Catatan

Page 1

Kronika

Kronika


H

Dari Bele ke Waiburak

ari Jumad agung kini. Ikut ibadat jalan salib pagi dari Bele ke Waiburak. Ibadat digelar dengan prosesi yang dimulai dari lapangan kapela Bele, dengan perarakan dan dramatisasi jalan salib menuju Waiburak, dekat kuburan umum Waiwerang. Dramatisasi tersebut dilaksanakan oleh umat, dan tampaknya dikoordinir oleh sejumlah anggota OMK paroki. Masuk kantor, yap, tetap masuk kantor pagipagi, setelah rekap laporan dari operator mesin, langsung menuju ke Bele dengan roda dua. Pakaian kerja melekat di badan, juga, sepatu bengkel.

2|Page


Tempat acara jalan salib sebenarnya belum saya tahu pasti, tetapi saya kan bisa mengikuti saja orangorang yang tampaknya menuju ke sana. Memang, di jalan, akan segera tampak orang yang menuju lokasi. Saya mengikuti saja tanpa bertanya-tanya, meski jalan keluar masuk lorong-lorong di sekitar sini belum saya kenal baik. Berbelok di Biara Susteran, (Biara tempat ini pernah saya datangi, salah saatu kegiatan pernah saya ikuti selama tiga hari di tempat ini), lalu ada jalan berbelok ke kanan. Di sana terdapat lapangan luas. Di pengumuman missa kamis putih semalam memang sudah dikatakan bahwa kegiatannya dimulai di kapela, tetapi tampaknya bahwa bangunan kapela belum ada, hanya ada tanah kosong luas yang mungkin dipersiapkan untuk pembangunan kapela nantinya. Saya tiba di sana terlalu pagi, dan memang menurut penyampaian bahwa acara dimuali pada jam tujuh. Ternyata umat masih sedikit. Bersabar sekitar satu jam, umat pun mulai berdatangan dan memadati lokasi. Begitu pula pengamanan dari polisi disiapkan di tempat itu pula. Sebelum ibadat dimulai, para pemeran terlebih dahulu mendapat berkat pengutusan dari pastor. Barisan pemeran jalan salib ini adalah deretan orang dengan jumlah yang lumayan banyak. Terdiri dari Yesus, para murid, serdadu, imam kepala, pilatus, rakyat, wanitawanita (mereka terdiri dari ibu-ibu, yang mungkin 3|Page


berlatih khusus untuk meratap sungguhan di sejumlah perhentian). Dramatisasi dimulai dari taman saitun. Persiapan sound system memungkinkan dramatisasi dilakukan dengan panggung yang sangat luas, karena mike yang dipakai adalah mike wireless kecil yang dicantolkan di badan pemeran masing-masing. Panggung luas itu terdiri dari taman zaitun hingga rumah imam kepala. Perhentian-perhentian berlangsung sepanjang jalan, dengan pemeran ikut berarak bersama-sama dengan umat. Seperti pada acara minggu palma kemarin, sound system memang diletakkan di gerobak dan dibawa bersama-sama dalam perarakan. Toa, amplifier, dan juga daya dari baterai basah adalah paket yang berada di dalam gerobak itu. Dari taman getsemani di lapangan, perarakan dimulai menuju perhentian pertama, yaitu di rumah Pilatus. Selanjutnya Yesus terus diarak menuju perhentian terakhir, yaitu bukit Golgota. Sejumlah perhentian mengambil satu tempat. Misalnya perhentian pertama dan kedua, mengambil tempat di rumah Pilatus. Sementara perhentian sepuluh sampai empat belas pun berlangsung di satu tempat, yaitu di lokasi terakhir, bukit Golgota, dekat kuburan umum Waiburak. Sejumlah perhentian lain berlangsung sepanjang perjalanan itu. Boleh jadi, bahwa orang mengira terjadi kedukaan betulan, karena pada perhentian di mana para 4|Page


wanita menangisi Yesus, dan suara mereka yang mirip tangis meratapi jenasah itu dipancarkan juga melalui pengeras suara.

S

Ke Wureh

elepas dari jalan salib pagi, langsung menuju ke kampung. Rencananya memang mau ke Larantuka, tetapi terlambat karena katanya perahu yang bertolak malam ke Larantuka tidak ada. Padahal seperti biasanya, perahu dari Tanah Merah ke Pante Palo melayani hingga malam. Jadi, rencana diubah. Saya akan ikut prosesi di Wureh, ya. Di wureh. Prosesi di Larantuka pernah saya ikuti, paling tidak sudah tiga kali ini, sementara prosesi Wureh belum pernah saya ikuti. Yah, tak apa, mesti ikut di Wureh. Saya berangkat agak malam. Beberapa orang memang ingin menemani, tetapi tak tampak batang hidung mereka ketika saya berangkat. Yap, berangkat sendirian saja. Sepeda motor saya geber ke kampung sebelah. Mengingat, bahwa siang tadi hujan deras di kampung, maka saya juga mesti tahu keadaan, apakah jalan ke sana nanti bisa dilalui kendaraan. Oh, tidak bisa. Jalan masih basah, sebagian badan jalan memang dari tanah dan tidak bisa dilului 5|Page


kendaraan karena sangat licin. Saya tidak bisa melalui jalan dari kampung kami langsung ke Waiwadan. Jadi, saya disarankan warga untuk lewat jalan lain yang juga cukup sulit medannya. Mudatonu. Jalanan itu ternyata tak kurang berlumpur juga, sepanjang beberapa kilometer, karena hujan deras siang tadi. Di tengah jalan, wah, tanah licin menyebabkan ban belakang terpeleset. Itu hanya terletak sekitar satu kilometer keluar kampung. Tak tanggung, saya langsung tebanting ke sisi kanan jalan. Tetapi saya lumayan sigap mengatur posisi jatuh untuk tidak menyebabkan pakaian saya kotor. Dan memang, pakaian saya tetap bersih, baju putih dengan celana kain. Tak apa. Tapi, saya lebih terkejut lagi, karena di belakang saya ternyata ada seorang gadis kecil yang menguntit. Kemungkinan, ia akan ke kampung sebelah, yang jaraknya sekitar dua kilometer melintasi hutanhutan kebun yang gelap. Tetapi karena kemalaman, jadi ia menyusul saja kendaraan saya yang memang ada nyala lampunya. Memang di langit ada bulan yang atampak samar di balik awan, tetapi ia juga barangkali butuh seorang teman perjalanan. Ini barangkali keputusannya yang sulit, ia mengekor di belakang kendaraan saya, dengan berlari kecil. Langkah larinya pun saya tidak dengar karena bunyi deru kendaraan. Tetapi saya rasa bahwa kendaraan

6|Page


pun tidak saya pacu begitu kencang karena jalanan yang licin itu, sehingga ia bisa menyusul dengan mudah. Si gadis seumuran SD kelas enam, atau mungkin SMP kelas satu. Sempat bercakap sebentar, tetapi memang ia tidak begitu saya kenal. Yah, meski kami barangkali sekampung, eh maksudnya, sama-sama orang Lamawolo, tetapi anak-anak dengan umur seperti dia tidak begitu saya kenal muka mereka satu per satu. Saya hanya maklum bahwa ia barangkali memang penduduk kampung sebelah, dusun tetangga kami, Dusun Lamawolo II. Saya tawarkan tumpangan, tapi memang ini juga tak mungkin karena saya belum begitu bisa membonceng orang, juga dengan jalanan licin ini. Ia juga tentu saja menolak dalam kondisi seperti itu, menyaksikan bahwa jalanan tak cukup baik dilalui dengan roda dua ini. Saya sendiri memacu kendaraan hingga ke tanah kering. Di sana ada perkerasan jalan dengan batu, barulah dia mau naik membonceng. Ia turun di cabang 7|Page


jalan menuju kampungnya, sebuah kampung kecil di pinggiran Desa. Sendirian lagi, berteman bulan di atas sana. Tiba di Mudatonu, wah, ada sebatang kayu, pohon kemiri, yang tumbang melintang di jalan. Pohon tumbang ini pastinya adalah hasil kerja dari badai Lua yang melintas baru-baru bulan Maret. Harus ada usaha tambahan. Saya toh tidak bisa berbalik arah dan membatalkan rencana saya. Entah kenapa, tak terpikirkan sama sekali bahwa ada jalan alternatif, eh sebetulnya lorong kecil, yang bisa dilalui untuk menghindari halangan ini. Tapi memang jalan ini melewati tepian kampung, dan juga berhutan, saya tak memikirkan sama sekali tentang lorong itu. Jadi, setelah membuka baju dan sepatu, juga menyingsingkan celana, saya lalu mengangkat sepeda motor untuk melewati bagian atas batang pohon itu. Tekad saya sudah bulat, sudah sejauh ini untuk pergi prosesi, tak mungkin kembali hanya karena ha.angan pohon besar melintang di tengah jalan. Akhirnya berhasil juga, meski cukup kepayahan mengangkat beban berat itu sendirian, di bawah cahaya bulan. Meluncur menuju Wureh. Tiba di sana, memang sudah malam, tetapi tak tampak banyak orang. Barangkali saya termasuk seratus orang pertama di sana. Tiba di gereja, wah, orang masih kurang dari lima puluh orang. Anak-anak membunyikan matraka tanpa putus. Memang, matraka ini juga memandu para pesiarah untuk 8|Page


menemukan lokasi gereja. Tanpa bunyui ini, saya tadinya tentu akan bertanya-tanya, di mana lokasi kapela di mana perarakan akan dimulai. Langsung masuk ke dalam gereja dan duduk. Salah seorang memang mengenal saya, selain itu, yah, kami dianggap saja pesirah. Jadi memang tak mesti jadi orang yang dikenal. Tak seperti di kampung, kan cuma umat stasi di situ, yang sudah saling kenal. Sedangkan ini adalah tempat dimana para pesiarah ikut menjadi peserta. Masuk, duduk di dalam, dan jadi orang asing di sana. Ibadat dimulai dengan nyanyian ratapan. Dimulai dengan solo dari tiga orang, lalu koor dari konfreria membawakan ratapan nabi Yeremia, ratapan yang sama ini berlangsung pada hari rabu trewa alias rabu ratapan, di mana dirayakan Yesus meratapi kota yerusalem. Perayaan rabu trewa ini ternyata memang hanya berlangsung di keuskupan Larantuka. Dulu, ketika di kupang, saya barusan m,enyadari bahwa di tempat lain, perayaan Rabu Ratapan tidak dikenal dalam tradisi gereja mereka. Tak bawa ponsel, jadi tak tahu jam berapa ibadat dimulai. Hanya yang saya tahu, perarakan diakhiri pada jam satu dinihari. Banyak yang ikut perarakan tersebut. Sejumlah orang yang tampak sebagai pesiarah dari luar, juga beberapa kendaraan angkutan umum dari Desa Koli, yap, sejumlah besar pesiarah tampak berasal dari sana. 9|Page


Ada juga beberapa yang saya kenal, di antaranya, abang Us, dia dari Kokotobo dan jadi guru di Tanjung Bunga, juga oom Bob, guru di Koli, asal dari Adonara Timur, keduanya adalah teman satu atap di Kupang waktu sama-sama tinggal di asrama Undana. Mereka hanya tampak di barisan, jadi tidak bisa mengajak ngobrol sebentar. Dari kampung saya, Lamawolo, hanya tampak ada dua orang. Perjalanan prosesi barangklali melewati tujuh armida, tujuh perhentian prosesi, dengan masing-masing armida menggambarkan dua perhentian jalan salib yang diukir di tembok dan dipasang di lorong-lorong jalur – prosesi. Prosiesi sendiri berlangsung mengelilingi kampung, demikian mereka menyebutnya. Tetapi tampaknya bahwa prosesi tersebut hanya melewati jalur keliling perkampungan tua, yaitu hanya di seputaran kapela. Jadi, kampung dengan perumahan yang dibangun baru-baru tampaknya terletak di luar jalur prosesi tersebut. Di sana ada satu gereja besar dengan dua kapela kecil, barangkali milik suku-suku prosesi tersebut. Kapela kecil tersebut, di Larantuka dikenal dengan tori, adalah milik suku-suku tertentu, mereka mendirikannya sendiri, di luar kebiasaan katolik di sekitar sini yang hanya mempunyai satu kapela di tiap stasi, yaitu di setiap kampung. Juga, bangunan kapela itu tampak kecil saja, seukuran kapela lingkungan kalau di Larantuka. 10 | P a g e


Dari Wureh, langusng menuju kampung malammalam itu, sekitar pukul dua dinihari. Sabtu santo tidur sepanjang siang, sempat ke kebun untuk bersihkan pohon keladi dan juga tanam pagar, lalu malamnya ada ibadat malam Paskah. Kecewa berat tidak ikut misa malam Paskah, setahu saya upacara ini paling meriah sepanjang tahun liturgi. Di kampung digelar ibadat saja, tanpa imam. Lokasi misa sendiri masih cukup jauh. Saya rencananya ke sana dengan roda dua, tetapi seseorang yang menggunakan kendaraan ini tidak langsung pulang malam itu. Minggu pagi, meluncur ke klibang, tempat perayaan dipusatkan. Ikut, koor, yah, saya sempat latihan dua kali, hari Jumad sore kemarin saya ikut rombongan koor di waibreno, dan sabtu petang di lewohele. Tampaknya lagunya tak begitu sulit, eh saya memang diajak khusus (bangga nih hehe) oleh pelatih koor dari kampung. Rombongan koor ikut dari kendaraan roda empat. Kendaraan itu berputar dua kali, sekali untuk mengangkut sebagian umat. Memang, dari dulu saya selalu ikut koor. Di Larantuka pun demikian, mengingat-ingat nih, paskah tahun lalu saya memang ikut koor misa paskah di San Juan Lebao. Misa pagi. Itu tahun lalu. Jadi, tidak kesulitan tempat duduk untuk misa paskah pagi ini. kapela penuh sesak orang. Tenda yang dibikin ukurannya hampir dua kali ukuran kapela pun tidak muat, umat masih bertebaran tanpa atap di atas 11 | P a g e


kepala mereka.memang, ibadat di paroki tahun ini hanya berlangsung di dua titik di paroki kami. Titik pertama, untuk tiga wilayah, kokotobo, lite, dan horowura berlangsung di lite, sementara wilayah baya, lewobele dan nubalema berlangsung di stasi klibang.

Mana pangan lokal kita?

S

elepas ibadat ada duduk-duduk di bawah tenda, dengan suguhan kue tart. Saya langsung kaget! Mana pangan lokal kita? Sebenarnya, saya menunggu bagaimana kalau suguhan pada siang hari itu adalah makanan olahan yang diambil saja dari pangan sehari-hari warga. Memang, tahun sebelumnya, bahkan untuk aksi puasa tahun lalu untuk keuskupan Larantuka, dimajukan tentang pangan lokal. Diharapkan dengan itu, pangan lokal makin akrab di lidah kita. Tetapi siang ini, di sini, bahan dasar untuk suguhan acara masih dari terigu. Mungkin bentuk protes, dan memang lidah saya pun tak begitu cocok dengan terigu itu, saya tak sentuh suguhan itu meski agak dipaksa oleh pelayan-pelayan cantik dari Klibang. Memang, sehari-harinya di kampung belakangan ini, kegitan-kegiatan, yang biasanya berbasis 12 | P a g e


kegerejaan selalu menyuguhkan makanan olahan lokal. Di stasi Lamawolo, bila ada kegiatan minum-minum bersama seluruh umat, biasanya disuguhkan pangan olahan dari ubi-ubian, beras merah, jagung, dan lainnya. Itu saya lihat pada perayaan natal tahun lalu. Saya juga pernah ikut kegiatan seminar di Lite, juga sekitar tahun lalu di aula pastoran. Makanannya dari ubi keladi dengan kelapa parut. Tak kalah enak hehe. Padahal yang hadir pada kegiatan seminar itu termasuk dua orang doktor, satu doktor hukum orang asli sini, sementara satunya doktor teknik (orang terakhir ini tentunya yang membuat saya mesti susah-susah ke Lite). Keduanya dari kampus di Jawa sana. Begitu pula kalau berkunjung ke rumah-rumah, mulai terbiasa menemukan makanan olahan dari kampung sini. Pisang, misalnya jika direbus saja begitu, lebih dibuat menarik dengan mengirisnya kecil-kecil dan ditaburi kelapa dengan beberapa penyedap lain. Lidah mana yang menolak suguhan ini? Acara diakhiri dengan sole. Wah, asyik nih. Pasti jadi bahan cerita yang bagus untuk Nela, teman blog saya yang lagi kuliah di Belanda. Kalau ada hari raya, dia sering tanya ada sole nya atau tidak. Natal kemarin, dia tanya juga ada tidak solenya. Tapi karena kerja keesokan harinya, sole natal kemarin tidak sempat saya hadiri. Barangkali pulang belakangan, karena kendaraan sudah cabut semuanya. Pulang dari sole, langsung meluncur ke waiwerang. 13 | P a g e


14 | P a g e


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.