11 Liputan khusus Kaleidoskop Represifitas Akademik di Universitas Indonesia GERBATAMA 87 // 06-2021
Reporter : Muhammad Firman, Ghozi Djayu
K
ebebasan akademik merupakan suatu hal yang tidak terlepaskan dari keberlangsungan kegiatan akademik, baik mahasiswa maupun dosen di kampus. Kebebasan akademik sudah dijamin pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan akademik hanya akan terlaksana bila mana setiap sivitas akademik dapat menyatakan pendapat dengan bebas dalam mencari ilmu. Secara umum, kebebasan diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) tepatnya pada Pasal 28E ayat (3). Hal ini yang membuat hadirnya kebebasan akademik dalam lingkungan kampus menjadi sebuah keharusan dan memiliki urgensi yang tinggi dalam pemenuhannya. Dalam dunia pendidikan tinggi, kebebasan akademik diregulasikan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tepatnya pada Pasal 8 ayat (1). Walaupun begitu, kebebasan akademik masih seringkali mengalami pelanggaran dan intervensi baik oleh pihak kampus. Kami berupaya menyoroti beberapa kasus pelanggaran kebebasan akademik yang, sayangnya, masih terjadi di lingkungan UI. Dalam satu tahun belakangan ini, berbagai isu mengenai represifitas akademik bisa ditemui di UI. Pertama, dan mungkin yang masih hangat di ingatan kita, isu mengenai Pakta Integritas mahasiswa baru angkatan 2020 yang terjadi saat Prosesi Pengenalan Kehidupan Kampus(PPKMB) 2020. Mengenai Pakta Integritas, dalam pernyataan sikap Aliansi Tolak Pakta Integritas, tertulis argu-
mentasi yang menyatakan pakta tersebut merupakan bentuk pengekangan atas hak-hak mahasiswa, terutama dalam bidang akademis. Ketua BEM FH UI 2020, Harish Makarim, menyatakan hal yang senada. Lebih jauh dari pengekangan terhadap kebebasan berpendapat semata, pakta ini juga menjadi pengekangan terhadap nurani dan pemikiran. Sementara itu, salah satu mentor PKKMB UI 2020 bernama Jihan (nama samaran), menyatakan bahwa mahasiswa baru diwajibkan untuk mengisi dan menandatangani Pakta Integritas ini di atas materai. Implikasi dari keberadaan materai tak main-main, sebab hal ini berarti bahwa dokumen yang ditandatangani menjadi sah di mata hukum, sehingga mahasiswa baru seakan “dibatasi” terlebih dahulu sebelum mengeksplorasi kegiatan-kegiatan yang ada di kampus. Ketiadaan partisipasi mahasiswa baru dalam pembentukan atau bahkan diskusi mengenai Pakta Integritas ini memperlihatkan bahwa pakta tersebut merupakan keputusan secara sepihak dan bersifat memaksa. Ketiadaan penjelasan lebih lanjut terkait beberapa poin dari Pakta Integritas yang disinyalir multitafsir memicu timbulnya kontroversi. “(Ketika diminta mengisi pakta—red) saya juga tidak paham mengenai isinya dan saya diburu-buru oleh mentor (PKKMB—red) saya untuk mengisi,” ungkap Farrell Charlton, salah satu mahasiswa angkatan 2020. Bukan hanya mengenai poinpoin yang multitafsir, berdasarkan pernyataan Jihan, penjelasan mengenai Pakta Integritas
pun tidak diberikan oleh pemberi wewenang pakta tersebut. Ketiadaan penjelasan dari pemberi wewenang kepada mentor mengenai Pakta Integritas ini membuat kurangnya informasi yang didapati mentor dan bahkan mahasiswa baru terkait pakta ini. Salah satu Dosen Fakultas Hukum UI, Heru Susetyo, berpendapat bahwa Pakta Integritas adalah suatu hal yang tidak perlu dan berlebihan serta berpotensi mengurangi gerak mahasiswa. “Menurut saya, tidak perlu dan terlalu berlebihan itu karena bisa mengurangi aktivitas mahasiswa itu sendiri,” ujar Heru. Dia juga berpendapat bahwa pakta tersebut bukan termasuk legal binding atau kontrak hukum, melainkan hanya moral force yaitu pedoman moral saja. “Menurut saya juga, pakta tersebut kalau secara keperdataan bukan termasuk legal binding karena tidak ada perjanjian dua belah pihak di sana, namun seharusnya lebih baik dalam bentuk moral force saja—semacam pedoman moral.” Perlu diketahui, moral force atau kekuatan moral adalah gerakan yang bertumpu pada nurani luhur dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Moral force berbeda dengan legal binding yang disebut sebagai kekuatan hukum yang mengikat, atau dalam dunia akademis sering disebut sebagai inkracht. Legal binding dapat dikatakan sebagai suatu keadaan di mana suatu ketentuan atau putusan memiliki daya paksa untuk dipatuhi dan tidak bisa disimpangi dan dilanggar. Bentuk pengekangan akademis lain pun diduga sempat terja-
di pada sebuah Diskusi Publik bertajuk “#PapuanLivesMatter: Rasisme Hukum di Papua” yang dilaksanakan secara daring pada Sabtu, 6 Juni 2020 oleh BEM UI 2020. Dalam diskusi yang berujung menimbulkan kontroversi ini, dihadirkan tiga pembicara, yakni seorang pegiat HAM dan aktivis isu Papua Veronica Koman, Pengacara HAM Papua Gustaf Kawer, dan seorang mantan tahanan politik Papua. Pihak penyelenggara diskusi menerima serangan dari beberapa pihak yang tercermin dalam komentar-komentar yang mereka terima baik sebelum acara berlangsung maupun saat acara tengah berlangsung. Saat itu, BEM UI 2020 diserang atas dugaan mendukung agenda separatisme, mereka bahkan menerima te-ror secara daring dari pihak tak dikenal yang berjalan selama acara berlangsung. Dalam pelaksanaannya, diskusi tersebut di-serang habis-habisan oleh buzzer serta dikritik oleh beragam pihak, bahkan dari pihak kampus sendiri, yang lepas tangan terkait pelaksanaan diskusi tersebut. Pihak kampus seolah berupaya “cuci tangan” dengan menyatakan bahwa diskusi tersebut menyalahi tata cara aturan dan menghadirkan pembicara yang tidak layak. Sebab, diketahui bahwa Veronika Koman, pembicara diskusi yang vokal sebagai aktivis HAM di Papua, termasuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena dirinya diduga berafiliasi dengan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka. Ditambah lagi, sejumlah tahanan politik Papua yang diundang dalam diskusi tersebut diduga merupakan anggota organisasi yang dianggap separatis tersebut. Direktur Kemahasiswaan UI juga mengaku akan lepas tangan jika ada konsekuensi hukum terjadi terkait diskusi itu. Amelita Lusia, Kepala Biro Humas dan KIP UI mengatakan bahwa kandungan dan pijakan ilmiah atas materi diskusi tidak cukup kuat untuk
dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan akademik yang baik. Dalam pernyataan sikap resmi atas nama UI Amelita menyatakan, “Bersama ini dinyatakan bahwa kegiatan diskusi tersebut, berikut apapun yang dibahas dan dihasilkan, tidak mencerminkan pandangan dan sikap UI sebagai suatu institusi dan tidak menjadi tanggung jawab UI.” Kontras dengan pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh UI, Heru justru berpendapat bahwa diskusi tersebut seharusnya dilindungi, meskipun harus ada dua belah pihak pro dan kontra yang didatangkan. “Menurut saya itu berlebihan ya, ada represifitas tersebut, dan seharusnya dari pihak kampus melindungi, apalagi sudah diatur dalam UU Dikti. Selain itu, saya beranggapan seharusnya pihak BEM UI mengundang kedua belah pihak, supaya lebih clear diskusinya.” Aliansi Dosen UI juga turut mengecam pernyataan sikap UI serta mendesak agar UI tidak membatasi ruang kebebasan akademik. Demikian, aliansi tersebut mengapresiasi langkah BEM UI serta mendorong agar sivitas UI bersikap dan bertindak konsisten dalam mendukung dan memfasilitasi mahasiswa dalam melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan pengetahuan, sebagaimana tercantum dalam amanat Pasal 13 (2) Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Mengenai isu Papua, BEM FH UI 2020 pun sempat ingin mengadakan mimbar bebas yang lagi-lagi harus dihentikan. Namun, Harish menjelaskan bahwa mimbar bebas yang ingin dilaksanakan terpaksa batal akibat situasi yang tidak memungkinkan. “Dari kami sendiri sudah izin dan diskusi ke pihak Dekanat dan Kemahasiswaan FH UI, namun atas saran dari pihak fakul-
GERBATAMA 87 // 06 -2021
liputan khusus
12
tas dan berpikir bahwa mimbar bebas akan membawa dampak lebih buruk, maka terpaksa harus kami hentikan,” ujar Harish. Harish menjelaskan bahwa ia berniat untuk mengundang Wakil Ketua BEM Universitas Cenderawasih (Uncen) dan beberapa perwakilan dari universitas lain seperti Universitas Padjadjaran. Ia juga menjelaskan bahwa hal itu adalah aksi terakhir yang sudah dijalankan setelah dikeluarkan kajian akademik dan Amicus Curiae—pandangan hukum atas suatu perkara; dalam kasus ini adalah penangkapan Ketua BEM Uncen. Harish turut memberikan kritik kepada pihak kampus atas kasus represifitas akademik yang berlangsung di Universitas Indonesia. “Yang kita kritik adalah represifitas akademik itu, termasuk pelanggaran kebebasan akademik—yang mana kebebasan akademik merupakan syarat bagi universitas untuk bisa mereproduksi mahasiswa yang berpikir kritis, menghasilkan suatu kajian, dan lain sebagainya itu semua kan mulai dari diskusi.” Lebih lanjut, ia berpandangan bahwa argumentasi pihak kampus bahwa diskusi harus didasari pada metode akademis adalah rancu dan merupakan upaya penyempitan dari kebebasan akademis itu sendiri. Harish memberi pesan kepada mahasiswa untuk terus berjuang dan melawan represifitas akademik sambil menjaga integritas akademik. “Yang bisa dilakukan mahasiswa itu untuk terus berkembang untuk diskusi, berdialektika, mengkaji apa pun isunya—sesensitif apa pun isunya—karena itu hak kalian. Kalian harus terus meng-exercise haknya jangan sampe karena ada satu dua kasus kita jadi takut untuk berdiskusi, mengkaji hal-hal yang sensitif, karena sekali lagi, misal kita takut, mereka menang.”
13
GERBATAMA 87 // 06-2021
what do you think?
“Sahkan RUU P-KS!!” “Jangan diam, lawan!”
T
idak asing dengan kata-kata di atas? Kalimat-kalimat tersebut kerap kali dilontarkan langsung dari mulut para aktivis, pun berlalu-lalang di linimasa media sosial. Aktivis, dengan segala kemegahan retorikanya tak jarang membuat kita terpana hingga menaruh ekspektasi tinggi serta gambaran yang ideal mengenai mereka. Dalam lingkup kampus, kita dapat menjumpai orang-orang tersebut yang biasa dikenal dengan “aktivis kampus”. Dari mulut mereka muncul deretan kata yang mengandung kekuatan; menguatkan dan membela mereka yang terpijak-pijak hak asasinya, serta mereka yang masih belum mendapatkan keadilan. Dari luar, kita dapat melihat betapa besar concern-nya terhadap
Dari total 49 responden, 53,1% responden berjenis kelamin laki-laki, sementara sisanya, 46,9% adalah perempuan. Responden didominasi oleh mahasiswa dari FKM (40,8%), lalu diikuti FISIP (22,4%), FH (12,2%), FEB (6,1%), FMIPA dan FT masing-masing sebanyak (4,1%), serta FIA, FK dan FIK masingmasing (2%). Responden sebagian besar merupakan angkatan 2019 (49%), lalu disusul angkatan 2018 (26,5%), 2020 (14,3), 2017 (8,2%), 2016 (2%). Identitas dan latar belakang responden yang berbeda tersebut tentu menghasilkan pandangan terkait aktivis mahasiswa beragam pula. Hasil survei menunjukkan 22 responden memberikan respon positif terhadap “cowok pergerakan” atau “aktivis kampus” lantaran mereka adalah kaum yang berani, idealis, berwawasan luas terhadap dunia politik dan lantang membela kelompok marginal. Sebelas responden yang berespon
responden. Dari 31 jawaban yang didapat, semua responden menyayangkan perilaku aktivis kampus yang terlibat menjadi pelaku kekerasan seksual dan berharap perilaku mendapat sanksi yang pantas. Sanksi yang diusulkan responden terhadap aktivis kampus yang melakukan kekerasan seksual beragam macam, dari sanksi sosial hingga sanksi hukum yang terlihat dalam data berikut. Sebelas orang (34,4%) mengusulkan pengucilan dan sejenisnya, 8 orang (25%) mengusulkan penyebaran identitas, 5 orang (15.6%) mengusulkan sanksi hukum, 5 orang (15.6%) mengusulkan dropout (DO), dan 3 orang (9.4%) mengusulkan reedukasi. Responden berharap sejumlah sanksi tersebut dapat membuat pelaku sadar akan kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi. Kekerasan Seksual oleh Aktivis dari Perspektif Aktivis Perempuan
Hipokritas dan Realitas: Kasus Kekerasan Seksual oleh Aktivis Kampus Reporter : Ninda Maghfira dan Iis Khoerun Nisa suatu isu, baik skala kampus maupun nasional, serta kemampuannya beretorika dengan kompleksitas wawasannya. Namun sayangnya, hingga saat ini masih ditemukan segelintir aktivis, terutama laki-laki, yang perilakunya tidak mencerminkan apa yang telah diperjuangkannya secara ndakik-ndakik itu. Sebuah ironi. Ironi: Kekerasan Seksual oleh Aktivis Kampus di UI Untuk menjaring pengetahuan sivitas akademika UI terhadap kekerasan seksual yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa di Universitas Indonesia, kami melakukan survei daring via Google Form. Survei bertema Kekerasan Seksual Aktivis Kampus ini dilakukan dalam rentang waktu 5-20 April 2021 oleh Tim Litbang Suara Mahasiswa dan berhasil menjaring 49 responden dari berbagai fakultas.
negatif menilai bahwa label aktivis kampus tidak menjamin para “cowok pergerakan” untuk tidak terlibat dalam kekerasan seksual. Sebanyak 63,3% responden mengaku mengetahui atau pernah mendengar kasus keterlibatan aktivis kampus sebagai pelaku kekerasan seksual. Mayoritas responden mendengar kasus tersebut dari Twitter, (6,5%) sisanya dari media sosial lain, gosip, dan merupakan korban. Dari kasus yang diketahui, 32,3% responden mengenal aktivis yang menjadi pelaku kekerasan seksual, sementara 67,7% responden tidak mengenalnya. Sebanyak 67,7% pelaku justru dikenal vokal dalam mengadvokasi isu kekerasan seksual. Sejumlah 61,3% responden menyatakan bahwa kasus tersebut terjadi di lingkungan terdekatnya (fakultas dan jurusan), sedangkan 38.7% lainnya menjawab di luar lingkungan
Aktivis perempuan dan penulis buku Membunuh Hantu-Hantu Patriarki, Dea Safira, menuliskan suatu subbab di bukunya yang berjudul, “Waspada Mas-Mas Progresif Kiri Cabul”. Di dalam subbab tersebut, Dea menjelaskan secara terperinci terkait aktivis-aktivis progresif kiri memanfaatkan perannya yang terlihat di luar dan menggunakan pengetahuannya, khususnya mengenai feminisme, hanya untuk menguntungkan dirinya sendiri. Dalam kesehariannya, Dea sering menemukan laki-laki dalam kelompok literasi “kiri” yang justru menggunakan feminisme untuk memanipulasi perempuan. Ia mencontohkannya dengan argumen yang digunakan si aktivis, “Kamu kan udah terbebaskan? Kamu udah baca feminisme, berarti kamu harusnya mau ngirimin aku foto telanjang.” Laki-laki seperti itu justru menganggap tindakan mereka sebagai tindakan yang progresif,
GERBATAMA 87 // 06 -2021
what do you think?
14
contoh, jika seseorang menyatakan bersikap setuju atau positif terhadap calon tertentu, artinya ia memiliki intensi untuk memilih calon yang ia setujui. Akan tetapi, intensi tersebut tidak serta merta berarti bahwa ia akan langsung mencoblos calon yang ia setujui. Dengan demikian, hubungan antara belief dan action secara kompleks dipengaruhi oleh berbagai faktor lain.
*gambar hanya ilustrasi padahal perkara demikian bersifat konsensual sehingga tidak bisa dipaksakan. Dea menekankan bahwa kejadian seperti itu dapat ditemui di berbagai tempat, tidak hanya di kelompok literasi seperti itu saja.
tin, dan dia masih baru, masih polos, pasti melihat ada kakak kelas yang menaruh perhatian berlebih seneng, ada perasaan bangga, tapi akhirnya ternyata ujung-ujungnya cabul,” cerita Dea.
“Tapi bukan berarti ‘kiri’ aja ya, pasti di partai-partai atau di organisasi-organisasi pasti akan selalu ada orang-orang yang genit, yang womanizer gitu,” tegas Dea, “Jadi mereka mengumandangkan progresivitas, tetapi perilaku mereka tidak mencerminkan itu terhadap perempuan,” tambahnya. Ketika ditanya apakah orang-orang seperti itu masih pantas untuk disebut sebagai aktivis, Dea menyatakan bahwa ia tidak berhak untuk menentukan apakah seseorang adalah aktivis atau bukan. Dea berpandangan bahwa banyak aktivis yang enggan untuk berefleksi atas privilege-nya. “Banyak temen aktivis tidak mau diusik gitu untuk berefleksi, jadi mereka memperjuangkan hak-hak orang lain, tetapi kadang mereka memperjuangkan hanya untuk mendapatkan nama,” tutur Dea.
Lebih lanjut, Dea menegaskan bahwa siapa saja bisa jadi pelaku, bahkan orang-orang yang kita anggap baik dan tanpa cela sekalipun juga bisa menjadi pelaku. Dea juga memperingatkan bahwa warning signs itu memang ada dan apabila merasakannya, maka perlu bagi pihak yang bersangkutan untuk langsung melaporkannya. “Kalo udah mulai ngajak ke kosan, atau kode-kode minta telepon yang nggak jelas, pokoknya yang perlakuannya tidak wajar, kita harus percaya sama insting kita sih. Kalau udah mulai ganjel, ada yang aneh, percaya insting saja,” jelas Dea.
Dea tidak ingin menyalahkan tujuan yang demikian. Namun, sayang ada pihak-pihak yang memanipulasi citranya untuk mendapatkan perempuan. Bahkan, ada juga yang memanfaatkan citranya itu untuk merendahkan perempuan. Menurutnya, dalam lingkup kampus, hal tersebut juga kerap kali terjadi, khususnya terhadap para mahasiswa baru yang masih “polos”. Berkaca dari pengalamannya, banyak kasus mahasiswa baru yang belum memahami kehidupan kampus lalu didekati oleh senior. “Kita nggak tahu ya adek-adek ini ke mana, siapa yang deke-
Suara dan Sikap yang Bertentangan, Hipokrit? Pertentangan antara belief and action dapat terjadi pada individu yang berperilaku bertolak belakang dengan apa yang diyakininya. Dari sudut pandang psikologi, sikap memang berhubungan dengan intensi. Menurut Schwartz (1992), sikap didefinisikan sebagai keyakinan yang diterjemahkan ke dalam tindakan pada objek yang inginkan. Hubungan antara sikap (belief) dan perilaku (action) ini dapat dipahami melalui analogi pemilihan umum. Dalam situasi pemilihan umum, sikap seseorang terhadap calon pemimpin tertentu, baik positif maupun negatif, berkaitan dengan intensi yang dia miliki. Sebagai
Begitu pula dengan pejuang aktivis KS yang mengambil sikap setuju untuk mengesahkan RUU PKS misalnya, tapi tidak sampai tahap “mencoblos” dan malah melenceng karena faktor tertentu. “Sikap memang berhubungan dengan intensi. Namun, untuk menjadi perilaku itu banyak faktor yang bermain,” jelas Psikolog dan Dosen di Fakultas Psikologi UI, Dian Oriza. “Sosialisasi dan kontruksi peran gender, sih, yang membuat jadi adanya ketidakadilan, diskriminasi, dan kekerasan,” sambung Dian. Sosialisasi berperan untuk membuat individu mengenal kebudayaan masyarakat untuk tahu baik dan buruknya suatu perilaku. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tidak lantas membuatnya menerapkannya. Misalnya, aktivis yang memiliki pemahaman terkait kesetaraan gender ketika berada di luar lingkup aktivisnya, seperti di kafe, tetap ada kemungkinan menggoda pramusaji perempuan di sana. Upaya yang bisa dilakukan agar pelaku KS tidak berkembang dapat dilakukan dengan cara mengedukasi secara mendalam dan berkelanjutan. “Cara mengatasi kondisi tersebut ya dengan edukasi kampanye kesetaraan gender kepada semua lapisan usia,” tutup Dian. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun seseorang secara lantang menyuarakan pertentangannya terhadap tindakan kekerasan seksual, meskipun hal tersebut tidak menjamin dirinya bebas dari kemungkinan menjadi pelaku. Faktor-faktor yang memengaruhinya, khususnya secara psikologis, tidak dapat diseragamkan terhadap semua kasus. Akan tetapi, satu hal yang pasti, siapa saja bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, bisa jadi dosenmu, senior-
15
GERBATAMA 87 // 06-2021
selisik
Pemuda Pancasila, Kekerasan Negara, dan Eksistensinya di Kampus Reporter : Syifa Nadia dan Fitri Hasanah
A
roma keringat kami pada siang yang terik itu menguar bersama debu-debu reruntuhan bangunan. Kami duduk beralaskan kardus di depan salah satu rumah dari anyaman bambu yang masih tersisa, menyimak serius kisah “Mami”—begitu julukan akrabnya di Gang Pancoran Buntu II ini. “Tapi akhirnya kan turun ormas PP (Pemuda Pancasila), sepuluh orang gitu. Akhirnya itu demo kami pertama, warga maju, tapi yang selalu maju itu ibuibu karena kalau bapak-bapak atau laki-laki takutnya emosi,” demikian penuturan Mami. Kepada para relawan, ia berkisah mengenai seluk-beluk konflik lahan antara warga Pancoran dengan PT. Pertamina. Konflik ini menjadi kian rumit lantaran diwarnai pula oleh bentrokan antara warga dengan ormas. Menurut penuturan warga, oknum ormas yang terlibat dalam konflik ini adalah oknum bayaran yang ditugaskan untuk melancarkan kepentingan pihak tertentu. Kemudian, Rabu (17/03), menjadi salah satu hari yang kelabu bagi warga Pancoran. Pada hari itu, ormas memobilisasi massa di portal. Intimidasi juga dilakukan oleh oknum ormas dengan mengacungkan senjata tajam seperti pisau dan celurit ke arah warga. Selanjutnya, oknum ormas pun mulai memprovokasi warga dengan cara melempari batu hingga melukai kepala warga. Aparat yang datang sejurus kemudian justru malah membentuk ba-
risan bersama anggota ormas. Meskipun masih belum bisa dikonfirmasi secara pasti—apakah ormas yang diterjunkan dalam konflik Pancoran merupakan oknum suruhan pejabat negara— ini bukan pertama kalinya pihak tertentu berupaya untuk “membenturkan” warga dengan ormas dalam suatu konflik. Pertanyaan yang muncul selanjutnya: seandainya premis tersebut betul adanya, bukankah ini termasuk bentuk dari kekerasan negara yang dilancarkan melalui ormas? Sekilas Sejarah Pemuda Pancasila Dalam buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia, Ian Wilson berpendapat bahwa keberadaan geng, preman, dan milisi telah menjadi ciri yang melekat pada kehidupan sosial-politik di Indonesia. Pada masa orde baru, upaya “penegakan” kekuasaan yang absah ditunjukkan melalui berbagai cara, tak terkecuali melalui koersi resmi bentukan negara. Koersi yang terwujud dalam bentuk premanisme ini, dapat menjadi suatu gerakan yang terkoordinasi di bawah komando tokoh yang berpengaruh secara lokal. Lebih lanjut, Ian Wilson mencontohkan Pemuda Pancasila (PP) sebagai salah satu organisasi massa (ormas) yang lekat dengan pemerintah di masa orde baru. Awalnya, Pemuda Pancasila lahir pada 1959 untuk berjuang mempertahankan Pancasila sebagai ideologi ne-
gara, sekaligus menghadapi dominasi Pemuda Rakyat (PR)— sebuah ormas sayap kiri yang cukup populer pada masanya. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu PP merupakan organisasi di bawah Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang berafiliasi dengan TNI-AD. Pasca peristiwa G30S, rezim orde baru mengerahkan PP sebagai kaki-tangannya untuk membasmi orang-orang berhaluan komunis. Kekuatan PP pun semakin meluas semasa puluhan tahun kepemimpinan orde baru—ia menjadi ormas yang cukup signifikan dan mulai dikenal akan aksi premanisme yang dilancarkannya atas tuntutan dari pemegang kekuasaan. Runtuhnya rezim orde baru menyebabkan PP tak lagi terafiliasi secara erat dengan pemerintah. Dilansir dari ABC, Ian Wilson mengatakan bahwa reformasi menandai perubahan relasi antara elit dengan ormas-ormas. Meskipun tak lagi begitu lekat dengan pemerintahan, ormas masih tak jauh-jauh dari hingar-bingar politik. Pasca reformasi, mereka eksis selayaknya pegawai lepas (freelance) yang bekerja tatkala ada permintaan tertentu. Afani, seorang alumni prodi Sejarah Universitas Indonesia angkatan 1995 yang kini berkecimpung di dunia ormas, mengakui bahwa terjadi perubahan pola antara hubungan ormas tertentu dengan elit negara pasca keruntuhan orde baru. Relasi antara ormas dengan elit
GERBATAMA 87 // 06 -2021
selisik
negara kini diwarnai dengan kepentingan politik pragmatis jangka pendek. Hal ini, misalnya, terlihat pada pengangkatan Jokowi dan Maa’ruf Amin sebagai anggota kehormatan Pemuda Pancasila. Ia menilai ini sebagai “basa-basi politik”. “Jokowi membutuhkan dukungan infrastruktur politik yang PP sudah cukup banyak, PP mengharapkan dia dapat kompensasi jabatan-jabatan tertentu,” Pemuda Pancasila Pasca Orde Baru Salah satu organisasi binaan PP yang bergerak dalam bidang pengkaderan pelajar dan mahasiswa adalah Satuan Siswa, Pelajar, dan Mahasiswa Pemuda Pancasila (SAPMA PP). SAPMA PP sempat vakum selama 10 tahun, dari tahun 1997 sampai 2007, karena PP nyaris dibubarkan pada tahun 1998. Setelah tahun 1998, Sapma PP memisahkan diri. Pada 2015 silam, sesuai dengan keputusan Musyawarah Besar I, Sapma PP menjadi organisasi mandiri. Kami mencoba untuk menghubungi Denny, Ketua SAPMA PP Pusat, untuk memperoleh keterangannya mengenai keterlibatan ormas dalam konflik antara negara dan warga serta keberadaannya di kampus-kampus. Ia memaparkan, “Itulah ormas. Kalo ketua umum kita, Pak Yatno, itu bilang: memang kita itu organisasi preman. Preman ini kan dari bahasa Belanda, orang-orang bebas,” Kendati demikian, Denny menjelaskan lebih lanjut bahwa saat ini setiap kader sudah ditekankan untuk tidak melakukan tindak kekerasan. Sebuah artikel menerangkan bahwa Pemuda Pancasila tidak pernah menginstruksikan dan
terlibat dalam bentrokan massa, yang sering terjadi ialah karena permasalahan oknum anggota ormas Pemuda Pancasila dengan anggota ormas yang lain. Bentrokan ini biasanya terjadi pada tingkat bawah. Menurut Yahya Abdul Habib dalam (Hidayat, 2019), ada empat kategori anggota dalam ormas Pemuda Pancasila, dari yang terendah yaitu anggota biasa, lalu anggota kader, kemudian anggota kehormatan, dan anggota luar biasa sebagai tingkat keanggotaan tertinggi. Keberadaan Pemuda Pancasila di Kampus? Pada umumnya, anggota PP direkrut dari kalangan penjaga keamanan, pasar-pasar, dan parkiran liar — karena citranya yang lekat menggunakan kekerasan dalam menjalankan pekerjaannya. Kendati demikian, demi memenuhi kebutuhan strategis, PP memperluas sasaran kaderisasinya hingga meliputi berbagai golongan, seperti pelajar dan mahasiswa, melalui perantara SAPMA PP. Dalam kalangan mahasiswa, kaderisasi ormas tertentu telah menjadi hal lumrah yang berjalan diam-diam dan tidak terlalu nampak polanya. Pengkaderisasian SAPMA PP baru dimulai lagi setelah tahun 2007. Deny menuturkan, pengkaderisasian awalnya dilakukan secara informal, seperti dengan menggaet kawula muda yang sedang nongkrong di kafe. Seperti PP, SAPMA memiliki tiga tingkatan dalam kaderisasi, dari Pratama, Madya dan Utama. Materi pengkaderisasian berbeda-beda disesuaikan dengan tingkatannya. Image preman juga masih lekat dalam SAPMA, walaupun mereka mengklaim bahwa SAPMA sudah berubah.
16
Sebagai salah satu universitas yang memiliki banyak alumni yang memiliki jabatan tinggi dalam ranah politik, tidak aneh rasanya bila SAPMA membuka pintunya di UI. Walaupun demikian, ketika ditanya mengenai keberadaan SAPMA di UI, Deny justru malah balik berta -nya, “SAPMA PP apa ada di UI?”. Berdasarkan penelusuran kami, SAPMA PP sempat eksis di UI dan memiliki laman website tersendiri pada kisaran tahun 2013. Namun, setelah itu, gaung dari SAPMA PP tak lagi santer terdengar meskipun ada desas-desus bahwa SAPMA PP UI mulai dirintis kembali. Sementara itu, Afani mengiyakan adanya pengkaderan PP di kampus. “Hampir semua ormas punya sayap di mahasiswa,” katanya. Ia melihat ini sebagai agenda untuk mereformasi susunan kepemimpinan serta upaya intelektualisasi internal. “Mereka tidak lagi hanya mengandalkan grassroot yang low-skill, low-educated, tapi mereka merambah ke kalangan terdidik. Biar bagaimanapun, di organisasi itu dibutuhkan untuk memimpin, untuk itulah mereka bentuk SAPMA dengan melihat keberhasilan HMI dan PMII,”. Meskipun begitu, saat image sebuah organisasi sudah dianggap buruk, walaupun organisasi tersebut telah melakukan “reformasi,” masyarakat tetap akan menganggap organisasi tersebut sebagai hal yang negatif. Pelibatan intelektual tidak dapat menjamin citra buruk dapat hilang begitu saja. Belum lagi ditambah aksi-aksi kekerasan yang dengan mudahnya dapat diabaikan dengan kata “oknum.”
23
GERBATAMA 87 // 06-2021
opini pembaca
Mahasiswa, Main Kalian Kurang Jauh Kontributor : Muhammad Husni, Ilmu Sejarah FIBUI
K
ira-kira sudah 12 purnama berlalu sejak pertama kali diumumkannya dua warga Depok, Jawa Barat terindeks positif COVID-19 (CNN Indonesia, 2020). Untuk beradaptasi dengan keadaan ini kebijakan kuncitara di beberapa wilayah, akan tetapi dampak yang hadir setelahnya mengubah bagaimana cara kita menjalani ke s e h a r i a n .
Dunia ini menjelma novel distopia. Dampak yang terjadi dari pandemi ini berlaku pada beberapa bidang yaitu ketenagakerjaan, pariwisata, psikologis, dan lainlain. Beberapa profesi diwajibkan untuk melaksanakan pekerjaannya dengan metode bekerja dari rumah (work from home), limitasi penumpang dalam kendaraan umum, serta ruang-ruang kelas dari tingkat sekolah hingga perguruan tinggi ditutup hingga waktu yang tidak ditentukan adalah sekelibat dari dampak yang terlihat dari wabah ini (Afrianto, 2020). Seperti yang penulis sempat singgung, universitas-universitas di Indonesia dihadapkan pada keadaan mau nggak mau untuk mengubah sistem pembelajarannya dari tatap muka menjadi daring. Di masa serba berkesulitan di bawah pandemi ini, himbauan dan instruksi serta regulasi dikeluarkan oleh negara. Pengambilan kebijakan ini seringkali tidak dibarengi dengan pertimbangan kondisi sosial kemasyarakatan. Permisalan yang sangat nyata daripada hal ini ialah kebijakan yang dikeluarkan pada sektor pendidikan, pengalihan perkuliahan sistem pembelajaran menuju daring yang disertai keringanan pem-
bayaran biaya pendidikan bagi mahasiswa praktiknya tidak berjalan selaras dengan hitam dan putih di atas kertas. Meminjam gaya bahasa yang dituliskan Koestler dkk. (Shore & Wright, 1997), kebijakan itu entah imbauan atau instruksi, adalah seperti the ghost in machine, sebuah kekuatan yang meniupkan kehidupan dan tujuan ke dalam mesin pemerintahan yang menghidupkan tangan yang telah mati dari suatu birokrasi. Ada satu adagium yang agaknya dapat menggelitik kewarasan kita semua saat ini, yaitu “Corona bisa menghentikan segalanya di Indonesia, kecuali rasa haus kuasa”. Hegemoni dan Resistensi Masih lekat dalam ingatan kita bahwa dalam bulan-bulan terakhir, hadir kajian-kajian dengan tujuan mendaras kebijakan pemberian keringanan biaya kuliah serta aksi-aksi yang memuncak di awal bulan Mei 2021. Sayangnya, hal-hal tersebut menjelma setiup angin yang tidak digubris dengan pantas oleh para pemegang otoritas (dalam hal ini kampus dan Pemerintah RI). Ancaman berupa Drop Out (DO) dari kampus seperti yang pernah terjadi di Universitas Nasional (CNN Indonesia, 2020) hingga suasana panoptikum yang dibangun negara melalui penangkapan massa aksi dari mahasiswa seperti yang terjadi di Aksi Hari Buruh dan Aksi Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2021 (Rosana,
GERBATAMA 87 // 06 -2021
opini pembaca
24
“Hegemoni bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, tetapi hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis.” 2021) memberi kesan secara kasat mata bahwa kampus dan pemerintah hadir sebagai golongan pemangku kepentingan yang sedang menjalankan sebuah hegemoni pada keberlangsungan dunia akademik. Hegemoni diartikan oleh Gramsci sebagai kepemimpinan budaya yang dilaksanakan oleh kelas yang berkuasa. Hegemoni bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, tetapi hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni dalam pengertian Gramsci adalah sebuah organisasi konsensus dimana ketertundukan diperoleh melalui pe nguasaan ideologi dari kelas yang menghegemoni (Simon, 2004). Semakin kuat keinginan sebuah golongan untuk menghegemoni, maka secara wajar semakin besar pula peluang terjadinya resistensi. Penulis memberi pendapat bahwasanya resistensi adalah anak kandung dari kekuasaan itu sendiri. Pada konteks keberlangsungan akademik mahasiswa, fenomena resistensi yang hadir sebelum masa pandemi berupa demonstrasi atau turun langsung ke jalan dan hal itu masih berlanjut hingga awal Bulan Mei 2021 di tengah kondisi serba kalang kabut ini. Mau Main ke Mana Kalian? “Mau main ke mana kalian?” adalah sebuah pertanyaan-ham-
pir-putus-asa yang meletup di kepala penulis ketika artikel ini dalam proses pembidanan. Serangkaian aksi pemogokan, pemboikotan, menggalang petisi daring, donasi, tidak pernah dan tidak menjadi hal yang salah. Resistensi perlu adaptasi tanpa menghilangkan metode dan cara lama, serta tidak perlu dikontraskan dengan perkembangan zaman. Walaupun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwasanya dari skema mana pun kita telah tertinggal. Bukan dari metode, melainkan dari cara kita memandang persoalan. Perbaikan abstraksi daripada “keberlangsungan akademik” agar kesan resistensi yang pasti hadir sebagai respon hegemoni terhindar daripada keterasingan, ekslusi, dan kegiatan luar kehidupan kampus perlu dilakukan. Kita harus memandang kegiatan akademik atau pendidikan lepas daripada kegiatan komersialisasi dan profit oriented. Situasi pandemi ini membuat kita memiliki keterbatasan ruang gerak dan rawan menghadirkan konflik horizontal sebelum suatu wacana perlawanan naik ke publik. Bilamana di Orde Baru kampus menjadi perpanjangan tangan negara untuk menghegemoni keberlangsungan akademik dengan kebijakan NKK/BKK. Maka, dengan runtuhnya Orde Baru tidak membuat hegemoni yang mengatakan bahwasanya tugas mahasiswa tidak lebih “duduk
manis” dan belajar masihlah hidup dan hanya berubah bentuk. Di tengah pandemi ini, mau main ke mana kalian? Apabila kalian, mahasiswa, masih memandang resistensi hanya sebatas tugas nurani yang temporal dan terbuai label agent of change maka penulis siapkan ucapan, “selamat!” dan menyilakan kalian untuk tertawa di jalan buntu hingga keputusasaan menyapa. Namun, apabila kalian mampu memandang resistensi yang dilakukan adalah tugas politis dan siap mencari tiap celah dari hegemoni dalam keberlangsungan akademik dan berkorban atasnya. Maka, organisirlah diri kalian, terjunlah ke lumpur kotor tersebut, dan percayalah bahwa keadaan utopis di mana hegemoni ini runtuh dapat dibumikan, dapat terjadi, dan bukan bualan semata sebagaimana pandemi ini hadir.
Refrensi
Afrianto, D. (2020, Juli 17). Pandemi: Dari Kesehatan, Ekonomi, hingga Politik. Retrieved Mei 17, 2021, from Kompas: https://www.kompas.id/baca/riset/2020/07/17/ pandemi-dari-kesehatan-ekonomi-hingga-politik/ CNN Indonesia. (2020, Maret 2). Kronologi 2 Warga Depok Positif Virus Corona di Indonesia. Retrieved Mei 17, 2021, from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/ nasional/20200302133830-20-479717/kronologi-2-warga-depok-positif-virus-corona-di-indonesia CNN Indonesia. (2020, Juli 10). Kronologi Sanksi DO Mahasiswa Unas Buntut Demo Biaya Kuliah. Retrieved Mei 17, 2021, from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia. com/nasional/20200710142558-20-523228/kronologi-sanksi-do-mahasiswa-unas-buntut-demo-biaya-kuliah Rosana, F. C. (2021, Mei 4). Peserta Aksi Hardiknas Ditangkap Polisi, LBH Duga Ada Pelanggaran. Retrieved Mei 17, 2021, from Tempo.co: https://metro.tempo.co/ read/1459040/peserta-aksi-hardiknas-ditangkap-polisi-lbh-duga-ada-pelanggaran Shore, C., & Wright, S. (1997). Anthropology of Policy : Critical Perspectives on Governance and Power. New York: Routledge. Simon, R. (2004). Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
23 28
GERBATAMA 87 // 06-2021
opini pembaca resensi
27 Steps of May: Sebuah Tamparan Bagi yang Menyalahkan Korban Kekerasan Seksual Teks : Radite Rahmadiana
Judul Sutradara Produser Genre Tanggal Rilis Durasi Pemain
M
ay, remaja (Raihaanun) yang masih memakai seragam sekolah, terlihat berjalan seusai bersenang-senang di pasar malam. Wajahnya menampakkan kebahagiaan yang tulus, selayaknya remaja polos yang baru saja mendapatkan permen kapas manis khas pasar malam. Tidak akan terlintas di benaknya perihal hal buruk dan kesialan yang sedang menantinya. Tidak juga tentang efek berkepanjangan dalam beberapa jam setelahnya, bahkan delapan tahun ke depan. Film 27 Steps of May mengisahkan tentang May, seorang korban pemerkosaan yang hidup dalam lingkaran traumatis dan depresif yang berkepanjangan setelah hari di mana ia mengalaminya— disiksa dan diperkosa oleh sekelompok orang tak dikenal. May menarik diri dari dari kehidupan sosialnya, tidak pernah keluar rumah dan tidak juga berbicara dengan siapapun, bahkan ayahnya sendiri. Delapan tahun setelah kejadian tersebut meninggalkan May dalam kehidupan yang repetitif seperti menyetrika pakaian yang sama, menyusun dan menghitung boneka, dan lompat tali. Andaikata ada satu hal yang melukai rutinitasnya, May panik dan berteriak histeris. Apabila berkontak fisik dengan lawan jenis, termasuk ayahnya sendiri, ia teringat akan hari traumatisnya lalu menyakiti diri sendiri dengan menyayat kulit lengannya menggunakan benda tajam. May hidup bersama ayahnya (Lukman Sardi) yang juga terjebak dalam perasaan bersalah atas apa yang menimpa putrinya. Setelah itu, di tengah-tengah kehidupannya yang monoton nan kelam, May bertemu dengan seorang pesulap yang perlahan-lahan membuat May mulai membuka diri Menggambarkan sulitnya kehidupan pasca kekerasan seksual, 27 Steps of May berhasil mengemas dengan apik sudut pandang korban dan orang-orang terdekatnya. Didominasi keheningan, film ini tetap mampu membuat penonton tenggelam dalam dalam sebuah kisah traumatis hanya melalui sorot mata
: 27 Steps of May : Ravi L. Bharwani : Ravi L. Bharwani, Rayya Makarim, Wilza Lubis : Drama : 28 November 2018 : 112 menit : Raihaanun, Lukman Sardi, Ario Bayu, Verdi Solaiman, dll.
dan gestur para pemain. Pada hakikatnya, 27 Steps of May memang berusaha menyentuh penonton dan ingin menyampaikan pesan—tentang hal-hal yang membuat seorang korban pemerkosaan bergulat dengan hidupnya sendiri, tentang orang terdekatnya yang terkena pengaruh secara psikis, dan tentang arti penting support system bagi korban atau penyintas kekerasan seksual—dalam keheningan. Para pemain memiliki porsi peran yang pas, peran May yang hening dalam gelembung traumatisnya diseimbangkan oleh peran ayahnya yang sabar, pesulap (Ario Bayu) yang dapat dibilang sebagai healer, dan pengantar barang sekaligus teman bapak May yang suportif dan menghibur. Film 27 Steps of May memang mengangkat isu yang jarang dibahas dan dipedulikan oleh masyarakat Indonesia. Kelebihan lain dalam film ini secara garis besar terletak pada plotnya yang dapat mengedukasi masyarakat tentang sulitnya bertahan hidup bagi seorang penyintas kekerasan seksual—dalam hal ini korban pemerkosaan, yang pada akhirnya memunculkan perasaan simpatik bagi para penonton. Elemen-elemen dalam film juga dikemas dengan apik. Musiknya yang terdengar sesuai dalam setiap adegan, efek visual yang pas, dan properti yang baik memang menjadi elemen-elemen yang mendukung pula kualitas baik film ini. Tak ayal jika film ini berhasil memboyong sejumlah penghargaan nasional dan internasional seperti Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam Piala Citra dan penghargaan New Hope Award dalam ajang The 3rd Malaysia Golden Global Awards (MGGA) 2019. Secara keseluruhan, 27 Steps of May memang merupakan film yang sangat baik. Meskipun begitu, dialog yang sedikit dan beberapa adegan repetitif mungkin akan membuat penonton sedikit bosan. Terdapat juga beberapa adegan yang mengganggu di film ini, seperti menyayat kulit lengan yang dilakukan May dan adegan tinju yang dilakukan peme-
ran bapak May yang mungkin tidak cocok ditonton untuk orang tertentu. Kekurangan lainnya adalah peran May remaja yang masih duduk di bangku SMP tidak diperankan oleh aktris lain, melainkan tetap diperankan oleh Raihaanun yang didandani layaknya anak SMP. Memang boleh jadi hal tersebut dikarenakan beberapa cuplikan adegan pemerkosaan turut disajikan dalam film, walau tidak secara eksplisit. Akan kurang pantas jika aktris seusia siswi SMP memerankannya. 27 Steps of May juga mungkin kurang tepat untuk ditonton penyintas kekerasan seksual yang masih dalam keadaan trauma karena mungkin akan meninggalkan trauma yang lebih mendalam. Ravi L. Bharwani, sang sutradara, memang merupakan sutradara Indonesia yang berbakat. Perlahan tapi pasti, ia menggarap sejumlah film berkualitas seperti The Rainmaker dan 27 Steps of May itu sendiri. Dalam proses pembuatan film ini Bharwani terlihat sangat passionate. Hal tersebut dapat terlihat dari usahanya melakukan riset dari artikel internet, cerita korban yang mengalami kejadian serupa, sampai berdiskusi dengan psikolog. Dalam pembuatan 27 Steps of May, salah satu inspirasinya adalah kejadian Mei 1998, di mana banyak perempuan yang diperkosa secara brutal. Lagi-lagi, ia ingin menyampaikan pesan tentang betapa sulitnya hidup pasca melalui hal semacam itu. Dapat dipahami bahwa Intensi baiknya memang akan berakhir pada sesuatu yang baik pula. Akhir kata, 27 Steps of May merupakan salah satu film Indonesia yang harus ditonton masyarakat. Film ini memang bukan film yang tepat untuk dijadikan sebagai sarana refreshing, tapi akan membuka mata penonton tentang kehidupan traumatis dan depresif dari seorang penyintas kekerasan seksual. Hal tersebut diharapkan dapat berujung pada edukasi terhadap masyarakat dan menjadikannya sebagai tamparan untuk tidak menyalahkan korban kekerasan seksual, apapun alasan di baliknya.