#OPINI: SIMBOL
M
alam natal. Seolah-olah kerja di bawah tekanan. Boss PLTD dan asistennya lalu-lalang saja dari tadi. Di luar, boss jaringan tampak angker dengan kru berseragam dan tiga mobil pick up bertulisan pelayanan reaksi cepat (dua kata terakhir pasti dicomot dari militer agaknya). Tapi ada asyiknya juga. Kita yang anak buah dijamin habis-habisan oleh boss-boss. Ada minuman kaleng, ada kue-kue (kue natal rasanya sama saja dengan kue lebaran), juga satu paket ayam lalap dari warung makan terdekat. Ma'sud Abdurahman, teman operator saya malam ini sempat bisikbisik 'sebentar boss kasih kita masingmasing satu spring bed untuk tidur di sini‌.' hehe bisa jantungan kalau benar begitu. Mmmm omong-omong, semuanya dibiayai dari pajak yang anda bayar. Maklum, PLN 'kan perusahan pelat merah alias milik negara. Sementara perusahan induk kami yang memegang kontrak persewaan mesin sampai ke kampungkampung pelosok ini, hanya dikirim satu ucapan selamat yang sudah diprint besar-besar full color dan ditempel di ruang operator. THR sudah kemarin pas lebaran. Karena THR cuma sekali setahun, jadi Natal ini tak dapat tentunya. Hari raya, bukannya kami libur. Justru lebih siaga lagi karena mesti menjamin tidak terdapat gangguan yang mengecewakan pelanggan pas hari raya ini. 'Kan bahaya kalau lagi ibadah, lampu mati tiba-tiba. Mau taruh di mana muka si boss kalo lagi ngumpul sama pejabat-pejabat
Pas 9:35, mesin telaga trip. Untung, piket siaga siap di tempat. Tidak ada black out alias padam total, dan gangguan bisa dinetralisir (infonya sih begitu). Mengantuk berat, setelah kurang tidur. Hanya tidur lima jam dalam sehari ini. Harusnya, saya tambah tidur tiga jam lagi untuk segar sepenuhnya. Pagi-pagi ini mau ke Lite, tetapi sebuah pohon besar melintang di tangah-tengah ke jalan sana tanpa alternatif lain. Kemarin, saya lewat di jalan itu. Untung ada banyak orang di sana, sehingga kendaraan bisa dilewatkan beramai-ramai dengan mengangkatnya melewati bagian atas penghalang itu. Jadi, pagi ini mesti putar ke Koli yang lebih dari dua kali jauhnya. Saya mesti ke sana pagi-pagi ini supaya bisa Natalan hari kedua ini di kampung..
Nah, karena mengantuknya, saya sampai hilang kendali di belokan ketika hendak masuk jalan menuju kampung. Di pertigaan, dekat kapela Homa, kendaraan meloncati parit, lalu terbanting di atas tanah dalam kompleks kapela. Keadaan sepi, ada dua cewek cantik nan ramah ada di sekitar situ. Yang satu putih bersinar, yang satunya sawo matang. Mereka mungkin mendekat setelah mendengar suara derakan tadi ketika kendaraan yang sebagian besar dari besi ini menghantam semen padat. Yang putih duluan datang, coba angkat bagian depan roda dua. 'Berat', cetusnya. Sementara itu, saya masih lalu lalang, mencoba mencari apa di dekat situ ada papan untuk memindahkan motor menyeberangi parit. Kendaraan tak apa-apa. Saya juga aman. Anehnya, mulut parit yang besar itu tidak menyebabkan kami (aku dan roda dua-ku) terperosok ke dalamnya, tapi lewat mulus di bagian atas dan mendarat di tanah rata. Ah, anggap sajalah ini keajaiban Natal. Jalan dari lantai semen tampak terkelupas, mungkin membentur bagian bawah kendaraan. “Kenapa?” Tanya si cewek putih. Uh, kenapa harus berurusan dengan ini orang? “Mengantuk,” Jawab saya. Memang, saya akui, kamu penguasa tempat ini. Saya jatuh dekat atau mungkin depan rumah kamu. “Dari mana? Dan ke mana?” Cerewetnya! Setahu saya, hanya intel polisi yang berhak tanya-tanya sampai mendetail. “Ke kampung. Lamawolo.”
Gbr: facebook/Stanley Tukan
Plis yah. Jangan ada komentar lagi. Terlambat. “Di jalan rata saja jatuh, mana nanti di jalan mendaki ke atas nanti,” katanya lagi. Peduli amat. Kedua gadis itu ke mulut gang, menahan dua pria yang lewat untuk membantu mengangkat kendaraan menyeberangi parit menuju ke jalan semen tadi. Aman. Ternyata, barusan dua tiga jam sebelumnya ada hujan mengguyur. Tantangan berat pastinya. Sebagian jalan dari tanah basah. Masih teringat jelas, pacar seorang adik saya pernah hampir menangis ketika menjemputnya di kampung dua tahun lalu. Mereka lewat jalan yang sama dengan yang kini saya lalui, hanya dari arah berlawanan, menuruni bukit. Buat diri seperti orang Inggris saja! Tantangan diberi nama keren: olahraga. Jalanan sangat licin. Meski berpasir, kemiringan tanjakan yang terlalu besar membuat gaya gesek roda ke tanah jadi mandul. Tak maju seinci pun. Tenang. Pasti ada cara. Saya lalu putar benda besi ini dari arah sejajar
menjadi melintang di tanjakan ini. Lalu pindahkan kendaraan tersebut di masing masing ujungnya, seperti ketika anda memindahkan jangka (alat gambar) maju di atas meja. Berturutturut, belakang, depan, belakang, sampai di bagian ujung pendakian. Lama juga, tapi akhrinya sampai di atas dan menyelesaikan etape selanjutnya. Tidak kurang berlumpur. Mud track benar-benar nih. Bahkan lumpurnya sampai menempel ke segala bagian ban, sehingga di tanah berbatu pun ban masih sering terbuang. Ternyata, jalan ini sudah lama tidak dilalui. Pantas saja, rerumputan mulai tumbuh. Tapi kabarnya, jalan alternatif yang satunya juga sulit dilalui. Dan kalau memutar lagi lewat adonara tengah, maka akan sangat jauh.
T
ernyata, memang tepat keputusan untuk ikut saja missa pagi di kampung tetangga, sekitar dua kilometer jalan jauhnya. Meski tampaknya saya terlambat, tapi ketika ke sana, missa belum dimulai. Hanya saja, kursi koor sudah penuh orang. Missanya telat karena kabarnya dua pastor yang datang keasyikan ngobrol di rumah ketua dewan stasi. Habis missa, seperti biasa, ada acara makan-makan. Roti taart, dan kue cucur khas Dusun Lewohele. Kalau di kampung saya kemarin, cuma disajikan pisang goreng pas acara makan-makannya. Ngobrolnya banyak pas acara ini. Teman-teman banyak yang bisa kumpul kembali. Tidak rugi memang kalau natal tiba, teman-teman lama yang di kampung ini semuanya ramai menjenguk rumah masing-masing. Jadi, bisa cerita nostalgia-nostalgia-an dan tanya kabar masing-masing, tentang mana yang sudah nikah, mana yang belum, dan lainnya. Karena sajiannya kue cucur, tampak banyak tuh sisanya. Yang duduk makan beri komentar nih. “Kalau disiapkan jagung titi atau ubi, pasti ludes tuh�, kata mereka.. Rencananya, sore ke kokotobo. Jadi, siangnya mesti tidur nyenyak. Ada sole di sana. Langsung menuju kokotobo dengan kru empat orang. Ramai. Kenapa sole? “Daripada masing-masing acaranya di rumah, kami kumpul makanan dan minuman untuk disantap rame-rame. Sehabis itu pasti ada sole� kata seorang warga setempat. Di sini sempat ngobrol dengan Pak Anton, Pak guru kami di kelas 3 SD.
Dia warga asli di sini dan kembali karena berlibur. Kini, dia kepala sekolah di Riangpadu. Cerita banyak. Tuh ada info darinya juga, kalau ternyata kepala desa mereka di sana adalah teman sekolah SMP saya. Kami hampir seumuran. Bisa juga yah. Tepat jam 10, menuju Waiwerang. Ini malam piket ganti operator yang baru pindah. Memang, operator yang operator baru belum datang sampai kini. (Semoga cepat datang supaya saya jangan lagi rangkap pekerjaan) Sebenarnya, malam ini saya harus memutar ke Koli. Tapi berani sedikit berjudi dengan nasib. Menurut perhitungan saya, tidak mungkin pohon yang merintangi jalan belum disingkirkan. Ini 'kan jalur yang cukup ramai. Kalau memang benar-benar belum disingkirkan, maka siallah saya. Benar. Ketika saya lewat, pohonnya telah dibereskan. Jadi boleh nyanyi-nyanyi saja sepanjang jalan.
Oleh: Simpet Soge*)
N
atal dengan pohon cemara? Untuk kamu yang sempat lihat catatan ini, covernya bergambar pohon cemara. Kalau kamu tanya kenapa, pasti saya jawabnya “karena memang biasanya begitu.” Biasanya? Darimana rujukannya? Dari injil? Dari kisah-kisah suci? Atau malah dari tradisi musim dingin? # Cemara Adalah James Fox, seorang antropolog, pernah menulis bahwa idiom-idiom sering dipakai sebagai analogi metaforis antara kehidupan manusia dan tanaman tertentu: “………………………. botanie idiom that draws multiple metaphoric analogies between human life and the growth of specific plants."**) Dan kabarnya, orang memilih pohon cemara karena hanya pohon ini yang bertahan dalam terpaan musim. Di segala musim, cemara tetap hijau. Makanya sering disebut evergreen. Di sinilah muncul simbolisasi. Cemara sebagai simbol atas konsep evergreen, sementara evergreen sendiri merupakan simbolisasi dari 'pengharapan' yang abadi. Tapi jangan salah. Kita hidup penuh dengan simbol-simbol yang mewakili konsep kita tentang sesuatu yang baik. Apa yang disimbolkan oleh cemara, bagaimanapun, tidak dapat sepenuhnya kita hayati. Memang demikian, karena kita tidak hidup di pulau dengan musim dingin, sehingga secara sosiologis, penghayatan kita tentang pergantian musim dan pengaharapan yang abadi sukar dicari dan dimaknai kaitannya.
Boleh jadi, saya sendiri tidak dapat menjelaskan secara rinci dari sisi filosofis tentang makna simbolisasi ini. Lha? Tentulah. Saya 'kan bukan akademisi atau orang pintar manapun. Saya malah lebih kenal dengan Dan Brown yang lihai memanfaatkan simbol-simbol dalam novelnya yang memperkenalkan kepada saya bahwa ada sesuatu yang dinamakan 'simbologi'. Inilah lahan kosong di pemahaman bawah sadar kita yang belum begitu digarap. Bahwa kita, masyarakat kecil ini, sering hidup dengan simbol-simbol yang menjelaskan tentang apa yang baik dan dapat kita hayati sesuai konteks kita. Penghayatan terhadap simbol memang begitu kaya, sekaya imajinasi manusia. Begitu pula penghayatan tentang segala sesuatu yang kita anggap tinggi nilainya. Jika orang barat menilai tinggi tentang makna keabadian, itu terjadi karena pengalaman mereka tentang perubahan yang begitu cepatnya dari musim ke musim. Dari musim semi, ke musim panas, ke musim dingin dan gugur. Itulah pengalaman terdalam mereka yang kemudian terekam menjadi tradisi dan keyakinan mereka. Kembali ke kita, kita ternyata punya pengalaman yang membentuk konsep kita sendiri. #Palem: tentang pemberian diri. Sudah jamak, bahwa kehadiran palem sering kita temui di seputar altar gereja. Bukankah di setiap natal, para muda-mudi sering menyiapkan hiasan janur?
Tulisan James Fox yang saya kutip di atas adalah pembahasannya tentang orang Rote dengan keseharian mereka yang tak terpisahkan dengan dunia tumbuhan. Ia menjuduli tulisannya "Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia." Penelitiannya dilangsungkannya dengan hidup beberapa waktu di pulau Rote, dan melihat kehidupan orang Rote di seputar pohon lontar. Keseharian orang Rote banyak terpaut dengan pohon ini. Mereka minum tuak dari pohon lontar, dan juga membuat gula air untuk bekal para gembala sapi. Kita bisa sebut kehadiran palem sebagai analaogi antara kehidupan kita dengan tanaman tertentu. Konsep saya ini tentu sangat dangkal, dan belum memadai, tetapi bagi saya bisa menjadi pemantik.
Palem, dan salah satu sukunya yang begitu kita kenal, yaitu kelapa dan lontar, tumbuh subur di wilayah kita. Kehidupan kita seputar dua tanaman ini pun begitu kental. Minuman dari nira, dan juga buah lontar dan kelapa menyediakan pangan yang menghidupkan. Bagian-bagian tanaman lain pun begitu berfungsi. Daun kita jadikan atap rumah kita. Simbol palem pun kemudian hadir dalam keseharian kita. Di pesta-pesta pernikahan, simbol janur tidak sekadar hiasan belaka, tetapi lambang pemberian diri dari pengantin satu sama lain. Begitu pula, kehadiran janur dapat dihayati sebagai simbol pemberian diri Yesus sebagai pengantin Gereja. Jadi, janur di seputar altar dan kandang natal pun tak mesti hanya kita jadikan hiasan kosong belaka, tetapi juga sebagai simbol. Simbol pemberian diri kita. [] *) Mantan Ketua LPP AMA-Kupang, Anggota Komunitas Sant’Egidio Kupang. **) saya kutip dari tulisan Matheos Victor Messakh via facebook ["Hidup pasti sangat murah di sana!": Multatuli tentang Pulau Rote.]