Suara Mahasiswa: Skenario Pentas Penatar

Page 1

Edisi 01/XXIV/Desember 2015


Mujahid, Mujtahid, Mujaddid. Mustahil?


Suara Pembaca Untuk Unisba buatlah lahan parkir di dalam kampus karena banyak anak Unsiba yang membeludak. Kendaraan mahasiswa Unisba banyak yang parkir di pinggir jalan, jadinya macet dan rawan kejahatan kalau kita sampai malam ada di kampus. Gedung Ranggamalela yang nyewa dan udah enggak layak pakai karena triplek atasnya yang sudah nge-buka jadi terkesan kumuh. Jetri Nuraeni, MIPA Matematika 2012 Banyak masalah yang saya rasa dari mulai banyak bangku yang rusak, infocus di kelas yang kadang ada kadang enggak. Terus jadwal kelas yang pindah-pindah sampai pengamanan parkiran yang kurang maksimal, soalnya banyak motor-motor yang hilang.

Fasilitas laboratorium yang kurang memadai, jadi kurang nyaman kalau lagi jadwal lab. Satu lagi, kurangnya wadah untuk menyalurkan bakat selain LKM-UKM yang ada. Farhan Fikar, Teknik Planologi 2012 Tempat yang kurang luas suka nyebabin kalau ngobrol di lorong tuh terdengar sampai ke kelas, jadi mengganggu saat kuliah. Sama-sama mengerti aja di mana tempat untuk sedikit ribut dan di mana tempat untuk tenang. Abdul Hakim, Psikologi 2011

Kalau di kamar mandi perempuan yang di Ranggagading enggak ada kaca, jadi suka bingung habis solat. Waliyunisa Darmawan, Hukum 2012 Unisba pada hari ini mengalami kemajuan dalam pembangunan infrastruktur dan fasilitas. Namun pembangunan itu tidak merata kepada semua fakultas. Padahal pembayaran uang kuliah setiap tahun meningkat. Seharusnya kenaikan uang kuliah ini dibarengi dengan pembangunan infrastruktur dan fasilitas yang seimbang dan merata. Fadli Muttaqien, Dakwah 2012

Hotmario Ritonga, Tarbiah 2013 i


Dari Redaksi

Bahtera Widyaswara Dalam sebuah badai di hamparan samudra. Walau babak belur, Pinisi itu tetap menggelar layar. Ia lah nahkoda, meneguk khamar, membayar kata tenang. Dengan satu lengan, kemudi masih ia cengkram. Badai kian rapat. Cemerlanglah ia, bawa pergi maut dari hadapan. Tak semua jiwa terbiasa dalam keadaan serupa. Puluhan tahun memeluk laut, tentu mengajarkan banyak hal. Memulai sebagai ahli mesin, sang nahkoda kini pun telah berusia. Matanya tak lagi tajam, kakinya kian gemetar. Tiada salah ia tunjuk bocah tanggung tuk gantikannya. Pendek cerita, kian mahir lah anak itu hadapi masa genting, satu dua badai ia lewati. Sejenak lupakan sang nahkoda dan muridnya. Akhir-akhir ini ada satu dagelan yang kami sering lontarkan dalam ruang redaksi; "Murid tak akan jauh dari gurunya." Walau tak sepenuhnya betul. Semisal, mereka yang diajari alam belum tentu selalu beruntung. Namun pada nyatanya, memang guru sering kali berperan dominan dalam melahirkan sebuah generasi. Bumi pertiwi dewasa ini, sulit rasanya mengurai benang kusut pendidikan. Tapi bagaimana bila arahkan sedikit pandangan kepada mereka yang menenteng gelar Widyaswara (Baca: Dosen). Mengapa tidak? Selain kita, mahasiswa, mereka-mereka ini pula yang menjadi tangan Tuhan dalam menentukan umur bangsa.

ii

Ironi, memang saat idealisme mereka tergerus picisan, namun keadaan yang memaksa. Maklum, negara ini belum benar-benar ramah terhadap banyak profesi, salah satunya pendidik. Sejatinya mereka dituntut ini-itu, tapi sayang, belum tentu pula saat pulang ke rumah, dapur mereka dipenuhi harum asap hidangan. Regulasi ini-itu pun dirasa mencekik, terutama bagi mereka yang hanya mengajar demi receh. Menjual idealisme, sering kali dilakukan, semata-mata khilaf. Khilaf akan niatan awal memutuskan menjadi pensyarah. Namun toh masih banyak yang memegang trisula. Penghujung 2015 ini kami dengan niatan tulus, mencoba merangkum kisah di balik pentas pendidikan. Panggung para penatar, mirip-mirip Puppet Show. Beda halnya bila mereka tulus, tali-temali itu pun yang nanti akan terputus. Kembali ke hamparan samudra, kini badai pun kembali. Sang nahkoda memilih tertidur di kabin. Sementara bocah tadi tengah asik memanuver kendali Pinisi, menjauh dari karang, namun hanya satu senti dari gunung es.

Selamat membaca, Muhammad R. Iskandar Pemimpin Redaksi.


Behind the Desk Pemimpin Umum Gana Kanzi H. Wakil Pemimpin Umum Indiana Primordi A. Sekretaris Umum Desyane Putri Bendahara Umum Putri N. Salma Pemimpin Redaksi Muhammad R. Iskandar Sekretaris Redaksi N. Nita Siti Nurjanah Redaktur Pelaksana Insan Fazrul R., Rangga Mahardika O. N., Redaktur Winda R. Nelly, Intan Silvia D., Muthia Meilanie P. J., Khalida Sakinah, Redaktur Foto N. Istihsan, Artisitik Agam Rachmawan Reporter Wulan Yulianti, Devi Fajriati H., M. Reza Firdaus, Amelia, M. Febi Ardiansyah, Rifka Silmia S. Pemimpin Litbang Wildan A. Nugraha Sekretaris Litbang Faza Rahim K. P. SDM Salma Nisrina F., Raisha Hillary Riset, Data dan Pengembangan Hasbi Ilman H., Firhan Adi S., Wiwin Fitriyani Rumah Tangga Maynolitta, Pemimpin Perusahaan M. Noris Thamher S. Sekretaris Perusahaan Riska N. Wijaya Promosi dan Iklan Marlina Sari, Annisa A. Ulfah Sirkulasi Firdaus M. Alhaq, Siti Rohimah, Produksi Tanesia Naufal.

iii


DAFTAR ISI

29

31

Pojok Bandung Tatap Muka

13 Laporan Utama

55

47

Sosok

61

Betapa pun, guru merupakan tuan; arah masa depan bangsa berada digenggamannya. Namun bila ‘bayi’ yang masih belum matang, dititah untuk memamerkan keahliannya di depan para ‘bayi’ lain, dan jumlah ‘bayi yang mengajar’ tersebut terbilang banyak di tanah tertinggi pendidikan, kampus, maka apa kabar pentas dan skenario yang dirancang untuk masa depan?

Laporan Khusus

Musik

57

Perjalanan

5 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

Oleh: Hasbi Ilman Hakim


kulit muka

6 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


SUARA FOTO

7 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Seorang mahasiswi tengah mengemas barang bawaanya ke dalam tas, seusai merampungkan tugas kuliahnya. Salah stau taman di Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi pilihan tempat dalam pengerjaan tugas, pada Sabtu sore (12/9). Beda halnya dengan Unisba, penyediaan taman atau setidaknya ruang terbuka publik nyaris menjadi ‘utopis’. (Amelia/SM)

8 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Catatan Media

Meminta Jawaban

Di Balik Menterengnya Unisba Teks: Gana Kanzi H. (Pemimpin Umum Pers Suara Mahasiswa Unisba 2015-2016) Foto: Agam Rachmawan

Di suatu hari saya ada kuliah jam 06.30 WIB, lazimnya seorang mahasiswa, dibutuhkan usaha yang ekstra untuk berangkat ke kampus. Singkat cerita, akhirnya sampailah jiwa dan raga ini di kampus tercinta, sekitar pukul 06.20 WIB. Setalah menanti sang dosen, hampir 30 menit lamanya, saya mendapat pemberitahuan dari Koordinator Mahasiswa (KM), bahwa ia (dosen) berhalangan hadir karena ada keperluan di luar. Tentu itu membuat saya dan hampir sebagian kawan-kawan kesal, menggerutu pasti, alasanya dosen bersangkutan memberitahukan secara mendadak. Kedongkolan di hari itu tidak berhenti di sana, kebetulan jadwal kuliah saya hanya satu saja, yaitu pada jam tersebut. Lalu kita disuruh untuk mengisi absensi saja oleh KM dan perkuliahan saya hari itu diakhiri dengan tidak mendapatkan apa-apa, alias nihil. Kembar nan serupa, hal itu pun dialami kawan saya, dari mahasiswi Fakultas Dakwah 2014. Ia berceloteh bahwa ‘kegemasan’ yang sama ihwal ‘waktu’ dan ‘dosen’ sempat dialaminya. Bedanya, Kala itu, ia ada perkuliahan pada 12.20 WIB dan dosen yang bersangkutan hadir hanya 10 menit saja, sebelum perkuliahan selesai. Dosen tersebut tetap masuk, dan tak usah menunggu lama, rampunglah kelas tersebut dengan durasi yang sangat singkat. Cerita tak jauh beda, berasal dari kawan saya yang lainnya, kali ini teman dari mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi, yang sering mendapatkan pengajaran dari asisten dosen, dibandingkan dosen ‘aslinya’. Mungkin itu adalah beberapa narasi yang mewakili suara dari banyaknya mahasiswa-mahasiswa, yang merasakan hal yang sama dengan saya dan kawan-kawan di atas.

9 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

Kalau kita berbicara meluas, pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Budaya, telah mengatur dosen sedemikian rupa dalam UU no. 14 tahun 2005. Dalam peraturan tersebut disebutkan salah satu poin, bahwa dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Andai kita tafsir secara sederhana, dosen sebagai pendidik profesional seharusnya bisa bersikap untuk lebih menghargai waktu, lebih memantau bagaimana perkembangan anak didiknya setelah diberi tugas, seperti apa daya serapnya dan memastikan bahwa ilmu yang diajarkan di kelas bisa dipraktekan oleh mahasiswa di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, sesuai Tridharma perguruan tinggi. Sekarang mari kita bercakap menyempit, mengenai Universitas Islam Bandung, yang notabene salah satu kampus swasta ternama di Bandung. Ada sebuah anekdot mengatakan; mereka yang akhirnya masuk ke perguruan tinggi swasta adalah korban patah hati saat tak lulus di perguruan tinggi negeri. Dan bukan rahasia lagi, anggapan para lulusan dari perguruan tinggi negeri lebih berkualitas dari mereka yang lulus dari perguruan tinggi swasta, dan para perusahaan-perusahaan di luar sana nyatanya lebih mendahulukan lulusan perguruan tinggi negeri dibandingkan swasta. Itulah romantika pendidikan Indonesia, terlepas dari itu semua kita yang memutuskan masuk kampus swasta, salah satunya Unisba, barang tentu menaruh harapan yang besar agar mampu bersaing dengan para lulusan dari perguruan tinggi negeri dari segi ilmu, kepribadian dan kesempatan memperoleh lapangan pekerjaan.

Dosen dosen sebagai seba profesional profesional bisa bisa bersikap bersika menghargai menghargaiwa memantau memantau perkembangan perkembangan a ya ya setelah setelah dibe d


i pendidik pendidik eharusnya seharusnya tuk untuk lebih lebih u, ktu,lebih lebih bagaimana bagaimana knak didikndidikntugas, ieri tugas,

Nah, hal fundamentalnya berada dipundak pendidik macam dosen. Namun pada realitanya, tak jarang asisten dosen lebih banyak memberikan materi di kelas dibandingkan dosen yang bersangkutan. Jika ditilik dari hal sederhana semisal sisi kehadiran, mahasiswa yang terlambat masuk kelas, bisa jadi mereka tidak akan diizinkan masuk. Namun jika dosen telat, maka bisa dipastikan kita dituntut untuk memaklumi alasan dosen itu dan kelas tetap dilangsungkan. Akan tetapi yang paling mencolok, di kampus biru ini masih ada beberapa dosen yang menenteng gelar S1. Hakikatnya, lulusan S1 itu orang yang diberi ilmu dan diberi tahu cara pakainya saja, tidak terlalu mendalam. Bagaimana mungkin, dosen tersebut mengajar mahasiswa strata satu, yang bisa dipastikan hasilnya dirasa tidak akan maksimal. Bisa dari lulusan yang tidak matang, atau pun ilmu yang terserap tak seberapa. Regulasi sendiri mengharuskan dosen itu bergelar S2 bahkan seharusnya S3. Alasanya, karena dosen tersebut tentu sudah bisa melakukan penelitian sendiri, dan akan membahasakan ilmu dalam mengajar semantap mungkin. Bagaimana jadinya apabila dosen yang mendidik tetapi materi yang disampaikan tidak terpatri dalam diri peserta didiknya. Mahasiswa mungkin hanya menjalankan

rutinitas membosankan, sebatas datang ke kelas, mendengarkan paparan materi yang dia sendiri tak tahu. Dan mahasiswa akan senang saat datang ke kampus hanya sebatas tanda tangan absen dikarenakan dosen yang tidak hadir dengan dalih bermacam rupa. Yakinkah lulusannya akan menjadi lulusan yang cerdas? Apakah yakin lulusannya bukanlah sarjana prematur saja? Jadi apa inti dari tulisan ini? Barangkali siapa pun yang memutuskan untuk melanjutkan studi hingga ke jenjang perguruan tinggi berarti mengharapkan mendapat ilmu yang mendalam dan terkonsentrasi, dari pengajar yang berkompeten. Aktor-aktor dalam pentas penyaluran ilmu tersebut haruslah seseorang yang bisa memberikan efek perubahan kepada peserta didiknya, mendisiplinkan dan memastikan bahwa ilmu itu telah sangat dimengerti dan kemudian bisa diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini memiliki benang merah dari pandangan sinis masyarakat luas, yang sering menganggap bahwa lulusan perguruan tinggi swasta itu grade-nya berada di bawah lulusan perguruan tinggi negeri. Unisba selaku tempat pendidikan, diharapkan mampu menjawab pandangan masyarakat dan ekspetasi mahasiswa yang memutuskan untuk masuk ke dalamnya.

10 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


SUARA FOTO

11 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Mahasiswa Fakultas Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) sedang melakukan pratikum di samping lapangan basket ITB pada Selasa (30/9). (M. Febi/SM)

12 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


LAPORAN UTAMA

Menguliti ‘Huru-Hara’ Dosen di Indonesia

LAPORAN UTAMA Kru liput: Wulan Yulianti Devi Fajriati H. M. Reza Firdaus

Penulis: Insan Fazrul R. Intan Silvia D. Muhammad R. Iskandar

Ditandai rinai hujan pada satu Sabtu di bulan November (7/11), cuaca dingin dan sedikit lembab di kampus dua Unisba Ciburial, menjadi saksi obrolan saya dengan Prodita Sabarini, editor dari ‘The Conversation’, mengenai pergelutan dosen di Indonesia. Disadari atau tidak, berbicara mengenai dosen memang bukan hanya tentang mengajar saja, sumbangsih pada masyarakat luas pun menjadi tugas wajib seorang penatar, ya, bernas dalam bahasa ‘pengabdian pada masyarakat’. Juga ‘keintelektualitasan’ seorang pendidik menjadi parameter lain. Ini bisa terefleksikan dari masifnya dosen mengudarakan buah pikirnya.

13 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Persoalan mulai terangkat dari awal permbicaraan saya dengan Prodita. Menurutnya, jumlah peneluran Jurnal Ilmiah dari dosen asal Indonesia masih kalah saing dengan negara serumpun, yaitu Malaysia. Prodita mengeluhkan, jika ditarik lebih jauh, permasalahan ini bermuara pada anggaran. Indonesia memang cukup pelit dalam memberikan dana segar untuk penelitian. Bagaimana tidak? APBN di tahun 2014 hanya menggelontorkan 0,9 persen uang untuk penelitian.

Foto: N. Ihtisan

Mari kita seret pembahasan ke arah yang lebih general. Instrumen-instrumen apa saja yang dibutuhkan dosen agar khazanah keilmuan mahasiswanya tergenapkan, tertunaikan sebagai agent of change? Ditemui disela-sela kesibukannya, Abid Hakim Halim Koordinator Kopertis Wilayah IV Jawa Barat-Banten, mencoba menginterpretasikannya, bagaimana seorang dosen seyogyanya bekerja. “Dosen itu adalah orang yang melakukan transformasi ilmu kepada mahasiswa, agar mereka mengerti apa yang

sebelumnya tidak dimengerti. Mengembangkan ilmu menjadi lebih hebat, lebih canggih, dan meng-cover banyak orang,” ujar pria berjanggut ini. Selanjutnya, Suara Mahasiswa meluncur ke Universitas Pendidikan Indonesia, tujuannya untuk menemui salah seorang dosen, Effy Mulyasari. Sesampainya, ia menyambut, obrolan cair mengenai dunia dosen menjadi topik esensial. Ia menuturkan, tidak menenteng gelar S1 menjadi salah satu elemen yang dirasa penting. Tak hanya itu, sistem pengajaran yang diberikan pada mahasiswa harus pula diperhatikan. Ia pun menambahkan lagi, untuk penelitian, seorang dosen harus konsen pada bidang yang dikuasai, tanpa menutup kemungkinan berkolaborasi dengan ilmu lainnya. Keilmuan yang melangit dan penelitian yang mentereng, akan terasa percuma jika hanya tertahan di ‘ubun-ubun’. Implementasi harus menjadi buah manis yang dihasilkan pengajar macam dosen. “Kemudian yang terakhir, seorang dosen yang profesional itu harus penuh implementasi, artinya ada pelaksanaan dan penerapan,” ungkap Effy lagi, dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) ini.

“Dosen itu adalah orang yang melakukan transformasi ilmu kepada mahasiswa, agar mereka mengerti apa yang sebelumnya tidak dimengerti.”

Bagaimana dengan negara? Sebenarnya fungsi dosen oleh pemerintah memang sudah dibahasakan dalam domain ‘beban kerja dosen’, berdasarkan ketentuan pasal 72 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Berbunyi, Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat. Selanjutnya, penjabaran lebih dalam bisa dibaca di Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 49 tahun 2014, pasal 27. Banyaknya statuta tersebut memaksa dosen mempunyai kewajiban yang tidak sedikit, tentu ini menjadi premis yang menyebabkan konklusi tidak mengenakkan. Salah satunya jumlah penelitian—sudah disinggung dari awal oleh Prodita, Bumi Pertiwi—yang kalah saing dari Negeri Jiran. ”Beban kerja mereka besar, mereka harus mengajar banyak, sedangkan waktu penelitian sedikit. Ditambah biaya untuk penelitian untuk mereka sangat kecil,” ucap wanita eks wartawan Jakarta Post ini.

14 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


LAPORAN UTAMA

Beban kerja berbobot lebih ini ikut dikomentari Vevi Hermawan, dosen Universitas Pasundan Bandung. Diwawancarai setelah mengajar, ia terlihat akrab dengan mahasiswanya. Dengan pembawaan yang cenderung slengean ia menguraikan, kurikulumlah yang sebenarnya bejibun, untuk materi kelas sendiri sudah cukup. Namun, kurikulum yang diintegralkan dalam rasio jumlah dosen dan mahasiswa yang menjadikan ‘pengabdianya’ berat. Ini terbukti saat ia sedang mengajar. Ketika jumlah mahasiswa melebihi kapasitas, ia merasa terganggu. “Misalnya kapasitas mahasiswa yang seharusnya ideal dalam satu kelas itu 30-40 orang. Jika kapasitas mahasiswa tidak ideal, suara dosen dalam kelas pun terkadang ikut tidak terkontrol, karena banyaknya jumlah mahasiswa,” ungkap dosen yang mengajar di Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan ini. Permasalahan lain yang tak kalah krusial pun terbeliak, mengenai rasio jumlah dosen dengan mahasiswa, percis yang dikeluhkan Vevi. Kondisi ini dikarenakan ada peraturan ter-anyar dari Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, yang mengharuskan nisbah dosen/mahasiswa adalah 1:25 secara umum, dan diperbaharui pada tahun 2010 menjadi, IPA 1:30 dan IPS 1:45. ‘Prahara’ terus berjalan, disebabkan aturan main terkait rasio ingin ditegakkan, juga karena menunggal dengan sanksinya. Terkutip dari laman online kompas[dot]com, tertanggal 5 Oktober 2015, Menristek Muhammad Nasir mengungkapkan, akan ada pengawasan ketat untuk polemik ini. "Semua perguruan tinggi kami monitoring dengan ketat. Saya melihat masih ada perguruan tinggi yang memiliki rasio dosen dan mahasiswa lebih dari satu banding 100, bahkan ada yang satu banding 750," ujarnya. Hasilnya? Dari data yang dihimpun dari situs resmi Dikti pada 12 Desember 2015, mereka menonaktifkan setidaknya 178 perguruan tinggi dari berbagai jenjang, seperti akademi, sekolah tinggi, institut

”Beban kerja mereka besar, mereka harus mengajar banyak, sedangkan waktu penelitian sedikit. Ditambah biaya untuk penelitian untuk mereka sangat kecil,”

15 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Pinalti pada dosen yang melakukan plagiat akan ‘dialgojoi’ oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, namun sepenuhnya dikembalikan kepada perguruan tinggi. Khusus untuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Abdul Hakim Halim mengaku, Kopertis akan ikut memanggil PTS jika memang ada dan ketahuan melakukan pelanggaran. “Adanya kasus plagiat juga karena kelalaian pemeriksaan berkas-berkas pada perguruan tinggi. Tentu saja, hal itu akan diberi hukuman oleh Kopertis. Sanksinya tidak boleh menaikkan jabatan selama paling sedikit satu tahun,” lanjut Abdul. Tindakan kurang terpuji ini secara sadar sebenarnya harus dijauhi oleh pendidik seperti dosen. Menurut Abdul Hakim Halim, kejujuran menjadi contoh laku yang semestinya ditransmisikan, tidak hanya kepada dosen tapi juga mahasiswa. Karena plagiat adalah sebuah aib di dunia pendidikan.

“Nisbah dosen/mahasiswa adalah 1:25 secara umum, dan diperbaharui pada tahun 2010 menjadi, IPA 1:30 dan IPS 1:45”

“Plagiat itu tindakan yang paling jelek dalam istilah dosen, karena itu telah mengakui tulisan atau karya yang bukan miliknya. Hal ini sudah tidak lagi mencerminkan seorang pendidik, karena jujur adalah landasannya. Bagi kalangan akademisi, plagiat itu adalah perbuatan jelek bahkan keji. Hingga seandainya jika terbukti ketahuan, akan diberi sanksi berat,” ujar Abdul, lagi. Foto: Amelia

sampai universitas. Musababnya, didasari atas jumlah rasio antara dosen dan mahasiswa, pemalsuan ijazah, hingga standar pembelajaran yang tidak sesuai. Nestapa seakan enggan meninggalkan dunia pendidikan tinggi Indonesia. Jauh sebelum permasalahan pemalsuan ijazah, pemalsuan lainnya sudah merebak ke permukaan. Sejumlah dosen diduga asal mencatut karya orang lain. Salah satu dosen di universitas ternama Indonesia berinisial AA, melakukan pencomotan tulisan yang bukan miliknya. Sebagai konsekuensi, ia mengundurkan diri dengan alasan untuk menjaga kualitas universitas bersangkutan.

Mari lihat sisi lainnya. Masa depan baik mengenai geliat pendidikan tinggi di pandang Prodita sudah mulai menyeringai. Ini terungkap dari ucapannya, yang membentangkan harapan optimis mengenai kualitas dosen di Indonesia. Ia menceritakan bahwa sebenarnya banyak pengajar yang memiliki gairah dalam melakukan penelitian, serta bertujuan memberikan sumbangsih nyata bagi tanah air. “Saya sudah banyak ketemu Ilmuwan muda Indonesia, yang punya banyak ide dan mereka sangat passion dengan ilmu pengetahuan. Jadi mereka benar-benar ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah ditanyakan oleh orang,” ungkapnya. ***

16 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


LAPORAN UTAMA

Menyibak Realitas Semu Pilar Pendidikan 17 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Ramah, itulah kesan pertama nan diberikan pria yang menjabat Ketua Prodi Komunikasi Penyiaran Islam itu. Sedikit lebih sibuk dari dosen lainnya, Komar mengaku sedang memimpin sebuah pesantren, Firdaus 259 namanya. Lembaga pendidikan agama itu merupakan titipan dari organisasi Persatuan Islam. Harus membagi waktu antara Unisba dan pesantrennya mungkin tidak mudah. Kata Komar hal ini melelahkan, tetapi karena dilandasi pengabdian untuk agama juga Tuhan, semua ini memotivasi dirinya. Akibat pengelolaan yang tidak sesuai harapan, dalih Komar, ia berniat membangkitkannya kembali. Terhitung baru tiga tahun Komar mengelola langsung. Ihwal masalah membagi bola, ia menjelaskan, “Ya selesai bertugas di Unisba, saya langsung ke pesantren. Kalau enggak malamnya saya ngasih mata kuliah tambahan, pas libur juga selalu mengusahakan ke pesantren. Meski lelah, tapi kata kuncinya keikhlasan, kesabaran, dan keterbukaan hati,” ujar pria yang mengenakan batu di jemarinya ini. Di tengah-tengah obrolan, Komar mengaku akan membesut program baru di Pesantren Firdaus 259, yakni pesantren wisata, pada pertengahan 2016 mendatang. Memadukan tiga hari tiga malam mempelajari agama dan empat hari sisanya berwisata di kawasan Situ Cileunca, di mana pesantren itu berdiri. Nantinya tempat itu akan dihuni khusus, bagi mereka yang tidak memiliki waktu banyak mempelajari agama. Singkat yang dilakukan Komarudin ini merupakan salah satu bentuk dari pengabdian kepada masyarakat. Serupa dengan Komar, masih di Unisba, ada dosen yang sudah banyak mengeluarkan karya-karya lewat penelitian, seperti yang dilakukan Ihsana Sabriani Borualogo. Pendek cerita, dosen psikologi ini pernah menghasilkan dua paper dalam ajang International Congress of Applied Psychology ke-28 di Paris, Prancis. Cerita Ihsana, lebih lanjut akan dibahas di rubrik Tatap Muka. Foto: NET

Komarudin Shaleh, ialah pria yang tim Suara Mahasiswa tunggu selama dua jam, sampai akhirnya kami berbincang-bincang dalam ruang Wakil Dekan Fakultas Dakwah. Bukan, pembicaraan ini bukan perihal betul membetulkan nilai PAI, mengingat sang Dosen turut mengajar Pendidikan Agama Islam di sejumlah fakultas seperti, Fikom, MIPA, dan Ekonomi. Kami akan sedikit berbicara tentang hal yang lain.

Baik Komar maupun Ihsana, keduanya sama-sama telah melaksanakan lebih dari satu poin dalam tiga pilar perguruan tinggi, atau disebut Tridharma. Lalu apa itu Tridharma? Seberapa pentingkah hal itu? Kata Tridharma diambil dari bahasa sansekerta. “Tri” berarti tiga sedangkan “Dharma” yang artinya kewajiban. Jika dijabarkan, Tridharma adalah suatu asas yang dipegang oleh setiap civitas perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di Indonesia. Tim Suara Mahasiswa berkesempatan untuk mewawancarai Abdul Hakim Halim, Koordinator Kopertis Wilayah IV Jawa Barat-Banten. Menurutnya, Tridharma itu pendidikan atau pengajaran kepada mahasiswa melalui

18 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


LAPORAN UTAMA

proses kuliah, praktikum, tugas, ujian, yang outputnya adalah kualitas lulusan. Ada juga penelitian yang harus dilakukan oleh mahasiswa dan dosen. Selanjutnya pengabdian kepada masyarakat, bagaimana kita menerapkan ilmu di dalam konteks kemasyarakatan. “Dosen itu wajib melakukan penelitian dan pengabdian, tidak boleh hanya sekedar mengajar. Jika hanya mengajar, dia belum menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi. Ia bisa disebut ‘1/3 dosen’, jadi belum seutuhnya,” papar Abdul saat ditemui di ruangannya. Serupa tapi tak sama, Effy Mulyasari, sebagai dosen tetap Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Ia menguraikan, Tridharma di matanya merupakan suatu kewajiban yang harus dimiliki setiap dosen. Seseorang bisa dikatakan pengajar yang baik ketika ia bisa memenuhi Tridharma itu. Dosen Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Departemen Pedagogi, Fakultas Ilmu Pendidikan ini mengaku sudah menjalankannya. Effy menceritakan kepada kami, bahwa ia mampu memberikan fasilitas kepada mahasiswa untuk mendapatkan pemahaman terkait materi yang ia berikan. Sebagai dosen, Effy pernah terjun langsung ke lapangan untuk penelitian, sehingga mendapat banyak pengalaman sekaligus pengembangan ilmu. Ia menambahkan pengabdian kepada masyarakat tak kalah penting dibanding penelitian dan pengajaran. Lewat pengabdian, ilmu yang sudah didapat bisa terus berkembang dengan diskusi dan lain sebagainya. Abdul kembali bercerita bahwa Kopertis memantau dosen serta perguruan tingginya. Jadi, kalau dosen melakukan pelanggaran, ia akan memanggil perguruan tinggi tersebut. Hal ini karena Kopertis memiliki tiga fungsi; pengawasan, pengendalian, dan pembinaan. Dengan ini diharapkan perguruan tinggi bisa lebih baik kedepannya. Ia melanjutkan bahwa dosen harus bisa membuat masyarakat merasakan kehadiran orang tersebut dari pemanfaatan ilmu yang ia berikan. “Kalau dosen melakukan Tridharma dia pasti bisa mengajar dengan baik, tapi kalau dia hanya sekedar ‘mengajar’, sampai sepuluh tahun juga akan gitu-gitu aja,” jawabnya.

19 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

Mesjid Pasantren Firdaus 259 Pangalengan/NET.

Mengenai Tridharma, Prodita Sabarini sang Editor theconversation[dot]com ikut memberikan komentar. Peran dosen itu memang terangkum dalam Tridharma, celoteh Prodita, di mana dosen harus mampu mentransfer ilmu pengetahuan. Mereka (Baca: Dosen) mendukung dan mengembangkan bakat serta kemampuan berpikir kritis lewat diskusi. Selain itu, mereka pun melakukan penelitian untuk mencari jawaban dari berbagai pertanyaan. Dara manis itu juga mengatakan, jika dosen telah ikut sumbangsih menulis di media, berarti mereka telah melakukan Tridharma Perguruan Tinggi. Hal ini dikarenakan dosen mengkomunikasikan ilmu pengetahuan yang dimiliki secara jelas dan relevan ke masyarakat. “Kegiatan itu memungkinkan masyarakat untuk mengakses pengetahuan yang ia belum tahu dan manfaatnya. Ini bagian dari upaya menciptakan masyarakat yang cerdas dan kritis. Karena masyarakat yang cerdas dan kritis adalah dasar dari masyarakat madani yang demokratis,” ujar Prodita lewat percakapan maya. Sebagai penutup obrolan, Komar memiliki harapan kedepannya selaku dosen. Menurut pria yang mengajar di Fakultas Dakwah sejak 1993 itu, seharusnya Unisba memiliki pesantren, layaknya Unpas memiliki sekolahan dengan nama Pasundan. Hal ini tidak lain agar unsur Islamnya tak tergerus oleh fakultas non-dirasah, juga sebagai bentuk pengabdian.

“Dosen itu wajib melakukan penelitian dan pengabdian, tidak boleh hanya sekedar mengajar. Jika hanya mengajar, ia bisa disebut ‘1/3 dosen’"


Kampus Biru

Hadapi Paceklik Pensyarah Nyatanya air hujan tak pernah terasa manis bila dipeluk hamparan laut, lain hal bila ia memilih tanah ladang jadi tempatnya merebah. Â Namun tetap pada akhirnya, laksana pencarian sungai nan tiada berhulu.

Foto: N. Istihsan

Dua ribu lima belas sudah di ujung. Bukan hanya akan bertambah satu nominal bagi peradaban modren, teruntuk jajaran akademisi, ada satu tuntutan yang harus dilunasi. Setidaknya Undang-undang No. 14 Tahun 2005 sudah menunggu pengujian taring. Dosen diminta penuhi kualifikasi akademik, kopetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani bahkan rohani. Permintaan ini terangkum apik dalam pasal 45 dari Undang-undang Tentang Guru dan Dosen.

20 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


LAPORAN UTAMA

S3 S1

2.801

Jiwa

S2

Tanpa Jenjang

D4 D3

Selanjutnya ayat 2 dalam pasal 46 yang menjelaskan kualifikasi termaksud; “Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum a. lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan b. lulusan program doktor untuk program pasca sarjana.” Atau bagi yang alergi diksi-diksi meja hijau, mari kita sederhanakan dengan berbahasa kekinian; Dosen harus lulusan S2 dulu, baru ngajar S1 atau Diploma. Nah buat ngajar S2, tuh dosen harus beres dulu S3-nya. Dari semua petikan hukum di atas, UU ini pun merangkum batas akhir pelunasan tuntutan. Adalah pasal 80, ayat 1, butir b yang mengatakan bahwa tenaga pengajar (dalam hal ini dosen) masih bisa bernafas lega selama 10 tahun dari diberlakukannya peraturan. Bila dihitung dari 2005, sepuluh tahun yang dimaksud adalah, akhir 2015. “Dosen S1 tidak boleh mengajar sama sekali (selepas 31 Desember), perguruan tinggi swasta terkait bisa mendapatkan sanksi Kopertis, rektor akan diberi peringatan. Kalau sudah membereskan S2, baru boleh mengeajar lagi,” jelas Abdul Hakim Halim sang kepala Kopertis Wilayah IV.

21 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

113

Jiwa

Sp-1 Sp-2

Profesi

“Dosen S1 tidak boleh mengajar sama sekali (selepas 31 Desember), Kalau sudah membereskan S2, baru boleh mengeajar lagi,” Ada pun agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN yang jadi alasan menurut Abdul. Ia menganggap kedepannya kian berat untuk bersaing, bila tenaga pengajar masih seperti ini. “Dosen musti menyiapkan SDM untuk mampu bersaing. Pemerintah telah mengatur lewat Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jika sudah menunaikan, kita patut bertenang diri,” terangnya. Untuk Wilayah Jawa Barat –setidaknya sampai 7 Desember lalu- masih ada 5.846 tenaga pengajar yang berstrata sarjana satu. Data besutan situs forlap.dikti.go.id ini, terdiri dari 369 orang di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri, 4.929 jiwa di bawah asuhan Kopertis Wilayah IV, dan sisanya tersebar di beberapa perguruan tinggi asuhan kementrian tertentu.


What They Say Agung Dwi Priyanto Fikom 2013

Setiap perjalanan pasti ada sanksi, dipertegas lagi. Jangan aturan yang hanya berupa tulisan atau lisan aja.

4.404 Jiwa 16.347 Jiwa 5.846 Jiwa 443 Jiwa 77 Jiwa 169 Jiwa 50 Jiwa

INFOGRAFIS

Grafik Jenjang Pendidikan Dosen di Wilayah Jawa Barat, Data berdasarkan situs Forlap.Dikti.go.id per tanggal 7 Desember 2015.

Unisba punya roman tersendiri ihwal regulasi tadi, pasalnya 42 dosen di kampus biru, masih belum sempat mengenakan toga untuk kedua kalinya. Tersebar di lima fakultas, adalah Kedokteran sebagai ranah terbuncit mempekerjakan tenaga pengajar bertitel S1. Sebanyak 29 orang dosen fakultas terbungsu, masih sekali mengenakan toga, dan 22 orang diantaranya sedang mengambil program pasca sarjana. Yudi Feriandi misalnya, ditodong wawancara di sela waktu mengajar, ia mengaku ketika awal menjadi dosen, Unisba belum mengindahkan peraturan tersebut. “Baru tahun kemarin saja kampus tidak menerima dosen (berstrata) S1,” terang pria yang kini sedang mengambil magister bidang Manajemen dan Rumah Sakit. Dosen Fakultas Kedokteran itu manusia setengah dewa, ungkap Yudi, selain mewujudkan nilai Tridharma, terdapat sisi pengorbanan. Karena suatu hal yang memang jarang, seorang dokter rela turun mengajar di ruang perkuliahan. “Saya sendiri memilih menjadi dosen karena wujud dedikasi.”

Ada pun nama-nama lain, Arifin Syatibi, ialah dosen bertitel License (Lc) –Setara S1 dalam jenjang pendidikan Indonesia- dibelakang namanya. Sudah 31 tahun Arifin mengajar Hadis di Fakultas Dakwah, pula Bahasa Arab untuk Fakultas MIPA. Mata Kuliah Hadis lah yang diakui banyak rekannya menjadi alasan mengapa Fakultas Dakwah masih mempertahankan Arifin. “Karena mencari dosen yang ahli dibidang itu (Baca: Hadis) sulit. Kalau ditinjau dari UU tersebut memang tidak boleh, namun jika dilihat dari sisi keahliannya, beliau diperlukan,” jelas Parihat Kamil. Namun untuk hal ini sang syarah tidak ambil pusing, “Untuk Undang-undang tersebut, saya kembalikan lagi pada kebijakan Unisba,” tanggap Arifin. Di sisi lain kampus biru punya alasan tersendiri untuk merekrut para sarjana menjadi tenaga pengajar. Ialah Hikmat Taufik yang mengemukakan akar permasalahan. “Karena beberapa fakultas masih kekurangan dan membutukan dosen. Seperti Fakultas Teknik yang kemarin sempat menarik dosen S1, tapi hanya akan menjadi laboran saja. Selain itu Fakultas Ekonomi dan Bisnis pun sempat menarik dosen berstrata S1 karena sudah tidak berimbangnya rasio pengajar dan mahasiswa,” tutur Kepala Seksi Pengadaan dan Pengembangan Bagian Kepegawaian Unisba Ini. Menanggulangi masalah ini, Unisba rela merogok kisaran dua miliar pertahun –Setidaknya ucap Yan Bachtiar, Kabag Akademik- untuk menyekolahkan kembali tenaga pengajarnya, demi memiliki Nomor Induk Dosen Nasional. Namun ketika mengkonfirmasi kepastian angka, Henny Noor’aeni menegaskan. “Saya sudah konfirmasi ke Warek II. Beliau tidak mengizinkan Bagian Keuangan untuk mem-publish angkanya,” kilah sang Kabag Keuangan saat dikonfirmasi. Tak hanya keran anggaran Unisba yang dikucurkan atasi paceklik. Sejumlah dosen pun turut disokong beasiswa tingkat nasional seperti; Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS), Health Professional Education Quality (HPEQ), bahkan taraf internasional seperti; Bank Negara Malaysia, hingga The Australian Development Scholarship. Sejatinya sebagai asuhan Kopertis Wilayah IV, Unisba haruslah manggut ketentuan, namun kontradiksi terucap di bibir Nan Rahminawari. Sebagai Kepala Bagian Penjamin Mutu, ia menargetkan 2017 nanti kampus ini terbebas dari tenaga pengajar bertitel S1. Namun setelah di klarifikasi ihwal regulasi di atas, ia siap sedia menurutinya. Kini, Nan bersama stafnya tengah disibukan mengatur ulang formasi ketenagakerjaan. “Jadi kalau untuk dosen S1 yang masih menjabat kita akan turunkan menjadi staf. Karena ini suatu keharusan, maka kita akan mengikuti peraturannya.” Sikap Nan ketika di klarifikasi terkait ketentuan tersebut.

22 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


LAPORAN UTAMA

TEKNIK TEKNIK 0 orang diantaranya tengah 0 orang diantaranya tengah

29 KEK 29 S1 S1

melanjutkan program pasca melanjutkan program pasca sarjana. sarjana.

22 te gr

22 S1 S1 22 S1 S1

FIKOM FIKOM

Keduanya tengah mel Keduanya tengah melanjutkan program pasc jutkan program pasca sarjana. sarjana.

What They Say Agung Dwi Priyanto Fikom 2013

Harusnya memang S2, karena itu juga akan berpengaruh terhadap wawasannya sendiri. Agar kinerja pun baik. Sekiranya gak mampu, bantu sama yayasan.

23 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


99 S1 S1

11 S1 S1 EDOKTERAN DOKTERAN

2 orang diantaranya rang diantaranya engah melanjutkan proah melanjutkan proram pasca sarjana. pasca sarjana.

-

MIPA MIPA 2 orang diantaranya 2 orang diantaranya

tengah melanjutkan protengah melanjutkan program pasca sarjana. gram pasca sarjana.

DAKWAH DAKWAH

0 orang diantaranya 0 orang diantaranya tengah melanjutkan protengah melanjutkan program pasca sarjana. gram pasca sarjana.

INFOGRAFIS

Penyebaran dosen bertitel S1 di Universitas Islam Bandung, dan Dosen yang tengah melanjutkan program pasca sarjana. Data diperoleh dari Bagian Kepegawaian Unisba.

24 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Jendela Hati

Oleh: Moch. Muhram Fauzi (mahasiswa Fakultas Syariah 2012)

APAKAH KEWAJIBAN DOSEN HANYA MENGAJAR?

Foto: Dokumentasi Pribadi

25 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

Mahasiswa adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dan mempunyai identitas diri. Hal tersebut terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dinamis, insan sosial dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarkatan dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Allah maupun sebagai warga bangsa dan Negara. Dari penjelasan di atas secara ekplisit dikatakan, seorang mahasiswa sudah sepatutnya mempraktikan nilai-nilai keislaman di setiap kehidupan sehari-hari. Terlihat dari kampus yang berlabelkan Islam. Yang dimaksud dengan kampus Islami adalah yang menerapkan nilai ke-Islaman, baik dari segi pendidikan, perilaku insan kampus maupun lingkungan kampus. Hal ini tercermin dari paradigma dan perilaku manusia kampus itu sendiri dalam kehidupan kesehariannya. Di samping itu, Unisba yang memiliki misi yaitu menghasilkan lulusan yang berpotensi menjadi Mujahid (Pejuang), Mujtahid (Pemikir) dan Mujaddid (Pembaharu). Kita patut bangga dengan Perguruan Tinggi yang berlabelkan Islam ini dan semakin banyaknya pengembangan yang dilakukan oleh pihak kampus. Baik itu dari segi pelayanan, akademik ataupun kuantitas mahasiswa. Namun yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah kita sudah merasa cukup dengan pengembangan kuantitas kampus yang semakin banyak, tanpa diimbangi dengan kualitas atau nilai-nilai ke-Islaman? Apakah indikator kemajuan Unisba dilihat dari ramainya mahasiswa, baiknya pelayanan, fasilitas yang lengkap, banyaknya mahasiswa berprestasi dari segi akademik ataupun non-akademik tanpa ada indikator moral


Apakah kewajiban dosen hanya mengajar?

yang baik? Tulisan ini hanya mengkritisi kondisi kampus yang memakai label Islam. Sangat ironis, pemandangan yang tidak Islami, mulai dari pakaian, penampilan, pergaulan, kebersihan, sepinya masjid pada saat melakukan salat dan kurangnya pengamalan ilmu ke-Islaman. Seakan tidak percaya bahwa ini ‘Kampus Islam’, terlebih hampir seluruh mahasiswa dan dosennya beragama Islam. Potret kampus yang berlabelkan Islam ini tidak sesuai dengan yang seharusnya, tak jarang kita melihat mahasiswa yang mengaku dirinya muslim tapi dalam berpakaian tidak sesuai dengan syariat. Di persimpangan jalan, kantin, tempat parkir atau taman menjadi tempat berpacaran dan khalwat. Inilah kondisi yang kita alami di kampus yang berlabelkan Islam. Rasanya menjadi sebuah khayalan kampus ini melahirkan mahasiswa yang Mujahid, Mujtahid atau pun Mujaddid. Justru sebaliknya mahasiswa yang menuntut ilmu di perguruan tinggi Islam ini menjadi pelanggar aturan-aturan agama Islam. Oleh sebab itu, salah satu yang berperan penting dalam pembentukan pola pikir atau tingkah laku mahasiswa adalah dosen dan lingkungan. Memang, semuanya akan tergantung pada masing-masing individu mahasiswa. Akan tetapi, peran dosenlah yang sangat penting untuk memberikan sumbangsih mereka dalam mengembangkan jiwa ke-Islaman yang kaffah. Setidaknya, di samping kewajiban sebagai pengajar, ada sebuah ladang amal untuk membangun jiwa ke-Islaman di setiap diri mahasiswa. Saya pikir dosen adalah sebuah cerminan mahasiswa. Ketika dosen melakukan hal yang salah atau bertolak belakang dengan apa yang dilakukan mahasiswa yang mereka anggap benar. Contoh sederhana yaitu telat masuk kuliah atau memindahkan kuliah tanpa melihat kondisi mahasiswa yang harus mengikuti mata kuliah yang lainnya. Kemudian jika mahasiswa melakukan hal demikian, maka hal tersebut akan dianggap biasa dan bukan suatu kesalahan yang sangat merugikan. Kita tidak bisa menyalahkan kondisi mahasiswa ketika mereka melakukan suatu kesalahan yang dilarang oleh agama Islam. Dikarenakan selain peran dosen, lingkungan kampus sangat berpengaruh dalam pembentukan perilaku mahasiswa. Seharusnya pihak kampus melakukan kegiatan ke-Islaman yang sangat intens. Khusus untuk mahasiswa secara menyeluruh agar membuat suatu lingkungan yang sangat Islami. Dalam hadits pun seorang muslim wajib menuntut ilmu dari

mulai ia lahir sampai ia meninggal. Dan ketika jiwa keruhanian dalam diri mahasiswa tidak di isi dengan nilai-nilai ke-Islaman. Maka jiwa mereka akan sangat kering dan akan terbentuk karakter yang jauh dari Allah SWT. Maka hal yang sangat memungkinkan untuk merubah perilaku mahasiswa itu ketika mereka ada dalam kelas. Di sana peran seluruh dosen sangat dibutuhkan, untuk memberikan nilai–nilai ke-Islaman disetiap waktu luang dari pelajaran. Tidak hanya itu, pihak kampus harus memberikan arahan kepada setiap civitas akademika Unisba untuk berperilaku yang Islami. Ketika suatu lingkungan Islami terbentuk, maka secara otomatis mahasiswa akan mengikuti perbuatan yang dilakukan oleh lingkungan tersebut. Dan kita sangat mendambakan kampus Unisba ini menjadi kampus yang sangat Islami. Mengingat label islam yang dicantumkan kepada kampus kita ini. Kita bisa melihat kampus di luar negeri yang menerapkan nilai ke-Islaman. Contohnya Universitas Islam Madinah yang mana pihak kampus mewajibkan mahasiswa dan seluruh civitas akademiknya untuk memberhentikan aktifitas–aktifitas pada saat adzan berkumandang dan mewajibkan untuk shalat secara berjamaah. Akhlaq dosen yang mulia menjadi contoh mahasiswanya. Janganlah menganggap, barometer kehidupan beragama Islam di lingkungan kampus ini hanya dilihat dari jumlah tempat ibadah, jumlah orang yang pergi ke tempat ibadah tersebut ataupun kegiatan keagamaan yang lainya. Tanpa melihat aspek pembinaan kepada mahasiswa supaya menjadi mahasiswa yang berakhlaq mulia.

“Setidaknya, di samping kewajiban sebagai pengajar, ada sebuah ladang amal untuk membangun jiwa ke-Islaman di setiap diri mahasiswa.”

Univeritas Islam Bandung harus memantaskan diri sesuai dengan tujuan para pendiri dan visi misi nya sendiri. Pihak kampus harus membuat sebuah aturan yang sangat diwajibkan untuk civitas akademika dalam menerapkan nilai–nilai ke-Islaman. Memang suatu perbuahan tidak bisa secara langsung akan berubah. Akan tetapi, sebuah pergerakan yang sangat intens dan progresif mengenai penerapan nilai ke-Islaman ini harus dilakukan baik itu dari kalangan mahasiswa atau elemen-elemen kampus yang lainnya. Semoga dengan tulisan ini kita selalu ingin menerapkan nilai-nilai ke-Islaman dalam kampus tercinta kita. Bagi mahasiswa yang cinta kebenaran dan lingkungan Islam. Yakinkan dengan Iman, Usahakan dengan Ilmu, Sampaikan dengan Amal. Yakin Usaha Sampai.

26 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


SUARA FOTO

27 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Bentuk protes seorang mahasiswi atas kekecewaannya terhadap satu tahun pemerintahan Jokowi-JK. Setidaknya dua kampus besar Kota Bandung Turun ke jalan Diponegoro, pada Jumat Sore (16/12). (M. Febi/SM)

28 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Pojok Bandung

Alkisah ‘Rona’ Masjid Agung Al-Ukhuwwah Teks dan Foto : Amelia

Suara adzan berkumandang, memanggil umat-Nya untuk bersujud, bersimpuh pada sang Khaliq. Ramai terasa, silih bergilir kaki melangkah berdatangan memenuhi isi bangunan ini. Masjid Agung Al-Ukhuwwah, menawarkan segala kenyamanan, membuat semua orang terlena akan kemegahannya. 29 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Alkisah ‘Rona’ Masjid Agung Al-Ukhuwwah

Konon pada zaman dulu, ada beberapa bangunan yang ‘meronakan’ wajah Masjid Agung Al-Ukhuwwah, dimulai pada era Hindia-Belanda hingga sekarang. Rasa penasaran pun muncul mengusik, keingintahuan mengenai tempat ini lantas minta ditunaikan. Segeralah esoknya Suara Mahasiswa menemui seorang pria yang menggilai sekaligus pengoleksi buku. Kabarnya, ia mengetahui betul sejarah panjang Masjid ini. Nuansa sore yang sejuk mengiringi perjalanan kami menuju rumah sang kolektor, di kawasan Jln. Tanjung Bandung. Sesampainya di lokasi, terlihat rumah gaya 1950-an bertengger menawan. Keluarlah pria separuh baya mendatangi kami, ia mempersilahkan kami memasuki kediamannya, sang tuan rumah bernama Sudarsono Katam. Jamuan ramah dari tuan rumah, dengan hidangan teh manis memberikan kesan tersendiri. Lantas rasa penasaran kami pun mulai luntur dengan penjelasan Sudarsono, menurutnya, dulu pernah berdiri satu bangunan bermodel Belanda di lahan yang sekarang ditempati Masjid Al-Ukhuwwah. Tempat itu digunakan sebagai balai pertemuan dan upacara orang-orang penganut kepercayaan Fiosofie atau Freemason dengan nama Loge Sint Jan. “Salah satu kaum yang bergerak rahasia dan menjunjung tinggi kebebasan, namun pada era Soekarno, keberadaanya dilarang keras,” ujar pria berambut putih ini. Sontak kami sedikit kaget, di luar, senja pun mulai menampakan diri, obrolan bermuatan sejarah pun makin ‘intim’. Sudarsono menguraikan, bangunan tersebut misterius dengan keadaan yang terlihat sepi sehari-harinya. Pintu dan jendela bisa dikatakan jarang terbuka, hingga terkesan angker. Warga sekitar bahkan memberikan julukan ‘Rumah Setan’, Jln. Wastukencana pun, mereka sebut jalan Loge Sint Jan. Tak hanya warga negara asing saja yang acap kali datang, politikus, pribumi, pejabat tinggi hingga ningrat ikut berdatangan, khususnya pada malam hari. Teh manis yang disajikan tuan rumah kami tandaskan, namun cerita mengenai Loge Sint Jan terus berlanjut semakin menarik. Dengan ramahnya Sudarsono kembali menuturkan cerita mengenai ‘Rumah Setan’. Bangunan yang berdiri pada tahun 1896 ini, ternyata mengakhiri petualangan pada tahun 1960-an. Musababnya pada saat itu, penganut Freemason sangat dilarang keras berada di Indonesia. Sehingga tempat tersebut hancur rata, lantas diganti dengan Gedung Serba Guna. “Berbagai organisasi pemuda, bahkan gedung Pramuka dahulunya pernah menempati tempat tersebut. Namun, sayangnya tidak

adanya foto dokumentasi yang membuktikan gedung tersebut ada,” urai Sudarsono. Setelah mendengar penejalasan Sudarsono. Keesokan harinya, bergegas kami menuju Balai Kota, bermaksud untuk menanyakan ihwal bangunan itu (gedung Serba guna). Bertemulah dengan Tri Astuti, salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagian Inventaris Aset di Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung. Ia mengungkapkan, setelah Loge Sint Jan hancur, tidak berapa lama kemudian dibangun kembali gedung yang bernama Graha Pancasila di tempat itu. “Suatu bangunan yang dijadikan tempat serba guna, berbagai kegiatan sosial pun sering diadakan. Mulai dari pertemuan umum sampai dijadikan tempat berekreasi,” tutur wanita berjilbab ini. Bermula dari Kisah Loge Sint Jan, berlanjut menjadi Graha Pancasila, hingga berakhir di Masjid Agung Al-Ukhuwwah. Tak lengkap rasanya jika tidak menanyakan asal muasal mengapa dan kapan Masjid ini bisa berdiri. Bangunan yang memiliki atap serupa dengan Gedung sate, sekarang terasa jauh berbeda dengan dulu, yang ceritanya sepi dan tertutup. Selalu ramai disetiap waktunya, lima kali dalam sehari orang-orang teratur datang untuk ke masjid dengan gaya arsitektur timur tengah ini. Untuk melaksanakan sholat atau untuk sekedar beristirahat dibangunan seluas ±4.529 tersebut.

''

Berbagai organisasi pemuda, bahkan gedung Pramuka dahulunya pernah menempati tempat tersebut. Namun, sayangnya tidak adanya foto dokumentasi yang membuktikan gedung tersebut ada,” -Sudarsono-

Lekaslah, Suara Mahasiswa menuju Kesetertarian Dewan Keluarga Masjid (DKM) Al-Ukhuwwah, kami disambut seorang pria yang tengah duduk santai, Maman Suparman namanya. Ia menceritakan, asal mula pembangunan ini karena didasari dari para karyawan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung, yang menunaikan ibadah salat di musala-musala kecil dan harus berpindah-pindah tempat saat salat Jumat. “Pemerintah kota pun mengagas dan membangun sarana keagamaan umat Muslim yang dapat menampung banyak jemaah, baik karyawan pemkot maupun warga umum,” ujar Ketua Dewan Keluarga Masjid (DKM) Al-Ukhuwaah ini. Sejarah panjang Masjid Agung Al-Ukhuwwah ternyata tidak banyak yang tahu, salah satunya Sofia Nur Fauziah. Mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang baru saja selesai melaksanakan salat kala itu mengungkapkan, baru mengetahui asal muasal pembangunan masjid ini. Juga ia menambahkan, biasanya masjid berdiri di atas tanah yang ‘baik-baik’. Sampani, pria yang tengah duduk bersantai di sudut halaman masjid pun, tidak mengetahui sejarahnya. Namun, ia tetap mensyukuri dengan dibangunnya Al-Ukhuwwah. Sekarang tempat tersebut bisa dipergunakan untuk melaksanakan ibadah umat Muslim. “Hampir setiap hari setelah pulang kerja saya mampir dulu ke masjid ini, untuk menunaikan salat sekalian beristirahat, karena tempatnya nyaman dan sejuk,” jawab pria yang memakai baju biru itu.

Gambar bangunan sebelum dijadikan Masjid Al-Ukhuwah seperti sekarang ini.

30 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Tatap Muka

GELORA SEMANGAT IHSANA MENGASAK TRIDHARMA Teks dan Foto: Wulan Yulianti

Bagaimana sudah khatam membaca laporan utama? Tidak semua dosen melakukan plagiat atau tak mengabdi pada masyarakat, seperti yang dibahas dalam rubrik sebelumnya. Buktinya saja ada dosen yang menunaikan tiga pilar perguruan tinggi ini.

Tok tok tok... “Waduh saya ada bimbingan dulu, gimana kalau setengah satu?” tutur Ihsana Sabriani Borualogo seusai rapat, Senin (21/9) lalu. Empat puluh menit kemudian, saat Suara Mahasiswa kembali menemui wanita kelahiran Jakarta 47 tahun silam ini, ia kembali berhalang karena sebuah rapat menantinya. Menjelang siang, Ihsana yang masih dibuat sibuk bimbingan skripsi mahasiswa, menyempatkan untuk berbincang dengan kami di ruang dosen Fakultas Psikologi Unisba. Sibuk, kata tersebut menggambarkan agenda kesehariannya. Saat ditanyai “betapa sibuknya ia” dosen psikologi perkembangan ini tertawa sembari menjelaskan bahwa hal itu sudahlah biasa. Ketegasannya, membuat wanita lulusan Psikologi Unpad ini, dikenal sebagai dosen killer dikalangan mahasiswa. “Bu Ihsana baik, cuma sempet kena marah gara-gara recok di ruang dosen,” ucap Sharfina, salah satu mahasiswinya. Kesibukannya mengajar, tidak lantas membuatnya berleha-leha. Ibu satu anak ini, justru menorehkan prestasi di kancah internasional. Dua paper ia hasilkan dalam ajang International Congress of Applied Psychology ke-28 di Paris, Prancis. Masih di negara yang sama, sebuah paper pun diikutsertakan pada International Association for Cross-Cultural Psychology Congress ke-22, di Reims, pada Juli 2014 lalu. Tahun 2012, wanita berkacamata ini mengikuti kelas mengenai childern well-be-

31 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

ing. Sebuah workshop yang digagas Ferran Casas, dari Universitas of Girona. Keaktifannya bertanya, membuat profesor asal Spanyol itu mengajak Ihsana berkerjasama, dalam sebuah penelitian yang diikutsertakan di Prancis. “Kami terus berkomunikasi dengan admin dari German. Sebelum saya bergabung, sudah ada 15 negara yang ikut serta,” jelasnya. Menurutnya penelitian yang ia geluti bersama Ferran merupakan pengalaman spiritual. Pasalnya ditahun yang sama, saat sedang berlibur ke museum di Paris, Ihsana terpaksa harus mengikhlaskan dompet beserta isinya. “Saya pikir kecopetan tersebut adalah awal mulanya penelitian di Prancis, mungkin kalau saya tidak dicopet, saya tidak akan melakukan semuanya,” celoteh Ihsana. Tidak berhenti sampai sana, di bulan Juni lalu satu penelitian pun ia lakukan saat konferensi di Dalhousie University, Canada mengenai Pathway to resilience. Berselang tiga bulan, di University of Cape Town, Afrika Selatan, satu paper berhasil dipersentasikannya. Penelitian ini membawanya keproyek bersama UNICEF yang bertemakan ‘Children’s Well-Being’, di Indonesia. “Sekarang dalam tahan persiapan untuk survei jadi kita akan melakukan pilot study childerns well-being di Jawa Barat ,” ujarnya. Sedikit cerita saat ia mengerjakan proyek penelitian di Cape Town, Ihsana mengaku sempat putus asa. Bukan karena ia buntu


Gelora Semangat Ihsana Mengasak Tridharma

akal. Masalah dana, jadi kendala utama dalam mengerjakan proyek ini. Beruntung, berkat rekomendasi salah seorang teman, ia pun bertemu pihak UNICEF yang bersedia mensponsorinya. Minder karena menjadi minoritas dalam kegiatan yang diisi peneliti-peneliti Eropa, sempat dirasakan Ihsana. Ia merasa canggung karena dalam kongres itu, ia harus diperkenalkan setiap pergantian panel, sementara peneliti Eropa lainnya memang sudah langganan, jadi sudah saling kenal. Wanita yang juga lulusan Tilburg University, Belanda, ini juga rajin menunaikan parenting class di SD Salman Al Farisi, TK Avicenna serta SD dan TK Gagas Ceria yang berdomisili di Bandung. Di sana ia menjadi pemateri tentang bagaimana cara orang tua mendidik, membimbing, dan mendampingi anak. Kelas itu dilaksanakan rutin setiap tahun, dengan tujuan membantu orang tua dalam membentuk anak menjadi manusia berkarakter. Ihsana juga sempat melakukan pelatihan orientasi masa depan untuk siswa SMA. Ihsana Sabriani adalah bukti nyata dosen yang melakukan kegiatan Tridharma perguruan tinggi. Ia meyakini hal itu merupakan kunci untuk menjadi pondasi yang berguna bagi sesama. Menurutnya, apa yang telah dipelajari di perkuliahan, maupun penelitian seharusnya memiliki kemaslahatan bagi umat. “Tridharma merupakan konsekuen yang logis, bagi para pengajar di sebuah universitas,” ujar wanita kelahiran Jakarta ini.

Muhammad Fauzi Nur Ichsan yang merupakan salah satu anak didiknya memaparkan, ia adalah sosok yang tegas dalam mengajar. Ia mengatakan, lantaran ketegasannya mahasiswa lebih menghargai waktu maupun orang lain. Tidak hanya itu, para mahasiswa yang pernah didoseni-nya pun kagum dengan cara mengajar Ihsana. Menurutnya ketika Ia mengajar, Ihsana selalu menghubungkan materi sesuai dengan pengalaman hidup. “Kerjasama bareng beliau itu asik, senenglah bisa diajar beliau,” tutur mahasiswa semester lima itu. Penerapan Tridharma yang ia lakukan tak jarang menyita waktunya sebagai seorang ibu. Kebersamaan dengan keluarga merupakan hal yang penting baginya. Saat ditanyai bagaimana cara membagi waktu, ia menjawab; tidak ada perhatian khusus untuk hal tersebut. Setiap harinya, ia bangun pukul empat pagi dan langsung mengurusi urusan keluarga juga rumah. Seusai kegitan itu, Unisba menjadi tujuan selanjutnya demi tunaikan Tridharma. Weekend menjadi hari yang melelahkan bagi Ihsana. Saat sebagian orang sibuk bersantai, ia justru harus melakukan kegiatan ibu rumah tangga normal lainnya. “Hari Sabtu-Minggu cucian, dan setrikan saya Sudah numpuk hahaha,” tuturnya sambil tertawa.

''

Tridharma merupakan konsekuen yang logis, bagi para pengajar di sebuah universitas,” -Ihsana Sabrina Barualogo

32 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Budaya

PLAGIARISM E: JANGAN ANGGAP INI BUDAYA Teks dan Foto: Rifka Silmia S.

Ctrl+c dan ctrl+v, dua langkah mempermudah pengerjakan tugas. Hati-hati, niatnya cepat beres, malah bisa menginap di hotel prodeo.

33 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

Ia berinisial MF, singkatnya, pria semester tiga ini pernah alami pengalaman pahit terkait plagiat. Tepat ketika mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa (LDKM) di fakultasnya, MF yang mendapat tugas dari panitia dibuat pusing saat pengerjaan makalah. ‘Copas’ menjadi jalan yang ia ambil. Sial, perbuatan itu terungkap. Ia dinyatakan tidak lulus dan wajib mengulang makalahnya. Kisah di atas tidak hanya menimpa mahasiswa saja, sekelas dosen pun tak lepas dari kebiasaan ‘jalan pintas’ itu. Dilansir dari jurnal besutan Dhama Gustiar Baskoro, kasus plagiat pernah menimpa seorang dosen Universitas Indonesia, bernama Amir Santoso. Plagiasi ia lakukan terhadap 22 buku dan makalah pasca sarjana. Kejadian ini

membuktikan bahwa ketidakjujuran sudah menyelimuti dunia pendidikan di Indonesia. Alasannya tidak lain hanya untuk kepentingan pribadi. Lantas, apakah yang membuat plagiarisme menjadi kebiasaan masyarakat kita? Saepul Muhtadi, dosen antropologi UIN SGD Bandung menjelaskan ‘tiru-meniru’ memang sudah menjadi budaya, namun dahulu masih dalam tahapan wajar. “Dulu, penduduk Indonesia suka mengerjakan sesuatu secara kolektif. Menjadi lumrah ketika seseorang menemukan hal baru, kemudian diikuti oleh satu kampung. Misalkan di daerah Singaparna ada yang banyak pengerajin tikar. Berawal dari satu individu, warga lainnya ikut membuat juga dan akhirnya menjadi ciri khas daerah itu,” tutur laki-laki berdarah Sunda tersebut.


Plagiarisme : Jangan Anggap Ini Budaya

''

Plagiarisme itu bukan hanya pelanggaran etika, tapi itu sudah termasuk pelanggaran hukum.” -Tatty Aryani Ramli-

Saepul menambahkan yang dulu masyarakat kita lakukan adalah bentuk gotong royong. Alhasil, peniruan malah bernilai positif dan menjadi budaya yang harus dilestarikan. Sayangnya, kultur masyarakat Indonesia yang ‘senang’ akan kolektifitas ternyata menjadi akar dari plagiarisme. Dosen yang juga mengajar di Unisba ini mengatakan jika seiring berjalannya waktu, istilah ‘tiru-meniru’ beralih negatif. Nilai gotong royong memudar karena keserakahan manusia. Mereka menjiplak karya orang lain demi menyejahterakan dirinya sendiri. Ranah hukum turun tangan, untuk menjaga kasus peniruan agar tidak melewati batas wajar.

ujarnya yang ditemui di komplek perkantoran Unisba Jl. Purnawarman no 63.

Plagiarisme Dalam Aturan Undang-Undang Semakin tidak terkontrolnya kasus penjiplakan, akhirnya pemerintah membuat peraturan resmi. Termaktub dalam Permendiknas RI nomor 17 Tahun 2010; Setiap perguruan tinggi mengemban misi untuk mencari, menemukan, mempertahankan, dan menjunjung tinggi kebenaran. Terlihat dengan jelas bahwa tidak diperbolehkan bagi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan untuk berperilaku tidak jujur. Tatty Aryani Ramli, ketua Hak Kekayaan Intelektual Unisba melontarkan komentar, “Plagiarisme itu bukan hanya pelanggaran etika, tapi itu sudah termasuk pelanggaran hukum. Karya yang orisinil itu dilindungi dalam peraturan Republik Indonesia,”

Ia melanjutkan, selain sanksi, ada satu hal yang paling mendasar jika ingin menghapuskan plagiarisme, yaitu menumpas rasa malas dalam diri masing-masing. Itulah yang menyebabkan seseorang lebih memilih jalan cepat dan praktis saat menyelesaikan tugas-tugas yang seharusnya ia kerjakan sendiri. Kebiasaan meniru tanpa izin tentunya masuk perbuatan tercela, walaupun memberikan solusi instan. Saepul pun menambahkan, “Rasulullah SAW berkata sampaikanlah walau satu ayat. Artinya, memang kita harus menyebarkan suatu kebaikan, tapi tidak untuk ditiru tanpa izin penciptanya.” jelasnya.

34 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Bidik

KOMUNITAS PEDULI BANGSA, MENDIDIK SEMESTA DENGAN CINTA

Teks : Devi Fajriati Foto : Dok. Pribadi

“Pendidikan harus diawali dengan sosial yang baik, karena pendidikan merupakan ajang edukasi ketika seorang pembimbing mampu mengajak ke dalam hal positif.” –Atalia Kamil-

35 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Komunitas Peduli Mendidik Semesta dengan Cinta Membangun rasa kepedulian sangatlah penting di dalam kehidupan, terutama terhadap lingkungan sekitar. Sebagaimana yang disinggung oleh Atalia Kamil saat menjadi pembicara dalam seminar di Kampus Biru beberapa waktu lalu. Ia menjelaskan bahwa lingkungan sosial dan pendidikan saling berkaitan. Tak hanya itu, keduanya sangatlah penting bagi anak zaman sekarang, khususnya anak usia dini yang masih membutuhkan bimbingan. Berkaitan tentang hal tersebut, Kota Bandung memiliki beberapa perkumpulan yang peduli akan pendidikan anak-anak kurang beruntung. Salah satunya Komunitas Peduli Bangsa atau lebih dikenal dengan nama KPB. Berdiri pada tanggal 22 April 2013, dicetuskan oleh Permana Sidik (Sidik), Mehmet Akmal Siyamsah (Akmal), dan Rahmawati Rahayu (Ayu) yang sepakat untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang peduli akan lingkungan sekitar. Awalnya, perkumpulan ini terbentuk karena salah satu pencetusnya, Sidik melakukan kegiatan sosial saat menjelang UN 2013. Aksi tersebut, membuat Nur Afiatin salah satu gurunya memberikan apresiasi positif. Ia menyarankan agar gerakan tersebut menjadi sebuah Komunitas. Sampai akhirnya Sidik mengajak dua kawannya, Akmal dan Ayu untuk membentuk KPB. Komunitas ini tak mematok umur ataupun pangkat karena anggotanya terdiri dari pelajar, mahasiswa, pekerja, dan masyarakat lainnya. Bagi mereka, kedua faktor tersebut tidak dipandang, kala bisa memberi sesuatu selagi mampu dan bermanfaat. “Di manapun KPB berada di situlah kami berbagi. Bagi kami hidup bermanfaat yaitu ketika kita bisa berbagi dengan sesama, walau sekecil apapun itu,” jelas Sidik. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) juga kegiatan belajar mengajar merupakan progran rutin yang dilakukan untuk umum oleh KPB. Dalam proses pembelajaran yang bertempat di

Taman Film ini, mereka menerapkan metode-metode kreatif. Umumnya program ini diikuti oleh anak jalanan yang berada di kawasan Kebon Bibit, Kota Bandung. Kegitan belajar mengajar, disambut positif dan penuh antusias dari anak-anak didik di KPB. Sesuai dengan ungkapan Satria Rizky Ramadhan, bahwa kegiatan itu memberikan manfaat. “Adanya kegiatan KPB ini, memberikan kita banyak pengetahuan yang belum diketahui, seperti membaca dan menulis,” papar siswa kelas tiga SD ini. Dua tahun berjalan, komunitas ini selalu mengagendakan waktu berkumpul bersama anggota lainnya. Kegiatan itu diisi dengan diskusi dan kajian tentang beberapa topik bahasan, dibimbing oleh Nur Afiatin yang juga berperan sebagai pembina KPB. “Semenjak KPB ini terbentuk, kepedulian remaja mulai terlihat lagi karena semakin tinggi semangat kepedulian, akan membuat komunitas ini semakin berkembang,” ceritanya lewat pesawat telepon.

''

Di manapun KPB berada di situlah kami berbagi, karena bagi kami hidup bermanfaat ketika kita bisa berbagi dengan sesama, walau sekecil apapun itu,” -Permana Sidik-

Pada tahun ini, KPB bekerja sama dengan pengurus Masjid Al-Ukhuwwah untuk membangun perpustakaan kecil di kawasan masjid tersebut. Tujuannya agar masyarakat sekitar, khususnya anak-anak jalanan dapat meningkatkan pengetahuannya. Terlepas dari semua itu, KPB memberikan kesempatan bagi siapa saja yang ingin bergabung, tidak adanya open recruitment membuat komunitas ini berbeda dengan yang lain. Hal ini didasari karena KPB terbentuk atas kepedulian sosial dan pendidikan. Diar Syahrian pun melontarkan apresiasinya selama ia bergabung di komunitas ini. “Selama dua tahun bergabung, saya merasa banyak perubahan dari segi pemikiran dan karakter. Di sini, saya mendapatkan nilai-nilai yang positif lewat kepedulian terhadap kehidupan yang lebih luas lagi,” tutur Mahasiswa UIN SGD Bandung itu.

36 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Belahan Dunia

ELEGI 'AIZHENG CUN' DI TIONGKOK

Teks: M. Febi Ardiansyah Foto: Net.

“Demi kepentingan pembangunan Negara di sektor ekonomi, Tiongkok telah lupa akan kepedulian terhadap kesehatan rakyatnya” – Zou Zunsheng.

Keelokan si Tirai Bambu ternyata memiliki “Broken Area” di beberapa sudut negaranya. Sebuah fenomena hebat, muncul dan dijuluki ‘Aizheng Cun’ atau yang disebut Desa Kanker. Sejumlah desa mengalami penurunan kualitas hidup dan berimbas pada kesehatan warganya. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup Tiongkok, sejak tahun 1998, udara di beberapa sisi daratan Tiongkok diklaim tidak sehat, karena polusi kegiatan industri. Tidak heran rupanya, penyakit mematikan itu berekspansi, hingga menyebabkan tingkat mortalitas yang cukup tinggi. Selain kualitas udara, limbah cair pabrik yang dibuang ke ruas-ruas sungai menjadi biang keladi lain. Bukan hanya air yang tercemar, kualitas tanah pun ikut rusak keasliannya. Bahan kimia jenis ‘kadmium’ yang berstatus ilegal menjadi senyawa perusak nomor wahid ekosistem. Sejumlah media Tiongkok, menyebutkan terdapat 459 desa kanker yang tersebar di 29 provinsi. Dua provinsi terparah ialah Henan dan Jiangsu. Kebanyakan dari warga terkena jenis kanker paru-paru dan esofagus.

37 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

Survei besutan Kementerian Lingkungan Hidup Tiongkok, merilis data mortalitas di kedua provinsi tersebut. Dalam kurun waktu lima tahun, sebanyak 79 jiwa di Henan direnggut nyawanya via penyakit kanker. Data terakhir yang dirilis media pada 2013 menyebutkan; 26 penduduk tengah berjuang melawan penyakit, bahkan diantaranya telah berpulang pada sang khalik. Lain hal dengan Provinsi Jiangsu. Bila anda sedang berkunjung ke sana, sebanyak 23 persen desa dengan nasib serupa akan anda temui. Salah satu jurnal di Tiongkok mencatat; selama tahun 2000 hingga 2005, terdapat 103 warga desa menderita kanker. Angka korban yang terus bertambah membuat instansi pemerintah daerah mengajukan petisi -keluhan terhadap limbah pabrik- ke kantor pemerintah Jiangsu. Wang Canfa, seorang pengacara lingkungan di RRT angkat bicara. Ia mengatakan, ini adalah pertama kalinya ‘Desa Kanker’ masuk dalam dokumen kementerian. Ia pribadi sangat berharap pemerintah mampu menanggulangi masalah kesehatan ini.


Elegi ‘Aizheng Cun’ di Tiongkok

''

Tiongkok telah lupa akan kesehatan rakyatnya,” -Menteri Perlindungan Lingkungan Tiongkok-

Presiden Tiongkok, Xi Jinping tentu tak tinggal diam dalam menghadapi fenomena ini. Lewat kementerian lingkungan hidup, ia merencanakan untuk berkonsentrasi mengawas aliran sungai yang tercemar. Imbalan sebesar 100.000 Yuan pun telah disiapkan, bagi yang mau melapor biangkeladi masalah ini. Sayang, selama dua tahun sejak 2013, belum ada satu pun nama perusahaan yang diseret ke meja hijau. Tak hanya pemerintah yang turun tangan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun ikut memberi bantuan kepada penduduk yang terserang penyakit ini. Ditambah lagi 17 organisasi mahasiswa telah berusaha mendorong

pabrik-pabrik kimia agar menjauh dari desa-desa tersebut. Baik keduanya mempercayai Indstri di Tiongkok sebagai dalang dari malapetaka ini. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, memang suatu hal yang minim di negara berkembang seperti Tiongkok, setidaknya menurut Wiharis. “Sudah seharusnya masyarakat di negara manapun peduli akan lingkungannya sendiri. Kanker yang menyebar luas di beberapa wilayah Tiongkok, sudah seharusnya diatasi secara cepat dan tepat oleh pemerintah di sana. Karena ini menyangkut populasi masa depan negara tersebut,” ujar mantan Staf Dinas Lingkungan Karawang, Jawa Barat itu.

Zou Zunsheng berekspetasi masalah ini akan bertambah buruk bila tidak diatasi secara bijak. Ia juga menyatakan bahwa, negeri tirai bambu masih belum begitu memperdulikan kelestarian lingkungan. Industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi masih menjadi prioritas pembangunan negara. “Tiongkok telah lupa akan kesehatan rakyatnya,” ujar Menteri Perlindungan Lingkungan Tiongok itu.

38 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Jas Merah

TAN MALAKA

BANGUN PUSTAKA DI JEMBATAN KELEDAI Teks: Salma Nisrina N.F. Ilustrasi: NET

Ketika Sekolah Dasar menjadi SD atau Pemilihan Umum menjadi Pemilu. Apapun itu, singkatan dan akronim dibuat untuk mempermudah pemahaman, panggilan dan arti. Namun siapa sangka, cara itu ada dalam catatan sejarah Indonesia. Ialah sosok Tan Malaka berdarah asli Sumatera Barat, sang pencetus metode singkatan dan akronim

39 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Tan Malaka Bangun Pustaka Di Jembatan Keledai

Berawal dari memori 78 tahun yang lalu, ketika peperangan antara Tiongkok dan Jepang tepat 1937 silam. Dengan usaha yang keras, Jepang menaklukan negara tersebut sampai akhirnya pria ini terjebak bersama buku-bukunya. Persis di belakang jalan kampung Wang Pan Cho, ia meninggalkan pustakanya, pria itu bernama lengkap Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka, yang populer dengan sebutan Tan Malaka. Sesaat peperangan selesai, ia pergi ke Singapura melanjutkan misi mengemban ilmu. Namun sayang, ia jatuh ke lubang yang sama kala peperangan kembali terjadi antar kedua negara tersebut. Melewati Sumatera, menyebrangi Selat Malaka, dengan pintar ia menyamar dan menyembunyikan bawaannya. Inilah awal mula sang guru menemukan ‘jembatannya’.

belajar bukan hanya sekedar menghapal layaknya mesin.

Apa kabar jembatan itu? Terlintas dalam pikiran kala duduk di kursi putih yang mulai berkarat, kaki mulai melangkah berjalan menjauh dari kampus perjuangan. Dalam perjalanan, teringat sang pahlawan yang sudah berjasa melalui pemikiran-pemikirannya. Tan Malaka inilah yang akan Suara Mahasiswa korek pemikirannya. Langkah terhenti di gedung FSIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Seorang Dosen sekaligus sejarawan, Andi Suwirta, berjanji akan menceritakan tokoh utama kita dalam sebuah obrolan. Sayang, kesibukan membuatnya tiba-tiba berhalangan, namun Andi dengan ramah bercerita via surel (Baca: Surat Elektronik). Tertulis dalam isi pesan, awal pahlawan menemukan metodenya.

Sebagai pemuda, menanggapi sejarah sekali pun itu adalah pembunuhan. Akan ada sisi positif yang ada di dalamnya,”

Keinginan Tan Malaka begitu keras dalam memahami buku-bukunya. Ditengah memanasnya perang antar dua negara Asia tersebut, ia yang harus mengalami masa pengasingan dan pelarian tak ingin dikekang dalam urusan keilmuan. Baginya, seorang ‘pelari’ harus pergi seringan-ringan tanpa beban. Dengan itu, ia mengembangkan metode

Masih dalam cerita yang ditulis Andi, akhirnya Tan menemukan cara memahami pustakanya. Ia mengkodei setiap ilmu yang dipelajari, semua itu disimpan dalam pikiran sang pahlawan. Banyak kata yang dibuat dan disimpan, orang lain mungkin tidak mengerti tentang hal itu, tetapi metode yang dipakainya ternyata amat berguna dan efektif untuk kegiatan pelajar. Tan menyebut metode itu dengan ‘Jembatan Keledai’. Dalam literatur, singkatan pertama yang ia buat adalah AFIAGUMMI. Huruf A yang ia asosiasikan sebagai ‘Aramament’ atau kekuatan udara,

''

-Taufik Nuralif-

darat, dan laut. Selanjutnya F yang berarti finance, atau keuangan, dst. Singkatan ini memiliki arti dalam menjawab kemenangan antara dua negara yang berperang. Selain itu, ada pula teori ekonomi yang ia rumuskan via akronim menjadi ONIFMAABYCI AIUDGALOG. Tidak hanya itu, politik, siasat perang, hingga keilmuan lainnya ia terjemahkan dengan Jembatan Keledai. Seiring berjalannya waktu, metode tersebut terus dipakai. Ingat dengan istilah Pancasila di era Sukarno, atau Repelita dari Soeharto, yang paling muda Pilkada Jurdil saat reformasi 1998 lalu? Setidaknya penggunaan istilah tersebut memudahkan untuk diingat dan dihafalkan anak-anak Indonesia.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, jelas penting diperhatikan oleh generasi muda sekarang,” tegas Andi sang sejarawan. Dalam surelnya, ia mengemukakan bahwa penemuan Jembatan Keledai tidak ada teori tersendiri. Hal ini hanyalah penemuan metode memahami setiap singkatan yang memiliki arti. Sebutlah Jembatan Keledai kini memang sudah sangat melekat di budaya Indonesia, terutama untuk penyebutan nama-nama lembaga. Sayang, kebiasaan ini pun acap kali dijadikan bahan olok-olok remaja, “Kini mahasiswa sering memplesetkannya, contoh arti Hankamnas menjadi menahan di kamar yang panas. Mahasiswa justru bisa mengingat dengan baik kalau mereka membaca buku dengan tekun dan sebanyak-banyaknya,” urai Andi dalam surelnya. Entah bagaimana posisi Jembatan Keledai dalam sistem pendidikan sekarang. Namun bagi Andi, terkadang ada beberapa tanggapan miring yang mengatakan penemuan tersebut hanyalah membatasi kebebasan berpikir. Mungkin memang banyak jalan menuju Roma, begitu pula menuju kata ‘paham’. Menurut Andi, kemajuan teknologi yang kian canggih, mengakibatkan generasi muda cenderung tak ingin dikekang pemikiran-pemikiran teoritis layaknya Jembatan Keledai. Sebelum menutup surelnya, ia menitipkan pesan bahwa tugas generasi muda saat ini bukan untuk menghakimi setiap catatan sejarah pahlawannya, tapi mengapresiasi dengan pemikiran-pemikiran kritis dan proporsional. Hal itu pun dibenarkan Taufik Nuralif, baginya ada sejarah bukan untuk dipandang sebelah mata. Melainkan peka terhadap sisi positif dari sejarah itu sendiri. “Sebagai pemuda, menanggapi sejarah sekali pun itu adalah pembunuhan. Akan ada sisi positif yang ada di dalamnya,” ungkap mahasiswa pendidikan sejarah UPI ini.

40 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


SUARA FOTO

41 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Beberapa mahasiswa sedang mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Dasar (Diklat) Pers Suara Mahasiswa peride 2013-2014. Acara tersebut terselenggarakan di Kampus II Unisba, Ciburial pada Kamis (27/11/2014).(N. Istihsan)

42 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


LAPORAN KHUSUS

Peredaran 'Receh' Mahasiswa Di Tangan Yayasan Masih bisa menikmati setitik semilir angin pagi tanpa intervensi karbon monoksida atau hingar bingar bebek besi seharusnya menjadi hal yang patut disyukuri oleh para agent of change di kampus biru. Belum lagi saat mentari mulai meninggi, kerumunan civitas menjadi pembatas ruang gerak juga ruang untuk berpikir. Kondusif? Silahkan tanya pada hati masing-masing. Ekspektasi memang membuat rumit segala hal yang (tadinya) sederhana.

LAPORAN KHUSUS Kru liput: Amelia Rifka Salasabila S. M. Febi Ardiansyah

Penulis: Wildan Aulia N. Indiana Primordi A. Hasbi Ilman Hakim Faza Rahim

Ilustrasi: Net.

43 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Masih bisa menikmati setitik semilir angin pagi tanpa intervensi karbon monoksida atau hingar bingar bebek besi seharusnya menjadi hal yang patut disyukuri oleh para agent of change di kampus biru. Belum lagi saat mentari mulai meninggi, kerumunan civitas menjadi pembatas ruang gerak juga ruang untuk berpikir. Kondusif? Silahkan tanya pada hati masing-masing. Ekspektasi memang membuat rumit segala hal yang (tadinya) sederhana. Hampir enam dekade perjalanan Unisba tak lepas dari naungan yayasan. Menjadi motor pembangunan, baik dalam akademik, fasilitas, dan kesejahteraan membuat kampus ini terus hidup di usianya yang tak muda lagi. Tak hanya dalam bidang pendidikan,

han, tapi setelah kita pertimbangkan, lebih baik digunakan yang lain. Lalu terpikirlah untuk membuat perumahan, karena tidak ada yang mengelolanya maka dibentuklah PT. Lappim,” tambah pria berkacamata tersebut.

jajaranya bernaung di dalam gedung yang dibaptis sebagai rektorat.

“Sejauh ini kita masih terpusat di Tamansari, karena dari awal kita ingin semua kegiatan yang dilakukan Unisba berada di tengah kota sekitar enam lahan yang ada di daerah Tanah Kepunyaan Yayasan Tamansari bawah termasuk RanggagaSelayaknya peribahasa ‘ada gula, ada ding dan Hariangbanga,” urai Irfan semut’, maka sudah suatu kepastian Sekretaris umum Yayasan Unisba. di mana ada bangunan, maka di situ ada tanah. Tercatat dari data yang Total tanah yang dimiliki yayasan dikumpulkan tim kami di lapangan, kampus biru yakni enam tanah Universitas Islam Bandung setidaknya dengan akta kepemilikan, serta dua memiliki enam tanah dengan varian tanah Ranggamalela dan Palasari yang ukuran yang berbeda, yakni; Taman- masih berstatus sewa. Tempat sari 1 seluas 1 hektare, Hariangbanga Fakultas MIPA memang masih belum seluas 1200 meter persegi, Tamansari menjadi hak, sejumlah alasan menja20 seluas 800 meter persegi, Taman- di musabab. Silih tunggu proyek

“Berawal dari uang sisa yang ada di rekening yayasan, alangkah lebih baik jika uang itu kita produktifkan dengan membangun perusahaan.” yayasan pun melebarkan sayap dengan membuat industri di dalamnya, seperti pengelolaan tanah, perumahan dan swakelola kontraktor.

sari 24-26 seluas 2800 meter persegi, pasca sarjana seluas 1185 meter persegi, dan Ranggagading seluas 1500 meter persegi.

Aminudin Irfani, bendahara umum yayasan menjelaskan ihwal pihaknya menjamah bidang industri. “Berawal dari uang sisa yang ada di rekening yayasan, alangkah lebih baik jika uang itu kita produktifkan dengan membangun perusahaan.” Hal tersebut membuat yayasan tidak ingin bergantung dari uang mahasiswa.

Sejumlah petak tanah ini kemudian dibangun gedung perkuliahan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan seluruh civitas akademika, yang ada di kampus biru. Sebagai sentral, Tamansari menaungi sekiranya empat fakultas penyumbang mahasiswa terbanyak (Ilmu Komunikasi, Ekonomi, Psikologi, dan Teknik) serta berbagai pusat kegiatan organisasi mahasiswa. Ranggagading, menjadi atap bagi fakultas dirasah (Syariah, Tarbiyah, Dakwah) serta Hukum. Hariangbanga bagaikan saksi bisu bagi para pejuang berpakaian serba putih, Fakultas Kedokteran. Gedung pasca sarjana yang terletak di jalan Purnawarman di alokasikan bagi para akademisi dengan strata lebih tinggi yakni S2. Sejumlah laboratorium untuk menunjang praktikum mahasiswa dibangun di tanah Tamansari 24-26, di nomor 20 rektor beserta

Pada 2012 terbentuklah perusahaan dengan nama PT. Lappim. Merupakan anak dari Yayasan Unisba, perusahaan ini menggarap proyek di bawah arahannya (Baca: Yayasan). Dengan presentasi 99 persen keuntungan milik yayasan dan 1 persen untuk umum. Perumahaan merupakan bidang utama yang dikerjakan oleh PT. Lappim. “Berawal dari kepemilikan tanah di daerah Ujungberung, yang akan dijadikan gedung perkulia-

pembangunan menjadi alasan, tak kunjung dibelinya bangunan yang bersebrangan dengan salah satu taman di kota Bandung. Pun Palasari, yang hingga kini bernasib sama. Irfan mengakui, kesulitan terbesar yang dihadapi oleh yayasan yakni: pengembangan sarana karena lahan yang terbatas. Rahasia umum, kawasan Tamansari merupakan pusat kota, yang berarti banyak pula kegiatan selain pendidikan. Alternatif yang Unisba bisa lakukan, ungkap Irfan, adalah membangun gedung ke atas. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan ruang di kawasan Tamansari. Saat ditanyai menyoal lokasi kampus yang masih bertahan di kawasan pusat kota, ia menjawab, “Kita bisa saja menjual semua tanah yang ada di sini (Baca: Tamansari), dan kita bisa beli yang lebih luas dari sini. Tapi untuk saat ini, tanah luas itu terletak di sisi kota, sedangkan kita ingin kampus berada terfokus di tengah kota agar mudah dijangkau oleh mahasiswa,” tuturnya mantap.

44 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


LAPORA KHUSUS

LAPORAN KHUSUS

Patgulipat Di Tengah Bisnis Properti Selain bergerak di bidang pendidikan, mobilisasi di sektor bisnis dianggap perlu untuk mencari sumber dana. Receh-receh di rekening yayasan, yang selama ini didapat dari mahasiswa harus dipergunakan dengan bijak, untuk memenuhi anggaran. Macam pembelian gedung, pembelian tanah, pembanguan laboratorium, dan sarana prasarana lain untuk menunjang kegiatan pendidikan. Dana yang tersisa dari alokasi tersebut kemudian disirkulasikan oleh yayasan, dengan membuat sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti. Harapannya, tentu saja supaya hasilnya bisa ‘balik-modal’ ke sang empunya saham, yayasan Unisba. Jauh sebelum PT. Lappim terbentuk, yayasan membeli sebuah tanah seluas sembilan hektare, yang berlokasi di Jatihandap. Di tanah tersebut, kemudian dibangun perumahan yang seiring dengan berjalannya waktu, mengalami peningkatan daya jual. Proyek ini selain diminati oleh publik, juga digandrungi oleh karyawan dan dosen Unisba. Terhitung sejak komplek ini dibangun ada sekitar 270 dosen dan karyawan yang menetap di sana. Pada awalnya terdapat 230 petak tanah yang disediakan di komplek ini dan terus bertambah. Ada pun luas tanah yang disediakan berkisar 60 meter persegi hingga tidak lebih dari 100 meter persegi. Pada tahun 1996, khusus untuk karyawan Unisba cukup merogoh kocek sebesar 1,5 hingga 2 juta untuk memilikinya. “Memang pada awalnya komplek perumahan ini disediakan sebagai kebutuhan dosen dan karyawan Unisba untuk mempunyai rumah, alasannya jelas agar meningkatkan kesejahteraan karyawan tersebut,� jelasnya sembari menggenggam ponsel. Saat proyek perumahan ini naik daun, Yayasan Unisba tak lantas berpuas diri. Madani Regency menjadi salah satu keberhasilan lainnya. Masih sama-sama berbasis perumahan, komplek yang terletak di Bandung timur ini menyediakan 96 rumah dan 16 ruko untuk umum. Harga sengaja dibandrol di 700 juta hingga 1,2 miliar supaya laku terjual. Kavling Pasir Impun menjadi komplek terakhir yang dimiliki yayasan, berada di bilangan Pasir Impun perumahan ini masih seumur jagung dan masih berada di tahap pembangunan.

45 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Foto: N. Istihsan & M. Febi Ardiansyah

Balik modal dari bisnis perumahan, Unisba berhasil memiliki Ranggagading di tahun 2006 plus modal untuk membangun gedung Fakultas Kedokteran. Tekan Pengeluaran Lewat Swakelola

Berusaha menjadi lebih ekonomis demi memenuhi kesejahteraan seluruh lapisan yang ada di Universitas Islam Bandung, merupakan tujuan mulia yayasan yang sampai hari ini masih terbalut tanda tanya besar. Rasa penasaran, segumpal curiga hingga apresiasi pada akhirnya akan bermuara dalam sebuah laut yang luas “Kalau kontraktor kita tidak bisa tak berbatas bernama: keikhlasan. menghemat. Pekerjanya diambil dari orang yang dulu pernah ngerjain gedung Unisba, kalau secara profesional mereka kecil dibayarnya. Jadi mereka yang bekerja, mereka yang dibayarnya tidak besar,� ungkap Irfan ketika ditanya sistem swakelola. budget dalam membangun gedung-gedung fakultas di atas. Terkait nominalnya, Irfan menegaskan, tidak mempunyai angka pasti. Sebab pembangunanya (Baca: Gedung Fakultas Kedokteran) belum kunjung usai, padahal rencana awalnya menjulang di awal tahun 2015.

Tak puas dengan keuntungan dari tanah dan properti, yayasan tekan pengeluaran lewat swakelola pembangunan. Sempat berada di bawah naungan PT. Lappim, swakelola ini bergerak dalam pembangunan kampus sendiri. Tercatat beberapa fasilitas yang dihasilkan Unisba dari kerja pemborong tersebut, seperti pasca sarjana dan Fakultas Kedokteran di Berlabel Agamis memang menjadi jalan Hariangbanga. suatu ciri khas bagi kampus biru, tak Swakelola dalam Kamus Besar Bahasa terkecuali dalam penyaringan SDM Indonesia (KBBI) mempunyai arti saat menunjuk tim ahli pembangunan, pengelolaan sendiri. Sedangkan "Yayasan menunjuk tim ahli pembanswakelola pembangunan bagi Unisba gunan. Tim ahli ini mempunyai adalah menjalankan sistem pelaksa- keikhlasan agar tidar dibayar mahal, naan proyek tanpa membawa badan karena bekerja dengan ikhlas demi hukum sendiri, karena menggunakan pembangunan untuk pendidikan sama badan hukum pemilik bangunan. dengan beribadah," tutup Irfan Lewat cara ini Unisba bisa menekan Safrudin sembari tersenyum.

46 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


LAPORAN KHUSUS

Diorama ‘Kartesian’ Di Kampus Kakbah Terduduklah ia, Khalida Sakinah, mahasiswa Fakultas Dakwah 2013 di salah satu bangku yang terletak di Ranggagading. Jilbab meronanya berbicara; ia sedang menunggu seseorang yang bernama Septiawan Santana, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi cum dosen Fakultas Dakwah, datang ke kelas. Oh iya, sekedar penggambaran, bertukar dosen antar fakultas di Unisba adalah hal yang lumrah.

47 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Foto: N. Ihtisan

Atap Masyumi semakin runtuh adanya; cerai dengan Nadhlatul Ulama yang banting setir menjadi partai politik dan separuh anggota Muhammadiyah yang turut mundur dari tubuhnya, membuat Masyumi semakin terguncang. Pintu keluar semakin menganga dan para cendikiawan muslim yang tergabung padanya semakin terpecah. Maka pada 1958, dua tahun sebelum kematian Partai Masyumi didentumkan, tokoh masyarakat Jawa Barat yang melakukan perjuangan berasaskan Islam, bergegas membangun perguruan tinggi demi kader-kader yang meneruskan cita luhur perjuangan. Salah satunya bernama Perguruan Tinggi Islam, sempat berubah menjadi Universitas Islam Kiansantang, dan kini lebih dikenal

dengan nama Universitas Islam Bandung (Unisba). “Makanya, kampus kita ini disebut sebagai kampus perjuangan,” ujar Asep Ramdan, Dekan Fakultas Syariah yang ditemui Tim Suara Mahasiswa disela kesibukannya. Pada tahun itu pula, Fakultas Syariah didirikan dengan prodi awal Peradilan Agama. Selang 44 tahun berdiri dengan satu prodi, di awal 2002, Perbankan Syariah mencuat dari permukaan sebagai jurusan baru. Musababnya, model keuangan Islam yang mulai trend pada saat itu, memicu dibukanya jurusan kedua tersebut. Konon prodi baru ini memiliki dua pijakan kaki, yakni Ekonomi yang berbasis Islam dan konvesional.

“Ada pengaruh kartesian, kartesian itu ilmu yang terpecah-pecah,”

48 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


LAPORAN KHUSUS

Selang tiga tahun berdiri, Unisba membuka fakultas keduanya. Prodi Dakwah dan Perbandingan Agama menjadi tonggak awal Fakultas Ushuludin, yang kini dikenal dengan Fakultas Dakwah. Singkat cerita, pergantian nama fakultas tersebut cukup ironis, di mana pada era reformasi Prodi Perbandingan Agama nyaris tidak diminati mahasiswa. Menanggapi kisah ‘klasik’ tersebut, pihak universitas pada tahun 2005 membuat musyawarah untuk mengganti nama. “Musyawarah diadakan pada saat Fakultas Ushuludin surut peminat dan berganti nama menjadi Fakultas Dakwah,” tutur Bambang S. Maarif, Dekan Fakultas Dakwah. Pula demikian, pendidikan dirasah masih memiliki lubang, bahkan, peluang untuk ‘memutasikan’ dirinya. Seperti halnya Syariah dari segi pendidikan hukum, hanya meluluskan sarjana yang disiapkan untuk ranah Peradilan Agama. Sedangkan segi ekonomi, ia berkutat di Perbankan Syariah saja yang anti riba. Begitu pun Fakultas Dakwah sejatinya mirip dengan pendidikan Ilmu Komunikasi yang cukup ‘umum’. Maka tak pelak, Unisba berseka dan mengguritakan dirinya setelah melihat celah dan peluang tersebut, dengan mendirikan fakultas-fakultas non-dirasah semacam Ekonomi, Hukum, Kedokteran, Fikom, MIPA, Teknik, bahkan Psikologi. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah: Bila ada yang serupa dalam beberapa hal, mengapa Unisba tidak menyeduh antara ‘air’ dan ‘serbuk teh’, menjadi ‘satu gelas teh hangat’ yang sedap untuk diminum? Dalam artian, mengapa Fakultas Komunikasi harus berpisah dengan Dakwah, mengapa Syariah harus dibedakan dari Hukum dan Ekonomi, padahal kita adalah cabang kajian ilmunya sehingga lahirlah universitas Islam dan memiliki fakultas Fakultas Hukum. Namun, tak bisa diingkari sebagai universitas Islam, para Founding dirasah? Father menginginkan sesuatu yang bisa Mengetahui Kadar Campuran Antara ‘Air’ dijadikan ciri khas dari Fakultas Hukum. Maka diselipkanlah nilai dan kajian dengan ‘Teh’ atau ‘Minyak’ keIslaman dari setiap mata kuliahnya Untuk menentukan jawaban apakah kedua hingga hari ini. fakultas adalah ‘air’ dan ‘teh’ atau ‘air’ dan ‘minyak’, maka perlu untuk mengeta- Dalam ruang, benda, dan Bandung yang hui keabsahan profesi dan pembilah beda mulai menghangat, ia pun menjelaskan dari keduanya. Salah satunya adalah bahwa dari segi historikal dan keabsahannFakultas Hukum, yang dari segi ‘keIslaman’ ya, Fakultas Hukum dan Syariah berbeda. merupakan parsial dari Fakultas Syariah, “Di Indonesia sendiri terdapat sistem pengadilan yang bermacam-macam; ada ‘kakek’ seluruh fakultas. Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, Ialah Mella Ismelina, Dekan Fakultas Pengadilan Tata Usaha dan Negara, dan Hukum yang kala ditemui oleh Tim Suara Pengadilan Agama,” jelasnya, mengambil Mahasiswa tengah menyantap makan nafas. “Masing-masing forum itu berbeda, siangnya. Ia bercerita bahwa kala itu 1971, ada peradilan pidana dan perdata Unisba merasa perlu untuk menambah diletakan di Pengadilan Negeri. Sedang

49 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

Pengadilan Agama, betapa pun berkaitan dengan hukum yang diatur agama semacam ahli waris, pernikahan dan perceraian,” ungkap wanita berkacamata ini. Fakultas Hukum, tambahnya, tentu pula mempelajari ‘hukum agama’ karena ada kemungkinan lulusannya bekerja di sana. Hanya saja mahasiswa Fakultas Hukum lebih menjurus kepada hukum nasional yang lebih luas.“Jangan sampai salah kamar,” Mella mengingatkan. “Mau mengurusi perceraian tapi datangnya ke Pengadilan Militer, itu kan salah!” Tuturnya sambil tertawa kecil. Beriringan dengan itu, Asep Ramdan, Dekan Fakultas Syariah turut menuturkan hal yang serupa. Hanya saja, menurut Asep, ciri khas Fakultas Syariah ialah


Kampus tetangga, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung, memadukan antara Dakwah dan Komunikasi dalam satu fakultas. Lantas, mengapa Unisba tidak menerapkan hal yang demikian? “Kita tidak berfikir penyatuan,” Bambang S. Maarif, Dekan Fakultas Dakwah angkat bicara. “Karena jika dilakukan, nanti akan kehilangan jati dirinya masing-masing, karena dari segi sejarah sudah berbeda.” Sesaat kemudian ia pun menambahkan, bahwa akan terasa berat bila pembinaan agama di fakultas non-dirasah, tidak disertai tiga fakultas dirasah. Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi, Omod Hasbiansyah pun memperkuat dalih tersebut dengan alasan sama, yakni sejarah. “Dakwah dan Fikom berdirinya berbeda. Dalam Fikom kita mempelajari komunikasi secara umum, namun diiringi dengan basic Islam,” tuturnya. “Waktu Fikom didirikan belum ada Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). KPI muncul bentukan dari perubahan Fakultas Ushuluddin,” tambah Hasbi, saat diwawancarai di ruangannya. Ia pun menambahkan bahwa KPI sendiri merupakan lingkup komunikasi yang lebih sempit. Bila Fikom yang dipelajari komunikasi secara umum, Dakwah menggunakan komunikasi dengan tujuan untuk mendukung kegiatan syiar Islam. “Dari pertanggung jawabannya pun berbeda. Dakwah di bawah Departemen Agama, sedangkan Komunikasi di bawah Riset dan Dikti,” tegasnya. Foto: N. Ihtisan

cita-cita; nilai keIslaman. Fakultas Hukum dan Syariah menurutnya lagi, dari segi posisi ialah berdampingan, dalam artian tidak saling menjatuhkan atau saling bersaing. Selain perihal ‘Hukum’, Fakultas Syariah pun memiliki keserupaan dengan fakultas lainnya: Perbankan Syariah yang pada dasarnya merupakan bagian dari Fakultas Ekonomi. Menanggapi hal ini, Asep melihat, perbedaan antara Ekonomi dan Perbankan Syariah dari awal kemunculannya. Meski lebih dahulu Ekonomi, namun dari segi fakultas yang pertama lahir dan tertua di Unisba, tentu Fakultas Syariah jawabannya.

kegelisahannya untuk menyatukan prodi Perbankan Syariah ini, meski pada dasarnya ia mengatakan bahwa Ekonomi dan Syariah itu tidak sama. “Bidang kajian di ilmu ekonomi lebih banyak. Ada ekonomi perbankan, ekonomi sumber daya alam, ekonomi syariah, ekonomi sumber daya manusia, dan lain sebagainya,” ujarnya. “Ada pengaruh kartesian, kartesian itu ilmu yang terpecah-pecah,” urai dosen yang gemar bermain gitar ini.

Selain Syariah, ada Fakultas Dakwah yang beberapa fondasinya mengacu kepada induknya, Fikom. Mata kuliah Dakwah macam Desain Komunikasi Visual, Dasar Jurnalistik, Jurnalistik Elektronik, Penyiaran Radio, dan Ilmu Komunikasi ialah Di sisi lain, Yuhka Sundaya, Wakil Dekan 1 bukti keabsahan keserupaannya dengan Fakultas Ekonomi mengungkapkan Fikom.

Sedangkan, Adam Rahadian, Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidkom) UIN Bandung mengatakan, memang sistem pendidikan kampusnya menginduk kepada Departemen Agama, termasuk jurusan-jurusan umum. “Jadi untuk UIN memang urusannya sama Dirjen Perguruan Tinggi Islam, yang masuknya tetap ke Kementrian Agama, spesifiknya dinaungi oleh Diktis,” tambahnya. Meski dari historikal, Unisba dibahasakan menjadi kampus Islami. Namun seiring berkembangnya zaman, Unisba cenderung menjilat budaya populer dengan merelakan ‘keperawanannya’ terhadap syahwat kaum mayoritas. Bukti shahihnya; muncul fakultas non-dirasah yang menyebabkan tiap fakultas memiliki pertanggung jawaban yang berbeda, baik ke Departemen Pendidikan maupun ke Departemen Agama. “Kita ngasih laporan kedua-duanya, tapi kan enggak tahu di sanannya gimana,” tutur Ian Bachtiar Kabag Akademik Unisba.

50 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


What They Say R.Anzar Novaldi Fakultas Teknik 2012 Kalau misalkan hasil bisnis ini membantu pembangunan universitas, ini bisa menguntungkan mahasiswa. Adanya bisnis yayasan dapat membuat nama Unisba jadi besar dan membuka lowongan pekerjaan, buat orang lain. Fakultas kembar itu bagus, karena menjadi ciri khas Unisba. Ada jurusan yang ‘berbau’ Islam. Dengan adanya fakultas kembar ini, setiap fakultas tidak harus menekankan hukum-hukum Islam.wongan pekerjaan, buat orang lian.

51 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

Muhammad Aries D.P Fakultas Kedokteran 2013 Untuk bisnis, jangan sampai kepentingan usaha yayasan terbawa ke Unisba. Jangan sampai disamaratakan kepentingan usaha dan kampus, karena universitas tujuannya dibentuk untuk meningkatkan kepentinga negara.


INFOGRAFIS Grafik dosen yang mengajar silang di lima fakultas kembar Unisba.

Hafia Hasna Fakultas Hukum 2013 Lapsus 2: Mengenai fakultas kembar, meski begitu tetaapi dari mata kuliah yang diberikan tetap berbeda.

52 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


SUARA FOTO

53 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Aksi protes dari seorang mahasiswa atas kekecewaannya menjelang satu tahun pemerintahan Jokowi-JK. Para pengunjuk rasa mengekspresikannya dengan membakar ban di tengah Jl. Diponegoro, pada Jumat sore (16/12). (M. Febi/SM)

54 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Sosok

PEJUANG PENDIDIKAN ANAK-ANAK

BUKIT RANCA BELUT Teks dan Foto: M. Reza Firdaus

Jika kau tidak sanggup menahan lelahnya belajar, kau harus menanggung pahitnya kebodohan,” – Imam Syafi’i

Manisnya pendidikan ternyata hanya dirasakan oleh segelintir kaum ‘berduit’ saja. Berbanding terbalik dengan masyarakat yang tinggal di kawasan terpencil nan tak terjangkau bantuan pemerintah, imbasnya para penerus bangsa dari berbagai pelosok negeri ini tidak dapat mencicipi gemerlap pendidikan di tanah Ibu Pertiwi. Tidak semua bersikap acuh terhadap dunia pendidikan, ada saja putra bangsa yang ingin bergerak dan menggerakkan demi Indonesia lebih baik. Seorang pria kelahiran asli tanah pasundan, bernama Agus Akmaludin salah satunya. lahir di Bandung 20 November 1993, ia bertekad untuk mengabdi pada masyarakat dalam bidang pendidikan. Tekad bulatnya bermula saat duduk di bangku SMA Negeri 1 Cicalengka, pria berumur 22 tahun ini mengikuti organisasi bernama Frekuensi Educare yang bergerak dalam bidang pendidikan. Saat lulus SMA, ia ditunjuk menjadi ketua Departemen Advokasi Pendidikan Alternatif (DAPA). Salah satu tugasnya memberikan pendidikan alternatif bagi masyarakat yang tidak terjangkau. Setelah melakukan beberapa

55 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Pejuang Pendidikan Anak-anak Bukit Ranca Belut

“Alhamdulillah setelah mereka tahu, malah masyarakat sendiri yang semangat, mereka ikut udunan dan gotong-royong membangun sekolah ini. Dari mulai seragam, buku, hingga alat tulis adalah hasil sumbangan. Ceuk Ridwan Kamil mah hirup teh da udunan hahaha,” tawa Agus sebari meneguk es cendol. Badai penghalang bukan itu saja, tantangan lain bahkan datang dari Ibunda Agus sendiri. Sang Ibu menyarankan, agar ia mencari mata pencarian lain. Karena Ibunya berfikiran pragmatis, layaknya orang tua pada umumnya, ingin sang anak berkerja di tempat yang menghasilkan uang. Tetapi Agus yakin, ia lebih dibutuhkan di sekolah ini dibanding tempat lain. Agus yang masih menyandang status mahasiswa di Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD Bandung), harus memutar otak untuk mengatur jadwal kuliah yang padat. Tidak main-main, ia harus pulang pergi Cicalengka-Bandung untuk mengikuti jadwal kuliah dan harus tetap mengajar. “Suka kesiangan kalau kuliah, karena ngajar dulu. Saya tidak memprioritaskan satu sama lain, harus memprioritaskan keduanya. Saya kudu berprestasi di kampus, dan sekolah ini harus tetap maju. Walaupun begitu IP harus tetap cumlaude. Karena itu amanah dari orangtua dan menjadi tanggung jawab pribadi. Kalau kita enggak ngatur waktu, waktu yang ngatur kita,” jelas pria berkacamata ini.

''

Kalo kita enggak ngatur waktu, waktu yang ngatur kita.” -Agus Akmaludin

survei, pada 2008 dirintislah sekolah yang berada di daerah Ranca belut, Cicalengka. Agus pun diberi amanah untuk mengajar di sekolah terbuka tersebut. Tahun 2012 menjadi awal ia mulai terjun untuk menunaikan ambisinya, berjuang di bidang pendidikan.

3 1

4

Langkah Agus untuk terjun di bidang pendidikan tidaklah semulus sutra. Adanya tentangan-tentangan dari warga sekitar saat akan dibangunnya sekolah menjadi kerikil tersendiri baginya. Sempat ada penolakan yang dilakukan para warga karena takut anaknya diajari aliran-aliran sesat, bahkan diancam akan membakar sekolah tersebut. Dengan sikap para warga yang sulit menerima pendatang, tidak membuat Agus menyerah. Untuk menghadapi masalah komunikasi ini, ia harus meluluhkan hati masyarakat dengan niat baik untuk menyulut api semangat belajar anak-anak sekitar. Tak hanya itu, awal mula dibangunnya sekolah hanya ada tiga anak saja yang ingin belajar. Lambat laun, jumlah siswa di sini jadi 10 anak dan terus berkembang sampai sekarang bertotal 52 jiwa untuk siswa SMP dan 22 orang untuk siswa Paud. Hingga saat ini, dengan dana udunan dibangunlah dinding yang awal bilik itu jadi bangunan permanen, serta terbeli pula alat penunjang lainnya.

Dedikasi pun akhirnya berbuah manis, anak bungsu dari tujuh bersaudara ini menyabet Sabilulungan Award 2015 di Bidang Pendidikan. Keterbatasan kondisi bukan berarti tak bertaji, nyatanya tebaran prestasi tetap ia tuai. Anak-anak bukit ini, telah membuktikan berkali-kali. Salah-satunya, juara satu cerdas cermat tingkat kabupaten Bandung. Hal tersebut membuat Agus makin semangat untuk memajukan sekolah. Ia ingin membuat kampung ini menjadi kampung pendidikan dengan membaur bersama masyarakat, tanpa ada tembok pembatas. Menurutnya, semua tempat adalah tempat belajar. Mulai dari sungai, gunung, sampai warung, semua adalah tempat belajar. Saat Agus melihat siswanya, ia tidak melihat dari kondisi yang sekarang, tetapi melihat wajah mereka beberapa tahun mendatang. “Semangat mengajar saya menjadi lebih terdorong seteleh melihat hal itu,” ungkap Agus dengan menggebu-gebu Harapan Agus pada mahasiswa lainnya ialah; bagi yang merasa terdidik dan punya tanggung jawab, silahkan mulai terjun langsung kepada masyarakat. Minimal mengamalkan Tridharma perguruan tinggi di lingkungan sekitarnya. “Jangan sampai kita mewarisi generasi lemah karena ini adalah tugas kita untuk memberikan serta melayani masyarakat di bidang pendidikan, karena mendidik itu tugas orang terdidik,” tutup Agus Akmaludin.

56 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Perjalanan

Menjelajahi Panorama

Teks: Wiwin Fitriani

Bumi Flores

Gelap, dingin dan sunyi, rasa pertama kali tim Suara Mahasiswa berpijak di tanah timur Indonesia, yap Labuan Bajo. �Penginapan, penginapan, penginapan� dialek asing saling bersahutan seakan menyerang tawarkan tempat bermalam. Kami putuskan pergi sendiri, mencari penginapan, berharap menemukan segepok keindahan di Nusa Bunga ini. 57 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

Sebelum menelusuri lebih jauh, Bajo View pun menjadi tempat persinggahan untuk beberapa hari kedepan. Dari housetel ini mata akan dimanjakan dengan pemandangan Bajo yang terhampar dari atas bukit, sehingga suguhan pantai, dermaga, dan beberapa pulau kecil dapat kita nikmati. Suara Mahasiswa berjumpa dengan kawan baru bernama Ikraman. Sembari menikmati sunset, kami mulai bercengkrama untuk menilik sejarah Labuan Bajo. “Saat itu Labuan Bajo merupakan sebuah pelabuhan kecil yang cantik di ujung barat Pulau Flores, sehingga daerah ini pun menjadi pintu penghubung dataran Flores,� jelas pria berdarah asli Bajo ini. Sejumlah destinasi pun sudah menanti untuk disambangi. Pede dan Goa Cermin menjadi usulan Ikraman sebagai salah satu ikon wisata di Labuan Bajo. Menurutnya, tak lengkap rasanya bila tidak menyinggahi destinasi ekowisata ini.


Menjelajah Panorama Bumi Flores

Komodo Wisata Mendunia Sinar mentari sudah mulai terasa hangat, bergegaslah kami untuk melanjutkan perjalanan. Arus laut bergerak berlawanan, namun kapal tetap cekatan membawa kami dari Bajo hingga Komodo. Menepi di hamparan pasir putih yang menjadi kawasan hewan purba bernama lokal Mbou, kami disambut pemandangan berbeda dari halnya Bajo. Terlepas dari eksotisnya reptil ini, habitat asli mbou memiliki rupa 25 persen hutan tropis dan selebihnya padang rumput. Ditemani seorang tour guide bernama Stefanus, ia menyarankan Suara Mahasiswa ke destinasi wisata yang patut didatangi ketika berkunjung ke Komodo, Rinca dan Kanawa. “Salah satunya, area segitiga terumbu karang. Daerah ini menjadi wisata taman laut yang menarik banyak wisatawan,� tuturnya dengan logat khas. Tak hanya dapat menyelam, di sana kami disapa ikan yang bergerombol dari atas kapal. Saking jernihnya beberapa titik pantai, sejumlah biotalaut dapat terlihat jelas.

Desa di Atas Awan Perjalanan dilanjutkan menggunakan travel menuju daerah Ruteng, Kabupaten Manggarai, Kecamatan Satarmese Barat. Semasa perjalanan akan ditantang medan berkelok di antara hutan dengan pemandangan pantai yang menjadi suguhan tersendiri. Menuju salah satu desa yang berada di atas pegunungan dengan ketinggian kurang lebih 1200 mdpl. Desa Dintor, merupakan perkampungan terakhir yang dapat diakses kendaraan sebelum sampai ke Wae Rebo. Sebelum memasuki 'desa di atas awan' itu, Denge adalah kampung persinggahan yang baiknya dinikmati. Wae Rebo, merupakann salah satu destinasi yang wajib dikunjungi ketika berada di Flores. Keindahan desa di Atas Awan tampak jelas karena diapit pegunungan sekitarnya. Setelah kaki menginjakan Wae Rebo, mata kami disuguhkan pemandangan rumah adat yang bernama Mbaru Niang. Bangunan berbentuk kerucut dan diisi 5-6 keluarga membuat daerah ini menjadi mendunia karena tradisinya.

Kota di antara Savana Beranjak dari Wae Rebo, Desa Mbay, Ibu Kota Kabupaten Nagakeo pun menjadi daerah tujuan selanjutnya. Setiba di Mbay, seorang teman tengah menunggu kedatangan kami. Daerah kecil nan dikelilingi bukit-bukit sejauh mata memandang ini, membuat lensa terpana akan keindahan Mbay yang menawan. Sebagian besar daerah ini merupakan pegunungan dengan savana dan alang-alang yang luas. Di sini kita dapat menjumpai hewan-hewan ternak yang berkeliaran di sepanjang bahu jalan. Hembusan angin pun terasa sangat kencang. Walau nyatanya bervegetasi gersang, namun udara di daerah ini terasa amat sejuk. Selain kaya akan wisata dan budayanya, dataran Flores memang dikenal dengan kain tenun yang khas. Bahkan setiap daerah memiliki corak dan motif yang beragam. Dan keberagaman itu dapat anda temui di Mbay.

58 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Perjalanan

Jejak Proklamator di Tanah Ende Keesokan harinya Suara Mahasiswa melanjutkan perjalanan menuju Kota Ende. Lagi-lagi jalanan beraspal di antara bebukitan, menjadi suguhan selama perjalanan. Selain memiliki wisata alam yang beragam, dataran Flores pun punya tempat bersejarah bagi Indonesia khusunya di Daerah Ende. Sesampainya di Ende, sebuah bangunan era Belanda tampak di salah satu tepi jalan. Bangunan yang dipolesi warna putih ini terjaga kokoh dan terterakan 'Rumah Pengasingan Bung Karno'. Saksi bisu keberadaan bapak poklamator, selama empat tahun di Flores. Terdapat berbagai benda peninggalan yang masih terjaga. Sedikit bercerita tentang sejarah tempat ini, Soekarno sempat diasingkan karena kolonial Belanda ketar-ketir dalam sejumlah pemberontakan, yang di mana sang mantan RI satu, dianggap sebagai provokatornya. Tak jauh dari sana, berdiri kokoh patung bapak proklamator tersebut. Monumen ini telah direnovasi, di mana posisi Soekarno yang semula tengah berdiri lalu dibuat duduk bersilang. Dari sana terlihat jelas pohon sukun yang menjadi inspirasi lahirnya pancasila.

Menyambangi Taman Nasional Gunung Kelimutu Kelimutu, salah satu gunung andalan dataran Flores. Bertempat di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, dan lagi-lagi jalanan berkelok antara pegunungan hijau dapat kita jumpai.

ketiga danau tersebut; Tiwu Ata Polo (hijau), lalu Tiwu Nuwamuri Ko’ofai (biru) dan yang terakhir Tiwu Ata Mbupu (hitam). Keunikannya tentu membuat kawasan ini jadi destinasi yang digandurungi pelancong.

Untuk masalah suasana, mungkin anda sudah membayangkanya bukan? Kita akan disuguhkan udara tropis dengan berbagai pemandangan yang tentu mampu melepas kejenuhan metropolitan.

Lukisan alam yang ditawarkan Pegunungan Kelimutu pun akan nampak lebih indah dibanding bulan-bulan penghujan. “Pertengahan tahun jadi momen yang tepat untuk berkunjung,� ungkap Abidin teman yang menemani selama di Ende. Ada pun dini hari sebagai jam-jam terbaik untuk mensyukurinya.

Dikaruniai danau tiga warna, seperti yang terpotret pecahan Rp. 5.000 dulu, Kelimutu pun memiliki wisata air panas. Adapun nama

Eloknya Taman Laut 17 Pulau Riung Hari pun berganti, tujuan wisata juga berlanjut menuju 17 Pulau Riung. Kali ini hamparan savana menemani Suara Mahasiswa saat dalam perjalan. Taman Laut Riung merupakan wisata bahari yang mengagumkan di Flores, terletak di Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur. Setibanya di dermaga, berlayarlah kami mengitari gugusan pulau besar dan kecil. Kawasan konservasi sumber daya alam Kupang ini, dikelilingi setidaknya 20an lebih pulau-pulau yang tak beraturan. Nama 17 Pulau Riung sendiri, hanya momerandum akan tanggal kemerdekaan Indonesia. Saat melintas Pulau Ontoloe, samar riuh kelelawar, menjadi daya tarik tersendiri. Menepilah kita di Pulau Tiga atau Pulau Pasir Putih. Berjalan menuju gazebo dengan rerimbunan pohon menambah keindahan suasana taman laut ini. *** Setiap sudut di negeri ini menjanjikan eloknya Indonesia yang tak ternilai

59 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

harganya. Tak heran sejumlah destinasi wisata jadi primadona pelancong mancanegara. Bila ada anda memilih membeli tiket murah ke luar negeri, baiknya buka lah peta Indonesia, tunjuk asal ke satu titik, dan siapkan panggilan untuk membatalkan penerbangan.

Gambar Hal. 58 Atas kanan : Suasana di Dermaga Labuan Bajo, sejumlah kapal kecil sedang bersandar di pinggir dermaga. Beberapa kapal besar pun singgah di pelabuhan ini, dengan hampara laut yang berwarna biru tua. (Net.) Tengah Kanan : Bukit-bukit yang terlihat sejauh mata memandang hanya rumput-rumput kering yang terdampar, dengan diselengin sediikit tumbuhan hijau. (SM/Wiwin) Bawah Kiri : Terlihat jajaran rumah adat Mbaru Niang dengan desain yang sangat unik berbentuk kerucut dan memiliki lima lantai dengan tinggi sekitar 15 meter, yang hanya terdapat di Wae Rebo. (Net.) Gambar Hal. 59 Atas Kanan : Keadaan Salah satu danau di Gunung Kalimutu, terlihat indah dengan latar belakang matahari tenggelam berwarna kuning tua. (Net.) Bawah Kiri : Perahu yang tengah bersandar di pantai putih di Pulau Riung, warna laut biru muda dengan gunung-gunung berjajar rapi. (SM/Wiwin)


BANG RONI Roni Suhendar, adalah sekian nama dari deretan lainnya yang akan terukir pasti di buku sejarah Suara Mahasiswa. Sumbangsih ia yang menembus zaman kala itu, menjadi pionir dalam menghadirkan karya; portal berita online Suara Mahasiswa, yang sungguh bermaslahat bagi kami. Pun teruntuk mahasiswa Unisba generasi awal duaribuan, hingga kini mencapi angka lima belas di belakang tahun dua ribu. Karena nama dan 'hadirnya' akan selalu masyhur di hati para punggawa pengurus,juga manfaat buah pikiranya senantiasa mengarungi bahtera rumah ini, Suara Mahasiswa.


Musik

TAMPARAN MERAH BERCERITA, BERNAS DALAM ‘APA GUNA’ Teks: Marlina Sari

“Apa guna punya ilmu tinggi jika hanya untuk mengibuli,” –Merah Bercerita-

Kutipan lirik tersebut berasal dari salah satu band asal Solo, Merah bercerita. Band ini digawangi Fajar Merah (vokalis), Yanuar Arifin (Bass), Gandhiasta Andarajati (Gitar), dan Lintang Bumi (Drum). Pada pertengahan November lalu, Suara Mahasiswa berkesempatan mewawancarai band yang memulai karirnya sedari 2012 ini. Sebelumnya, sebagai bukti keseriusannya dalam bermusik, Merah Bercerita sempat me-release album perdananya pada Agustus 2015 lalu. Album dengan ngaransama dengan empuhnya ini berisikan 10 track, di dalamnya terdapat beberapa puisi karya Widji Thukul, seperti ‘Bunga dan Tembok’, ‘Derita Sudah Naik Seleher’, ‘Kebenaran Akan Terus Hidup’, dan ‘Apa Guna’. “Puisi Bunga dan Tembok-lah yang mempunyai makna paling dalam bagi saya, karena disitu ada pematikyang dapat menyalakan api dalam setiap jiwanya,” ungkap sang vokalis.

61 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

Foto: NET

Lagu “Apa Guna” yang sempat dibawakan oleh group Kepal SPI, kemudian di daur ulang oleh Merah Bercerita. Melalui aransemen yang baru Merah Bercerita ingin menyamapaikan pesan kepada semua orang yang mempunyai intelektual tinggi,“Supaya ilmu yang di dapat, bisa di gunakan dengan sebaik-baiknya bukan malah sebaliknya,” ungkap sang gitaris. Sesuai dengan janji kami sebelumnya, berikut adalah sedikit potongan obrolan Suara Mahasiswa dengan Fajar Merah dan Gandhiasta Andarajati, dari Merah Bercerita. Mulai dengan Pertanyaan tentang kesibukan sehari-hari, hingga pendapat mereka tentang kualitas tenaga pengajar Indonesia, mereka jawab dengan santai. Tak baik, banyak bertele-tele, jadi, selamat menikmati.


Tamparan Merah Bercerita, Bernas Dalam ‘Apa Guna’

1. Dalam album perdana Merah Bercerita, ada salah satu lagu yang berjudul ‘Apa Guna’, puisi dari Wiji Thukul. Apa alasannya membawakan kembali puisi itu? Puisi tersebut sebetulnya memang sudah menjadi sebuah lagu, namun saya recyle dan coba dikemas dengan suasana yang berbeda, sedikit kekinian, agar lebih bisa dinikmati oleh pendengar. 2. Dilihat dari lirik lagu itu, sebetulnya itu ditunjukan untuk siapa? Sebenarnya untuk orang yang sekolah tinggi-tinggi, namun akhirnya dia tidak mengamalkan apa yang dipelajarinya. Seperti halnya dalam kegiatan sekolah yang pelajarannya kini sudah semakin rumit, yang memang tidak sesuai dengan kemampuannya. Karena pintar itu tidak harus hanya di sekolahan saja. Setiap orang yang kita temui pun bisa menjadi sosok guru bagi kita. 3. Dalam puisi ‘Apa Guna’, ada bait yang berkata seperti ini; “Berdiri gagah kongkalingkong dengan kaum cukong,� nah apa pesan utamanya? Maksud lirik di sana, menjelaskan bahwa orang yang sudah tinggi derajatnya, namun akhirnya dia bermain licik dalam segala hal dengan cara yang kotor. 4. Selain melalui media musik, apakah Merah Bercerita mencoba mengaplikasikan pesan-pesan dalam lirik-lirik itu? Pasti, kalau masalah itu kami mengawali perubahan nyata yang baik mulai dari hal yang terkecil, seperti keluarga. Hingga akhirnya yang terbesar, kalau masalah untuk sosial itu tak semestinya harus dipaparkan juga. Yah kalau pernah sih pernah. Kaya hasil dari manggung kami juga pernah ngasih ke yayasan atau masyarakat yang membutuhkan. 5. Bagaimana pandangan Merah Bercerita terhadap dinamika pergerakan sosial kemasyarakatan,terutama pemuda?

Kami berpendapat, gerakan yang harusnya paling depan adalah generasi muda, karena mereka merupakan kekuatan terbesar dalam segala hal, baik itu mengajak semua untuk tetap bersama-sama merubah menjadi lebih baik. 6. Bagaimana korelasi antara lirik lagu ini dengan kondisi sosiologis masyarakat sekarang? Walaupun lagu itu sudah lama, dan diberbarengan dengan kondisi zaman dulu, ternyata tidak jauh berbeda dengan sekarang.Tidak ada perubahan yang besar, apalagi perubahan agar menjadi lebih baik, malah dunia zaman sekarang lebih parah. 7. Bagaimana pandangan kalian terhadap pendidikan saat ini? Masih ada yang kurang, yang pasti dalam masalah pendidikan harus lebih terarah lagi dan lebih fokus ketujuan yang lebih baik. 8. Bagaimana pendapat kalian tentang tenaga pengajar yang terjerumus masalah tiru-meniru karya? Fajar: Bagi saya hal tersebut ya memalukan, berarti pendidikan dan jalurnya selama ini masih kotor dan hanya sekedar buat formalitas saja. Gelar sarjana, nilai dan lain-lain harus didapat berdasarkan kemampuan ilmunya. Bukan yang punya uang jadi yang pintar. Gandhi: Seharusnya pemerintah dan dinas terkait lebih ketat dalam menyeleksi pengajar-pengajanya. Harus diberi tes khusus dalam menyeleksi, jangan dilihat dari tittle sekolah dari mana si pengajar lulus. Ya intinya lebih menilai dari kualitas pengajar sih dalam hal seleksi. 9. Apa harapan kalian setelah lagu-lagu Merah Bercerita di dengar banyak orang? Semoga menjadi energi baik bagi para pendengar, dan percaya pada harapan yang kita buat untuk lebih baik.

*** Nah kita sebagai pemuda pasti tahu dan sadar akan makna lagu yang dibawakan oleh Merah Bercerita. Bagi yang ingin lebih mengenal mereka, dalam waktu dekat, Merah Bercerita akan mengadakan konser tunggal dengan mengangkat konsep tragedi 65. Rencanya, konser itu sendiri akan dilaksanakan Desember ini, bertempat di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.

62 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Musik

Sigmun: Bebas Menafsirkan 'Ozymandias' Band beraliran hard rock, Sigmun, kini telah mengeluarkan single terbarunya yang berjudul ‘Ozymandias’. Lagu ini menjadi single pertama dalam album ‘Crismon Eyes’ yang rilis bulan November 2015 lalu. Band kota kembang yang di gawangi; Haikal Azizi (vokalis sekaligus gitaris), Nurachman Andhika (gitaris), Mirfak Prabowo (bassist), dan Pratama kusuma Putra (drummer) ini merilis lagu tersebut bertepatan dengan munculnya fenomena gerhana bulan pada Senin, 28 September lalu. Dalam track 'Ozymandias', mereka membiarkan pendengar untuk berekspetasi akan makna lagu tersebut. Mereka beranggapan, tembang ini akan lebih baik blur, agar siapapun yang mendengarnya, terbawa cair dalam beragam pemaknaan. Tembang ini berangkat dari konsep surealis dengan penggunaan simbol yang tidak mudah untuk diterjemahkan secara harfiah, “Kami membebaskan pendengar untuk menduga apakah Ozymandias. Bagi kami aktivitas mendengarkan musik itu subjektif banget,” ujar Haikal, sang vokalis.

Teks: Siti Rohimah Foto: NET

R14, Apresiasi Semangat Juang Ria

Dalam durasi empat menit, Sore bawakan alunan nada yang santai dan mendayu-dayu dengan lirik penuh arti. Ada pun sumber inspirasi track ini, dari seorang kawan, Ria Irawan yang berjuang melawan penyakitnya. ‘R14’ (Baca: Ria) adalah sebuah empat menit penuh penghargaan dalam album ‘Los Skut Leboys’ yang resmi dirilis September lalu. “Sebenarnya lagu itu tidak terpikirkan untuk masuk album, karena lagu ini didedikasikan untuk seorang sahabat, hingga perjuangannya menginspirasi kami,” ujar sang gitaris Reza Dwi Putranto. Perjuangan Ria dalam melawan kanker kelenjar getah bening, membuat banyak orang terinspirasi, termasuk band yang satu ini. Saat diperdegarkan kepada wanita kelahiran 1969 ini, ia mengaku track tersebut membuatnya terinspirasi. Ia kembali melanjutkan karyanya di dunia film, bahkan sempat menggagas proyek film berjudul “Gila dan Jiwa”.

63 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Mahasiswa Berprestasi

ala

SEMANGAT PRAJURIT

MAHASISWA KEDOKTERAN Teks: Firhan A. Suwares Foto: Dokumentasi Pribadi

Dalam sebuah ruangan yang tak begitu luas, sepasang bola mata memandang dengan tajam ke arah pintu masuk. Bertolak belakang dengan bibir yang ramah saat menyambut Suara Mahasiswa siang itu. Badan yang tegap, terlihat begitu gagah, mengenakan seragam kebanggaan Resimen Mahasiswa, bertuliskan Dias pada dada kanannya. "Dari SM ya kang, silahkan masuk," seraya uluran tangan yang bersambut. Isdias Dwi Putra, namanya. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unisba tahun 2012 ini, adalah punggawa Resimen Mahasiswa atau biasa kita kenal, Menwa. Kebahagian tersendiri bagi Dias, kala menjadi seorang prajurit kampus. Sebenarnya, sejak kecil ia berkeinginan menjadi seorang tentara, namun ambisi tersebut harus tertunda oleh kehendak orang tua. Sang bunda yang menyarankannya menjadi dokter terlebih dahulu, lalu kemudian boleh menjadi seorang prajurit. Kesibukan di Fakultas Kedokteran tidaklah sedikit, namun tak menghalanginya untuk berorganisasi. Usai resmi menjadi anggota, tiada penyesalan yang menyambangi, semua ia lakukan dengan senang hati. “Sebenarnya sudah jadi keinginan sejak kecil ingin masuk TNI, tapi enggak masuk. Jadi masuk Menwa biar nyalurin keinginan,” jelas pria 20 tahun ini. Organisasi bukan lah suatu yang aneh bagi Dias. Patroli Keamanan Sekolah (PKS) dan menjadi atlet basket sewaktu bersekolah di SMAN 9 Bandung, membuatnya terbiasa membagi waktu antara akademik dan organisasi. Hal ini pun terbawa sampai ke bangku kuliah. Prestasinya di bidang akademik terbilang mengesankan, dengan IPK 3,63, membawanya ke olimpiade kedokteran se-Indonesia yang akan diadakan 14 Oktober 2015 mendatang, di Makasar, Sulawesi Selatan. Mewakili Universitas Islam Bandung dan

Fakultas Kedokteran membuatnya bersyukur sekaligus bangga.

merasa

Ketika ditanya mengenai bagaimana cara berprestasi dalam akademik dan tetap aktif berorganisasi, dengan antusias dan penuh semangat ia menceritakan. “Kalau segala sesuatu atau tugas, jangan ditunda-tunda. Nanti jadi kebiasaan, akhirnya jadi malas,” tutur pria kelahiran Jakarta ini. Menjadi mahasiswa dan aktif berorganisasi, menuntutnya harus membagi prioritas. Dan kuliah merupakan hal yang paling ia utamakan. “Karena saya aktif di organisasi dan menjadi mahasiswa FK yang sibuk, tentunya saya memprioritaskan kuliah yang lebih utama karena itu kewajiban,” paparnya saat bercerita di Markas Menwa Unisba. Jika tak ada halangan, awal November 2015 ini, ia berniat mengikuti ujian seleksi beasiswa prajurit karier TNI. Hal tersebut membuatanya harus menyiapkan segala bekal secara matang, baik kemampuan di bidang pengetahuan ataupun fisik. Akhir perbincangan Dias mengucap harap dapat menjadi Dokter sekaligus prajurit TNI. ”Harapanya sih bisa lulus beasiswa itu, biar hobi dan profesi dokter bisa dilakuin bersamaan,” harap Dias, menutup obrolan kami.

64 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Pujangga

KI HAJAR DEWANTARA JILID DUA Teks: Insan Fazrul R. Foto: NET

Manusia yang benar-benar manusia nyaris hilang di Bumi tempat manusia lahir ini. Jangan kau tanya, terlalu ngeri tuk dibahasakan. Namun, seorang teman mengirimkan sebuah e-mail yang menggugah sesiapa yang membacanya; atau mungkin sebagian kecil saja. Ini adalah kisah seorang sahabat yang berjuang demi pendidikan, kisah yang bercerita bahwa ilmu adalah ‘HAK SEMUA ANAK BANGSA’. *** Waktu itu bulan purnama telah penuh, menggagahi kota Bandung. Susu hangat mengepul manja dari gelas berwarna putih. Dalam kesenduan alunan lagu ‘Berdistraksi’ Danilla Riyadi, Aku membaca perlahan sepucuk surel yang masuk dari kawanku, Adi. Surel itu bernarasikan KIHAJAR DEWANTARA JILID II, ia menyebutnya. Kawan, isi surel atau e-mail ini telah aku edit sedemikian rupa untukmu; agar terbahasakan dengan seindah-indahnya dan mudah dimengerti. *** “Hari itu tepat Ujian Tengah Semester di Kampusku. Gerumulan orang berkelompok di teras mesjid, memenuhi tiap sudutnya untuk belajar. Ya, mengulang materi dosen demi mempersiapkan UTS yang berada di depan mata. Namun, ada yang beda; kawan dekatku Agus datang lagi ke Kampus. Kelopak hitam menggelayut di bawah mata. Rambutnya basah, pertanda bilasan air menguasai dirinya. Ah, Berantakan benar. Kau tahu, Ia adalah seorang mahasiswa D-O dua tahun yang lalu dan kini datang ke kampus dengan langkah kepayahan. *** “Bakar saja bukumu jika bermanfaat. Buat kau saja tidak bisa manfaat, apalagi buat orang banyak!” geramnya dengan berapi-api. Diskusi sering aku lakukan dengan Agus, terutama masalah tentang

65 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

pendidikan dengan sistem yang menaunginya. Memang benar apa yang dilontar bibir pria Sunda itu; pria yang bercita-cita mendirikan lembaga pendidikan dari yang paling rendah sampai tinggi macam ‘Taman Siswa’. Agus memang begitu mengagungkan ucapan maha filosofis dari Ki Hajar Dewantara, bapak Pendidikan Indonesia. Harapan dia satu, ingin menjadi kepala sekolah dan mendirikan sekolah dengan kurikulumnya. Maka tak heran ia memilih jurusan Teknologi Pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta Kota Bandung. Agus berkeyakinan, dengan pendidikan yang baik, merata, tanpa pandang strata, nol rupiah dan menyenangkan, bisa melahirkan insan-insan paripurna untuk membangun bangsa. “Pendidikan adalah wibawa bangsa! Tanpa pendidikan bangsa kita akan menjadi hamba sahaya di bumi manusia ini!” ucapnya, dengan mata berkaca-kaca, tulus, jujur, dan semurni-murninya hati. Dia tergolong anak yang sangat pintar. Segala macam materi dengan mudahnya ia serap, dosen pun memuji kehebatannya. Namun sayang, kini ini ia jarang masuk kuliah. “Bosan, Di,” keluhnya. Bacaanya tiap hari adalah buku-buku berat. Buku ‘kiri’, ‘kanan’, dan ‘tengah’ menjadi vitamin untuknya. Novel sastra


“Pendidikan adalah wibawa bangsa! Tanpa pendidikan bangsa kita akan menjadi hamba sahaya di bumi manusia ini!” pun sering ia lahap. Ia bercerita bahwa setiap minggu, dirinya mampu menghabiskan tiga buku dengan ketebalan 200 halaman. Namun, kau tahu, kala itu berbagai materi perkuliahan meluncur deras dari dosen–dosen berambut jarang itu -meski sebenarnya hanya memindahkan apa yang ada di dalam buku. Topang dagu sebagian besar mahasiswanya membuat suasana kelas bagai penjara, begitu muram. Di luar, terik matahari menggagahi sesiapa saja yang ada di bawahnya, tanpa awan. Kebetulan Agus masuk kelas dan sedari tadi ia membaca buku dari Tan Malaka yang berjudul “MADILOG”. Mukanya nampak geram melihat cara dosen itu mengajar. Agus berdiri, menodongkan telunjuknya pada dosen bergelar Profesor di depanya. “Hei pak! Materi yang bapak bicarakan dari tadi huruf per hurufnya ada di dalam buku. Adakah yang bisa kami pelajari? Sudah diamkan bualanmu, kami semua muak, bosan pak!” cerca anak ini. Gila! Telunjuknya dengan perkasa memperkosa gelar sang dosen. Dosen itu tak diam saja, tempelengan keras menghujam pipi kiri Agus. Tanpa kompromi ia membawa si Agus ke ruangannya. Kawan lain hanya bisa diam bisu tanpa suara, tak menyangka Agus akan senekat tadi. Ya, bisa diperdiksi Agus di keluarkan dari Universitas yang kata orang pencetak para pembaharu bangsa. Dan Agus dengan gagah beraninya tak mempermasalahkanya, ia rela serela-relanya. Aku dan teman

yang lain malah memuji apa yang dilakukan Agus, metode pembelajaran di kampus menjadi sedikit agak berbeda karena ‘Telunjuknya’. *** Dengan langkah gontay Agus menghampiriku, wajahnya yang nyaris tak dialiri darah itu memancarkan kesenangan yang hakiki muncul dari hatinya. “Di, aku berhasil, aku punya sekolah sendiri,” untaian kata itu mengalir indah dari mulutnya. Cita-citanya akhirnya berhasil, mempunyai sekolah sendiri. Ia lantas bercerita bahwa selepas di keluarkan dari Kampus dengan penuh semangatnya, Agus menjadikan rumahnya di Garut sana menjadi sekolah rakyat. Sekolah menengah pertama di daerahnya hanya ada dua, sementara SD ada sepuluh. Anak yang meneruskan dari SD ke jenjang berikutnya sangat sedikit, ia ingin memutus rantai putus sekolah, dengan menelurkan Sekolah Rakyat “Ki Hajar Dewantara”. Ia setiap harinya mencari anak yang putus sekolah atau yang sama sekali belum pernah sekolah. Bulan pertama ia hanya bisa mengumpulkan lima orang anak, namun karena semangatnya, lima bulan kemudian menjadi 25 dengan tambahan dua. Tak lama, 15 bulan kemudian sekolah rakyat itu menjuarai cerdas cermat sekabupaten, dan mayoritas siswanya diterima SMA dengan jalur prestasi dan tanpa biaya seperak pun. Ah kawan, dengan filosofi taman siswanya, ia akhirnya berhasil menghasilkan

anak-anak Paripurna. Pengajaran yang berbeda dengan kurikulumnya, dengan peraturannya. Tak bisa kubahasakan bagaimana cara ia menjadikan taman siswa benar-benar hadir di era kontemporer ini. Sengaja ia datang ke kampus menyampaikan hal ini, bahwa tanpa kuliah dengan dosen-dosen memuakkan, Agus bisa menggapai impiannnya. Menggapai impian Ki Hajar Dewantara. *** San, tak lama setelah itu aku datang ke sekolah rakyat milik Agus, dan benar saja aku melihat Taman Siswa bener-benar indah. Indah bukan karena bangunannya, tapi karena ‘cantiknya’ apa yang dikerjakan Agus. Benar, tak bisa aku bahasakan, aku menangis. Sekolahnya sesederhana sebuah sekolah, tetapi guru dan para muridnya separipurna guru dan murid di Bangsa ini. Bagi sebagian besar orang mungkin cerita Agus adalah cerita remeh, juga sekolahnya. Tapi bagiku, semoga juga bagimu, ini adalah hal luar biasa, titik cahaya untuk pendidikan Indonesia ada, kita bisa mengejarnya. Karena Agus san, dia adalah Ki Hajar Dewantara Jilid II” *** Itulah surat elekronik dari Adi sahabatku. Menceritakan tokoh Agus yang begitu gilang gemilang dengan segala kekurangannya. Menghadirkan sekolah yang hakiki di ujung kota Garut. Karena aku, Adi dan Agus yakin, ‘PENDIDIKAN ADALAH MILIK SEMUA ORANG, TAK TERKUCALI SESIAPAPUN’.

Foto: NET

66 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


B’OWL! Sensasi Makan Tengah Malam yang Nikmat Teks: Siti Rohimah

Dini hari pusing cari makan ke mana? Yang ada cuman makanan itu-itu saja? Yuk ke cafe B’owl! yang buka sampai dini hari dan rasakan kenikmatnya! Belakangan ini segala sesuatu yang berbau cita rasa barat telah sukses membius masyarakat Indonesia, terutama para pecinta kuliner, salah satunya adalah dessert. Cafe yang akan kita kunjungi kali ini, menjual dessert dan berbagai makanan lain yang tentunya menggugah selera. Ya, ini dia B’OWL! Cafe, meski baru dibuka pada Juni 2015 lalu, namun pemburu kuliner sudah ramai datang ke sini. Restoran ini pada awalnya menyediakan aneka macam juice, dengan nama BOJ, dan berlokasi di Lengkong Besar. Akan tetapi, karena ingin memperluas varian hidangan dan berpindah ke Dipatiukur, lantas nama BOJ diubah menjadi B’OWL! yang mempunyai arti burung hantu, didasari karena kafe ini buka hingga dini hari. Berdirinya B’OWL! diprakarsai lima orang yang sudah berteman sejak lama, yaitu Kris, Temy, Alvin, Raymon, dan Hendra. Ide membuka usaha kuliner, berasal dari oleh hobi mereka yang menyenangi dunia bisnis. “Berawal dari inginnya punya bisnis, terus ngobrol sama yang lain akhirnya ada tempat dan jadilah B’OWL!,” ujar Kris. Mengusung desain bertema pop art, membuat suasana terasa lebih kekinian, sehingga pengunjung bakal betah berlama-lama nongkrong di sini. List yang disediakan pun beraneka ragam, mulai dari ‘Indomie’, ‘Fried Rice’, ‘cemilan’, ‘dessert’ dan ‘minuman’. Kafe ini juga mempunyai menu andalan, yaitu ‘Nasi Goreng Thailand’, ‘Banana Temple’ dan ‘Burger Mie’. ‘Banana Temple’ menjadi hidangan yang beda, karena disajikan secara unik. Keistemewaannya terlihat dalam proses pembuatannya saat awal roti digoreng sebentar,

67 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Advertorial

Tahu Pedas

kemudian di potong-potong, lalu disusun dan dibentuk seperti ‘temple’, setelah itu ditaburi bubuk milo dan di depannya diberi potongan pisang serta susu coklat, nyaaam. Dessert ini menjadi menu yang paling diburu oleh pengunjung. Tak hanya menyajikan makanan saja, B’OWL! juga punya menu minuman yang segar tatkala kerongkongan ingin ditunaikan dahaganya. Yah, ini dia ‘Jus Kembung Greenie’ yang terbuat dari bayam daun mint, serta lemon yang dicampur menjadi satu sehingga rasanya selain segar tentu menyehatkan tubuh. Nama kembung dipilih karena sesuai dengan bentuk gelas yang dipakai, yang ukurannya besar sehingga porsinya pun bisa banyak. Masalah harga tak perlu khawatir, harga yang ditawarkan sungguh bersahabat dengan kantong

Hide and Seek

Ranbow Delight

mahasiswa. Untuk minuman dimulai dari Rp 4.000 – Rp 25.500, sedangkan makanan dibanderol Rp 15.000 – Rp 29.500. Tak perlu merogok kocek dalam kan? “Enaklah, tempat ini nyaman leluasa apalagi dengan desainnya yang sangat unik, sehingga membuat saya sangat betah di sini, bahkan saat mengerjakan tugas,” ucap Yuni Shopia salah satu pengunjung. Bagi kalian yang udah penasaran buat nyicip makan dan minum di B’OWL! yuk buruan datang, dijamin pasti ketagihan. Apalagi di sini kamu bisa “write down your dream in there” mengungkapkan harapan-harapan di dinding tembok yang berbentuk pohon dengan kertas warna-warni. Oh iya, kalian juga bisa intip Instagramnya di @be.owl untuk dapat info terbaru dari kafe ini. So, enggak usah ragu dan mikir dua kali buat dateng ke sini, yuk merapat!

Tripple Choco

Jl. Dipatiukur No. 26-B Bandung

11.00 hingga 02.00 WIB

Minuman Rp. 4.000 – Rp. 25.500 MakananRp. 15.000 – Rp. 29.500

68 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Advertorial

Kios’K Me, Tempat Para Komunitas Memanjakan Perut

Ini dia, sebuah cafe yang menyediakan tempat khusus buat para komunitas, ditambah dengan sensasi Mie Ayam ala Kios’k Me yang membuat lidah enggan untuk berhenti ngunyah.

Teks: Marlina Sari Foto: Amelia dan Marlina Sari

Suara Mahasiswa bakal ngasih tahu lagi satu tempat asyik untuk kamu ngisi lambung. Sedikit bocoran, suasana cozy, makanan yang enak dan ramah di kantong, jadi gambaran tempat ini. Enggak cukup sampai di situ, sejumlah penawaran menarikpun sukses bikin kamu enggak pakai mikir buat datang. Lansung aja deh, Suara Mahasiswa cerita gimana kesan pertama saat main ke tempat yang satu ini. Sesampainya di TKP, pintu berhias kilauan lampu langsung menyapa pengunjung. Pelayan pun dengan sigap menyambut, tentu beserta senyum sumbringah.

Memasuki ruangan, mata langsung dimanjakan dengan suasana interior khas unfinished. Ornamen seperti lukisan dan beberapa pot tanaman ngasih kesan segar di beberapa sisi ruangan. Meskipun masih soft launching, kafe ini sudah banyak didatangin pengunjung, mulai dari anak sekolah, mahasiswa bahkan orang tua yang hanya sekedar ingin menyeruput kopi. ‘Kios’k Me’ adalah nama tempat ini, nama yang unik membuatnya mudah untuk diingat. “Penamaan Kios’k Me sebenarnya terinspirasi dari sebuah toko ponsel, yang pada saat itu owner kita sedang membetulkan alat

69 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

Jl. Terusan Tubagus Ismail No. 17 Bandung

12.00 hingga 23.00 WIB (Soft Launching 09 Januari 2016)

Minuman Rp. 5.000-20.000 Makanan Rp. 15.000-42.000


Caffe Hazelnut Latte Ice

komunikasinya di Singapura,” ujar Rivira sang Creative Program di Kios’k Me. Lanjut!, makanan yang ditawarkan pun beraneka-ragam. Mulai dari werstern food macam ‘Spagetti Aglio Olio’, ‘Chiken Stroganoff’, ‘Fettuccine Carbonar’, ‘Lasagna’, dan ‘Steak’. Bagi yang gemar menyantap hidangan timur, Asian food pun tersedia, seperti; ‘Nasi Goreng Tomyam’, ‘Kwetiau’, ‘Mie Ayam’, ‘Mie Bakso’, ‘I Fu Mi’, ‘Gado-gado Medan’, serta ‘Rumyun’. Salah satu menu favorit di kafe ini adalah ‘Mie Ayam Bumbu Rendang’, yang menjadikannya diidolai karena punya resep beda. “Bumbu rendang yang biasanya dipakai buat daging sapi, tapi di sini kita padukan dengan mie ayam,” ungkap Rivira mantap. Menggungah selera bukan? Melihat daftar menu yang banyak, sekali lagi, jangan gundah dan gelisah. Harga yang ditawarkan sangat ramah, mulai Rp. 15.000 – Rp. 42.000 untuk makanan, minuman Rp. 5.000 – Rp. 20.000, dan dessert Rp. 10.000 – Rp. 27.000. Cocok banget untuk kantong mahasiswa yang mengalami permasalahan keuangan pada akhir bulan kan? hehehe.

Nasi Goreng Tomyam

Kelamaan melihat daftar menu tidak akan membuat perut kenyang, kami langsung saja memesan beberapa kudapan. Pilihan dijatuhkan pada ‘Nasi Goreng Tomyam’ dan ‘Ice sweet tea’. Tak lama, makanan pun akhirnya datang. Sajian yang sederhana namun tetap menawan, dan tentu, rasanya lezat, membikin mulut kita enggan berhenti mengunyah. Nasi goreng ini diracik dengan bumbu tomyam, membuat rasanya beda. Tak hanya itu, pada saat disuguhkan ada beberapa ‘ebi’ yang menjadi ciri khasnya. “Parah! Kafe ini bikin mager, tempat sama suasananya terbaik, bikin betah berlama di sini. Makanannya juga enak apalagi ‘nasi goreng tomyam’,” ujar Anetsya, salah satu pengunjung. Selain menu yang diajukan menarik, Kios’K Me memberikan banyak penawaran yang memikat. Seperti beberapa diskon, tidak tanggung-tanggung itu all item, untuk Senin hingga Kamis, ditambah digratiskannya minuman teh. Tidak selesai sampai situ, untuk kalian yang memesan minuman dan membawa tumblr sendiri, akan diberikan potongan harga sebesar 10 persen. “Selama soft launching kita akan

Mie Bakso Rendang

berikan diskon 20 persen untuk semua menunya,” tegas wanita yang berkacamata kotak ini. Ia menambahkan, bagi yang sedang berulang tahun, jangan lupa perlihatkan kartu identitas, karena akan mendapatkan special gift. Hmm, menarik bukan? Ada kabar baik juga nih buat kalian yang suka bikin event ataupun tergabung dalam suatu komunitas. Rivira menguraikan, café ini siap memfasilitasi pelanggannya untuk berkumpul, sharring, rapat, bahkan bikin acara semacam workshop, dengan layanan layaknya ‘Surga Firdaus’. Memang sengaja didirikan spot khusus di lantai tiga, yang dibuat untuk mengadakan beberapa kegiatan tersebut. “Lantai tiga ini sengaja dibuat bagi para komunitas, bahkan apabila ada event kampus pun bisa di adakan di sini,” tutupnya. Penasaran akan keindahan café ini? Jangan banyak mikir, mending langsung datengin aja Kios’K Me. Kalian juga bisa menjangkaunya di media sosial, di Instagram @kioskmebdg untuk ‘intip-intip manja’. Yuk, tunggu apalagi, langsung cus mampir!

70 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Kesehatan

PONSELKU SAYANG, PSIKIS KU MALANG SUKA MEMBAWA PONSEL KE KAMAR MANDI? ATAU CEMAS KARENA LUPA MEMBAWA GADGET? KALAU JAWABANNYA YA, BISA JADI KAMU TERKENA NOMOPHOBIA.

Dea Sari Garmeina, pernah mengalami musibah kecil di area parkir salah satu pusat perbelanjaan di Kota Bandung. Petang itu, seusai ia memarkirkan motor dan beranjak ke toko buku, seketika genggaman pada ponselnya mendadak erat. Sebab sebuah palang parkir otomatis ‘mencium’ hidung mahasiswi STIEPAR YAPARI-AKTRIPA angkatan 2013 ini. Dea mengaku, tidak menyadari palang tersebut menutup karena terlalu fokus pada gadgetnya. Seusai Dea mengalami kejadian itu, ia sempat memeriksakan diri pada

71 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015

sebuah situs besutan Patrick O’Niell dengan nama nomophobia[dot]com. Setelah mengisi beberapa tes, ia mendapatkan hasil bahwa tingkatan nomophobia yang dialaminya masih dalam tahap sedang. Terkait hal itu, Agus Sofyandi Kahfi dosen Psikologi Unisba menjelaskan, jenis fenomena yang disebabkan perkembangan teknologi ini, disebut non-mobile-phone phobia atau nomophobia. “Jika mengacu pada abnormal, itu tidak identik dengan fobia yang lain, pasalnya fobia adalah rasa takut pada objek yang tidak


Ponsel Ku Sayang, Psikis Ku Malang rasional,” tutur pria yang pernah menjadi psikolog Persib itu. Sebuah studi besutan Kantor Pos daerah Inggris, bersama situs survei online YouGov[dot]com, mencatat ketakutan akan ‘hilangnya telepon genggam’ sudah muncul sejak lima tahun lalu. Hal ini didasari dari penelitian dengan sampel sebanyak 2.163 orang. Hampir 53 persen terindikasi fobia kehilangan ponsel, serta 194 orang diantaranya merasa stres ketika ponsel mereka tidak aktif. Survei lain yang dilakukan Cisco tahun 2013 lalu menyatakan 9 dari 10 orang berusia di bawah 30 tahun mengalami ketakutan tersebut; kehilangan ponsel, sinyal, dan habisnya baterai. Menurut Agus, ragam gejala fobia ini dapat terlihat dari berbagai perilaku. Diantaranya, seorang yang kembali ke rumah karena gadget tertinggal saat bepergian, dan individu yang tak bisa berlama-lama tanpa piranti cerdas ini. Tak harus melihat situasi dan kondisi di sekitarnya, orang nomophobia akan selalu memainkan ponselnya, sehingga akan membahayakan orang lain, maupun dirinya sendiri. Dampaknya hal tersebut akan menggangu relasinya di dunia nyata.

Teks dan Foto: Wulan Yulianti

“Nomophobia itu menggambarkan orang yang sangat tergantung terhadap ponsel. Fobia yang membuat dia merasa kehilangan kepercayaan diri,” jelasnya di ruang dosen Fakultas Psikologi Unisba. Akrab disapa Asoka, pria ini menjabarkan jika seseorang ingin sembuh dari nomophobia ia harus mengontrol dirinya sendiri. Penderita secara perlahan belajar menyimpan handphone selama 20 menit, hingga akhirnya tidak ketergantungan lagi. Ada proses pembelajaran, untuk memperbaikinya membutuhkan waktu dan usaha. “Gejala psikologis itu muncul bukan karena sehari dua hari seperti makan cabe yang langsung sakit perut,” ujarnya.

72 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Resensi Buku

Tak Sempurna Penulis : Fahd Djibran, Bondan Prakoso & Fade 2 Black Tebal buku : 244 Halaman Penerbit : Kurniaesa Publishing Cetakan : Pertama, Februari 2013 Mengisahkan tentang Rama Aditya Putra, yang menganggap jika para pelajar membutuhkan pertolongan untuk keluar dari sistem pendidikan yang mengekang. Sosok Rama dalam buku ini memandang, sekolah mempersempit cara berpikir lebih baik dan imajinatif, karena adanya tuntutan kesempurnaan. Diceritakannya lagi, ketika seorang guru tidak menghargai murid kala suasana berduka. Jadi, kelulusan bukan hanya momen untuk mendapatkan ijazah, melainkan kebahagiaan karena dapat terbebas dari segala pengekangan harapan para pelajar muda. Mengerti dan memahami, terkadang bukan hanya sistem pendidikan yang salah, namun para pelajar yang sudah muak malah jadi pemberontak.

Tera Errau

“Selalu ada satu orang khusus yang akan mendengarmu, dengan siapa kamu dapat bicara tentang hampir segalanya. Dia, menjadi orang yang memahami dirimu ketika engkau butuh. Mendengar perasaanmu bahkan tanpa perlu kau ungkapkan melalui kata-kata.” – Tera Errau Dua kalimat romantis di atas, akan menjadi ‘kepingan’ dari lanjutan novel Dilan 1990 dan Dilan 1991. Setelah sukses dengan dua novelnya, kabarnya Pidi Baiq atau yang akrab disapa ayah ini akan melanjutkan kisah romantisme Dilan-Milea. Meski belum ada kepastian apa judul dan kapan novel ini mengudara, serangkaian kata puitis nan romantis sudah dipersiapkan untuk para pembaca. Ditambah dengan adanya perbedaan pengambilan sudut pandang, akan menjadi ‘penyedap rasa’ lainnya. Karena, Dilan yang akan berbicara, bukan Milea.

73 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Resensi Film

Sabtu Bersama Bapak Pemain : Deva Mahendra, Arifin Putra, Abimana Aryasatya, Ira Wibowo, Acha Septriasa, Sheila Dara Aisha dan Ernest Prakasa. Sutradara : Adhitya Mulya. Diadaptasi dari novel karya Aditya Mulya, film ini menceritakan tentang sebuah keluarga yang ditinggalkan oleh ayahnya karena terserang penyakit. Meski telah meninggal, sang ayah tetap membimbing kedua anaknya melalui video yang berisikan nasihat-nasihat. Rekaman tersebut selalu di tonton Satya dan Cakra setiap hari Sabtu saat mereka libur. Sampai akhirnya Satya memiliki sebuah keluarga dan Cakra masih mencari pendamping. Karena bimbingan ayahnya itulah mereka bisa menjadi sosok lelaki tangguh dan menjadi ayah sekaligus suami yang baik untuk keluarganya. Kabarnya, sinema yang digarap Maxima Pictures ini hadir di bioskop pada bulan November.

Death Poets Society

Pemain :Robin Williams, Robert Sean Leonard, Ethan Hawke, Josh Charles, Gale Hansen, James Waterston, Norman Lloyd dan Kurtwood Smith Sutradara : Peter Weir Film yang rilis tahun 1989 ini, mengisahkan tujuh orang anak lelaki yang tinggal di asrama dan menganut prinsip tradisi, kehormatan, disiplin, dan prestasi. Berawal dari John Keating, seorang guru bahasa inggris yang memberi inspirasi agar muridnya merubah hidup dan mengajak untuk menyukai puisi dengan cara yang berbeda. Film yang cenderung mengajarkan kita arti kebebasan ini disajikan secara menarik. Selain isu pemikiran bebas, masih banyak pesan yang disampaikan seperti loyalitas, solidaritas, kesetiaan, dan memperhatikan sesama. Film ini layak untuk di tonton, karena seluruh film ini adalah proses penyadaran, di mana para murid memiliki hak untuk berfikir bebas. Teks: Wiwin F. dan Salma N.

74 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Artikel

Menilai Kualitas Dosen Dalam Sudut Pandang Mahasiswa Oleh Wawan Firmansyah Y. (Demisioner BEM-F Syariah 2013-2014) Foto: Dokumentasi Pribadi

75 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Menilai Kualitas Dosen Dalam Sudut Pandang Mahasiswa

“Baru 60% yang layak dikatakan dosen, sisanya masih perlu dibina.” Itulah yang dikatan Guru besar Institute Teknologi Bandung, Satrio Soemantri Brojonegoro dalam salah satu artikel SindoNews[dot]com tanggal 24 Agustus 2015 mengenai kualitas dosen yang ada di Indonesia. Sama halnya dengan kualitas dosen yang ada di Unisba, dirasa sangat perlu adanya pembinaan ulang dari pihak terkait untuk dapat meningkatkan mutu dan kinerja para tenaga pendidik, di mana harus adanya penerapan yang sesuai dengan visi-misi Unisba yang menjungjung tinggi nilai-nilai Islam dengan konsep Mujahid, Mujtahid, dan Mujaddid, begitu pula dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dosen Muda Berpotensi Vs Dosen Senior Berpengalaman, Poblematika Dosen dan Mahasiswa Salah satu yang menjadi sorotan dalam menilai kualitas dosen yang ada di Unisba, di mana akhir-akhir ini pihak kampus mulai membuka ‘keran’ regenerasi tenaga pendidik dan munculah dosen-dosen muda, berpotensi, dan berpendidikan tinggi, namun sangat disayangkan apabila beberapa diantaranya tidak seperti apa yang disebutkan di atas. Dosen sebagai elemen esensial harus memberi panutan, mungkin dengan ekspetasi yang muda bisa berkarya, lebih dekat dengan mahasiswa dan mampu membawa perubahan, namun beberapa diantaranya malah bersikap tengil, seenaknya dan kekanak-kanakan, bukan menjadi contoh yang bisa ditiru namun malah menjadi aib yang hangat dibicarakan oleh para mahasiswanya. Belum lagi dengan peran dosen senior yang seharusnya lebih berpengalaman terlihat kurang bisa membina dan membimbing para dosen muda. Sehingga terlihat kurangnya keharmonisan dalam lingkup para dosen, seolah ada dikotomi yang menjadi jurang pemisah, bukan hanya pada mahasiswa baru dan mahasiswa lama, senioritas dosen lama dan baru pun terlihat seakan adanya persaingan dalam segi eksistensi, gelaran, pangkat dan jabatan. Dosen muda yang bersikap seenakanya dan kekanak-kanakan pun didasari kurangnya pembinaan, berharap dapat merangkul dan memudahkan mahasiswa, namun malah menjadi contoh yang salah dan pembodohan dalam diri mahasiswa.

Sebagai insan yang berpendidikan tinggi dan lebih dewasa, dosen-dosen harus bisa bersikap lebih profesional, hal di atas seharusnya bukan menjadi suatu masalah yang ramai dibicarakan, melainkan hubungan baik yang terjalin dapat menjadi hal positif yang di implementasikan. Di mana dosen muda bisa lebih merangkul mahasiswa dan menjadi penghubung mengenai aspirasi mahasiswa terhadap kebijakan kampus, begitupun dosen lama yang berpengalaman dapat membimbing dan mengarahkan ‘juniornya’ agar tidak keluar dari peran, tugas dan tanggung jawab yang mereka sandang. Kualitas Dosen Kampus Unisba

Mempengaruhi

Kualitas

Sebagai tenaga pendidik juga cendekiawan muslim, tugas, peran dan tanggung jawab dosen Unisba harus bisa bersikap dan bertindak profesional untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan dengan UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, di mana dosen dinyatakan sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat (Bab 1 pasal 1 ayat 2). Sehingga diperlukan evaluasi terhadap dosen agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sejalan dengan apa yang di isyaratkan dalam undang-undang terkait. Dengan demikian diharapkan kualitas dosen akan terus meningkat agar mutu mahasiswa juga meningkat, dengan begitu mutu perguruan tinggi pun akan meningkat. Permasalahan terhadap dosen yang dibahas sebelumnya dinilai masih jauh dari visi-misi Unisba atau Visi Unisba sendirilah yang sangat sempurna. Namun di luar hal itu prestasi Unisba pun mulai melonjak dengan kinerja yang semakin diperbaharui, beberapa prodi pun mengalami kenaikan akreditasi, maka dari itu perlu adanya dukungan dan itikad baik dari seluruh elemen kampus agar kualitas Unisba terus melonjak dan berdampak baik terhadap kelangsungan dinamika kampus biru Unisba.

76| Suaramahasiswa.info | Desember 2015


SUARA FOTO

77 | Suaramahasiswa.info | Desember 2015


Dua orang mahasiswa tengah berjabat tangan, dengan menggunakan jubah toga alengkap dengan topinya, pada acara gladi resik wisuda Institut Teknologi Bandung (ITB). Terlihat dari salah seorangnya, memberikan mimik wajah ekspresif, bertempat di kampus Institut Teknologi Bandung, Sabtu (9/12). (Amelia/SM)

78| Suaramahasiswa.info | Desember 2015



Mau Pasang Iklan di

Sila hubungi kami di suaramahasiswaonline@yahoo.com


KLIK SUARAMAHASISWA.INFO NAKAL

TAJAM

MENGGELITIK

psm_unisba suara mahasiswa

@tuu3451z

@suaramahasiswa

redaksi.suaramahasiswa@gmail.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.