan. Kita semua memiliki hak dan kewajiban untuk satu sama lain agar hal-hal ini dapat tercapai. Terhadap hal ini, umat Katolik memiliki kewajiban abadi untuk membentuk kesadaran suara hati sebagai warga negara yang bertanggungjawab sesuai dengan tuntunan akal budi, yang diterangi oleh ajaran Kristus sebagaimana kita terima melalui Gereja. Gereja juga mengajak umat Katolik Indonesia untuk mengembangkan keutamaan kearifan (prudence) yang memungkinkan umat Katolik untuk memilih mana yang merupakan kebaikan sejati dalam situasi tertentu dan untuk memilih cara-cara yang benar untuk mencapainya. Keutamaan ini membentuk dan melahirkan kemampuan bebas kita untuk memilih alternatif-alternatif dan menentukan apa yang tepat untuk situasi tertentu dan menyikapinya dalam tindakan. Kearifan ini harus disertai keberanian untuk bertindak dan mengambil keputusan. Sebagai umat Katolik, kita memilih mana yang semakin memajukan kesejahteraan umum dan mempertimbangkan mana keputusan yang secara moral dapat diterima. Sebuah tujuan yang baik tidak dapat membenarkan cara-cara imoral dalam meraihnya. Umat Katolik bisa saja memilih caracara berbeda untuk mengatasi persoalan sosial, namun satu hal yang pasti bahwa umat Katolik tidak dapat menghilangkan kewajibannya untuk melindungi kehidupan dan kemartabatan manusia dalam sebuah dnia yang lebih adil dan damai. Dalam konteks Indonesia, kejujuran dan setia pada kebenaran merupakan sebuah prinsip yang mahal di tengah maraknya berbagai macam korupsi yang menghancurkan sendisendi bangsa ini. Umat Katolik diminta untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik dan menghindari hal-hal yang jahat yang dapat merugikan eksistensi manusia itu sendiri. Sebagai umat Katolik, kita bukanlah pemilih berdasarkan satu isu tertentu. Posisi capres atas isu tertentu, tidaklah mencukupi bagi kita untuk memberikan sebuah dukungan. Namun, posisi seorang calon presiden terhadap satu isu yang secara implisit mengandung sebuah kejahatan, seperti mendukung perilaku kekerasan, intoleran, mendorong permusuhan dan memecahbelah masyarakat dapatlah menjadi alasan sah bagi umat Katolik untuk mendiskualifikasikannya dalam pemilihan. 26 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Umat Katolik mengembangkan prinsip, fortiter in re, suaviter in modo, yaitu kuat dalam prinsip, namun lembut dalam cara. Calon presiden yang memiliki prinsip yang tegas adalah ia yang tidak mau tunduk pada kekuasaan yang tidak memiliki legitimasi hukum, cara-cara jalanan, dan premanisme, sebaliknya, ia berani bertindak tegas menegakkan hukum, karena penegakan hukum adalah lambang dihargainya kemartabatan manusia sebagai sesama yang setara dalam hukum. Ketegasan terhadap hukum tidak harus pula dilakukan dengan cara-cara yang keras, melainkan perlu dilakukan dengan cara dan model yang memberi ruang bagi dialog dewasa. Umat Katolik perlu menghindari caracara memilih calon presiden berdasarkan penampilan fisik, kekayaan, atau pencitraan melalui media. Sebaliknya, merunut komitmen para calon presiden sebagai pelayan rakyat yang memperhatikan dan memperjuangan kesejahteraan orang-orang miskin yang terpinggirkan dan diperlakukan tidak adil merupakan sebuah keharusan. Umat Katolik mesti menghargai makna pekerjaan. Pilihan calon presiden mestinya diutamakan pada mereka yang menghayati makna kerja, menyediakan lapangan pekerjaan yang baik, sehingga manusia dapat mengaktualisasikan hidup dan panggilannya melalui pekerjaannya serta melindungi hak-hak para pekerja. Umat katolik perlu menghayati nilai-nilai solidaritas, sebab meskipun kita ini berbeda suku, bangsa, ras, agama, latar belakang sosial ekonomi, dan ideologi, kita semua adalah satu keluarga. Umat katolik memiliki komitmen untuk memperjuangkan keadilan, menghilangkan sektarianisme, mengakhiri perdagangan manusia, melindungi hak-hak asasi manusia, mengusahakan perdamaian, dan menghindari jalan-jalan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Umat Katolik perlu menjaga keutuhan ciptaan. Menjaga bumi adalah tanggungjawab iman setiap umat Katolik. Kita terpanggil untuk menjaga keutuhan dan kelestarian ciptaan dengan cara membangun sebuah lingkungan hidup yang sehat dan ramah bagi kehidupan manusia sekarang dan yang akan datang. Hal-hal ini kiranya dapat membantu umat Katolik Indonesia dalam mengembangkan suara hati yang bertanggungjawab sebagai warga negara Indonesia serta dapat menjadi pedoman dalam menegaskan pilihan calon presiden pada pemilihan Presiden 9 Juli nanti. *Doni Koesoema A. Penulis adalah staf litbang GSC.
27 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
TIPS MEMILIH CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SESUAI REKAM JEJAK 1.1.CERMATI 1. REKAM JEJAK CAPRES DAN CAWAPRES Baca Rekam Jejak Perjuangan Capres dari Litbang KOMPAS
2. AMATI 2. REKAM AMATI JEJAK REKAM PARTAI-PARTAI JEJAK PARTAI-PARTAI DAN PENDUKUNG DAN PENDUKUNG KOALISI KOALISI MASING-MASING CAPRES/CAWAPRES MASING-MASING CAPRES/CAWAPRES
MEMBUAT MEMBUAT KALKULASI KALKULASI NILAI CAPRES/CAWAPRES NILAI CAPRES/CAWAPRES Gunakan Lembar Simulasi Kuning
4. TENTUKAN PREFERENSI/PILIHAN CAPRES
5. GUNAKAN HATI NURANI YANG BERSIH SECARA CERDAS Baca artikel Membentuk Nurani Warga Negara Bertanggungjawab
6. MENCOBLOS DI TPS SELAMAT MENJADI WARGA NEGARA YANG MEMPERGUNAKAN HATI NURANI SECARA BERTANGGUNGJAWAB
28 | P e m28 i l |u P 2e 0m1i 4l u : 2M0 e1 m 4 i :l i M h edme inl gi ha nd eN nu gr a n i NCuer radnai s C e r d a s
Fokus Pemikiran
Menentukan Pilihan Sebagai Pengikut Kristus Soedradjad Djiwandono* Setelah menggunakan hak dan tanggung jawab memilih anggota legislatif dalam Pileg April yang lalu, kita kembali diundang untuk menggunakan hak dan tanggung jawab kita dalam hidup berbangsa dan bernegara, memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru pada pada tanggal 9 Juli nanti. Pilihan yang akan kita lakukan dalam Pilpres bahkan lebih penting lagi bagi bangsa Indonesia di dalam melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia akan memilih dua putera terbaiknya yang benar-benar mampu dan berdedikasi penuh untuk memimpin dan mengawal bangsa Indonesia melanjutkan kehidupan berbangsa membangun Indonesia menuju hari depan yang lebih baik. Presiden dan Wakil Presiden yang kita pilih harus mampu mengelola dan memanfaatkan segala sumber kekayaan dan potensi nasional yang ada serta menjawab tantangan dan masalah yang timbul di dalam maupun dari luar menuju masyarakat yang kita cita-citakan. Kita akan memilih pemimpin yang mampu memimpin dan mengantar bangsa Indonesia dalam usahanya untuk memperkokoh sistem demokrasi dengan seluruh sarana dan kelembagaannya agar seluruh warga negara boleh mengambil bagian dalam membangun dan mengembangkan Indonesia menjadi damai, makmur dan lebih sejahtera buat semua. Kita bersyukur bahwa menghadapi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dewasa ini Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada tanggal 26 Mei yang lalu telah mengeluarkan Surat Gembala “Pilihlah Secara Bertanggung Jawab, Berlandaskan Suara Hati� yang memberi arahan dan pedoman kepada umat Katolik dalam menyikapi Pilpres 2014. Meskipun demikian dalam menghadapi Pilpres dewasa ini banyak kalangan, termasuk pemilih Katolik yang masih merasa sulit menentukan pilihan mereka karena pemberitaan mengenai proses pembentukan koalisi dan hasil koalisi yang tidak mudah terbaca mengenai apa latar belakang dan mengapanya dari yang berkembang. Sayangnya media yang ada, termasuk lembaga-lembaga yang membuat berbagai survei, bahkan para pakar dan pengamat banyak memberikan analisis, assessment dan informasi yang kurang memberi pencerahan ataupun pendidikan politik membantu kita semua dalam 29 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
memahami perkembangan yang terjadi. Tidak jarang malah sebaliknya lebih menimbulkan polemik yang tidak mencerahkan pemilih. Semua ini masih ditambah kampanye hitam yang terus marak, tidak hanya di media sosial, tetapi bahkan dalam media umum. Semua ini menimbulkan tantangan yang bisa mempersulit orang menentukan pilihan. Menghadapi semua ini di sini saya ingin menggaris bawahi pesan dari para gembala kita agar kita semua benar-benar memilih pemimpin bangsa Indonesia lima tahun mendatang secara bertanggung jawab, mengikuti suara hati sebagai pengikut Kristus yang seratus persen Indonesia. Kita harus terlebih dahulu menyadari hak dan tanggung jawab kita sebagai pengikut Krisus dan warga negara Indonesia sejati yang benar-benar terlibat dalam hidup berbangsa dan bernegara. Keterlibatan kita sebagai warga negara yang berhak pilih dalam kaitan ini adalah menggunakan hak pilih kita secara bertanggung jawab dengan memilih secara cerdas berlandaskan suara hati. Saya ingin mengajak anda sekalian menghadapi Pilpres yang sudah di depan kita ini dengan mendalami pedoman dan pesan surat gembala KWI tersebut. Kita mengawalinya dengan membuat keputusan untuk menolak menjadi golput, karena tidak menggunakan hak pilih bukan alternatif yang terbuka buat pengikut Kristus yang bertanggung jawab. Kemudian kita lanjutkan dengan menjatuhkan pilihan secara cerdas, mendengarkan suara hati kita yang diterangi Roh Kudus. Dan hal ini akan terjadi kalau kita menyatu dengan dan ada di dalam Kristus. Apakah ini hanya kumpulan kata-kata bagus yang tak ada arti atau relevansinya? Terlibat secara Inkarnatoris Berpegang kepada spiritualitas inkarnatoris kita mulai dengan menyadari makna dari pesan dan ajaran Kristus dalam hal hidup berbangsa dan bernegara sebagai persiapan kita untuk menjadi terlibat. Kita harus memulainya dengan menyatu dengan dan menjadi bagian dari Kristus sendiri. Kita satukan diri kita dengan Kristus, sehingga Dia ada di dalam diri kita dan kita masing-masing di dalam Dia. Dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara kita juga harus memulainya dengan menjadi sadar akan posisi kita masing-masing terkait dengan hak dan kewajiban kita sebagai warga negara. Kesadaran ini diperlukan sebelum kita dapat menggunakan hak pilih kita secara bertanggung jawab. Di sini kita ingat kembali apa yang diajarkan Tuhan Yesus untuk ‘memberikan kepada Kaisar apa yang wajib kita berikan kepadanya, dan kepada Allah apa yang menjadi milik 30 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Allah’ (Markus 12:17). Dua aspek kehidupan yang tidak boleh kita abaikan, hidup kita sebagai pengikut Kristus dan sebagai warga negara. Ini ditekankan kembali dalam surat gembala dalam ajakan untuk menggunakan hak pilih dan jangan menjadi golput. Kita harus menyadari bahwa dalam alam demokrasi yang sudah dibangun dan dipelihara bangsa kita sejak dimulainya era reformasi, kita tidak boleh lagi hanya menikmati hidup dalam zona kenyamanan diri sendiri (comfort zone), terpisah dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai alasan yang sering dijadikan sarana pembenaran adalah argumen yang mengatakan bahwa politik itu kotor, karena itu harus dihindari. Di masa lampau mungkin sikap tersebut boleh karena kebetulan kita boleh hidup dalam comfort zone dan ikut berpolitikpun, kalau dimungkinkan tidak banyak manfaatnya. Tetapi kehidupan tersebut tidak terbuka lagi di alam demokrasi ini. Di dalam alam demokrasi yang sudah terbangun selama ini kita harus ikut berpartisipasi aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab, sebagai orang Indonesia seratus persen. Artinya kita tidak boleh golput, kita harus menggunakan hak pilih kita dengan benar. Ini termasuk aktif mencek apakah tidak ada masalah dalam pendaftaran kita sebagai pemilih, apakah telah memiliki surat panggilan dan seterusnya. Dalam peran terbatas masing-masing ikut membantu menciptakan berjalannya kampanye yang damai, bersih dari segala kecurangan, serta terselenggaranya pemilu yang tertib dan damai. Kemudian ikut mengawasi agar dilaksanakan penghitungan suara yang bersih dari penyelewengan ataupun kecurangan. Apalagi kalau kita tidak hanya menjadi pemilih, tetapi bertugas dalam penyelenggaraan pemilihan, malahan ikut aktif sebagai bagian dari kegiatan kampanye dan penyelenggara pemilihan. Demikian pula hendaknya semoga selalu dijadikan pegangan oleh semua pengikut Kristus yang seratus persen Indonesia, apa yang ditekankan oleh Mgr Suharyo dalam “The Catholic Way� untuk ikut menjaga agar tidak berkembang ‘klerikalisasi awam’ ataupun ‘awamisasi klerus’. Tugas dan tanggung jawab awam mapun klerus, hirarki dan awam, keduanya sangat penting dalam proses pengikut Kristus menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi semoga tidak dicampur adukkan. Jadi sebagai warga negara yang bertanggung jawab kita harus memilih dalam pilpres nanti. Dan dalam hubungan awam dan hirarki gereja jangan ada pencampuradukan tugas dan tanggung jawab mengenai apa yang harus dilakukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melaksanakan pilihan yang berlandaskan suara hati nurani kita mulai dengan terlebih dahulu menggunakan akal sehat kita; bagaimana mempelajari program, membaca rekam jejak dan karakter para capres dan cawapres dengan semua misi visi mereka program 31 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
maupun janji-janji mereka. Ini diperlukan untuk memperoleh kejelasan tentang kesamaan dan perbedaan, kelemahan dan keunggulan masing-masing pasangan calon agar kita dapat memilih siapa calon terbaik untuk memimpin bangsa Indonesia lima tahun mendatang. Kemampuan penalaran kita harus kita manfaatkan untuk menyadari bagaimana membawakan suara minoritas di dalam sistem demokrasi yang membuat keputusan berdasarkan mayoritas suara. Spiritualitas inkarnatoris kita mengajarkan bahwa pilihan kita, setelah menggunakan segala daya pikir yang kita miliki sebagai anugerah Allah kemudian semuanya kita serahkan kepada Yesus. Ini hanya terjadi kalau kita berserah diri, menyatu di dalam Yesus dan Dia di dalam kita. Kita harus berdoa agar Roh Kudus menerangi kita sehingga kita menjadi cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (Mateus 10:16). Ini kita lakukan dengan menyapa Tuhan dan memohon kepadaNya dalam doa sebelum melaksanakan kehidupan kita berbangsa dan bernegara, termasuk dalam menentukan pilihan kita pada Pilpres nanti. Pilihan kita yang melewati proses demikian akan diterangi Roh Kudus dan karena itu akan menemukan kebenaran. Mari kita pilih Presiden dan Wakil Presiden yang tepat; mampu memimpim dan mempunyai watak pemimpin yang melayani dan memperjuangkan nilai-nilai sesuai dengan ajaran sosial Gereja, menghormati kehidupan dan martabat manusia, memperjuangkan kebaikan bersama, mendorong dan menghayati semangat solidaritas dan subsidiaritas serta memberi perhatian lebih kepada warga negara yang kurang beruntung. Mari kita pilih pemimpin yang gigih dalam memelihara, mempertahankan dan mengamalkan Pancasila, pemimpina yang pluralis, bersih, tidak karup, penuh dedikasi untuk menggunakan kemampuannya memimpin bangsa ini kearah masyarakat yang demokratis, adil, makmur dan lebih sejahtera. Marilah kita memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin dan mengawal bangsa Indonesia menghadapi segala tantangan dan masalah di dalam negeri maupun dalam hubungan dengan bangsa-bangsa lain secara regional maupun global dengan memanfaatkan semua potensi dan sumber daya yang dimiliki bangsa ini, menghadapi segala tantangan dan memanfaatkan kesempatan di arena regional dan global yang penuh ketidak pastian itu. Marilah kita memedomani Surat Gembala menyambut Pilpres 2014; menggunakan hak pilih masing-masing pada tanggal 9 Juli mendatang, di dahului dengan menyapa dan membuka hati kita untuk menyambut Yesus yang kita imani akan untuk menghadirkan Roh Kudus. Dan dengan bekal tersebut semua akan melakukan pilihan sebagai pengikut Kristus yang seratus persen Indonesia. Dan dengan demikian kita bersama berpartisipasi 32 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden yang mampu membawa Indonesia yang lebih maju, lebih makmur dan lebih damai dan sejahtera bagi semua. Selamat memilih 9 Juli nanti. Tuhan memberkati anda semua. *Penulis adalah Penasihat Gaudium et Spes Community (GSC)
•
•
Ada pemisahan antara tugas Hierarki dan Awam. Jangan sampai ada: “KLERIKALISASI KAUM AWAM”, DAN “AWAMISASI PARA KLERUS” (The Catholic Way, Mgr Ign. SUHARYO, hal. 59, 60)
33 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Curah Gagasan
Memberantas Wabah Korupsi..... Belajar dari Marcus Cicero, negarawan dan orator. Oleh Paul Soetopo*
S
aat-saat akhir kerajaan Romawi ditandai dengan krisis ekonomi yang hebat, dunia yang sedang bergolak, ancaman politisi yang haus kekuasaan, dan partai-partai politik yang tidak mau bersatu bahkan saling membenci dan lempar fitnah, serta korupsi yang merajalela dan mewabah yang dilakukan oleh Penguasa bekerjasama dengan Senat (DPR). Rakyat sengsara, menderita dan hanya menjadi pemungut sisa-sisa makanan dari pesta para pemimpin yang korup, yang sesuka hati menyalah-gunakan undang-undang dan kebal hukum. Pada saat genting itu muncul Marcus Cicero, seorang negarawan dan orator, untuk melawan para koruptor yang dianggapnya sebagai kanker pemakan jantung hati negara. Pidato perlawanannya menjadi mercusuar kebijakan (wisdom) dalam kepemimpinan dan politik. Indonesia tentu tidak atau belum separah itu. Tetapi beberapa 'tanda zaman' terlihat semakin menonjol seperti munculnya politisipolitisi yang bernafsu menduduki kekuasaan dengan menghalalkan segala cara yang haram, suka melempar fitnah dan kampanye hitam, golongan-golongan yang melakukan terror, kekerasan dan intimidasi, korupsi yang semakin berjemaah dan vulgar, penguasa yang melawan hukum, dan tidak takut dihukum. Saat menuntut Gaius Verres, seorang koruptor besar Romawi, Cicero dengan jelas dan gamblang membeberkan dosa-dosa para penguasa termasuk DPR, penegak hukum yang tidak adil dan tidak jujur bahkan melanggar hukum. Mereka korupsi, menggunakan dana negara seperti milik sendiri, memindahkan kas negara ke kas pribadi, rakus (greed), mencari kenikmatan (lust) dengan pesta-pesta dan main perempuan. Akibatnya kas negara kosong, angkatan bersenjata lumpuh, penegakan hukum lemah, ekonomi hancur, rakyat menderita. Cicero meminta semua itu dihentikan segera dan menghukum seberatberatnya koruptor. Dia mengancam, apabila hakim tidak adil atau terima suap, dia akan membawa kasus itu kepada pengadilan rakyat. 34 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Dia ingin Pemimpin yang bersih, jujur, adil, dan tegas. Pemimpin yang tidak melindungi para koruptor. Visi-misi Capres sudah ditulis. Hanya janji-janji atau benar-benar akan dilakukan tanpa pandang bulu? Bagaimana bilamana korupsi itu dilakukan oleh anak buah sendiri, anggota partainya, atau oleh elite politik anggota Koalisi-nya? Akankah dilindungi? Apapun, pilihlah Capres yang punya hati nurani dan hanya bekerja untuk kepentingan rakyat!!! Penulis adalah Ketua Gaudium et Spes (GSC)
35 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Curah Gagasan
Pembunuhan Karakter Lawan Politik melalui Kampanye Hitam L. Widarto*
Menyambut Pilpres 9 Juli 2014 Kantor Waligereja Indonesia (KWI) telah mengeluarkan Surat Gembala kepada umat Katolik untuk menghindari Kampanye Hitam. Peringatan ini terbukti benar dengan masifnya kampanye hitam untuk merusak kredibilitas dan karakter lawan politiknya. Kampanye jenis ini telah mencederai ‘demokrasi’ yang seharusnya bersih, sopan dan jujur. Juga membawa risiko timbulnya bentrokan horizontal dan menimbulkan kebencian. Perbuatan tersebut telah melanggar norma-norma sopan santun, norma moral dan etika, bahkan norma-norma hukum.
P
elaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sudah semakin dekat, semakin tinggi pula suhu perpolitikan di negeri ini. Kampanye hitam marak, upaya menjatuhkan lawan dengan cara-cara kotor merebak. Isu-isu SARA yang seharusnya dikubur dalam-dalam justru dibangkitkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu dan pasangan Capres-Cawapres diharapkan dapat bekerjasama untuk mengurangi praktek kampanye hitam tersebut. Menurut pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, seperti dikutip oleh Kompas.com (24/5/2014), praktik kampanye hitam dapat memberikan pengaruh buruk terhadap pemikiran masyarakat. Pasalnya, masyarakat cenderung lebih mengingat hal yang buruk daripada hal yang baik . Tiga Jenis Kampanye Secara umum ada tiga jenis kampanya. Pertama, kampanye positif (kampanya visi dan misi). Kampanye adalah bagian penting dari demokrasi di mana partai politik dan para tokohnya jualan nilai-nilai, prinsip-prinsip dan programnya kepada rakyat untuk memperoleh dukungan rakyat. Kampanye visi dan misi adalah jenis komunikasi publik untuk memaparkan program-program atau rencana kerja serta pesan-pesan kepada
36 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
masyarakat dari masing-masing Capres atau Cawapres bila kelak terpilih. Kampanye jenis ini dilakukan secara positif (jualan visi-misi atau misi-visi). Kedua, kampanye negatif adalah jenis komunikasi publik yang memaparkan fakta-fakta kelemahan dari pihak kompetitornya. Meskipun yang diungkapkan tersebut berdasarkan kenyataan, namun kampanye model ini tetap bisa menjatuhkan pihak lawan.Pemilih perlu tahu kelemahan lawan politik. Sejauh tidak masuk ke area SARA yang sudah melanggar hukum, kampanye negatif masih bisa dibenarkan dan tidak masalah. Ketiga, Kampanye Hitam (black campaign). Ini adalah jenis diseminasi atau penyebaran informasi kepada publik yang bersifat fitnah, kabar bohong, menyerang individu pribadi kandidat dan hal lain yang mengandung isu SARA (Suku , Agama, Ras dan antar golongan). Di sini baru bermasalah, karena yang dijual adalah fitnah, kebohongan, penistaan. Tujuannya adalah ingin menunjukkan bahwa calon lain adalah "musuh negara, musuh rakyat, musuh kemanusiaan". Kampanye dilakukan lewat media tulisan (leaflets, tabloid), elektronik (media sosial, sms, bbm) dan lisan (sarasehan dan pidato). Jenis ini sangat merusak dan tidak manusiawi. Sebab, "fitnah lebih kejam dari pembunuhan"! Contoh kampanye hitam misalnya : Jokowi diberitakan telah meninggal dunia dengan nama Tionghoa, dengan nama babtis Herbertus Handoko Joko Widodo bin Oey Hong Liong. Beredarnya surat Jokowi di dunia maya yang ternyata palsu, isinya surat permohonan Jokowi kepada Kejaksaan Agung untuk menangguhkan pemeriksaan soal pengadaan bus Trans jakarta hingga selesainya Pilpres 2014. Prabowo dikabarkan punya kewarganegaraan Yordania. Hal ini telah diklarifikasi dan ternyata tidak benar. Negara kita tengah menghadapi pertaruhan besar, apakah PILPRES yang akan berlangsung 9 Juli 2014 bisa menjadi momentum kebangkitan bangsa atau sebaliknya. Di satu sisi, begitu besar harapan Pilpres bakal menghasilkan pemimpin yang benar-benar membawa perubahan bangsa ke arah lebih baik lewat proses demokrasi yang juga baik. Namun di sisi lain mencuat kekhawatiran perhelatan Pilpres bias memicu perpecahan. Gejala-gejalanya pun mulai nampak, antara lain ditandai dengan semakin maraknya black campaign di berbagai media, bahkan perilaku kekerasan berbau agama sudah mulai terjadi di Yogyakarta. Demi menyudutkan lawan, tak ada lagi rasa risih melemparkan fitnah atau memutarbalikkan fakta. Soal SARA dijadikan sarana menyerang rival. Model kampanye hitam seperti itu sudah saatnya dihentikan. Ketua Umum PB NU , Hasjim Muzadi, kamis, 29 Mei 2014 dalam Mukernas Muslimat NU meminta seluruh pihak yang bersaing dalam Pilpres 2014 agar menghentikan serangan atau manuver politik 37 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
berbau SARA terutama yang mempergunakan isu dan simbol agama. Mestinya isu kampanye hitam menjadi keprihatinan kedua Capres, karena ini sudah terkait dengan kerukunan dan persatuan bangsa di masa depan. Panglima TNI Jenderal Muldoko dan ketua Badan Pengawas Pemilu Muhammad menyatakan bahwa praktik kampanye hitam yang berbau SARA amat berpotensi memantik kerusuhan dan memicu chaos. Ia merupakan ancaman serius yang harus ditangkal. Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) harus segera berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk mengatasi maraknya kampanye hitam di media massa dan sosial serta upaya intimidasi yang mengusik keamanan masyarakat selama tahapan penyelenggaraan Pilpres. Bawaslu perlu berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, serta Kementerian Komunikasi dan informatika untuk menangkal adanya kampanye hitam. Kementerian Kominfo, misalnya dapat membantu melacak pemilik akun atau alamat internet protokol yang menjadi sumber penyebaran kampanye hitam melaui dunia maya. Terkait media massa yang melanggar dan menampilkan kampanye hitam. Bawaslu harus memberikan rekomendasi kepada KPI dan Dewan Pers untuk memberikan teguran keras (Kompas, 29 Mei 2014). Potensi konflik di Pilpres bukanlah halusinasi. Ini merupakan ancaman serius yang harus ditangani sejak awal sebelum membesar. Kampanye hitam ialah cara usang yang harus ditinggalkan. Menggunakan isu SARA ialah cara-cara tidak beradab. Kompetisi menuju RI1 dan RI-2 boleh berlangsung sengit, tetapi tetap harus dalam semangat persaudaraan. Kampanye hitam merupakan 'pembunuhan' (karakter) dan ada yang 'dibunuh'. Ini merupakan tindakan pidana. Tim 'pembunuh' ini, senang atau tidak, diakui atau tidak, sering menjadi bagian penting 'perjuangan' dari Tim Sukses (yang sedang kalap) dan tidak mustahil kalau juga mereka itu 'dipelihara dan dibiayai'. Perbuatan ini sudah masuk wilayah melanggar norma-norma hukum, etika, dan moral. Ini bertentangan dengan citacita demokrasi yang bersih, jujur, sopan dan adil. Bila memang rakyat yakin, maka rakyat bisa memberikan sanksi etika dan moral dengan memilih Capres "korban" bukan Capres "pembunuh". Saya sudah siap memilih, bagaimana anda? * Penulis adalah staf GSC
38 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Curah Gagasan
Kepemimpinan dan Kejujuran Muliawan Margadana*
I
ndonesia merupakan sebuah negara yang ditakdirkan dalam kebhinekaan (tradisi, etnis, budaya, agama dan keyakinan), berbentuk kepulauan dengan jumlah 17.504 pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai Âą 80.290 km (archipelagic state) dan berbatasan langsung dengan 13 negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat kompleks. Tahun Politik Tahun 2013-2014 dianggap sebagai tahun Politik, karena memang perhatian masyarakat dari segala sektor terserap oleh hiruk pikuk dan hingar bingar pelaksanaan Pemilu di mana sumber daya Nasional diserap secara masif oleh kegiatan yang disebut demokrasi ini. Bangsa Indonesia baru saja selesai melaksanakan Pemilihan umum legislatif yang memperebutkan 560 kursi DPR RI, 2112 kursi di Provinsi, dan 16.895 kursi DPRD Kota/Kabupaten serta 132 kursi DPD. Yang diperebutkan (secara nasional) adalah 19.699 unit kursi di 2.471 daerah pemilihan. Jumlah calon secara nasional lebih kurang 200 ribu orang dan biaya Pemilu 2014 yang resmi adalah 16 Trilyun sedang dari para caleg diperkirakan menghabiskan 100Trilyun. Data pelanggaran pemilu di sepanjang rangkaian tahapan pemilu legislatif dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mencatat setidaknya terjadi 3.507 pelanggaran. Banyak pihak meyakini bahwa Pemilu 2014 menunjukkan pentas “nafsu terendah untuk berkuasaâ€? yang masif dibandingkan Pemilu lainnya sejak dari tahun 1971. Pileg akan dilanjutkan dengan Pemilihan Presiden pada bulan Juli. Siklus demokrasi lima tahunan ini, di satu sisi memang membawa penyegaran, namun juga membawa perubahan yang seringkali menimbulkan ketidak nyamanan. Terjadinya politik uang yang masif menunjukkan rasa kebanggaan sebagai bangsa dan manusia Indonesia sudah tidak diperdulikan lagi. Peran manusia Indonesia sebagai Homo Homini Socius ( manusia sebagai mahluk sosial ) digantikan menjadi Homo Homini Lupus ( manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya ). Sistem politik dan pendidikan politik semakin rendah martabatnya. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dikalahkan. Pepatah “The 39 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
strong one doesn't win, the one that wins is strong�, menjadi benar karena elite politik maupun wakil rakyat terpilih mengangkangi kedaulatan rakyat setelah mereka menduduki posisinya. Mereka menganggap bahwa dengan memperoleh posisi, ia memiliki asset dari bangsa dan rakyat yang mendukungnya. Kita juga melihat banyaknya perpindahan elite politik dari satu partai ke partai lainnya, atau dari mendukung satu pihak menuju pihak lainnya. Perilaku ini menunjukkan bahwa tidak ada keteladanan dan konsistensi sikap politik yang berlandaskan pada kepentingan negara dan bangsanya, tapi lebih pada ke “aku� an-nya. Elite politik hanya disibukkan oleh urusan kue kekuasaan dengan membangun koalisi atau federasi politik, hanya turun saat mau pemilu atau pilkada saja sehingga mereka terisolasinya dari rakyat yang justru menjadi konstituennya. Partisipasi politik rakyat pun menjadi minim. Sebaliknya, sikap apatisme bertambah luas. Kerjasama politik tidak lebih sama dengan merger and aquistion dalam praktek dunia bisnis. Akibat dari itu semua adalah suburnya tendensi Machiavelianisme (menghalalkan segala cara demi tujuan), politik uang, bahkan konflik politik yang kerap diwarnai anarkisme pun cenderung meluas dan melebar. Berkembang pula nafsu perburuan kekuasaan yang menjangkiti berbagai komponen masyarakat sehingga �fragmentasi elite� pun tidak terhindarkan. Kampanye negatif menjadi dominan dibandingkan penawaran visi dan misi serta program. Ruh Ke Indonesia an Wawasan Kebangsaan yang dibentuk dari pengalaman kesejarahan secara kolektif oleh berbagai kelompok , sekarang mendapatkan tantangan baru di era Informasi yang serba cepat. Ada kesenjangan tafsir antara masyarakat dan pimpinannya akan makna identitas bangsa. Wawasan Kebangsaan nampak hanya sebagai realitas semu dalam dunia politik dibandingkan dengan sebuah hasil perjalanan panjang konsensus budaya . Indikasinya kini dapat kita saksikan dengan kasat mata terpinggirkannya nilai-nilai luhur budaya bangsa seperti kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, musyawarah-mufakat yang digantikan oleh individualisme, sistem voting dan sebagainya. Tahun 2013 adalah masa di mana Sumpah para abdi negara yang dilanggar untuk kenimatan pribadi, ketika berbagai kejahatan korupsi yang dilakukan para penyelenggara negara, pemimpin bangsa, tokoh partai politik dan kepala daerah terbongkar, bahkan institusi yang menjadi supremasi hukum Indonesia pun dihinggapi pembusukan etika. 40 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Tahun Kejujuran Tahun 2014 seakan membawa harapan positif akan lahirnya para pimpinan legislatif dan eksekutif yang lebih bermoral. Karena itu, tahun ini haruslah menjadi tahun menentukan sebagai tahun kejujuran dengan berbagai aspek yang menyertainya . Jika kita sama-sama setuju dengan mengatakan bahwa tahun 2014 memiliki nilai strategis dalam menentukan pemimpin bangsa, masa depan bangsa dan negara Indonesia setelah keterpurukan ini, mau tidak mau kejujuran yang harus dikedepankan dalam kehidupan berpolitik. Etika jauh lebih penting dari janji program. Moral jauh lebih menjanjikan daripada misi dan visi. Kejujuran lebih dibutuhkan daripada mesin politik ...“Past Behavior Predict Future Behavior” adalah potret bening dalam memilih para pemimpin kita ke depan. Sebagai umat katolik kita juga perlu cerdas dalam memilih, tidak hanya melihat pasangan Capres dan Cawapresnya namun juga Partai Politik pendukungnya. Bila kita melihat bahwa banyak partai politik pendukungnya bermasalah (korupsi) atau memiliki agenda sendiri (yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945) maka hal tersebut harus dijadikan pertimbangan. Perilaku politik transaksional haruslah diwaspadai, kerja politik yang pragmatis, individualis dan mementingkan kelompok atau diri sendiri haruslah dibandingkan dengan semangat kebangsaan untuk menuju masyarakat sejahtera. Kita perlu memilih pemimpin yang jujur terhadap masa lalu, kini dan kedepan hingga tidak ada beban moral dan etika bagi kita sebagai pemilih dan umat kristiani. Pancasila yang merupakan perwujudan nilai-nilai spiritual sekaligus vitalitas bangsa Indonesia yang oleh para pendiri negara dijadikan jalan hidup bangsa serta dasar Negara harus senantiasa ditegakkan. Rasa cinta dan semangat kebangsaan ini bukanlah warisan yang muncul begitu saja juga bukan hasil primordialisme tapi merupakan konstruksi emosional, inteletual dan ideologis yang dikembangkan, dibangun, dirawat serta diperjuangkan. Mengabaikan salah satu sila saja sudah cukup sebagai alasan untuk mencegah terwujudnya keadilan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia. Siapa yang bertanggung jawab? Bila kita lakukan bedah dan audit idiologi Bangsa kita Pancasila, maka akan tampak Sila 1, adalah potensi pemecah semua sila apabila tidak dipimpin dengan baik. Masih ada dikotomi mayoritas atau kelompok yang mendominasi eksistensi “agama” Sila 2 masih menjadi “barang mainan” Hanya sila ke 3 yang lebih berhasil dari yang lainnya walaupun gejala spirit lokal makin kuat Sila ke 4 sedang melakukan akrobatik politik 41 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Sila ke 5 sebenarnya tahapan nasionalisme yang menyejahterakan harus dimulai dari sini Kita butuh pemimpin yang mampu menghadirkan hal tersebut. Untuk itu kiita harus menuntut kehadiran seorang pemimpin yang jujur kepada rakyat, keluarga dan dirinya sendiri, pemimpin yang jujur akan ke-Indonesia-annya , jujur dan setia terhadap nilai-nilai Pancasila dan secara terus menerus mencari Kebangsaan Indonesia yang bisa berfungsi sebagai pemersatu dan secara operasional efektif, sehingga mampu memenuhi kebutuhan obyektif rakyatnya yaitu Salus populi suprema lex esto atau"The welfare of the people shall be the supreme law" . Perilaku itu dapat diwujudkan dalam: Pemberantasan korupsi harus jalan terus bagi semua pihak yang berkhianat dan tidak jujur terhadap Pancasila, UUD’45 dan NKRI. Negara harus berani menjalankan hukum dan menindas segala kekerasan, kekejaman dan ketidak manusiawian , termasuk kekerasan atas nama negara. Mengembangkan sistem pendidikan yang mengutamakan moralitas dan kebangsaan Merubah sistem politik yang terbukti merendahkan harkat dan martabat sebagai manusia Indonesia yang beriman dan berkebangsaan Mengembangkan Welfare Nationalism, yaitu konsepsi nasionalisme yang menyejahterakan bangsanya Para pemimpin harus menjadi sadar dan jujur bahwa mereka berkewajiban mendidik bangsa untuk menjadi generasi yang berwajah nasionalisme harmoni, yaitu yang peduli akan realita perbedaan-perbedaan kita yang ber-bhineka ini. Yang terakhir, kita memerlukan pemimpin yang jujur pada bangsanya , yang punya keberanian untuk dapat mempersilahkankan bagi (mengaku ) warganya untuk mencari negara lain bila memang tetap berkehendak menerapkan ideologi bangsa atau agama tertentu di bumi Pancasila yang kita cintai, rawat dan banggakan ini. Jakarta, 24 Mei 2014 * Penulis adalah Ketua Presidium ISKA
42 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Curah Gagasan
Membangun Indonesia yang Bermartabat Hildegard Della Pradipta*
S
etelah kita melaksanakan pemilihan calon legislatif yang lancar dan aman, kita boleh mengapresiasi keterampilan emosional masyarakat yang meningkat kepeduliannya untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan wakil rakyat ini. Walaupun demikian, menurut saya, hasil yang kita dapatkan masih belum menggembirakan. Angka keterwakilan perempuan semakin merosot dari harapan, setidaknya 30 persen dari jumlah seluruh anggota legislatif. Sesungguhnya keterwakilan 30 persen perempuan adalah cermin dari keadilan demokrasi. Dengan ini, seharusnya kita bisa menciptakan keputusan-keputusan yang sungguh mempedulikan kepentingan laki-laki dan perempuan secara setara. Kita perlu menjadikan kenyataan ini sebagai agenda serius yang harus kita tindaklanjuti bersama ke arah kesepahaman dan kesepakatan yang lebih tegas di waktu mendatang. Semua pihak terkait harus bersedia duduk bersama dengan legowo mempersilakan keterwakilan 30 persen perempuan sebagai salah satu pertimbangan dalam mengangkat suara rakyat yang sebenarnya. Tentu saja, perempuan yang memiliki kompetensi dan kepedulian penuh terhadap keadaan masyarakatlah yang pantas duduk di kursi legislatif. Semoga kelak, tidak ada lagi caleg-caleg stress yang mengganggu kenyamanan kita mengikuti berita-berita media massa setelah pelaksanaan pemilu lima tahun mendatang. Artinya, calon wakil rakyat yang akan maju adalah pribadi matang yang mengerti segala risiko yang akan dihadapi dalam keputusannya melangkah ke ajang pemilihan wakil rakyat. Saat ini kita tentu sedang bersiap untuk melangkah ke tahap pemilihan calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang ketujuh. Tentu harapan agar pelaksanaan pemilu ini dapat dilaksanakan dengan aman, lancar, dan semakin banyak lagi partisipasi rakyat, adalah keinginan kita bersama. Siapa calon-calon presiden dan wakil presiden kita sudah ditetapkan. Tentu kita telah banyak mendengar dan membaca informasi tentang kedua pasangan calon beserta partai pendukung yang bisa kita proyeksikan, ke mana Indonesia akan dibawa. Visi dan misi sudah jelas baik dan ideal isinya. Akan tetapi sesungguhnya perjalanan panjang pengalaman dan sejarah para calon pemimpin bangsalah yang harus menjadi perhatian kita dalam menentukan pilihan kita kelak. Karakter dan perilaku merupakan cermin dasar yang paling jujur yang akan mempengaruhi gerak langkah dan keputusan yang akan diambil dalam membawa bangsa 43 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
dan negara ini. Profil rakyat Indonesia yang heterogen/bhinneka adalah sebuah fakta yang harus kita akui dan sadari sejak negara ini memproklamasikan kedaulatannya. Indonesia yang bhineka dengan dasar Pancasila adalah kartu mati yang harus kita perkuat dan tingkatkan kualitasnya di segala dimensi kehidupan ini. Bersama membangun Indonesia adalah gambaran dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Tidak ada diskriminasi. Semua warga negara berhak ikut ambil bagian di lini masingmasing dengan tujuan mulia, atas dasar cita-cita kesejahteraan bersama. Harus diakui, bahwa menuju kearah kesejahteraan bersama masih membutuhkan waktu dan kerja keras yang tidak instan. Saya mencatat permasalahan masyarakat yang serius harus kita tangani bersama. Mulai dari tindak korupsi, pembangunan mental dan karakter bangsa yang harus dibentuk dengan konsep Indonesia, peniadaan segala bentuk kekerasan, ketidakadilan dan diskriminasi, perbaikan infrastruktur yang harus dirasakan oleh seluruh wilayah di Indonesia, dan segala upaya yang harus dilakukan untuk menciptakan rakyat Indonesia yang sehat dan sejahtera. Catatan global yang bisa menjadi lebih luas dan lebar jika kita meneliti satu demi satu permasalahan yang harus kita selesaikan bersama. Berpijak pada seribu satu macam persoalan negeri, kita harus memilih presiden dan wakilnya yang memiliki hati dan kasih kepada rakyat. Pribadi jujur dan rendah hati, yang mau bekerja keras, peduli pada perbaikan nasib rakyat, serta lingkungan alam raya Indonesia. Pemimpin yang kita cari adalah sosok yang bisa menjadi teladan bagi keluarga Indonesia, sehingga sanggup menciptakan semangat kerja, semangat positif, semangat juang, semangat kebersamaan, sehingga akan terbangun ketahanan keluarga, ketahanan masyarakat yang memberi rasa nyaman. Keluarga yang visioner dan memiliki konsep terencana menjadi dasar berpijak untuk menciptakan masyarakat yang kuat. Sebab dari sebuah keluarga yang baik akan tumbuh pribadi-pribadi bangsa yang baik pula. Pembangunan mental dan spiritual yang baik datang dari sebuah keluarga yang menghargai keunikan setiap pribadi anggota keluarganya. Di keluargalah dibangun kasih sayang, keadilan, kepedulian, kebersamaan, dan empati pada orang lain. Akhirnya, kita lah warga negara yang harus menyempurnakan konsep besar pemimpin bangsa sesuai dengan potensi, kemampuan dan kendala yang diubah menjadi peluang besar yang membanggakan. Sekaranglah waktunya untuk bersama-sama melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Membangun Indonesia yang bermartabat, akan mampu menciptakan pribadi bangsa yang tangguh, pandai, dan memiliki hati serta kasih. Indonesia yang bermartabat adalah negeri yang memiliki konsep lingkungan hidup dengan tata kelola alam raya yang berimbang. Jika setiap pencapaian langkah besar pembangunan bangsa dan negara 44 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
dengan target menuju Indonesia yang bermartabat bisa dilaksanakan, kita akan melihat sorot mata anak-anak Indonesia yang optimis, para perempuan yang bahagia menjalankan semua peran yang dipilihnya dengan kemerdekaan hatinya, serta para lakilaki ksatria yang nyaman berkarya di mana pun dengan kualitas optimal. Mereka akan bangga berkarya di bidangnya masing-masing. Menjadi petani yang maju, nelayan yang tangguh, ilmuwan yang bertanggung jawab, pengusaha yang kuat, atau pun pamong praja yang bekerja demi masyarakat luas. Adakah Anda sudah memantapkan hati, siapa calon presiden dan wakil presiden yang mampu membangun Indonesia yang bermartabat? * penulis adalah Presidium Wanita Katolik RI Dewan Pengurus Pusat dan Dewan Pengurus pada Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik, serta Pembina Taman Bacaan Masyarakat Jendela Dunia.
45 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Curah Gagasan
Jadilah Mediator, Bukan Makelar Royani Liem*
K
epada para politisi Paus Fransiskus berpesan agar para politisi menjadi mediator publik yang senantiasa perlu berada di tengah-tengah masyarakat. Pesan Paus itu kiranya juga cocok untuk para politisi yang akan bertarung memperebutkan suara rakyat. Peta politik di atas kertas sudah tergelar setelah pasangan capres/cawapres mendaftar ke KPU. Kedua pasangan tersebut diajukan oleh dua kubu koalisi yang terdiri dari beberapa partai politik yang merasa punya platform atau pun kepentingan serupa.
Menarik melihat proses pembentukan koalisi, ada transaksional tersurat, ada yang tersirat. Dinamika politik yang akan menentukan ‘nasib’ bangsa lima tahun ke depan ini, perlu ditelisik dan semua dari kita yang punya hak pilih seyogyanya menggunakannya karena ini titik penentuan arah mana bahtera negara ini bertolak. Mediator Publik Salah satu landasan untuk refleksi adalah pesan Paus Fransiskus pada tanggal 5 April 2014 lalu, saat Bapa Suci bertemu dengan 120 politisi yang terdiri dari para walikota, pejabat publik lainnya, anggota parlemen, dan pemimpin partai politik Italia. “Menjadi politisi adalah menjadi mediator publik. Seorang walikota, misalnya, perlu berada di tengah-tengah masyarakat. Kalau ia tidak melakukannya, bagaimana ia bisa menjadi seorang mediator yang wajib mengerti apa kebutuhan masyarakat yang diwakilinya,” demikian kata Paus Fransiskus. Sangatlah berbahaya, tandas Sri Paus, ketika politisi tersebut tidak mampu memposisikan diri menjadi seorang mediator, tetapi menjadi ‘perantara’ yang bertindak seperti seorang ‘makelar’ dan mengambil keuntungan dari kebutuhan masyarakat. Paus memuji para pemimpin yang menjadi mediator dan mempersembahkan hidupnya untuk mempersatukan rakyatnya, untuk kesejahteraan masyarakat, dengan mencari berbagai solusi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Paus mengakui bahwa hal itu sama sekali bukan tugas mudah. “Sering politisi merasa patah arang ketika saatnya dia pulang kerja tetapi masih banyak hal yang belum terselesaikan.” 46 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Paus menekankan bahwa tugas tersebut merupakan panggilan mereka. Lelah yang membahagiakan Seyogyanya pemimpin publik dan politisi pulang ke rumah dengan rasa lelah, tetapi hatinya penuh dengan cinta karena dia telah menjadi seorang mediator. “Saya berterima kasih dan mengucapkan selamat kepada politisi yang seperti itu,” tandas Sri Paus disertai senyum mengembang kepada para politisi yang terlihat mendengarkan dengan penuh perhatian. “Bertindaklah seperti Yesus,” saran Paus, “Yesus yang menemukan diriNya berada di kerumunan masyarakat ramai, sampai kadang Dia sulit bernafas.” Masyarakat mencari Yesus, karena tahu Dia akan menjawab mereka. “Saya sungguh berharap Anda semua begitu, kelelahan berada di kerumunan rakyat yang datang mencarimu karena mereka tahu mereka bisa mengandalkanmu,” pesan Paus di akhir audiensi tersebut. Mari kita bertanggung jawab atas nasib sendiri, mari kita menggunakan hak istimewa lima tahunan kita. Inilah saat semua warga negara berkedudukan sama; tidak ada suara yang lebih besar maupun lebih kecil: masing-masing punya satu suara setara. * Penulis adalah sekretaris eksekutif Yayasan Bhumiksara
47 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Curah Gagasan
Tantangan Pendidikan Calon Presiden Doni Koesoema A.*
B
etapapun kaya dan melimpah sebuah negara akan sumber daya alam, semua itu akan sia-sia bila tidak disertai kehadiran manusia-manusia yang cerdas dan bertanggungjawab. Sumber daya manusia sebagai sebuah bangsa hanya bisa muncul bila tersedia layanan pendidikan yang baik. Menyediakan pelayanan pendidikan yang bermutu, adil dan transparan, merupakan tantangan para calon presiden mendatang. Kita harus akui bahwa pendidikan nasional kita selama sepuluh tahun terakhir sangatlah terpuruk. The Learning Curve 2014, yang baru dirilis Pearson memosisikan Indonesia sebagai sebuah negara dengan sistem pendidikan terburuk, yaitu berada pada urutan terakhir dari 40 negara. Tahun lalu, kita berada pada urutan 39 dari 40 negara di atas Meksiko. Sekarang kita menjadi juru kunci. Keterpurukan ini terjadi karena adanya berbagai macam kebijakan pendidikan yang menyimpang dari prinsip-prinsip pedagogipembelajaran, politisasi pendidikan, dan kebijakan yang abai terhadap nilai-nilai moral. Karena itu, para calon presiden memiliki tugas berat untuk menyelesaikan persoalanpersoalan pendidikan yang sifatnya fundamental dan prioritas untuk memajukan kualitas pendidikan di masa depan. Persoalan-persoalan fundamental itu adalah sebagai berikut: Kurikulum 2013 Pemerintahan SBY-Boediono telah mengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tanpa membuat evaluasi dan analisis tentang efektivitas KTSP 2006. Polemik yang terjadi di kalangan akademisi dan praktisi pendidikan atas Kurikulum 2013 sejak awal kemunculannya menunjukkan bahwa Kurikulum 2013 dari banyak sisi sangat bermasalah (filsafat, pedagogi, paradigma dan teori pembelajaran, buku, sistem pelatihan guru, desain pembelajaran dan sistem evaluasi). Perubahan kurikulum harus dilakukan secara integral dan tidak bisa dilakukan secara tambal sulam. Setiap perubahan kurikulum akan memengaruhi dinamika pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, ketika kurikulum berubah, sistem pendidikan juga akan berubah. Untuk itu, pemerintahan yang baru memiliki kewajiban untuk mengevaluasi kembali 48 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
keberadaan Kurikulum 2013 yang menimbulkan kerancuan, kebingungan, dan ketidakadilan bagi seluruh siswa di Indonesia. Pemerintah baru perlu mengevaluasi Kurikulum 2013 secara menyeluruh, mengadakan revisi fundamental terkait dengan pendekatan pedagogi, konsep pembelajaran, pelatihan guru, dan sistem evaluasi yang didesain secara menyeluruh, diujicobakan secara terbatas untuk menguji efektifitasnya, baru menerapkannya secara keseluruhan secara serentak bila semuanya sudah disiapkan dengan matang. Pelaksanaan Kurikulum 2013 secara bertahap harus dihentikan, untuk menjaga keadilan dan tidak terjadinya dua sistem kurikulum yang melanggar amanat UU Sisdiknas. Ujian Nasional Pemerintahan SBY, selama 10 tahun telah menerapkan ujian nasional bersifat standar yang dipergunakan untuk menentukan kelulusan siswa, mulai dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan Sekolah Menengah Atas. Gelojoh standarisasi pendidikan, yang bahkan menjadi semakin kalap sifat high-stake-nya, jumlah mata pelajaran, dan penggunaannya, ternyata tidak terbukti meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Dalam banyak hal, dampak UN justru kontraproduktif dengan tujuan pembelajaran sendiri. Sebaliknya, demoralisasi dan kehancuran pendidikan nasional yang kita tuai (reduksi belajar pada hafalan, kecurangan sistematis, munculnya mafia sindikat jual beli soal dan jawaban UN, siswa bunuh diri karena stress UN). Pemerintah baru nanti harus berani mendobrak demoralisasi ini dengan mengevaluasi tujuan dan fungsi Ujian Nasional dengan mendasarkan diri pada ilmu psikometrik yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Pemerintah perlu mempergunakan Ujian Nasional hanya untuk memetakan kualitas pendidikan di tiap daerah sebagai alat bantu pengembangan dan intervensi pendidikan berupa affirmative action bagi sekolah yang belum memenuhi standar nasional. Pemetaan pendidikan tidak harus dilakukan setahun sekali, dan tidak harus dilakukan di akhir tahun kelas. Kebijakan untuk menentukan kelulusan siswa perlu dikembalikan pada sekolah dan guru sebagai pendidik sesuai dengan amanat UU Sisdiknas. Agar dapat mengevaluasi kualitas siswa, Pemerintah bertanggungjawab mengembangkan profesionalisme guru melalui pelatihan dan pengembangan subjek ajar dan keterampilan pengajaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara otentik. Selain itu, berbagai macam perilaku manipulatif atas data-data nilai UN yang justru mengaburkan realitas sesungguhnya pendidikan kita harus segera dihentikan. Mengakui 49 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
bahwa ada persoalan dan masalah adalah awal membangun tradisi baru untuk meningkatkan pendidikan nasional. Pemerintah baru perlu mendesain sebuah evaluasi akhir untuk menentukan standar kualitas lulusan anak Indonesia pada jenjang sebelum memasuki Perguruan tinggi sebagai syarat menerima ijazah negara. Ujian akhir ini hanya menguji hal-hal fundamental yang harus dikuasai setiap lulusan SMA sebagai modal pembangunan sumber daya manusia Indonesia untuk terlibat aktif di lingkungan global dan memperkuat daya inovasi dan kreasi bangsa (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Sains/Social). Ujian Akhir ini dilaksanakan oleh sebuah lembaga independen yang tidak berada di bawah kewenangan Kemendikbud. Keragaman di Sekolah Negeri Bangsa Indonesia yang bhineka ini akan menuai persoalan dan konflik sosial bila keragaman tidak disemai melalui sekolah-sekolah kita, terutama di sekolah-sekolah Negeri. Sekarang ini, keragaman di sekolah negeri mulai hilang. Kita melihat gejala sekolah-sekolah negeri kita telah berubah menjadi sekolah dengan ciri agama tertentu, terutama agama mayoritas yang ada di Indonesia. Situasi mengakibatkan maraknya perilaku diskriminatif, melalui pengutamaan, pengabaian dan pengingkaran keberadaan kelompok minoritas. Pemerintahan yang baru harus mengembalikan fungsi Sekolah Negeri sebagai sumber dan tempat utama bagi tumbuhnya keragaman yang merepresentasikan semangat kebangsaan dan keindonesiaan. Untuk itu, pemerintah baru harus berani menghapuskan berbagai macam aturan dan kebijakan pendidikan yang menyuburkan sektarianisme, perilaku diskriminatif dan anti-keragaman di sekolahsekolah negeri. Pemerintah baru juga perlu mengembalikan fungsi sekolah-sekolah negeri sebagai sumber pemersatu, penyemai keragaman dan penguat rasa kebangsaan. Tiga hal di atas merupakan hal-hal penting dalam bidang pendidikan yang perlu ditanggapi dan dijawab oleh para calon presiden. Revolusi mental yang sudah dilontarkan oleh capres Jokowidodo dan program aksi yang dideklarasikan oleh Prabowo Subianto belum menjawab secara eskplisit apa strategi dan kebijakan yang mereka usung terkait tiga persoalan fundamental pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. * Staf Litbang GSC, pemerhati pendidikan.
50 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
-
-
1. 2. 3.
51 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s
Tentang GSC
Gaudium et Spes Community (GSC) adalah sebuah inisiatif dan gerakan non-profit dari sekelompok orang Katolik untuk ikut serta mewujudkan Gereja Katolik Indonesia masa depan yang peka terhadap tanda-tanda zaman untuk memperjuangkan hadirnya nilai-nilai ajaran sosial gereja dalam kehidupan menggereja dan menegara. GSC berharap agar Gereja Katolik dan umat Katolik Indonesia semakin menjadi 100% Indonesia dan 100% Katolik. Karena itu, GSC membantu membentuk dan melahirkan agar semakin banyak bermunculan “Kasimo-Kasimo” dan “Soegija-Soegija” baru dalam konteks perjuangan NKRI pada zaman ini. GSC memiliki visi Gereja Katolik masa depan sebagai Gereja yang dijiwai oleh Ajaran Sosial Gereja (ASG), kaum awam Katolik lebih berperan secara aktif-partisipatif dan berkualitas dalam hidup berbangsa dan bernegara sehingga menjadi 100% Indonesia, 100% Katolik. GSC memusatkan upaya dan tenaga ke dalam ketiga misi berikut: Mendorong praksis diterapkannya ASG dalam kehidupan publik Mendukung tampilnya tokoh awam Katolik yang dapat berkiprah secara nyata bagi bangsa Mengambil inisiatif untuk mewujudkan Gereja Katolik Indonesia masa depan dari perspektif awam sekarang GSC menyediakan informasi yang bisa dipertanggung-jawabkan maupun refleksi yang inspiratif mengenai kewarganegaraan yang beriman, sebagai sarana untuk lebih memajukan keterlibatan pro-aktif masyarakat Indonesia Katolik dalam segala daya upaya mewujudkan kesejahteraan umum dalam terang ASG. Dalam semangat pelayanan, secara profesional GSC menawarkan beberapa produk seperti: action research, mendukung tampilnya tokoh awam Katolik dalam pentas nasional maupun lokal, advokasi aplikasi moralitas sosial Ajaran Sosial Gereja (ASG) dalam kebijakan publik, membangun pusat pangkalan data, dan mengelola website www.gerejamasadepan.org
52 | P e m i l u 2 0 1 4 : M e m i l i h d e n g a n N u r a n i C e r d a s