Sebuah catatan harian
S. M. Dosi
Untuk orang-orang tercinta Mereka yang telah dahulu berbagi cerita dan pada jejak jejak mereka ada petunjuk jalan
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
S
udah lihat Alexandra Gottardo di film Tana Air Beta? Nah, adegan favorit yang ia perankan bagi saya adalah akting mengajarnya di depan anak-anak. Saya punya alasannya tentu saja. Semasa mahasiswa, saya sempat melakukan aktivitas serupa bersama sejumlah teman di sebuah komunitas. Kerja kami pada waktu itu adalah bersama dengan anak-anak yang tinggal di rumah-rumah seputar Noelbaki. Bermain dan belajar adalah aktivitas yang kami lakukan di seputar tempat itu, meski hanya beberapa saat di akhir pekan. Sebagian besar anak-anak yang menjadi teman-teman kecil kami itu berasal dari suku Timor. Lahir dan besar di bagian timur, wilayah mereka terpecah secara politik kekuasaan sejak beberapa dekade lalu, dan berpuncak pada terbaginya Timor Barat dan Timor Timur yang diperintah dua negara berbeda. Sebagian teman dari anak-anak ini, dan mungkin juga keluarga mereka, kini terpisah jauh di kampung halaman. Barangkali pula, anak-anak itu masih bayi ketika dibawa dalam perjalanan panjang keluar dari batas wilayah mereka ke wilayah RI pasca referendum. Politik adalah suatu hal yang mungkin belum dimengerti oleh mereka, tetapi kenyataan seperti itu harus mereka alami. Terpisah oleh konflik politik. Coretan ini, yang juga belum diedit, adalah tulisan yang sempat tertinggal bersama anak-anak itu. 1
2
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
3
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
4
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
Boneka Boneka Kecil
Salah, bukan boneka, tetapi kanak-kanak, yang ukuran tubuh mereka masih kecil mungil. Begitulah, anak-anak seringkali jadi pribadi yang dikagumi. Apalagi kalau bagi yang punya keponakan lucu-lucu seperti saya hehehe..... Tentang anak-anak, banyak cara untuk dekat dengan mereka. Kalau untuk anak yang masih asing dan ingin kita kenal, cukup kuasai satu atau dua teknik sulap kecil. Sulap tali, kartu, atau korek api yang bisa gampang ditemui di mana-mana. Kita bisa membuat trik sulap itu dan pasti bisa mengakrabkan diri kita dengan mereka. Itu untuk anakanak yang asing, misalnya anaknya mama kost yang baru. Tetapi kalau di kampung, mendekati anak-anak memang begitu mudah. Diam saja, tinggal orang tuanya jelaskan siapa kita. Kan orang tuanya sudah kenal kita hehe. Setidaknya, impresi pertama yang berkesan akan membuat mereka tidak canggung lagi dengan kita yang jadi orang asing baginya.Di kampung, setiap kali saya pulang, pasti para keponakan kecil ini yang paling seru sambutannya. Yang nakal, pasti teriakteriak di jalanan. Yang alim, yah kalem saja. Nana nana, begitu panggil mereka, yang artinya oom. Kanak-kanak ini beragam wataknya. Ada yang hiperaktif, ada yang pasif saja. Tetapi yang pasti, orang-orang seperti itu sebenarnya bisa dibawa nyaman kok. Yang hiperaktif kita ajak saja beraktivitas yang agak berat. Kalau kecapaian,
Pasti cepat hilang tenaganya dan tak rewel lagi hehe. Jika kita tak merasa terganggu oleh mereka, mereka akan cukup nyaman dengan kita. Anak-anak ini pun bisa cukup membantu, jika kita sedang menyelesaikan pekerjaan tertentu. Mereka ada pada masanya meniru apa yang dikerjakan orang dewasa. Nah, begitulah. Beberapa bulan lalu, pernah pemuda-pemuda setempat mengerjakan lorong yang memang susah dilalui roda dua di musim hujan. Ketika anak-anak muda itu tengah bekerja, para anak-anak kecil duduk dan berdiri menonton saja. Melihat itu, saya langsung tahu apa yang harus 'boneka-boneka kecil' itu lakukan. Di situ terdapat tumpukan batubatu kecil yang perlu dipindahkan. Dengan sekali petunjuk tentang apa yang bisa mereka bantu, anak-anak ini pun langsung bergerak. Jumlah mereka, anak-anak sekampung itu, ada puluhan. Batu-batu dengan total volume satu kubik pun mudah saja dipindahkan oleh mereka, beramairamai. Yang paling muda pun, kecuali yang di gendongan, tak mau ketinggalan. Batu sebesar kepalan tangan pun tak apa untuk mereka bawa ke tempat baru dan ditata oleh pemudapemudanya. Memang, jika jumlah anak-anak itu cukup besar, mereka akan menyaingi apa yang dilakukan orang dewasa. Te n t u b u k a n u n t u k mempekrerjakan anak, itu dilarang hukum. Tetapi mereka membantu sambil bermain. Jika mereka berada dalam jumlah besar. Tentu saja mereka tidak dapat diremehkan. Mereka menikmati kegiatan itu sebagai permainan belaka, meniru apa yang dilakukan orang dewasa. 5
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
Tadi pagi, ketika menggali tempat sampah di samping rumah, anak-anak ini, para keponakan yang berkumpul di rumah, jadi sepasukan tenaga kerja. Tak seberapa sih jumlah dan tenaga mereka, tetapi kerjanya bersemangat. Bahkan untuk yang umurnya dua tahunan, ia dengan rajinnya mengangkut daun-daun kering untuk dimasukkan ke tempat sampah itu, juga memindahkan urugan tanah dari tempat sampah itu untuk ditimbun sekitar sepuluh meter jaraknya, meski hanya sekepal dua kepal diisi di ember kecil. Sampai keringatan ia hahaha, tapi ia tetap semangat. Habis itu, ia lapar lalu minta makan ke dapur.
K
emarin ke Lewopao. Ternyata ibu guru ada ke kampung. Dia pergi hari Jumad. Ke sana, pintu tertutup. Tenyata si Herlin yang di dalam. Wah, di rumah sebelah ada acara adat. Klan wanita dari Harubala datang dan mengambil gading darik rumah klan laki-laki. Tentu saja, semua warga berkumpul di sana, di salah satu tempat los terbuka, mungkin rumah adat.
Saya diajak seorang pemuda di situ untuk kesana. Ada hidangan yang mereka siapkan untuk makan siang hari itu. Sudah makan siang sejam sebelumnya di mess, tetapi untuk menghargai ajakan, yah menurut saja. Duduk mengelilingi meja bersama warga lainnya. Tak lama, muncul juga pak Agus, sesama orang dari bagian barat Adonara, sebuah bentuk sukuisme hehe. Setelah itu, menunggu tetamu dari kampung tetangga itu untuk duduk dan menyelesaikan urusan adat pembayaran belis tersebut Para tetua itu duduk di dalam ruangan dengan meja ditata memanjang. Sementara para pemuda, juga orang-orangyang tak begitu paham urusan diplomasi adat itu, cukup duduk atau berdiri saja dari pinggir bangunan jadi penonton. Sementara itu, minuman penyegar lokal tak putus-putusnya dibagikan, serentak dengan para gadis yang menuang air minum. Seorang gadis diprotes. “Beri minuman itu harus dari arah kiri� begitu kata orang-orang. Memang, memberi gelas minuman untuk acara seperti itu, dilakukan dari arah belakang para tetamu, karena mereka duduk menghadap ke meja. Jika tetamunya tak kidal, tentu minuman harus diberi dari arah kiri, arah yang paling nyaman untuk tangan kanan menerima gelas tersebut dari arah belakang. Minuman arak dan tuak putih memang diedarkan dan dituang di satu gelas, bukan dihidangkan di atas meja. Begitulah kebiasaan di kampung. Pulang lewat Koli, langsung ke Waiwadan. Sempat beli oleh-oleh “Roti Sahabat�. Ini mungkin oleh-oleh khas dari Waiwerang, tentu saja untuk
6
mereka yang terbiasa. Saya sendiri memang tak pernah berurusan dengan oleh-oleh seperti ini, tetapi saya tahu karena diberi tahu hehe. Jadi, tak ada salahnya itu jadi oleh-oleh khas Waiwerang untuk anaknya Bang Mundus yang masih kecil. Saya memang sering singgah di sana, karena pada masa-masa awal di Kupang, kami selalu ada bersama. Sempat juga singgah ambil STNK di dekat situ yang sudah hampir setengah tahun ini saya telantarkan. Hari ini, si Lius pun datang dari Malang. Bawa perlengkapannya segala, termasuk komputer. Ia memang sudah kelar kuliahnya. Tanya informasi sedikit tentang sekolahan di sana, mungkin adik saya tak lama lagi akan ke Malang untuk kuliahnya. .....................
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
T
ak pulang kampung pada tanggal 29 kemarin, saya langsung diprotes oleh ibu-ibu anggota paduan suara kami begitu saya tiba hehe. Pasalnya, tanggal itu ada lomba paduan suara antar kelompok di kampung. Saya pernah ikut latihan dengan ibu-ibu maupun pemudapemudi di sana, dan saya dititip pesan untuk datang pada hari itu. Kabarnya, kegitan itu cukup ramai, dan ada tim jurinya. Bahkan datang juga salah satu biarawati dari Lite, hal yang jarang terjadi di kampung yang jumlah biarawatinya cuma sedikit ini. Dinamika kompetisi pada lomba itu bahkan terus berlangsung terus bahkan hingga beberapa hari, menjadi bahan cerita ketika dua tiga orang berkumpul.
K
emarin pulang ke kampung, lewat Waiwadan. Ban kempes selepas dari Koli, dan ditambal di bengkel selepas kampung Adonara. Tiba di Waiwadan, ban depan pun tampaknya kempes juga, diperbaiki di bengkelnya si Etus. Ada pengumuman kelulusan SMP di Waiwadan, almamater saya. SMP tersebut tahun ini menempati persentasi ketidaklulusan tertinggi, sebelas koma sekian persen. Tetapi kabarnya, prestasi individu siswa di sana pun tidak terlalu buruk. “Persentasi keseluruhan memang buruk, tetapi ada sejumlah siswa yang punya nilai yang menggembirakan, melampaui sekolahsekolah lain�. Begitu cerita di rumahnya Mundus bersama Pak Mat Haji, guru SMP itu yang sempat singgah. Perayaan kelulusan pun tak ada kurangnya. Sepeda motor digebergeber anak-anak temaja muda itu. Kami sempat duduk-duduk di kiosnya Om Sarus tepat di tikungan. Katanya, di tempat itu memang sering terjadi kecelakaan. Kios dibangun tepat di mulut tikungan, sehingga pandangan kita kalau duduk di emperan sana adalah langsung searah dengan arah jalan. Di situ, sering terjadi kecelakaan, pengendara sering terbanting di halaman situ, dekat sebongkah batu, atau di tanaman bebungaan. Nah, kira-kira sepuluh menit setelah meninggalkan tempat dudukduduk kami itu, kabarnya memang kecelakaan benar-benar terjadi. Sejumlah anak SMP yang lagi ngebutngebutan terbanting dan terseret bersama sepeda motor mereka di lokasi itu. Ada perayaan kegembiraan, ada juga tangisan sedih. Seorang gadis cantik tampak menangis sepanjang 7
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
jalan dari gedung SMP ke arah timur. Ia tampaknya pulang belakangan, setelah sebagian besar teman-temannya tak kelihatan lagi. Seorang gadis lain dengan baju hitam, mungkin temannya, tampak kebingungan menyusul gadis ini. Bercucuran air mata si gadis ini sambil meracau dalam bahasa lamaholot “matilah saya.... matilah saya....' Sorenya ke kampung. Ibadat di kapela Minggu pagi, dan selepas itu ada serah terima gedung PAUD dari Pnpm kepada desa. Cukup aneh juga, ada acara seperti itu pada tanggal merah. Ketika tanya ke orang sekampung tentang alasan acaranya pada tanggal merah, mereka jawab kalau orang kecamatan tak punya waktu di luar hari ini. Memang, mereka akhirnya datang tanpa pakaian dinas, jadi tak kelihatan mengganggu. Yah, aturannya bahwa hari minggu adalah hari libur, sehingga aktivitas pemerintah tak boleh dilaksanakan pada hari itu. Serah terima dihadiri oleh undangan dari kecamatan. Seorang pejabat mewakili camat, para tenaga teknis pnpm, dan dua orang lain lagi. Ada acara makan-makannya juga, tetapi saya tidak ikut karena memang sudah kenyang hehe. Sementara itu, minggu sorenya harus ke Waiwerang lagi.
T
ernyata, jalan di Lite sudah makin diperlebar. Ada alat berat HITACHI di sana. Jalan selepas Lite, dengan alat itu digali lagi. Selama beberapa bulan, atau mungkin beberapa tahun ini, jalan ke Lite ada dalam kondisi yang memprihatinkan. “Seperti kali mati� begitu kata seorang ibu guru menggambarkan jalan itu ketika bercerita kepada puluhan peserta pada suatu kegiatan. Barangkali betul juga. Di musim hujan, karena tak ada parit, air pun menjadi pengguna jalan, di samping manusia dan binatang yang menjadi pengguna tetap. Di tengah-tengah jalan, aspal hampir tak terlihat lagi jejaknya. Banyak batu pada lapisan bawah yang menonjol ke luar, kadangkadang sangat mencolok menyembul dari dalam tanah. Kendaraan yang melewati jalan ini pun mesti meliuk-liuk menghindari tonjolan batu ini, sehingga waktu tempuh yang sebenarnya tak sampai setengah jam jadi bertambah lebih dari separuhnya lagi. Belum lagi, batu ini pun bisa menghantam bagian bawah kendaraan, sehingga casing penutup mesin, tempat cantolannya pedal injak depan jadi sering manghantam batu-batu ini. Kendaraan yang bolak-balik di jalan ini jadi lebih cepat rusak, sehingga banyak orang yang memilih mengambil jalan lain yang tiga kali lebih jauh, memutar hampir setengah pulau untuk ke tempat ini. “Jalan di sini rusak parah, Pak�, begitu kata seorang anak dalam bahasa Indonesia resmi ketika saya kelihatan pertama kali lewat di sana beberapa bulan lalu. Yah, karena saya tak melewatkan sebagian besar usia saya di seputar tanah kelahiran, saya dikira orang baru di sini hehe. 8
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
S
epakbola di Lewopao berlangsung mungkin untuk sekecamatan Ile Boleng. Sempat sekali nonton pada Jumad sore, di mana tuan rumah kalah 5-1 dari lawan mereka dari Deri. Penyerang Deri saya kenal tuh, teman saya di kelompok pemuda di Kupang, dia juga pemain bola di klub kami di Kupang sana. Kini, dia jadi guru di Deri. Koleksi golnya ada dua (setahu saya) sore itu. Jalan saja melemaskan kaki ke lapangam bola sana, berdiri nonton s a m p a i b u b a r. K e b a n y a k a n penontonnya tuan rumah, bubar lebih awal karena klub kesayangan mereka sudah menderita kemasukan gol. Cewek belasan tahun di depan saya teriak-teriak mendukung Pak Guru teman saya ini. Si cewek memang suporter Lewopao, tapi ia dukung gurunya dengan nomor punggung 6 yang bermain dari pihak lawan. Teman di sampingnya tampak bersungutsungut. Pulangnya, di lorong masuk tampak nongol si Rudi. Katanya, dia sedang tanyakan informasi kegiatan prajabatan di temannya, Ipin Jarot (so, Ipin Jarot pastilah guru SD juga?). Kurang tau apa benar alasan ini hehe. Semalam di Ibu Tres, lalu paginya ke kampung. Yah, ke kampung lagi di akhir minggu ini. Di Horowura, seorang ibu guru yang sudah saya kenal menghentikan saya, menanyakan tentang informasi mengurus lokasi PPOB (tempat pembayaran pulsa listrik
Dll) di kampungnya. Pernah seorang dari kampung saya mengurus PPOB ini, dan saya ada sama-sama dengan dia sewaktu mengurusnya (jadi guide nih). Setahu saya, mengurus tempat tersebut punya beberapa syarat, di antaranya adalah jumlah calon pelanggan yang cukup, yaitu orangorang di sekitar tempat PPOB tersebut. Di Adonara Barat, sejauh yang sudah diproses di PLN Waiwerang sampai dua bulan lalu, kabarnya sudah ada tiga orang. Salah satunya orang Lite, seorang bapak yang bekerja di Lembata sana, dan satunya orang sekampung saya. Untuk mengurus PPOB ini, cukup tanyakan informasinya ke pak Wardiman (kurang tau jabatannya apa hehe)... Persyaratannya, kamu mesti punya peralatan di ataranya printer dan set komputer yang terhubung ke jaringan internet. Jika kamu punya keduanya, juga jumlah pelanggan yang cukup, tinggal minta didaftarkan di PLN. Tak ada ongkosnya, cuma bayar uang seratus ribu untuk charge awal saldo uang anda ke rekening perusahan penyedia layanan. Setiap kalinya, anda mesti memasukkan uang ke rekening penyedia layanan. Sisa saldo terhitung dari jumlah uang yang masuk ke rekening tersebut, dan paling kurang mungkin 250 ribu untuk bisa berjalannya transaksi di PPOB milikmu. Begitulah penjelasan Pak Wardiman beberapa waktu lalu. Saya tentu tak punya waktu menjelaskan soal ini ke si ibu, biarlah dia menanyakan langsung ke pak Wardiman, dan informasi dari saya pun pastinya tidak begitu terpercaya, belum lagi dicuriagai jadi calo segala hehe. ............................ 9
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
B
rosur-brosur kuliahan di Malang sudah ada di tangan si O b e t h . Te r n y a t a o n g k o s kuliahnya tidak berat-berat amat, jadi rencana pinjam uang ke koperasi mungkin dibatalkan. Pernah orang sekampung memberberkan tentang ongkos kuliah yang mahal-mahal di sana, sampai bulu-bulu saya merinding. Ternyata uang yang ia beberkan itu termasuk di dalamnya biaya hidup selama di sana, sehingga memang berat. Sedangkan uang kuliahnya tidak begitu membebankan. Oh ya, Obeth sepertinya memilih ke teknik sipil, seperti jurusannya dulu di poltek Kupang. Pasti nanti beratnya tanggungan juga ada di praktikum, ini mesti di back-up dengan persediaan uang yang cukup. Sementara itu, si Yohana tinggalkan pelabuhan (Surabaya?) Jumad sore ini, dan kabarnya akan tiba di Larantuka kamis pagi. Mungkin ia akan beberapa lama di kampung, dan ke Malang lagi untuk beberapa tahun ke depan. Di kampung, akan ada lagi keikutsertaan mereka ke turnamen sepakbola di Koli. Ini kampungnya ibu Vince, istri teman saya si Mundus. Biaya pendaftarannya tigaratus lima puluh ribu. Yang jadi sponsornya K Don, Ibu Bibi, eh saya kantong lagi tak berisi jadi bulan depan baru sumbang satu dua sen hehe. Memang, pertandingannya akan dimulai bulan Agustus atau September ini. turnamen ini baru kami ikuti kali ini. Di undangan pertandingan, desa kami tidak masuk dalam daftar udangan mereka, jadi mungkin desa kami belum terkenal ni hehe.
S
ejak kecil, bahkan mungkin sebelum bisa berbicara, kami selalu dilatih untuk membuat tanda salib oleh orang tua sebelum memulai aktivitas apa saja. Dimandikan, dikasih makan, mesti ada tanda salib dahulu. Itu dulu, suatu hal dari masa kecil yang lekas dilupakan setelah meninggalkan orang tua untuk sekolah. Wah, tetapi kemarin, saya kena batunya. Keponakan saya, gadis kecil TK yang main ke rumah, menuntut saya untuk membuat tanda salib sebelum mulai makan. “Kamu belum tanda salib,” begitu katanya. “Ah, sudah” kata saya berbohong. “Mana? Dari tadi saya tak melihatnya”, katanya lagi, tentu dengan bahasa daerah. “Kamu 'kan datang belakangan, saya sudah makan dari tadi, jadi kamu tak melihatnya,” saya ngotot mempertahankan. Saya memang baru dari kebun, kelaparan dan terburu-buru makan siang itu. “Saya tadi mengawasi dari balik pintu,” katanya lagi, “dan saya tidak melihat itu,” ia melanjutkan. Saya lalu ambil jurus terakhir, mengalihkan pembicaraan, dan gadis kecil itu kembali lagi ke tempatnya bermain. Tetapi sepertinya, saya harus membuat tanda salib nih setiap makan, mandi dan lainnya. Moga bisa ingat yah, supaya jangan ada yang menuntut macam-macam, apalagi anak kecil. “Anak kecil aja tau,” begitu kata slogan di tivi. 10
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
S
empat di sore kemarin saya ke Honihama, melihat-lihat sekaligus beli buku “Bau Lolon� yang baru terbit. Tiba juga di rumah Pak Kamilus, salah satu pengurus kelompok tani yang barangkali dipercayakan dan juga bersedia untuk bikin promosi sukarela untuk buku ini. Tiba di rumahnya jam empat, Pak Kamilus ternyata masih di tempat kerja. Saya lalu singgah dulu di Ama Jamhar di Lamabelawa. Ama Jamhar adalah teman saya karena kedekatan sewaktu masih di Angkatan Muda Adonara Kupang. Sorenya, berdua kami menuju ke tempat Pak Kamilus. Ama Jamhar yang aktif di program Anggur Merah memang juga sedang tertarik untuk bertemu dengan Pak Kamilus yang giat di kelompok tani itu.
Permintaan anak-anak muda Tentang kelompok ini, saya tahu mula-mula dari situs pertemanan populer. Belakangan, dalam salah satu kegiatan untuk kelompok tani, saya berbaur pula dengan anggota mereka. Bergabung dari kelompok pemuda, saya ikut kegiatan yang sama sehingga lebih mengenal lagi kelompok tani tersebut, paling tidak orang-orangnya. Tak terhindarkan memang, bincang-bincang tentang kelompok mereka sore itu di Honihama pun mesti berlangsung. Pak Kamilus sendiri sebagai salah satu pengurus banyak bercerita.
Kelompok tersebut baru berjalan dua tahun ini. Ini kelompok yang dibentuk kedua kalinya. Kelompok yang pertama terbentuk kini mati. “ Wa k t u i t u , m e m a n g a d a permintaan dari anak-anak muda untuk menghidupkan kembali kelompok yang pernah ada.� cerita Pak Kamilus. Ia lalu melanjutkan, para pemuda menginginkan bahwa kelompok yang pernah ada dihidupkan kembali karena telah memberi warna pada keseharian mereka. Pak Kamilus lalu menantang mereka. Jika mau dihidupkan lagi, mereka harus mengumpulkan sejumlah besar orang pada malam itu juga dengan masing-masing membawa uang untuk modal awal. Benar, hari itu juga telah dikumpulkan sejumlah besar orang oleh para pemuda. Lewat rembug pada hari itu, kelompok tani pun terbentuk lagi.
Kegiatan Kelompok Meski namanya kelompok tani, pekerjaan yang ditangani oleh mereka bukan hanya bertani. Mereka juga mengerjakan pekerjaan lain. Dalam kelompok, mereka membagi anggota mereka sebagai pekerja dengan hirarki masing-masing. Ada tenaga kasar, tenaga terampil, dan ada mandor. Tenaga kasar adalah mereka yang tidak punya keterampilan khusus. Upah mereka tentu saja yang paling rendah. Berikutnya, tenaga terampil, misalnya tukang atau orang dengan bekal pelatihan tertentu, atau dianggap terampil karena pengalaman yang panjang, upahnya sedikit lebih tinggi. Sedangkan mandor adalah orang yang mengendalikan pekerjaan tersebut, dan upah hariannya paling tinggi. Bila pekerjaannya adalah kerja kebun, 11
maka yang menjadi mandor adalah pemilik kebun atau keluarganya.
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
Produktif Tak rugi bagi seorang majikan untuk menggunakan jasa anggota kelompok tani ini. Kabarnya, mereka cukup produktif dalam menyelesaikan pekerjaan. Karena jam kerja mereka yang lebih panjang, maka volume kerja mereka pun lebih besar jadinya. Menggunakan jasa kelompok ini untuk pembangunan rumah tinggal misalnya, majikan akan lebih menghemat waktu dan biaya materil. Kelompok akan mengerjakannya dengan lebih cepat dengan ongkos yang jauh lebih murah. Itu sudah terbukti dan bisa ditanyakan langsung pada anggota yang pernah menggunakan jasa mereka. Dalam kelompok ini, aturan jam kerja sangat ditaati, agak berbeda dengan kelompok kerja bentuk lain yang agak longgar. Anggota yang terlambat akan diberi sanksi. Memang, keterlambatan seorang saja pun akan mempengaruhi hasil kerja, karena target volume pekerjaan dalam sehari itu tidak tercapai dan mempengaruhi keberlanjutan pekerjaan tersebut. Lagipula, keterlambatan akan membuat perhitungan sebelumnya terkait volume pekerjaan jadinya menurun, dimana seharusnya dapat saja dialihkan ke tenaga kerja lain,.
Hanya anggota jadi pengguna jasa kelompok. Di kelompok ini, model koperasi pun diadopsi. Untuk jadi anggotanya, ada iuran masuk, dan setiap bulan pun ada iurannya. Tertarik untuk menggunakan jasa mereka? Ada syaratnya, anda harus
menjadi anggota. Yah, setiap yang hendak menjadi pengguna jasa kelompok tani ini, ia harus terlebih dahulu menjadi anggota kelompok. Mekanismenya, setelah masuk menjadi anggota, pengguna jasa alias majikan menandatangni slip peminjaman uang dari kelompok. Para pekerja digaji dengan perhitungan dibayar harian menggunakan uang tersebut, lalu si majikan mengembalikan uang tersebut beserta bunga pinjamannya. Memang, setiap anggota kelompok yang ikut dalam pekerjaan dihargai secara material dengan upah yang berbeda. Rentangnya sekitar 30 ribu sampai 60 ribu upah sehari, tergantung apakah pekerja tersebut adalah pekerja kasar, pekerja terampil, a t a u m a n d o r. U n t u k m a j i k a n , pengembalian pinjaman bisa dilakukan tunai atau pun dengan pemotongan upah dari pekerjaan yang pernah atau akan dilakukannya.
Kemudahan Mobilisasi Salah satu hal yang menguntungkan dari kelompok ini adalah kemudahan mobilisasi. Para pekerja tidak terikat di satu tempat kerja, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja yang ada. Majikan tinggal memperkirakan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkannya, dan oleh kelompok langsung dikirimkan besaran jumlah orang sesuai yang diminta, terutama orang di lokasi berdekatan dengan lokasi kerja bersangkutan. Misalnya pekerjaan rumah butuh tiga pekerja kasar dan dua tukang, maka alokasi tenaga kerja sejumlah itu akan diberikan oleh kelompok, dengan majikan sendiri sebagai mandornya. 14
Alokasi pekerja dibuat berdasarkan kebutuhan tenaga, sehingga seorang pekerja tidak terikat pada satu lokasi. Boleh jadi hari ini ia mengerjakan bangunan rumah, tetapi esok harinya orang lain lagi yang melakukan pekerjaan itu, sementara ia beralih ke lokasi lain.
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
Belajar dari tanah Malaysia Pak Kamilus sendiri sebelumnya memang sempat ke negeri jiran. Di sana, menurutnya, hanya segelintir orang dari daerah kita yang bisa dipercayakan jadi Manager untuk perusahan-perusahan. “Orang di sana kalau hendak punya penghasilan, mereka mula-mula mengajukan kredit ke bank untuk buka usaha. Uangnya sekian, ia lalu kumpulkan orang-orang untuk pelaksana dari perusahannya. Untuk mengatur uangnya itu, ia mesti punya seorang bendahara. Itu ia panggil orang-orangnya, bisa saja dari kalangan keluarganya. Lalu ia cari seorang Manager yang akan menangani pekerjaan itu. Lalu ada mandor-mandornya, kemudian terakhir para pekerja. Para pekerja itulah kita, orang-orang dari timur ini, yang menguasai hampir seluruh perusahanperusahan di sana. Yah, jadi orang malaysia sendiri hanya si Boss, Bendaharanya, dan Managernya. Sedangkan yang bekerja adalah kita ini.� katanya.
Ia lalu mengatakan, maju mundurnya perusahan, banyak ditentukan oleh para pekerja. Uang yang dihasilkan di perusahan itu adalah hasil keringat para pekerja. Tetapi mereka cuma mendapat sedikit dari keuntungan perusahan. Nah, di sana, sepengetahuan dia, hanya segelintir orang yang bisa jadi manager, di antaranya pak Kamilus sendiri. Tantangannya hadir ketika ia pulang kampung. Di tanah orang, ia bisa jadi manager, tetapi bagaimana di kampung sendiri? Apakah ia bisa memimpin orang untuk bekerja? Ini tantangan sendiri, dan tentunya akan terjawab sepanjang proses kegiatan mereka yang tengah berlangsung kini.
13
RUMAH KETIGA II
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
P
agi Jumad kemarin dari kampung. Wah, di tepi jalan dari Lite hingga Horowura ada banyak remaja di tepi jalan, mungkin menunggu kendaraan. Ada apa yah ini? Setelah beres-beres di kantor dan sempat ganti oli mesin III, siangnya ke Lewopao. Di jalan ke sana, eh, kaget ketemu Romo Flumen, Romo Paroki kami dari Lite. Saya lalu menepi. Tak disangka tak diduga bisa ketemu di sini, pasti ada alamat bagus nih. Benar, tak lama, di samping Romo muncul pak Yos. “Ke mana?”, Pak Yos yang tanya. “Ke Ibu Tres.” Ternyata, Pak Yos ke Ibu Tres juga, jadi kami sejalan. Mereka memang ada rencana perpisahan kelas IX dari SMP Pancakarya. Pak Yos membonceng Ibu Tres dan Astuti, dan saya membonceng si Serli. Meluncur ke Ina Burak. Saya sempat bingung juga, sebenarnya tempat itu hanya buka di hari Minggu dan libur, tetapi ternyata hari ini pun buka. Karcis masuk Ibu Guru yang bayar. Tiba di pantai, ramai orang yang telah ada di sana. Asyik nih, ada kesempatan lagi buat nyebur di air, hal yang terakhir kali saya lakukan mungkin delapan bulan yang lalu. “Paginya telah ada missa di pantai itu.” Begitu cerita Pak Yos. Di sana sudah ada bapak-bapak dan ibu guru serta siswa-siswi dari kelas VII sampai IX. Total semua orang
saat itu sekitar dua ratusan orang. Selain dari Lite, ada pula yang dari Tanah Boleng, kami ada sekitar lima orang. Di lokasi pantai itu ada bangunan panggung. Lagu-lagu gembira diputar dengan speaker dari situ, sementara sebuah genset kecil dengan bahan bakar bensin menyala di sela pepohonan. Siswa-siswi mengisi acara dengan menyisir lokasi, berfoto, bermain pasir, dan berenang. Yang lainnya, Romo Flumen dan para guru bermain kartu, sedangkan Suster dengan seorang ibu lain bermain halma di bangunan panggung. Setelah itu ada santap siang dengan menu ketupat dan jagung titi, juga lauk daging. Setelah itu, menari sejenak dengan lagu-lagu dari loud s p e a k e r, d a n a d a p u l a a c a r a perpisahannya. Asyik juga kalau berenang nih. Bersama siswa yang bisa berenang, saya lalu main lempar batu ke dasar laut dan menguji untuk mengambil batu itu. Lalu berenang sedikit ke laut yang agak dalam. Di situ memang gelombang sedang kecil, apalagi laut sedang agak surut. Sementara itu, gelombang yang agak besar dan bisa menyulitkan perenang adanya di sebelah timur, dekat bebatuan hitam. Tentu saja, tempat itu berbahaya. Beberapa orang lalu berenang ke laut yang agak dalam, dan kelihatan jelas dari atas panggung. “Apa itu orang kita?” Tanya orang yang di atas panggung. Memang, sebagai warga dari daerah pedalaman, cukup jarang orang yang bisa berenang. Apalagi, ini bukan di hari Minggu atau hari libur yang biasa ada petugas pengaman pantainya yang bisa menolong orang 15
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
yang tenggelam. Bagus juga nih kalau bisa bergabung di sana. Eh, Romo Flumen yang dari Lembata ternyata juga gemar berenang. Ia ada di laut dengan dua siswa lain. Saya lalu menyusul belakangan, dengan celana jeans dan baju putih kaus. Tentu saja berat celana saya itu. Bagian yang ini memang cukup membuat capai, karena tanpa pakaian renang yang ringan. Pas acara perpisahan, dari pengeras suara semua siswa-siswi dipanggil berkumpul. Yang kelas tiga disuruh duduk di sebelah selatan pantai, sedangkan yang kelas satu dan dua disuruh duduk di sabelah utara. Tiap kelas, oleh Pak Pius sebagai MC disuruh membawakan pesan dan kesan. Wah, lucu-lucu tuh, pesan dan kesannya dalam bentuk nyanyian oleh satu orang yang mewakili kelas masing-masing dari VII sampai IX, juga pidato singkat. Dari siswa ditutupo oleh pidato salah seorang yang mewakili siswa kelas IX yang akan meninggalkan almamater ini. Terakhir, ada kata penutup dari Romo sebagai kepala sekolah. Setelah itu, foto bersama dan jabat tangan. Lalu bubar. Tiga bus kayu datang dan menjemput mereka.
16
17
JEJAK KECIL DI SETAPAK JALAN
S
etelah absen kira-kira selama sebulan, kini boleh menulis lagi. Ponsel saya, tempat untuk membuat coretan-coretan ini, kini sudah kembali normal. Sebelumnya, baterainya sempat macet.
Saya kini pun menemukan format yang cukup kompak, berupa file pdf untuk menaruh berkas-berkas ini. Anekargam tulisan ini, apalagi telah saya edit, barangkali akan muncul di blog pribadi saya. Selebihnya akan menjadi catatan pribadi tentang apa saja yang saya alami dan apa saja pendapat-pendapat saya tentang pengalaman-pengalaman tersebut. Saya percaya, bahwa berbagi cerita akan memperkaya pengalaman, seperti ketika kita menikmati cerita dari orang lain. Lewat tulisan, maupun lewat pendengaran.
Dokumen& Perwajahan