surat kabar Reforma Agraria Edisi Maret Thn. II 2012

Page 1

Edisi: Maret/Thn. II/2012

Ongkos Cetak: Rp. 400,-

HAKEKAT REFORMA AGRARIA Oleh: Hiski Darmayana

K

onflik agraria yang terjadi di Bima, Mesuji, Pulau Padang dan berbagai tempat lain di Indonesia kini mendapatkan perhatian dari media dan masyarakat luas. Namun, masih ada ratusan kasus konflik agraria lain yang luput dari perhatian media. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di se luruh Indonesia yang menewaskan 24 orang petani dan rakyat yang menggarap lahan. Berbagai konflik pertanahan tersebut mencuatkan kembali wacana tentang perlunya reforma agraria demi mencegah terjadinya konflik serupa dimasa depan. Sebenarnya, wacana publik mengenai reforma agraria tidak pernah berhenti. Berbagai kalangan menekankan perlunya diselenggarakan reforma agraria guna menjamin hak-hak rakyat, khususnya petani, terhadap tanah sebagai alat produksi yang paling vital dalam sistem produksi pertanian maupun perladangan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan reforma agraria? Apakah reforma agraria pasti akan berpihak pada kepentingan kaum tani?

Arti (Definisi) Reforma Agraria Definisi reforma agraria dalam kajian ekonomi politik tidaklah tunggal. Secara etimologis reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti; “suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa� (Jurnal Dialektika LPPMD UNPAD, 2006). Sementara Krishna Ghimire dalam bukunya yang berjudul Land Reform & Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty & Agrarian Reform In Developing Countries (2001), mendefinisikan reforma agraria atau land reform sebagai; “perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Termasuk juga akses pada input pertanian, pasar serta jasa-jasa dan kebutuhan pendampingan lainnya.� Dari kedua definisi tersebut, dapatlah ditarik suatu kesimpulan: reforma agraria merupakan suatu perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan penguasaan tanah. Jadi pada hakekatnya, reforma agraria dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin. Setelah kaum tani meningkat kesejahteraannya, lalu apa nilai tambah yang diperoleh negara? Sebuah jawaban jitu diberikan oleh Rehman Sobhan, seorang ekonom terkemuka dari Bangladesh dalam buku karyanya yang berjudul Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development(1993). Setelah menganalisis program reforma agraria yang telah berlangsung di 36 negara di seluruh dunia, beliau menarik kesimpulan bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan reforma agraria yang radikal. Reforma agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas sosial lama (feodal) maupun kelas sosial baru (kapitalis) di pedesaan. Pemerataan penguasaan tanah di pedesaan sebagai hasil dari reforma agraria akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga desa yang pada umumnya petani gurem atau buruh tani. Peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan konsekuensi peningkatan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat membantu proses industrialisasi nasional sebagai fondasi bagi kemandirian ekonomi bangsa. Salah satu contoh keberhasilan reforma (bahkan revolusi) agraria yang fenomenal adalah revolusi agraria pada akhir abad ke-18 di Perancis yang menghancurkan kelas aristokrasi feodal dan melahirkan pertanian kapitalis yang berbasiskan pemilikan tanah skala kecil. Berbagai negara yang juga terbilang sukses menyelenggarakan reforma agraria dan menciptakan pasar domestik yang potensial adalah Jepang (pasca Restorasi Meiji abad 19), Korea Selatan (19451953), Mesir (pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser), Libya (setelah Kol.

1


Muammar Khadafi berkuasa tahun 1969), Kuba (pasca revolusi 1959), Cina (pasca revolusi 1949, meskipun di-reform kembali pada dekade 80-an), serta yang faktual adalah Venezuela sebagai bagian dari revolusi sosial Bolivarian yang ‘digelar’ Pemerintahan Hugo Chavez sejak ia berkuasa tahun 1998. Bila ditelaah, berbagai reforma agraria tersebut memiliki corak yang berbeda pada masing-masing negara. Ada yang bercorak kapitalistik, sebagai buah perombakan sistem produksi feodal menuju terbentuknya pasar bebas pertanahan yang berdasarkan kompetisi modal. Corak semacam ini terjadi di Jepang, Perancis dan Korea. Sementara adapula yang bertipe sosialis, yakni merubah struktur kepemilikan tanah secara radikal dari monopoli segelintir tuan tanah, pemilik modal maupun kapitalis birokrat menjadi pengelolaan tanah oleh para petani kecil dan tak berlahan secara kolektif dan merata. Dan proses reformasi ini dilakukan secara intensif oleh negara. Hal ini terjadi di Kuba dan Venezuela. Reforma Agraria di Indonesia Dalam konteks Indonesia, reforma agraria menjadi suatu hal yang penting bila meninjau jumlah buruh tani dan petani gurem yang terus bertambah sebagai akibat dari konflik agraria yang juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Indonesia, terdapat lebih dari 80 % petani gurem atau petani yang berlahan kurang dari 1 Ha. Lebih dari 50 % jumlah petani berlahan sempit ini menguasai hanya 21 % dari keseluruhan lahan pertanian (Husken dan White, 1989). Struktur agraria semacam ini merupakan warisan dari politik agraria kolonial yang masih lestari hingga kini. Demi mengakhiri struktur penguasaan tanah yang timpang warisan kolonial, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan reforma agraria yang termaktub dalam UU Pokok Agraria (UU PA) No.5 tahun 1960. UU PA No.5/1960 diberlakukan untuk melikuidasi undang-undang agraria produk penjajahan Belanda (“Agrarische Wet” dalam Staatsblad 1870 No. 55). Hingga kini, UU ini adalah produk hukum perundang-undangan yang paling berpihak pada kaum tani miskin, karena UU tersebut mereformasi ketimpangan penguasaan tanah menuju kearah kemakmuran yang berkeadilan. Salah satu contoh pasal yang berpihak pada kepentingan kaum tani miskin dalam undang-undang tersebut ialah pasal 13 yang berisi empat ayat dan berbunyi sebagai berikut : 1. Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. 2. Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agrarian dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta. 3. Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang. 4. Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.

Empat ayat dalam pasal ini jelas sekali merefleksikan karakter sosialisme Indonesia dari reforma agraria yang hendak dijalankan pemerintahan Soekarno. Orientasi pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran rakyat serta pelarangan bagi pihak kapitalis swasta untuk memonopoli sistem produksi pertanian, hampir sama dengan reformasi agraria yang berlangsung di negara-negara sosialis semacam Kuba dan Venezuela. Namun implementasi UU ini terkendala berbagai hal. Salah satunya adalah gangguan politik dari kelompok politik kanan-reaksioner yang menentang kebijakan agraria pemerintahan Soekarno. Kelompok-kelompok yang menentang reformasi agraria tersebut adalah militer (TNI-AD), sisa-sisa kelas feodal, kelompok Islam reaksioner serta sos-dem (PSI). Puncaknya dari semua pertentangan (kontradiksi) politik itu ialah kudeta militer secara ‘merangkak’ pada tahun 1965 yang menjatuhkan Soekarno dan menumpas semua elemen politik progresif (PKI&PNI Kiri). Seluruh upaya reforma agraria oleh pemerintahan Soekarno digagalkan oleh kontra-revolusi tersebut, yang akhirnya membawa Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan. Soeharto pun mengeluarkan serangkaian kebijakan yang menegasikan politik agraria rezim sebelumnya, diantaranya UU Pokok Pertambangan No.11 tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Asing No.1 tahun 1967, dimana seluruh regulasi itu berpihak pada kepentingan modal asing, bukan kaum tani. Secercah harapan muncul setelah runtuhnya pemerintahan Soeharto. Pada era reformasi, tepatnya tanggal 9 November 2001,dikeluarkanlah TAP MPR No.IX/2001 oleh MPR RI yang menugaskan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan pembaruan agraria dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 TAP MPR No.IX/2001). Tetapi campurtangan (penetrasi) dari kekuatan-kekuatan neo-liberal yang begitu kuat menyebabkan amanat itu tidak pernah terlaksana. Alih-alih melaksanakan reforma agraria, pemerintah dan parlemen justru memproduksi berbagai undang-undang yang melegalisasi ‘perampokan’ tanah petani oleh kaum pemodal nasional maupun asing. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehu tanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Un dang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu bara serta yang terakhir Undang-undang Pengadaan Tanah 2011 adalah sebagian produk perundang-undangan yang diterbitkan guna memperlancar ekpansi pemilik modal untuk menguasai sektor agraria negeri ini. Produksi berbagai aturan perundangundangan ini turut berkontribusi pada peningkatan kejahatan kemanusiaan (represifitas) aparat negara terhadap kaum tani seperti yang terjadi di Bima. Politik agraria yang dijalankan pemerintahan reforma dengan haluan kapitalisme liberal jelas bertentangan dengan semangat UU PA No.5/1960 yang berlandaskan sosialisme Indonesia. Maka, gerakan kembali pada UU PA No.5//1960 mutlak perlu dilakukan oleh seluruh elemen pergerakan kerakyatan. Selain untuk melawan politik agraria penguasa, gerakan kembali pada UU PA No.5/1960 juga merupakan suatu penegasan bahwasanya UU PA 5/1960 adalah produk hukum yang esensinya sesuai dengan hakekat dan tujuan sebenarnya dari pelaksanaan reforma agraria, yakni peningkatan kesejahteraan petani miskin.

2


PERNYATAAN SIKAP: SOLIDARITAS DAN PERSATUAN RAKYAT JAWA BARAT MENUNTUT PEMULIHAN HAK RAKYAT DAN PENELESAIAN KONFLIK AGRARIA DAN LINGKUNGAN HIDUP Tragedi kematian dan kejahatan kemanusiaan akibat konflik agraria dan lingkungan hidup dalam kasus Mesuji Lampung dan Sumatra Selatan, Sape Bima NTB, Tiaka Sulut, dan ribuan kasus sengketa agraria dan lingkungan hidup di Indonesia adalah segelintir kasus dari ribuan kasus sengketa agraria dan lingkungan hidup yang terjadi Indonesia. Situasi yang sama di Jawa Barat, beragam konflik agraria dan sengketa ruang dan lingkungan hidup terus berlangsung dan belum terselesaikan. Sengketa agraria dan lingkungan hidup hampir terjadi di 26 kabupaten/Kota di Jawa Barat. Ancaman dan dampak dari sengketa agraria dan lingkungan hidup adalah tindakan kekerasan, intimidasi, dan represifitas aparatur negara (kepolisian, TNI dan pemerintah) yang kemudian berujung pada konflik sosial, kriminalisasi warga/rakyat bahkan berujung kejahatan kemanusiaan dan kematian. Keberadaan MOU antara BPN dan Kapolri No No 3/SKB/BPN/Tahun 2007 dan No B/576/III/2007 tentang Penanganan Masalah Pertanahan adalah faktor yang determinan terjadinya upaya kekerasan dan represfitas aparatur Kepolisian, TNI dan pemerintah terhadap rakyat yang sedang bersengketa agraria dan lingkungan hidup.Berdasarkan catatan yang ada, sekitar 16 orang menjadi korban kriminalisasi sengketa lahan agraria dan lingkungan hidup. Contoh kasus yang mengemuka di Jawa Barat diantaranya, kasus sengketa lahan antara Petani penggarap dengan perkebunan di Kertasari, sengketa Lahan di Perum Perhutani (KPH Sumedang, Indramayu, Karawang, Bogor, Bandung Utara dll), sengketa lahan antara Pengungsi Walatra dan perkebunan, Sengketa lahan Warga Puncrut, sengketa lahan kampung Ciosa RDP, Babakan Siliwangi, Warga Bangbayang, Kriminalisasi warga oleh hotel Luxton, sengketa sosial karena pembangunan PLTSA, kriminalisasi warga di lahan hutan konservasi, Sengketa sosial di kawasan Karst Citatah, sengketa pertambangan pasir besi di pesisir pantai Selatan Jawa Barat, kriminalisasi Warga Gandoang Cileungsi Bogor, Sengketa Lahan PDAP Pangalengan, sengketa buruh dengan majikan diperusahaan, sengketa lahan pada pembangunan Waduk Jati Gede Sumedang, penggusuran lahan untuk pembangunan dan lain-lain. Fakta ini menunjukaan situasi sosial, ekonomi dan politik bahwa rezim penguasa yang telah berkuasa dan sedang berkuasa saat ini benar-benar tidak berpihak pada rakyat. Rezim penguasa di Republik Indonesia mulai dari Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota lebih memihak pemodal dan pengusaha untuk menindas rakyatnya sendiri. Selain itu, sengketa agraria dan lingkungan hidup merupakan menyebabkan hak-hak dasar rakyat semakin tidak terpulihkan. Tuntutan Rakyat Berdasarkan fakta sosial di atas maka, kami rakyat Jawa Barat menyatakan sikap pulihkan hak rakyat dan menuntut : 1. Jalankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta laksanakan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 2. Tolak Perampasan Tanah 3. Perlindungan Tanah Ulayat /Adat

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

12.

13.

Tanah, modal dan teknologi pertanian ekologis modern untuk petani penggarap di bawah kontrol organisasi rakyat Kemandirian ekonomi nasional, nasionalisasi industri asing, bangun industri dalam negeri berbasis kerakyatan dan renegoisasi utang luar negri Cabut Kesepakatan Bersama antara BPN dan Kapolri No 3/SKB/BPN/Tahun 2007 dan No B/576/III/2007 tentang Penanganan Masalah Pertanahan Bentuk Panitia Penyelesaian Sengketa Agraria (Nasional dan Daerah) dan jalankan Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang UUPA Tolak Undang-Undang tentang pengadaan tanah untuk pembangunan, minerba, penanaman modal, kehutanan, sumber daya air dan sektor lainnya yang menindas hak-hak rakyat. Tangkap dan adili para pelaku pelanggar Hak Asasi Manusia di Mesuji, Sape Bima, Tiaka dan kasus lainnya Kesehatan dan pendidikan gratis untuk rakyat Tolak dan hentikan segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga, petani, buruh dari oleh aparatur negara di Jawa Barat (Kasus Petani penggarap di Kertasari, Pengungsi Walatra, Warga Puncrut, Kampung Ciosa Resort Dago Pakar, Babakan Siliwangi, Warga Bangbayang, Kriminalisasi warga oleh hotel Luxton, PLTSA, Sengketa Karst Citatah, pertambangan pasir besi pantai selatan Jawa Barat, sengketa Jati Gede Sumedang, warga korban kriminalisasi Gandoang Bogor, sengketa lahan di Perum Perhutani (KPH Sumedang, Indramayu, Karawang, Bogor, Bandung Utara ), Sengketa Lahan PDAP Pangalengan, penggusuran akibat pembangunan dan lain-lain. Menuntut Pemerintahan Daerah (Kota/Kabupaten) di Jawa Barat bertanggung jawab menyelesaikan kasus sengketa agraria, lingkungan hidup, pertanian, perkebunan, pertambangan, kehutanan dalam bentuk kesepakatan multipihak yang melibatkan organisasi rakyat Upah layak untuk buruh, tolak praktik union busting, hapus sistem kerja kontrak dan out sourching dan bangun Industri kerakyataan.

Seruan Rakyat Jawa Barat Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat Jawa Barat untuk : 1. Mendiskusikan dan menyuarakan setiap permasalahan ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam di Jawa Barat 2. Membangun posko bersama untuk pulihkan hak rakyat Indonesia dan penyelesaian sengketa sumber daya alam di Jawa Barat Merapatkan barisan bersama di Sekber Rakyat Jawa Barat sebagai Posko Pulihkan Hak Rakyat Jawa Barat dan penandatanganan petisi dukungan penyelesaian sengketa agraria dan lingkungan hidup. Bandung, 11 Januari 2011 SEKRETARIAT BERSAMA RAKYAT JAWA BARAT “ PULIHKAN HAK RAKYAT� [STN-PRM, SRMI, AGRA, Warga Pengungsi Waltra, Warga Jatigede Sumedang, Komunitas Ibun, Komunitas korban Banjir Cieunteung, Warga Ciosa dan Puncrut, FKPA, FK3I, MPLH Godong Sewu, GMNI Jabar dan Sumedang, SHI Jabar, LBH Bandung, Baraya Tani, YKPA, FKWPL Bogor, FMN Bandung, WALHI Jawa Barat, Komunitas Kabuyutan, DPKLTS, Kopri PMII, PSDK, BANGAR, FP2KC, PRD Jawa Barat, PERAK Indonesia, FPB, FAF, Palamus Subang, GPI, Himapikani Unpad, Daya Cipta Budaya]

3


Dulu kaum tani sangat susah dan tertindas, tidak punya lahan apalagi modal, walaupun ada lahan para petani harus bayar yang artinya harus nyewa. Untungnya tiba-tiba ada yang prihatin kepada rakyat miskin hingga sekarang bisa mendapatkan lahan untuk para petani. Walau sangat susah dan sulit untuk mendapatkannya, susahnya? Harus melawan para pejabat dan petugas Perum Perhutani, tapi Alhamdulillah berkat perjuangan teman-teman yang tergabung dalam STN-PRM, sekarang kaum tani di pedesaan sudah punya lahan walaupun masih ada rintangannya. Sekian, terimakasih. (Wawan, Petani Desa Banyuresmi)

Bertahun-tahun petani kehilangan pungsi karna yang disebut tani bagi petani miskin hanyalah hayalan dan bayangan karena oper alihnya pungsi lahan dari hutan ekonomi menjadi hutan lindung terampaslah lahan-lahan petani. Hingga akhirnya petani miskin mengadakan perjuangan yang dipimpin oleh STN-PRM dan berhasilnya perjuangan petani pada tahun 2009. Lahan itu diubah menjadi PHBM. Karena pola PHBM merugikan petani karena pola tanam cemplong. Lalu petani mengambil langkah sendiri yaitu bikin tanaman jangka panjang dan jangka pendek yaitu tumpangsari. Namun menjelang 2011 ketidak berpihakan Pemerintah terhadap petani miskin muncul kembali yaitu lahan garapan petani dijadikan (Tahura) Taman Hutan Raya hingga perjuangan petani muncul kembali, ratusan petani turun ke jalan hingga ke depan kantor Pemda Sumedang terjadilah dorong-dorongan sama Polisi penjaga. Sampai perjuangan berhasil petani berjuang terus! (Onang, Petani Desa Banyuresmi)

Koperasi badan usaha yang mempunyai anggota, tujuan koperasi adalah untuk mensejahterakan anggota maupun masyarakat sekitarnya. Koperasi adalah suatu gerakan ekonomi rakyat untuk mewujudkan masyarakat maju, sejahtera dan bisa mewujudkan tatanan masyarakat demokratis. Mari kita bangun koperasi untuk desa Genteng untuk mewujudkan atau untuk mencapai kesejahteraan. Koperasi menjawab kondisi ekonomi, wujudkan kesejahteraan masyarakat dengan koperasi, bergabunglah dengan koperasi. Sudah saatnya koperasi dihadirkan sebagai saranan yang epektip untuk membebaskan masyarakat dari kesengsaraan ekonomi akibat krisis kapitalisme, membangun kesejahteraan kaum tani. Dalam jangka panjang sekaligus melaksanakan amanant UUD 1945, yakni pemberdayaan masyarakat. Negeri ini bisa makmur jika pengambil keputusan, kebijakan ekonomi konsisten memberlakukan peranan koperasi. Bukankah kali pertama koperasi lahir di dunia juga di dorong oleh kesengsaraan masyarakat akibat keganasan kapitalisme. Mari kita bangun koperasi! Ayo kita dirikan koperasi! Mari kita hidup dengan berkoperasi! Koperasi memberantas kemiskinan, kebodohan, hidupkan koperasi! (Jaja, petani Desa Genteng).

Surat kabar Reforma Agraria menerima tulisan pembaca, anegdot, foto, karikatur dan karya jurnalistik lainnya untuk demokrasi kerakyatan dan pembebasan nasional, hidup kaum tani yang melawan!

Rapat umum Sekertariat Bersama(Sekber) Rakyat Jawa Barat (STN-PRM, SRMI, AGRA, Warga Pengungsi Waltra, Warga Jatigede Sumedang, Komunitas Ibun, Komunitas korban Banjir Cieunteung, Warga Ciosa dan Puncrut, FKPA, FK3I, MPLH Godong Sewu, GMNI Jabar dan Sumedang, SHI Jabar, LBH Bandung, Baraya Tani, YKPA, FKWPL Bogor, FMN Bandung, WALHI Jawa Barat, Komunitas Kabuyutan, DPKLTS, Kopri PMII, PSDK, BANGAR, FP2KC, PRD Jawa Barat, PERAK Indonesia, FPB, FAF, Palamus Subang, GPI, Himapikani Unpad, Daya Cipta Budaya).Gedung Sate - Bandung, 11 Januari 2012.

Aksi menuntut Komite Advokasi Reforma Agraria (STN-PRM dan GMNI Sumedang) ke DPRD sumedang dan Pemda Sumedang. 24 Januari 2012.

Rapat menindaklanjuti rekomundasi DPRD Sumedag (STN-PRM dan 26 delegasi lainnya). Aula Kecamatan Sukasari, 7 Febuari 2012.

Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) Sumedang Phone: 085720016176 email: stnprmsumedang@yahoo.co.id Weblog: stnprmsumedang.blogspot.com

4


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.